bab ii landasan teori a. kerangka teori · 2019. 8. 1. · bank syariah meliputi 3 (tiga) kerangka...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
a. Pengertian Sengketa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah sesuatu
yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, pembantahan,
pertikaian, perselisihan, perkara.15 Kata sengketa, dalam Bahasa Inggris
sama dengan “conflict” atau “dispute”.16 Sengketa atau konflik
hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi tentang adanya perbedaan
kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih.17 Kosakata
“conflict” dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi konflik, sedangkan
kosa kata “dispute” diterjemahkan dengan kata sengketa.
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang
menjadi suatu sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya
memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik
berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak
yang merasa dirugikan telah, menyatakan rasa tidak puas atau
keprihatinannya, baik secara langsung maupun kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.18
15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahsa Indonesia Pusat Bahasa, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015, hlm. 1272
16 John.M.Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, Peberbit PT. Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 138.
17 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit Citra Media, Yogyakarta, 2006, hlm 3.
18 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1.
10
Literatur lain menyebutkan bahwa sengketa adalah pertentangan
atau konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (populasi sosial)
yang membentuk oposisi/pertentangan antara orang-orang, kelompok-
kelompok atau organisasi-organisasi terhadap satu objek
permasalahan.19
Konflik juga dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi
pertentangan atau antagonistic antara dua atau lebih pihak. Owen RG
menyatakan bahwa penyebab konflik adalah aturan-aturan yang
diberlakukan dan prosedur yang tertulis dan tidak tertulis yang
penerapannya terlalu kaku dan keras. Schuyt menyatakan bahwa
konflik adalah suatu situasi yang di dalamnya terdapat dua pihak atau
lebih yang mengejar tujuan-tujuan, yang satu dengan yang lain tidak
dapat diserasikan dan mereka dengan daya upaya mencoba dengan
sadar menentang tujuan-tujuan pihak lain. Robbins dan Hudge
mendefinisikan konflik sebuah proses yang dimulai ketika suatu pihak
memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif
sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama.
Sementara Flippo menyatakan20 perselisihan atau konflik terjadi jika
dua orang (kelompok) atau lebih merasa bahwa mereka mempunyai:
a). tujuan-tujuan yang tidak selaras,
b). kegiatan yang saling menguntungkan.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Dauglas, bahwa konfik
adalah suatu keadaan, bukan proses. Orang yang menentang
kepentingan, nilai atau kebutuhan berada dalam keadaan konfik, yang
mungkin laten (berarti tidak muncul ke permukaan, tidak
ditindaklanjuti ataupun diselesaikan). Konflik yang muncul ke
permukaan yang ditindaklanjuti ataupun diselesaikan, salah satu bentuk
19 DY Witanto, Hukum Acara Media, Penerbit Alfabeta, Bandung 2011, hlm. 2. 20 Pujiono, Eksistensi Model Penyelesaian Sengketa antara Nasabah dan Bank Syariah di
Indonesia, Penerbit SmartMedia, Surakarta, 2012, hlm. 67. 11
proses adalah (penyelesian) sengketa. Konflik bisa saja terjadi tanpa
perselisihan, tetapi perselisihan tidak bisa ada tanpa konflik. Sebuah
konflik tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa sengketa yang
memungkinkan untuk diselesaikan satu persatu, yang pada akhirnya
akan menyelesaikan konflik tersebut.
b. Pengertian Ekonomi Syariah
Ekonomi Syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah (penjelasan Pasal 49 huruf i),21
meliputi:
a). Bank syariah;
b). Asuransi syariah;
c). Reasurasi syariah;
d). Reksa dana syariah;
e). Obligasi syariah dan surat berjangka menengah syariah;
f). Sekuritas syariah;
g). Pembiayaan syariah;
h). Pegadaian syariah;
i). Dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah,
j). Lembaga keuangan mikro syariah
Bank Syariah meliputi 3 (tiga) kerangka pembiayaan:22
1). Pembiayaan ber-aqad Ijarah (jual beli)
Pembiayaan ini digolongkan sebagi pembiayaan yang bersifat
investasi, jenis produk yang dikeluarkan meliputi:
a). Al-Bai’u Bitsaman Ajil (jual beli dengan cara angsuran)
b). Al-Murabaha (jual beli dengan cara jatuh tempo)
c). Produk Ijarah (sewa menyewa)
21 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
22 M.Nijatullah Sidiqqi, Bank Islam, Penerbit Pustaka, Bandung, 1984, hlm.56 12
2). Pembiayaan ber-aqad Hasan (kebajikan)
Pembiayaan ber-aqad hasan adalah pembiayaan yang berorientasi
pada kebajikan, yaitu bank yang memberikan pembiayaan kepada
pihak-pihak yang tergolong dalam asnaf.
3). Pembiayaan ber-aqad Syarikah (kerjasama)
Digolongkan sebagai pembiayaan yang bersifat modal kerja, jenis
produk pembiayaan syarikah meliputi:
a). Pembiayaan Al-Mudharobah (pembiayaan dengan dana 100%
dari bank).
b). Pembiayaan Al-Musyarakah (pembiayaan dengan jumlah
modal sebagian antara pihak bank dengan pihak peminjam).
Sistem pengembangan produk di Bank Syariah dapat dilakukan
melalui 5 (lima) prinsip yaitu:23
a. Prinsip Wadiah (simpanan)
b. Prinsip Syarikah (bagi hasil)
c. Prinsip Tijarah (jual beli/ pengembalian keuntungan)
d. Prinsip Al Ajr (pengambilan fee)
e. Prinsip al-Qard (biaya administrasi)
Musyarakah berasal dari kata syirkah, yang artinya campur
atau percampuran.24 Maksud percampuran disini adalah seseorang
mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak
mungkin untuk dibedakan.
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
23 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Penerbit Azkia Publisher, Jakarta, 2002, hlm. 123
24 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Penerbit PT. Grafindo Perkasa, Jakarta, 2007, hlm. 125. 13
kesepakatan.25 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (13)26 yang
dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank
Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip
Syariah.
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu
bentuk pembiayaan rekening koran yang dijalankan berdasarkan
prinsip syariah.27 Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS)
Musyarakah dilakukan berdasarkan akad musyarakah dan boleh
disertai dengan wa'd (kesediaan atau janji dari satu pihak (lembaga
keuangan syariah) kepada pihak lain (nasabah) untuk
melaksanakan sesuatu). Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah
bertindak selaku mitra (syarik), yang masing-masing berkewajiban
menyediakan modal dan kerja.
Penyelesian sengketa ekonomi syariah di pengadilan merupakan
upaya terakhir (the last resort), apabila upaya penyelesaian sengketa di
luar pengadilan tidak berhasil. Penyelesaian di luar pengadilan dapat
ditempuh dengan beberapa alternatif seperti; konsultasi, negoisasi,
mediasi, konsilidasi, atau penilaian para ahli, dan arbitrase.
Penyelesaian sengketa menurut sistem ekonomi syariah tidak jauh
berbeda dengan penyelesaian sengketa menurut hukum Nasional.
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah berlandaskan hukum Islam
dapat dengan cara perdamaian (sulh/islah), arbitrase (tahkim) dan
pengadilan (al-Qadla).
25 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Penerbit Gema Insanai, Jakarta, 2001, hlm. 90.
26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 27 Fatwadewan Syari’ah NasionalNomor 55/DSN-MUI/V/2007 Tentang Pembiayaan Rekening
Koran Syariah Musyarakah 14
c. Penyelesaian Sengketa Jalur Litigasi (Lembaga Peradilan di Indonesia)
dan Penyelesaian Sengketa Jalur Non Litigasi (di luar Pengadilan)
1). Penyelesaian Sengketa Jalur Litigasi (Lembaga Peradilan di
Indonesia)
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk
mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary
system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola
sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution
bagi pihak-pihak yang bersengketa.28
Konsep Negara hukum yang dahulu dilaksanakan menganut
rechtaat sekarang dinetral menjadi Negara hukum, artinya konsep
Negara hukum sebelum amandemen ditegaskan dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan
“Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat)
tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat), akan tetapi setelah
amandemen pernyataan prinsip hukum dipindah kedalam kalimat
netral.”29
Penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan
kehakiman (judicial power) yang secara konstitusional disebut
badan yudikatif sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya di dalam:
28 Adi Sulistyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Penerbit Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta, 2007,hlm. 3-4
29 Ma’sun Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 48.
15
a). Lingkungan Peradilan Umum;
b). Lingkungan Peradilan Agama;
c). Lingkungan Peradilan Militer;
d). Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkkamah Konstitusi, sudah seharusnya
menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan
segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan sosiologis,
sehingga keadilan yang ingin dicapai diwujudkan,
dipertimbangkan dan dipertanggungjawabkan dalam putusan
hakim, yaitu keadilan yang berorentasi pada keadilan hukum
(legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan
masyarakat (social justice).30
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
Semua peradilan di seluruh Indonesia adalah peradilan Negara yang diatur dengan undang-undang
Jaman Hindia Belanda sesuai dualisme hukum, maka
pengadilan di bagi atas Peradilan Gubernemen dan Peradilan
Pribumi. Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak
dan di luar Jawa di lain pihak. Dibedakan peradilan untuk golongan
Eropa (Belanda) dan untk Bumiputera. Umumnya peradilan
Gubernemen untuk golongan Eropa pada tingkat pertama ialah
Raad van Justitie sedangkan untuk golongan Bumiputera ialah
Landraad. Raad van Justitie ini juga menjadi peradilan banding
untuk golongan pribumi yang diputus oleh Landraad. Hakim-
hakim pada kedua macam peradilan tersebut tidak tentu. Banyak
orang Eropa (Belanda menjadi Landraad), tetapi ada orang
30 Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct,) dalam Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 5.
