bab ii landasan teori a. penalaran moral 1....

26
BAB II LANDASAN TEORI A. Penalaran Moral 1. Pengertian Moral Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini,1995). Berns (1997) mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Setiono (dalam Muslimin, 2004) menjelaskan bahwa menurut teori penalaran moral, moralitas terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana orang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Moralitas pada dasarnya dipandang sebagai pertentangan (konflik) mengenai hal yang baik disatu pihak dan hal yang buruk dipihak lain. Keadaan konflik tersebut mencerminkan keadaan yang harus diselesaikan antara dua kepentingan, yakni kepentingan diri dan orang lain, atau dapat pula dikatakan keadaan konflik antara hak dan kewajiban. Universitas Sumatera Utara

Upload: buibao

Post on 17-Sep-2018

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penalaran Moral

1. Pengertian Moral

Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti

kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi

seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini,1995). Berns (1997) mengemukakan

bahwa moralitas mencakup mematuhi aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari dan

conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.

Setiono (dalam Muslimin, 2004) menjelaskan bahwa menurut teori penalaran

moral, moralitas terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana

orang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk. Moralitas

pada dasarnya dipandang sebagai pertentangan (konflik) mengenai hal yang baik

disatu pihak dan hal yang buruk dipihak lain. Keadaan konflik tersebut

mencerminkan keadaan yang harus diselesaikan antara dua kepentingan, yakni

kepentingan diri dan orang lain, atau dapat pula dikatakan keadaan konflik antara hak

dan kewajiban.

Universitas Sumatera Utara

2. Pengertian Penalaran Moral

Kohlberg (dalam Glover, 1997), mendefinisikan penalaran moral sebagai

penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat

individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor

terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini

sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral

adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral

dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya.

Menurut Kohlberg (1981) penalaran moral adalah suatau pemikiran tentang

masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan

melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai

suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu

dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya

tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat

sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis

moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.

Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap

kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan

lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan

mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).

Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran

Universitas Sumatera Utara

moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah

sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu

terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.

3. Tahapan-tahapan Perkembangan Penalaran Moral

Kohlberg (Muslimin, 2004) menyatakan bahwa proses perkembangan

penalaran moral merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan

yang menuju ke arah struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih

seimbang dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Melihat pentingnya

perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian

psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg, memperluas penelitian Piaget

tentang penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang

terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional (Hasan, 2006).

Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang

terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat

tersebut kemudian dibagi atas enam tahap (Kohlberg, 1995).

a. Tingkat Prakonvensional

Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-

ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, atau benar dan salah. Akan

tetapi hal ini ditafsirkan dari segi menghindari hukuman atau untuk

mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasanya terdapat pada usia 4 sampai 10

tahun. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.

Universitas Sumatera Utara

Tahap 1) : Orientasi hukuman dan kepatuhan

Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya,

tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut.

Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk

pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal

yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa

hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang

didukung oleh hukuman dan otoritas.

Tahap 2) : Orientasi relativis-instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara

atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-

kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia

dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen

kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian

sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis.

Resiprositas ini merupakan hal ”Jika engkau menggaruk

punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan

bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.

b. Tingkat Konvensional

Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral

pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai

seorang individu ditengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsanya.

Universitas Sumatera Utara

Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena

jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Oleh karena itu,

kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan

aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok

sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah

takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Tingkat ini berkisar

usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap.

Tahap 3) : Orientasi kesepakatan antara pribadi / orientasi ”Anak Manis”

Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu

orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak

konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu

perilaku mayoritas atau ”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut

niatnya, ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya

menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi

”baik”. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima

kasih mulai dikenal. Individu mulai mengisi peran sosial yang

diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikatakan benar jika

memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika

melanggar aturan sosial.

Tahap 4) : Orientasi hukum dan ketertiban

Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara

keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik

Universitas Sumatera Utara

atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan

penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan

mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap

hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan

bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan

tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata

melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga

tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya

sendiri.

c. Tingkat Pasca-konvensional

Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada

tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip

moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas

kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas

pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau

buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan

masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Tahap ini sudah

dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Ada dua tahap pada tingkat ini.

