bab ii landasan teori a. hasil penelitian yang relevan 1 ...repository.ump.ac.id/3396/3/bab ii_puji...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Penelitian dengan judul Mitos-Mitos dalam Lengger pada Naskah Drama
“Sulasih Sulandana Karya Widiyono” (Kajian Antropologi Sastra) oleh Fajar
Sukron Said
Penelitian tersebut ditulis oleh Fajar Sukron Said selaku mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pada tahun 2014, Fajar Sukron Said meneliti
mitos-mitos dalam Lengger dan mendeskripsikan representasi mitos Lengger yang
terdapat dalam naskah drama, dan dianalisis dengan menggunakan teori antropologi
sastra. Hasil penelitian Fajar Sukron Said ialah mitos-mitos Lengger pada naskah
drama Sulasih Sulandana karya Widiyono antara lain: (1) Mitos ritual dan syarat
khusus dalam lengger yaitu mengenai ritual khusus yang harus dijalankan oleh para
penari lengger. (2) Mitos seks yaitu mengenai pandangan masyarakat terhadap
kesenian Lengger yang identik dengan seks. (3) Mitos kekuatan gaib atau mitos roh
bidadari yaitu mempercayai adanya roh bidadari yang masuk ke tubuh penari.
Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada objek penelitian dan sumber
datanya. Penelitian Fajar Sukron Said menggunakan satu objek penelitian yaitu mitos.
Sementara itu, penelitian ini menggunakan empat objek penelitian yaitu tradisi, mitos,
konstruksi tradisi, dan konstruksi mitos masyarakat Jawa. Di sisi lain, sumber data
yang digunakan Fajar Sukron Said adalah naskah drama Sulasih Sulandhana karya
Widiono, sedangkan penelitian ini menggunakan sumber data kumpulan cerpen
Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk.
8
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
9
2. Penelitian dengan judul Tradisi “Suran Masyarakat Jawa” Analisi
Perbandingan Antara Wilayah Surakarta dengan Wonosobo oleh
Nurshodiq
Penelitian tersebut ditulis tahun 2008 oleh Nurshodiq mahasiswa Universitas
Negeri Semarang. Hasil penelitiannya ialah persamaan dan perbedaan antara tradisi
Suran di Surakarta dan Wonosobo. Perbedaan yang kental terlihat pada media dan
prosesi upacara adat, juga antusiasme masyarakat. Suran merupakan tradisi yang
secara turun-temurun dilakukan masyarakat Jawa. Hampir setiap daerah di pulau Jawa
melakukan tradisi tersebut meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Tradisi Suran
yang dilakukan oleh masyarakat memiliki perbedaan yang tipis, namun tujuan
dilaksanakan tradisi tetap sama yaitu sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan Nurshodiq dengan penelitian ini
terletak pada objek, data, sumber data, dan metode. Objek penelitian Nurshodiq
adalah tradisi Suran, sedangkan objek penelitian ini adalah tradisi, mitos, konstruksi
tradisi, dan mitos masyarakat Jawa. Data dalam penelitian Nurshodiq adalah tuturan
narasumber tentang tradisi Suran masyarakat Surakarta dan Wonosobo namun, data
dalam penelitian ini adalah teks yang mengandung tradisi dan mitos masyarakat Jawa
dalam kumpulan cerpen Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk. Sumber data
penelitian ini adalah kumpulan cerpen Nyanyian Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk,
namun sumber data penelitian Nurshodiq ialah manusia. Di sisi lain, metode
penelitian ini ialah diskriptif analitis, sedangkan penelitian Nurshodiq meruapakan
studi etnografi dengan teknik pengumpulan datanya melalui wawancara serta
dokumentasi.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
10
3. Penelitian dengan Judul Analisis Pengingkaran Mitos pada Novel “Anak
Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata dan Novel Barata Yudha Karya
Sunardi D.M” oleh Yeni Triyanti
Penelitian tersebut ditulis oleh Yeni Triyanti selaku mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2006. Hasil skripsi tersebut meliputi: (1) Asal
mitos yang diangkat dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin yaitu mitos
Ramayana. Mitos yang diangkat ke dalam novel Barata Yudha yaitu mitos
Mahabarata. Mitos Ramayana dan Mahabarata tersebut telah diadaptasi menjadi
wayang Jawa. (2) Pengingkaran mitos pada novel Anak Bajang Menggiring Angin
diwujudkan dengan mengingkari mitos asalnya yaitu berupa alur Kiskendakanda dan
alur Sundarakanda serta dengan menampilkan ending yang bersifat terbuka.
Novel Barata Yudha diwujudkan dengan mencampuradukkan alur Adiparwa dengan
cerita mitos asalnya. (3) Pengingkaran mitos pada novel Anak Bajang
Menggiring Angin lebih intensif dari pada pengingkaran pada novel Barata
Yudha.
Penelitian ini dengan penelitian Yeni Triyanti memiliki dua perbedaan.
Perbedaanya terletak pada objek dan sumber datanya. Penelitian Yeni Triyanti
menggunakan satu objek yaitu pengingkaran mitos, sedangkan dalam penelitian ini
terdapat empat objek yaitu tradisi, mitos, konstruksi tradisi, dan mitos masyarakat
Jawa. Selain itu, perbedaan lain terletak pada sumber datanya. Yeni Triyanti
menggunakan sumber data dua novel yaitu Anak Bajang Menggiring Angin karya
Sindhunata dan novel Barata Yudha karya Sunardi D.M. Sementara itu, penelitian ini
hanya menggunakan satu sumber data yaitu kumpulan cerita pendek Nyayian
Kesetiaan karya Miftah Fadhli dkk.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
11
B. Landasan Teori
1. Cerpen
Menurut Sayuti (2000: 8) secara spesifik, istilah cerpen biasanya diterapkan
pada prosa fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata, sedangkan
novel umumnya berisi empat puluh lima ribu kata atau lebih. Sebuah cerita pendek
bukanlah sebuah novel yang dipendek-pendekan dan juga bukan bagian dari novel
yang belum dituliskan. Di samping itu, menurut Ratna (2013: 88) sesuai dengan
namanya cerita pendek atau short story, adalah suatu cerita yang terdiri atas sejumlah
halaman (5-50 halaman). Sesuai dengan medium yang tersedia, cerpen menyajikan
sebagian kecil kehidupan manusia tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga tetap
memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai makna kehidupan tersebut.
Dari segi panjang ceritanya cerpen lebih padu, “memenuhi” tuntutan ke-unity-
an. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas,
tidak sampai pada detail-detai khusus yang “kurang penting” yang lebih bersifat
memperpanjang cerita. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya
mengemukakan secara lebih banyak jadi, secara implisit dari sekedar yang
diceritakan. Selain itu, cerpen dibangun oleh unsur-unsur pembangun yaitu unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu
urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan selesai, sebab banyak
cerpen yang tidak diikuti dengan penyelesaian yang jelas, penyelesaiannya diserahkan
pada interpretasi pembaca). Urutan peristiwa dapat berasal dari mana saja, misalnya
dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan para
tokoh atau latar (Nurgiyantoro, 2012: 11-12).
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
12
Menurut Sayuti (2000: 9-10) kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang
dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan
waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu.
Tokoh dalam cerpen bisanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya
ditunjukkan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen
merupakan hasil “pengembangan”. Selanjutnya, dimensi waktu dalam cerpen juga
cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi
waktu yang relatif luas. Ringkasan cerpen menunjukan kualitas yang bersifat
compression „pemadatan‟, conceration „pemusatan‟, dan intensity „pendalaman‟ yang
semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan
oleh panjang cerita itu.
Karena ceritanya yang pendek, cerpen hanya berisi satu tema. Hal itu berkaitan
dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas. Selain itu, pelukisan
latar dalam cerpen tidak memerlukan detail-detail khusus tentang keadaan latar,
misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan
pelukisan secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu
memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan. Cerpen yang baik juga harus
memenuhi kriteria kepaduan, unity. Artinya segala sesuatu yang diceritakan bersifat
dan berfungsi mendukung tema utama. Penampilan berbagai peristiwa yang saling
menyusul yang membentuk plot, walau tidak bersifat kronologis, namun haruslah
tetap saling berkaitan secara logika. Cerpen menawarkan sebuah dunia yang padu,
namun dunia imajiner yang ditawarkan cerpen hanya menyangkut salah satu sisi kecil
pengalaman kehidupan saja (Nurgiyantoro, 2012: 13-14).
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
13
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa cerpen
merupakan salah satu jenis prosa fiksi, memiliki satu tema dan satu konflik yang
membentuk ide cerita. Cerpen merangkum cerita kehidupan manusia yang bersifat
fiktif secara singkat. Peristiwa, dan setting dalam cerpen digambarkan secara singkat
namun padat, tidak secara detail. Selain itu, tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam
cerpen cenderung tokoh bulat bukan kompleks. Di dalam cerpen yang pendek adalah
jenisnya namun, kualitas kejadian maupun peristiwa dengan sendirinya menyesuaikan
plot.
2. Tradisi Masyarakat Jawa
a. Pengertian Tradisi Masyarakat Jawa
Menurut Langlois (dalam Liliweri, 2014: 97) kata “tradisi” berasal dari bahasa
Latin tradere atau traderer yang secara harfiah berarti mengirimkan, menyerahkan,
memberi untuk diamankan. Tradisi adalah suatu ide, keyakinan, atau perilaku dari
suatu masa yang lalu yang diturunkan secara simbolis dengan makna tertentu kepada
suatu kelompok atau masyarakat. Karena itu makna “tradisi” merupakan sesuatu yang
dapat bertahan dan berkembang selama ribuan tahun, sering kali tradisi diasosiasikan
sebagai sesuatu yang mengandung atau memiliki sejarah kuno.
Tradisi memiliki akar masa lampau dan sedikit banyak mengandung ciri-ciri
sakral, seperti sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, seni, adat istiadat, dan
berbagai bentuk kebiasaan lain yang dilakukan secara turun-temurun. Meskipun dalam
skala ruang dan waktu sudah berubah, tradisi tidak hilang, tidak mati sebab secara
terus menerus kehidupan kembali melalui pemahaman masa kini. Sebagai sumber
khazanah kebudayaan masyarakat lama, khususnya berbagai bentuk kearifan lokal,
tradisi perlu dipelihara dan dikembangkan (Ratna, 2013: 518).
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
14
Menurut Douglas (dalam Liliweri, 2014: 99) ada beberapa aspek yang
berkaitan dengan tradisi, seperti; (1) bentuk warisan seni budaya tertentu, (2)
kebiasaan atau bahkan kepercayaan yang dilembagakan dan dikelola oleh masyarakat
dan pemerintah, misalnya lagu-lagu daerah atau lagu-lagu nasional, hari libur
nasional, dan (3) kebiasaan atau kepercayaan bahkan “tubuh ajaran” yang
dilembagakan dan dikelola oleh kelompok-kelompok agama, badan-badan gereja yang
semuanya dibagikan kepada pihak lain. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan tradisi adalah aktivitas yang mengandung nilai-nilai luhur dan berasal
dari nenek moyang, diyakini serta dilaksanakan secara turun-temurun oleh
masyarakat.
