bab ii landasan teori a. hasil penelitian yang relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/bab ii_puji...

47
BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Penelitian dengan judul Mitos-Mitos dalam Lengger pada Naskah Drama Sulasih Sulandana Karya Widiyono(Kajian Antropologi Sastra) oleh Fajar Sukron Said Penelitian tersebut ditulis oleh Fajar Sukron Said selaku mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pada tahun 2014, Fajar Sukron Said meneliti mitos-mitos dalam Lengger dan mendeskripsikan representasi mitos Lengger yang terdapat dalam naskah drama, dan dianalisis dengan menggunakan teori antropologi sastra. Hasil penelitian Fajar Sukron Said ialah mitos-mitos Lengger pada naskah drama Sulasih Sulandana karya Widiyono antara lain: (1) Mitos ritual dan syarat khusus dalam lengger yaitu mengenai ritual khusus yang harus dijalankan oleh para penari lengger. (2) Mitos seks yaitu mengenai pandangan masyarakat terhadap kesenian Lengger yang identik dengan seks. (3) Mitos kekuatan gaib atau mitos roh bidadari yaitu mempercayai adanya roh bidadari yang masuk ke tubuh penari. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada objek penelitian dan sumber datanya. Penelitian Fajar Sukron Said menggunakan satu objek penelitian yaitu mitos. Sementara itu, penelitian ini menggunakan empat objek penelitian yaitu tradisi, mitos, konstruksi tradisi, dan konstruksi mitos masyarakat Jawa. Di sisi lain, sumber data yang digunakan Fajar Sukron Said adalah naskah drama Sulasih Sulandhana karya Widiono, sedangkan penelitian ini menggunakan sumber data kumpulan cerpen Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk. 8 Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Upload: doanduong

Post on 15-Aug-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Penelitian dengan judul Mitos-Mitos dalam Lengger pada Naskah Drama

“Sulasih Sulandana Karya Widiyono” (Kajian Antropologi Sastra) oleh Fajar

Sukron Said

Penelitian tersebut ditulis oleh Fajar Sukron Said selaku mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pada tahun 2014, Fajar Sukron Said meneliti

mitos-mitos dalam Lengger dan mendeskripsikan representasi mitos Lengger yang

terdapat dalam naskah drama, dan dianalisis dengan menggunakan teori antropologi

sastra. Hasil penelitian Fajar Sukron Said ialah mitos-mitos Lengger pada naskah

drama Sulasih Sulandana karya Widiyono antara lain: (1) Mitos ritual dan syarat

khusus dalam lengger yaitu mengenai ritual khusus yang harus dijalankan oleh para

penari lengger. (2) Mitos seks yaitu mengenai pandangan masyarakat terhadap

kesenian Lengger yang identik dengan seks. (3) Mitos kekuatan gaib atau mitos roh

bidadari yaitu mempercayai adanya roh bidadari yang masuk ke tubuh penari.

Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada objek penelitian dan sumber

datanya. Penelitian Fajar Sukron Said menggunakan satu objek penelitian yaitu mitos.

Sementara itu, penelitian ini menggunakan empat objek penelitian yaitu tradisi, mitos,

konstruksi tradisi, dan konstruksi mitos masyarakat Jawa. Di sisi lain, sumber data

yang digunakan Fajar Sukron Said adalah naskah drama Sulasih Sulandhana karya

Widiono, sedangkan penelitian ini menggunakan sumber data kumpulan cerpen

Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk.

8

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

9

2. Penelitian dengan judul Tradisi “Suran Masyarakat Jawa” Analisi

Perbandingan Antara Wilayah Surakarta dengan Wonosobo oleh

Nurshodiq

Penelitian tersebut ditulis tahun 2008 oleh Nurshodiq mahasiswa Universitas

Negeri Semarang. Hasil penelitiannya ialah persamaan dan perbedaan antara tradisi

Suran di Surakarta dan Wonosobo. Perbedaan yang kental terlihat pada media dan

prosesi upacara adat, juga antusiasme masyarakat. Suran merupakan tradisi yang

secara turun-temurun dilakukan masyarakat Jawa. Hampir setiap daerah di pulau Jawa

melakukan tradisi tersebut meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Tradisi Suran

yang dilakukan oleh masyarakat memiliki perbedaan yang tipis, namun tujuan

dilaksanakan tradisi tetap sama yaitu sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha

Esa.

Perbedaan antara penelitian yang dilakukan Nurshodiq dengan penelitian ini

terletak pada objek, data, sumber data, dan metode. Objek penelitian Nurshodiq

adalah tradisi Suran, sedangkan objek penelitian ini adalah tradisi, mitos, konstruksi

tradisi, dan mitos masyarakat Jawa. Data dalam penelitian Nurshodiq adalah tuturan

narasumber tentang tradisi Suran masyarakat Surakarta dan Wonosobo namun, data

dalam penelitian ini adalah teks yang mengandung tradisi dan mitos masyarakat Jawa

dalam kumpulan cerpen Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk. Sumber data

penelitian ini adalah kumpulan cerpen Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk,

namun sumber data penelitian Nurshodiq ialah manusia. Di sisi lain, metode

penelitian ini ialah diskriptif analitis, sedangkan penelitian Nurshodiq meruapakan

studi etnografi dengan teknik pengumpulan datanya melalui wawancara serta

dokumentasi.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

10

3. Penelitian dengan Judul Analisis Pengingkaran Mitos pada Novel “Anak

Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata dan Novel Barata Yudha Karya

Sunardi D.M” oleh Yeni Triyanti

Penelitian tersebut ditulis oleh Yeni Triyanti selaku mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2006. Hasil skripsi tersebut meliputi: (1) Asal

mitos yang diangkat dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin yaitu mitos

Ramayana. Mitos yang diangkat ke dalam novel Barata Yudha yaitu mitos

Mahabarata. Mitos Ramayana dan Mahabarata tersebut telah diadaptasi menjadi

wayang Jawa. (2) Pengingkaran mitos pada novel Anak Bajang Menggiring Angin

diwujudkan dengan mengingkari mitos asalnya yaitu berupa alur Kiskendakanda dan

alur Sundarakanda serta dengan menampilkan ending yang bersifat terbuka.

Novel Barata Yudha diwujudkan dengan mencampuradukkan alur Adiparwa dengan

cerita mitos asalnya. (3) Pengingkaran mitos pada novel Anak Bajang

Menggiring Angin lebih intensif dari pada pengingkaran pada novel Barata

Yudha.

Penelitian ini dengan penelitian Yeni Triyanti memiliki dua perbedaan.

Perbedaanya terletak pada objek dan sumber datanya. Penelitian Yeni Triyanti

menggunakan satu objek yaitu pengingkaran mitos, sedangkan dalam penelitian ini

terdapat empat objek yaitu tradisi, mitos, konstruksi tradisi, dan mitos masyarakat

Jawa. Selain itu, perbedaan lain terletak pada sumber datanya. Yeni Triyanti

menggunakan sumber data dua novel yaitu Anak Bajang Menggiring Angin karya

Sindhunata dan novel Barata Yudha karya Sunardi D.M. Sementara itu, penelitian ini

hanya menggunakan satu sumber data yaitu kumpulan cerita pendek Nyayian

Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

11

B. Landasan Teori

1. Cerpen

Menurut Sayuti (2000: 8) secara spesifik, istilah cerpen biasanya diterapkan

pada prosa fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata, sedangkan

novel umumnya berisi empat puluh lima ribu kata atau lebih. Sebuah cerita pendek

bukanlah sebuah novel yang dipendek-pendekan dan juga bukan bagian dari novel

yang belum dituliskan. Di samping itu, menurut Ratna (2013: 88) sesuai dengan

namanya cerita pendek atau short story, adalah suatu cerita yang terdiri atas sejumlah

halaman (5-50 halaman). Sesuai dengan medium yang tersedia, cerpen menyajikan

sebagian kecil kehidupan manusia tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga tetap

memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai makna kehidupan tersebut.

Dari segi panjang ceritanya cerpen lebih padu, “memenuhi” tuntutan ke-unity-

an. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas,

tidak sampai pada detail-detai khusus yang “kurang penting” yang lebih bersifat

memperpanjang cerita. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya

mengemukakan secara lebih banyak jadi, secara implisit dari sekedar yang

diceritakan. Selain itu, cerpen dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu unsur

intrinsik dan ekstrinsik. Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu

urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak

cerpen yang tidak diikuti dengan penyelesaian yang jelas, penyelesaiannya diserahkan

pada interpretasi pembaca). Urutan peristiwa dapat berasal dari mana saja, misalnya

dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan para

tokoh atau latar (Nurgiyantoro, 2012: 11-12).

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

12

Menurut Sayuti (2000: 9-10) kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang

dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan

waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu.

Tokoh dalam cerpen bisanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya

ditunjukkan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen

merupakan hasil “pengembangan”. Selanjutnya, dimensi waktu dalam cerpen juga

cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi

waktu yang relatif luas. Ringkasan cerpen menunjukan kualitas yang bersifat

compression „pemadatan‟, conceration „pemusatan‟, dan intensity „pendalaman‟ yang

semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan

oleh panjang cerita itu.

Karena ceritanya yang pendek, cerpen hanya berisi satu tema. Hal itu berkaitan

dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas. Selain itu, pelukisan

latar dalam cerpen tidak memerlukan detail-detail khusus tentang keadaan latar,

misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan

pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu

memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan. Cerpen yang baik juga harus

memenuhi kriteria kepaduan, unity. Artinya segala sesuatu yang diceritakan bersifat

dan berfungsi mendukung tema utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling

menyusul yang membentuk plot, walau tidak bersifat kronologis, namun haruslah

tetap saling berkaitan secara logika. Cerpen menawarkan sebuah dunia yang padu,

namun dunia imajiner yang ditawarkan cerpen hanya menyangkut salah satu sisi kecil

pengalaman kehidupan saja (Nurgiyantoro, 2012: 13-14).

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

13

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa cerpen

merupakan salah satu jenis prosa fiksi, memiliki satu tema dan satu konflik yang

membentuk ide cerita. Cerpen merangkum cerita kehidupan manusia yang bersifat

fiktif secara singkat. Peristiwa, dan setting dalam cerpen digambarkan secara singkat

namun padat, tidak secara detail. Selain itu, tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam

cerpen cenderung tokoh bulat bukan kompleks. Di dalam cerpen yang pendek adalah

jenisnya namun, kualitas kejadian maupun peristiwa dengan sendirinya menyesuaikan

plot.

2. Tradisi Masyarakat Jawa

a. Pengertian Tradisi Masyarakat Jawa

Menurut Langlois (dalam Liliweri, 2014: 97) kata “tradisi” berasal dari bahasa

Latin tradere atau traderer yang secara harfiah berarti mengirimkan, menyerahkan,

memberi untuk diamankan. Tradisi adalah suatu ide, keyakinan, atau perilaku dari

suatu masa yang lalu yang diturunkan secara simbolis dengan makna tertentu kepada

suatu kelompok atau masyarakat. Karena itu makna “tradisi” merupakan sesuatu yang

dapat bertahan dan berkembang selama ribuan tahun, sering kali tradisi diasosiasikan

sebagai sesuatu yang mengandung atau memiliki sejarah kuno.