16
Bumiputera di Jawa menjadi hakim Pengadilan Keresidenan yang
yurisdiksinya untuk orang Eropa.31
Pengadilan gubernemen untuk orang eropa:
a). Raad van Justitie;
b). Hoogerechtshof.
Pengadilan gubernemen untuk orang pribumi ialah:
a). Landraad;
b). Raad van Justitie.
Orang Bumiputera di Jawa dan Madura dikenal pengadilan:
a). Districtgerecht;
b). Regenschapgerecht;
c). Peradilan Swapraja ialah peradilan di daerah swapraja. Di
Jawa ada tiga peradilan swapraja, yaitu Surakarta, Yogyakarta
dan Mangkunegara, tetapi dibatasi subyeknya yaitu hanya
keluarga dekat dan pegawai raja, yang lain tunduk pada
Pengadilan Gubernemen;
d). Peradilan Pribumi ialah peradilan orang pribumi di daerah
yang diperintah langsung.
Orang Bumiputera di luar Jawa dan Madura juga dikenal beberapa
peradilan yaitu:
a). Negorijrecht (khusus Ambon);
b). Districtgerecht (khusus Bangka-Belitung), Manado, Sumatera
Barat, Tapanuli dan Banjarmasin-Ulu Sungai);
c). Magistraats gerecht;
d). Landgerecht.
31 Andi Hamzah, Komentar Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dikutip dari Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm.3
17
Masa pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan
sistem peradilan, kecuali hapusnya perbedaan golongan penduduk,
maka hapuslah Raad van Justitie sebagai peradilan Golongan
Eropa. Hal ini diatur di dalam Usama Serei Nomor 1 Tahun 1942,
yang waktu itu ialah:
a). Pengadilan Negeri (Tihoo Hoin);
b). Pengadilan Tinggi (Kotoo Hoin);
c). Pengadilan Agung (Saiko Hoin).
Susunan pengadilan ini diatur di dalam Usamu Serei Nomor 3
Tahun 1942. Pada setiap pengadilan tersebut ada kejaksanaan,
yaitu:
a). Saiko Kensatsu (Pengadilan Agung);
b). Kootoo Kensatsu Nyoko (Pengadilan Tinggi);
c). Tihoo Kensatsu Nyoku (Pengadilan Negeri).
Sesudah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 keadaan
tersebut dipertahankan dengan Pasal II Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang
berbunyi: “Segala badan Negara dan peraturan yang masih
langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”.
Pasal 24, Undang-Undang Dasar 1945, dasar peradilan yaitu:
a). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-
undang.
b). Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan undang-undang. Sebagai perwujudan Pasal 24,
Undang-Undang Dasar 1945, dibuatlah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang ini
18
menentukan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama,
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.32
Sudah seharusnya hakim dalam menjalankan tugasnya dalam
menegakkan hukum dan keadilan bebas dari segala tekanan dari
pihak manapun juga, sehingga dapat memberikan putusan yang
seadil-adilnya.33
32 Andi Hamzah, op.cit., hlm. 3-5. 33 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman, Pasca Amandemen Konstitusi, Penerbit Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 50. 19
Skema Penyelesaian Basyarnas
(Pasal 25, 27, 58 dan 59 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)
Keterangan:
Pasal 25 (1): Badan Peradian yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara Pasal 27 (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud Pasal 25.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Pasal 58: Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan Negara melalui arbitrase atau altenatif penyelesaian sengketa. Pasal 59: (1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
(3) Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa
Mahkamah Agung
Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Tinggi
Pengadilan Negeri
Pengadilan Agama
Putusan tidak dilaksanakan
BASYARNAS
20
Sistem Peradilan di Indonesia
1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi yang
memegang kekuasaan kehakiman di dalam negara Republik
Indonesia. Dalam trias politika,34 Mahkamah Agung mewakili
kekuasaan yudikatif. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945
(perubahan ketiga), Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Kedudukan Mahkamah Agung, berdasarkan Pasal 24 ayat
(1):35 Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Pasal 24A ayat (1):36 Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang. Pasal 28 ayat (1):37 Mahkamah Agung bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus: a) permohonan kasasi; b)
sengketa tentang mengadili; c) permohonan peninjauan kembali38
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
34 Montesquieu, The Spirit of Law: Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, terj. M. Khoiril Anam , Penerbit Nusa Media, 2015, Bandung, hlm. 62.
35 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 36 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 38 Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, karena bertentangan dengan azas
kepastian hukum (nebis in idem), artinya tidak boleh terjadi dua kali terhadap putusan yang sama antara dua pihak yang sama, dalam Ma’sun, op.cit, hlm. 100.
21
1.1 Peradilan Umum
a. Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang
berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan
Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus
oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi selaku salah
satu kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum
mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan
dalam dalam Pasal 51 menyatakan:39
(1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili
perkara pidana dan perkara perdata di Tingkat Banding.
(2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang
mengadili di Tingkat Pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di
daerah hukumnya.
Tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut diatas
pengadilan juga dapat memberikan keterangan,
pertimbangan, dan nasehat tentang hukum kepada Instansi
Pemerintah di daerahnya apabila diminta.40. Dan selain
tugas dan kewenangan diatas pengadilan dapat diserahi
tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan Undang-
Undang Pasal 52 ayat 2.41 Susunan Pengadilan Tinggi
dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah
hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri
39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilam Umum,
40 Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
22
atas Pimpinan (seorang Ketua Pengadilan Tinggi dan
seorang Wakil Ketua Pengadilan Tinggi), Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.
b. Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri (Pengadilan Negeri) merupakan
sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum
yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri
berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya.
Daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi wilayah
Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Negeri terdiri
dari Pimpinan (Ketua Pengadilan Negeri dan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris,
dan Juru Sita. Kewenangan Pengadilan Negeri sebagaimana
Pasal 6142: Dalam hal para pihak tidak melaksanakan
putusan Arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.
1.2. Peradilan Agama43
a. Pengadilan Tinggi Agama
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, mengatur tentang
42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa. 43 Peradilan Agama memiliki spesifikasi tersendiri, karena ketundukannya pada dua sistem
hukum yang berbeda, yaitu hukum syariah Islam dan hukum Negara dalam Jihadul Hayat dan Refky Fie Inanda, Peradilan Agama Era Reformasi Kedua setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1996, tentang Peradilan Agama, dalam artikel Panggung Hukum, Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia, Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta, vol.1, no.1, Januari 2015, hlm 127.
23
Pengadilan Agama menyatakan bahwa lingkup pengadilan
agama terdiri atas:
(1) Pengadilan Tinggi Agama sebagai badan peradilan
tingkat banding, bertempat kedudukan sama dengan
daerah pengadilan tinggi;
(2) Pengadilan Agama sebagai badan peradilan tingkat
pertama, bertempat kedudukan sama dengan pengadilan
negeri;
(3) Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang
berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan
tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki
tugas dan wewenang untuk mengadili perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat
banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas
dan berwenang untuk mengadili di tingkat pertama dan
terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan
Agama di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Agama
dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum
meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi
Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua),
Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Jadi tugas dan wewenang pengadilan tinggi agama
adalah:
24
(a). Mengadili perkara yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(b). Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di
daerah hukumnya.
b. Pengadilan Agama
Pengadilan Agama merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai
Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki
tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
(a). Perkawinan;
(b). Warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam;
(c). Wakaf dan shadaqah;
(d). Ekonomi syari'ah.44
Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-
Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau
Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari
Pimpinan (Ketua Pengadilan Agama dan Wakil Ketua
Pengadilan Agama), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris,
dan Juru Sita.
44 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
25
Hakim Pengadilan adalah Pejabat yang melakukan
tugas kekuasaan kehakiman45 yang mempunyai tugas
pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.46 Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
di masyarakat. Hukum yang sedang berkembang di
masyarakat termasuk hukum ekonomi syariah yang sudah
menjadi kewenangan peradilan agama, hakim mempunyai
tugas untuk menegakkannya dengan cara-cara yang telah
diatur dalam hukum acara peradilan agama..
Kebaikan dari sistem ini (jalur litigasi) adalah:
1) Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem
peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan
peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis
sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2) Biaya yang relatif lebih murah (salah satu azas peradilan
Indonesia adalah sederhana, cepat dan murah.47
Sedangkan kelemahan dari sistem ini (jalur litigasi) adalah:
1) Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki
pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri
45 Pasal 11 Undang-Undang 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
46 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 47 Pramono Sukolegowo, Efektivitas Sistem Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan di
Lingkungan Peradilan Umum, dalam artikel Dinamika Hukum, vol.8, no.1, Jan 2008, hlm. 34. 26
memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak,
pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke
Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga
butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum
tetap).
2) Hakim yang "awam" (hakim harus paham terhadap semua
jenis hukum). Namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada
bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut
harus belajar lagi, dikarenakan para pihak tidak bisa memilih
hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya akan
mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan
bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk
memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau
tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara.
apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa
tersebut. Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan
memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang
lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia,
Hakim wajib memerintahkan para pihak melaksanakan
mediasi48 untuk berdamai. Aspek damai dan kerukunan
menjadi tujuan utama.49 Perdamaian tidak tercapai, maka
pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan
perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian
bagi para pihak tetap terbuka. Para pihak sepakat untuk
berdamai, Hakim membuat akta perdamaian (acte van
daading), intinya berisi para pihak harus menaati akta
48 Ramdani Wahyu Sururie, Implementasi Mediasi dalam Peradilan Agama, dalam artikel Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, vol.12, no.2, Desember 2012, hlm.151.
49 Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 8.
