bab ii landasan teori 2.1 perilaku perososial 2.1.1...

15
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya, menurut Staub, 1978; Baron & Byrne, 1994 (dalam Hudaniah, 2006). Lebih lanjut lagi William 1981 (dalam Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dan tujuannya untuk meningkatkan well being orang lain. Sedangkan menurut David O. Sears dkk (1994), mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Tingkah laku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan motif si penolong. Selain itu, menurut Brigham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.

Upload: vantram

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Perilaku Perososial

2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial

Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang

menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas

bagi pelakunya, menurut Staub, 1978; Baron & Byrne, 1994 (dalam

Hudaniah, 2006). Lebih lanjut lagi William 1981 (dalam Hudaniah, 2006)

membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk

mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik

menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dan

tujuannya untuk meningkatkan well being orang lain. Sedangkan menurut

David O. Sears dkk (1994), mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial

merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Tingkah laku

prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau

direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan motif si

penolong. Selain itu, menurut Brigham 1991 (dalam Hudaniah, 2006)

bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong

kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, menolong,

menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku

prososial.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

Adapun indikator yang menjadi perilaku prososial, menurut Staub

1978 (dalam Hudaniah, 2006), adalah:

a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada

pihak pelaku

b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela

c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan

Berdasarkan batasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku

prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekwensi

positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik, ataupun

psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya.

2.1.2 Faktor-faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial

Menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor

yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:

a. Self-gain

Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan

sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut

dikucilkan.

b. Personal values and norms

Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh

individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai, serta

norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti kewajiban

menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.

c. Emphaty

Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau

pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya

dengan pengambilalihan peran. Jadi prasayarat untuk mampu

melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk

melakukan pengambilan peran.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

d. Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada Perilaku

Prososial

Ada beberapa faktor personal maupun situasional yang

menentukan perilaku prososial. Menurut Piliavin (dalam Hudaniah,

2006) ada tiga faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya

perilaku prososial, yaitu:

1. Karakteristik situasional (seperti situasi yang kabur atau samar

samar dan jumlah orang yang melihat kejadian).

2. Karakteristik orang yang meilhat kejadian (seperti usia, gender, ras,

kemampuan untuk menolong).

3. Karakterisitik korban (seperti; jenis kelamin, ras, daya tarik).

Adapun Faktor-faktor Situasional Yang Berpengaruh Dalam

Perilaku Prososial yaitu:

1) Kehadiran Orang Lain

Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan latane

kemudian Latane dan Rodin 1969 (dalam Hudaniah, 2006)

menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat

akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian

daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan,

seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab (dikutip

oleh Libert, Paulos, & Marmor, 1977). Menurut Staub 1978

(dalam Hudaniah, 2006) justru menemukan kontradiksi dengan

fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa

individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka

bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri.

Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu

untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi

oleh harapan untuk mendapat pujian menurut Sampson 1976

(dalam Hudaniah, 2006).

2) Pengorbanan Yang Harus Dikeluarkan

Biasanya seseorang akan membandingkan antara besarnya

pengorbanan jika ia menolong dengan besarnya pengorbanan

jika ia tidak menolong (misalnya, perasaan bersalah,

dikucilkan oleh masyarakat, dan kemungkinan kehilangan

hadiah). Jika pengorbanan untuk menolong menolong rendah,

sedangkan jika pengorbanan jika tidak menolong tinggi, tindak

pertolongan secara langsung akan terjadi. Jika pengorbanan

untuk menolong tinggi dan pengorbanan jika tidak menolong

rendah, ia mungkin akan menghindari atau meninggalkan

situasi darurat itu. Jika keduanya relatif sama tinggi,

kemungkinan ia akan melakukan pertolongan secara tidak

langsung, atau mungkin akan melakukan interpretasi ulang

secara kognitif terhadap situasi tersebut. Demikian pula

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

sebaliknya jika keduanya, baik pengorbanan untuk menolong

ataupun tidak menolong diinterpretasikan sama rendahnya, ia

akan menolong atau tidak tergantung norma-norma yang

dipersepsi dalam situasi itu menurut Bringham 1991 (dalam

Hudaniah, 2006).