Tradisi memiliki akar masa lampau dan sedikit banyak mengandung ciri-ciri

sakral, seperti sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, seni, adat istiadat, dan

berbagai bentuk kebiasaan lain yang dilakukan secara turun-temurun. Meskipun dalam

skala ruang dan waktu sudah berubah, tradisi tidak hilang, tidak mati sebab secara

terus menerus kehidupan kembali melalui pemahaman masa kini. Sebagai sumber

khazanah kebudayaan masyarakat lama, khususnya berbagai bentuk kearifan lokal,

tradisi perlu dipelihara dan dikembangkan (Ratna, 2013: 518).

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

14

Menurut Douglas (dalam Liliweri, 2014: 99) ada beberapa aspek yang

berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya tertentu, (2)

kebiasaan atau bahkan kepercayaan yang dilembagakan dan dikelola oleh masyarakat

dan pemerintah, misalnya lagu-lagu daerah atau lagu-lagu nasional, hari libur

nasional, dan (3) kebiasaan atau kepercayaan bahkan “tubuh ajaran” yang

dilembagakan dan dikelola oleh kelompok-kelompok agama, badan-badan gereja yang

semuanya dibagikan kepada pihak lain. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat

disimpulkan tradisi adalah aktivitas yang mengandung nilai-nilai luhur dan berasal

dari nenek moyang, diyakini serta dilaksanakan secara turun-temurun oleh

masyarakat.

Menurut Warsito (2012: 98) masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat

tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua

daerah tersebut. Secara geografis, suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang

meliputi wilayah Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, serta Kediri dan

sebagainya. Pernyataan ini sangat relevan dengan yang disampaikan oleh Clifford

Geertz bahwa daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah

dan timur dari pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara

kolektif sering disebut daerah Kejawen.

Lebih lanjut, Warsito (2012: 99) menjelaskan bagi orang Jawa, hidup ini

penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup

manusia sejak dari keberadaanya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa,

sampai dengan saat kematian. Selain itu, juga upacara-upacara yang berkaitan dengan

aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah, khususnya bagi para nelayan,

para petani, pedagang dan juga upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

15

tinggal, seperti membangun gedung untuk berbagai keperluan, membangun dan

meresmikan rumah tempat tinggal, pindah rumah dan sebagainya. Berdasarkan

pengertian di atas, dapat disimpulkan masyarakat Jawa adalah kelompok etnis yang

tinggal di wilayah Jawa bagian Tengah dan Timur, mempunyai kebudayaan yang

khas.

Dinyatakan oleh Nurshodiq (2008: 12) upacara tradisi banyak dilakukan

masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Wilayah Jawa dari perspektif lingkungan

budaya terbagi menjadi beberapa daerah budaya. Masing-masing daerah budaya

menghasilkan upacara tradisinya sendiri, yang kadang-kadang memiliki pola yang

sama, namun juga memiliki pola yang berbeda. Upacara tradisi yang diselenggarakan

masyarakat mencerminkan identitas masyarakat tersebut.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi masyarakat

Jawa adalah aktivitas yang mengandung nilai-nilai luhur, berasal dari nenek moyang

diyakini dan dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Tradisi

masyarakat Jawa merupakan wujud kebudayaan aktivitas yang masih dipertahankan

oleh masyarakat. Masyarakat Jawa meyakini bahwa menjalankan tradisi merupakan

bukti hormat kepada leluhur. Masyarakat Jawa cenderung mempertahankan tradisinya,

meskipun hidup di tengah kemajuan zaman. Di sisi lain, masyarkat Jawa juga

menganggap tradisi sebagai media atau perantara menjaga hubungan baik dengan

leluhur.

b. Macam-Macam Tradisi Masyarakat Jawa

Menurut Bayuadhy, (2015:59-97) tradisi masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga

yaitu:

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

16

1) Tradisi Ziarah

Dalam masyarakat Jawa, ziarah disebut sebagai nyadran. Nyadran berasal dari

bahasa Sansekerta yaitu sraddha yang berarti keyakinan. Ketika nyadran, masyarakat

di pedesaan membersihkan makam. Selain itu, masyarakat juga melakukan tabur

bunga dan mendoakan leluhur masing-masing agar mendapatkan tempat yang kepenak

(baik) di sisi Tuhan. Masyarakat yang nyadran biasanya berdoa untuk kakek, nenek,

bapak, ibu, atau saudara yang telah meninggal dunia. Nyadran dapat menghubungkan

antara manusia hidup dengan yang telah meninggal, mengingatkan manusia kepada

Tuhan, dan mengingatkan manusia pada kematian (Bayuadhy, 2015: 97-100).

Sementara itu, Mumfangati (2007: 1) menjelaskan ziarah makan merupakan

satu dari sekian banyak tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat Jawa.

Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah.

Banyak orang beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokoh-

tokoh magis dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan tokoh yang

dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginannya.

Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir

bulan Ruwah menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat biasanya secara

bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat

melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara umum disebut

nyadran.

Di sisi lain, Suyono (2007: 134) menjelaskan ziarah dilakukan masyarakat

Jawa pada hari Jum‟at. Orang Jawa memandang hari Jumat Legi sebagai hari sesaji

terbesar. Pada hari ini, masyarakat Jawa memberi nyekar dan memberi sesaji pada roh

baik, jahat, maupun anggota keluarga. Hari Jumat Kliwon, sebagai hari yang dianggap

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

17

suci dipakai untuk memberikan sesaji di kuburan-kuburan keluarga yang dihormati.

Selain berziarah, pada hari itu orang juga mengunjungi tempat-tempat keramat untuk

meletakkan sesaji.

Menurut Bayuadhy (2015: 98) pelaksanaan nyadran dilakukan dengan

beberapa tahap meliputi: (1) Menyelenggarakan kenduri dengan pembacaan ayat Al-

Qur‟an, dzikir, tahlil, dan doa. Acara ini dilanjutkan dengan makan bersama. (2)

Melakukan bersih-bersih makam leluhur dari dedaunan kering dan rerumputan. (3)

Melakukan ziarah kubur disertai dengan membakar kemenyan, menabur bunga, dan

doa kepada arwah yang telah meninggal.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, nyadran atau ziarah

adalah aktivitas mengunjungi makam kerabat maupun leluhur, dalam rangka berdoa

dan menjaga hubungan baik dengan arwah mereka. Aktivitas yang dilakukan

masyarakat Jawa pada saat berziarah meliputi membersihkan makam, berdoa,

mambakar kemenyan, dan menabur bunga tiga rupa. Masyarakat Jawa beranggapan

bahwa menjaga hubungan baik tidak hanya dilakukan dengan sesama manusia. Akan

tetapi, hubungan baik dengan leluhur yang telah meninggalpun harus dijaga. Hal

tersebut dilakukan, untuk memperoleh keseimbangan hidup. Aktivitas mengunjungi

makam, secara terus-menerus dilakukan oleh masyarakat Jawa hingga menjadi tradisi

yang luhur.

2) Tradisi Upacara Pernikahan Adat Jawa

Menurut Meinarno dkk, (2011: 131) pernikahan merupakan ikatan lahir batin

antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk

membentuk rumah tangga (keluarga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

18

Yang Maha Esa. Di sisi lain, Suyono (2007: 134-135) menjelaskan upacara

perkawinan merupakan upacara yang sangat penting bagi orang Jawa. Upacara ini

bukan sekedar pesta, namun melewati serangkaian upacara yang cukup rumit. Agar

upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, orang Jawa memberi sesaji

pada kekuatan yang tidak tampak. Selamatan pada malam hari sebelum pernikahan,

atau pada malam hari sebelum upacara pemberian sasrahan (pemberian mahar)

ditujukan untuk mendapat keberuntungan bagi kedua pengantin.

Menurut Bayuadhy (2015: 59) dalam tradisi Jawa, terdapat upacara-upacara

yang harus dilalui sepasang pengantin sejak sebelum melaksanakan upacara

pernikahan adat Jawa sampai usai upacara. Upacara tersebut meliputi: (1) Tahap

menjelang pernikahan yaitu: a) menghitung weton, mangsa, dan posisi anak dalam

sebuah keluarga, b) nontoni yaitu suatu upaya dari pihak laki-laki untuk mengenal

calon pengantin perempuan, c) nglamar atau melamar yang dilakukan oleh pihak laki-

laki untuk memohon izin ke pihak perempuan, d) peningsetan yaitu acara tukar cicin

untuk mengikat kedua calon mempelai sebelum melakukan pernikahan, e) gethak dina

yaitu menentukan hari pernikahan berdasarkan penanggalan Jawa.

(2) Tahap persiapan pernikahan meliputi: a) uleman yaitu mengedarkan

undangan ke pada calon tamu pernikahan, b) pemasangan tarub yaitu memasang tenda

sebelum hari pernikahan, c) tuwuhan yaitu memberikan padi, janur kuning, batang

pisang, dan sebagainya ke pada calon mempelai wanita, d) siraman adalah mandi

yang dilakukan oleh kedua calon pengantin satu hari sebelum pernikahan, e)

midodareni yaitu temu pengantin pada malam hari. (3) Tahap pelaksanaan upacara

pernikahan meliputi: a) pelaksanaan ijab, b) balang suruh yaitu pada saat resepsi

pernikahan kedua pengantin bertemu di gapura dan berhenti untuk saling melempar

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

19

ikatan daun sirih, c) bukak kawah dilakukan jika seorang ayah pertama kali

menikahkan anak perempuannya. Ayah dari pengantin wanita meminum rujak kelapa

muda, dan ibu pengantin wanita menanyakan rasa rujak tersebut.

Dinyatakan oleh Purwadi (2005: 167) upacara-upacara perkawinan yang

sebenarnya, melambangkan persatuan antara suami dan istri. Anak dara dan mempelai

laki-laki makan nasi dengan piring yang sama bersama-sama, mengunyah kapur sirih

yang sama dan lain sebagainya. Pada umumnya, upaara perkawinan ini dilangsungkan

kalau telah mendapat perhitungan hari oleh pihak gadis berdasarkan perhitungan

kelahiran (neptu, Jawa) nilai nama dari kedua calon mempelai dan lain sebagainya.

Kemudian hal tersebut diberitahukan kepada kerabat atau keluarga laki-laki dengan

berganti pihak gadis datang berkunjung kepada keluarga laki-laki.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan upacara pernikahan adat

Jawa adalah upacara penyatuan dua insan manusia sebagai suami istri yang sah dimata

agama maupun secara adat. Upacara pernikahan adat Jawa diselenggarakan sesuai

dengan adat kebiasaan masing-masing daerah. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa

peristiwa pernikahan merupakan hajat yang sangat penting. Oleh sebab itu, setiap

tahapan yang ada di dalamnya tidak bisa disepelekan. Pada dasarnya upacara

pernikahan adat Jawa yang digelar dengan berbagai acara, bertujuan untuk memohon

keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa.