Tahap 5) : Orientasi kontrak sosial legalistis

Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian.

Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak

Universitas Sumatera Utara

dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan

telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang

jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian

dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk

mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati

secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal ”nilai” dan

”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut

pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan

untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional

mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu

sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4).

Tahap 6) : Orientasi prinsip etika universal

Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-

prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada

komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis.

Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995)

tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang

dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.

4. Komponen Penalaran Moral

Universitas Sumatera Utara

Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal (dalam Kurtines

& Gerwitz, 1992). Adapun empat komponen utama penalaran moral yang

dikemukakan oleh Rest, antara lain :

1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan moral (mencakup

empati, berbicara selaras dengan perannya, memperkirakan bagaimana

masing-masing pelaku dalam situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan

tersebut).

2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, merumuskan suatu

rencana tindakan yang merujuk kepada suatu standar moral atau suatu ide

tertentu (mencakup konsep kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan

nilai moral sosial).

3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan dengan bagaimana

caranya orang memberikan penilaian moral atau bertentangan dengan moral,

serta memutuskan apa yang secara aktual akan dilakukan seseorang

(mencakup proses pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku

mempertahankan diri).

4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan yang berbobot

moral (mencakup ego-strength dan proses pengaturan diri).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral

Menurut Kohlberg (dalam Janssens, 1992), ada 3 faktor umum yang

memberikan kontribusi pada perkembangan penalaran moral yaitu :

Universitas Sumatera Utara

a. Kesempatan pengambilan peran

Perkembangan penalaran moral meningkat ketika seseorang terlibat dalam

situasi yang memungkinkan seseorang mengambil perspektif sosial seperti

situasi dimana seseorang sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan,

kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.

b. Situasi moral

Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan kewajiban yang

fundamental yang didistribusiakan dan melibatkan keputusan. Dalam

beberapa lingkungan, keputusan diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum,

atau figur otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan

didasarkan pada pertimbangan pada system yang tersedia (tahap 4 atau lebih

tinggi). Tahap penalaran moral ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi

orang untuk menunjukkan nilai moral dan norma moral.

c. Konflik moral kognitif

Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran moral seseorang

dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa studi, subjek bertentangan

dengan orang lain yang mempunyai penalaran moral lebih tinggi maupun

lebih rendah. Anak yang mengalami pertentangan dengan orang lain yang

memiliki penalaran moral yang lebih tinggi menunjukkan tahap

perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang berkonfrontasi

dengan orang lain yang memiliki tahap penalaran moral yang sama

dengannya.

Universitas Sumatera Utara

Interaksi antara orangtua dan anak dalam berbagai situasi menunjukkan 3

faktor umum di atas. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penalaran moral

anak (Jansens, 1992). Menurut Supeni (dalam Muslimin, 2004) faktor lain yang dapat

mempengaruhi perkembangan moral anak adalah keluarga. Kohlberg (dalam

Janssens, 1992) memandang bahwa pengaruh utama dari keluarga adalah pada

diskusi antara orangtua dengan anak mengenai nilai-nilai dan norma, dari pada

pengalaman anak sendiri akan disiplin, hukuman, dan hadiah dari orangtua.

Kohlberg juga menyatakan bahwa penalaran moral dipengaruhi oleh tahap

perkembangan kognitif yang tinggi (seperti pendidikan) dan pengalaman sosiomoral

(Glover, 1997). Pendidikan adalah prediktor yang kuat dari perkembangan penalaran

moral, karena lingkungan pendidikan yang lebih tinggi menyediakan kesempatan,

tantangan dan lingkungan yang lebih luas yang dapat merangsang perkembangan

kognitif (Rest, 1979)

Berdasarkan uraian di atas maka ada 5 faktor yang dapat mempengaruhi

perkembangan penalaran moral seseorang, yaitu kesempatan alih peran, situasi moral,

konflik moral kognitif, keluarga, dan pendidikan.