3) Pengalaman dan Suasana Hati

Seseorang akan lebih suka memberikan pertolongan pada

orang lain, bila sebelumnya mengalami kesuksesan atau hadiah

dengan menolong. Sedangkan pengalaman gagal akan

mengunranginya William 1981 (dalam Hudaniah, 2006).

Demikian pula orang yang mengalami suasana hati yang

gembira akan lebih suka menolong. Sedangkan dalam suasanan

hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan

pertolongan (Berkowitz, 1972; William, 1981). Sebab suasana

hati (mood) dapat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk

membantu orang lain menurut Berkowitz 1972 (dalam

Hudaniah, 2006).

4) Kejelasan Stimulus

Semakin jelas stimulus dari situasi darurat, akan

meningkatkan kesiapan calon penolong untuk bereaksi.

Sebaliknya situasi darurat yang sifatnya samar-samar akan

membingungkan dirinya dan membuatnya ragu-ragu, sehingga

ada kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya untuk

memberikan pertolongan (Sampson, 1976).

5) Adanya Norma-Norma Sosial

Norma sosial yang berkaitan dengan perilaku prososial

adalah resiprokal (timbal balik) dan norma tanggung jawab

sosial. Pada awalnya sosiolog Alvin Gouldner (dalam

Sampson, 1976) yang mengemukakan bahwa ada norma timbal

balik dalam perilaku prososial, artinya seseorang cenderung

memberikan bantuan hanya kepada mereka yang pernah

memberikan bantuan kepadanya. Impilkasi dari prinsip ini

lebih jauh menetapkan bahwa orang yang menerima

keuntungan dari seseorang memiliki kewajiban untuk

membalasnya. Sehingga dengan ini dapat dipertahankan

adanya keseimbangan dalam hubungan interpersonal.

Biasanya di dalam masyarakat berlaku pula norma bahwa

kita harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan.

Masing-masing orang memiliki tanggung jawab sosial untuk

menolong mereka yang lemah. Tetapi Berkowitz (1972)

berpendapat bahwa anggapan adanya peranan norma

tanggungjawab sosial terhadap perilaku prososial adalah terlalu

dilebih-lebihkan.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

6) Hubungan Antara Calon Penolong Dengan Si Korban

Makin jelas dan dekat hubungan antara calon penolong

dengan calon penerima bantuan akan memberi dorongan yang

cukup besar pada diri calon penolong untuk lebih cepat dan

bersedia terlibat secara mendalam dalam melakukan perilaku

pertolongan. Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena

adanya pertalian keluarga, kesamaan latar belakang atas ras

(Staub, 1979; Bringham, 1991).

Sedangkan faktor personal yang dapat berpengaruh dalam perilaku

prososial adalah karakteristik kepribadian. Salah satu alasan mengapa ada

orang-orang tertentu yang mudah tergerak hatinya untuk berperilaku

prososial, barangkali dapat dijelaskan antara lain dari faktor kepribadian.

Penelitian yang dilakukan oleh Staub 1979 (dalam Hudaniah, 2006)

kemudian oleh Wilson dan Petruska 1984 (dalam Hudaniah, 2006)

menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat kecenderungan yang

tinggi untuk melakukan perilaku prososial, biasanya memiliki karakteristik

kepribadian, yakni memiliki harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan

akan persetujuan orang lain, rendahnya menghindari tanggung jawab, dan

lokus kendali yang internal.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mendasari perilaku prososial yaitu self gain, Personal values and

norms, emphaty, Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada

Perilaku Prososial.

2.1.3 Aspek-Aspek Perilaku Prososial

Carlo & Randall, (2002) menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku

prososial yang diukur pada masa remaja yaitu:

a. Perilaku untuk membantu orang lain yang ditetapkan atas kehadiran

orang lain

Dengan kehadiran orang lain, maka akan mendorong individu untuk

membantu orang lain karena dimotivasi oleh harapan agar mendapat

pujian dari orang lain.

b. Perilaku prososial tanpa diketahui namanya

Kecenderungan untuk membantu orang lain tanpa sepengetahuan

orang lain.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

c. Perilaku prososial yang menakutkan

Berkenaan dengan membantu orang lain di bawah situasi susah

d. Perilaku emosional prososial

Adalah perilaku yang berniat untuk menguntungkan orang lain dalam

situasi emosional. Perilaku ini dapat dihubungkan dengan simpati

dalam pertimbangan moral prososial, yang berorientasi terhadap

persetujuan pertimbangan moral prososial sehingga diharapkan adanya

keseimbangan antara sifat mementingkan kepentingan orang lain

dengan perilaku emosional prososial.

e. Perilaku membantu orang lain ketika diminta

Yaitu perilaku mengarah pada membantu orang lain ketika diminta.

f. Altruisme

Berkenaan dengan membantu orang lain ketika ada atau sedikit atau

tidak ada potensi langsung, tidak ada hadiah yang jelas untuk diri.