Menurut Warsito (2012: 98) masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat
tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua
daerah tersebut. Secara geografis, suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang
meliputi wilayah Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, serta Kediri dan
sebagainya. Pernyataan ini sangat relevan dengan yang disampaikan oleh Clifford
Geertz bahwa daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah
dan timur dari pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara
kolektif sering disebut daerah Kejawen.
Lebih lanjut, Warsito (2012: 99) menjelaskan bagi orang Jawa, hidup ini
penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup
manusia sejak dari keberadaanya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa,
sampai dengan saat kematian. Selain itu, juga upacara-upacara yang berkaitan dengan
aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah, khususnya bagi para nelayan,
para petani, pedagang dan juga upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
15
tinggal, seperti membangun gedung untuk berbagai keperluan, membangun dan
meresmikan rumah tempat tinggal, pindah rumah dan sebagainya. Berdasarkan
pengertian di atas, dapat disimpulkan masyarakat Jawa adalah kelompok etnis yang
tinggal di wilayah Jawa bagian Tengah dan Timur, mempunyai kebudayaan yang
khas.
Dinyatakan oleh Nurshodiq (2008: 12) upacara tradisi banyak dilakukan
masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Wilayah Jawa dari perspektif lingkungan
budaya terbagi menjadi beberapa daerah budaya. Masing-masing daerah budaya
menghasilkan upacara tradisinya sendiri, yang kadang-kadang memiliki pola yang
sama, namun juga memiliki pola yang berbeda. Upacara tradisi yang diselenggarakan
masyarakat mencerminkan identitas masyarakat tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi masyarakat
Jawa adalah aktivitas yang mengandung nilai-nilai luhur, berasal dari nenek moyang
diyakini dan dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Tradisi
masyarakat Jawa merupakan wujud kebudayaan aktivitas yang masih dipertahankan
oleh masyarakat. Masyarakat Jawa meyakini bahwa menjalankan tradisi merupakan
bukti hormat kepada leluhur. Masyarakat Jawa cenderung mempertahankan tradisinya,
meskipun hidup di tengah kemajuan zaman. Di sisi lain, masyarkat Jawa juga
menganggap tradisi sebagai media atau perantara menjaga hubungan baik dengan
leluhur.
b. Macam-Macam Tradisi Masyarakat Jawa
Menurut Bayuadhy, (2015:59-97) tradisi masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga
yaitu:
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
16
1) Tradisi Ziarah
Dalam masyarakat Jawa, ziarah disebut sebagai nyadran. Nyadran berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu sraddha yang berarti keyakinan. Ketika nyadran, masyarakat
di pedesaan membersihkan makam. Selain itu, masyarakat juga melakukan tabur
bunga dan mendoakan leluhur masing-masing agar mendapatkan tempat yang kepenak
(baik) di sisi Tuhan. Masyarakat yang nyadran biasanya berdoa untuk kakek, nenek,
bapak, ibu, atau saudara yang telah meninggal dunia. Nyadran dapat menghubungkan
antara manusia hidup dengan yang telah meninggal, mengingatkan manusia kepada
Tuhan, dan mengingatkan manusia pada kematian (Bayuadhy, 2015: 97-100).
Sementara itu, Mumfangati (2007: 1) menjelaskan ziarah makan merupakan
satu dari sekian banyak tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat Jawa.
Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokoh-
tokoh magis dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan tokoh yang
dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginannya.
Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir
bulan Ruwah menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat biasanya secara
bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat
melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara umum disebut
nyadran.
Di sisi lain, Suyono (2007: 134) menjelaskan ziarah dilakukan masyarakat
Jawa pada hari Jum‟at. Orang Jawa memandang hari Jumat Legi sebagai hari sesaji
terbesar. Pada hari ini, masyarakat Jawa memberi nyekar dan memberi sesaji pada roh
baik, jahat, maupun anggota keluarga. Hari Jumat Kliwon, sebagai hari yang dianggap
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
17
suci dipakai untuk memberikan sesaji di kuburan-kuburan keluarga yang dihormati.
Selain berziarah, pada hari itu orang juga mengunjungi tempat-tempat keramat untuk
meletakkan sesaji.
Menurut Bayuadhy (2015: 98) pelaksanaan nyadran dilakukan dengan
beberapa tahap meliputi: (1) Menyelenggarakan kenduri dengan pembacaan ayat Al-
Qur‟an, dzikir, tahlil, dan doa. Acara ini dilanjutkan dengan makan bersama. (2)
Melakukan bersih-bersih makam leluhur dari dedaunan kering dan rerumputan. (3)
Melakukan ziarah kubur disertai dengan membakar kemenyan, menabur bunga, dan
doa kepada arwah yang telah meninggal.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, nyadran atau ziarah
adalah aktivitas mengunjungi makam kerabat maupun leluhur, dalam rangka berdoa
dan menjaga hubungan baik dengan arwah mereka. Aktivitas yang dilakukan
masyarakat Jawa pada saat berziarah meliputi membersihkan makam, berdoa,
mambakar kemenyan, dan menabur bunga tiga rupa. Masyarakat Jawa beranggapan
bahwa menjaga hubungan baik tidak hanya dilakukan dengan sesama manusia. Akan
tetapi, hubungan baik dengan leluhur yang telah meninggalpun harus dijaga. Hal
tersebut dilakukan, untuk memperoleh keseimbangan hidup. Aktivitas mengunjungi
makam, secara terus-menerus dilakukan oleh masyarakat Jawa hingga menjadi tradisi
yang luhur.
2) Tradisi Upacara Pernikahan Adat Jawa
Menurut Meinarno dkk, (2011: 131) pernikahan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga (keluarga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
18
Yang Maha Esa. Di sisi lain, Suyono (2007: 134-135) menjelaskan upacara
perkawinan merupakan upacara yang sangat penting bagi orang Jawa. Upacara ini
bukan sekedar pesta, namun melewati serangkaian upacara yang cukup rumit. Agar
upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, orang Jawa memberi sesaji
pada kekuatan yang tidak tampak. Selamatan pada malam hari sebelum pernikahan,
atau pada malam hari sebelum upacara pemberian sasrahan (pemberian mahar)
ditujukan untuk mendapat keberuntungan bagi kedua pengantin.
Menurut Bayuadhy (2015: 59) dalam tradisi Jawa, terdapat upacara-upacara
yang harus dilalui sepasang pengantin sejak sebelum melaksanakan upacara
pernikahan adat Jawa sampai usai upacara. Upacara tersebut meliputi: (1) Tahap
menjelang pernikahan yaitu: a) menghitung weton, mangsa, dan posisi anak dalam
sebuah keluarga, b) nontoni yaitu suatu upaya dari pihak laki-laki untuk mengenal
calon pengantin perempuan, c) nglamar atau melamar yang dilakukan oleh pihak laki-
laki untuk memohon izin ke pihak perempuan, d) peningsetan yaitu acara tukar cicin
untuk mengikat kedua calon mempelai sebelum melakukan pernikahan, e) gethak dina
yaitu menentukan hari pernikahan berdasarkan penanggalan Jawa.
(2) Tahap persiapan pernikahan meliputi: a) uleman yaitu mengedarkan
undangan ke pada calon tamu pernikahan, b) pemasangan tarub yaitu memasang tenda
sebelum hari pernikahan, c) tuwuhan yaitu memberikan padi, janur kuning, batang
pisang, dan sebagainya ke pada calon mempelai wanita, d) siraman adalah mandi
yang dilakukan oleh kedua calon pengantin satu hari sebelum pernikahan, e)
midodareni yaitu temu pengantin pada malam hari. (3) Tahap pelaksanaan upacara
pernikahan meliputi: a) pelaksanaan ijab, b) balang suruh yaitu pada saat resepsi
pernikahan kedua pengantin bertemu di gapura dan berhenti untuk saling melempar
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
19
ikatan daun sirih, c) bukak kawah dilakukan jika seorang ayah pertama kali
menikahkan anak perempuannya. Ayah dari pengantin wanita meminum rujak kelapa
muda, dan ibu pengantin wanita menanyakan rasa rujak tersebut.
Dinyatakan oleh Purwadi (2005: 167) upacara-upacara perkawinan yang
sebenarnya, melambangkan persatuan antara suami dan istri. Anak dara dan mempelai
laki-laki makan nasi dengan piring yang sama bersama-sama, mengunyah kapur sirih
yang sama dan lain sebagainya. Pada umumnya, upaara perkawinan ini dilangsungkan
kalau telah mendapat perhitungan hari oleh pihak gadis berdasarkan perhitungan
kelahiran (neptu, Jawa) nilai nama dari kedua calon mempelai dan lain sebagainya.
Kemudian hal tersebut diberitahukan kepada kerabat atau keluarga laki-laki dengan
berganti pihak gadis datang berkunjung kepada keluarga laki-laki.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan upacara pernikahan adat
Jawa adalah upacara penyatuan dua insan manusia sebagai suami istri yang sah dimata
agama maupun secara adat. Upacara pernikahan adat Jawa diselenggarakan sesuai
dengan adat kebiasaan masing-masing daerah. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa
peristiwa pernikahan merupakan hajat yang sangat penting. Oleh sebab itu, setiap
tahapan yang ada di dalamnya tidak bisa disepelekan. Pada dasarnya upacara
pernikahan adat Jawa yang digelar dengan berbagai acara, bertujuan untuk memohon
keselamatan pada Tuhan Yang Maha Esa.
3) Tradisi Bersih Desa
Menurut Bayuadhy (2015: 86) tradisi bersih desa merupakan tradisi yang
sudah ada sejak masa pra Hindu-Budha. Bersih desa merupakan upacara tradisional
adat Jawa yang dilaksanakan satu kali dalam setahun. Pada awalnya, upacara bersih
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
20
desa dilaksanakan oleh masyarakat petani secara serentak setelah panen. Dalam
perkembangannya, pelaksanaan bersih desa tidak selalu setelah panen padi. Upacara
bersih desa merupakan upacara yang dilaksanakan untuk melakukan pembersihan atau
penyucian. Beberapa hari sebelum upacara atau ritual bersih desa dimulai, masyarakat
sudah bersih-bersih secara gotong royong. Berbagai tempat di wilayah desa atau
kampung dibersihkan antara lain, makam, masjid, halaman rumah, dan jalan-jalan
yang jarang dilewati orang. Hal ini dimaksudkan agar keadaan kampung atau desa
tampak bersih.