27
perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara
ke pengadilan, jika perkara yang sama tetap diajukan ke
pengadilan maka perkara akan ditolak dengan alasan ne bis in
idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan dua kali),
karena akta perdamaian telah berkekuatan sama dengan
putusan yang final dan mengikat (tidak ada upaya hukum).
2). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Jalur Non-Litigasi (di luar
Pengadilan)
Penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau alternatif
penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR),
berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Alternative dispute resolution does not describe a single approach or method, but comprises many practise for settling dispute between parties. ADR methods fall into two major catagories: binding and consensual. binding methods, as the name indicates, result in outcomes that automatically bind the parties, whereas consensual methods allow the parties to help shape the agreement and require their join aprroval to take effect.50 Dasar hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-
litigasi) dapat disampaikan sebagai berikut:51
a). Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi Semua peradilan di
seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara
dan ditetapkan dengan Undang-Undang;
b). Pasal 1851 KUHPerdata: Perdamaian adalah suatu persetujuan
yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau
50 Scott H. Blackman&RebeccaM.Mc.Neill, Altenative Dispute Resolution in Commercial Intellectual Property Dispute, The American University Law Review, volume.47:1709,1998, p.1712
51 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Pengadilan Agama, Penerbit Kencana Prenandamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 438-440 .
28
menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu
perkara yang sedang diperiksa pengadilan maupun mencegah
timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis;
c). Pasal 1855 KUHPerdata: Setiap perdamaian hanya mengakhiri
perselisihan yang termaktub di dalamnya, entah para pihak
merumuskan maksud mereka secara khusus atau umum, entah
maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak dari apa
uang ditulis itu;
d) Pasal 1858 KUHPerdata: Di antara pihak-pihak yang
bersangkutan, suatu perdamain mempunyai kekuatan seperti
suatu keputusan Hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak
dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan
mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak
dirugikan;
e). Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berbunyi:
1). Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang didasarkan pada iktikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri.
2). Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung
oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan
tertulis.
3). Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas
29
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4). Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak
berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para
pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau
lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menujuk
seorang mediator.
5). Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi sudah dapat
dimulai.
6). Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari harus mencapai kesepakatan dalam
bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang
terkait.
7). Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan
di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penandatanganan.
30
8). Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.
9). Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka
para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
f). Ayat (7) dari Pasal 6 undang-undang ini mewajibkan
didaftarkannya perjanjian perdamaian di Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) sejak penandatangan.
Perjanjian tersebut bersifat final dan mengikat para pihak
untuk dilaksanakan dengan iktikad baik.
g). Perjanjian perdamaian yang dituangkan dalam sebuah Akta
Notaris merupakan akta autentik52.
Penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman, yakni a). konsultasi; b). negoisasi; c).
mediasi; d). konsiliasi; atau penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa berdasarkan Pasal 55 ayat (2)
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, ada tiga model penyelesain sengketa non
litigasi, yaitu:53
1). Musyawarah
Musyawarah merupakan salah satu bentuk alternative
penyelesaian sengketa di luar pearadilan. Musyawarah dapat
disamakan dengan proses negoisasasi. Kata negotiation dalam
52 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
53 Pasal 55 (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 31
bahasa Inggris yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu
berunding atau bermusyawarah.54 Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yaitu:55
a). Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau
organisasi ) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain.
b). Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan
antara pihak yang bersengketa.
Negotiation is the term referring to the efforts of the parties themselves to resolve an area of contention before resorting to calling in a third party and, as such, naturally precedes ADR or litigation.56
Menurut Joni Emiron, negoisasi dapat diartikan sebagai
upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses
peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas
dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.57 Menurut Fisher
dan Ury, negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang
untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak
ketiga, baik pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil
keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang
mengambil keputusan (ajudikator).58
Menurut Garry Goodpaster yang dimaksud negoisasi adalah
proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain,
suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan bervariasi
54 Abdul Manan, Penerapan Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Hukum Agama, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 171
55 Departemen, op.cit., hlm. 957 56 Carol Daugherty Rasnic, Alternative Dispute Resolution Ratherthan Litigation: A Look At
Current Irish And American Laws, Judicial Studies Institute Journal, 2004, p.183. 57 Abdul Manan,2006, op.cit.,hlm. 171. 58 Widyaningsih Widyaningsih, et, al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2005, hlm 228. 32
serta bernuansa sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai
orang. Musyawarah merupakan negoisasi yang lebih dikenal oleh
banyak pihak.59
Negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang
untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negoisasi
merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
mendiskusikan penyelesainnya tanpa keterlibatan pihak ketiga
sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil
keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
Terdapat beberapa teknik negoisasi yang dikenal, yaitu:60
1). Teknik Negoisasi Kompetitif
a). Diterapkan untuk negoisasi yang bersifat alot;
b). Adanya pihak yang mengajukan permintaan tinggi pada
awal negoisasi;
c). Adanya pihak yang menjaga tuntutan tetap tinggi
sepanjang proses;
d). Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatas;
e). Perunding lawan dianggap sebagai musuh;
f). Adanya pihak yang menggunakan cara-cara berlebihan
untuk menekankan pihak lawan;
g). Negoisator tidak memiliki data-data yang baik dan akurat.
2). Teknik Negoisasi Kooperatif
a). Menganggap negoisator pihak lawan sebagai mitra, bukan
sebagai musuh;
b). Para pihak menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama dan
mau bekerja sama;
59 Abdul Manan, Loc.it 60 Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: Negoisasi,
Mediasi, Konsilidasi dan Arbitrase, Penerbit Transmedia Pustaka, Jakarta, 2011, hlm. 19 33
c). Tujuan negoisator adalah penyelesaian sengketa yang adil
berdasarkan analisis yang obyektif dan atas fakta hukum
yang jelas.
3). Teknik Negoisasi Lunak
a). Menempatkan pentingnya hubungan timbal-balik antar
pihak;
b). Tujuannya untuk mencapai kesepakatan;
c). Memberi konsensi untuk menjaga timbal-balik;
d). Mempercayai perunding;
e). Mudah mengubah posisi;
f). Mengalah untuk mencapai kesepakatan;
g). Beresiko saat perunding lunak menghadapi seorang
perunding keras, karena yang terjadi adalah pola “menang
kalah” dan melahirkan kesepakatan yang bersifat semu.
4). Teknik Negoisasi Keras
a). Negoisator lawan dipandang sebagai musuh;
b). Tujuannya adalah kemengangan;
c). Menuntut konsesi sebgai prasyarat dari hubungan baik;
d). Keras terhadap orang maupun masalah;
e). Tidak percaya terhadap perunding lawan;
f). Menuntut perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan
(win-lose);
g). Memperkuat posisi dan menerapkan tekanan.
5). Teknik Negoisasi Interest Based
a). Sebagai jalan tengah atas pertentangan teknik keras dan
lunak, karena teknik keras berpotensi citra pecundang bagi
yang minor;
b). Mempunyai empat komponen dasar, yaitu people, interest,
option/solution, dan criteria.
34
2). Mediasi Perbankan
Mediasi, merupakan penyelesaian sengketa melalui
perundingan dengan dibantu oleh pihak luar yang tidak
memihak/netral guna memperoleh penyelesaian sengketa yang
disepakati oleh para pihak.61 Kamus Bahasa Indonesia, mediasi
adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu
perselisihan sebagai penasehat/mediator.62 Mediator adalah pihak
netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus suatu putusan.
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur
penengahan dimana seorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk
berkomunikasi antara pihak, sehingga pandangan mereka yang
berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin
didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu
perdamaian tetap berada ditangan para pihak sendiri-sendiri.63
Mediation introduces a neutral third party when negotiations have failed. The role of the mediator is not judgmental, nor does he/she take a position on behalf of one party or the other. The underlying principle is to permit the parties themselves to make the ultimate determination resolving the issue, with the mediator’s conciliatory assistance.64
Mediasi dipilih karena dianggap lebih efektif untuk
mengatasi soal pembiayaan litigasi yang besar, penundaan perkara
yang berlarut-larut dan tidak efisiennya litigasi.65 Unsur-unsur
esensial mediasi, yaitu:66
a). Mediasi murpakan cara penyelesaian sengketa melalui
61 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 3.
62 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 892. 63 Gatot Semartono, Arbitrase dan Mediasi, PT. Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 120. 64 Carol Daugherty Rasnic, op.cit, p. 183. 65 Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase Kearah Indonesia Yang Baru, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 13. 66 Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Penerbit PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2010, hlm. 13 35
perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus
para pihak;
b). Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak
memihak yang disebut mediator;
c). Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya
membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari
penyelesaian yang dapat diterima para pihak.
Dasar hukum mediasi perbankan adalah Peraturan Bank
Indonesaia Nomor 10/1/PBI/2008 tanggal 30 Januari 2008 tentang
perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan. Dalam melaksanakan fungsi mediasi
perbankan, Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau
rekomendasi penyelesaian sengketa kepada Nasabah dan Bank.
Pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan dengan cara
menfasilitasi Nasabah dan Bank untuk mengkaji kembali pokok
permasalahan sengketa secara mendasar agar tercapai kesepakatan.