3) Tradisi Bersih Desa

Menurut Bayuadhy (2015: 86) tradisi bersih desa merupakan tradisi yang

sudah ada sejak masa pra Hindu-Budha. Bersih desa merupakan upacara tradisional

adat Jawa yang dilaksanakan satu kali dalam setahun. Pada awalnya, upacara bersih

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

20

desa dilaksanakan oleh masyarakat petani secara serentak setelah panen. Dalam

perkembangannya, pelaksanaan bersih desa tidak selalu setelah panen padi. Upacara

bersih desa merupakan upacara yang dilaksanakan untuk melakukan pembersihan atau

penyucian. Beberapa hari sebelum upacara atau ritual bersih desa dimulai, masyarakat

sudah bersih-bersih secara gotong royong. Berbagai tempat di wilayah desa atau

kampung dibersihkan antara lain, makam, masjid, halaman rumah, dan jalan-jalan

yang jarang dilewati orang. Hal ini dimaksudkan agar keadaan kampung atau desa

tampak bersih.

Di sisi lain, Koentjaraningrat (1984: 374-375) menjelaskan bersih desa

dilakukan sekali dalam setahun, yaitu biasanya pada bulan Sela yakni bulan ke sebelas

dalam penanggalan Jawa. Walaupun demikian, tanggal yang dilakukan berbeda-beda

di setiap desa. Dalam kegiatan bersih desa, seluruh masyarakat membersihkan diri

dari kejahatan, dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal tersebut,

tercermin dalam berbagai aspek yang mengandung unsur simbolik. Akan tetapi,

perayaan ini juga mengandung sisa-sisa adat penghormatan terhadap roh nenek

moyang.

Tradisi upacara bersih desa dalam masyarakat Jawa merupakan upacara yang

sangat penting dan bersifat keramat. Upacara keramat sering kali memiliki prosesi

yang tidak sederhana dan tentu saja membutuhkan biaya yang besar dari pada upacara

selamatan biasa. Masyarakat Jawa menggelar upacara bersih desa agar seisi desa

dijauhkan dari mala petaka yang mengancam ketenangan dan kesejahterahan

masyarakat. Masyarakat mengharap kesuburan tanah, dijauhkan dari penyakit, dan

pengaruh negatif lainnya (Kholil, 2010: 268).

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

21

Bayuadhy (2015: 87) menjelaskan, rangkaian upacara bersih desa terdiri dari;

(1) Kerja bakti masal untuk membersihkan seluruh wilayah, kemudian

diselenggarakan kenduri bersama yang diikuti oleh seluruh warga desa. Kenduri

bersama ini biasanya digelar di tempat umum, misalnya halaman masjid dan balai

desa. Masyarakat membawa perlengkapan kenduri masing-masing berupa nasi dan

lauk-pauk. (2) Ritual atau upacara bersih desa dimulai dengan dipimpin oleh tokoh

masyarakat, misalnya modin (toloh agama). Pemimpin upacara bersih desa

membacakan doa, kemudian diikuti peserta kenduri. Setelah doa selesai kenduri di-

bawa pulang kembali oleh masing-masing individu. (3) Pada malam harinya di desa

tersebut digelar hiburan untuk masyarakat luas. Hiburan di setiap daerah berbeda-beda

mulai dari wayang kulit, tarian seblang, dan ketoprak.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bersih desa merupakan

aktivitas membersihkan desa secara bersama-sama, dengan menggelar slametan,

membersihkan tempat keramat, dan menggelar seni pertunjukan. Dalam melakukan

tradisi bersih desa, masyarakat bertujuan agar memperoleh keselamatan hidup.

Masyarakat Jawa biasa menggelar tradisi bersih desa setelah masa panen padi selesai.

Sebagai bentuk rasa syukur, masyarakat melakukan slametan dan menggelar seni

pertunjukkan sebagai tontonan rakyat. Pada tiap daerah seni pertunjukan yang digelar

dalam upacara bersih desa berbeda-beda.

Sementara itu, menurut Koentjaraningrat (1984: 344-371) tradisi masyarakat

Jawa dibadi menjadi dua yaitu:

1) Tradisi Upacara Slametan

Menurut Koentjaraningrat (1984: 344) slametan atau wilujengan adalah suatu

upacara pokok atau unsur terpenting dari semua ritus dan upacara dalam sistem religi

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

22

orang Jawa pada umumnya. Suatu upacara slametan biasanya diadakan di rumah suatu

keluarga, dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga. Slametan biasa dilakukan oleh

penganut agama Hindu-Budha dengan menyelenggarakan berbagai ritual. Slametan

dilakukan untuk mendapatkan keselamatan hidup. Upacara biasanya diadakan pada

malam hari, dan bertempat di serambi rumah depan. Di sisi lain, Koentjaraningrat

(1999: 347) juga menjelaskan selamatan adalah suatu upacara makan bersama

makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan itu tidak

terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat

hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun

mahluk-mahluk halus tadi.

Slametan diadakan dalam hampir semua kesempatan yang mempunyai arti

ritual bagi orang Jawa, misalnya kehamilan, kelahiran, penyunatan, perkawinan, dan

sebagainya. Upacara slametan juga dilakukan untuk mencegah penyakit, guna-guna,

atau kemalingan. Namun, walaupun seluk-beluk upacara itu berbeda-beda, yaitu

persiapan makanan, pembacaan doa, serta kegiatan simbolis dan sarana-sarana yang

berhubungan dengan itu, namun bentuk dan tujuan umum dari slemetan tidak berubah.

Slametan adalah suatu pesta bersama yang bersifat sakral. Pesta tersebut diadakan

bersama tetangga-tetangga untuk menjamin adanya keselamatan (slamet), umum bagi

mereka yang ikut serta dalam upacara tersebut, khususnya yang mengadakan upacara

itu lain (Colleta, 1987: 58).

Di samping slametan harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah rasional

dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan supranatural yang bersifat

spiritual. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk

mendapat ridha darai Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

23

kehidupan di pedusunan Jawa. Bahkan ada yang meyakini bahwa slametan

merupakan syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan

ketidakberkahan atau kecelakaan (Purwadi, 2005: 22).

Menurut Koentjaraningrat (1984: 347) upacara slametan digolongkan menjadi

dua yaitu: (1) Slametan yang bersifat keramat adalah upacara slametan yang dapat

menggetarkan emosi orang-orang yang menyelenggarakan. Keputusan mengadakan

upacara slametan yang keramat biasanya diambil berdasarkan keyakinan keagamaan

yang murni dan adanya suatu perasaan khawatir terhadap hal-hal yang tidak

diinginkan. (2) Slametan yang bersifat keagamaan adalah upacara yang tidak

menimbulkan getaran emosi keagamaan pada orang-orang yang

menyelenggarakannya. Upacara slametan semacam ini diselenggarakan hanya untuk

menjaga solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai antar sesama.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan slametan adalah upacara

tradisi yang bertujuan untuk memohon keselamatan, menjaga kerukunan, dan

dijauhkan dari elemen-elemen negatif. Upacara slametan yang dilakukan masyarakat

Jawa ditempuh dengan ritual. Oleh sebab itu, perlengkapan yang digunakan dalam

upacara slametan bersifat kompleks. Misalnya sesaji yang terdiri dari bunga tujuh

rupa, tiga warna, dan makanan yang siap dibagikan kepada masyarakat. Dalam

upacara slametan yang digelar masyarakat Jawa beracuan pada tujuan dan

harapannya.

2) Tradisi Puasa Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1984: 371) menjelaskan masyarakat Jawa golongan

agami Jawi atau abangan pada umumnya menjalankan ibadah puasa yang sifatnya

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

24

tidak wajib. Orang Jawa pada umumnya melakukan tirakat dengan mencari

kesukaran, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat

orang teguh imannya. Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantangan makan

selain nasi putih saja (mutih). Selain itu, orang Jawa juga melakukan adat yaitu makan

dengan porsi sedikit (ngepel). Orang Jawa juga yang berpuasa dengan cara masuk ke

dalam ruangan yang gelap tidak ditembus oleh cahaya (pati geni).

Di sisi lain. Sugiyatno (2004: 2) menjelaskan dunia manusia Jawa kental

dengan istilah tirakat. Sampai-sampai ada beragam jenis praktik laku tirakat (prihatin)

yang biasa kita dengan dari aktivitas orang Jawa. puasa mutih, kungkum, pati geni,

wunglon, topo mbisu. Bahkan, sebenarnya hal-hal yang tidak secara wajar bersifat

ritual simbolis, semisal nyantrik, menunda kesenangan, berpantang, serta

mengendalikan akhlak dan perilaku, juga selalu dapat dimaknai sebagai laku prihatin.

Seperti halnya idiologi, bagaimana pandangan hidup atau filosofi hidup orang Jawa

sulit dijabarkan karena sifat dan bentuknya yang abstrak. Pandangan hidup barulah

berupa ide, gagasan, cita-cita, pola pikir, paham, kepercayaan, atau kumpulan

konsepyang dijadikan asas atau pedoman di dalam menentukan arah atau tujuan

hidup, moral akhlak, serta perilaku seseorang.

Sementara itu, Imam Budi (dalam Sugiyatno, 2004: 3-4) menjelaskan apabila

ingin mengetahui pandangan hidup orang Jawa, caranya dapat dengan merunut dan

menafsirkan berbagai macam aspek yang mawujud dalam “tata urip, tata karma, dan

tata laku” dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pandangan hidup orang

Jawa akan tampak dari gaya hidup yang sadar tidak sadar telah dilakukan cukup lama

dan membentuk kepribadian mereka. Sebab pada hakikatnya seluruh aktivitas, karya

serta sistem yang dibudidayakan mereka adalah buah dari hasil persenyawaan pati-sari

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

25

nilai pandangan hidup yang mengalir dari situasi ke situasi serta mengakar cukup lama

dan dalam di hati sanubari orang Jawa.Suka prihatin dan menjalani laku olah batin.

Ada peribahasa yang secara eksplisit menyatakan hal ini, yaitu “wong Jowo gedhe

tapane”. Orang Jawa memiliki semangat besar untuk bertapa atau laku prihatin,

seperti dianjurkan dalam ungkapan ; “cegah dahar lan guling” yang berarti

melakukan banyak puasa dan jangan banyak tidur.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan tradisi puasa Jawa atau tirakat

merupakan aktivitas memakan makanan tertentu, bertujuan untuk menahan hawa

nafsu sehingga hajatnya dapat tercapai dengan baik. Puasa Jawa atau tirakat dilakukan

masyarakat Jawa dengan berbagai cara sesuai dengan tujuannya. Puasa mutih, atau

hanya memakan makanan yang berwarna putih dan tidak diberi penyedap rasa,

bertujuan agar manusia menjadi pribadi yang sabar. Tirakat merupakan aktivitas yang

identik dengan hal-hal magis. Oleh sebab itu, masyarakat berkeyakinan bahwa tirakat

dapat membantu manusia memperoleh keinginannya.

