bab ii landasan teori a. penelitian yang relevanrepository.ump.ac.id/6843/3/khuswatun khasanah_bab...
TRANSCRIPT
-
6
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang Gaya Bahasa dan Pesan Moral pada Lirik Lagu
Pengamen Bus Jurusan Purwokerto-Yogyakarta berbeda dari penelitian sejenis
yang telah ada. Untuk membuktikannya ada beberapa skripsi dari mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pertama, skripsi berjudul Analisis
Penggunaan Gaya Bahasa Guru dalam Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia
di Kelas VII SMP Negeri 3 Cilacap Tahun Ajaran 2009-2010 oleh Mustakim tahun
2010. Hasil penelitian tersebut meliputi gaya bahasa guru berdasarkan struktur
kalimat dan langsung tidaknya makna dalam kegiatan pembelajaran bahasa
Indonesia di Kelas VII SMP Negeri 3 Cilacap Tahun Ajaran 2009-2010 serta tujuan
dari penggunaan gaya bahasa tersebut. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak
pada sumber data. Sumber data dalam penelitian Mustakim berupa tuturan guru
Bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran sedangkan dalam penelitian ini,
sumber datanya berupa lagu pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta.
Kedua, skripsi berjudul Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik
Lethologica Karya Band Letto dan Alternatif Penerapannya dalam Pembelajaran
Gaya Bahasa Puisi di SMA Kelas X Semester 1 oleh Aristia Nawangsari tahun
2010. Hasil penelitian tersebut meliputi gaya bahasa perbandingan, perulangan,
pertautan, dan pertentangan yang terdapat dalam album musik Lethologica.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada sumber data. Sumber data dalam
penelitian Aristia Nawangsari berupa Lirik Lagu dalam Album Musik Lethologica
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
7
Karya Band Letto sedangkan dalam penelitian ini, sumber datanya berupa lagu
pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta. Selain itu, hasil penelitian Aristia
Nawangsari diterapkan dalam pembelajaran di SMA sedangkan penelitian ini tidak.
Perbedaan selanjutnya terletak pada penggunaan landasan teori. Penelitian Aristia
Nawangsari menggunakan teori Henry Guntur Tarigan yang berpendapat bahwa
gaya bahasa dikelompokkan atas empat kategori, yaitu gaya bahasa perbandingan,
perulangan, pertautan, dan pertentangan sedangkan dalam penelitian ini
menggunakan teori Gorys Keraf yang membagi gaya bahasa menjadi empat, yaitu
pilihan kata, nada yang terkandung dalam wacana, struktur kalimat, dan langsung
tidaknya makna.
Ketiga, skripsi berjudul Gaya Bahasa Metafora pada Buku Kumpulan
Cerita Pendek Madre Karya Dewi Lestari (Kajian Stilistika) oleh Jumirah tahun
2014. Hasil penelitian tersebut meliputi jenis-jenis metafora, fungsi bahasa, dan
makna gaya bahasa metafora dalam buku kumpulan cerita pendek Madre karya
Dewi Lestari. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lingkup analisis dan
sumber datanya. Ruang lingkup analisis dalam penelitian Jumirah hanya meliputi
gaya bahasa metafora saja sedangkan pada penelitian ini ruang lingkupnya meliputi
seluruh gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu pengamen bus jurusan
Purwokerto-Yogyakarta. Perbedaan selanjutnya terletak pada sumber data. Sumber
data dalam penelitian Jumirah berupa buku kumpulan cerita pendek Madre karya
Dewi Lestari sedangkan dalam penelitian ini, sumber datanya berupa lagu
pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
8
B. Stilistika
Menurut Turner dalam Pradopo (2009: 264), Stilistika adalah ilmu yang
mempelajari gaya bahasa. Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang memusatkan
diri dari variasi-variasi penggunaan bahasa, tetapi tidak secara eksklusif
memberikan perhatian khusus kepada pengguna bahasa yang paling sadar dan
paling kompleks dalam kasusastraan. Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa,
menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan sebuah studi yang metodis.
Stilistika berasal dari kata style yang artinya gaya. Style atau gaya yaitu cara khas
yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri. Cara pengungkapan tersebut
dapat meliputi setiap aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada,
dan sebagainya) (Noor, 2007: 118).
Sedangkan menurut Kridalaksana (2011:227), stilistika adalah ilmu yang
menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner
antara linguistik dan kesusastraan. Atau penerapan linguistik pada penelitian gaya
bahasa. Stilistika (stylistic) adalah ilmu atau teori yang berkaitan dengan
pembicaraan mengenai gaya bahasa. Stilistika terdapat dalam seluruh aktivitas
kehidupan manusia. Stilistika tidak terbatas untuk menganalisis sastra, melainkan
juga bentuk-bentuk karangan bebas yang lain, wacana politik, iklan, dan
sebagainya. Karya sastra hanyalah salah satu kasus (Ratna, 2011: 232).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah
ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra atau ilmu gaya bahasa yang
digunakan dalam karya sastra. Stilistika bertujuan untuk menentukan seberapa jauh
dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
9
Stilistika juga menggambarkan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda
linguistik untuk memperoleh efek khusus. Stilistika terdapat dalam seluruh aktivitas
kehidupan manusia. Stilistika tidak terbatas untuk menganalisis sastra, melainkan
juga bentuk-bentuk karangan bebas yang lain, wacana politik, iklan, dan
sebagainya.
C. Diksi
Menurut Keraf (2006: 21), dalam kegiatan komunikasi, kata-kata yang
dijalin-satukan dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah
sintaksis yang ada di dalam suatu bahasa. Yang paling penting dari rangkaian kata-
kata tadi adalah pengertian yang tersirat di balik kata yang digunakan itu. Setiap
anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, selalu berusaha agar
orang-orang lain dapat memahaminya dan disamping itu dia harus bisa memahami
orang lain. Dengan cara ini terjalinlah komunikasi dua arah yang baik dan
harmonis. Hal ini berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin
banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya.