6. Pengukuran Penalaran Moral

Penalaran moral sangat diperlukan dalam kehidupan. Berdasarkan penelitian,

penalaran moral dapat diukur dengan menggunakan suatu alat ukur.

a. Penelitian yang dilakukan oleh Nashori (1995) tentang penalaran moral pada

30 orang siswa Sekolah Menengah Atas menggunakan Defining Issues Test

(DIT) sebagai alat untuk mengukur penalaran moral.

Universitas Sumatera Utara

b. Nichols dan Day (1982) meneliti perbandingan penalaran moral kelompok

dan individual pada mahasiswa Universitas Minnesota dengan menggunakan

Rest’s Defining Issues Test (DIT) untuk mengukur penalaran moral.

c. Martani (1995) melakukan penelitian tentang perkembangan penalaran moral

pada remaja, dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT) untuk

mengungkap penalaran moral 100 orang remaja.

d. Glover (1997) melakukan penelitian mengenai hubungan penalaran moral dan

religiusitas diantara kelompok anggota konservatif, moderat, dan liberal,

dengan menggunakan Defining Issues Test (DIT).

Menurut penelitian Davidson dan Robbins (dalam Rest, 1979) konsistensi

internal Alpha Cronbach pada DIT adalah diatas 0.70. Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan Rest’s Defining Issues Test (DIT) untuk mengukur penalaran moral

remaja delinkuen. DIT merupakan tes pilihan berganda yang bersifat objektif, disusun

berdasarkan teori perkembangan moral dari Kohlberg. Saat ini telah ada dua versi ,

yaitu DIT-1 dan DIT-2. Dalam penelitian ini digunakan DIT-1 bentuk pendek (Short

Form). DIT-1 terdiri dari 3 buah cerita atau dilema sosial yang menyangkut moral,

masing-masing disertai dengan 12 pernyataan. Setiap pernyataan ini mencerminkan

suatu tahap perkembangan moral tertentu atau tipe penalaran moral tertentu. Untuk

setiap pernyataan subjek harus memilih salah satu pertimbangan dari lima

pertimbangan yang ada, yaitu: sangat penting, penting, agak penting, kurang penting,

dan tidak penting. Selanjutnya adalah menentukan urutan (ranking), pernyatan mana

yang menurut subjek merupakan pernyataan terpenting pertama, terpenting kedua,

Universitas Sumatera Utara

terpenting ketiga dan terpenting keempat. Penalaran moral dalam penelitian ini

ditunjukkan melalui nilai P dari test DIT (Defining Issues Test). Nilai P menunjukkan

principle morality yaitu kemampuan seseorang untuk dapat memutuskan masalah

sosial menyangkut moral yang dihadapinya dengan mempertimbangkan prinsip-

prinsip moral yang dimiliki.

B. Keharmonisan Keluarga

1. Pengertian Keharmonisan

Kata harmonis menurut Nurhayati (2005) diartikan sebagai hal atau keadaan

selaras atau serasi. Keharmonisan dapat dilihat sebagai suatu bentuk keselarasan

secara keseluruhan yang dianggap mempunyai nilai positif. Keharmonisan menurut

Gunarsa (2003) selalu berkaitan dengan keadaan sebuah rumah tangga atau keluarga.

Jadi apabila didalam sebuah keluarga atau rumah tangga terdapat atau tercipta sebuah

keselarasan yang menciptakan kebahagiaan, maka keluarga tersebut dinyatakan

harmonis.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keharmonisan

adalah suatu keadaan atau kondisi yang terlihat selaras atau serasi yang dapat

menciptakan kebahagiaan jika terjadi dalam keluarga.

2. Pengertian Keluarga

Keluarga secara historis merupakan kelmpok primer yang terdiri dari ayah,

ibu dan anak. Menurut Berns (2004), sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri

Universitas Sumatera Utara

dan anak-anak disebut keluarga inti. Pada keluarga inti, suami dan istri saling

tergantung akan kebersamaan satu sama lain, dan anak-anak tergantung akan kasih

sayang dan sosialisasi dari orangtuanya.