Perjanjian mediasi memuat pernyataan kesepakatan Nasabah
dan Bank untuk menggunakan mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada
aturan mediasi. Aturan mediasi memuat kondisi-kondisi yang terkait
dengan proses mediasi, yaitu:67
a). Nasabah dan Bank wajib menyampaikan dan mengungkapkan
seluruh informasi penting yang terkait dengan pokok-pokok
sengketa dalam pelaksanaan mediasi;
b). Seluruh informasi dari para pihak yang berkaitan dengan proses
mediasi merupakan informasi yang bersifat rahasia dan tidak
dapat disebarluaskan untuk kepentingan pihak lain diluar pihak-
67 Badriyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hm.132.
36
pihak yang terlibat dalam proses mediasi yaitu pihak-pihak
selain Nasabah, Bank dan Mediator;
c). Mediator bersikap netral, tidak memihak dan berupaya
membantu para pihak untuk menghasilkan kesepakatan;
d). Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi adalah
kesepakatan secara sukarela antara nasabah dengan bank dan
bukan merupakan rekomendasi dan atau keputusan Mediator;
e). Nasabah dan Bank tidak dapat meminta pendapat hukum
maupun jasa konsultasi hukum kepada Mediator;
f). Nasabah dan Bank dengan alasan apa pun tidak akan mengajukan
tuntutan hukum terhadap Mediator, pegawai maupun Bank
Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan, baik atas
kerugian yang mungkin timbul karena pelaksanaan atau
eksekusi akta kesepakatan, maupun oleh sebab-sebab lain yang
terkait dengan pelaksanaan mediasi
g). Nasabah dan Bank yang mengikuti proses mediasi berkehendak
untuk menyelesaikan sengketa, Nasabah dan Bank bersedia:
(1). Melakukan proses mediasi dengan itikad baik;
(2). Bersikap koperatif kepada Mediator selama proses mediasi
berlangsung;
(3). Menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan tanggal dan
tempat yang telah disepakati.
h). Proses mediasi mengalami kebuntuan, sebagai upaya mencapai
kesepakatan, baik untuk sebagian maupun keseluruhan pokok
kesepakatan, maka Nasabah dan Bank menyetujui tindakan-
tindakan yang dilakukan Mediator, antara lain:
(1). Menghadirkan pihak lain sebagai narasumber atau sebagai
tenaga ahli untuk mendukung kelancaran mediasi atau;
(2). Menangguhkan proses mediasi sementara dengan tidak
37
melampaui batas waktu proses mediasi atau;
(3). Menghentikan proses mediasi.
i). Nasabah dan atau Bank melakukan upaya lanjutan penyelesaian
sengketa melalui proses arbitrase atau peradilan, Nasabah dan
Bank sepakat untuk:
(1). Tidak melibatkan Mediator maupun Bank Indonesia sebagai
pelaksana fungsi mediasi perbankan untuk memberi
kesaksian dalam pelaksanaan arbitrase ataupun peradilan
dimaksud;
(2). Tidak meminta Mediator maupun Bank Indonesia
menyerahkan sebagian dan keseluruhan dokumen mediasi
yang ditatausahakan Bank Indonesia, baik berupa catatan,
laporan, risalah, laporan proses mediasi dan atau berkas
lainnya yang terkait dengan proses mediasi.
j). Nasabah dan Bank berinisiatif untuk menghadirkan narasumber
atau tenaga ahli tertentu, maka nasabah dan bank sepakat untuk
menanggung biaya narasumber atau tenaga ahli;
k). Proses mediasi berakhir dalam hal:
(1). Tercapainya kesepakatan;
(2). Berakhirnya jangka waktu mediasi;
(3). Terjadi kebuntuan yang berakibat dihentikannya proses
mediasi;
(4). Nasabah menyatakan mengundurkan diri dari proses
mediasi;
(5). Salah satu pihak tidak mentaati perjanjian mediasi.
Proses mediasi dilaksanakan paling lama dalam jangka waktu
30 hari kerja terhitung sejak Nasabah dan Bank menandatangani
perjanjian mediasi sampai dengan penandatanganan akta
kesepakatan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 30 hari kerja
38
berikutnya berdasarkan kesepakatan Nasabah dan Bank yang
dituangkan secara tertulis.
2. Arbitrase Syariah
a. Pengertian Arbitrase
Arbitrase adalah sebagai salah pranata penyelesaian sengketa
(disputes) perdata (private) diluar pengadilan (non-litigation) dengan
dibantu oleh seorang atau beberapa orang pihak ketiga (arbiter) yang
bersifat netral yang diberi kewenangan untuk membantu para pihak
menyelesaikan sengketa yang sedang mereka hadapi. Arbitrase
dipandang sebagai pranata hukum penting sebagai cara
menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.68
Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa arbitrare (Latin),
arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman),
arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.69
Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang
wasit atau arbiter.70 Abdulkadir Muhammad mengatakan, arbitrase
merupakan badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan
umum, yang dikenal dengan khusus dalam dunia perusahaan.
Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara
sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.71
Menurut Teressa F. Frisbie:
68 Nurwidiatmo, Akibat Hukum Penggunaan Lembaga Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia, Suatu Analisis Normatif, dalam artikel Legalitas, Jurnal Penelitian Hukum, Vol.IV, no.2, Juli-Desember 2003, hlm. 169.
69 Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 1, dalam Pujiyono, opcit, hlm. 164-165.
70 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Libety, Yogykarta, 1999, hlm. 144.
71 Abdulkadir Muhammad,.Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 276.
39
Arbitration is a confidential, binding procedure by one or three private neutrals which involves somewhat less formality than court. 72 Arbitration is now firmly rooted as a primary mode of dispute resolution in international commercial transactions. Indeed, it has become the preferred method of dispute resolution, and slowly but surely, the drive to leave behind differences in national laws and to seek uniformity in international arbitration is getting stronger with each passing year. Its pervasion and recognition can be seen in the ever increasing establishment of new national arbitral institutions.73
Menurut Subekti, Arbitase adalah penyelesaian masalah atau
pemutusan sengketa oleh seorang arbiter atau para arbiter yang
berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau
mentaati keputusan yang diberikan oleh arbiter atau para arbiter yang
mereka pilih atau tunjuk.74
Arbitrators are subject to some level of ethical scrutiny in order to ensure the neutrality of arbitration processes. The principle of neutrality requires that arbitrators be independent and impartial to both the parties and the attendant subject matter of the arbitral dispute. the requirements of independence and impartiality “represent core obligations of an arbitrator.75
Perpektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah
“tahkim”.76 Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkam/hakkama’.77
Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai
pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian
72 Teresa F. Frisbie, Negotiating and Drafting the Disputes Resolution Clause in Major Agreements, Newsletter of The Chicago International Dispute Resolution Association, 2002, hlm. 2
73 Justice Quentin Loh, The Limits of Arbitration, McGill Journal of Dispute Resolution, (2014) Vol 1:1, p.67
74 R. Subekti, arbitrase perdagangan, Bandung, Binacipta, 1981, op.cit, hlm 1. 75 James Ng, When the Arbitrator Creates the Conflict: Understanding Arbitrator Ethics through
the IBA Guidelines on Conflict of Interest and Published Challenges, McGill Journal of Dispute Resolution, VOL 2 (2015-2016), 23, p.25
76 Ramlan Yusuf Rangkuti, Sistem Penyelesaian Sengketa Ekonomi Islam:Instrumen Penting Bagi Konsep Ekonomi Islam Mendatang, dalam artikel As-Syira’ah, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol.45,no.11, Juli-Desember 2011, hlm. 1436.
77 Widyaningsih, Bank dan asuransi Islam di Indonesia, Penerbit Penada Media, Jakarta, 2005, hlm. 286.
40
yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang
yang berselisih atau lebih, guna menyelesaikan perselisishan mereka
secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan hakam.78
Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra-Islam. Pada
saat itu meskipun belum terdapat sistem peradilan Islam yang
terorganisasi, setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak
waris, dan hak-hak lainnya sering kali diselesaikan melalui juru
damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa.
Lembaga perwasitan ini terus berlanjut dan dikembangkan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa dengan memodifikasi yang pernah
berlaku pada masa pra-Islam. Tradisi arbitrase ini lebih berkembang
pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk
menyelesaikan sengketa bisnis di antara mereka. Nabi Muhammad
sendiri sering menjadi mediator dalam berrbagai sengketa baik di
Mekkah maupun di Madinah. Ketika daerah sudah berkembang luas,
mediator ditunjuk dikalangan sahabat dan dalam menjalankan
tugasnya tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadist, dan
ijtihad menurut kemampuannya.79
Hukum Islam melembagakan tahkim sebagai tatanan yang
positif karena tahkim (arbitrase) mengandung nilai-nilai sebagai
berikut:
a). Kedua belah pihak menyadari sepenuhnya perlunya
penyelesaian yang terhormat dan bertanggung jawab;
b). Secara suka rela mereka menyerahkan penyelesaian
persengketaan kepada orang atau lembaga yang disetujui dan
dipercayainya;
78 Abdul Manan, op.cit., hlm. 429-430. 79 Abdul Manan, op.cit., hlm. 430-431.
41
c). Secara sukarela mereka melaksanakan putusan dan arbiter,
sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat
arbiter, kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus
ditepati (QS. Al-Isra’ ayat 34):80
Artinya: Dan janganlah kamu menghampiri harta anak yatim melainkan
dengan cara yang baik (untuk mengawal dan mengembangkannya), sehingga ia baligh (dewasa, serta layak mengurus hartanya dengan sendiri); dan sempurnakanlah perjanjian (dengan Allah dan dengan manusia), sesungguhnya perjanjian itu akan ditanya.
d). Mereka menghargai hak oran lain, sekalipun orang lain itu adalah
lawannya;
e). Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan
kebenaran yang mungkin ada pada orang lain;
An arbitrator is required to disclose to the parties, the arbitration institution or other appoint authority and the co-arbitrators those facts and circumstances that may, in the eyes of the parties, give rise to doubts as to the arbitrator’s impartiality or independence. In a corresponding duty, an arbitrator is required to make “reasonable enquiries to identify any conflict of interest, as well as any facts or circumstances that may reasonably give rise to doubts as to his or her impartiality or independence.81 f). Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran
bernegara/bermasyarakat, sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri (eigenrechting);
g). Sesungguhnya pelaksanaan tahkim/arbitrase itu didalamnya mengandung makna musyawarah dan perdamaian.
