bab ii landasan teori a. kebijakan hukum pidana...dalam hukum pidana indonesia yang menganut civil...

29
17 BAB II LANDASAN TEORI A. Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan hukum pidana pada dasarnya ialah keseluruhan dari peraturan yang menetukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta bagaimana sanksi yang dijatuhkan terhahadap pelakunya dengan tujuan untuk penanggulangan kejahatan. Secara teori, banyak doktrin yang dikemukan oleh para ahli terkait dengan pengertian kebijakan hukum pidana. Barda Nawawi, berpendapat bahwa istilah “Kebijakan” diambil dari istilah policy” (Inggris) dan ”politiek” (Belanda), sehingga “Kebijakan Hukum Pidana” dapat pula di sebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana” dan yang sering di kenal dengan istilah penal policy”, “criminal law policy” atau strafrechspolitiek. 1 Dalam bukunya Barda Nawawi Arief mengutip pendapat dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa Penal Policy merupakan salah satu komponen dari Modern Criminal Science disamping komponen yang lain seperti, “Criminologi” dan “Criminal Law”. 2 Marc Ancel berpendapat bahwa “Penal Policyialah: “suatu ilmu yang memiliki tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang 1 Barda Nawawi Arief, Bunga Ra,pai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, 2008, hlm 26; 2 Ibid., hlm. 23;

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Kebijakan Hukum Pidana

    Kebijakan hukum pidana pada dasarnya ialah keseluruhan dari peraturan

    yang menetukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak

    pidana, serta bagaimana sanksi yang dijatuhkan terhahadap pelakunya dengan

    tujuan untuk penanggulangan kejahatan. Secara teori, banyak doktrin yang

    dikemukan oleh para ahli terkait dengan pengertian kebijakan hukum pidana.

    Barda Nawawi, berpendapat bahwa istilah “Kebijakan” diambil dari istilah

    “policy” (Inggris) dan ”politiek” (Belanda), sehingga “Kebijakan Hukum Pidana”

    dapat pula di sebut dengan istilah “Politik Hukum Pidana” dan yang sering di

    kenal dengan istilah “penal policy”, “criminal law policy” atau

    “strafrechspolitiek”.1 Dalam bukunya Barda Nawawi Arief mengutip pendapat

    dari Marc Ancel yang menyatakan bahwa Penal Policy merupakan salah satu

    komponen dari Modern Criminal Science disamping komponen yang lain seperti,

    “Criminologi” dan “Criminal Law”.2 Marc Ancel berpendapat bahwa “Penal

    Policy” ialah:

    “suatu ilmu yang memiliki tujuan praktis untuk memungkinkan

    peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

    memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,

    tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang

    1Barda Nawawi Arief, Bunga Ra,pai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP

    Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, 2008, hlm 26;

    2Ibid., hlm. 23;

  • 18

    dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan

    pengadilan.”3

    Senada dengan Marc Ancel, Prof. Sudarto memberikan pengertian “Penal

    Policy” sebagaimana dikutip oleh barda Nawawi Arief ialah:

    a. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai

    dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;4

    b. Kebijakan dari negara melalui badan – badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

    bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

    masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita – citakan.5

    Pendapat lainnya berasal dari A. Mulder, “Strafrechtspolitiek atau Penal

    Policy” ialah garis kebijakan untuk menentukan:

    a. Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

    b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan

    c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.6

    Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

    ”Kebijakan Hukum Pidana” atau “Penal Policy” merupakan suatu peraturan

    hukum yang dirumuskan dan ditetapkan oleh badan-badan yang berwenang

    sebagai suatu pedoman (hukum positif) bagi masyarakat maupun penegak hukum

    yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi suatu kejahatan atau dengan

    kata lain suatu tindak pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum

    pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum

    3Ibid., hlm. 26;

    4Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159;

    5Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983, hlm. 20;

    6Barda Nawawi Arief, Op. cit., hlm 27;

  • 19

    (khususnya penegakan hukum pidana), oleh karena itu sering pula dikatakan

    bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan

    hukum (law enforcement policy).7 Selain bagian dari usaha penegakan hukum,

    juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social

    welfare) serta bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

    Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk

    mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan

    masyarakat, sehingga dalam pengertian “social policy” tekandung pula “social

    walfare policy” dan “social defence policy”.8 Secara luas, kebijakan hukum

    pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan dibidang hukum pidana materiil,

    dibidang hukum pidana formal dan dibidang hukum pidana pelaksanaan pidana.

    Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap – tahap

    konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:

    a. Kebijakan formulasi/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana. Dalam tahap ini merupakan tahap yang paling startegis

    dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui

    kebijakan hukum pidana, karena pada tahap ini kekuasaan

    formulatif/legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau

    merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada

    permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang

    bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan

    sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang.

    Sehingga apabila ada kesalahan/kelemahan dalam kebijakan legislatif

    maka akan menjadi penghambat upaya pencegahan dan

    penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan eksekusi;

    b. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana. Tahap aplikasif merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum

    pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan; dan

    7Ibid., hlm. 29;

    8Ibid., hlm. 29-30;

  • 20

    c. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. tahap ini merupakan tahapan dalam melaksanakan hukum

    pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 9

    B. Korporasi

    1. Pengertian Korporasi

    Korporasi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua

    kriteria pengertian yaitu sebagai usaha yang sah (badan hukum) dan perusahaan

    atau badan usaha yang sangat besar atau perusahaan yang dikelola dan dijalankan

    oleh suatu perusahaan besar.10 Dalam Black’s Law Dictionary korporasi diartikan

    sebagai:

    “An entity (usually a business) having author under law to act

    as a single person distinct from the shareholders who own it

    and having right to issues stock and exist indefinitely, a group

    or succession of persons established in accordance with legal

    rules into or juristic that has legal personality distinct from the

    natural persons who make it up, exist indefinitely a part from

    them, and has the legal power that it constitutions give it. (”11

    J.C Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai:

    “A corporation is a legal person but it has no physical

    existence and cannot, therefore, act or form an intention of any

    kind except through its directors or servants. As each director

    or servant is also a legal person quite distinct from the

    corporation, it follows that a corporation’s legal liabilities are

    all, in a sense, vicarious. This line of thinking is epitomized in

    9Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

    Penanggulangan Kejahatan”, Jakarta, Kencana Media Group, 2007, hlm. 78 – 79;

    10Wiktionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia-Korporasi, diakses melalui

    https://id.wiktionary.org/wiki/korporasi, pada tanggal 28 Agustus 2018;

    11Garner Bryan A, (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul Minim:

    West Publishing CO, 1999), hlm 341;

    https://id.wiktionary.org/wiki/korporasi

  • 21

    the catchphrase “Corporations don’t commit crimes”; people

    do.”12

    Dalam hukum perdata korporasi adalah badan hukum (rechspersoon).