Keluarga tradisional menurut papalia dkk (2004) adalah keluarga yang terdiri

dari suami, istri, dan anak biologis, namun secara institusi, keluarga lebih bersifat

universal. Pada Negara-negara Asia, keluarga lebih cenderung berbentuk keluarga

yang tradisional, sedangkan pada negara-negara barat, keluarga telah mengalami

banyak perubahan dari segi ukuran, komposisi dan struktur keluarga. Keluarga dapat

terdiri dari dua atau lebih orang yang berhubungan karena kelahiran, pernikahan, atau

adopsi yang tinggal bersama baik itu memiliki anak atau tidak (Berns, 2004).

Mc Whirter dkk (2004) menjelaskan bahwa keluarga lebih kepada suatu

sistem yang terdiri dari anggota keluarga yang saling terkait, diatur beberapa fungsi

dan saling mempengaruhi untuk menjaga terciptanya suatu kesimbangan. Kondisi

saling mempengaruhi yang ada dalam keluarga dapat berarti setiap anggota keluarga

akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh anggota keluarga lainnya. Berdasarkan

uraian yang telah di paparkan, dapat disimpulkan bahwa keluaga adalah suatu

kesatuan sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang saling

tergantung dan mempengaruhi satu sama lain.

3. Pengertian Keharmonisan Keluarga

Keharmonisan keluarga diungkapkan dengan berbagai istilah diantaranya

strong family, healthy family, happy family, dan keluarga sakinah. Kesemua istilah ini

mengacu pada adanya keterikatan atau hubungan yang positif antar anggota keluarga

Universitas Sumatera Utara

suasana yang nyaman, dan bahagia di dalam keluarga. Menurut Defrain dkk (dalam

Coombs, 2005) strong family didasari oleh hubungan emosional yang positif antara

anggota keluarga, sehingga tercipta rasa nyaman antara satu dengan yang lainnya dan

terjaminnya kesejahteraan tiap anggota keluarga. Hal ini senada dengan yang

dikemukakan oleh Hawari (1997) yang mengatakan bahwa keharmonisan keluarga

sesungguhnya terletak pada erat tidaknya hubungan silaturrahmi antara anggota

keluarga.

Basri (1999) mengartikan keharmonisan keluarga adalah suatu ikatan saling

ketergantungan diantara anggota-anggota keluarga yaitu antara orangtua dan anak-

anak, antara suami dan istri, sehingga menciptakan suasana membahagiakan dan

memuaskan di dalam keluarga. Keharmonisan keluarga (Gerungan, 1996) juga

diartikan sebagai kebahagiaan dan kepuasan dalam keluarga yang tercipta karena

adanya saling ketergantungan diantara anggota keluarga. Diharapkan dalam keluarga

berlangsung interaksi yang memuaskan dan membahagiakan antara orangtua dengan

anak, antara suami dengan istri.

Sebagai tambahan, Gunarsa (2004) juga menyatakan bahwa keluarga bahagia

adalah keluarga yang seluruh anggota keluarganya merasakan kebahagiaan yang

ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh

keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.

Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap

keadaan bahagia atau harmonis dan tidak bahagianya atau tidak harmonisnya salah

Universitas Sumatera Utara

seorang anggota keluarga yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pribadi-

pribadi lain dalam keluarga

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluarga

adalah suatu ikatan saling ketergantungan yang didasari dengan adanya hubungan

emosional yang positif antara setiap anggota keluarga sehingga tercipta suasana yang

nyaman dan menyenangkan serta bahagia bagi individu yang menjadi bagian dari

anggota keluarga.

4. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

John Defrain dan Nick Stinnet mengemukakan enam aspek keharmonisa

keluarga, yaitu:

a. Adanya apresiasi dan kasih sayang (Appreciation and affection)

Keluarga yang harmonis memiliki rasa peduli satu sama lain, dan membiarkan

anggota keluarga yang lain mengetahui perasaan mereka. Mereka tidak ragu-

ragu untuk mengekspresikan rasa cinta atau kasih mereka kepada anggota

keluarga lainnya baik secara verbal maupun nonverbal (dalam Coombs, 2005)

b. Komitmen (Commitment)

Keluarga yang harmonis umumnya berkomitmen bahwa keluarga adalah yang

utama atau diatas segalanya. Mereka tidak membiarkan pekerjaan mereka atau

unsur-unsur lain dari kehidupan mereka untuk mengambil waktu terlalu

banyak. Anggota keluarga berdedikasi/rela berkorban satu sama lainnya demi

kesejahteraan anggota keluarga lainnya, memberikan waktu dan energi

Universitas Sumatera Utara

mereka dalam kegiatan keluarga, mempertahankan pekerjaan mereka dan

pekerjaan rumah dibawah kontrol mereka (dalam Coombs, 2005).

c. Komunikasi yang positif (Positive communication)

Anggota keluarga yang harmonis mempunyai keterampilan berkomunikasi

yang baik yang berorientasi masalah, mereka dapat mengidentifikasi

kesulitan, dan menemukan solusi yang efektif untuk semua anggota keluarga.