Berdasarkan definisi-definisi arbitrase di atas, dapat ditarik beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase, sebagai berikut:82 a). Adanya kontorversi diantara para pihak;
80 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm.425 81 James Ng, When the Arbitrator Creates the Conflict: UnderstandingArbitrator Ethics through
the IBA Guidelines on Conflict of Interest and Published Challenges, McGill Journal of Dispute Resolution, Vol. 2 (2015-2016), 23 p.27.
82 Munir Fuady, Op. Cit., hal. 13 42
b). Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter; c). Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan
tertentu; d). Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum; f). Dasar pengajuan sengketa ke arbitarse adalah perjanjian; g). Arbiter melakukan pemeriksaan perkara; h). Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan Putusan
arbitrase tersebut dan mengikat para pihak. Arbiter atau Majelis Arbitrase mengambil putusan berdasarkan
ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex-aequo et bono), jika hal itu secara tegas disepakati para pihak dalam perjanjian arbitrase.83
Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang diajukan secara tertulis oleh para pihak yang diselesaikan oleh pihak ketiga atau arbiter yang bersifat netral. Kewenangan arbiter diperoleh berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh para pihak. Sengketa hukum melalui arbitrase komersial merupakan sengketa di bidang perdagangan, artinya sengketa tersebut sepenuhnya merupakan sengketa para pihak, bukan sengketa yang bersifat publik. Keputusan yang dikeluarkan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.84 In investment treaty arbitration jurisdiction is generally based on an offer of consent to arbitration made by the states parties to a treaty. Most often the treaty is a bilateral investment treaty (“BIT”). That offer may be accepted by nationals of another state party to the treaty, often simply by starting arbitration proceedings. At the same time, the claimants typically rely on the substantive standards guaranteed by the treaty.85
b. Jenis Arbitrase
Arbitrrase terdiri dari arbitrase institusional dan arbitrase ad
83 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa: Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Penerbit Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2012, hlm. 58.
84 Moch. Basarah, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Tradisional dan Modern (Online), Penerbit Genta Publishing, Bandung, 2011, hlm. 15.
85 Christoph Schreuer, Jurisdiction and Applicable Law in Investment Treaty Arbitration, McGill Journal of Dispute Resolution, (2014) Vol 1:1, p. 2.
43
hoc.86 Arbitase institusional (institutional arbitration) merupakan
lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen sehingga
disebut “permanent arbitral body”, sebagaimana dalam Pasal 1 ayat
(2) Konvensi New York 1958. Arbitrase institusional sengaja
didirikan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi
mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.
Arbitrase ini merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk
menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.87
Arbitrase institusional tetap berdiri meskipun perselisihan yang
ditangani telah putus, sebaliknya, arbitrase ad hoc akan bubar dan
berakhir keberadaanya setelah sengketa yang ditangani telah putus.
Arbitrase institusional sebagai badan yang bersifat permanen
sekaligu disusun organisasinya serta ketentuan-ketentuan tentang
tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan
sengketanya. 88
Arbitrase dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:89
1). Pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan sengketanya
lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan
Negara yang bersangkutan, misalnya:
a) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI);
b) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI);
c) Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS);
d) Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI);
e) The American Arbitration Association;
86 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 102.
87 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm 151. 88 Suyud Margono, op.cit, hlm 124-125. 89 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta,2000, hlm 53-54. 44
f) Netherlands Arbitrage Institute;
g) The Japan Commercial Arbitration Association;
h) The British Institute of Arbitrators.
2). Arbitrase institusional yang bersifat Internasional, yaitu arbitrase
yang ruang lingkup keberadaan dan yuridisnya bersifat
internasional, misalnya:
a) The Court of Arbitration of International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris;
b) The International Centre fot the Settlement of Investment
Disputes(ICSID);
c) Singapore International Arbitration Centre (SIAC);
d) UNCITRAL Arbitration Rules (UAR).
3). Arbitrase institusional yang bersifat regional, yaitu arbitrase yang
ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan
regional, misal: Regional Centre for Arbitration yang didirikan
oelh Asia Afrika Legal Consultative Committee (AALCC)
Arbitrase ad-hoc (arbitrase volunteer) adalah arbitrase yang
dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan
tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya
tertentu sampai sengketa itu diputuskan.90
Para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana pelaksanaan
pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan
aparatur administratif dari arbitrase, karena proses pemeriksaan
arbitarse berlangsung tanpa adanya pengawasan atau peninjauan
yang bersifat lembaga, persetujuan para pihak terhadap metode-
metode pengangkatan arbiter yang cakap/kompeten dan
berpengalaman merupakan hal penting. Akibat kesulitan-kesulitan
yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan
90 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, op.cit, hlm 53. 45
aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan
metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah
pihak, para pihak seringkali memilih jalan penyelesaian melalui
arbitrase institusional.
Pasal 13 atar (2)91, pengertian arbitrase ad-hoc diadakan dalam
hal terdapat kesepakatan para pihak dengan mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri bukan sebagai syarat mutlak
untuk para pihak dalam menentukan arbiter yang akan
menyelesaikan sengketanya. Mengetahui dan menentukan apakah
arbitrase disepakati para pihak adalah jenis arbitrase ad-hoc, dapat
dilihat diklausula arbitrasenya yang menyatakan perselisihan akan
diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase
institusional. Klausula menyebutkan arbitrase akan menyelesaikan
perselisihan adalah arbitrase perorangan, arbitrase yang disepakati
adalah arbitrase ad-hoc, yang ciri-cirinya, penunjukan arbiter secara
perorangan. Para arbiter ditentukan sendiri dengan kesepakatan para
pihak.92
c. Keunggulan/kelebihan Arbitrase
Keunggulan/kelebihan arbitrase dibandingkan lembaga peradilan
dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bagian umum,
antara lain:
a) Dijamin kerahasian sengketa para pihak;
b) Dapat dihindari kelambatan yag diakibatkan karena hal procedural
dan administratif;
91 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 92 Suyud Margono, op.cit, hlm 153.
46
c) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan , pengalaman, serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e) Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.
Menurut Prof.Subekti, penyelesaian sengketa melalui arbitrase
atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan, yaitu dapat
dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan bersifat rahasia. Menurut
HMN Purwosutjipto, arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase)
adalah:93
a). Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat;
b). Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang
dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang
memuaskan para pihak;
c). Putusan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak;
Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak
mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang
bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, tata cara arbitrase yang ada pada
saat ini pada dasarnya merupakan koreksi terhadap prosedur peradilan
yang dianggap banyak memiliki kelemahan. Diciptakannya tata cara
penyelesaian sengketa bisnis secara arbitrase adalah akibat hal-hal di
93 Budy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm, diakses 14 April 2016, pukul 20.00 WIB.
47
bawah ini, khususnya bagi para pengusaha asing, misal:94
a). Para pihak (asing) ragu untuk mengajukan sengketanya di peradilan
nasional pihak lawan sengketa;
b). Para pihak (asing) khawatir peradilan nasional pihak lawan
bersikap tidak independen sehingga putusan yang diambil memihak
pihak lawan dan merugikan pihak asing; dan
c). Eksekusi putusan arbitrase pada umumnya lebih terjamin dengan
telah berlakunya Konvensi New York 1958 dan yang telah
diratifikasi oleh hampir semua negara industri dan negara-negara
berkembang.
d. Kelemahan Arbitrase
Arbitrase memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain:95
1). Mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak
harus sepakat, mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-
kadang memang sulit;
2). Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, dibeberapa
Negara, masalah tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan
arbitrase asing ini masih menjadi soal yang sulit;
3). Arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum (legal precedent)
atau keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya.
Sengketa yang telah diputus dibuang begitu saja, meski di dalam
putusan tersebut mengandung argumentasi-argumentasi hukum
para ahli-ahli hukum kenamaan. Karena tidak adanya preseden
hukum, logis kemungkinan timbulnya keputusan-keputusan yang
saling berlawanan;
4). Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang
94 Priyana Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam artikel Jurnal Hukum Bisnis 21 Oktober- November, 2002, hlm. 8
95 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Penerbit Rajawali Pers, Bandung, 1990, hlm.16-18
48
definitif terhadap semua sengketa hukum. Keputusan arbitrase
selalu bergantung, arbiter mengeluarkan keputusan yang
memuaskan para pihak;
5). Menurut Prof.Komar Kantaatmadja, ternyata arbitrase pun dapat
berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang
tinggi, terutama arbitrase luar negeri.
Stein menunjukkan beberapa keberatan dalam menyelesaikan
perselisihan melalui arbitrase, antara lain:96
a). Peradilan arbitrase tidak selalu lebih murah, bahkan biayanya bisa
lebih tinggi karena pihak-pihak yang ikut menyelesaikan arbitrase
tersebut perlu diberi honor;
b). Biaya atau honor bagi para arbiter tergantung kepada kompleksitas
masalah yang dihadapi serta mutu dan tingkatan arbitrernya,
khususnya yang berhubungan serta perikeadilannya yang relatif
menambah biaya yang diperlukan;
c). Sekalipun dalam arbitrase itu tidak disyaratkan adanya suatu
perwakilan dalam proses, namun kenyataannya dalam banyak
perkara yang saling berkaitan, pihak-pihak yang bersangkutan
pengacara;
d). Kemandirian dan tidak memihaknya seorang hakim pemerintah
telah dijamin oleh undang-undang, arbitrase lebih bersifat subjektif.