3. Mitos Masyarakat Jawa

a. Pengertian Mitos

Kata mitos secara etimologi berasal dari kata “mathos” (Yunani) yang berarti

cerita atau kata yang diucapkan. Kata mitos merupakan lawan kata logos. Mitos

adalah cerita seorang penyair sedangkan logos yaitu laporan yang dapat dipercaya

sesuai dengan kenyataan. Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu dapat menjadi

mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek

pesannya, namun oleh cara dia mengutarakan pesan itu sendiri. Mitos memiliki

batasan-batasan formal, namun semua itu begitu „substansial‟. Pada dasarnya, segala

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

26

sesuatu tidaklah diekspresikan pada waktu bersamaan: beberapa objek menjadi

mangsa wicara mistis untuk sementara waktu, lalu sirna, yang lain menggeser

tempatnya dan memperoleh status sebagai mitos (Barthes, 2006: 152-153).

Sementara itu, Ahimasa (2001: 80) mengemukakan bahwa mitos disampaikan

melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Pesan-pesan dalam sebuah mitos

diketahui lewat proses penceritaannya, seperti halnya pesan-pesan yang disampaikan

melalui bahasa diketahui dari pengucapannya. Di sisi lain, menurut Van Peursen

(dalam Daeng, 2000: 81-82) mitos menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-

kekuatan ajaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati daya-daya itu

sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan alam dan kehidupan sukunya. Mitos

memberi jaminan masa kini, dalam arti dengan mementaskan atau menghadirkan

kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha serupa dijamin terjadi

sekarang. Mitos juga berfungsi sebagai perantara antara manusia dan daya-daya

kekuatan alam; mitos memberi pengetahuan tetang dunia.

Sementara itu, Thohir (2007: 107) menjelaskan mitos itu sendiri

perwujudannya berupa cerita-cerita (gaib) yang memberikan pedoman dan arah

tertentu kepada masyarakat yang bersangkutan. Cerita-cerita mitos diturunkan secara

lisan dari satu generasi kepada generasi berikutnya dengan cara-cara tertentu sehingga

membentuk sebuah dunia tersendiri dan dengannya orang menjadi yakin adanya. Inti

dari cerita mitos tersebut adalah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman

manusia yakni lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian,

perkawinan dan kesuburan, sehingga dengan itu masyarakat mempunyai pegangan

bagaimana hidup itu dijalani.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

27

Melalui mitos pada masyarakat Jawa, kita akan mengetahui bahwa masyarakat

Jawa lebih menyukai kisah dongeng daripada kisah faktual. Sekalipun demikian, kisah

dongeng yang sulit dibuktikan kebenarannya di alam riil tersebut tetap mengandung

ajaran positif bagi orang Jawa. Adapun ajaran positif yang terkandung di dalam mitos

Jawa, yakni agar setiap manusia mampu menggunakan ilmu titen, yakni ilmu yang

bersumber dari pengamatan atas kejadian berulang-ulang hingga menjadi mitos.

Dengan ilmu itu, orang Jawa untuk selalu berhari-hati di dalam menjalankan

kehidupan. Mitos memiliki ajaran positif bagi setiap manusia agar selalu meyakini

bahwa di luar kekuatannya terdapat kekuatan lain yang bersifat magis (Achmad, 2014:

9-10).

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan mitos adalah cerita

tentang asal-usul, kesaktian, roh, kekuatan benda yang bersifat irasional dan diyakini

sebagai fakta di masyarakat. Cerita yang terdapat dalam mitos berkaitan dengan masa

lalu atau masa kini bersifat menjelaskan fenomena budaya tertentu atau memberi

pendidikan secara tidak langsung. Mitos tidak hanya berpusat pada cerita-cerita yang

dianggap tabu oleh masyarakat. Di sisi lain, mitos juga berpusat pada cerita-cerita

yang bersumber dari kesaktian, benda, dan kekuatan-kekuatan lain di luar nalar

manusia. Mitos masyarakat Jawa lahir akibat pengaruh sistem keyakinan maupun

religi yang mereka anut. Masyarakat golongan Abangan atau Kejawen merupakan

masyarakat yang percaya terhadap keberdaan mitos di lingkungan sekitar.

b. Kepercayaan terhadap Mitos di Jawa

Menurut Sujarwa (2005:137) kata “kepercayaan” berasal dari kata “percaya”,

artinya mengakui atau meyakini akan kebenaran. Adapun kata “kepercayaan” itu

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

28

sendiri dapat diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau

keyakinan tentang kebenaran. Sebuah “sistem kepercayaan” merupakan organisasi

dari nilai-nilai yang dihormati dan dijalankan sebagai bagian dari keyakinan kolektif

dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Sementara itu, Liliweri (2014: 109)

menjelaskan dalam makna dihormati dan dijalankan itulan “sistem kepercayaan”

merupakan pedoman dan pemandu pikiran, kata-kata, dan tindakan individu atau

kelompok yang mencoba menjelaskan dunia di sekitar kita.

Menurut Kailish (dalam Liliweri, 2014:110) sebuah sistem kepercayaan adalah

kumpulan keyakinan yang saling mendukung sebagaimana yang dipegang oleh orang

tersebut, dan kepercayaan merupakan apa yang disebut memiliki unsur subjektif dari

budaya. Seperti kata Jonathan Glover (dalam Liliweri, 2014: 110) sistem kepercayaan

adalah satu set kepercayaan yang bersistem dan bagian-bagianya saling mendukung.

Sejalan dengan Jonathan Glover, Purwadi (2005: 61) menyatakan seperti

halnya di daerah Jawa pada umumnya penduduk mempunyai kepercayaan yang

bersifat animistis dan dinamistis. Untuk menunjukkan kepercayaan animisme dan

dinamisme ini, penduduk di Jawa masih pecaya adanya roh atau arwah yang

meninggal dunia disebut leluhur. Konsep leluhur selalu ada dan hidup dalam alam

pikiran mereka. Kadang-kadang mereka personifikasikan sebagai makhluk halus yang

dianggap menempati alam sekitar tempat tinggal manusia dan selalu mengawasi

tingkah laku mereka.

Suyono (2007: 75-76) mengemukakan di Jawa, rasa takut atau hormat terhadap

benda “berjiwa” dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Pemujaan dapat dilakukan

terhadap roh yang ada di suatu benda, atau langsung memuja benda itu sendiri. Di

Jawa juga ada yang percaya bahwa suatu barang merupakan alat setan sehingga sukar

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

29

diketahui apakah pemujaannya mengarah pada spiritisme atau fetisisme. Selain itu,

ada juga orang yang memanfaatkan mantra atau berpuasa untuk mendapatkan tenaga

alam sehingga dapat mendatangkan keselamatan atau menolak bala. Keyakinan

terhadap kekuatan alam ini melahirkan perasaan tidak berdaya menghadapi alam.

Oleh sebab itu bagi orang-orang Jawa semua kejadian dianggap sebagai keajaiban.

Lebih lanjut Purwadi (2005: 61-62) mengatakan bahwa mahluk halus disekitar

tempat tinggal mereka dapat dikategorikan antara yang jahat, yaitu biasa mengganggu,

dan yang baik, yaitu mahluk halus yang dianggap dapat membantu dan melindungi

manusia dari gangguan gaib lainya. Untuk berhubungan dengan leluhur atau mahluk

halus, dilakukan melalui seorang perantara yang disebut dhukun. Dhukun, sebagai

perantara yang menghubungkan antara manusia dengan leluhurnya itu, mempunyai

peranan yang cukup penting di dalam kehidupan keluarga atau masyarakat, misalnya

dalam peristiwa-peristiwa yang menyangkut hidup seseorang (life cycle). Di samping

kepercayaan yang animistis, penduduk juga masih mengenal kepercayaan dinamisme,

yaitu kepercayaan tentang anggapan, bahwa benda-benda tertentu mempunyai

kekuatan gaib.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan kepercayaan masyarakat

Jawa terhadap mitos merupakan keyakinan masyarakat tentang cerita asal-usul,

kesaktian keberadaan roh, dan kekuatan yang bersifat irasional, namun diyakini

sebagai fakta. Masyarakat Jawa percaya dengan keberadaan mitos karena kehidupan

masyarakat Jawa identik dengan roh, kekuaatan dalam benda, maupun cerita yang

berasal dari nenek moyang. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap mitos dijadikan

sebagai landasan untuk berperilaku, berpikir, dan mengambil keputusan. Masyarakat

Jawa juga mempunyai anggapan bahwa mitos yang tubuh di lingkungan tempat

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

30

tinggalnya, memberikan pendidikan moral terhadap masyarakat. Hal itulah yang

mendasari masyarakat untuk tetap mempertahankan kepercayaannya terhadap mitos.

c. Macam-Macam Mitos Masyarakat Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1984: 338-349) macam-macam mitos masyarakat

Jawa dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Mitos Kasekten

Menurut Koentjaraningrat (1984: 342) orang Jawa memuja benda-benda

pusaka yang dianggap sakti dan mengandung kasekten. Benda-benda tersebut harus

dijaga agar tetap keramat, dan karena itu harus diusahakan agar kekuatan sakti yang

terkandung di dalamnya tidak terlalu banyak keluar. Kekuatan kasekten yang

dianggap ada dalam benda-benda itu seringkali digunakan oleh para pemiliknya untuk

menghalau penyakit dan malapetaka. Sementara itu, Marzuki (2011: 6) menjelaskan

masyarakat Jawa mengenal kesaktian dalam tubuh manusia maupun benda. Biasanya

orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak bersaja pada

masyarakat. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah pusaka peninggalan dan

makam-makam leluhur. Kedua hal itu memiliki kesaktian karena mampu melampaui

kodrat alam.

Di sisi lain, menurut Kalff (dalam Koentjaraningrat, 1984: 342) hanya orang

yang kuat jasmani dan rohaninya saja yang dianggap mampu memiliki kasekten.

Orang Jawa menganggap kesaktian sebagai energi yang kuat yang dapat

mengeluarkan panas, cahaya atau kilat. Kesaktian itu dapat berada di berbagai bagian

tertentu dari tubuh manusia, seperti: kepala (terutama rambut dan mata) alat kelamin,

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

31

kuku, air liur, keringat, dan air mani. Namun, kesakten pada umumnya ada pada

benda-benda suci, terutama benda-benda pusaka.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos terhadap kasekten

merupakan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan yang berasal dari benda

maupun tubuh manusia. Manusia diyakini memiliki kekuatan yang terdapat dari organ

tubuhnya. Selain itu, masyarakat Jawa juga meyakini kekuatan yang tersimpan dalam

benda pusaka dan jimat. Kedua hal tersebut diyakini dapat mendatangkan kebaikan

dan keburukan bagi diri manusia. Cerita tentang kesaktian dipercaya oleh masyarakat

Jawa sebagai fakta, meskipun bersifat irasional. Hal itulah yang melahirkan mitos

tentang kasekten di lingkungan masyarakat Jawa.