Keluarga yang harmonis biasanya menghabiskan waktu untuk berbicara

dengan dan mendengarkan satu sama lain (dalam coombs, 2005).

d. Mempunyai waktu bersama keluarga (Enjoyable time together)

Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama

keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani

anak bermain dan liburan keluarga (dalam Coombs, 2005).

e. Terciptanya kesejahteraan spiritual (Spiritual well-being)

Orang-orang dalam keluarga harmonis menggambarkan spiritualitas dalam

berbagai cara, beberapa berbicara tentang keimanan terhadap Tuhan, harapan

atau rasa optimisme dalam hidup, beberapa yang lain mengungkapkan

spiritualitas dalam hal nilai-nilai etis dan komitmen (dalam Coombs, 2005).

Keluarga yang harmonis juga ditandai dengan terciptanya kehidupan

beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat

nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Landasan utama dalam kehidupan

keluarga berdasarkan ajaran agama adalah kasih sayang, cinta-mencintai dan

kasih-mengasihi. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga

Universitas Sumatera Utara

yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai

agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokan

dalam keluarga, dengan suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa

tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan

lain yang dapat menerimanya (dalam Hawari, 1997).

f. Kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (Succesful management of

strees and crisis)

Sebagian besar masalah di dunia ini dimulai atau berakhir di keluarga.

Kadang-kadang keluarga atau anggota keluarga secara tidak sengaja

menciptakan masalah dalam keluarga, dan kadang-kadang dunia menciptakan

masalah bagi keluarga, dan hampir selalu keluarga akan terjebak dengan

masalah tidak peduli apa penyebabnya. Dalam keluarga yang harmonis,

anggota keluarga memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik stres

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan kesulitan atau krisis yang terjadi

dalam kehidupan secara kreatif dan efektif. Mereka tahu bagaimana mencegah

masalah sebelum terjadi, dan bagaimana bekerja sama untuk menghadapi

tantangan yang pasti terjadi dalam hidup (dalam Coombs, 2005).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa aspek

keharmonisan keluarga meliputi adanya apresiasi dan kasih sayang (appreciation and

affection), komitmen (commitment), adanya komunikasi yang positif (positive

communication), mempunyai waktu bersama keluarga (enjoyable time together),

terciptanya kesejahteraan spiritual dalam keluarga (spiritual well-being), dan adanya

Universitas Sumatera Utara

kemampuan untuk mengatasi stres dan krisis (succesful management of strees and

crisis).

C. Remaja

1. Pengertian Remaja (adolescence)

Istilah Adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh

atau tumbuh menjadi dewasa (dalam Hurlock, 1980). Piaget (dalam Hurlock, 1980)

mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu

berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah

tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,

sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan

dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimulai saat anak secara seksual matang dan

berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Sedangkan menurut Monks

(2002) remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang

mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian

12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21

tahun masa remaja akhir.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Universitas Sumatera Utara

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja

meliputi :

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik

pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa

lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk

berperilaku-mengembangkan ideologi.

3. Ciri-ciri Masa Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (2002) maka terdapat

tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju

kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang

terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-

Universitas Sumatera Utara

perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan

sosial atau penolakan dan mulai membentuk kode moral sendiri tentang benar

dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan

buruk apa yang ditolak oaring lain. Pada tahap ini, sifat kritis terhadap ajaran

agama mulai timbul, karena ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima

saat masih kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja berda dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari

pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan

salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan

keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.

Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk

mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat

mempertanggungjawabkannya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan.

Individu mau diatur secar ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi.

Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman

atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum adan aturan

harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja

Universitas Sumatera Utara

sudah memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku

moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri.

4. Remaja Delinkuen

1. Pengertian Delinkuensi Remaja (Juvenile Delinquency)

Delinkuensi remaja atau biasa disebut dengan Juvenile Delinquency berasal

dari bahasa latin. Juvenile artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa

muda atau sifat-sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquent berasal dari

kata “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas

artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacu,

penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan sebagainya (Kartono 2003).

Berdasarkan etimologi tersebut, Kartono (2003) mengartikan delinkuensi remaja

atau juvenile delinquency sebagai perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, dan

merupakan gejala sakit atau patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja yang

disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga remaja tersebut

mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Bynum dan Thompson (2001) mendefinisikan delinkuensi remaja sebagai

perilaku ilegal serta pelanggaran, yang dapat dinilai oleh masyarakat sebagai suatu

penyimpangan. Perilaku menyimpang tersebut dapat diartikan sebagai perilaku yang

diterima oleh orang lain sebagai ancaman terhadap harapan orang banyak atau

Universitas Sumatera Utara

merugikan orang lain serta merugikan diri sendiri. Menurut Dacey dan Kenny (2001),

delinkuensi remaja adalah segala perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja. Perilaku

delinkuen disini menekankan pada kriminalitas dan aspek illegal dari suatu perilaku.

Aktifitas ilegal tersebut tidak semua mengarah kepada pelanggaran yang serius, hal

ini dikarenakan frekuensi, keseriusan dan kekronisan remaja melakukan dalam

melakukan perilaku tersebut berbeda-beda. Lebih lanjut Newman dan Newman

(2006) mengemukakan bahwa perilaku delinkuen merupakan masalah dari

eksternalisasi yang berhubungan dengan kesulitan dalam mengontrol dan mengatur

dorongan tertentu.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan remaja delinkuen adalah remaja

yang melakukan perilaku ilegal serta pelanggaran yang dapat dinilai oleh masyarakat

sebagai suatu penyimpangan, yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik

itu terhadap orang lain maupun dirinya sendiri, yang meliputi pencurian, perampokan,

penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, minum-minuman keras,

penyalahgunaan obat, maupun pembunuhan.

2. Karakteristik Remaja Delinkuen

Ada beberapa karakteristik yang terlihat pada remaja yang delinkuen.

Diantaranya adalah bahwa remaja yang delinkuen merasakan deprivasi

(keterasingan), tidak aman, dan cenderung dengan sengaja berusaha melanggar

hukum atau peraturan (Turner & Helms dalam Gunarsa, 2004). Penggunaan obat-

obatan terlarang dan putus sekolah merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

munculnya kenakalan remaja. Selain itu remaja delinkuen tidak menyukai sekolah

dan karenanya mereka seringkali membolos. Kegagalan akademis sendiri merupakan

salah satu kontributor dari delinkuensi (Santrock, dalam Gunarsa, 2004).

Menurut Cole (dalam Gunarsa, 2004) beberapa ciri kepribadian yang tampak

menonjol pada remaja delinkuen yaitu : bersikap menolak (resentful), bermusuhan

(hostile), penuh curiga, tidak konvensional (unconventional), tertuju pada diri sendiri

(self centered), tidak stabil emosinya, mudah dipengaruhi, ekstrovert dan suka

bertindak dengan tujuan merusak atau menghancurkan sesuatu. Banyak dari remaja

delinkuen juga implusif dan axcitable. Perbedaan mendasar yang mungkin terlihat

antara remaja delinkuen dan non delinkuen adalah dalam hal ketidakmatangan

emosional, ketidakstabilan, dan perasaan frustrasi pada remaja delinkuen yang

membuat remaja delinkuen tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik dirumah,

sekolah, dan masyarakat.

D. Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Penalaran Moral Remaja

Delinkuen

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi seorang anak

dalam proses perkembangannya, termasuk bagi proses perkembangan moral anak

(Hoffman dalam Santrock, 1996). Pada masa remaja, moral merupakan suatu

pedoman atau petunjuk bagi remaja dalam rangka mencari jalannya sendiri menuju ke

kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang

selalu terjadi pada masa remaja (Sarwono, 2010). Secara umum moral dapat

Universitas Sumatera Utara

dikatakan sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan yang salah, bertindak

atas perbedaan tersebut, dan mendapatkan penghargaan diri ketika melakukan yang

benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut (Hasan,

2006).

Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari moral adalah

bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001). Penalaran moral menurut

Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai

baik dan buruk atau benar dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan

jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan

jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan

bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).

Penalaran moral berkembang melalui tahapan tertentu. Kohlberg (1995)

menyatakan ada enam tahap perkembangan moral, dimana tahapan ini dibagi dalam

tiga tingkat, yaitu tingkat pre-conventional, tingkat conventional, dan tingkat post-

conventional. Menurut Kohlberg (1995), di usia remaja seorang remaja harus

mencapai tahap perkembangan moral ketiga, yaitu moralitas pascakonvensional

(postconventional morality) (Hurlock 1980). Individu yang telah mencapai tingkat

moralitas ini mendasarkan penilaian mereka terhadap norma dari harapan masyarakat

serta berorientasi pada dasar-dasar moral universal, yaitu hak ditentukan oleh

keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang

mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsistensi logis. Namun,

Universitas Sumatera Utara

Kohlberg (1995) juga menyatakan bahwa setiap individu dapat bergerak maju sesuai

tahap-tahap yang ada dengan kecepatan yang berbeda. Tetapi seorang individu dapat

saja berhenti pada suatu tahap tertentu dan dalam usia tertentu.

Banyak faktor yang mempengaruhi penalaran moral. Salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi penalaran moral adalah keluarga (Supeni dalam Muslimin,

2004). Peran aktif orangtua dalam membina hubungan yang serasi dan harmonis

antara semua anggota keluarga akan menciptakan hubungan yang baik di dalam

interaksi antar anggota keluarga. Interaksi yang tercipta dalam suatu keluarga akan

mempengaruhi individu dalam bersikap dan berperilaku, baik itu positif maupun

negatif (Beaver & Wright, 2007). Hal ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan

oleh Mc. Adams (dalam Diana & Retnowati 2009), yang menyatakan bahwa

kurangnya perhatian dan minimnya komunikasi dari orangtua kepada remaja

memberikan kontribusi besar pada penyimpangan perilaku remaja.

Pengalaman-pengalaman dan dinamika yang terjadi di dalam keluarga juga

secara kuat mempengaruhi sikap dan perilaku yang selalu konsisten dengan sesuatu

yang terjadi dan dipelajari di dalam keluarga (Cooll,Juhnke, Thobro, Haas &

Robinson, 2008). Perilaku agresi dan konflik kekerasan yang terjadi dalam keluarga

dapat berakibat negatif bagi perkembangan remaja. Jika kekerasan dan konflik

keluarga sudah menjadi kronis dan orangtua selalu merespon perilaku remaja dengan

kasar, negatif, dan pola asuh tidak konsisten, maka remaja akan merasa terabaikan

dan perilaku delinkuensi akan cenderung ditampilkan remaja (Whirter dkk, 2004).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 63% dari anak-anak delinkuen dalam

Universitas Sumatera Utara

suatu lembaga pendidikan berasal dari keluarga-keluarga yang tidak harmonis, tidak

teratur atau mengalami tekanan hidup yang terlalu berat (Stury, 1938). Meril dari

Boston (1949) juga melaporkan bahwa 50% dari anak-anak yang menyimpang

(delinkuen) berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Demikian pula menurut hasil

penelitian Lemabaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung (1959 dan 1960)

sekurang-kurangnya 50% dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak di

Tanggerang berasal dari keluarga yang tidak harmonis (Gerungan, 2004).

E. Hipotesis

Berdasarkan kajian pustaka maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai

berikut “ada hubungan positif antara keharmonisan keluarga dengan penalaran moral

pada remaja delinkuen”. Semakin rendah tingkat keharmonisan keluarga, maka

semakin rendah tingkat penalaran moral pada remaja delinkuen. Sebaliknya, semakin

tinggi tingkat keharmonisan keluarga, maka semakin tinggi tingkat penalaran moral

pada remaja delinkuen.

Universitas Sumatera Utara