Pradopo (2009: 54) berpendapat bahwa penyair hendak mencurahkan
perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya.
Selain itu juga ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan
pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu harusnya dipilih kata yang tepat. Pemilihan
kata dalam sajak disebut diksi. Barfield (dalam Pradopo, 2009: 54) mengemukakan
bahwa bila kata-kata yang dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa
hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi
puitis. Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan nilai estetik.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
10
Keraf (2006: 24) menurunkan tiga pengertian mengenai diksi. Pertama,
pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana bentuk pengelompokkan kata-kata yang
tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang
paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok)
dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga,
pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah
besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud
perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang
dimiliki oleh sebuah bahasa.
Masalah pemilihan kata menurut Champan (dalam Nurgiyantoro 2010: 290)
dapat melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu. Pertama, pertimbangan
fonologis, misalnya kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Kedua,
pertimbangan dari segi metode, bentuk, dan makna yang dipergunakan sebagai
sarana mengkonsentrasikan gagasan. Dalam hal ini faktor personal pengarang untuk
memilih kata-kata yang paling menarik perhatiannya berperan penting. Pengarang
dapat saja memilih kata atau ungkapan tertentu sebagai siasat untuk mencapai efek
yang diinginkan.
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian diksi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa diksi adalah kata, kelompok kata, ungkapan, dan gaya bahasa
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
11
yang diseleksi setapat-tepatnya sebagai sarana komunikasi penyalur gagasan, ide,
opini ataupun perasaan serta pengalaman. Dengan demikian, menimbulkan
imajinasi estetik sesuai dengan situasi dan nilai rasa pendengar. Akan tetapi,
memilih kata-kata yang mampu mengemban fungsi tersebut tidaklah mudah. Dalam
memilih kata, pengarang harus benar-benar teliti dan cermat. Dengan demikian,
kata-kata yang dipilih tidak menimbulkan salah tafsir antara pembaca dan
pendengar.
D. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Menurut Sukada dalam Ratna (2013: 12) gaya bahasa adalah bahasa itu
sendiri yang dipilih berdasarkan struktur tertentu. Gaya bahasa digunakan dengan
cara yang wajar, tetapi tetap memiliki ciri profesional. Gaya bahasa disusun secara
sengaja agar menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca. Isinya adalah
persatuan antara keindahan dan kebenaran. Gaya bahasa adalah cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 2006: 113).
Kridalaksana (2011:70) mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis.
Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu. Gaya bahasa meliputi
keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Sedangkan menurut Tarigan
(2013: 4), gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yaitu penggunaan kata-kata
dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan dan mempengaruhi penyimak atau
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
12
pembaca. Dalam menulis lagu, pada umumnya para pengarang menggunakan
bahasa yang khas atau indah, sehingga lagu yang diciptakan mempunyai nilai lebih
yang bisa dilihat dari bahasanya. Dalam hal ini pengarang menggunakan bahasa
yang mudah dipahami dan diterima, sehingga karangan isinya dalam sebuah lagu
mudah untuk diketahui maksudnya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa
adalah cara atau teknik mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk lisan
maupun tulisan dengan menggunakan bahasa yang khas sehingga dapat
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa dapat menghasilkan
suatu pengertian yang jelas dan menarik bagi para pembaca. Isinya adalah persatuan
antara keindahan dan kebenaran. Dalam menulis lagu, pada umumnya para
pengarang menggunakan bahasa yang khas atau indah, sehingga lagu yang
diciptakan mempunyai nilai lebih yang bisa dilihat dari bahasanya. Dalam hal ini
pengarang menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan diterima, sehingga
karangan isinya dalam sebuah lagu mudah untuk diketahui maksudnya.
2. Jenis Gaya Bahasa
Menurut Keraf (2006:116-145), dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur
bahasa yang digunakan, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1)
pilihan kata, (2) nada yang terkandung dalam wacana, (3) struktur kalimat, dan (4)
langsung tidaknya makna. Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa dibedakan
menjadi tiga yaitu (a) gaya bahasa resmi, (b) gaya bahasa tak tesmi, dan (c) gaya
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
13
bahasa percakapan. Berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa
dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya sederhana, (b) gaya mulia dan bertenaga, dan
(c) gaya menengah. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dibedakan menjadi
lima yaitu (a) klimaks, (b) antiklimaks, (c) paralesisme, (d) antithesis, dan (e)
repetisi.
Repetisi itu sendiri ada bermacam-macam yakni epizeuksis, tautotes, anafora,
epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi dua yaitu (a) gaya bahasa
retoris dan (b) gaya bahasa kiasan. Teori penelitian dibatasi pada gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya makna karena data penelitian
ini berupa lirik lagu. Dengan demikian akan lebih cocok jika dianalisis
menggunakan jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan langsung
tidaknya makna.
a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Menurut Keraf (2006: 124-129), Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan
landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan struktur kalimat
disini adalah tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat
tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau
gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat
yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan
ditempatkan pada awal kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu
kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
14
tinggi atau sederajat. Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat tersebut, maka
dapat diperoleh gaya-gaya bahasa antara lain: (1) klimaks, (2) antiklimaks, (3)
paralesisme, (4) antithesis, dan (5) repetisi.
1) Klimaks
Menurut Keraf (2006: 124), klimaks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Gaya bahasa klimaks diturunkan
dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks disebut juga dengan gradasi. Istilah ini
dipakai sebagai istilah umum yang sebenarnya merujuk kepada tingkat atau gagasan
tertinggi, contoh: Di samping itu, sastrawan mempunyai waktu yang cukup panjang
untuk memilih, merenungkan bahkan menciptakan cara-cara baru dan bentuk-
bentuk tertentu dalam penyampaian maksudnya, mereka juga mempunyai
kebebasan yang luas untuk menyimpang dari tulisan biasa. Kalimat tersebut
termasuk klimaks karena mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali
semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
2) Antiklimaks
Keraf (2006: 125) mengungkapkan bahwa antiklimaks merupakan suatu
acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke
gagasan yang kurang penting. Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur
mengendur. Antiklimaks sering kurang efektif. Hal ini disebabkan karena gagasan
yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar
tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu,
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
15
contoh: Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di ibu kota negara,
ibu kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh
Indonesia. Kalimat tersebut termasuk antiklimaks karena gagasan-gagasannya
diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting, yaitu dari negara,
propinsi, kabupaten, kecamatan, sampai ke desa.
3) Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi
yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula
berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama.
Gaya ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. Bentuk paralelisme adalah
sebuah bentuk yang baik untuk menonjolkan kata atau kelompok kata yang sama
fungsinya. Namun, bila terlalu banyak digunakan, maka kalimat-kalimat akan
menjadi kaku dan mati (Keraf, 2006: 126). Contoh: Sangatlah ironis jika mereka
menderita kelaparan dalam sebuah daerah yang subur dan kaya, serta mati
terbunuh dalam sebuah negeri yang sudah ratusan tahun hidup dalam ketentraman
dan kedamaian.
4) Antithesis
Antithesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan
yang bertentangan. Antithesis mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang
berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang (Keraf, 2006: 126). Antithesis
berisi pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu
dengan yang lainnya. Contoh: Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semuanya
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
16
mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara. Kalimat tersebut
termasuk antithesis karena mengandung gagasan yang bertentangan atau
berlawanan yaitu kata kaya dan miskin, tua dan muda, serta besar dan kecil.
5) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting. Tujuannya adalah untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks
yang sesuai. Dalam hal ini akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata, frasa,
atau klausa. Repetisi seperti halnya dengan paralesisme dan antithesis lahir dari
kalimat yang berimbang. Macam-macam repetisi meliputi epizeuksis, tautotes,
anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Keraf
(2006: 127) menjelaskan macam-macam repetisi itu sebagai berikut:
a) Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh:
Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua
ketinggalan kita.
b) Tautotes adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah kontruksi. Contoh:
Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru.
c) Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Contoh:
Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam
pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam
dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek
Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar
pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara.
Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-
kecilnya.
d) Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh:
Bumi yang kaudiami, laut yang kau layari adalah puisi
Udara yang kauhirupi, air yang kautengguki adalah puisi
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli adalah puisi
Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali adalah puisi
e) Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh:
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
17
Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
Kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
Kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin
f) Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh:
Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon
Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng
Para pembesar jangan mencuri bensin
Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri
g) Epanalepsis adalah perulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh:
Kita gunakan pikiran dan perasaan kita
Kuberikan setulusnya, apa yang harus kuberikan
h) Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh:
Dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara, dalam mutiara: ah tak ada
apa
Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati, dalam hati: ah takapa jua yang ada
Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: Mudah-
mudahan ada Kau!
b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu
apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah
ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini
biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Terlepas dari konotasi kedua
istilah itu, kita dapat mempergunakan kedua istilah itu dengan pengertian yang
sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif baik
dalam ejaan, pembentukkan kata, kontruksi (kalimat, klausa, frasa), atau aplikasi
sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau
sesuatu efek yang lain.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
18
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi atas dua kelompok, yaitu
gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari kontruksi
biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan
penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna (Keraf, 2006: 129).
1) Gaya Bahasa Retoris
a) Aliterasi
Keraf (2006: 130) mengungkapkan bahwa aliterasi adalah semacam gaya
bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan
dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan.
Fungsi aliterasi yaitu memberi efek suara yang enak didengar. Aliterasi juga
berfungsi untuk memberi tekanan makna kepada kata di mana bunyi konsonan
tersebut diulang, contoh: Keras-keras kerak kena air lembut juga. Kalimat tersebut
merupakan aliterasi k terlihat dengan pengulangan konsonan k berturut-turut pada
satu kalimat.
b) Asonansi
Keraf (2006: 130) berpendapat bahwa asonansi adalah semacam gaya
bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan
dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa. Tujuannya adalah untuk memperoleh
penekanan atau sekadar keindahan. Asonansi merujuk kepada pengulangan bunyi
vokal dengan tujuan memberi tekanan makna pada kata tertentu dan menciptakan
rangkaian suara yang musical, contoh: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak
tahu. Kalimat tersebut merupakan contoh asonansi, terlihat dengan pengulangan
vokal u dan a pada satu kalimat.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
19
c) Anastrof
Keraf (2006:130) berpendapat bahwa anastrof atau inversi adalah semacam
gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam
kalimat. Anastrof ini mengubah urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis dengan
menyebutkan terlebih dahulu predikat sebelum subjeknya, contoh: Berjanjilah
mereka rajin belajar untuk mencapai harapan orang tua mereka. Kalimat tersebut
mengandung anastrof atau inversi. Hal ini disebabkan karena pada kalimat tersebut
disebutkan predikat terlebih dahulu sebelum subjeknya. Berjanjilah merupakan
predikat dan mereka merupakan subjek.
d) Apofasis atau Preterisio
Keraf (2006: 130) berpendapat bahwa Apofasis atau disebut juga Preterisio
merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi
tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi
sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan
sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya, contoh: Saya tidak mau
mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta
rupiah uang negara. Kalimat tersebut mengandung apofasis karena penulis atau
pengarang berpura-pura menyembunyikan sesuatu tetapi sebenarnya
memamerkannya. Penulis atau pengarang berpura-pura menyembunyikan seorang
koruptor, tetapi sebenarnya dia telah menunjukkan kepada orang lain.
e) Apostrof
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
20
Keraf (2006: 131) berpendapat bahwa apostrof adalah semacam gaya yang
berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
Cara ini biasa digunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan pada
suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung
kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau
kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak. Dengan demikian dia
tampak tidak berbicara pada hadirin, contoh: Hai kamu semua yang telah
menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat
mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.