Di sisi lain, Koentjaraningrat (1984: 374-375) menjelaskan bersih desa
dilakukan sekali dalam setahun, yaitu biasanya pada bulan Sela yakni bulan ke sebelas
dalam penanggalan Jawa. Walaupun demikian, tanggal yang dilakukan berbeda-beda
di setiap desa. Dalam kegiatan bersih desa, seluruh masyarakat membersihkan diri
dari kejahatan, dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal tersebut,
tercermin dalam berbagai aspek yang mengandung unsur simbolik. Akan tetapi,
perayaan ini juga mengandung sisa-sisa adat penghormatan terhadap roh nenek
moyang.
Tradisi upacara bersih desa dalam masyarakat Jawa merupakan upacara yang
sangat penting dan bersifat keramat. Upacara keramat sering kali memiliki prosesi
yang tidak sederhana dan tentu saja membutuhkan biaya yang besar dari pada upacara
selamatan biasa. Masyarakat Jawa menggelar upacara bersih desa agar seisi desa
dijauhkan dari mala petaka yang mengancam ketenangan dan kesejahterahan
masyarakat. Masyarakat mengharap kesuburan tanah, dijauhkan dari penyakit, dan
pengaruh negatif lainnya (Kholil, 2010: 268).
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
21
Bayuadhy (2015: 87) menjelaskan, rangkaian upacara bersih desa terdiri dari;
(1) Kerja bakti masal untuk membersihkan seluruh wilayah, kemudian
diselenggarakan kenduri bersama yang diikuti oleh seluruh warga desa. Kenduri
bersama ini biasanya digelar di tempat umum, misalnya halaman masjid dan balai
desa. Masyarakat membawa perlengkapan kenduri masing-masing berupa nasi dan
lauk-pauk. (2) Ritual atau upacara bersih desa dimulai dengan dipimpin oleh tokoh
masyarakat, misalnya modin (toloh agama). Pemimpin upacara bersih desa
membacakan doa, kemudian diikuti peserta kenduri. Setelah doa selesai kenduri di-
bawa pulang kembali oleh masing-masing individu. (3) Pada malam harinya di desa
tersebut digelar hiburan untuk masyarakat luas. Hiburan di setiap daerah berbeda-beda
mulai dari wayang kulit, tarian seblang, dan ketoprak.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bersih desa merupakan
aktivitas membersihkan desa secara bersama-sama, dengan menggelar slametan,
membersihkan tempat keramat, dan menggelar seni pertunjukan. Dalam melakukan
tradisi bersih desa, masyarakat bertujuan agar memperoleh keselamatan hidup.
Masyarakat Jawa biasa menggelar tradisi bersih desa setelah masa panen padi selesai.
Sebagai bentuk rasa syukur, masyarakat melakukan slametan dan menggelar seni
pertunjukkan sebagai tontonan rakyat. Pada tiap daerah seni pertunjukan yang digelar
dalam upacara bersih desa berbeda-beda.
Sementara itu, menurut Koentjaraningrat (1984: 344-371) tradisi masyarakat
Jawa dibadi menjadi dua yaitu:
1) Tradisi Upacara Slametan
Menurut Koentjaraningrat (1984: 344) slametan atau wilujengan adalah suatu
upacara pokok atau unsur terpenting dari semua ritus dan upacara dalam sistem religi
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
22
orang Jawa pada umumnya. Suatu upacara slametan biasanya diadakan di rumah suatu
keluarga, dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga. Slametan biasa dilakukan oleh
penganut agama Hindu-Budha dengan menyelenggarakan berbagai ritual. Slametan
dilakukan untuk mendapatkan keselamatan hidup. Upacara biasanya diadakan pada
malam hari, dan bertempat di serambi rumah depan. Di sisi lain, Koentjaraningrat
(1999: 347) juga menjelaskan selamatan adalah suatu upacara makan bersama
makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan itu tidak
terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat
hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun
mahluk-mahluk halus tadi.
Slametan diadakan dalam hampir semua kesempatan yang mempunyai arti
ritual bagi orang Jawa, misalnya kehamilan, kelahiran, penyunatan, perkawinan, dan
sebagainya. Upacara slametan juga dilakukan untuk mencegah penyakit, guna-guna,
atau kemalingan. Namun, walaupun seluk-beluk upacara itu berbeda-beda, yaitu
persiapan makanan, pembacaan doa, serta kegiatan simbolis dan sarana-sarana yang
berhubungan dengan itu, namun bentuk dan tujuan umum dari slemetan tidak berubah.
Slametan adalah suatu pesta bersama yang bersifat sakral. Pesta tersebut diadakan
bersama tetangga-tetangga untuk menjamin adanya keselamatan (slamet), umum bagi
mereka yang ikut serta dalam upacara tersebut, khususnya yang mengadakan upacara
itu lain (Colleta, 1987: 58).
Di samping slametan harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah rasional
dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan supranatural yang bersifat
spiritual. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk
mendapat ridha darai Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
23
kehidupan di pedusunan Jawa. Bahkan ada yang meyakini bahwa slametan
merupakan syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan
ketidakberkahan atau kecelakaan (Purwadi, 2005: 22).
Menurut Koentjaraningrat (1984: 347) upacara slametan digolongkan menjadi
dua yaitu: (1) Slametan yang bersifat keramat adalah upacara slametan yang dapat
menggetarkan emosi orang-orang yang menyelenggarakan. Keputusan mengadakan
upacara slametan yang keramat biasanya diambil berdasarkan keyakinan keagamaan
yang murni dan adanya suatu perasaan khawatir terhadap hal-hal yang tidak
diinginkan. (2) Slametan yang bersifat keagamaan adalah upacara yang tidak
menimbulkan getaran emosi keagamaan pada orang-orang yang
menyelenggarakannya. Upacara slametan semacam ini diselenggarakan hanya untuk
menjaga solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai antar sesama.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan slametan adalah upacara
tradisi yang bertujuan untuk memohon keselamatan, menjaga kerukunan, dan
dijauhkan dari elemen-elemen negatif. Upacara slametan yang dilakukan masyarakat
Jawa ditempuh dengan ritual. Oleh sebab itu, perlengkapan yang digunakan dalam
upacara slametan bersifat kompleks. Misalnya sesaji yang terdiri dari bunga tujuh
rupa, tiga warna, dan makanan yang siap dibagikan kepada masyarakat. Dalam
upacara slametan yang digelar masyarakat Jawa beracuan pada tujuan dan
harapannya.
2) Tradisi Puasa Jawa
Menurut Koentjaraningrat (1984: 371) menjelaskan masyarakat Jawa golongan
agami Jawi atau abangan pada umumnya menjalankan ibadah puasa yang sifatnya
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
24
tidak wajib. Orang Jawa pada umumnya melakukan tirakat dengan mencari
kesukaran, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat
orang teguh imannya. Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantangan makan
selain nasi putih saja (mutih). Selain itu, orang Jawa juga melakukan adat yaitu makan
dengan porsi sedikit (ngepel). Orang Jawa juga yang berpuasa dengan cara masuk ke
dalam ruangan yang gelap tidak ditembus oleh cahaya (pati geni).
Di sisi lain. Sugiyatno (2004: 2) menjelaskan dunia manusia Jawa kental
dengan istilah tirakat. Sampai-sampai ada beragam jenis praktik laku tirakat (prihatin)
yang biasa kita dengan dari aktivitas orang Jawa. puasa mutih, kungkum, pati geni,
wunglon, topo mbisu. Bahkan, sebenarnya hal-hal yang tidak secara wajar bersifat
ritual simbolis, semisal nyantrik, menunda kesenangan, berpantang, serta
mengendalikan akhlak dan perilaku, juga selalu dapat dimaknai sebagai laku prihatin.
Seperti halnya idiologi, bagaimana pandangan hidup atau filosofi hidup orang Jawa
sulit dijabarkan karena sifat dan bentuknya yang abstrak. Pandangan hidup barulah
berupa ide, gagasan, cita-cita, pola pikir, paham, kepercayaan, atau kumpulan
konsepyang dijadikan asas atau pedoman di dalam menentukan arah atau tujuan
hidup, moral akhlak, serta perilaku seseorang.
Sementara itu, Imam Budi (dalam Sugiyatno, 2004: 3-4) menjelaskan apabila
ingin mengetahui pandangan hidup orang Jawa, caranya dapat dengan merunut dan
menafsirkan berbagai macam aspek yang mawujud dalam “tata urip, tata karma, dan
tata laku” dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pandangan hidup orang
Jawa akan tampak dari gaya hidup yang sadar tidak sadar telah dilakukan cukup lama
dan membentuk kepribadian mereka. Sebab pada hakikatnya seluruh aktivitas, karya
serta sistem yang dibudidayakan mereka adalah buah dari hasil persenyawaan pati-sari
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
25
nilai pandangan hidup yang mengalir dari situasi ke situasi serta mengakar cukup lama
dan dalam di hati sanubari orang Jawa.Suka prihatin dan menjalani laku olah batin.
Ada peribahasa yang secara eksplisit menyatakan hal ini, yaitu “wong Jowo gedhe
tapane”. Orang Jawa memiliki semangat besar untuk bertapa atau laku prihatin,
seperti dianjurkan dalam ungkapan ; “cegah dahar lan guling” yang berarti
melakukan banyak puasa dan jangan banyak tidur.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan tradisi puasa Jawa atau tirakat
merupakan aktivitas memakan makanan tertentu, bertujuan untuk menahan hawa
nafsu sehingga hajatnya dapat tercapai dengan baik. Puasa Jawa atau tirakat dilakukan
masyarakat Jawa dengan berbagai cara sesuai dengan tujuannya. Puasa mutih, atau
hanya memakan makanan yang berwarna putih dan tidak diberi penyedap rasa,
bertujuan agar manusia menjadi pribadi yang sabar. Tirakat merupakan aktivitas yang
identik dengan hal-hal magis. Oleh sebab itu, masyarakat berkeyakinan bahwa tirakat
dapat membantu manusia memperoleh keinginannya.
3. Mitos Masyarakat Jawa
a. Pengertian Mitos
Kata mitos secara etimologi berasal dari kata “mathos” (Yunani) yang berarti
cerita atau kata yang diucapkan. Kata mitos merupakan lawan kata logos. Mitos
adalah cerita seorang penyair sedangkan logos yaitu laporan yang dapat dipercaya
sesuai dengan kenyataan. Mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu dapat menjadi
mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Mitos tidak ditentukan oleh objek
pesannya, namun oleh cara dia mengutarakan pesan itu sendiri. Mitos memiliki
batasan-batasan formal, namun semua itu begitu „substansial‟. Pada dasarnya, segala
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
26
sesuatu tidaklah diekspresikan pada waktu bersamaan: beberapa objek menjadi
mangsa wicara mistis untuk sementara waktu, lalu sirna, yang lain menggeser
tempatnya dan memperoleh status sebagai mitos (Barthes, 2006: 152-153).