2) Mitos Roh Dhanyang Desa

Menurut Koentjaraningrat (1984: 338-339) sistem agami Jawi mengenal

adanya roh nenek moyang atau roh leluhur. Sebagai roh halus yang berkeliaran di

sekitar tempat tinggalnya semula, atau sebagai arwah leluhur yang telah menetap di

makan, maupun yang tinggal di surga dekat Allah. Roh nenek moyang masih lama

akan dipuja dan dipanggil oleh para keturunannya untuk memberi nasehat kepada

mereka mengenai persoalan rohaniah maupun material. Masyarakat Jawa mengenal

roh-roh yang baik, yang bukan nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal yaitu

Dhanyang, Bahureksa, dan Sing Ngemong.

Di sisi lain, menurut Suyono (2007: 120) Dhanyang desa juga dinamakan

leluhur yaitu sosok pendiri atau pembuka desa. Mereka adalah hantu yang tak tampak,

yang dipercaya telah berada di wilayah tersebut sebelum desa dibuka oleh manusia

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

32

yang bertempat tinggal di dekat desa itu atau sekitarnya. Karena senang bertempat

tinggal di desa, maka desa yang berkembang di sekitarnya akan dilindungi dan dijaga.

Dhanyang menjadi sumber semua berkah dan keselamatan yang dinikmati semua

penduduk desa. Akan tetapi, apabila Dhanyang tidak dihormati dan disepelekan,

cobaan serta kesengsaraan akan menimpa desa.

Sementara itu, Budiyanto (2008: 649) menjelaskan masyarakat Jawa percaya

kepada Tuhan dan Rasulnya, namun mereka juga percaya bahwa ada roh-roh yang

patut dihormati. Dalam alur seperti itulah maka yang perlu disadari adalah sebelum

kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan kepercayaan yang berdasarkan

animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan masyarakat Jawa. Oleh sebab itu,

masyarakat yang memeluk agama Islam di Jawa percaya terhadap cerita roh nenek

moyang. Perlu diketahui bahwa cerita tentang roh leluhur, merupakan hasil buah pikir

manusia yang dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dianutnya.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mitos Dhanyang desa merupakan

cerita tentang roh penjaga desa yang dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai fakta.

Kepercayaan terhadap roh merupakan pola pikir yang bersifat irasional, namun

masyarakat Jawa tetap meyakininya. Masyarakat Jawa percaya bahwa roh penjaga

desa benar-benar ada, maka mereka senantiasa memberi penghormatan kepada roh

tersebut. Bentuk penghormatan masyarakat Jawa kepada roh dibuktikan melalui

kegiatan nyajen. Cerita tentang roh nenek moyang dituturkan secara turun-temurun,

hingga menjadi mitos yang mekar di tanah Jawa.

3) Mitos kekuatan Sesajen

Menurut Koentjaraningrat (1999: 348-349) sajen pada mulanya merupakan

wujud kebudayaan pra Hidu-Budha yang sampai saat ini mempengaruhi kehidupan

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

33

masyarakat Jawa. Kepercayaan terhadap kekuatan sesajen dipengaruhi oleh keyakinan

kekuatan mistik yang melahirkan takhayul. Takhayul di Jawa berbeda-beda antara

wilayah yang satu dengan lainnya. Sesaji diyakini memiliki kekuatan karena dapat

menolak pengaruh setan, mahluk mengerikan, hantu, dan roh jahat. Sesaji juga dapat

diperuntukkan sebagai persembahan kepada roh-roh orang meninggal.

Di sisi lain, Suyono (2007: 131) menjelaskan sesajen merupakan ramuan dari

tiga macam bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apem yang

diletakkan dalam besekan kecil atau bungkusan daun pisang. Ada sesajen yang dibuat

pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sesajen ini sangat sederhana

karena hanya terdiri dari tiga macam bunga yang dimasukkan ke dalam gelas berisi

setengah air dan bersama-sama sebuah pelita diletakkan di atas meja untuk dikutug.

Hal tersebut bertujuan agar roh jahat tidak mengganggu keselamatan seisi rumah.

Sementara itu, Nurshodiq (2008: 61) menjelaskan sesaji apabila dilihat dari

fungsi atau kegunaan dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Sesaji yang digunakan untuk

memberi makan roh halus, jika seseorang mendapatkan musibah dan dapat diatasi

dengan pemberian sesaji. (2) Sesaji yang berfungsi untuk penghormatan misalnya

untuk para leluhur ketika masih hidup suka dengan rokok maka leluhur tersebut akan

diberi rokok sesuai dengan kegemarannya dan sebagainya. (3) Sesaji juga dipakai

sebagai perlambangan misalnya bubur atau jenang merah putih yang melambangkan

asal muasal mausia.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan mitos kekuatan sesajen merupakan

cerita tentang kekuatan yang terdapat dalam sesajen, diyakini oleh masyarakat Jawa

sebagai fakta. Masyarakat Jawa meyakini bahwa sesaji yang telah digunakan dalam

ritual, seni pertunjukan, maupun upacara adat mengandung kekuatan. Oleh sebab itu,

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

34

masyarakat Jawa memperebutkan sesaji tersebut sebagai pengasih bagi dirinya. Mitos

kekuatan sesajen yang tumbuh di lingkungan masyarakat Jawa, dipengaruhi oleh

kepercayaan dinamisme. Sesaji diyakini sebagai benda yang dapat mendatangkan

keberkahan bagi masyarakat Jawa. Cerita tersebut secara turun-temurun diyakini

masyarakat Jawa sebagai fakta.

Sementara itu, Priyadi (2006: 206-209) menjelaskan masyarakat Jawa yang

bertempat tinggal di desa Cipaku dan Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten

Purbalingga, Jawa Tengah mengenal sebuah mitos yaitu tabu menikah antara

masyarakat desa Cipaku dengan Onje.

1) Mitos Tabu Nikah antara Masyarakat Desa Cipaku dengan Onje

Menurut Priyadi (2006: 206) babad Onje, sebagai produk kebudayaan,

tampaknya merupakan teks yang menjelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal

masyarakat Onje. Kesejarahan Onje diakui oleh kalangan yang lebih luas berkat

hadirnya teks babad Onje tersebut. Hal itu berbeda dengan Cipaku yang dikenal

sebagai rival Onje. Cipaku sebagai daerah kadipetan memang tidak disebut dalam teks

Babad Onje sebagai daerah bagian Onje. Jadi, Cipaku berdiri sendiri sebagai

kadipaten yang setara dengan Onje. Sebenarnya, tabu nikah di masyarakat Onje dan

Cipaku berasal dari Adipati Cipaku yang merasa dirinya menjadi korban kejahatan

Adipati Onje yang digolongkan olehnya sebagai orang jahat, sedangkan Adipati Onje

juga menyatakan tabu bagi laki-laki Onje untuk memadu dua orang istri atau lebih,

dan perempuan Onje tidak boleh dimadu oleh suaminya.

Di sisi lain, menurut Purwaningsih (dalam Priyadi, 2006: 208) tabu nikah dari

Adipati Onje ini berdasarkan pengalaman pahit dirinya. Tabu Adipati Onje juga

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

35

ditemukan pada folklor yang diteruskan kepada pewaris aktif folklor yang berasal dari

kepala desa Mangunegara. Kiranya folklor Onje ini yang paling menonjol bertujuan

untuk menyampaikan proyeksi keinginan yang terpendam sebagai alat legitimasi bagi

masyarakat Onje bahwa desanya dahulu merupakan suatu kadipaten yang berwibawa

sejak zaman Pajang hingga masa pemerintakah Susuhunan Paku Buwana I.

Sementara itu, menurut Tohirin (dalam Priyadi, 2006: 209) Raden Ore-Ore

yang merupakan anak Adipati Onje memiliki dua istri. Salah satu istrinya merupakan

orang asli Cipaku. Pada saat melihat kedua istrinya bertengkar, Raden Ore-Ore

kemudian membunuhnya. Oleh sebab itu, Adipati Cipaku begitu keras menanggapi

kasus pembunuhan putrinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Adipati Cipaku

memiliki karakter keras, juga karena Putri Pakuwati adalah pihak yang dijadikan

korban. Sikap Adipati Cipaku memang telah mengisyarakatkan kemusaskulinan dari

pada feminitas karena kata Cipaku itu identik dengan phallus atau lingga sebagai

simbol kejantanan, sedangkan kata Onje berarti buah yang lebat (ngroje) yang

menyimbolkan perempuan.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mitos tabu nikah antara

masyarakat desa Cipaku dengan Onje merupakan cerita larangan menikah antara

orang Onje dengan Cipaku di kabupaten Purbalingga. Pantangan tersebut, dipercaya

dapat mendatangkan musibah jika dilanggar. Tidak ada batasan yang jelas mengapa

orang Cipaku dilarang menikah dengan warga Onje. Hal tersebut merupakan sebuah

cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga diyakini sebagai fakta.

Masyarakat Jawa percaya bahwa salah satu cara menghormati leluhur ialah dengan

menjauhi larangannya.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

36

4. Konstruksi Tradisi dan Mitos Masyarakat Jawa

a. Pengertian Konstruksi

Menurut Dagun (2013: 845) konstruksi disebut sebagai susunan, model, tata

letak suatu bangunan. Konstruksi dapat juga disebut dengan istilah konstruk. Sejalan

dengan Dagun, Ratna (2013: 236-238) menguraikan bahwa definisi konstruk dapat

dilihat dari definisi konsep. Secara luas konsep adalah abstraksi suatu peristiwa

gambaran mental suatu objek. Konsep dibangun atas dasar data bukan opini.

Menurut Sari (2013: 24) konstruksi merupakan faktor-faktor yang turut

berperan membentuk budaya dalam teks sastra. Peristiwa masa lampau, cara berpikir,

kebiasaan, dan kondisi lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi lahirnya

suatu kebudayaan. Sementara itu, menurut Saputra (2014: 31) konstruksi merupakan

susunan atau bangunan yang dijadikan landasan maupun titik tolak. Landasan yang

baik disusun dengan baik dan memuat data faktual. Faktual menjadi ciri konstruksi,

sehingga diharapkan mampu menceritakan kondisi saat ini dengan masa lampau.

Di sisi lain, menurut Ratna (2011: 71) konstruksi membentuk identitas maupun

ciri dalam pembentukan suatu kebudayaan. Kebudayaan dalam suatu masyarakat

dapat berubah-ubah, namun tidak akan kehilangan ciri khasnya. Mobilitas dalam

kelompok masyarakat mengandung pengertian bahwa lingkungan sosial budaya setiap

orang berubah-ubah tergantung pada perilaku mobilitas seseorang atau kelompok.