Klausa kamu semua yang telah menumpahkan darahmu merupakan apostrof karena
mengarahkan pembicaraan kepada mereka yang sudah meninggal sehingga
tampaknya tidak berbicara kepada hadirin.
f) Asindeton
Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat di mana
beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata
sambung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan
terkenal dari Julius Caesar: Vini, vidi, vici, “saya datang, saya lihat, saya menang”.
Contoh: Dan kesesakkan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik
penghabisan orang melepaskan nyawa. Kalimat tersebut mengandung asindeton.
Kata yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung melainkan dipisahkan
dengan tanda koma. Kata yang sederajat dalam contoh di atas yaitu kesesakkan,
kepedihan, dan kesakitan (Keraf, 2006: 131).
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
21
g) Polisindeton
Menurut Keraf (2006: 131), polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan
kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan
dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Polisindeton ialah gaya bahasa
yang berupa sebuah kalimat atau sebuah kontruksi yang mengandung kata-kata
yang sejajar dan dihubungkan dengan kata-kata penghubung, contoh: Dan ke
manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada
gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya? Kalimat tersebut
mengandung polisindeton karena mengandung kata-kata yang sejajar dihubungkan
dengan kata-kata penghubung. Kata yang sejajar pada contoh di atas adalah gelisah,
tak berumah, serta tak menyerah pada gelap dan dingin.
h) Kiasmus
Keraf (2006: 132) berpendapat bahwa kiasmus adalah semacam acuan atau
gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian. Frasa atau klausa yang sifatnya berimbang
dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila
dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Kiasmus berisikan perulangan dan
sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu
kalimat. Kiasmus ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah
satu bagian kalimatnya dibalik posisinya, Contoh: Semua kesabaran kami sudah
hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. Kalimat tersebut
merupakan kiasmus. Hal ini ditandai dengan pembalikan unsur yang diulang yakni
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
22
sudah hilang dan sudah lenyap menjadi sudah hilang, lenyap sudah (Pradopo, 2009:
100).
i) Ellipsis
Ellipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar. Dengan demikian struktur gramatikal atau kalimatnya akan memenuhi
pola yang berlaku. Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah
kalimat itu disebut anakoluton. Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat tersebut
dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena
suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis, contoh: Masihkah kau tidak
percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tapi psikis ….
Kalimat tersebut merupakan contoh elipsis ditandai dengan penghilangan unsur di
bagian belakang (Keraf, 2006: 132).
j) Eufemisme
Kata eufemisme diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti
“mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”.
Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan
yang tidak menyinggung perasaan orang. Eufemisme mengandunng ungkapan-
ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan (Keraf. 2006: 132). Contoh: Anak saudara memang tidak terlalu
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
23
cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (= bodoh). Kalimat tersebut
mengandung eufemisme karena terdapat ungkapan yang halus untuk menggantikan
acuan-acuan yang dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan
sesuatu yang tidak menyenangkan. Ungkapan tidak terlalu cepat mengikuti
pelajaran seperti anak-anak lainnya dirasakan lebih halus jika dibandingkan
dengan bodoh.
k) Litotes
Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Litotes berisi pernyataan yang bersifat
mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari
keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan
katanya, contoh: Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami
bertahun-tahun lamanya. Ungkapan rumah yang buruk dipakai dengan tujuan
merendahkan diri (Keraf, 2006: 132).
l) Histeron Proteron
Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan
dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Histeron Proteron
menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa, contoh: Kereta
melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Kalimat tersebut termasuk
histeron proteron. Ungkapan di depan kuda yang menariknya dianggap sesuatu
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
24
yang tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut karena sesuatu yang ditarik pasti berada
di belakang yang menariknya (Keraf, 2006: 133).
m) Pleonasme
Menurut Pradopo (2009: 95), pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana
retorika dimana kata kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata pertama. Dengan
cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau
pendengar. Pleonasme merupakan penggunaan kata yang mubazir yang sebenarnya
tidak perlu. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang
bagi pembaca atau pendengar. Keraf (2006: 133) berpendapat bahwa suatu acuan
disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh.
Contoh: Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.
Ungkapan tersebut adalah pleonasme, karena semua acuan itu tetap utuh dengan
makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata dengan mata kepala saya.
n) Tautologi
Menurut Pradopo (2009: 95), tautologi ialah sarana retorika yang
menyatakan hal atau keadaan dua kali. Maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu
lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dipergunakan
untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama. Suatu acuan
itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung
perulangan dari sebuah kata yang lain, contoh: Ia tiba jam 20.00 malam waktu
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
25
setempat. Acuan itu disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya
mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah
tercakup dalam jam 20.00.
o) Perifrasis
Menurut Keraf (2006: 134), sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip
dengan pleonasme. Perifrasis mempergunakan kata lebih banyak dari yang
diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu
sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Perifrasis atau perifrase ini berbeda
dengan parafrase. Parafrase adalah suatu pengungkapan kembali sebuah teks,
suatu tulisan atau suatu karya, dalam bentuk lain dengan mempertahankan urutan
idenya, biasanya dalam bentuk yang lebih singkat, contoh: Ia telah beristirahat
dengan damai (=mati, atau meninggal).
p) Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau
gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa
kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu
sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan
baru terjadi kemudian, contoh: Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah
sedan biru. Ungkapan tersebut termasuk prolepsis atau antisipasi. Hal ini
dikarenakan pembicara atau penulis terlebih dahulu menggunakan ungkapan pada
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
26
pagi yang naas itu sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu sendiri (Keraf,
2006: 134).
q) Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Keraf (2006: 134) berpendapat bahwa erotesis atau pertanyaan retoris
adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan
tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar.