Sementara itu, Ahimasa (2001: 80) mengemukakan bahwa mitos disampaikan
melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Pesan-pesan dalam sebuah mitos
diketahui lewat proses penceritaannya, seperti halnya pesan-pesan yang disampaikan
melalui bahasa diketahui dari pengucapannya. Di sisi lain, menurut Van Peursen
(dalam Daeng, 2000: 81-82) mitos menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-
kekuatan ajaib. Melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati daya-daya itu
sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan alam dan kehidupan sukunya. Mitos
memberi jaminan masa kini, dalam arti dengan mementaskan atau menghadirkan
kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha serupa dijamin terjadi
sekarang. Mitos juga berfungsi sebagai perantara antara manusia dan daya-daya
kekuatan alam; mitos memberi pengetahuan tetang dunia.
Sementara itu, Thohir (2007: 107) menjelaskan mitos itu sendiri
perwujudannya berupa cerita-cerita (gaib) yang memberikan pedoman dan arah
tertentu kepada masyarakat yang bersangkutan. Cerita-cerita mitos diturunkan secara
lisan dari satu generasi kepada generasi berikutnya dengan cara-cara tertentu sehingga
membentuk sebuah dunia tersendiri dan dengannya orang menjadi yakin adanya. Inti
dari cerita mitos tersebut adalah lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman
manusia yakni lambang-lambang kebaikan dan kejahatan, hidup dan kematian,
perkawinan dan kesuburan, sehingga dengan itu masyarakat mempunyai pegangan
bagaimana hidup itu dijalani.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
27
Melalui mitos pada masyarakat Jawa, kita akan mengetahui bahwa masyarakat
Jawa lebih menyukai kisah dongeng daripada kisah faktual. Sekalipun demikian, kisah
dongeng yang sulit dibuktikan kebenarannya di alam riil tersebut tetap mengandung
ajaran positif bagi orang Jawa. Adapun ajaran positif yang terkandung di dalam mitos
Jawa, yakni agar setiap manusia mampu menggunakan ilmu titen, yakni ilmu yang
bersumber dari pengamatan atas kejadian berulang-ulang hingga menjadi mitos.
Dengan ilmu itu, orang Jawa untuk selalu berhari-hati di dalam menjalankan
kehidupan. Mitos memiliki ajaran positif bagi setiap manusia agar selalu meyakini
bahwa di luar kekuatannya terdapat kekuatan lain yang bersifat magis (Achmad, 2014:
9-10).
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan mitos adalah cerita
tentang asal-usul, kesaktian, roh, kekuatan benda yang bersifat irasional dan diyakini
sebagai fakta di masyarakat. Cerita yang terdapat dalam mitos berkaitan dengan masa
lalu atau masa kini bersifat menjelaskan fenomena budaya tertentu atau memberi
pendidikan secara tidak langsung. Mitos tidak hanya berpusat pada cerita-cerita yang
dianggap tabu oleh masyarakat. Di sisi lain, mitos juga berpusat pada cerita-cerita
yang bersumber dari kesaktian, benda, dan kekuatan-kekuatan lain di luar nalar
manusia. Mitos masyarakat Jawa lahir akibat pengaruh sistem keyakinan maupun
religi yang mereka anut. Masyarakat golongan Abangan atau Kejawen merupakan
masyarakat yang percaya terhadap keberdaan mitos di lingkungan sekitar.
b. Kepercayaan terhadap Mitos di Jawa
Menurut Sujarwa (2005:137) kata “kepercayaan” berasal dari kata “percaya”,
artinya mengakui atau meyakini akan kebenaran. Adapun kata “kepercayaan” itu
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
28
sendiri dapat diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau
keyakinan tentang kebenaran. Sebuah “sistem kepercayaan” merupakan organisasi
dari nilai-nilai yang dihormati dan dijalankan sebagai bagian dari keyakinan kolektif
dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Sementara itu, Liliweri (2014: 109)
menjelaskan dalam makna dihormati dan dijalankan itulan “sistem kepercayaan”
merupakan pedoman dan pemandu pikiran, kata-kata, dan tindakan individu atau
kelompok yang mencoba menjelaskan dunia di sekitar kita.
Menurut Kailish (dalam Liliweri, 2014:110) sebuah sistem kepercayaan adalah
kumpulan keyakinan yang saling mendukung sebagaimana yang dipegang oleh orang
tersebut, dan kepercayaan merupakan apa yang disebut memiliki unsur subjektif dari
budaya. Seperti kata Jonathan Glover (dalam Liliweri, 2014: 110) sistem kepercayaan
adalah satu set kepercayaan yang bersistem dan bagian-bagianya saling mendukung.
Sejalan dengan Jonathan Glover, Purwadi (2005: 61) menyatakan seperti
halnya di daerah Jawa pada umumnya penduduk mempunyai kepercayaan yang
bersifat animistis dan dinamistis. Untuk menunjukkan kepercayaan animisme dan
dinamisme ini, penduduk di Jawa masih pecaya adanya roh atau arwah yang
meninggal dunia disebut leluhur. Konsep leluhur selalu ada dan hidup dalam alam
pikiran mereka. Kadang-kadang mereka personifikasikan sebagai makhluk halus yang
dianggap menempati alam sekitar tempat tinggal manusia dan selalu mengawasi
tingkah laku mereka.
Suyono (2007: 75-76) mengemukakan di Jawa, rasa takut atau hormat terhadap
benda “berjiwa” dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Pemujaan dapat dilakukan
terhadap roh yang ada di suatu benda, atau langsung memuja benda itu sendiri. Di
Jawa juga ada yang percaya bahwa suatu barang merupakan alat setan sehingga sukar
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
29
diketahui apakah pemujaannya mengarah pada spiritisme atau fetisisme. Selain itu,
ada juga orang yang memanfaatkan mantra atau berpuasa untuk mendapatkan tenaga
alam sehingga dapat mendatangkan keselamatan atau menolak bala. Keyakinan
terhadap kekuatan alam ini melahirkan perasaan tidak berdaya menghadapi alam.
Oleh sebab itu bagi orang-orang Jawa semua kejadian dianggap sebagai keajaiban.
Lebih lanjut Purwadi (2005: 61-62) mengatakan bahwa mahluk halus disekitar
tempat tinggal mereka dapat dikategorikan antara yang jahat, yaitu biasa mengganggu,
dan yang baik, yaitu mahluk halus yang dianggap dapat membantu dan melindungi
manusia dari gangguan gaib lainya. Untuk berhubungan dengan leluhur atau mahluk
halus, dilakukan melalui seorang perantara yang disebut dhukun. Dhukun, sebagai
perantara yang menghubungkan antara manusia dengan leluhurnya itu, mempunyai
peranan yang cukup penting di dalam kehidupan keluarga atau masyarakat, misalnya
dalam peristiwa-peristiwa yang menyangkut hidup seseorang (life cycle). Di samping
kepercayaan yang animistis, penduduk juga masih mengenal kepercayaan dinamisme,
yaitu kepercayaan tentang anggapan, bahwa benda-benda tertentu mempunyai
kekuatan gaib.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan kepercayaan masyarakat
Jawa terhadap mitos merupakan keyakinan masyarakat tentang cerita asal-usul,
kesaktian keberadaan roh, dan kekuatan yang bersifat irasional, namun diyakini
sebagai fakta. Masyarakat Jawa percaya dengan keberadaan mitos karena kehidupan
masyarakat Jawa identik dengan roh, kekuaatan dalam benda, maupun cerita yang
berasal dari nenek moyang. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap mitos dijadikan
sebagai landasan untuk berperilaku, berpikir, dan mengambil keputusan. Masyarakat
Jawa juga mempunyai anggapan bahwa mitos yang tubuh di lingkungan tempat
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
30
tinggalnya, memberikan pendidikan moral terhadap masyarakat. Hal itulah yang
mendasari masyarakat untuk tetap mempertahankan kepercayaannya terhadap mitos.
c. Macam-Macam Mitos Masyarakat Jawa
Menurut Koentjaraningrat (1984: 338-349) macam-macam mitos masyarakat
Jawa dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Mitos Kasekten
Menurut Koentjaraningrat (1984: 342) orang Jawa memuja benda-benda
pusaka yang dianggap sakti dan mengandung kasekten. Benda-benda tersebut harus
dijaga agar tetap keramat, dan karena itu harus diusahakan agar kekuatan sakti yang
terkandung di dalamnya tidak terlalu banyak keluar. Kekuatan kasekten yang
dianggap ada dalam benda-benda itu seringkali digunakan oleh para pemiliknya untuk
menghalau penyakit dan malapetaka. Sementara itu, Marzuki (2011: 6) menjelaskan
masyarakat Jawa mengenal kesaktian dalam tubuh manusia maupun benda. Biasanya
orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak bersaja pada
masyarakat. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah pusaka peninggalan dan
makam-makam leluhur. Kedua hal itu memiliki kesaktian karena mampu melampaui
kodrat alam.
Di sisi lain, menurut Kalff (dalam Koentjaraningrat, 1984: 342) hanya orang
yang kuat jasmani dan rohaninya saja yang dianggap mampu memiliki kasekten.
Orang Jawa menganggap kesaktian sebagai energi yang kuat yang dapat
mengeluarkan panas, cahaya atau kilat. Kesaktian itu dapat berada di berbagai bagian
tertentu dari tubuh manusia, seperti: kepala (terutama rambut dan mata) alat kelamin,
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
31
kuku, air liur, keringat, dan air mani. Namun, kesakten pada umumnya ada pada
benda-benda suci, terutama benda-benda pusaka.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos terhadap kasekten
merupakan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan yang berasal dari benda
maupun tubuh manusia. Manusia diyakini memiliki kekuatan yang terdapat dari organ
tubuhnya. Selain itu, masyarakat Jawa juga meyakini kekuatan yang tersimpan dalam
benda pusaka dan jimat. Kedua hal tersebut diyakini dapat mendatangkan kebaikan
dan keburukan bagi diri manusia. Cerita tentang kesaktian dipercaya oleh masyarakat
Jawa sebagai fakta, meskipun bersifat irasional. Hal itulah yang melahirkan mitos
tentang kasekten di lingkungan masyarakat Jawa.
2) Mitos Roh Dhanyang Desa
Menurut Koentjaraningrat (1984: 338-339) sistem agami Jawi mengenal
adanya roh nenek moyang atau roh leluhur. Sebagai roh halus yang berkeliaran di
sekitar tempat tinggalnya semula, atau sebagai arwah leluhur yang telah menetap di
makan, maupun yang tinggal di surga dekat Allah. Roh nenek moyang masih lama
akan dipuja dan dipanggil oleh para keturunannya untuk memberi nasehat kepada
mereka mengenai persoalan rohaniah maupun material. Masyarakat Jawa mengenal
roh-roh yang baik, yang bukan nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal yaitu
Dhanyang, Bahureksa, dan Sing Ngemong.