Para arbiter akan bertindak sebagai orang orang baik berdasarkan
keadilan (als goedemannen aar billijheid) belum ada. Di sisi lain,
putusan arbitrase memiliki ketergantungan yang mutlak pada
arbiter. Ketergantungan terhadap para arbiter merupakan suatu
kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat
diuji kembali (melalui proses banding), mengingat putusan
96 Sudiarto dan Zaeni Arsyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 65.
49
arbitrase bersifat final and binding.97
e. Arbitrase Syariah (Basyarnas)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam Pasal 1 angka 8 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Kewenangan arbitrase
menyelesaikan perbankan syariah dapat didasarkan atas kesepakatan
ketika membuat perjanjian (pactum de compromittendo) atau dibuat
ketika terjadi sengketa (akta kompromi).98 Pilihan ini lebih disebabkan
banyaknya kelebihan arbitrase dibandingkan proses litigasi.99
Dasar hukum Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) di
Indonesia yang berupa hukum positif, yaitu :
1). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Materi yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikelompokkan 10 (sepuluh) bab
yang diwujudkan dalam 82 (delapan puluh dua) pasal dan tujuh
bagian, dengan cakupan materi sebagai berikut :
a). Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai Pasal 5);
b). Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 6);
97 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 14-15.
98 Ngatino, Arbitrase, Penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 1999, hlm. 21. 99 M. Yahya Harahap, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
hlm. 20. 50
c). Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, Hak Ingkar (Pasal 7
sampai Pasal 26);
d). Acara yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase (Pasal 27
sampai Pasal 51); Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52
sampai Pasal 58);
f). Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 sampai Pasal 72);
e). Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73 sampai dengan Pasal 77);
g). Ketentuan Peralihan (Pasal 78 sampai dengan Pasal 79);
h). Ketentuan Penutup (Pasal 80 sampai dengan Pasal 82); dan
i). Dilengkapi dengan Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi
Pasal.
j). Undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 58 dan Pasal 59;
k). Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) Tahun 2006 Nomor 05, 06, 07 dan 08. Semua Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri
dengan ketentuan : “Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syariah setelah tidak tercapai melalui musyawarah”.
Dalam Al Quran, dasar hukum Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) ada pada surat Al Hujarat ayat 9:100
100 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 840. 51
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Al-Quran surat An Nisa ayat 35:101
ھلھا إن یریداوإن خفتم شقاق بینھما فابعثوا حكما من أھلھ وحكما من أ كان علیما خبیرا بینھما إن الله إصلاحا یوفق الله
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau
kehendak Allah, kehendak Rosul dan kehendak Ulil Amri yakni orang
yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa
ketetapan ini tertulis dalam Al Quran, kehendak Rosul berupa sunah
yang terhimpun dakam kitab-kitab hadist, kehendak “penguasa” kini
dimuat dalam peraturan perundang-undangan.102
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) merupakan
lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara pihak-
101 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., hlm. 123. 102 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 67 52
pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah di luar jalur
pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya
musyawarah tidak menghasilkan mufakat.
Hal ini ditetapkan dalam Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana
Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah, yang menyebutkan bahwa :
(1) Dalam hal satu pihak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan di antara Bank
dan Nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui
musyawarah;
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat
dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan
arbitrase.
Yang menjadi titik penentu lembaga arbitrase mana yang
berwenang menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah adalah
merujuk kepada klausula perjanjian yang disebutkan dalam perikatan
antara Nasabah dengan Bank Syariah.
Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) bersifat
final dan mengikat (binding). Untuk melakukan eksekusi atas putusan
tersebut, penetapan eksekusi diberikan oleh Pengadilan Negeri.
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah cikal
bakal Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Lembaga ini
didirikan berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia (SK
MUI) No. Kep-392/MUI/V/1992, bersamaan dengan pendirian Bank
Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuannya untuk menangani
sengketa antara Nasabah dengan Bank Syariah tersebut.103
Tahun 2003, beberapa Bank atau Unit Usaha Syariah (UUS) lahir sehingga Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah
103 “Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional”, http://www.hukumonline.com, diunduh tanggal 15 April 2016, pukul 20.00 WIB.
53
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), perubahan tersebut berdasarkan atas Keputusan Rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, memungkinkan penyelesaian sengketa yang timbul pada perbankan syariah dapat dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.104
Secara materil substansial Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah memunculkan kembali kompetensi absolut peradilan umum terhadap sengketa ekonomi syariah yang sebelumnya telah dilimpahkan kepada Peradilan Agama. Penyelesaian sengketa selain melalui peradilan agama (mediasi, arbitrase dan peradilan umum) sangat tergantung terhadap kontrak yang dibuat ketika Nasabah dan Bank melakukan transaksi perbankan. Seperti halnya dalam sengketa perbankan konvensional, penanganannya sangat tergantung kepada kontrak yang dibuat.105
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah suatu lembaga arbitrase yang berprinsip syariah. Syariah (syari’at) adalah norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam baik berhubungan dengan Allah maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam masyarakat.106
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
104 Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah: (1) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaiman dimaksud ayat (1), sesuai Akad.
105 www.badilag.net, diunduh tanggal 16 April 2016, pukul 21.00 WIB 106 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2006, hlm. 236. 54
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:107 Upaya penyelesaian
sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan, bahwa:
(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak.
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan
negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Sebelum tanggal 12 Agustus 1999 ketentuan yang dipergunakan
sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615-651
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad
1847:52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het
Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705
Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).108
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan
Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
ialah lembaga hakam yang bebas, otonom dan independen, tidak boleh
dicampuri oleh kekuasaan dan pihak-pihak manapun. Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) adalah perangkat organisasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN),
Lembaga Pengkajian, Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (LP-
107 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 108 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek
Hukumnya), Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 20. 55
POM), Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (YDDP). A.Rahman
Ritonga yang menyatakan bahwa Basyarnas merupakan badan hukum
yang berbentuk yayasan, bertugas menyelesaikan sengketa dalam
masalah muamalah/perdata yang menyangkut bidang perdagangan,
industri, keuangan, jasa, dan lain-lain.109
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) memiliki
keunggulan-keunggulan, diantaranya:110
a). Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena
penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;
b). Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena
ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise);
c). Proses pengambilan putusannya cepat, dengan tidak melalui
prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
d). Para pihak menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara
sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya, sehingga
para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter
sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter,
karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap janji
itu harus ditepati;
e). Proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan
musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan
keinginan nurani setiap orang;
f). Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui
Bank Muamalat Indonesia maupun Bank Perkreditan Rakyat Islam,
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) akan memberi
peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman
109 A. Rahman Ritonga, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2000, hlm. 163
110 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 167-168.
56
penyelesaian perkara, karena di dalam setiap kontrak terdapat
klausul diberlakuannya penyelesaian melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas).
Beberapa kelemahan-kelemahan arbitrase, antara lain:
a). Perkembangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang
belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya perkembangan
lembaga keuangan syariah di Indonesia dalam hal manajemen dan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Apabila dibandingkan
dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang relatif baru
berdiri, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) masih harus
berbenah diri. Menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat,
performance yang baik, mempunyai gedung yang representatif,
administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap melayani
para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu
penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan;
b). Sosialisasi lembaga yang masih terbatas, terkait penyebarluasan
informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase
syariah;
c). Keterbatasan raringan Kantor Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) di daerah menjadi kelemahan Badan Arbitrase,
pengembangan jaringan Kantor Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan
pelayanan kepada masyarakat.
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai Lembaga
Arbitrase Islam tidak bisa dilepaskan dengan adanya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan
Asuransi Tafakul sebagai lembaga keuangan yang berdasarkan prinsip
syariah. Perkembangan bank berdasarkan prinsip syariah, secara yuridis
57
formal telah mendapatkan legitimasi yang kuat. Setelah diberlakukan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Konvensional
di Indonesia diizinkan untuk membuka Islamic Window untuk
menawarkan di dalam usaha perbankannya, di samping dengan sistem
konvensional, juga dibolehkan dengan sistem syariah.111
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang dulunya
bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)112
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengantisipasi kemungkinan
timbulnya sengketa dalam bidang muamalat di kalangan umat Islam
yang diakibatkan oleh semakin berkembangnya tingkat kehidupan
masyarakat Indonesia. Di samping itu mempunyai arti penting bagi
umat Islam sekaligus sadar telah beribadah kepada Allah SWT dengan
mengamalkan dan menegakkan hukum atau syariah Allah SWT
khususnya bidang muamalat.113
Berlakukanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 81 undang-
undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam ketentuan tersebut
terhitung sejak tanggal diundangkannya. Ketentuan yang berhubungan
dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada
ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, meskipun secara lex spesialis
ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 yang merupakan
pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
111 Sutan Remy Syahdeni, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Penerbit PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1999, hlm. XVII
112 Parman Komarudin, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Jalur Non Litigasi, dalam artikel Al-Iqtishadiyah, Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, Vol.I, issue I, Des 2014, hlm 94.
113 Achmad Djauhari, Arbitrase Syariah dan Eksistensinya, Basyarnas, Penerbit Badan Penerbit FHUI (UI Press), Jakarta, 2004, hlm. 31.
58
Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai
penanaman modal (International Centre for the Settlement of
Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan Presiden Nomor
34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York Convention 1958 dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990.114
Lembaga peradilan mempunyai kewenangan (competentie) yang
terdiri dari kewenangan mutlak (absolute competentie) dan kewenangan
relatif (relative competentie). Kewenangan mutlak adalah menyangkut
pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari
macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk
mengadili (attributie van rechtsmacht).115 Kewenangan relatif mengatur
pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa
(distributie van rechtsmacht). Kewenangan relatif ini berkaitan dengan
wilayah hukum suatu pengadilan.116
Pasal 11 ayat (1)117 yang menyatakan Adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke pengadilan negeri. Sebaliknya, badan-badan peradilan
negara tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang timbul
dari suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase.