Mobilitas mendorong proses rekonstruksi identitas sekelompok orang. Terdapat dua

proses dalam rekonstruksi yaitu adaptasi kultur para pendatang dengan kebudayaan

tempat bermukim dan proses pembentukan identitas individual yang beracuan pada

nilai kebudayaan asalnya.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

37

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan konstruksi adalah

susunan, bangunan yang dijadikan landasan suatu peristiwa dalam keseluruhan

aktivitas manusia meliputi pengetahunan, kebudayaan, maupun seni. Tradisi dan mitos

merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki konstruksi. Konstruksi bertujuan

untuk mengetahui peristiwa masa lampau yang menjadi latar belakang lahirnya suatu

kebudayaan. Konstruksi menjadi ciri khas yang dimiliki kelompok manusia sebagai

penghasil budaya.

b. Jenis Konstruksi Tradisi Masyarakat Jawa

Menurut Koentjaraningrat, (1984: 350-381) jenis konstruksi tradisi masyarakat

Jawa dibagi menjadi tiga. Tiga jenis konstruksi tersebut dijelaskan dalam uraian

berikut:

1) Konstruksi Sistem Keyakinan Agami Jawi

Konstruksi sistem keyakinan agami Jawi, terlihat dalam dua tradisi masyarakat

Jawa yaitu tradisi upacara pernikahan adat Jawa dan puasa jawa. Menurut

Koentjaraningrat (1984: 350) pernikahan merupakan salah satu rangkaian upacara

sepanjang lingkar hidup. Upacara sepanjang lingkar hidup ialah bentuk tertua dari

semua aktivitas keagamaan dalam kebudayaan manusia, walaupun demikian upacara

tersebut sudah menjadi hal yang mutlak dalam sistem keagamaan agami Jawi. Dalam

sistem keyakinan agami Jawi, orang Jawa Kejawen menjadikan AL-Qur‟an sebagai

sumber utama dari segala pengetahuan yang ada. Akan tetapi, masyarakat yang

menganut sistem keyakinan agami Jawi dalam melakukan aktivitas sehari-hari

dipengaruhi oleh nilai budaya dan norma-norma. Pengetahuan mereka juga diperoleh

dari buku keramat seperti Primbon yang didapat dari seorang dukun.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

38

Sementara itu, Purwadi (2005: 69) menjelaskan dalam sistem religi orang

Kejawen terdapat pengetahuan petung cara Jawa. Perhitungan menurut kalender dan

primbon biasa dilakukan dalam menentukan jodoh. Pengetahuan ini penting dilakukan

karena sebagian besar penduduk beranggapan, bahwa segala suatu nasib manusia

tergantung petungan ini. Berdasarkan neptu atau weton dapat dicari dan dihitung

jumlah yang cocok untuk menentukan jodoh seseorang. Apabila diperoleh jumlah

tidak cocok, maka kemungkinan rencana pernikahan akan dibatalkan. Dalam hal ini

orang Jawa mempunyai pedoman cara menghitung dan juga beberapa istilah yang

melambangkan hidup seseorang di masa mendatang.

Di sisi lain, Warpani (2015: 1) menjelaskan menurut kitab Primbon Jawa

kuno, siapapun yang menggelar perhelatan pernikahan harus memedomi tiga hal

yaitu: (1) Makutha, artinya pemangku kepentingan dianggap raja, dialah yang

berkuasa dan memutuskan jalannya upacara. (2) Makuthem, artinya bahwa pedoman

mengku gati adalah rancangan yang sudah ditetapkan. Berpegang pada aturan baku,

tidak goyah, mantap, dak tidak terpengaruh oleh aktivitas yang muaranya pada

pemborosa. (3) Makuthetheran, ini adalah peringatan bahwa apabila pemangku

perhelatan abai pada makutha serta makuthetheran, yang akan dianggap adalah

kewalahan dalam menyelenggarakan perhelatan.

Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sistem

keyakinan agami Jawi merupakan hal yang melatarbelakangi lahirnya tradisi upacara

pernikahan adat Jawa. Dalam sistem keyakinan masyarakat Kejawen terdapat aturan

maupun ajaran untuk menyelenggarakan upacara pernikahan. Upacara pernikahan

adat Jawa, merupakan aktivitas sakral yang diselenggarakan sebelum menusia

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

39

memasuki kehidupan baru. Oleh sebab itu, dalam menggelar perhelatan tersebut

masyarakat Jawa bersikap selektif dan hati-hati.

Menurut Koentjaraningrat, (1984: 371) dalam sistem keyakinan agami Jawi

terdapat ajaran berpuasa atau tirakat. Orang Kejawen pada umumnya menjalankan

ibadah puasa, walaupun mereka seringkali tidak begitu taat menjalankan rukun agama

Islam yang lainnya. Kecuali berpuasa dalam bulan Ramadhan, mereka juga

mempunyai adat untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis (nyenen-kemis), suatu hal

yang menurut ajaran Islam tidak diwajibkan. Adat berpuasa pada hari-hari tertentu,

muasalnya adalah tirakat.

Lebih lanjut Koentjaraningrat (1984: 381) menjelaskan orang Jawa pada

umumnya dengan sengaja mencari kesukaran dan kesengsaraan untuk maksud-

maksud keagamaan yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat

membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran,

kesedihan, dan kekecewaan dalam hidup. Mereka juga percaya bahwa orang bisa

menjadi lebih tekun, dan orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan

mendapat pahala. Tirakat dilakukan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang

menghadapi suatu tugas berat, mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau

hubungan dengan orang lain. Dalam keadaan seperti itu, tirakat dianggap sebagai

tanda prihatin.

Sementara itu, Sugiyatno (2004: 5) menjelaskan memahami laku prihatin perlu

adanya kedekatan serta penghayatan intens. Laku prihatin masyarakat Jawa bertujuan

untuk membersihkan hati, agar hidup bermanfaat, belajar tulus dan ikhlas,

menghilangkan sikap ke-aku-an, serta banyak bersyukur. Berbeda dengan Sugiyatno,

Imam Budi (dalam Sugiyatno, 2004: 3) menjelaskan tirakat yang dilakukan orang

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

40

Jawa berkaitan dengan pandangan hidupnya. Pandangan hidup orang Jawa tampak

dari gaya hidup yang membentuk kepribadian mereka. Pada hakikatnya seluruh

aktiviitas, dan sistem yang dibudidayakan mereka adalah buah dari hasil

persenyawaan nilai pandangan hidup yang mengalir dalam hati sanubari orang Jawa.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi puasa Jawa atau

tirakat merupakan aktivitas yang dilatarbelakangi oleh sistem keyakinan agami Jawi.

Sistem kepercayaan masyarakat Jawa mengandung ajaran tentang laku prihatin dalam

mencapai keinginan. Oleh sebab itu, dalam mewujudkan keinginan masyarakat Jawa

melakukan tirakat sesuai maksud dan tujuannya. Contoh tirakat yang dilakukan

masyarakat Jawa adalah puasa mutih, ngrowat, dan pati geni.

2) Konstruksi Kebudayaan Jawa Pra Hindu-Budha

Konstruksi kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha terlihat dalam dua tradisi

masyarakat Jawa yaitu slametan dan bersih desa. Menurut Bayuadhy (2015: 15)

awalnya slametan merupakan aktivitas masyarakat pra Hindu-Budha. Slametan telah

menjadi tradisi di Jawa sejak ratusan tahun silam. Selain bernilai saling membantu,

doa yang digunakan juga menjadi perantara berkomunikasi dengan leluhur. Pada saat

menggelar slametan, ada orang yang ngujupke (mengikrarkan). Biasanya orang ini

adalah tokoh yang dituakan atau seorang modin (punggawa desa bagian kerohanian

atau kersa). Orang yang memimpin jalannya upacara slametan bukan hanya sekedar

merapal mantra, namun juga tahu tata cara berhubungan degan leluhur.

Di sisi lain, Koentjaraningrat (1984: 344) slametan atau wilujengan adalah

suatu upacara masyarakat Kejawen. Slametan tidak hanya diadakan dengan maksud

untuk memelihara rasa solidaritas di antara para peserta upacara itu, tapi juga dalam

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

41

rangka menjaga hubungan baik dengan roh nenek moyang. Upacara slametan yang

ditujukkan kepada roh leluhur merupakan sebuah upacara bersifat keramat. Slametan

dilakukan untuk menghalau perasaan khawatir, dan menghindari mala petaka karena

telah melanggar ajaran leluhur. Getaran emosi keagamaan yang keramat timbul dalam

diri anggota keluarga yang mengadakan slametan karena suasana khidmat.

Sementara itu, Hanik (2011: 3) menjelaskan slametan merupakan aktivitas

yang dilakukan masyarakat Jawa pada masa pra Hindu-Budha. Animisme dan

dinamisme merupakan unsur yang paling menonjol dalam kegiatan slametan. Unsur

animisme terletak pada tujuannya slametan yang diperuntukkan kepada roh-roh halus.

Sementara itu, unsur dinamisme terletak pada sarana dan prasarana yang digunakan

dalam ritual slametan misalnya sesaji. Selain ditujukan kepada roh nenek moyang,

slametan juga dilakukan sebagai penghormatan kepada dewa maupun dewi alam.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan upacara slametan merupakan

aktivitas yang lahir dari kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha. Pada masa sebelum

agama Hindu-Budha masuk di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah menganut

kepercayaan animisme dan dinamisme. Aktivitas slametan yang digelar masyarakat

Jawa merupakan bukti penghormatan mereka pada leluhur dan roh-roh. Roh-roh

dipuja dan dihormati sehingga masyarakat Jawa memohon keselamatan dan

keberkahan hidup. Hal tersebut dilakukan secara turun-temurun sehingga menjadi

tradis yang luhur.

Menurut Bayuadhy, (2015: 86) bersih desa merupakan upacara tradisional

yang berasal dari kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha. Upacara bersih desa merupakan

upacara yang dilaksanakan untuk melakukan pembersihan atau penyucian.

Pelaksanaan bersih desa tidak terlepas dari penghormatan kepada Dewi Sri yang

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

42

dianggap sebagai dewi padi dan kesuburan tanaman. Pada masa pra Hindu-Budha,

bersih desa diadakan di makam leluhur yang dihormati. Hal itu disebabkan,

kelestarian desa yang mereka tinggali tidak lepas dari pengaruh roh leluhur.

Koentjaraningrat (1984: 375) menjelaskan dalam melakukan bersih dusun

seluruh warga desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa, dan segala yang

menyebabkan kesengsaraan. Hal itu tercermin dari berbagai aspek perayaan yang

diselenggarakan berkenaan dengan upacara itu yang mengandung unsur-unsur

simbolik. Akan tetapi, perayaan ini juga menandakan adanya sisa-sisa adat

penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang. Kegiatan yang berhubungan

dengan bersih dusun biasanya berlangsung di suatu tempat dekat makam pendiri desa

(dhanyang dhusun).