Di sisi lain, menurut Suyono (2007: 120) Dhanyang desa juga dinamakan
leluhur yaitu sosok pendiri atau pembuka desa. Mereka adalah hantu yang tak tampak,
yang dipercaya telah berada di wilayah tersebut sebelum desa dibuka oleh manusia
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
32
yang bertempat tinggal di dekat desa itu atau sekitarnya. Karena senang bertempat
tinggal di desa, maka desa yang berkembang di sekitarnya akan dilindungi dan dijaga.
Dhanyang menjadi sumber semua berkah dan keselamatan yang dinikmati semua
penduduk desa. Akan tetapi, apabila Dhanyang tidak dihormati dan disepelekan,
cobaan serta kesengsaraan akan menimpa desa.
Sementara itu, Budiyanto (2008: 649) menjelaskan masyarakat Jawa percaya
kepada Tuhan dan Rasulnya, namun mereka juga percaya bahwa ada roh-roh yang
patut dihormati. Dalam alur seperti itulah maka yang perlu disadari adalah sebelum
kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha dan kepercayaan yang berdasarkan
animisme dan dinamisme telah berakar di kalangan masyarakat Jawa. Oleh sebab itu,
masyarakat yang memeluk agama Islam di Jawa percaya terhadap cerita roh nenek
moyang. Perlu diketahui bahwa cerita tentang roh leluhur, merupakan hasil buah pikir
manusia yang dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dianutnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mitos Dhanyang desa merupakan
cerita tentang roh penjaga desa yang dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai fakta.
Kepercayaan terhadap roh merupakan pola pikir yang bersifat irasional, namun
masyarakat Jawa tetap meyakininya. Masyarakat Jawa percaya bahwa roh penjaga
desa benar-benar ada, maka mereka senantiasa memberi penghormatan kepada roh
tersebut. Bentuk penghormatan masyarakat Jawa kepada roh dibuktikan melalui
kegiatan nyajen. Cerita tentang roh nenek moyang dituturkan secara turun-temurun,
hingga menjadi mitos yang mekar di tanah Jawa.
3) Mitos kekuatan Sesajen
Menurut Koentjaraningrat (1999: 348-349) sajen pada mulanya merupakan
wujud kebudayaan pra Hidu-Budha yang sampai saat ini mempengaruhi kehidupan
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
33
masyarakat Jawa. Kepercayaan terhadap kekuatan sesajen dipengaruhi oleh keyakinan
kekuatan mistik yang melahirkan takhayul. Takhayul di Jawa berbeda-beda antara
wilayah yang satu dengan lainnya. Sesaji diyakini memiliki kekuatan karena dapat
menolak pengaruh setan, mahluk mengerikan, hantu, dan roh jahat. Sesaji juga dapat
diperuntukkan sebagai persembahan kepada roh-roh orang meninggal.
Di sisi lain, Suyono (2007: 131) menjelaskan sesajen merupakan ramuan dari
tiga macam bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apem yang
diletakkan dalam besekan kecil atau bungkusan daun pisang. Ada sesajen yang dibuat
pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Sesajen ini sangat sederhana
karena hanya terdiri dari tiga macam bunga yang dimasukkan ke dalam gelas berisi
setengah air dan bersama-sama sebuah pelita diletakkan di atas meja untuk dikutug.
Hal tersebut bertujuan agar roh jahat tidak mengganggu keselamatan seisi rumah.
Sementara itu, Nurshodiq (2008: 61) menjelaskan sesaji apabila dilihat dari
fungsi atau kegunaan dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Sesaji yang digunakan untuk
memberi makan roh halus, jika seseorang mendapatkan musibah dan dapat diatasi
dengan pemberian sesaji. (2) Sesaji yang berfungsi untuk penghormatan misalnya
untuk para leluhur ketika masih hidup suka dengan rokok maka leluhur tersebut akan
diberi rokok sesuai dengan kegemarannya dan sebagainya. (3) Sesaji juga dipakai
sebagai perlambangan misalnya bubur atau jenang merah putih yang melambangkan
asal muasal mausia.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan mitos kekuatan sesajen merupakan
cerita tentang kekuatan yang terdapat dalam sesajen, diyakini oleh masyarakat Jawa
sebagai fakta. Masyarakat Jawa meyakini bahwa sesaji yang telah digunakan dalam
ritual, seni pertunjukan, maupun upacara adat mengandung kekuatan. Oleh sebab itu,
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
34
masyarakat Jawa memperebutkan sesaji tersebut sebagai pengasih bagi dirinya. Mitos
kekuatan sesajen yang tumbuh di lingkungan masyarakat Jawa, dipengaruhi oleh
kepercayaan dinamisme. Sesaji diyakini sebagai benda yang dapat mendatangkan
keberkahan bagi masyarakat Jawa. Cerita tersebut secara turun-temurun diyakini
masyarakat Jawa sebagai fakta.
Sementara itu, Priyadi (2006: 206-209) menjelaskan masyarakat Jawa yang
bertempat tinggal di desa Cipaku dan Onje Kecamatan Mrebet Kabupaten
Purbalingga, Jawa Tengah mengenal sebuah mitos yaitu tabu menikah antara
masyarakat desa Cipaku dengan Onje.
1) Mitos Tabu Nikah antara Masyarakat Desa Cipaku dengan Onje
Menurut Priyadi (2006: 206) babad Onje, sebagai produk kebudayaan,
tampaknya merupakan teks yang menjelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal
masyarakat Onje. Kesejarahan Onje diakui oleh kalangan yang lebih luas berkat
hadirnya teks babad Onje tersebut. Hal itu berbeda dengan Cipaku yang dikenal
sebagai rival Onje. Cipaku sebagai daerah kadipetan memang tidak disebut dalam teks
Babad Onje sebagai daerah bagian Onje. Jadi, Cipaku berdiri sendiri sebagai
kadipaten yang setara dengan Onje. Sebenarnya, tabu nikah di masyarakat Onje dan
Cipaku berasal dari Adipati Cipaku yang merasa dirinya menjadi korban kejahatan
Adipati Onje yang digolongkan olehnya sebagai orang jahat, sedangkan Adipati Onje
juga menyatakan tabu bagi laki-laki Onje untuk memadu dua orang istri atau lebih,
dan perempuan Onje tidak boleh dimadu oleh suaminya.
Di sisi lain, menurut Purwaningsih (dalam Priyadi, 2006: 208) tabu nikah dari
Adipati Onje ini berdasarkan pengalaman pahit dirinya. Tabu Adipati Onje juga
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
35
ditemukan pada folklor yang diteruskan kepada pewaris aktif folklor yang berasal dari
kepala desa Mangunegara. Kiranya folklor Onje ini yang paling menonjol bertujuan
untuk menyampaikan proyeksi keinginan yang terpendam sebagai alat legitimasi bagi
masyarakat Onje bahwa desanya dahulu merupakan suatu kadipaten yang berwibawa
sejak zaman Pajang hingga masa pemerintakah Susuhunan Paku Buwana I.
Sementara itu, menurut Tohirin (dalam Priyadi, 2006: 209) Raden Ore-Ore
yang merupakan anak Adipati Onje memiliki dua istri. Salah satu istrinya merupakan
orang asli Cipaku. Pada saat melihat kedua istrinya bertengkar, Raden Ore-Ore
kemudian membunuhnya. Oleh sebab itu, Adipati Cipaku begitu keras menanggapi
kasus pembunuhan putrinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Adipati Cipaku
memiliki karakter keras, juga karena Putri Pakuwati adalah pihak yang dijadikan
korban. Sikap Adipati Cipaku memang telah mengisyarakatkan kemusaskulinan dari
pada feminitas karena kata Cipaku itu identik dengan phallus atau lingga sebagai
simbol kejantanan, sedangkan kata Onje berarti buah yang lebat (ngroje) yang
menyimbolkan perempuan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mitos tabu nikah antara
masyarakat desa Cipaku dengan Onje merupakan cerita larangan menikah antara
orang Onje dengan Cipaku di kabupaten Purbalingga. Pantangan tersebut, dipercaya
dapat mendatangkan musibah jika dilanggar. Tidak ada batasan yang jelas mengapa
orang Cipaku dilarang menikah dengan warga Onje. Hal tersebut merupakan sebuah
cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi hingga diyakini sebagai fakta.
Masyarakat Jawa percaya bahwa salah satu cara menghormati leluhur ialah dengan
menjauhi larangannya.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
36
4. Konstruksi Tradisi dan Mitos Masyarakat Jawa
a. Pengertian Konstruksi
Menurut Dagun (2013: 845) konstruksi disebut sebagai susunan, model, tata
letak suatu bangunan. Konstruksi dapat juga disebut dengan istilah konstruk. Sejalan
dengan Dagun, Ratna (2013: 236-238) menguraikan bahwa definisi konstruk dapat
dilihat dari definisi konsep. Secara luas konsep adalah abstraksi suatu peristiwa
gambaran mental suatu objek. Konsep dibangun atas dasar data bukan opini.
Menurut Sari (2013: 24) konstruksi merupakan faktor-faktor yang turut
berperan membentuk budaya dalam teks sastra. Peristiwa masa lampau, cara berpikir,
kebiasaan, dan kondisi lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi lahirnya
suatu kebudayaan. Sementara itu, menurut Saputra (2014: 31) konstruksi merupakan
susunan atau bangunan yang dijadikan landasan maupun titik tolak. Landasan yang
baik disusun dengan baik dan memuat data faktual. Faktual menjadi ciri konstruksi,
sehingga diharapkan mampu menceritakan kondisi saat ini dengan masa lampau.
Di sisi lain, menurut Ratna (2011: 71) konstruksi membentuk identitas maupun
ciri dalam pembentukan suatu kebudayaan. Kebudayaan dalam suatu masyarakat
dapat berubah-ubah, namun tidak akan kehilangan ciri khasnya. Mobilitas dalam
kelompok masyarakat mengandung pengertian bahwa lingkungan sosial budaya setiap
orang berubah-ubah tergantung pada perilaku mobilitas seseorang atau kelompok.