    Menurut R.Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau

    perkumpulan yang dapat memiliki hak – hak dan melakukan perbuatan seperti

    manusia, serta memiliki kekayaan sendiri (terpisah dari kekayaan anggotanya),

    dan dapat digugat atau menggugat di depan hakim.13 Hak dan kewajiban badan

    hukum sama sekali terpisah dari hak kewajiban anggotanya. Sedangkan dalam

    hukum pidana, KHUP pada dasarnya tidak memberikan definisi terkait korporasi,

    namun sebutan korporasi sendiri lazim dipergunakan dikalangan pakar hukum

    pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya

    hukum perdata sebagai badan hukum (rechspersoon), hal tersebut pun kemudian

    dituangkan dalam undang-undang diluar KUHP seperti yang juga menjadi sumber

    hukum dalam penelitain ini ialah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam undang-undang ini

    korporasi diistilahkan dengan istilah “Badan Usaha” baik yang berbadan hukum

    maupun yang tidak berbadan hukum, sedangkan didalam Pasal 1 angka 1 Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

    Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor

    13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi

    memberikan definsi bahwa “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan

    yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”

    12Eric Colvin, ”Corporate Personality and Criminal Liability”, Criminal Law Forum, 1995, hlm.

    5;

    13Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1987, hlm. 18 – 19;

  • 22

    Dalam perkembangannya korporasi kemudian dimuat dalam Rancangan

    Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) 2015, diartikan sebagai ius

    constituendum yang dapat dijumpai Pasal 190 yang menyatakan “Korporasi

    adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan

    badan hukum maupun bukan badan hukum”.14 Definisi mengenai apa yang

    dimaksud dengan korporasi adalah sehubung dengan ketentuan Pasal 214 RKUHP

    2015, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah

    “termasuk korporasi”.15 Pengertian tersebut mirip dengan pengertian korporasi di

    Negara Belanda, sebagaimana terdapat dalam bukunya Van Bemmelen yang

    berjudul Ons Strafrecht 1 Het Materiele Strafrecht Algemeen deel antara lain

    menyatakan, “… Dalam naskah dari bab ini selalu dipakai dalil umum ‘korporasi’,

    yang mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum (maksudnya badan

    hukum privat dan badan hukum publik), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua

    perseroan yang tidak bersifat alamiah.”16 Rumusan tersebut dapat dijumpai dalam

    Pasal 51 W.v.S Belanda, yang berbunyi:

    a. Tindakan pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

    b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan

    pidana dan tindakan – tindakan yang tercantum dalam undang-

    undang terhadap;

    1) Badan hukum; atau 2) Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan

    itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai

    pimpinan melakukan tindakan yang dilarang itu; atau

    3) Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama – sama. 14Direktorat Jendral Peraturan Perundang – Undangan, Naskah Rancangan Kitab Undang-undang

    Hukum Pidana (RKUHP), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, hlm. 48;

    15Ibid, hlm. 51;

    16J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan

    oleh Hasnan, Bandung, Binacipta, 1986, hlm. 239;

  • 23

    c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perikatan dan yayasan.17

    Berdasarkan beberapa pengertian korporasi di atas, disimpulkan bahwa

    korporasai merupakan badan hukum yang secara sengaja diciptakan oleh hukum

    itu sendiri, dan dengan itu ia mempunyai kepribadian. Korporasi juga merupakan

    subjek hukum badan hukum (rechtspersoon) di samping manusia

    (natuurlijkpersoon).18 Korporasi dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya

    bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, karena

    korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau nonbadan

    hukum, sedangkan menurut hukum perdata korporasi mempunyai kedudukan

    sebagai badan hukum.19

    2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

    Subjek hukum adalah subjek yang dapat melakukan perbuatan hukum.

    Subjek hukum terbagi kedalam subjek hukum perdata dan subjek hukum pidana.

    Subjek hukum perdata adalah manusia (individu atau orang perseorangan)

    “Natural Person” dan badan hukum “Legal Person” yang dapat melakukan

    perbuatan perdata, baik perbuatan yang menyangkut hak perdata maupun

    kewajiban perdata. Badan hukum (perdata) bertindak melalui pengurus badan

    tersebut yang mewakili untuk dan atas nama badan hukum yang dipimpinya.20

    17Muladi dan Dwija P, Op.Cit., hlm. 32 – 33;

    18Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2015,

    hlm. 7;

    19Ibid, hlm. 33;

    20Ibid, hlm. 16;

  • 24

    Sedangkan subjek hukum pidana bukan berkaitan dengan hak dan kewajiban,

    tetapi berkaitan dengan perilaku pidana (criminal conduct) yang terdiri atas tindak

    pidana komisi dan tindak pidana ominsi, yang kemudian dalam hukum Pidana

    Indonesia dikenal sebagai tindak pidana (criminal act). 21

    Dalam hukum pidana Indonesia yang menganut Civil Law System, sebelum

    tahun 1990-an, hukum pidana hanya mengakui manusia (individu atau

    perseorangan) saja sebagai subjek hukum dan dapat dibebani pertanggungjawaban

    (criminal liability). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia

    yang berasal dari KUHP Belanda yang disebut Wetboek van Stafrech, mengatakan

    bahwa hanya manusia saja yang dapat melakukan tindak pidana (subjek tindak

    pidana). Mengacu kepada frasa hij die yang digunakan dalam rumusan berbagai

    strafbaar feit (tindak pidana atau delik) dalam Wetboek van Strafrecht, kemudian

    diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata “barangsiapa” yang berarti