Kalimat retoris ini tidak menghendaki adanya sebuah jawaban. Gaya ini biasanya
dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam
pernyataan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin,
contoh: Rakyatlah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di
negara ini? Kalimat pada contoh tersebut merupakan erotesis karena tidak
membutuhkan jawaban.
r) Silepsis
Keraf (2006: 135) berpendapat bahwa silepsis adalah gaya di mana orang
mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata
dengan kata lain. Konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi
secara semantik tidak benar, contoh: Fungsi dan sikap bahasa. Konstruksi yang
lengkap ialah fungsi bahasa dan sikap bahasa. Fungsi bahasa berarti “fungsi dari
bahasa”. Sikap bahasa berarti “sikap terhadap bahasa”.
s) Zeugma
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
27
Zeugma adalah gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi rapatan
dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain. Kata
yang dipakai untuk membawahkan dua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok
untuk salah satu dari padanya sehingga kalimat tersebut menjadi rancu, contoh:
Ayah sudah mendengar berita itu dari radio dan majalah. Kalimat tersebut
mengandung gaya bahasa zeugma yaitu ungkapan mendengar berita itu dari radio
dan majalah. Kata mendengar dalam kalimat tersebut hanya cocok jika dipasangkan
dengan kata radio sebagai media audio. Kata majalah sebagai media visual lebih
cocok jika dipasangkan dengan kata membaca (Susanti, 2013: 109).
t) Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud mula-mula
menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana
yang salah, contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan,
sudah lima kali. Ungkapan tersebut mengandung koreksio. Mulanya, penulis atau
pembicara mengungkapkan bahwa dirinya sudah empat kali mengunjungi daerah
itu. Kemudian dia memperbaiki bahwa ternyata dia sudah lima kali mengunjungi
daerah itu (Keraf, 2006: 135).
u) Hiperbola
Menurut Keraf (2006: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu
hal. Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan atau sifat yang sesungguhnya.
Dengan demikian, hal tesebut menjadi tidak masuk akal, contoh: Kemarahanku
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
28
sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. Ungkapan tersebut
mengandung hiperbola karena dianggap melebih-lebihkan sesuatu. Kemarahan
seseorang tidak mungkin akan mengakibatkan dirinya sampai meledak.
v) Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan
yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal
yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2006: 136). Paradoks
menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak bila sungguh-
sungguh dipikir dan dirasakan, contoh: Hidup yang terbaring mati. Kalimat tersebut
merupakan paradoks karena mengandung pertentangan tetapi menarik perhatian
karena kebenarannya memang ada. Pernyataan tersebut merupakan sebuah kiasan
yang artinya hidup yang tanpa pergerakan, tanpa ada perubahan ke arah yang lebih
baik.
w) Oksimoron
Menurut Keraf (2006: 136), oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha
untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau
dapat juga dikatakan oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan
dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama.
Oksimoron sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks, contoh: Itu sudah menjadi
rahasia umum. Ungkapan tersebut mengandung oksimoron. Hal ini dikarenakan
rahasia seharusnya tidak diketahui oleh orang banyak, tetapi pada kalimat tersebut
kata rahasia dipasangkan dengan kata umum.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
29
2) Gaya Bahasa Kiasan
Pradopo (2009: 61) berpendapat bahwa gaya bahasa kiasan ini
menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup,
dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini
mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain. Tujuannya adalah
supaya gambaran tersebut menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Bahasa kiasan
ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal
atau sifat yang umum, yaitu bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan
cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Jenis-jenis bahasa kiasan
meliputi: (a) persamaan/ simile, (b) metafora, (c) alegori, parabel, dan fabel, (d)
personifikasi/ prosopopoeia, (e) alusi, (f) eponim, (g) epitet, (h) sinekdoke, (i)
metonimia, (j) hipalase, (l) ironi, (m) sinisme, (n) sarkasme, (o) satire, (p) inuendo,
(q) antifrasis, dan (r) pun/ paronomasia.
a) Persamaan atau Simile
Menurut Keraf (2006: 138), persamaan atau simile adalah perbandingan
yang bersifat eksplisit. Maksudnya ialah langsung menyatakan sesuatu sama dengan
hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan
kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan
sebagainya. Perumpamaan atau perbandingan ini dapat dikatakan bahasa kiasan
yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam karya sastra, contoh:
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
30
Bibirnya seperti delima merekah. Kalimat tersebut mengandung simile yakni
ditandai dengan kata seperti.
b) Metafora
Menurut Keraf (2006: 139), metafora adalah semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak,
bagai, dan sebagainya. Dengan demikian, pokok pertama langsung dihubungkan
dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara
berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan.
Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal
lain yang sesungguhnya tidak sama. Contoh: Orang itu buaya darat.
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka ia dapat berwujud alegori,
parable, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran-ajaran
moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain. Alegori adalah suatu cerita
singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah
permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang
abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Parabel adalah suatu kisah singkat
dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah
parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
31
alegoris, untuk menyampaikan kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Fabel
adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-
binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah
seperti manusia. Tujuan fabel seperti parabel ialah menyampaikan ajaran moral atau
budi pekerti. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui analogi yang
transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuhan, atau makhluk tak bernyawa
(Keraf, 2006: 140).
d) Personifikasi atau Prosopopoeia
Sayuti (2002: 229) mengungkapkan bahwa secara sederhana, personifikasi
dapat diartikan sebagai pemanusiaan. Artinya jika metafora dan simile merupakan
bentuk pembandingan tidak dengan manusia, personifikasi merupakan pemberian
sifat-sifat manusia pada suatu hal. Ungkapan personifikasi berperan dalam
membangun keseluruhan ekspresi puitik. Personifikasi ialah semacam gaya bahasa
kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan)
merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda mati
bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 2006: 140). Contoh: Angin
yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.
e) Alusi
Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan persamaan
antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang
eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
32
kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal. Dulu orang
sering mengatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. Demikian juga dapat
dikatakan: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. Kedua
contoh ini merupakan alusi (Keraf, 2006: 141).
f) Eponim
Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering
dihubungkan dengan sifat tertentu. Eponim dipergunakan oleh seseorang untuk
menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu
berdasarkan sifatnya. Dengan demikian, nama itu dipakai untuk menyatakan sifat
tertentu, contoh: Kerakusannya persis Karun. Kalimat tersebut mengandung
eponim. Hal ini dikarenakan Karun merupakan tokoh yang terkenal memiliki sifat
rakus dan tidak mau berbagi dengan sesama manusia (Keraf, 2006: 141).
g) Epitet
Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang
khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif
yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang, contoh:
Putri malam sudah bangun dari peranduannya. Kalimat tersebut mengandung
epitet. Hal ini dikarenakan terdapat frasa deskriptif yang menjelaskan atau
menggantikan nama suatu barang. Ungkapan putri malam bermakna bulan (Keraf,
2006: 141).