Mobilitas mendorong proses rekonstruksi identitas sekelompok orang. Terdapat dua
proses dalam rekonstruksi yaitu adaptasi kultur para pendatang dengan kebudayaan
tempat bermukim dan proses pembentukan identitas individual yang beracuan pada
nilai kebudayaan asalnya.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
37
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan konstruksi adalah
susunan, bangunan yang dijadikan landasan suatu peristiwa dalam keseluruhan
aktivitas manusia meliputi pengetahunan, kebudayaan, maupun seni. Tradisi dan mitos
merupakan bagian dari kebudayaan yang memiliki konstruksi. Konstruksi bertujuan
untuk mengetahui peristiwa masa lampau yang menjadi latar belakang lahirnya suatu
kebudayaan. Konstruksi menjadi ciri khas yang dimiliki kelompok manusia sebagai
penghasil budaya.
b. Jenis Konstruksi Tradisi Masyarakat Jawa
Menurut Koentjaraningrat, (1984: 350-381) jenis konstruksi tradisi masyarakat
Jawa dibagi menjadi tiga. Tiga jenis konstruksi tersebut dijelaskan dalam uraian
berikut:
1) Konstruksi Sistem Keyakinan Agami Jawi
Konstruksi sistem keyakinan agami Jawi, terlihat dalam dua tradisi masyarakat
Jawa yaitu tradisi upacara pernikahan adat Jawa dan puasa jawa. Menurut
Koentjaraningrat (1984: 350) pernikahan merupakan salah satu rangkaian upacara
sepanjang lingkar hidup. Upacara sepanjang lingkar hidup ialah bentuk tertua dari
semua aktivitas keagamaan dalam kebudayaan manusia, walaupun demikian upacara
tersebut sudah menjadi hal yang mutlak dalam sistem keagamaan agami Jawi. Dalam
sistem keyakinan agami Jawi, orang Jawa Kejawen menjadikan AL-Qur‟an sebagai
sumber utama dari segala pengetahuan yang ada. Akan tetapi, masyarakat yang
menganut sistem keyakinan agami Jawi dalam melakukan aktivitas sehari-hari
dipengaruhi oleh nilai budaya dan norma-norma. Pengetahuan mereka juga diperoleh
dari buku keramat seperti Primbon yang didapat dari seorang dukun.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
38
Sementara itu, Purwadi (2005: 69) menjelaskan dalam sistem religi orang
Kejawen terdapat pengetahuan petung cara Jawa. Perhitungan menurut kalender dan
primbon biasa dilakukan dalam menentukan jodoh. Pengetahuan ini penting dilakukan
karena sebagian besar penduduk beranggapan, bahwa segala suatu nasib manusia
tergantung petungan ini. Berdasarkan neptu atau weton dapat dicari dan dihitung
jumlah yang cocok untuk menentukan jodoh seseorang. Apabila diperoleh jumlah
tidak cocok, maka kemungkinan rencana pernikahan akan dibatalkan. Dalam hal ini
orang Jawa mempunyai pedoman cara menghitung dan juga beberapa istilah yang
melambangkan hidup seseorang di masa mendatang.
Di sisi lain, Warpani (2015: 1) menjelaskan menurut kitab Primbon Jawa
kuno, siapapun yang menggelar perhelatan pernikahan harus memedomi tiga hal
yaitu: (1) Makutha, artinya pemangku kepentingan dianggap raja, dialah yang
berkuasa dan memutuskan jalannya upacara. (2) Makuthem, artinya bahwa pedoman
mengku gati adalah rancangan yang sudah ditetapkan. Berpegang pada aturan baku,
tidak goyah, mantap, dak tidak terpengaruh oleh aktivitas yang muaranya pada
pemborosa. (3) Makuthetheran, ini adalah peringatan bahwa apabila pemangku
perhelatan abai pada makutha serta makuthetheran, yang akan dianggap adalah
kewalahan dalam menyelenggarakan perhelatan.
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sistem
keyakinan agami Jawi merupakan hal yang melatarbelakangi lahirnya tradisi upacara
pernikahan adat Jawa. Dalam sistem keyakinan masyarakat Kejawen terdapat aturan
maupun ajaran untuk menyelenggarakan upacara pernikahan. Upacara pernikahan
adat Jawa, merupakan aktivitas sakral yang diselenggarakan sebelum menusia
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
39
memasuki kehidupan baru. Oleh sebab itu, dalam menggelar perhelatan tersebut
masyarakat Jawa bersikap selektif dan hati-hati.
Menurut Koentjaraningrat, (1984: 371) dalam sistem keyakinan agami Jawi
terdapat ajaran berpuasa atau tirakat. Orang Kejawen pada umumnya menjalankan
ibadah puasa, walaupun mereka seringkali tidak begitu taat menjalankan rukun agama
Islam yang lainnya. Kecuali berpuasa dalam bulan Ramadhan, mereka juga
mempunyai adat untuk berpuasa pada hari Senin dan Kamis (nyenen-kemis), suatu hal
yang menurut ajaran Islam tidak diwajibkan. Adat berpuasa pada hari-hari tertentu,
muasalnya adalah tirakat.
Lebih lanjut Koentjaraningrat (1984: 381) menjelaskan orang Jawa pada
umumnya dengan sengaja mencari kesukaran dan kesengsaraan untuk maksud-
maksud keagamaan yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat
membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran,
kesedihan, dan kekecewaan dalam hidup. Mereka juga percaya bahwa orang bisa
menjadi lebih tekun, dan orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan
mendapat pahala. Tirakat dilakukan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang
menghadapi suatu tugas berat, mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau
hubungan dengan orang lain. Dalam keadaan seperti itu, tirakat dianggap sebagai
tanda prihatin.
Sementara itu, Sugiyatno (2004: 5) menjelaskan memahami laku prihatin perlu
adanya kedekatan serta penghayatan intens. Laku prihatin masyarakat Jawa bertujuan
untuk membersihkan hati, agar hidup bermanfaat, belajar tulus dan ikhlas,
menghilangkan sikap ke-aku-an, serta banyak bersyukur. Berbeda dengan Sugiyatno,
Imam Budi (dalam Sugiyatno, 2004: 3) menjelaskan tirakat yang dilakukan orang
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
40
Jawa berkaitan dengan pandangan hidupnya. Pandangan hidup orang Jawa tampak
dari gaya hidup yang membentuk kepribadian mereka. Pada hakikatnya seluruh
aktiviitas, dan sistem yang dibudidayakan mereka adalah buah dari hasil
persenyawaan nilai pandangan hidup yang mengalir dalam hati sanubari orang Jawa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi puasa Jawa atau
tirakat merupakan aktivitas yang dilatarbelakangi oleh sistem keyakinan agami Jawi.
Sistem kepercayaan masyarakat Jawa mengandung ajaran tentang laku prihatin dalam
mencapai keinginan. Oleh sebab itu, dalam mewujudkan keinginan masyarakat Jawa
melakukan tirakat sesuai maksud dan tujuannya. Contoh tirakat yang dilakukan
masyarakat Jawa adalah puasa mutih, ngrowat, dan pati geni.
2) Konstruksi Kebudayaan Jawa Pra Hindu-Budha
Konstruksi kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha terlihat dalam dua tradisi
masyarakat Jawa yaitu slametan dan bersih desa. Menurut Bayuadhy (2015: 15)
awalnya slametan merupakan aktivitas masyarakat pra Hindu-Budha. Slametan telah
menjadi tradisi di Jawa sejak ratusan tahun silam. Selain bernilai saling membantu,
doa yang digunakan juga menjadi perantara berkomunikasi dengan leluhur. Pada saat
menggelar slametan, ada orang yang ngujupke (mengikrarkan). Biasanya orang ini
adalah tokoh yang dituakan atau seorang modin (punggawa desa bagian kerohanian
atau kersa). Orang yang memimpin jalannya upacara slametan bukan hanya sekedar
merapal mantra, namun juga tahu tata cara berhubungan degan leluhur.
Di sisi lain, Koentjaraningrat (1984: 344) slametan atau wilujengan adalah
suatu upacara masyarakat Kejawen. Slametan tidak hanya diadakan dengan maksud
untuk memelihara rasa solidaritas di antara para peserta upacara itu, tapi juga dalam
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
41
rangka menjaga hubungan baik dengan roh nenek moyang. Upacara slametan yang
ditujukkan kepada roh leluhur merupakan sebuah upacara bersifat keramat. Slametan
dilakukan untuk menghalau perasaan khawatir, dan menghindari mala petaka karena
telah melanggar ajaran leluhur. Getaran emosi keagamaan yang keramat timbul dalam
diri anggota keluarga yang mengadakan slametan karena suasana khidmat.
Sementara itu, Hanik (2011: 3) menjelaskan slametan merupakan aktivitas
yang dilakukan masyarakat Jawa pada masa pra Hindu-Budha. Animisme dan
dinamisme merupakan unsur yang paling menonjol dalam kegiatan slametan. Unsur
animisme terletak pada tujuannya slametan yang diperuntukkan kepada roh-roh halus.
Sementara itu, unsur dinamisme terletak pada sarana dan prasarana yang digunakan
dalam ritual slametan misalnya sesaji. Selain ditujukan kepada roh nenek moyang,
slametan juga dilakukan sebagai penghormatan kepada dewa maupun dewi alam.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan upacara slametan merupakan
aktivitas yang lahir dari kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha. Pada masa sebelum
agama Hindu-Budha masuk di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme. Aktivitas slametan yang digelar masyarakat
Jawa merupakan bukti penghormatan mereka pada leluhur dan roh-roh. Roh-roh
dipuja dan dihormati sehingga masyarakat Jawa memohon keselamatan dan
keberkahan hidup. Hal tersebut dilakukan secara turun-temurun sehingga menjadi
tradis yang luhur.
Menurut Bayuadhy, (2015: 86) bersih desa merupakan upacara tradisional
yang berasal dari kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha. Upacara bersih desa merupakan
upacara yang dilaksanakan untuk melakukan pembersihan atau penyucian.
Pelaksanaan bersih desa tidak terlepas dari penghormatan kepada Dewi Sri yang
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
42
dianggap sebagai dewi padi dan kesuburan tanaman. Pada masa pra Hindu-Budha,
bersih desa diadakan di makam leluhur yang dihormati. Hal itu disebabkan,
kelestarian desa yang mereka tinggali tidak lepas dari pengaruh roh leluhur.
Koentjaraningrat (1984: 375) menjelaskan dalam melakukan bersih dusun
seluruh warga desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa, dan segala yang
menyebabkan kesengsaraan. Hal itu tercermin dari berbagai aspek perayaan yang
diselenggarakan berkenaan dengan upacara itu yang mengandung unsur-unsur
simbolik. Akan tetapi, perayaan ini juga menandakan adanya sisa-sisa adat
penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang. Kegiatan yang berhubungan
dengan bersih dusun biasanya berlangsung di suatu tempat dekat makam pendiri desa
(dhanyang dhusun).