    “siapapun”. Karena dalam bahasa Indonesia kata “siapa” merujuk kepada

    “manusia”, maka kata “barangsiapa” atau “siapa pun” berarti “setiap manusia”.22

    Hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana adalah

    berdasarkan adaguim atau maxim yang berbunyi “actus non facit reum, nisi mens

    sit rea” atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Tiada pidana tanpa

    kesalahan”.23 Suatu kesalahan dapat dibuktikan dengan mengacu kepada

    perbuatan lahiriah (actus reus) dan sikap kalbu (state of mind) dari pelaku

    perbuatan itu yang disebut mens rea. Actus reus terdiri dari Commison dan

    21Ibid.;

    22Ibid. hlm. 17;

    23Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan ke-II, Jakarta, Grafiti,

    2011, hlm. 32;

  • 25

    Omission. Commision adalah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh

    ketentuan pidana, dan Omission adalah tidak melakukan perbuatan tertentu yang

    diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk dilakuan.24 Sedangkan mens-rea, dibagi

    menjadi dua golongan yaitu kesengajaan atau Dolus dan kealpaan atau Culpa.25

    Tidak jauh berberda dengan sistem hukum Civil Law, dalam sistem hukum

    Common Law setiap orang yang melakukan pelanggaran pidana harus memenuhi

    unsur:

    a. Tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan (Actus-reus). Perbuatan yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan

    tertuduh dengan sukarela tanpa paksaan dari pihak lain. Dalam

    unsur ini, ketidaktahuan akan undang – undang yang berlaku, bukan

    merupakan alasan pemaaf yang dapat dipertanggungjawabkan;26

    b. Tertuduh melakukan pelanggran terhadap undang-undang dengan disertai niat jahat (Mens-rea). Unsur dari mens-rea ialah Intention

    atau Purposely (menyadari perbuatan mengkehendaki adanya

    akibat), Recklessness (dapat memperkirakan akibat yang akan

    terjadi sebelum perbuatan dilakukan; akan tetapi tertuduh

    sesungguhnya tidak mengkehendaki akibat itu terjadi), Negligence

    (tertuduh tidak menduga akibat yang akan terjadi, akan tetapi dalam

    undang-undang mensyaratkan bahwa tertuduh sudah dapat menduga

    akibat-akibat yang terjadi dari perbuatan yang dilakukannya).

    Dalam negara yang menganut Common Law System, pada

    prinsipnya mens-rea merupakan unsur utama dan mutlak pada

    setiap tindak pidana.27

    Seiring perkembangan hukum pidana Indonesia di tahun 1990-an, telah

    terjadi pergesaran subjek hukum pidana yang mana awal mulanya hanya manusia

    saja, tetapi undang-undang pidana diluar KUHP (Undang-undang Pidana Khusus)

    telah memperluas subjek hukum pidana, yaitu tidak terbatas kepada manusia saja

    24Ibid, hlm 35;

    25Ibid, hlm. 38;

    26 Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH Indonesia,

    Jakarta, 1989, hlm. 70;

    27 Ibid., hlm. 71;

  • 26

    tetapi juga kepada korporasi sehingga dapat dibebani pertanggungjawaban yang

    disebut dengan “pertanggungjawaban pidana korporasi” atau “corporate criminal

    liability”.28. Korporasi dijadikan subjek tindak pidana untuk pertama kalinya telah

    muncul pada tahun 1951, yaitu ketika diperlakukannya Undang-Undang Darurat

    No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. Di Indonesia sendiri

    tidak sedikit Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur tentang korporasi

    sebagai subjek hukum pidana, beberapa undang-undang yang kemudian menjadi

    sumber penelitian ini seperti UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perlindunganan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Perma tentang Tata Cara Penanganan

    perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi telah memulai korporasi sebagai subjek

    hukum

    Korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diatur dalam UU PPLH Pasal

    1 angka 32 yang berbunyi bahwa ”Setiap orang adalah perseorangan atau badan

    usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”29,

    definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa “korporasi” yang dalam definisi

    tentang “setiap orang” dibatasi hanya yang berupa “badan usaha” baik yang

    berbadan hukum maupun yang bukan badan hukum. Pemaparan yang berbeda

    yang kemudian dikemukan dalam UU Tipikor Pasal 1 angka 3 namun masih

    dalam makna yang sama yang berbunyi bahwa “Setiap orang adalah perseorangan

    atau termasuk korporasi”.30 Selain kedua undang-undang diatas, korporasi sebagai

    28Ibid.;

    29Pasal 1 angka 32, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

    30Pasal 1 angka 3, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak

    Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3874 dan Lembaran

  • 27

    subjek hukum pidana juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13

    Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi

    Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “korporasi dapat dimintai

    pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam

    undang-undang yang mengatur tentang korporasi”.31 Dengan dapat dimintainya

    pertanggungjawaban kepada korporasi maka korporasi merupakan subjek hukum

    pidana.

    Tahap – tahap perekembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana,

    secara garis besar dibagi menajdi 3 (tiga) tahap antara lain:

    1) Tahap Pertama, ditandai dengan usaha – usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dilakukan korporasi dibatasi pada

    perorangan (natuurlijk person). Apabila suatu tindak pidana terjadi

    dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana ini dianggap

    dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Dalam tahap ini

    membebankan “tugas mengurus” (zorgplicht) kepada pengurus.32

    Tahap ini sebenarnya merupakan dasar bagi Pasal 51 W.v.Sr Ned

    (Pasal 59), yang sangat dipengaruhi oleh asas “societas delinquere

    nonpotest”, yaitu badan – badan hukum tidak dapat melakukan

    tindak pidana.33

    2) Tahap Kedua, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana akan tetapi yang dapat dipertanggungjawbkan secara pidana, adalah

    para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut,

    Negara Republik Indoensia Tahun 2001 Nomor 4150) dan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang

    Nomor 8 Tahun 2010, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 5164);