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
33
h) Sinekdoke
Menurut Pradopo (2009: 78), sinekdoke adalah bahasa kiasan yang
menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu
sendiri. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian
dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan
keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte), contoh: Setiap kepala
dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00. Kalimat tersebut mengandung
sinekdoke pars pro toto karena kepala merupakan bagian dari anggota tubuh
manusia. Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Malaysia di
Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4. Kalimat tersebut
mengandung sinekdoke totum pro parte karena mempergunakan keseluruhan
(Indonesia dan Malaysia) untuk menyatakan sebagian (kelompok pemain sepak
bola).
i) Metonimia
Keraf (2006: 142) berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa
yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena
mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk
hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab
untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonomia dalam
bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama, contoh: Ia membeli sebuah
Avanza. Kalimat tersebut mengandung metonomia. Hal ini digambarkan dengan
kata avanza merupakan merk sebuah mobil.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
34
j) Hipalase
Keraf (2006: 142) mengungkapkan bahwa hipalase adalah semacam gaya
bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata,
yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Atau secara singkat dapat
dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebaikan dari suatu relasi alamiah antara
dua komponen gagasan. Hipalase merupakan gaya bahasa yang berupa sebuah
pernyataan atau sindiran yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh: Ia
berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah. Ungkapan tersebut mengandung
hipalase. Hal ini dikarenakan yang gelisah manusianya, bukan bantalnya.
k) Ironi
Menurut Keraf (2006: 143), sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran
adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud
berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan
suatu upaya literer yang efektif. Ironi menyampaikan impresi yang mengandung
pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang
dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan
berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan dibalik
rangkaian kata-katanya, contoh: Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya,
sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
35
l) Sinisme
Sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian
yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme
diturunkan dari nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula kebajikan adalah
satu-satunya kebajikan, serta hakekatnya terletak pengendalian diri dan kebebasan.
Tetapi kemudian mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan
sosial dan filsafat-filsafat lainnya. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari
ironi, namun kadang-kadang masih sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila
contoh mngenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat
sinis, contoh: Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad
ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini (Keraf, 2006: 143).
m) Sarkasme
Menurut Keraf (2006: 143), sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih
kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme mengandung kepahitan dan celaan yang
getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak. Gaya ini selalu akan
menyakiti hati dan kurang enak didengar. Contoh: Lihat sang Raksasa itu
(maksudnya si Cebol). Kalimat tersebut merupakan contoh sarkasme karena
menyebutkan orang yang bertubuh kecil dengan sebutan raksasa.
n) Satire
Keraf (2006: 144) berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
36
Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah
agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Satire berisi kritik sosial baik
secara terang-terangan maupun terselubung. Contoh:
Maling-maling kecil kau adili
Maling-maling besar kau lindungi
Di mana letak keadilan
Bila masih memandang golongan
o) Inuendo
Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung. Inuendo
sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu, contoh: Dia
memang pemimpin yang baik, cuma sering korupsi. Kalimat tersebut mengandung
inuendo. Penulis atau pembicara sebenarnya menyindir pemimpin yang korupsi,
tetapi secara tidak langsung (Keraf, 2006: 144).
p) Antifrasis
Menurut Keraf (2006: 144), antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud
penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis yang bisa saja
dianggap sebagai ironi sendiri, contoh: Engkau memang orang yang mulia dan
terhormat! Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar
mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan bahwa yang dikatakan itu adalah
sebaliknya. Bila diketahui yang datang itu adalah seorang koruptor atau penjahat,
maka contoh itu jelas disebut antifrasis. Kalau tidak diketahui secara pasti, maka ia
disebut saja sebagai ironi.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
37
q) Pun atau Paronomasia
Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan
bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi
terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2006: 145). Pun atau
paronomasia ini disebut juga dengan homonim, contoh: Bisa ular itu bisa
membunuh manusia. Bisa yang pertama berarti racun. Bisa yang kedua berarti
dapat.
E. Moral dalam Karya Sastra
1. Pengertian Moral dalam Karya Sastra
Mangunhardjana (2004: 158) berpendapat bahwa moral berasal dari bahasa
latin mores, yang berarti „akhlak‟, „tabiat‟, „kelakuan‟, „cara hidup‟, „adat istiadat‟
(yang baik). Kata moral digunakan untuk menyebut baik-buruknya manusia dalam
hal sikap, tindak-tanduk, dan perbuatannya. Moral merupakan bagian penting dalam
hidup manusia. Manusia dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral
yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan. Manusia yang bermoral dengan sendirinya akan tampak
dalam penilaian atau penalaran moralnya serta pada perilakunya yang baik, benar,
dan sesuai dengan etika.
Moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah
dirumuskan masyarakat dalam menentukan kebaikan atau keburukan. Salah satu
tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat adalah berupaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
38
berpikir, dan berketuhanan. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya
sastra yang mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat umat
manusia. Dalam hal ini karya sastra diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-
mata mengadalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari itu. Seorang
penulis melahirkan karya sastra karena ia juga memiliki visi, aspirasi, itikad baik,
dan perjuangan sehingga karya sastra yang dihasilkannya memiliki nilai tinggi
(Semi, 2012: 89).