Pasal 3 dinyatakan bahwa:118 Pengadilan Negeri tidak berwenang
untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Klausul arbitrase memberi kewenangan untuk menyelesaikan
perselisihan yang timbul dari perjanjian menjadi jatuh ke dalam
kewenangan absolut arbitrase. Sehingga kalaupun para pihak tetap
mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke lembaga peradilan
114 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. V-VI.
115 Retnowulan Sutantio dan Iskandar OeripkartaWijanata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 11
116 Loc.it 117 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 118 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
59
negara, pengadilan bersangkutan wajib menolaknya dengan
menyatakan tidak berwenang mengadilinya. Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengadilan negeri
wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa kembali perkara
yang sudah dijatuhkan putusan Basyarnas, kecuali apabila ada
perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan
arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu
melanggar ketertiban umum. Pengadilan Agama harus menghormati
lembaga Basyarnas, tidak turut campur, kecuali dalam pelaksanaan
suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan. Menurut
Muh. Nasikhin, sengketa perbankan syariah yang diselesaikan
Basyarnas, maka pengajuan permohonan pembatalan terhadap putusan
Basyarnas tersebut ke Pengadilan Agama.119
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai Lembaga
Arbitrase Islam, merupakan badan yang berada di bawah Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI), yang mempunyai kewenangan dalam upaya
penyelesaian sengketa bisnis para pihak sesuai dengan Peraturan
Prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengenai kegiatan ekonomi syariah,
maka sebagian besar Fatwa tersebut mencantumkan ketentuan
penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas). Secara prinsip, dimasukkannya ketentuan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Fatwa merupakan suatu pemikiran
119 Muh. Nasikhin, Perbankan Syariah & Sistem Penyelesaian Sengketanya, Penerbit Fatawa Publishing, Semarang, 2010, hlm. 140.
60
yang baik. Pelaku usaha Syariah akan memperoleh perlindungan hukum
dari para arbiter yang sangat memahami ekonomi Syariah. Dengan
demikian kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
semakin kuat dengan adanya anjuran dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tersebut.
Tata hukum Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) sebagai lembaga arbitrase Islam mempunyai kedudukan
yang kuat karena hukum positif yang berlaku saat ini yaitu Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, telah mengatur kemungkinan suatu lembaga
lain di luar lembaga peradilan umum dapat menyelesaikan suatu
sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 menyatakan
bahwa:120 Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau
yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu klausul
kesepakatan yang terdiri atas 2 (dua) bentuk, yaitu:121
a). Pactum de compromitendo, yaitu klausul arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, dapat juga bersamaan dengan saat pembuatan
perjanjian pokok atau sesudahnya, artinya perjanjian perjanjian
arbitrase tersebut menjadi satu dengan perjanjian pokoknya atau
dalam perjanjian tersendiri di luar perjanjian pokok.
b). Acta compromitendo, yaitu suatu perjanjian arbitrase yang dibuat
oleh para pihak setelah timbul sengketa (acta compromitendo/akta
kompromis), sehingga klausul atau perjanjian arbitrase ini dapat
dicantumkan dalam perjanjian pokok atau pendahuluannya atau
dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbul sengketa yang
berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada lembaga
120 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 121 Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Penerbit
PT. Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm.142-143 61
arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2)122 ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”
adalah upaya melalui:
a). Musyawarah;
b). Mediasi perbankan;
c). Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain, dan/atau
d). Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan Pasal 55 ayat (2)123, jika dipahami berdasarkan teori
hukum perjanjian, maka ketentuan tersebut adalah terkait adanya asas
kebebasan berkontrak.124
Bentuk dan isi perikatan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah
disepakati bentuk dan isinya, perikatan para pihak menyepakatinya dan
harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya, kebebasan ini tidak
absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka
perikatan tersebut boleh dilaksanakan.125
Penyelesaian sengketa melalui Basyarnas merupakan pilihan-
pilihan pihak, baik antara Nasabah dengan Perbankan Syariah atau
Pelaku Ekonomi lainnya berlandaskan prinsip-prinsip syariah maupun
antar sesama perbankan syariah. Sebelum mengajukan pilihannya,
tentunya dilandasi dengan saling percaya institusi mana yang lebih
layak untuk diselesaikan perkara yang ingin diajukan kepadanya.126
122 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 123 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 124 Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan, “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 125 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hlm.31. 126 Wahyu Nugroho, Efektifitas Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Kator Pusat Badan
Arbitrase Syariah Nasional Jakarta, Jurnal Kewirausahaan, Vol 3 No.2 Juli-Desember 2012, hlm. 61-62.
62
Sistem arbitase pada dasarnya adalah inisistif kemampuan para
pihak, termasuk dalam hal melaksanakan isi putusan arbitrase.
Penyelesaikan di Basyarnas adalah percaya, dan dengan itu pula orang
akan melaksanakan isi dari putusan arbitrase. Kalau ternyata pihak yang
kalah, tidak legowo melaksanakan isi putusan, baru pihak yang menang
mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri berdasarkan
perintah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.127
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Kata “semua” dipahami mengandung asas
kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk: 128
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan;
d) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.
Perjanjian atau klausul arbitrase syariah menjadi dasar hukum
bagi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sekaligus menjadi
kompetensi absolut untuk menerima, memeriksa, dan memutus
sengketa yang telah diserahkan kepadanya.
Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
diatur dalam Pasal 1 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas), yakni :
a) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata)
yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain
lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak
sepakat secara tertulis untuk meyerahkan penyelesaiannya kepada
127 Achmad Djauhari, op.cit., hlm. 65, 128 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2004, hlm. 9. 63
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan
prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
b) Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak
tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan
suatu perjanjian.
Berikut prosedur beracara dalam Basyarnas:
a). Pendaftaran
1). Sebelum sengketa, dengan mencantumkan “Arbitrase Clause”
atau perjanjian arbitrase yang terpisah dari perjanjian pokok;
2). Setelah Sengketa.
b). Prosedur Penyelesaian
1). Pendaftaran surat permohonan arbitrase yang memuat nama
lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak,
uraian singkat tentang sengketa dan tuntutan.
2). Dengan melampirkan perjanjian khusus yang menyerahkan
penyelesaian sengketa kepada Basyarnas atau perjanjian pokok
yang memuat arbitration clause;
3). Penetapan/penunjukan arbiter (tunggal/majelis);
4). Penawaran perdamaian yang apabila diterima maka arbiter
membuat akta perdamaian dan apabila tidak diterima maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan;
5). Pemeriksaan sengketa;
6). Putusan Arbitrase.
c). Eksekusi Putusan Basyarnas
1). Putusan yang sudah ditandatangani arbiter bersifat final;
2). Salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan ke panitera
pengadilan tingkat pertama
3). Bilamana putusan tidak dilaksanakan secara sukarela maka
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan tingkat
pertama.
64
f. Putusan Basyarnas Berkekuatan Hukum Tetap
Pasal 59 ayat (2)129 menyatakan Putusan Arbitrase bersifat final
dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Ayat (3): Dalam hal para pihak tidak melaksanakan Putusan
Arbitase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah
Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.
Pasal 60 mengatakan:130 Putusan bersifat final dan mempunyai
kekuatan tetap dan mengikat para pihak. Pasal 61: Dalam hal para pihak
tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan
mengikat. Teorinya, setelah ada putusan arbitrase tidak ada upaya
hukum lain yang bisa diajukan oleh pihak yang kalah dan pihak yang
menang tinggal menjalankan eksekusi ataupun membatalkan putusan
arbitrase.
g. Putusan Non Eksekutabel
Putusan Non Eksekutabel merupakan suatu putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap tetapi tidak dapat dilakukan eksekusi.
Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dinyatakan
non eksekutabel oleh Ketua Pengadilan apabila:131
1). Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif. Putusan
deklaratoir132 yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu
kedaaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum. Sementara
129 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 130 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 131 http://www.gresnews.com/berita/tips/822310-putusan-non-executable/0/ 132 Sunarto, Peran Aktif Halim dalam Perkara Perdata, Penerbit Prenadamedia, Jakarta 2014,
hlm.199 65
putusan bersifat konstitutif133 yaitu putusan yang amarnya
menciptakan suatu keadaan baru;
2). Barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan
Tergugat/Termohon eksekusi. Apabila obyek eksekusi berada di
tangan pihak ketiga maka dapat diajukan non eksekutabel;
3). Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang yang
disebutkan di dalam amar putusan;
4). Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksanakan;
5). Ketua Pengadilan tidak dapat menyatakan suatu putusan non
eksekutabel sebelum seluruh proses atau acara eksekusi
dilaksanakan, kecuali, yang tersebut pada butir 1. Penetapan non
eksekutabel harus didasarkan pada Berita Acara yang dibuat oleh
juru sita yang diperintahkan untuk melaksanakan (eksekusi)
putusan tersebut;
6). Penetapan non eksekutabel bersifat final dan tidak dapat diajukan
keberatan
3. Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan
Peranan Hakim, mewujudkan kepastian hukum (rechtssicherkeit),
keadilan(gerechtigkeit) dan kemanfaatan (zweck-maeszigkeit)134 dapat
dilihat dari putusan-putusan yang telah dijatuhkan. Hakim mempunyai
tugas menegakkan kebenaran dan keadilan serta dalam tugasnya wajib
selalu menjunjung hukum.135
a. Kepastian hukum (rechtssicherkeit) Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti, mengatur secara jelas dan logis. Jelas, artinya tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis, artinya sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan
133 Sunarto, op.cit, hlm. 199. 134 Sudikno dan A.Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Yogyakarta, 1993, hlm. 1 135 Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya
Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, dalam artikel Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm. 1
66
atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang subjektif. Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut hukum dilaksanakan dan tuntutan harus dipenuhi.