    31 Pasal 4 ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara

    Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

    2016 Nomor 2058);

    32Mardjono Reksodiputro, Tinjauan Terhadap Perekembangan Delik – Delik Khusus dalam

    Masyarakat yang Mengalami Modernisasi, Kertas Kerja pada Perkembangan Delik – Delik

    Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Moderenisasi, di FH UNAIR, Bandung, Binacipta,

    1982, hlm. 51;

    33Muladi dan Dwhija P, Op. Cit., hlm. 225;

  • 28

    dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-

    undangan yang mengatur tentang hal tesebut.34

    Dalam tahap ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara

    langsung masih belum muncul.35

    3) Tahap Ketiga, merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah

    Perang Dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk

    menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut

    hukum pidana.36

    Terlampau jauh dengan Indonesia, di Amerika Serikat korporasi diterima

    sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1909 dalam kasus New York Central

    and H.R.R v. United States.37 Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai

    realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang

    diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu. Korporasi sebagai subjek hukum

    dilihat dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh korporasi tersebut dan

    dapat dimintai suatu pertanggungjawaban kepada korporasi tesebut. Pengadilan-

    pengadilan federal di Amerika Serikat kemudian berpendapat bahwa:

    “ … that a corporation "may be held criminally liable for the

    acts of any of its agents [who] (1) commit a crime (2) within

    the scope of employment (3) with the intent to benefit the

    corporation." (Note, p. 1247)”38

    34Schaffmeister, D., N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor Penerjemah J.E Sahetapy,

    Yogyakarta, Liberty, 1995, hlm. 276;

    35Muladi dan Dwhija P, Op. Cit., hlm. 226;

    36Ibid;

    37Anca Iulia Pop, Crimnal Liability of Corporation: Comparative Jurisprudence, cfm, diakses

    melalui https://digitalcommons.law.msu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1115&context=king

    tanggal 29 Oktober 2018;

    38 Law.jrank.org, “Corporate Criminal Respomsibility:American Standards of Corporate Criminal Liability”, diakses melalui http://law.jrank.org/pages/744/Corporate-Criminal-Responsibility-

    American-standards-corporate-criminal-liability.html, pada tanggal 9 November 2018;

    https://digitalcommons.law.msu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1115&context=kinghttp://law.jrank.org/pages/744/Corporate-Criminal-Responsibility-American-standards-corporate-criminal-liability.htmlhttp://law.jrank.org/pages/744/Corporate-Criminal-Responsibility-American-standards-corporate-criminal-liability.html

  • 29

    Namun dalam pendapat diatas cakupannya sangat luas, karena setiap agen

    korporasi pada tingkat paling tinggi maupun tingkat paling rendah dapat

    melakukan kejahatan atau perbuatan yang mengakibatkan suatu korporasi

    dibebani pertanggungjawaban atas perbuatan atau kejahatan yang dilakukan agen

    tersebut. Sementara dalam Model Penal Code (MPC) Section 2.07 (1)

    mengemukakan bahwa:

    “A corporation may be convicted of the commisision of an

    offence if:

    (a) The offense is a violation or the offense definited by a statute other than the Code in which a legislative purpose

    to impose liability on corporation plainly appears and the

    conduct is formed by an agent of the corporation acting in

    behalf of the corporation within the scope of his office or

    employment, except that if the law defining the offense

    designates the agents for whose conduct the corporation is

    accountable or the circumstance under which it is

    accountable, such provisions shall apply;

    (b) The offence consist of an omission to discharge a specific duty of affirmative performance imposed on corporation by

    law;

    (c) The commission of the offence was authorized, requsted, commanded, performed or recklessly tolerated by the

    board of director within the scope of his office or

    employment.39

    Dalam ketentuan tersebut menunjukkan tentang suatu tindak pidana dapat

    dipandang telah dilakukan oleh korporasi yaitu apabila maksud pembuat UU

    untuk mengenakan pertanggungjawaban pada korporasi tampak dengan jelas dan

    perbuatan itu dilakukan oleh agen korporasi yang melakukan atas nama korporasi

    dalam ruang lingkup jabatan/tugas atau pekerjaannya, apabila tindak pidana itu

    merupakan suatu pelanggaran kewajiban khusus yang dibebankan kepada

    korporasi oleh UU, kemudian apabila tindak pidana dibenarkan, diperintahkan,

    39 Model Penal Code Official Draft And Explanatory Notes, (The American Law Institute,

    Philadelphia, 1985), hlm. 32;

  • 30

    dibiarkan oleh direksi atau oleh agen pimpinan puncak yang bertindak atas nama

    korporasi dalam batas-batas ruang lingkup tugas/pekerjaanya.

    Secara sederhana dari penjelasan diatas bahwa kategori pegawai atau

    pejabat korporasi yang dapat memicu pertanggungjawaban korporasi hanya

    terbatas kepada mereka yang memiliki tanggungjawab manajemen dan yang

    bertindak dalam batas ruang lingkup aktivitas pekerjanya. Jadi tidak semua

    pegawai dari tingkat apapun dalam korporasi tersebut. Selain itu, perbuatan yang

    dilakukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan untuk kepentigan atau

    untuk memperoleh manfaat bagi korporasi.

    Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, apabila

    korporasi melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan hukum pidana yang

    berlaku maka dapat dilakukan pemidanaan terhadap korporasi tersebut dengan

    tujuan “to deter the corporation from permitting wrongfull acts”. 40 Dengan

    adanya putusan pengadilan atas kasus New York Central and H.R.R v. United

    States ini serta tekanan oleh para Jaksa di Amerika Serikat, maka seluruh aturan

    dalam hukum pidana yang berlaku kepada setiap orang ikut berlaku kepada

    korporasi juga41

    40Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses,

    Blackground Paper for the International Society for Reform of Criminal Law 13th International

    Conference Commercial and Financial Fraud: A Comparative Perspektive, Malta, 8-12 July 1999,

    (Canada, The International Center for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy), hlm. 3;

    41Edward B. Diskant, Comparative Corporate Criminal Liability:Exploring the Yniquely American

    Doctrine Thorough Comparative Criminal Procedure, The Yale Law Journal, Vol. 118:126, 2008,

    hlm. 138;

  • 31

    C. Tindak Pidana Korporasi (Corporate Crime)

    Pada sub bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa korporasi merupakan

    badan usaha yang sangat besar atau perusahaan yang dikelola dan dijalankan oleh

    suatu perusahaan besar, maka banyak kegiatan yang dilakukan untuk menjalankan

    korporasi tersebut. Dalam sebuah korporasi tentu ada aturan dan prosedur yang

    mengatur kegiatan korporasi tersebut, namun akibat dari perasaingan yang

    semakin kuat di era globalisasi ini dan untuk tetap mempertahankan eksistensinya,

    tidak menutup kemungkinan bahwa korporasi akan melakukan kegiatan yang

    tidak sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah ditentukan oleh korporasi itu

    sendiri atau bahkan yang ditentukan oleh undang-undang.