Di sisi lain, Kholil (2010: 267) menjelaskan pada masa pra Hindu-Budha,

upacara bersih desa bertujuan untuk mengundang kesuburan, sarana pengobatan

penyakit, penghormatan leluhur, dan hiburan roh halus. Upacara yang penuh dengan

nuansa magis merupakan perwujudan atau realisasi penghormatan masyarakat kepada

roh leluhur. Perwujudan ini dapat diamati pada sajian tarian penutup bersih desa.

Upacara bersih desa tidak hanya berfungsi untuk membersihkan desa, namun sebagai

sarana mewujudkan rasa syukur kepada leluhur yang telah menjaga keseimbangan

desa.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bersih desa merupakan tradisi yang

lahir pada masa pra Hindu-Budha. Sebelum agama Hindu-Budha masuk di pulau

Jawa, masyarkat telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam

kepercayaan tersebut, terdapat ajaran memberi penghormatan pada leluhur, dan

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

43

mewujudkan rasa syukur terhadap keseimbangan dusun. Oleh sebab itu, masyarakat

Jawa pada masa pra Hindu-Budha satu tahun sekali menggelar upacara bersih desa

sebagai bukti patuh terhadap leluhurnya.

3) Konstruksi Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha

Konstruksi kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha terlihat dalam satu tradisi

yaitu ziarah. Menurut Mumfangati (2007: 152) ziarah makam merupakan satu dari

sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. Ziarah kubur yang

dilakukan masyarakat Jawa ke makam keramat merupakan ajaran Hindu-Budha.

Candi sebagai salah satu tempat keramat bagi pemeluk Hindu-Budha merupakan

tempat ziarah yang selalu dikunjungi pada hari-hari atau peristiwa tertentu. Candi tak

ubahnya makam, merupakan tempat persemayaman raja pada masa lampau.

Di sisi lain, Bayuadhy (2015: 97) menjelaskan pada awalnya ziarah adalah

tradisi Hindu-Budha. Kemudian sejak abad ke-15, Wali Sanga menggabungkan tradisi

tersebut dalam dakwah agar agama Islam mudah diterima oleh masyarakat. Para Wali

berusaha meluruskan kepercayaan masyarakat Jawa yang waktu itu memuja roh. Agar

tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para Wali tidak menghapus

tradisi tersebut. Para Wali mengisi kegiatan ziarah sesuai ajaran agama Islam, yaitu

membaca ayat suci Al-Qur‟an, tahli, dan doa.

Berkaitan dengan hal tersebut, Koentjaraningrat (1984: 363) menjelaskan

ziarah atau nyekar merupakan aktivitas yang penting dalam sistem keyakinan agami

Jawi. Makam dikunjugi untuk memohon doa restu (pangestu) kepada nenek moyang,

terutama jika seseorang mengalamin tugas berat, akan bepergian jauh, atau jika ada

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 37: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

44

keinginan yang besar untuk memperoleh suatu hal. Masyarakat Jawa melakukan

ziarah sebagai wujud bakti dan percaya pada keberadaan roh leluhur. Penghormatan

tersebut dilakukan dengan mengunjungi makam dan memberi sesaji yaitu kembang

tujuh rupa, dan kemenyan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan ziarah merupakan aktivitas yang

lahir dari ajaran Hindu-Budha. Pada masa itu, masyarakat menganggap raja, leluhur,

maupun tokoh-tokoh tertentu sebagai titisan dewa. Oleh sebab itu, makamnya

senantiasa mereka kunjungi untuk memohon keberkahan. Raja dan leluhur diyakini

memberikan keberkahan dan kesejahterahan hidup kepada masyarakat. Kepercayaan

masyarakat terhadap keberadaan roh diwujudkan melalui aktivitas ziarah.

c. Jenis Konstruksi Mitos Masyarakat Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1984: 319 dan 340) jenis konstruksi mitos

masyarakat Jawa dibagi menjadi dua. Dua konstruksi tersebut diuraikan dalam

penjelasan berikut:

1) Konstruksi Sistem Keyakinan Agami Jawi

Konstruksi sistem keyakinan agami Jawi terlihat dalam dua mitos yaitu mitos

kasekten, dan roh Dhanyang desa. Menurut Koentjaraningrat (1984: 319) dalam

sistem keyakinan agami Jawi terdapat konsep, pandangan, dan nilai seperti yakin

adanya kasekten atau kesaktian dalam tubuh manusia dan benda. Sistem keyakinan

agami Jawi merupakan kompleks Hindu-Budha, serta animisme dan dinamisme yang

diakui masyarakat Jawa sebagai agama Islam. Orang Jawa menganggap kesaktian

sebagai energi yang kuat dan dapat mengeluarkan panas atau cahaya. Kesaktian dapat

beradi di bagian tertentu tubuh manusia, seperti mata, tangan, kaki, telinga, dan bibir.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 38: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

45

Masyarakat Jawa juga berkeyakinan bahwa kesaktian terdapat dalam benda seperti

keris, jimat, tombak, dan bendera.

Sementara itu, Bayuadhy (2015: 124) menjelaskan benda-benda pusaka yang

diyakini masyarakat Jawa memiliki kesaktian dipengaruhi oleh religi agama Kejawen.

Religi orang Kejawen banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan masa Hindu-

Budha dan kepercayaan terhadap roh-roh. Benda pusaka digunakan oleh masyarakat

Jawa sekitar abad ke-9 Masehi. Hal itu dapat dilihat disalah satu relief candi

Borobudur yang memperlihatkan seseorang memegang benda pusaka menyerupai

keris. Selain itu, ada dugaan keris dianggap sebagai benda suci. Oleh sebab itu benda

pusaka tidak hanya digunakan dalam peperangan, tetapi juga dalam perlengkapan

sesaji.

Di sisi lain, Suyono (2007: 76) menjelaskan meskipun sejak 1426 agama Islam

telah masuk ke pulau Jawa, namun hingga sekarang penduduk Jawa masih memuja

benda-benda. Pemujaan itu merupakan ajaran warisan dari nenek moyang mereka,

yang diikuti secara sadar maupun tidak. Dengan bantuan mantra-mantra, benda hidup

atau mati dapat diisi dengan roh yang baik atau jahat. Dengan cara ini, seseorang

dapat mencapai kehendaknya, tetapi juga dapat mencelakakan musuh-musuhnya.

Terdapat benda-benda yang diyakini mengandung roh dan patut dihormati. Pemujaan

terhadap benda yang dimiliki seseorang, penghormatan tersebut ditujukan kepada

benda itu sendiri.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan mitos atau cerita tentang

kasekten yang terdapat dalam tubuh manusia maupun benda dilatarbelakangi oleh

sistem keyakinan agami Jawi. Dalam sistem keyakinan agami Jawi terdapat

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 39: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

46

kepercayaan terhadap kasekten. Oleh sebab itu, masyarakat Kejawen berburu benda

tersebut untuk dijadikan jimat atau pegangan hidup. Jimat dapat diperoleh dari

tempat-tempat keramat seperti gua, dan makam. Jimat diyakini membawa

keberuntungan bagi manusia dan dapat menjauhkan dari gangguan roh jahat.

Di sisi lain, menurut Koentjaraningrat (1984: 338) sistem keyakinan agami

Jawi mengenal roh jahat dan roh baik. Roh halus yang berkeliaran di desa dianggap

sebagai leluhur, sehingga dipuja dan dihormati oleh penduduk desa. Sitem keyakinan

agami Jawi mengenal roh yang bukan kerabat yaitu Dhanyang, Bahureksa, dan

Widadari. Roh tersebut dipercaya sebagai roh baik yang menjaga kelestarian desa.

Dalam menghormati roh tersebut, masyarakat Jawa memberikan sesaji di tempat-

tempat tertentu seperti makam, pohon besar, dan batu besar yang dianggap wingit.

Sementara itu, Suyono (2007: 97) menjelaskan di Jawa orang animis atau

Tiang Pasek memiliki kepercayaan sendiri mengenai roh dan kehidupan sesudah mati.

Gambaran ini diperoleh dari tulisan kuno dalam kitab Kadilangu dan keterangan dari-

babad-babad Jawa. Jiwa atau roh manusia secara keseluruhan menjadi satu badan

astral manusia atau Kama Rupa, yang berbarti tubuh yang diinginkan. Bayangan

mereka disebut leluhur. Bayangan ini akan memilih tempat kediaman, kemudian

menjaga seluruh penduduk desa. Mereka menjadi Dhanyang atau roh penjaga desa

karena penduduk desa memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengannya.

Sejalan dengan Suyono, Budiyanto (2008: 654) menjelaskan sistem keyakinan

masyarakat Kejawen percaya terhadap roh leluhur. Hal tersebut disebabkan, sebelum

kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu dan Budha, kepercayaan animisme dan

dinamisme telah mengakar di kalangan masyarakat Jawa. Karena itu dengan

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 40: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

47

datangnya Islam, terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-

kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akhirnya munculan kemudian

golongan Islam Abangan dan Islam Santri.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mitos atau cerita roh penjaga desa

(Dhanyang) dilatarbelakangi oleh sistem keyakinan agami Jawi. Sistem keyakinan

agami Jawi merupakan agama Islam yang mendapat pengaruh dari ajaran Hindu-

Budha, serta animisme dan dinamisme. Ajaran tersebut, belum dapat ditinggalkan

oleh masyarakat Jawa, karena berasal dari peninggalan nenek moyang. Sistem

kepercayaan mereka melahirkan cerita tentang roh baik yang menjaga desa, dan

dipercaya sebagai fakta.

2) Konstruksi Kebudayaan Jawa Pra Hindu-Budha

Konstruksi kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha ditemukan dalam satu mitos

yaitu mitos kekuatan sesajen. Menurut Suyono (2007: 131) salah satu fenomena yang

lahir dari kepercayaan Tuhan, dewa-dewa, atau hantu-hantu adalah pemberikan sesaji.

Sesaji diyakini memiliki kekuatan yang dapat memberikan pengaruh positif dalam diri

manusia. Sesaji yang dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa mungkin tidak

dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa yang lain. Pada masa pra Hindu-Budha,

sesaji atau sesajen digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai pelengkap dalam berdoa

maupun menggelar upacara adat.

Di sisi lain, Koentjaraningrat (1984: 365) pada zaman pra Hindu-Budha sesaji

serba mentah disajikan untuk roh leluhur yang menjaga suatu tempat. Sesaji

diletakkan pada tempat yang dianggap menjadi tempat tinggal para leluhur agal dan

halus. Leluhur agal adalah sebangsa bekasakan, wewe, gendruwo, dan sebagainya.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 41: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

48

Sedangkan leluhur halus adalah nenek moyang yang menurunkan kita semua. Hal

tersebut dimaksudkan agar kehidupan manusia di dunia, dijauhkan dari gangguan

leluhur agal atau roh jahat.