Van Kan kaitannya dengan kepastian hukum menyatakan, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum pergaulan manusia. Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam, yaitu: 1). Kepastian oleh karena hukum dalam arti hukum menjamin
kepastian pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain , artinya adanya konsistensi penerapan hukum untuk semua orang tanpa pandang bulu.
2). Kepastian dalam atau dari hukum artinya kepastian hukum tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid), dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup)136 Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
b. Keadilan Hukum (gerechtigkeit)
Keadilan Hukum, merupakan hasil pengambilan keputusan yang
mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggungjawabkan
136Putu Evarini Kartika, PenyertipikatanTanah Tegak bale banjar sesuai dengan nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, dalam artikel Tesis, Program Studi magister kenotariatan, program pasca sarjana fakultas hukum universitas hasanuddin, makasar 2012, hlm. 43
67
dan memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang sama
didepan hukum (equality before the law). John Rawls, memandang
prinsip keadilan sebagai fairness137 yaitu subjek utama keadilan adalah
struktur dasar masyarakat, dengan kata lain keadilan sebagai fairness
mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional
yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya
hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan
memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka
untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. Keadilan John
Rawls, pertama menghendaki keadilan yang mengutamakan pada hak
daripada manfaat keadilan itu sendiri, kedua keadilan lebih
mengutamakan manfaat daripada haknya. Hakim dalam pertimbangan
hukumnya harus mampu mengambarkan itu semua, manakala memilih
asas keadilan sebagai dasar memutus perkara yang dihadapinya.
Thomas Aquinas138, mengelompokkan keadilan menjadi dua,
yaitu: 1). Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak undang-
undang yang ditunaikan demi kepentingan umum; 2). Keadilan khusus,
yaitu keadilan didasarkan pada asas kesamaan atau proposionalitas.
Prinsip-prinsip keadilan dipilih dalam keadaan tanpa pengetahuan. Adil
dalam pembagian nilai-nilai sosial, jelas bukan merupakan hal yang
rasional untuk menerima kekurangan nilai sosial, maka satu-satunya
yang masuk akal baginya untuk menerima kekurangan nilai sosial
adalah mengakui prinsip-prinsip keadilan.139 Sudikno Mertokusumo
yang menyatakan, hakikat keadilan adalah suatu pernilaian dari
seseorang kepada orang lain, yang umumnya dilihat dari pihak yang
137 John Rawls, Teori Keadilan, dalam Ufian, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Penerbit Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm 28-29.
138 Nursidik, Kebenaran dan Keadilan dalam Putusan Hakim, dalam artikel Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi 74, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Jakarta, 2011, hlm. 139
139 Hans Kelsen, Teori hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), terj. Raisul Muttaqien Penerbit Nusa Media, Bandung, 2008, hlm 182
68
menerima perlakuan saja. 140 Keadilan menurut Plato merupakan nilai
kebajikan tertinggi, justice is the supreme virtue which harmonize all
other virtues, selain itu keadilan sebagai tujuan yang kontinyu dan
konstan untuk memberikan kepada setiap orang haknya, justice is the
constant and continual purpose which gives to everyone his own.141
Pasal 2 ayat (2):142 Peradilan Negara menerapkan dan
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Pasal 4 (1):143
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang; ayat (2): Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 5 ayat (1):144
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
c. Kemanfaatan (zweckmaeszigkeit)
Kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi.145 Secara etimologi, kata
"kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut kamus
Bahasa Indonesia146, berarti faedah atau guna. Dasar pemikirannya
bahwa hukum adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu
tujuan hukum yang berguna untuk manusia dan orang banyak.
Hakim tidak boleh mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur
saja sedangkan dua unsur lainnya dikorbankan atau dikesampingkan. Suatu
sengketa bisnis, pengadilan perlu memperhatikan lingkungan bisnis
Pemohon dan Termohon dan memperhatikan asas keadilan, kepastian
kemanfaatan dengan memperhitungkan untung rugi (cost benefit analysis)
140 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 77.
141 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 15. 142 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 143 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 144 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 145 Fence M. Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan
Hakim di Pengadilan Perdata, dalam atikel Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 3, September 2012.
146 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 873. 69
yang timbul sebagai akibat dari putusannya.
Putusan yang ideal menurut Gustav Radbruch adalah putusan yang
memuat ide (desrecht), yang meliputi 3 unsur, yaitu keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan. Masing tujuan ini mempunyai posisi yang telah
permanen dalam suatu kontruksi hukum. kepastian hukum terletak pada
pasal perundang undangan. Kemanfaatan terletak tujuan pasal-pasal
perundang-undangan tersebut dibuat atau akibat hukum dari suatu putusan
yang dibuat oleh pengadilan. Sementara keadilan terletak pada nilai pada
nilai-nilai kehidupan yang ada (living law).147 Gustav Radbruch
mengemukakan tiga nilai unsur hukum yang disebut asas prioritas,
pertama wajib memprioritaskan keadilan, disusul kemanfaatan, dan
terakhir untuk kepastian hukum. Idealnya, tiga dasar tujuan hukum itu
diusahakan agar dalam setiap putusan hukim, dapat terwujud secara
bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah
diprioritaskan keadilannya dulu barulah kemanfaatannya, dan terakhir
barulah kepastian hukumnya. Hanya dengan menerapkan asas prioritas ini,
sistem hukum kita dapat tetap bergerak dan terhindar dari konflik-intern
yang dapat menghancurkannya.148
Persoalan penegakan hukum merupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip
yang dianut dalam Negara hukum, sehingga kekuasaan Negara diciptakan, diatur,
dan ditegakkan oleh suatu perangkat hukum (kekuasaan kehakiman).149 Menurut
Satjipto: Hukum dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan manusia.150
Penegakan hukum, Hakim senantiasa setiap putusannya memperhatikan dan
menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum
(rechtssicherheit), Kemanfaatan (zweck-massigkeiit) dan Keadilan (gerechtigkeit)
dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga
unsur tersebut.
147 Bambang Sutiyoso, op.cit, hlm. 8. 148 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hlm. 82-83 149 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Mahkamah Agung Republik Indonesia: Tiga Dekade
Pengujian Perundang-undangan, Penerbit PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2009, hlm. 78. 150 Feri Amsari, Satjipto Raharjo dalam Jagad Ketertiban Hukum Progresif, dalam Jurnal
Konstitusi, volume 6, No. 2, Juli 2009, hlm. 179 70
B. Kerangka Berpikir
Keterangan :
Perjanjian/akad (Pembiayaan Rekening Koran Musyarakah, yang dibuat oleh
Notaris Arlini Rahmi Damayanti, S.H.,) dengan prinsip syariah tidak selamanya
berjalan baik. Penyelesaian sengketa perselisihan (melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional/Basyarnas, dalam perjanjian tersebut) dimana upaya untuk
melakukan musyawarah tidak mencapai kata mufakat. Meskipun putusan
Basyarnas yang menghasilkan win-win solution, tetap saja ada pihak yang tidak
puas dengan putusan Basyarnas tersebut. Putusan yang seharusnya dapat
dijalankan, pada akhirnya mengalami jalan buntu (eksekusi non-eksekutabel),
karena putusan hakim menganggap putusan Basyarnas bersifat deklarator dan
konstitutif. Upaya hukum sampai pada permohonan kasasi tidak membuahkan
hasil (ditolak) dengan berbagai pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim.
Latar Belakang Masalah
Permasalahan
Teori Hukum Penyelesaian Sengketa Jalur Litigasi dan Non Litigasi
Putusan Hakim
Metode Penelitian Doktrinal
Hasil Penelitian & Pembahasan
Putusan Hakim Non Eksekutabel Dasar Hukum Pertimbangan Hakim Dalam Menolak
Kerangka / Landasan Teori
71
C. Penelitian Yang Relevan
1. Niken Dyah Triana, S.H., Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dihubungkan dengan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Indonesia,
Jakarta, 2011. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyelesaian muamalah
(perdata) yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa, di
dasarkan pada klausul perjanjian. Sengketa yang belum memiliki
perwakilan maka diberikan hak memilih Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) sesuai kesepakatan bersama.
2. Rengganis, S.H., Tinjauan Yuridis Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional
berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (Studi Kasus
Terhadap Beberapa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia), Tesis,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011. Penelitian ini
membahas penyelesaian sengketa tentang pembatalan putusan arbitrase
yang diduga mengandung unsur-unsur pemalsuan surat/dokumen atau
ditemukan dokumen yang disembunyikan oleh pihak lawan yang atau
putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
3. Syaiful Annas, S.HI., Dualisme Kewenangan Salam Eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah (Tinjauan Yuridis Pasal 59 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012) Tesis, Pasca
Sarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2015. Karya ilmiah ini meneliti tentang
pengaruh ketentuan Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bagi Peradilan Agama serta implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 terhadap Pasal 59
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Peradilan Agama. Ketentuan Pasal 59 Ayat (3) Undang-
72
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berpengaruh
terhadap kedudukan dan kewibawaan Peradilan Agama karena telah
mereduksi kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan ekonomi
syariah, implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
terhadap Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah perlunya sinkronisasi agar Putusan Basyarnas
didaftarkan di Peradilan Agama, terhadap Peradilan Agama adalah
hilangnya pengaruh Pasal 59 Ayat (3) terhadap kewibawaan Peradilan
Agama.
Persamaaan penelitian yang penulis lakukan dengan penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya adalah sama-sama membahas mengenai analisis
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999. Yang membedakan adalah penulis melakukan
analisis dibatalkannya Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Kasasi
Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung Nomor 3071 K/Pdt/2013).
73