    Kegiatan-kegiatan korporasi yang melanggar aturan pidana yang

    ditentukan oleh undang-undang hukum pidana dalam dunia internasional disebut

    “corporate crime” dengan padanan istilahnya dalam bahasa Indonesia adalah

    “tindak pidana korporasi”. Corporate crime atau tindak pidana korporasi menurut

    US Legal adalah:

    “Corporate crime means crimes committed either by a

    business entity or corporation, or by individuals that may be

    identified with a corporation or other business entity”42

    Lebuh lanjut US Legal menjelaskan:

    “A corporate crime is the act of its personnel and need not be

    authorized or ratified by its officials. It is sufficient if the

    officials were exercising customary powers on behalf of the

    corporation. Thus, to a substantial degree, the crime of the

    corporation is interwoven with the acts of its officials. Such

    criminal acts are reflective of the character of the person who

    42Julian Hermida, Corporate Crime, diakses melalui

    http://www.julianhermida.com/contcorporate.htm, pada tanggal 6 Agustus 2018;

    http://www.julianhermida.com/contcorporate.htm

  • 32

    manage the corporation. Consequently, it wpudl seem

    reasonable tp utilize a corporate crime to impeach a corporate

    official’s credibility if the official is connected to the crime.”43

    Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH dalam bukunya yang berjudul “Ajaran

    Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk Beluknya, mengemukakan

    bahwa:

    “Tindak pidana korporasi adalah tindak pidana, baik komisi

    maupun omisi, yang dilakukan dengan sengaja dan bersifat

    melawan hukum oleh personil pengendali korporasi atau

    diperintahkan dengan sengaja olehnya untuk dilakukan oleh

    orang lain, sepanjang tindak pidana tersebut dilakukan dalam

    batas tugas, kewajiban, dan wewenang dari jabatan personel

    pengendali korporasi yang bersangkutan dan sesuai dengan

    maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam

    Anggaran Dasar korporasi serta bertujuan untuk memperoleh

    manfaat bagi korporasi, baik manfaat financial maupun non-

    financial.”44

    Menurut Clinard dan Yeager, ada 2 (dua) pandangan (model) yang dapat

    digunakan untuk menjelaskan terjadinya corporate crime antara lain:

    a. Model tujuan yang rasional, yakni mengutamakan mencari keuntungan; b. Model organic, yakni menekankan pada hubungan antara perusahaan

    dengan lingkungan ekonomi dan politiknya, yaitu supplier, pesaing,

    konsumen, pemerintah, public, serta kelompok – kelompok lainnya yang

    dipandang relevan.45

    Mengingat bahwa corporate crime biasanya dilakukan oleh orang – orang

    yang cukup pandai, maka corporate crime memiliki karakteristik sebagai berikut:

    a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian

    professional dan sistem organisasi yang kompleks;

    b. Kejahatan tersebut sangan kompleks karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan

    43USLEGAL.COM, Corporate Crime Law and Legal Definition, diakses melalui

    http://www.uslegal.com/c/corporate-crime/, pada tanggal 6 Agustus 2018; 44 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 55 – 56;

    45Clinard, M.B & P.C Yeagert, Corporate Crime, Free Press, 1980, hlm.45;

    http://www.uslegal.com/c/corporate-crime/

  • 33

    sesuatu yang ilmiah, teknologis, financial, legal, terorganosasi,

    melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun- tahun;

    c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (disfussion responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;

    d. Penyebaran korban yang luas (disfussion of victimization) seperti polusi, penipuan konsumen, dan sebagainya;

    e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and presecution) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang;

    f. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas laws) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum;

    g. Sikap mendua terhadap status pelaku tindak pidana.46

    D. Ajaran Pemidanaan Terhadap Korporasi

    Berkenaan dengan pergeseran yang awal mulanya hanya manusia saja yang

    dapat melakukan tindak pidana dan oleh karenanya hanya manusia saja yang

    dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, namun sekarang berubah menjadi

    korporasi juga dapat melakukan tindak pidana dan dibebani pertanggungjawaban

    pidana. Dalam hal korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, secara

    umum ada beberapa ajaran atau teori yang menjadi landasan bagi pembenaran

    dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yaitu Doctrine

    Identification Theory, Doctrine of Aggregation, Doctrine of Strict Liability,

    Doctrine of Vicarious Liability, Doctrine of Aggregation dan Doctrine

    Functioneel Daderschap.