Menurut Nurgiyantoro (2010: 321), moral dalam karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Pandangan tentang
nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral
dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan
dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan
ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Moral dalam
karya sastra dapat dipandang sebagai amanat atau pesan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa selain sebagai
sarana hiburan, pengarang dalam menciptakan karyanya memiliki pesan yang ingin
disampaikan kepada pembaca atau penikmat karya sastra tersebut. Pesan moral
dalam karya sastra biasanya lebih dikenal dengan amanat. Amanat merupakan unsur
terpenting dalam terbentuknya sebuah karya sastra, karena karya sastra yang baik
selalu memberikan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Karya sastra
dianggap sebagai sarana pendidikan moral karena bisa mendidik pembaca atau
penikmat karya sastra agar dapat mengerti akan sesuatu yang baik dan yang tidak
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
39
baik untuk dirinya. Pengarang juga mengharapkan pembaca agar dapat mengambil
hikmah dari pesan moral yang disampaikan sebagai bahan perenungan.
2. Jenis Pesan Moral
Nurgiyantoro (2010: 323) berpendapat bahwa jenis ajaran moral itu sendiri
dapat mencakup masalah, bersifat tidak terbatas. Ajaran moral mencakup seluruh
persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan
martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia
dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Jenis hubungan-
hubungan tersebut masing-masing dapat dirinci ke dalam detil-detil wujud yang
lebih khusus antara lain sebagai berikut:
a. Aspek Moral Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Nurgiyantoro (2010: 324) berpendapat bahwa persoalan manusia dengan
dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya. Ia dapat
berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa
percaya diri, tanggung jawab, jujur, sabar, takut, berani, rindu, dendam, pemaaf,
kesepian, terombang-ambing antara beberapa pilihan, pantang menyerah, rendah
hati, tekun, dan lain-lain yang lebih bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan
seorang individu.
Rasa percaya diri atau optimisme merupakan sikap atau pandangan hidup
yang dalam segala hal memandang hal yang baik dan mengharapkan hasil yang baik
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
40
saja. Orang yang memiliki rasa percaya diri atau optimis adalah orang yang selalu
berpengharapan atau berpandangan baik dalam menghadapi segala hal (Depdiknas,
2008: 1091). Sedangkan pantang menyerah merupakan sikap selalu ingin berusaha
agar apa yang diinginkan atau dicita-citakan dapat tercapai. Orang yang memiliki
sikap pantang menyerah ini tidak mengenal kata lelah dan putus asa. Dia selalu
semangat dan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan walaupun banyak
cobaan dan rintangan yang menghalanginya.
Rendah hati atau tidak sombong merupakan sikap yang tidak memandang
orang lain remeh dan hina. Meskipun orang lain derajatnya lebih rendah dari kita
namun kita tidak boleh sombong karena sewaktu-waktu takdir dapat berbalik.
Orang lain yang mungkin selama ini kita anggap hina bisa jadi suatu saat orang
tersebut mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Manfaat jika manusia memiliki sifat
rendah hati yaitu pertama, mempunyai banyak teman. Kedua, hatinya selalu tentram
dan tenang. Ketiga, disenangi orang lain. Keempat, terhindar dari sikap sombong
atau takabur. Sebaliknya jika seseorang memiliki sifat sombong akan berakibat jauh
dari kebenaran, terkunci mata hatinya, mengalami kegagalan dalam bekerja, tidak
disukai Allah, tidak akan masuk surga, dan akan menjadi penghuni neraka.
Jujur artinya berlaku benar baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.
Jujur dalam perkataan adalah mengatakan hal yang sebenarnya, tidak mengada-
ngada, dan tidak pula menyembunyikannya. Benar dalam perbuatan adalah
mengerjakan sesuatu sesuai dengan petunjuk agama. Antara hati dan perkataan
harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan. Kita
sebagai manusia hendaknya bersikap jujur, karena sikap jujur membawa kepada
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
41
kebaikan. Sebaliknya kita dilarang untuk berbohong, karena kebohongan akan
membawa kepada kejahatan (Anwar, 2010: 102).
b. Aspek Moral Hubungan Manusia dengan Manusia Lain
Masalah-masalah yang berupa hubungan antar manusia itu antara lain dapat
berwujud: persahabatan, kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan antara
suami dengan istri, orang tua dengan anak, cinta kasih terhadap suami atau istri,
anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh dengan majikan, atasan
dengan bawahan, dan lain-lain yang melibatkan interaksi antar manusia. Contohnya
toleransi, setia, bersatu, dan adil (Nurgiyantoro, 2010: 325).
Toleransi merupakan sifat atau sikap menghargai, membiarkan,
membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,
dsb yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi ini akan
membuat kita hidup rukun dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, sifat toleransi ini
perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan masyarakat.
Sikap toleransi ini perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila kita
memiliki sikap toleransi, maka akan terjalin kerukunan antar umat beragama.
Sebaliknya jika kita tidak memiliki sikap toleransi maka yang terjadi adalah
permusuhan atau bahkan pertumpahan darah.
Setia merupakan sifat yang berpegang teguh pada janji dan tidak berkhianat.
Setia juga dapat berarti teguh hati dalam hal persahabatan, percintaan, dan
sebagainya. Sifat setia ini perlu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila kita memiliki sifat yang setia maka kita akan disegani dan dipercaya oleh
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
42
orang lain. Sebaliknya jika kita memiliki sifat khianat maka kita tidak akan disegani
dan dipercaya oleh orang lain.
Bersatu merupakan berkumpul atau begabung menjadi satu. Lawan dari
bersatu adalah bercerai. Sikap bersatu ini perlu diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat agar hubungan dalam masyarakat menjadi kokoh dan tidak mudah
dipecah-belah atau diadu domba. Bersatu perlu diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tujuannya adalah agar hubungan sesama manusia menjadi kokoh
dan tidak mudah diadu domba. Apabila sikap kesadaran untuk bersatu ini tidak
dimiliki oleh warga masyarakat atau warga negara, maka akan berakibat hubungan
antar warga menjadi renggang dan mudah dipecah-belah atau diadu domba oleh
pihak yang ingin merusak persatuan dan kesatuan antar warga masyarakat ataupun
warga negara.