Di sisi lain, Kholil (2010: 267) menjelaskan pada masa pra Hindu-Budha,
upacara bersih desa bertujuan untuk mengundang kesuburan, sarana pengobatan
penyakit, penghormatan leluhur, dan hiburan roh halus. Upacara yang penuh dengan
nuansa magis merupakan perwujudan atau realisasi penghormatan masyarakat kepada
roh leluhur. Perwujudan ini dapat diamati pada sajian tarian penutup bersih desa.
Upacara bersih desa tidak hanya berfungsi untuk membersihkan desa, namun sebagai
sarana mewujudkan rasa syukur kepada leluhur yang telah menjaga keseimbangan
desa.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bersih desa merupakan tradisi yang
lahir pada masa pra Hindu-Budha. Sebelum agama Hindu-Budha masuk di pulau
Jawa, masyarkat telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam
kepercayaan tersebut, terdapat ajaran memberi penghormatan pada leluhur, dan
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
43
mewujudkan rasa syukur terhadap keseimbangan dusun. Oleh sebab itu, masyarakat
Jawa pada masa pra Hindu-Budha satu tahun sekali menggelar upacara bersih desa
sebagai bukti patuh terhadap leluhurnya.
3) Konstruksi Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha
Konstruksi kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha terlihat dalam satu tradisi
yaitu ziarah. Menurut Mumfangati (2007: 152) ziarah makam merupakan satu dari
sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. Ziarah kubur yang
dilakukan masyarakat Jawa ke makam keramat merupakan ajaran Hindu-Budha.
Candi sebagai salah satu tempat keramat bagi pemeluk Hindu-Budha merupakan
tempat ziarah yang selalu dikunjungi pada hari-hari atau peristiwa tertentu. Candi tak
ubahnya makam, merupakan tempat persemayaman raja pada masa lampau.
Di sisi lain, Bayuadhy (2015: 97) menjelaskan pada awalnya ziarah adalah
tradisi Hindu-Budha. Kemudian sejak abad ke-15, Wali Sanga menggabungkan tradisi
tersebut dalam dakwah agar agama Islam mudah diterima oleh masyarakat. Para Wali
berusaha meluruskan kepercayaan masyarakat Jawa yang waktu itu memuja roh. Agar
tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para Wali tidak menghapus
tradisi tersebut. Para Wali mengisi kegiatan ziarah sesuai ajaran agama Islam, yaitu
membaca ayat suci Al-Qur‟an, tahli, dan doa.
Berkaitan dengan hal tersebut, Koentjaraningrat (1984: 363) menjelaskan
ziarah atau nyekar merupakan aktivitas yang penting dalam sistem keyakinan agami
Jawi. Makam dikunjugi untuk memohon doa restu (pangestu) kepada nenek moyang,
terutama jika seseorang mengalamin tugas berat, akan bepergian jauh, atau jika ada
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
44
keinginan yang besar untuk memperoleh suatu hal. Masyarakat Jawa melakukan
ziarah sebagai wujud bakti dan percaya pada keberadaan roh leluhur. Penghormatan
tersebut dilakukan dengan mengunjungi makam dan memberi sesaji yaitu kembang
tujuh rupa, dan kemenyan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan ziarah merupakan aktivitas yang
lahir dari ajaran Hindu-Budha. Pada masa itu, masyarakat menganggap raja, leluhur,
maupun tokoh-tokoh tertentu sebagai titisan dewa. Oleh sebab itu, makamnya
senantiasa mereka kunjungi untuk memohon keberkahan. Raja dan leluhur diyakini
memberikan keberkahan dan kesejahterahan hidup kepada masyarakat. Kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan roh diwujudkan melalui aktivitas ziarah.
c. Jenis Konstruksi Mitos Masyarakat Jawa
Menurut Koentjaraningrat (1984: 319 dan 340) jenis konstruksi mitos
masyarakat Jawa dibagi menjadi dua. Dua konstruksi tersebut diuraikan dalam
penjelasan berikut:
1) Konstruksi Sistem Keyakinan Agami Jawi
Konstruksi sistem keyakinan agami Jawi terlihat dalam dua mitos yaitu mitos
kasekten, dan roh Dhanyang desa. Menurut Koentjaraningrat (1984: 319) dalam
sistem keyakinan agami Jawi terdapat konsep, pandangan, dan nilai seperti yakin
adanya kasekten atau kesaktian dalam tubuh manusia dan benda. Sistem keyakinan
agami Jawi merupakan kompleks Hindu-Budha, serta animisme dan dinamisme yang
diakui masyarakat Jawa sebagai agama Islam. Orang Jawa menganggap kesaktian
sebagai energi yang kuat dan dapat mengeluarkan panas atau cahaya. Kesaktian dapat
beradi di bagian tertentu tubuh manusia, seperti mata, tangan, kaki, telinga, dan bibir.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
45
Masyarakat Jawa juga berkeyakinan bahwa kesaktian terdapat dalam benda seperti
keris, jimat, tombak, dan bendera.
Sementara itu, Bayuadhy (2015: 124) menjelaskan benda-benda pusaka yang
diyakini masyarakat Jawa memiliki kesaktian dipengaruhi oleh religi agama Kejawen.
Religi orang Kejawen banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan masa Hindu-
Budha dan kepercayaan terhadap roh-roh. Benda pusaka digunakan oleh masyarakat
Jawa sekitar abad ke-9 Masehi. Hal itu dapat dilihat disalah satu relief candi
Borobudur yang memperlihatkan seseorang memegang benda pusaka menyerupai
keris. Selain itu, ada dugaan keris dianggap sebagai benda suci. Oleh sebab itu benda
pusaka tidak hanya digunakan dalam peperangan, tetapi juga dalam perlengkapan
sesaji.
Di sisi lain, Suyono (2007: 76) menjelaskan meskipun sejak 1426 agama Islam
telah masuk ke pulau Jawa, namun hingga sekarang penduduk Jawa masih memuja
benda-benda. Pemujaan itu merupakan ajaran warisan dari nenek moyang mereka,
yang diikuti secara sadar maupun tidak. Dengan bantuan mantra-mantra, benda hidup
atau mati dapat diisi dengan roh yang baik atau jahat. Dengan cara ini, seseorang
dapat mencapai kehendaknya, tetapi juga dapat mencelakakan musuh-musuhnya.
Terdapat benda-benda yang diyakini mengandung roh dan patut dihormati. Pemujaan
terhadap benda yang dimiliki seseorang, penghormatan tersebut ditujukan kepada
benda itu sendiri.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan mitos atau cerita tentang
kasekten yang terdapat dalam tubuh manusia maupun benda dilatarbelakangi oleh
sistem keyakinan agami Jawi. Dalam sistem keyakinan agami Jawi terdapat
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
46
kepercayaan terhadap kasekten. Oleh sebab itu, masyarakat Kejawen berburu benda
tersebut untuk dijadikan jimat atau pegangan hidup. Jimat dapat diperoleh dari
tempat-tempat keramat seperti gua, dan makam. Jimat diyakini membawa
keberuntungan bagi manusia dan dapat menjauhkan dari gangguan roh jahat.
Di sisi lain, menurut Koentjaraningrat (1984: 338) sistem keyakinan agami
Jawi mengenal roh jahat dan roh baik. Roh halus yang berkeliaran di desa dianggap
sebagai leluhur, sehingga dipuja dan dihormati oleh penduduk desa. Sitem keyakinan
agami Jawi mengenal roh yang bukan kerabat yaitu Dhanyang, Bahureksa, dan
Widadari. Roh tersebut dipercaya sebagai roh baik yang menjaga kelestarian desa.
Dalam menghormati roh tersebut, masyarakat Jawa memberikan sesaji di tempat-
tempat tertentu seperti makam, pohon besar, dan batu besar yang dianggap wingit.
Sementara itu, Suyono (2007: 97) menjelaskan di Jawa orang animis atau
Tiang Pasek memiliki kepercayaan sendiri mengenai roh dan kehidupan sesudah mati.
Gambaran ini diperoleh dari tulisan kuno dalam kitab Kadilangu dan keterangan dari-
babad-babad Jawa. Jiwa atau roh manusia secara keseluruhan menjadi satu badan
astral manusia atau Kama Rupa, yang berbarti tubuh yang diinginkan. Bayangan
mereka disebut leluhur. Bayangan ini akan memilih tempat kediaman, kemudian
menjaga seluruh penduduk desa. Mereka menjadi Dhanyang atau roh penjaga desa
karena penduduk desa memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengannya.
Sejalan dengan Suyono, Budiyanto (2008: 654) menjelaskan sistem keyakinan
masyarakat Kejawen percaya terhadap roh leluhur. Hal tersebut disebabkan, sebelum
kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu dan Budha, kepercayaan animisme dan
dinamisme telah mengakar di kalangan masyarakat Jawa. Karena itu dengan
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
47
datangnya Islam, terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-
kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akhirnya munculan kemudian
golongan Islam Abangan dan Islam Santri.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mitos atau cerita roh penjaga desa
(Dhanyang) dilatarbelakangi oleh sistem keyakinan agami Jawi. Sistem keyakinan
agami Jawi merupakan agama Islam yang mendapat pengaruh dari ajaran Hindu-
Budha, serta animisme dan dinamisme. Ajaran tersebut, belum dapat ditinggalkan
oleh masyarakat Jawa, karena berasal dari peninggalan nenek moyang. Sistem
kepercayaan mereka melahirkan cerita tentang roh baik yang menjaga desa, dan
dipercaya sebagai fakta.
2) Konstruksi Kebudayaan Jawa Pra Hindu-Budha
Konstruksi kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha ditemukan dalam satu mitos
yaitu mitos kekuatan sesajen. Menurut Suyono (2007: 131) salah satu fenomena yang
lahir dari kepercayaan Tuhan, dewa-dewa, atau hantu-hantu adalah pemberikan sesaji.
Sesaji diyakini memiliki kekuatan yang dapat memberikan pengaruh positif dalam diri
manusia. Sesaji yang dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa mungkin tidak
dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa yang lain. Pada masa pra Hindu-Budha,
sesaji atau sesajen digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai pelengkap dalam berdoa
maupun menggelar upacara adat.
Di sisi lain, Koentjaraningrat (1984: 365) pada zaman pra Hindu-Budha sesaji
serba mentah disajikan untuk roh leluhur yang menjaga suatu tempat. Sesaji
diletakkan pada tempat yang dianggap menjadi tempat tinggal para leluhur agal dan
halus. Leluhur agal adalah sebangsa bekasakan, wewe, gendruwo, dan sebagainya.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
48
Sedangkan leluhur halus adalah nenek moyang yang menurunkan kita semua. Hal
tersebut dimaksudkan agar kehidupan manusia di dunia, dijauhkan dari gangguan
leluhur agal atau roh jahat.