    1. Doctrine Identification Theory

    Doctrine Identification Theory (teori identifikasi) atau dikenal juga dengan

    Direct Liability Doctrine (doktrin pertanggungjawaban langsung). Ajaran ini

    bertumpu pada asas hukum korporasi yang menentukan bahwa ”pengurus adalah

    46Dirdjosisworo, Soejono, AnatomiKejahatan Korporasi di Indonesia, Makalah Seminar Nasional

    Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 23 – 24 November 1989, hlm. 12 – 23;

  • 34

    organ organisasi, kalbu pengurus adalah kalbu korporasi, jasmani pengurus adalah

    jasmani korporasi.”47 Tetapi menurut hukum korporasi, asas tersebut hanya belaku

    sepanjang:

    a. Pengurus dalam melakukan perbuatan itu tidak keluar dari maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasarnya;

    b. Perbuatan yang dilakukan oleh pengurus harus sesuia atau dalam batas-batas kewenangan pengurus sebagaimana ditentukan dalam Anggran

    Dasar Korpoasi.48

    Dalam teori ini agar korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana

    maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasi

    telebih dahulu.49 Penuntut umum harus mampu mengidentifikasikan bahwa yang

    melakukan tindak pidana adalah personel pengendali “directing mind” atau

    “controlling mind” (otak yang menjalankan seluruh aktivitas) dari korporasi

    tesebut. 50 Yang dimaksud “personel pengendali korporasi” adalah

    manejer/direktur yang berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi sesuai

    dengan Anggaran Dasar korporasi. Perbuatan dan sikap batin dari directing mind

    dapat dianggap sebagai perbuatan dan sikap batin dari korporasi, sedangkan

    perbuatan dan sikap batin dari para pegawai tersebut tidak dapat dianggap sebagai

    perbuatan dan sikap batin dari korporasi.

    Inti dari ajaran teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana yang

    dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti siapa yang

    benar-benar menjadi otak atau pemegang control operasional atas korporasi serta

    yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil keputusan atas nama

    korporasi. Sesuatu dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh

    47 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm. 173;

    48 Ibid, hlm. 173 – 174;

    49Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis dan Perbandingan

    Hukum di Berbagai Negara), PT. REfika Aditama, Bandung, 2016, hlm. 82; 50 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hlm. 174;

  • 35

    korporasi, hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pejabat korporasi

    yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari

    korporasi tesebut. Karena kesalahan dan kehendak directing mind itu disamakan

    dengan kesalahan dan kehendak dari suatu korporasi.51

    Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban pengganti

    (Vicarious Liability) dan pertanggungjawaban ketat (Strict Liability), dimana pada

    doktrin ini asas mens-rea tidak dikesampingkan, sedangkan pada doktrin

    Vicarious Liability dan doktrin Strict Liability tidak disyaratkan asa mens-rea atau

    asas mens-rea tidak berlaku mutlak.

    2. Doctrine Of Aggregation

    Seringkali terjadi, mens rea tindak pidana ada pada pemberi perintah yang

    merupakan personil pengendali yang terdiri dari satu atau beberapa orang,

    sedangkan actus reus-nya dilakukan oleh orang atau orang-orang lain baik

    sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang menerima perintah. Maka dalam

    kasus tersebut yang diterapkan adalah Doctrine of Aggregatio. Doktrin ini muncul

    karena Doctrine of Identification Theory dianggap tidak memadai sebagai

    pembenaran untuk digunakan mengatasi proses pengambilan keputusan dalam

    banyak perusahaan modern52 dan doktrin ini merupakan asas asli Amerika

    Serikat.53

    Doctrine of Aggregation menurut Anca Iulia Pop adalah ajaran yang paling

    terkemuka di Amerika Serikat. Anca Iulia Pop mengemukakan:

    51 Kristian, Op.Cit, hlm. 87;

    52 C.M.V. Clarkson dan H.M Keating, Criminal Law: Text and Materials, Fifth Edition, London:

    Sweet & Maxwell, 2003, hlm. 259;

    53 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm. 183;

  • 36

    “The most distinguishing and bold ement of American model of

    corporate criminal liability is the adoption of the aggregation

    theory. This theory provides that corporations can be held

    criminally liable based on the act of one employee and on the

    culpability of one or more other employees who, cumulatively, but

    not individually, met the requirements of actus reus and mens rea

    of the crime.”54

    Doctrine of Aggregation merupakan sebuah doktrin yang memperlihatkan

    kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu terhadap orang-orang yang

    bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau orang-orang yang bertindak

    untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan.55 Menurut doktrin ini, apabila

    terdapat sekelompok orang yang melakukan suatu tindak pidana namun orang

    tesebut bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau untuk kepentingan

    korporasi, maka semua perbuatan dan unsur mental atau sikap batin atau

    kesalahan dari kumpulan orang tersebut dianggap sebagai dan dilakukan oleh

    suatu korporasi sehingga baik orang-orang yang bersangkutan maupun korporasi

    dapat dibebankan pertanggungajwaban pidana.

    3. Doctrine Of Strict Liability

    Ajaran pertanggungajwaban mutlak (doctrine of strict liability) atau yang

    disebut juga dengan absolute liability, atau dalam literatur lain disebut juga

    dengan pertanggungajwaban tanpa kesalahan atau disebut dengan non-fault

    liability atau liability without fault.56

    54 Anca Iulia Pop, Criminal Liability of Corporation-Corporative Jurisprudence, cmf, diakses melalui http://digitalcomons.law.msu.edu/cgi/viewcinntent.cgi?article=1115&context-king, pada

    tanggal 11 April 2019;

    55 Rise Karmilia, Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana di

    Luar KUHP, Thesis, Universitas Sumatera Utara (USU), 2009, hlm. 77;

    56Ibid, hlm. 87 – 88;

    http://digitalcomons.law.msu.edu/cgi/viewcinntent.cgi?article=1115&context-king

  • 37

    Strict liability menurut Russel Heaton diartikan sebagai

    pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana dapat dipertanggungjawabkan

    dengan tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku (mens-rea)

    terhadap satu atau lebih dari actus reus.57 Actus reus merupakan perbuatan yang

    dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan

    oleh ketentuan pidana. Tindak – tindak pidana yang demikian itu disebut

    “offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of

    absolute prohibition.”58 Secara sederhana penerapan dari ajaran ini ialah penuntut

    umum tidak perlu membuktikan bahwa actus reus yang dilakukan oleh pelakunya

    didorong atau didasari oleh adanya mens-rea (kesengajaan atau kealpaan), tetapi

    hanyalah membuktikan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara actus reus dan

    akibat yang timbul. 59

    Terkat dengan doctrine strict liability, Sutan Remi Sjahdeini berpendapat

    bahwa :

    “Dalam tindak pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula

    tindak pidana-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya

    dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakuknya tidak

    memiliki mens-rea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat

    dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus,

    yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana.