Adil dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban,
atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua yang adil
akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan
masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak mendapatkan
jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-
Qur‟an mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak
laki-laki setelah berkeluarga menanggung kewajiban membiayai hidup istri dan
anak-anaknya. Sedangkan anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai oleh
suaminya (Ilyas, 2009: 235).
c. Aspek Moral Hubungan Manusia dengan Tuhannya
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
43
Aspek moral hubungan manusia dengan Tuhan berwujud moral religius.
Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam,
harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki manusia (Nurgiyantoro,
2010: 327). Moral religius ini lebih mengarah kepada kebaktian seorang manusia
kepada Tuhannya. Menurut ajaran Islam, hubungan manusia dengan Tuhannya
(Allah SWT) dapat dipelihara dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Sikap moral hubungan manusia dengan Tuhan dapat berupa beriman,
zikrullah, taat, ikhlas, tawakal, bersyukur, bertobat, khauf dan raja‟, dan lain-lain.
Mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah
SWT karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan Pencipta pada setiap
saat dan tempat. Rasulullah SAW senantiasa mengingat Allah SWT pada sepanjang
hidupnya. Zikrullah merupakan aktifitas paling baik dan paling mulia bagi Allah
SWT (Anwar, 2010: 92). Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengingat Allah
SWT, misalnya berdzikir, sholat, mempelajari dan membaca Al Quran serta
mengamalkannya, senantiasa bersyukur kepada Allah SWT, meyakini pertolongan
Allah SWT, dan perbanyak merenungi tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang
terdapat di alam semesta maupun fakta sejarah. Satu hal yang harus diingat adalah,
untuk dapat selalu mengingat Allah SWT, dzikir tidak hanya dilakukan sebatas
ucapan lisan dan atau hati saja. Dzikir kepada Allah swt merupakan rangkaian
aktivitas yang melibatkan segenap hati, lisan, dan juga perbuatan. Tanpa bersatunya
ketiga aspek tersebut, maka sulit pula atau bahkan tidak mungkin bagi hati kita
untuk bersatu dengan Allah swt.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
44
Khauf dan raja’ atau takut dan harap adalah sepasang sikap batin yang harus
dimiliki secara seimbang oleh setiap Muslim. Khauf adalah kegalauan hati
membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, dan
membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Dalam Islam, semua rasa takut
harus bersumber dari rasa takut kepada Allah. Raja’ atau harap adalah memautkan
hati pada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Khauf dan raja’ harus
seimbang, bila salah satu dominan dari yang lainnya akan melahirkan pribadi yang
tidak seimbang. Dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa,
sementara dominasi raja’ menyebabkan seseorang lalai atau lupa diri serta merasa
aman dari azab Allah (Ilyas, 2009: 37-41).
F. Lirik Lagu Pengamen Bus Jurusan Purwokerto-Yogyakarta
Lirik adalah sajak pendek dalam bentuk nyanyian yang isinya melukiskan
perasaan (Depdiknas, 2008: 937). Lagu merupakan ragam suara yang berirama
(Depdiknas, 2008: 855). Lirik lagu memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan
sajak pada umunya, karena pada lirik lagu pengarang dalam menuangkan ide-
idenya harus dipadukan dengan melodi atau irama sehingga muncul keserasian
dalam lagu tersebut. Lirik lagu secara sepintas berbeda dengan puisi, namun jika
dilihat dengan seksama lirik lagu banyak memiliki kesamaan dengan puisi. Hal
tersebut dikarenakan lirik lagu mengandung unsur pembangun seperti halnya puisi.
Lirik lagu diciptakan dengan bahasa yang indah dan mempunyai makna yang dalam
serta tidak memperhatikan tanda baca, melainkan memperhatikan penjiwaan agar
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
45
penikmat lagu seperti berada dalam lagu tersebut setelah membaca atau
mendengarkannya.
Depdiknas (2008: 51) berpendapat bahwa pengamen adalah penyanyi, atau
pemain musik yang tidak bertempat tinggal tetap. Mereka berpindah-pindah dan
mengadakan pertunjukkan di tempat umum. Orang yang bekerja sebagai pengamen
sehari-harinya menyanyi atau memainkan musik dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Mereka mengharapkan imbalan sukarela atas pertunjukan yang mereka
suguhkan. Pengamen banyak dijumpai di tempat umum yang banyak orang seperti
di bus, pasar, atau objek wisata.
Bus merupakan kendaraan bermotor angkutan umum yang besar yang
dapat memuat penumpang banyak (Depdiknas, 2008: 241). Bus biasanya memiliki
jalur yang lebih panjang dibandingkan angkutan dalam kota. Jalur tersebut yakni
antar kota ataupun antar propinsi. Bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta adalah bus
yang berangkat dari Purwokerto menuju Yogyakarta, begitu pula sebaliknya dari
Yogyakarta sampai dengan Purwokerto. Bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta ada
bermacam-macam antara lain Mulyo, Raharja, dan masih banyak yang lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lirik lagu
pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta adalah sajak pendek yang isinya
melukiskan perasaan dari bahasa yang dipadukan oleh pengarang dengan melodi
atau irama. Lirik lagu juga merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang
sudah dilihat, didengar, maupun dialaminya. Dalam mengekspresikan
pengalamannya, pencipta lagu melakukan permainan kata-kata dan bahasa untuk
menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap lirik tersebut. Lirik lagu terbentuk
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014
-
46
dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu dengan
masyarakat penikmat lagu. Lagu tersebut dinyanyikan oleh pengamen di dalam bus
jurusan Purwokerto-Yogyakarta. Pengamen itu menyanyi secara berpindah-pindah
dari satu bus ke bus yang lainnya. Mereka berharap mendapatkan imbalan sukarela
atas pertunjukan yang mereka suguhkan dari para penumpang bus tersebut.
Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014