Sejalan dengan Warpani, Bayuadhy (2015: 182) menjelaskan sesajen
merupakan benda yang diperebutkan masyarakat Jawa karena dianggap memiliki
kekuatan. Sesaji yang digunakan setelah berdoa dan menggelar upacara adat
diperebutkan karena dapat mendatangkan keberkahan. Sesaji juga dapat dijadikan
pengasih untuk memikat orang lain. Pada zaman dahulu, pengasih meryupakan
andalan atau alternatif terakhir jika seseorang mempunyai kehendak yang terhalang
atau ditolak jika diusahakan dengan cara normal.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mitos atau cerita tentang kekuatan
sesajen dilatarbelakangi oleh kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha. Pada awalnya sesaji
merupakan sarana dan pelengkap dalam ritual adat. Kepercayaan masyarakat terhadap
roh halus yang telah memberkati sesaji, menumpuhkan cerita kekuatan di dalamnya.
Kekuatan yang terdapat dalam sesaji diyakini masyarakat dapat mendatangkan
keberuntungan. Oleh sebab itu, masyarakat memperebutkan sesaji yang terdapat
dalam upacara adat untuk mendukung kepentingannya.
3) Konstruksi Babad Purbalingga
Menurut Priyadi (2006: 205-207) konstruksi babad Purbalingga terlihat dalam
satu mitos yaitu tabu nikah antara masyarakat desa Cipaku dengan masyarakat desa
Onje. Dalam Babad Purbalingga dijelaskan peristiwa sejarah cikal-bakal masyarakat
Cipaku dengan segala pengaruh kekuasaan politiknya. Kesejarahan Cipaku diakui
oleh kalangan yang lebih luas berkat hadirnya teka Babad Purbalingga. Tanpa adanya
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
49
teks teks Babad Purbalingga, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tidak
mengetahui cerita tentang leluhur yang secara turun-temurun diyakini kebenarannya.
Sementara itu, menurut Darmosoetopo (dalam Priyadi, 2006: 206) tabu nikah
masyarakat desa Cipaku dan Onje juga ditemukan dalam naskah Serat Sejarah Rupi
Onje. Naskah tersebut ditulis pada 1939 dan isinya menggambarkan kekuasaan
politik. Akan tetapi, di dalam teks tersebut juga terdapat gambaran tabu nikah
masyarakat desa Cipaku dan Onje. Dalam teks tersebut dijelaskan bahwa sampai
kiamat keturunan Cipaku tidak boleh berbesan dengan orang Onje yang jahat.
Sementara itu, orang Onje tidak boleh mayuh (memadu dua atau lebih istri) dan
diwayuh (dimadu).
Menurut Purwaningsih (dalam Priyadi, 2006: 207) teks Babad Purbalingga
menjelaskan bahwa Adipati Cipaku teguh pendirian bahwa tidak ada tawar-menawar
lagi dengan tabu nikah. Jika suatu saat keturunan Cipaku menikah dengan orang Onje
maka diharuskan melakukan tambangan. Tambangan yaitu tukar-menukar pasangan
kakak-beradik laki-laki dan perempuan dengan pasangan kaka-beradik perempuan dan
laki-laki. Dalam pernikahan tersebut, masing-masing desa harus membawa seorang
laki-laki dan perempuan untuk tambangan. Tambangan adalah suatu cara untuk
sedikit membuat tawar terhadap tabu.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mitos tabu nikah antara
masyarakat desa Cipaku dengan masyarakat desa Onje tertera dalam Babad
Purbalingga. Dalam Babad Purbalingga tertera larangan menikah antara orang Cipaku
dengan Onje. Di dalam teks tersebut, tidak dicantumkan secara jelas penyebab tabu
nikah. Cerita yang berkembang di masyarakat, tabu nikah antara masyarakat
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
50
desa Cipaku dengan masyarakat desa Onje dilatarbelakangi oleh peristiwa pahit
leluhurnya.
5. Antropologi Sastra
Menurut Ihromi (2000: 1) antropologi berasal dari bahasa Yunani yaitu
antropos berarti “manusia” dan logos berarti “studi” jadi antropologi merupakan suatu
disiplin ilmu tentang manusia atau homo sapiens. Jenis makhluk yang disebut homo
sapiens memang merupakan suatu pokok yang sangat luas, karena meliputi manusia
sebagai makhluk fisik, manusia dalam masa prasejarahnya dan manusia dalam sistem
kebudayaannya, yaitu sebagai pewaris atau sistem yang kompleks, yang terdiri dari
adat-adat, sikap-sikap, dan pelaku. Di samping itu, menurut Koentjaraningrat (2013:9)
antropologi berarti “ilmu tentang manusia”, khususnya tentang asal-usul, aneka warna,
bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Sementara itu,
menurut Ratna (2011: 52) antropologi adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan manusia. Oleh karena luasnya bidang yang harus dibicarakan, di dalamnya
termasuk manusia dengan keseluruhan aktivitasnya, baik secara jasmani maupun
rohaniyah. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan antropologi adalah
ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk manusia. Dalam hal ini, manusia dianggap
sebagai agen kultur atau penghasil kebudayaan.
Menurut Ratna (2013: 82) secara etimologis, sastra berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu sas dan tra. Sas berarti mengarahkan, mengajar, dan memberi
petunjuk dan tra berarti alat. Jadi, sastra berarti alat untuk mengajar. Dalam bahasa-
bahasa Barat, sastra sepengertian dengan kata literature dengan berbagai variannya
pada umumnya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang tertulis. Dalam
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
51
perkembangan berikut sastra memiliki dua pengertian, pertama, hasil karya, sebagai
karya seni, kedua, keseluruhan hasil karya, baik sebagai karya seni maupun ilmu yang
meliputi sejarah dan kritik.
Di sisi lain, Endraswara (2013: 9-10) mendefinisikan sastra sebagai sebuah
cipta budaya yang indah, sastra dipoles dengan bahasa keindahan. Persoalan
keindahan adalah aspek estetika yang lebih dekat dengan bahasa kias. Adapun
persoalan guna terkait dengan makna keindahan bahasa sastra itu. Oleh karenanya
Wellek dan Warren (2014: 81) sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan
bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Imajinasi dan estetika merupakan
konsep dasar dari seni yang bersifat personal, sedangkan bahasa merupakan ciri khas
dari media penyampainya, yang membuat karya sastra berbeda dengan karya-karya
lainnya. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan sastra ialah ide, gagasan,
dan pikiran yang dituangkan dalam bentuk bahasa dan memiliki nilai estetika. Ide
maupun gagasan merupakan hasil proses imajinasi pengarang, yang sudah melalui
pertimbangan panjang. Selain itu bahasa menjadi ciri khas sastra dengan karya seni
lainnya, sedangkan estetika menjadi nilai yang tidak bisa dipisahkan dengan kata
sastra.
Secara etimologis antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu antropologi dan
sastra. Secara singkat antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang manusia,
sedangkan sastra (sas + tra) berarti alat untuk mengajar. Secara etimologis kelompok
kata tersebut belum menunjukkan arti seperti dimaksudkan dalam pengertian yang
sesungguhnya. Tetapi secara luas yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah
ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang yang dianalisis dalam
kaitannya dengan masalah-masalah antropologi (Ratna, 2011: 6). Lebih lanjut,
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
52
dinyatakan Ratna (2013: 351) antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra
dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi
menjadi dua macam yaitu, antropologi fisik dan antropologi kultural, maka
antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan
karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti bahasa, religi, mitos, sejarah,
hukum, adat istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitanya dengan
tiga bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks
aktivitas, dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian
pada kompleks ide.
Sementara itu menurut Endraswara (2013: 1) antropologi sastra berupaya
meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Manusia
sering bersikap dan bertindak dengan tata krama. Tata krama memuat tata susila dan
unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra sering
menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh simbol. Di
sisi lain, antropologi sastra dalam pandangan Poyatos (dalam Endraswara, 2013: 3-4)
adalah ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Penelitian
budaya dalam sastra tentu diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan.
Pada umumnya, penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (dalam
Endraswara, 2013: 61) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia atau orang, (b)
artikel tentang sastra, (c) bibliografi. Ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan
seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber
data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut
dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
53
Karakteristik penelitian antropologi sastra adalah pemahaman sastra dari sisi
keanekaragaman budaya. Masalah hangat dalam menulis antropologi sampai saat ini
belum terpecahkan secara serius. Belum ada rumusan yang baku, apa dan bagaimana
sastra dan antropologi harus ditulis dan dipahami. Sastra dan antropologi awalnya
memang wilayah yang berbeda. Namun, pada kenyataannya, sastra dan antropologi
sering bersentuhan dalam menimba kehidupan manusia. Pada dasarnya, baik sastra
maupun antropologi terkait dengan perilaku sosial dan budaya manusia yang
kompleks (Endraswara, 2013: 23).
Analisis antropologi sastra juga mengungkap berbagai hal, antara lain sebagai
berikut; (1) Kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan
dalam sebuah cipta sastra. Kebiasaan leluhur melakukan semedi, melantunkan pantun,
mengucapkan mantra-mantra, dan sejenisnya menjadi fokus penelitian; (2) Peneliti
akan mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seorang penulis yang
terpantul dalam karya sastra. Dalam kaitan ini, tema-tema tradisional yang diwariskan
secara turun-temurun akan menjadi perhatian tersendiri; (3) Penelitian juga dapat
diarahkan pada aspek penikmat sastra etnografis, mengapa mereka sangat taat
menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya sastra; (4) Peneliti juga perlu
memperhatikan bagaimana proses pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu,
dan (5) Penelitian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat
yang mengitari karya sastra tersebut (Endraswara, 2013: 61).
Fokus analisis antropologi sastra adalah menukik pada persoalan budaya.
Budaya menjadi roh sastra. Kedalaman analisis dapat dilakukan manakala peneliti
menghayati tiruan kehidupan yang dilukiskan secara simbolis. Getaran bahasa-bahasa
kias itulah yang harus ditafsirkan peneliti. Kunci proses analisis antropologi sastra
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015
54
adalah mendeskripsikan budaya lewat fenomena sastra. Sastra menyajikan fakta
kultural sehingga harus dipahami sebagai kekayaaan hidup (Endraswara, 2013: 63).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan antropologi sastra
merupakan bidang ilmu sastra yang mengkaji karya sastra dalam perspektif budaya.
Sastra merupakan produk budaya, maka di dalamnya mencerminkan fenomena
budaya. Jadi, karya sastra yang dikaji menggunakan antropologi sastra merupakan
karya sastra yang sarat dengan fenomena budaya. Fenomena budaya yang terdapat
dalam karya sastra meliputi, wujud budaya, unsur-unsur budaya, tradisi dan mitos.
Objek utama antropologi sastra adalah fenomena-fenomena budaya yang terpantul
dalam teks sastra.
Tradisi Dan Mitos..., Puji Rahayu, FKIP UMP, 2015