    Tindak pidana-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of

    strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of

    absolute prohibitati”60

    57 Ibid.,hlm. 90, mengutip dari Russel Heaton, Criminal Law Textbook, Oxford University Press,

    London, 2006, hlm. 403;

    58 Ibid, hlm. 151;

    59 Ibid, hlm 152;

    60 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm 78;

  • 38

    Dengan memberlakukan doctrine of strict liability, maka korporasi dapat

    dibebani pertanggungjawaban pidana dengan mengesampingkan asas “tiada

    pidana tanpa mens-rea”, hal itu dikarenakan tindak pidana korporasi merupakan

    salah satu tindak pidana yang membutuhkan penanganan luarbiasa dan dampak

    yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi sudah tentu akan membahayakan

    kepentingan masyarakat secara luas.

    4. Doctrine of Vicarious Liability

    Vicarious liability merupakan ajaran hukum perdata, namun kemudian

    diadopsi oleh hukum pidana untuk dapat membebankan pertanggungjawaban

    pidana kepada korporasi.61

    Pada dasarnya, Doctrine of Vicarious Liability) didasarkan pada prinsip

    ”employment principle” bahwa majikan (employer) adalah penanggungjawab

    utama dari perbuatan para buruhya atau karyawannya.62 Dengan demikian, dalam

    doktrin ini terlihat prinsip “the servant’s act is the master act in law” atau yang

    dikenal juga dengan prinsip the agency principle yang berbunyi “the company is

    liable for the wrongful acts of all its employees”.63 “Employment principle”,

    majikan adalah pihak utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan

    oleh buruh atau karyawannya selama perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup

    kerjaannya.64 Secara sederhananya, pengelola atau pegawai yang berbuat suatu

    tindak pidana namun korporasi yang ikut bertanggungjawab.65

    61 Ibid, hlm. 156;

    62 Kristian, Op.Cit, hlm. 93; 63 Barda Nawawi, Op.Cit. hlm. 249;

    64 Kristian, Op.Cit. hlm 96;

  • 39

    Vicarious liability adalah pembebanan pertanggungjawaban pidana dari

    tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. Hal tersebut

    kemudian dirasa bertentangan dengan nilai moral yang terkandung dalam prinsip

    keadilan, dimana dalam pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act), tetapi

    juga kesalahan (state og mind) sehingga seseorang dapat dipertanggungjawabkan

    karena melakukan perbuatan (act) atau tidak melakukan (omission) perbuatan

    yang dilarang oleh undang-undang. Menurut Boisvert, teori ini dianggap

    menyimpang dari doktrin mens-rea karena berpendirian bahwa kesalahan manusia

    secara otimatis bergitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan

    kesalahan apapun.66

    Vicarious Liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang

    perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat

    superior.67 Menurut asas respondeat superior, korporasi sendiri tidak dapat

    melakukan kesalahan, melainkan hanya agen-agen korporasilah yang dapat

    melakukan kesalahan yakni mereka bertindak untuk dan atas nama korporasi dan

    bertindak untuk memberikan keuntungan korporasi.68 Menurut asas respondeat

    superior, dimana ada hubungan antara master dan servant atau antara principal

    dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se.69

    65 Peter W. Low, Criminal Law, Revised First Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990,

    hlm. 251;

    66 Kristian, Op. Cit, hlm. 98;

    67 Peter W. Low, Op. cit, hlm. 251;

    68 Kristian, Op.Cit, hlm. 94

    69Earl Jowit dan Clifford Walsh, LL.M, Jowitt’s Dictionary of English Law, Second Edition by

    John Burke, London; Sweet & Maxwell Ltd, 1977, hlm. 1564

  • 40

    Menurut Maxim tersebut, seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia

    yang melakukan perbuatan itu. Contohnya adalah seorang principal (pemberi

    kuasa) bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh agent (penerima

    kuasa) sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam dalam lingkup kewenangannya

    (tidak keluar dari batas kewenangannya).70 Oleh karena itu ajaran vicarious

    liability juga disebut sebagai ajaran respondeat superior. 71

    Rasionalisasi penerapan doktrin ini mengingat majikan (yang dalam hal ini

    adalah korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas organ-organnya dan

    keuntungan yang mereka (organ-organnya) peroleh secara langsung dimiliki oleh

    majikan (korporasi).72 Dengan demikian, dalam hal doktrin pertanggungjawaban

    pengganti hanya dapat diterapkan apabila benar-benar dapat dibuktikan bahwa ada

    hubungan atasan dan bawahan antara majikan (dalam hal ini korporasi) dengan

    buruh atau karyawan yang melakukan tindak pidana. selain itu, harus juga

    dipastikan apakah buruh atau karyawan tersebut ketika melakukan tindak pidana,

    benar-benar bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya.

    Menurut Marcus Flatcher dalam perkara pidana terdapat setidaknya 2 (dua)

    syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan pidana

    dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut sebagai beerikut:

    a. Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara

    majikan dan pegawai atau pekerja;

    70 Ibid, hlm. 1485

    71 The Law Reform Commision, Consultation Paper on Corporate Killing, Dublin Irlandia: The

    Law Reform Commission, 2003, hlm 20;

    72C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law, Second Edition, Sweet & Maxwell, London,

    1998, hlm. 44;

  • 41

    b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut

    berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.73

    Menurut udang-undang (statute law) vocarious liability, dapat terjadi dalam

    hal-hal sebagai berikut:

    a. Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian

    (the delegation principle);

    b. Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atar perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjannya apabila menurut

    hukum, perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan. 74

    Penerapan ajaran vicarious liability merupakan solusi terhadap strict

    liability. Dengan menerapkan ajaran vicarious liability, maka dapat dibenarkan

    untuk menganggap actus reus dan mens rea personel pengendali (directing mind)

    korporasi atau pegawai yang diberi wewenang oleh personel pengendali untuk

    melakukan suatu perbuatan yang ternyata merupakan tindak pidana (crime)

    sebagai actus reus dan mens rea dari korporasi.75

    5. Teori Pelaku Fungsinal (Functioneel Daderschap)

    Teori lain mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi adalah teori

    pelaku fungsional atau functioneel dadershap merupakan suatu teori yang

    berkembang dari negara Eropa Kontinental dan diemukakan oleh Roling dalam

    catatannya dibawah putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari dan 21 Februari