Sejalan dengan Warpani, Bayuadhy (2015: 182) menjelaskan sesajen

merupakan benda yang diperebutkan masyarakat Jawa karena dianggap memiliki

kekuatan. Sesaji yang digunakan setelah berdoa dan menggelar upacara adat

diperebutkan karena dapat mendatangkan keberkahan. Sesaji juga dapat dijadikan

pengasih untuk memikat orang lain. Pada zaman dahulu, pengasih meryupakan

andalan atau alternatif terakhir jika seseorang mempunyai kehendak yang terhalang

atau ditolak jika diusahakan dengan cara normal.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mitos atau cerita tentang kekuatan

sesajen dilatarbelakangi oleh kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha. Pada awalnya sesaji

merupakan sarana dan pelengkap dalam ritual adat. Kepercayaan masyarakat terhadap

roh halus yang telah memberkati sesaji, menumpuhkan cerita kekuatan di dalamnya.

Kekuatan yang terdapat dalam sesaji diyakini masyarakat dapat mendatangkan

keberuntungan. Oleh sebab itu, masyarakat memperebutkan sesaji yang terdapat

dalam upacara adat untuk mendukung kepentingannya.

3) Konstruksi Babad Purbalingga

Menurut Priyadi (2006: 205-207) konstruksi babad Purbalingga terlihat dalam

satu mitos yaitu tabu nikah antara masyarakat desa Cipaku dengan masyarakat desa

Onje. Dalam Babad Purbalingga dijelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal masyarakat

Cipaku dengan segala pengaruh kekuasaan politiknya. Kesejarahan Cipaku diakui

oleh kalangan yang lebih luas berkat hadirnya teka Babad Purbalingga. Tanpa adanya

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 42: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

49

teks teks Babad Purbalingga, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tidak

mengetahui cerita tentang leluhur yang secara turun-temurun diyakini kebenarannya.

Sementara itu, menurut Darmosoetopo (dalam Priyadi, 2006: 206) tabu nikah

masyarakat desa Cipaku dan Onje juga ditemukan dalam naskah Serat Sejarah Rupi

Onje. Naskah tersebut ditulis pada 1939 dan isinya menggambarkan kekuasaan

politik. Akan tetapi, di dalam teks tersebut juga terdapat gambaran tabu nikah

masyarakat desa Cipaku dan Onje. Dalam teks tersebut dijelaskan bahwa sampai

kiamat keturunan Cipaku tidak boleh berbesan dengan orang Onje yang jahat.

Sementara itu, orang Onje tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan

diwayuh (dimadu).

Menurut Purwaningsih (dalam Priyadi, 2006: 207) teks Babad Purbalingga

menjelaskan bahwa Adipati Cipaku teguh pendirian bahwa tidak ada tawar-menawar

lagi dengan tabu nikah. Jika suatu saat keturunan Cipaku menikah dengan orang Onje

maka diharuskan melakukan tambangan. Tambangan yaitu tukar-menukar pasangan

kakak-beradik laki-laki dan perempuan dengan pasangan kaka-beradik perempuan dan

laki-laki. Dalam pernikahan tersebut, masing-masing desa harus membawa seorang

laki-laki dan perempuan untuk tambangan. Tambangan adalah suatu cara untuk

sedikit membuat tawar terhadap tabu.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mitos tabu nikah antara

masyarakat desa Cipaku dengan masyarakat desa Onje tertera dalam Babad

Purbalingga. Dalam Babad Purbalingga tertera larangan menikah antara orang Cipaku

dengan Onje. Di dalam teks tersebut, tidak dicantumkan secara jelas penyebab tabu

nikah. Cerita yang berkembang di masyarakat, tabu nikah antara masyarakat

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 43: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

50

desa Cipaku dengan masyarakat desa Onje dilatarbelakangi oleh peristiwa pahit

leluhurnya.

5. Antropologi Sastra

Menurut Ihromi (2000: 1) antropologi berasal dari bahasa Yunani yaitu

antropos berarti “manusia” dan logos berarti “studi” jadi antropologi merupakan suatu

disiplin ilmu tentang manusia atau homo sapiens. Jenis makhluk yang disebut homo

sapiens memang merupakan suatu pokok yang sangat luas, karena meliputi manusia

sebagai makhluk fisik, manusia dalam masa prasejarahnya dan manusia dalam sistem

kebudayaannya, yaitu sebagai pewaris atau sistem yang kompleks, yang terdiri dari

adat-adat, sikap-sikap, dan pelaku. Di samping itu, menurut Koentjaraningrat (2013:9)

antropologi berarti “ilmu tentang manusia”, khususnya tentang asal-usul, aneka warna,

bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Sementara itu,

menurut Ratna (2011: 52) antropologi adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan

dengan manusia. Oleh karena luasnya bidang yang harus dibicarakan, di dalamnya

termasuk manusia dengan keseluruhan aktivitasnya, baik secara jasmani maupun

rohaniyah. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan antropologi adalah

ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk manusia. Dalam hal ini, manusia dianggap

sebagai agen kultur atau penghasil kebudayaan.

Menurut Ratna (2013: 82) secara etimologis, sastra berasal dari bahasa

Sansekerta yaitu sas dan tra. Sas berarti mengarahkan, mengajar, dan memberi

petunjuk dan tra berarti alat. Jadi, sastra berarti alat untuk mengajar. Dalam bahasa-

bahasa Barat, sastra sepengertian dengan kata literature dengan berbagai variannya

pada umumnya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang tertulis. Dalam

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 44: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

51

perkembangan berikut sastra memiliki dua pengertian, pertama, hasil karya, sebagai

karya seni, kedua, keseluruhan hasil karya, baik sebagai karya seni maupun ilmu yang

meliputi sejarah dan kritik.

Di sisi lain, Endraswara (2013: 9-10) mendefinisikan sastra sebagai sebuah

cipta budaya yang indah, sastra dipoles dengan bahasa keindahan. Persoalan

keindahan adalah aspek estetika yang lebih dekat dengan bahasa kias. Adapun

persoalan guna terkait dengan makna keindahan bahasa sastra itu. Oleh karenanya

Wellek dan Warren (2014: 81) sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan

bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Imajinasi dan estetika merupakan

konsep dasar dari seni yang bersifat personal, sedangkan bahasa merupakan ciri khas

dari media penyampainya, yang membuat karya sastra berbeda dengan karya-karya

lainnya. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan sastra ialah ide, gagasan,

dan pikiran yang dituangkan dalam bentuk bahasa dan memiliki nilai estetika. Ide

maupun gagasan merupakan hasil proses imajinasi pengarang, yang sudah melalui

pertimbangan panjang. Selain itu bahasa menjadi ciri khas sastra dengan karya seni

lainnya, sedangkan estetika menjadi nilai yang tidak bisa dipisahkan dengan kata

sastra.

Secara etimologis antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu antropologi dan

sastra. Secara singkat antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang manusia,

sedangkan sastra (sas + tra) berarti alat untuk mengajar. Secara etimologis kelompok

kata tersebut belum menunjukkan arti seperti dimaksudkan dalam pengertian yang

sesungguhnya. Tetapi secara luas yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah

ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang yang dianalisis dalam

kaitannya dengan masalah-masalah antropologi (Ratna, 2011: 6). Lebih lanjut,

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 45: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

52

dinyatakan Ratna (2013: 351) antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra

dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi

menjadi dua macam yaitu, antropologi fisik dan antropologi kultural, maka

antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan

karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti bahasa, religi, mitos, sejarah,

hukum, adat istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitanya dengan

tiga bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks

aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian

pada kompleks ide.

Sementara itu menurut Endraswara (2013: 1) antropologi sastra berupaya

meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Manusia

sering bersikap dan bertindak dengan tata krama. Tata krama memuat tata susila dan

unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra sering

menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh simbol. Di

sisi lain, antropologi sastra dalam pandangan Poyatos (dalam Endraswara, 2013: 3-4)

adalah ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Penelitian

budaya dalam sastra tentu diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan.

Pada umumnya, penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (dalam

Endraswara, 2013: 61) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia atau orang, (b)

artikel tentang sastra, (c) bibliografi. Ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan

seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber

data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut

dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 46: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

53

Karakteristik penelitian antropologi sastra adalah pemahaman sastra dari sisi

keanekaragaman budaya. Masalah hangat dalam menulis antropologi sampai saat ini

belum terpecahkan secara serius. Belum ada rumusan yang baku, apa dan bagaimana

sastra dan antropologi harus ditulis dan dipahami. Sastra dan antropologi awalnya

memang wilayah yang berbeda. Namun, pada kenyataannya, sastra dan antropologi

sering bersentuhan dalam menimba kehidupan manusia. Pada dasarnya, baik sastra

maupun antropologi terkait dengan perilaku sosial dan budaya manusia yang

kompleks (Endraswara, 2013: 23).

Analisis antropologi sastra juga mengungkap berbagai hal, antara lain sebagai

berikut; (1) Kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan

dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakukan semedi, melantunkan pantun,

mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya menjadi fokus penelitian; (2) Peneliti

akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seorang penulis yang

terpantul dalam karya sastra. Dalam kaitan ini, tema-tema tradisional yang diwariskan

secara turun-temurun akan menjadi perhatian tersendiri; (3) Penelitian juga dapat

diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat

menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya sastra; (4) Peneliti juga perlu

memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu,

dan (5) Penelitian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat

yang mengitari karya sastra tersebut (Endraswara, 2013: 61).

Fokus analisis antropologi sastra adalah menukik pada persoalan budaya.

Budaya menjadi roh sastra. Kedalaman analisis dapat dilakukan manakala peneliti

menghayati tiruan kehidupan yang dilukiskan secara simbolis. Getaran bahasa-bahasa

kias itulah yang harus ditafsirkan peneliti. Kunci proses analisis antropologi sastra

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015

Page 47: BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/Bab II_Puji Rahayu.pdf · berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya

54

adalah mendeskripsikan budaya lewat fenomena sastra. Sastra menyajikan fakta

kultural sehingga harus dipahami sebagai kekayaaan hidup (Endraswara, 2013: 63).

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan antropologi sastra

merupakan bidang ilmu sastra yang mengkaji karya sastra dalam perspektif budaya.

Sastra merupakan produk budaya, maka di dalamnya mencerminkan fenomena

budaya. Jadi, karya sastra yang dikaji menggunakan antropologi sastra merupakan

karya sastra yang sarat dengan fenomena budaya. Fenomena budaya yang terdapat

dalam karya sastra meliputi, wujud budaya, unsur-unsur budaya, tradisi dan mitos.

Objek utama antropologi sastra adalah fenomena-fenomena budaya yang terpantul

dalam teks sastra.

Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015