    1950.76 Teori pelaku fungsional ini diawali dengan suatu pendekatan sosiologis

    yang melihat adanya kecenderungan dalam hukm pidana untuk semakin terlepas

    73Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liablity dalam Hukum Pidana, Lembaga Penelitian,

    Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1997, hlm.34;

    74Muladi dan Dwija P, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Op.Cit, hlm 62;

    75Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 158 – 159;

    76J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Mterial Bagian Umum,

    Bandung:Binacipta, 1986, hlm. 234

  • 42

    dari konteks manusia77 dengan kata lain tidak hanya manusia saja yang dapat

    menjadi subjek hukum pidana. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar

    dijadikannya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam arti sebagai pelaku

    fungsional, disisi lain adanya peran serta korporasi dalam suatu masyarakat

    sehingga dapat mengubah situasi hukum dalam masyarakat itu sendiri. Dalam

    teori pelaku fungsional ini memberikan kriteria bagaimana suatu korporasi dapat

    dianggap sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dibebankan pertanggungjawaban

    ialah apabila suatu perbuatan yang dilarang, dilakukan oleh korporasi dalam

    rangka pelakasanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan dari korporasi dan

    kriteria ini sejalan dengan pengertian dari tindak pidana korporasi.

    Dalam hal korporasi sebagai pelaku fungsional, perlu adanya deik-delik

    fungsional sebagai dasar untuk dijadikannya korporasi sebagai pembuat sehingga

    terhadapnya dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.78 Delik – delik

    fungsional adalah delik – delik yang berasal dari lingkup atau suasana sosial

    ekonomi, dimana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau

    ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah / ditujukan kepada kelompok-

    kelompok fungsional tertentu.79

    Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana tentunya membawa

    implikasi bahwa terhadap korporasi juga dapat dinyatakan bersalah. Suprapto

    berpendapat bahwa suatu kesalahan pada korporasi bisa didapatkan bila

    kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alatnya.80

    77 Ibid., hlm. 235

    78Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dala Kibtab Undang-Undang Hukum Pidana

    Indonesia), Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-1, 2003, hlm 99

    79Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada

    Media Grup, 2011, hlm. 232;

    80Ibid., hlm. 84;

  • 43

    Pendapat lain yang dikemukan oleh Remmelink dan Bemmelen, bahwa kesalahan

    dari korporasi dapat timbul dari kerjasama yang dilakukan oleh orang-orang yang

    memiliki hubungan dengan korporasi, baik dilakukan secara sadar ataupun tidak

    sadar yang mana kerjasama tersebut harus memiliki sangkut paut tertentu antara

    tindakan dari orang-orang tersebut. Dengan kata lain terhadap kerjasama dalam

    sebuah korporasi, adanya pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota

    direksi yang dapat dianggap sebagai kesengajaan dari korporasi tesebut.81

    Dari teori pelaku fungsional dapat diketahui bahwa korporasi dapat

    dianggap sebagai subjek hukum pidana didasarkan pada dilakukannya tindak

    pidana oleh korporasi dalam bentuk perbuatan fungsional yang dilakukan oleh

    agen-agen korporasi sebagai alat untuk melakukan tindak pidana tersebut.

    Kemudian selain itu, terhadap koroporasi juga adanya kesalahan atas dasar

    kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh agen-agen korporasi melalui

    suatu rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi.

    E. Ius Constituendum dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2015

    Ius Constituendum merupakan hukum yang diharapkan berlaku pada waktu

    yang mendatang atau dengan kata lain hukum yang dicita-citakan dimasa

    mendatang. Untuk menerapkan hukum yang dicita-citakan itu sendiri, maka perlu

    adanya pembaharuan hukum. Dalam ranah hukum pidana saat ini, upaya untuk

    melakukan pembaharuan Hukum Pidana Nasional adalah dengan menyusun

    Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)

    yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat sekarang dan nilai-

    nilai sesuai dengan kepribadian bangsa.

    81J .M. Van Bemmelen, Op.Cit., hlm. 237;

  • 44

    RKUHP tahun 2015 telah menetapkan korporasi sebagai subjek tindak

    pidana.82 Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka

    RKUHP tahun 2015 tersebut telah meninggalkan sikap KUHP yang sekarang

    berlaku, yang berpendirian bahwa hanya manusia yang dapat menjadi pelaku

    tindak pidana. Korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RKUHP termuat

    dalam Pasal 48 yang berbunyi “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.83

    Dalam hal pertanggungajwaban, RKUHP selain menganut asas kesalahan,

    dalam tindak pidana tertentu diterapkan asas pertanggungajwaban mutlak (strict

    liability) dan asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Kedua asas

    tersebut tercantum dalam Pasal 39 RKUHP bahwa :

    (1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undnag dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah

    dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa

    memperlihatkan adanya kesalahan;

    (2) Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindka pidana yang dilakukan oleh

    orang lain.84

    Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa RKUHP melakukan

    pembaharuan dibidang subjek delik dan sistem pertanggungjawaban pidana.

    dibidang subjek delik, mengakui korporasi sebagai pelaku dam dapat

    dipertanggungajwbakan dalam hukum pidana (corporate criminal liability).

    Sedangkan dibidang sistem pertanggungjawban pidana, RKUHP tetap menganut

    asas kesalahan sebagai asas fundamental yang mempertanggungjawbakan pelaku

    tindak pidana. Namun dalam hal – hal tertentu dengan mengingat dan

    82 Direktorat Jendral Peraturan Perundang – Undangan, Naskah Rancangan Kitab Undang-

    undang Hukum Pidana (RKUHP), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015;

    83 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hlm. 13;

    84 Ibid, hlm. 13;

  • 45

    memperhatikan kemajuan dibidang teknologi dan informasi serta tindak pidana

    yang semakin berkembang hebat mengikuti perkembangan global, maka RKUHP

    mengakui adanya penyimpangan asas kesalahan, yaitu dengan mengakui asas

    strict liability dan vicarious liability.