Jadi aspek-aspek prososial yaitu perilaku untuk membantu orang lain

yang ditetapkan atas kehadiran orang lain, perilaku prososial tanpa diketahui

namanya, perilaku prososial yang menakutkan, perilaku membantu orang

lain ketika diminta, altruisme.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

2.1.4 Motivasi Untuk Berperilaku Prososial

Carlo & Randall, (dalam Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa ada

beberapa motivasi untuk berperilaku prososial. Adapaun motivasi tersebut

adalah:

a. Empathy- Altruism Hypothesis

Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Batson, Fortrnbach, dan

McCarthy 1986 (dalam Hudaniah 2006) yang menyatakan bahwa

perilaku prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap

kesejahteraan orang lain. Tanpa adanya empati, orang yang melihat

kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat

mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan

pertolongan.

b. Negative State Relief Hypothesis

Pendekatan ini sering pula disebut dengan egoistic theory, sebab

menurut konsep ini perilaku prososial sebenarnya dimotivasi oleh

keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri

calon penolong, bukan karena ingin menyokong kesejahteraan orang

lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton mengalami emosi

negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan tersebut,

kecuali dengan menolong korban menurut Baron & Byrne 1994

(dalam Hudaniah, 2006).

c. Emphatic Joy Hypothesis

Pendekatan ini merupakan alternatif dari teori egoistik, sebab menurut

model ini perilaku prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika

seseorang menolong. Ini terjadi hanya jika seseorang belajar tentang

dampak dari perilaku prososial tersebut. Sebagaimana pendapat

Bandura 1977 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar

bahwa melakukan perilaku menolong dapat memberinya hadiah bagi

dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik. Hasil

penelitian William dan Clark mendukung model ini, sebab mereka

menemukan pertolongan, perasaan positif tetap timbul setelah ia

memberikan pertolongan (dikutip oleh Baron & Byrne, 1994).

Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi untuk berperilaku prososial yaitu

empathy- altruism hypothesis, negative state relief hypothesis, emphatic

joy hypothesis.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

2.1.5 Cara Meningkatkan Perilaku Prososial

Ada beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Menurut

Bringham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) setelah menyimpulkan dari

beberapa penelitian yang ada, menyatakan bahwa ada beberapa cara

untuk meningkatkan perilaku prososial, yaitu:

1) Melalui penayangan model perilaku prososial, misalnya melalui media

komunikasi massa. Sebab banyak perilaku manusia yang terbentuk

melalui belajar sosial terutama dengan cara meniru. Apalagi

mengamati model prososial dapat memiliki efek premiring yang

berasosiasi dengan anggapan positif tentang sifat-sifat manusia dalam

diri individu pengamat.

2) Dengan menciptakan suatu superordinate identity, yaitu pandangan

bahwa setiap orang adalah bagian dari keluarga manusia secara

keseluruhan. Dalam beberapa penelitian ditunjukkan bahwa

menciptakan superordinate identity dapat mengurangi konflik dan

meningkatkan kemampuan empati diantara anggota-anggota kelompok

tersebut.

3) Dengan menekankan perhatian terhadap norma-norma perilaku

prososial, seperti norma-norma tentang tanggung jawab sosial. Norma-

norma ini dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, ataupun melalui

media massa. Demikian pula, para tokoh masyarakat dan pembuat

kebijakan dan memotivasi masyarakat untuk berperilaku prososial

dengan memberi penghargaan kepada mereka yang telah banyak

berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Penghargaan ini akan memberi pengukuhan positif bagi pelaku

perilaku prososial itu sendiri maupun orang lain/masyarakat.

Jadi cara untuk meningkatkan perilaku prososial yaitu melalui

penayangan model perilaku prososial, dengan menciptakan suatu

superordinate identity, dengan menekankan perhatian terhadap norma-

norma perilaku prososial.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

2.2 Locus Of Control

2.2.1 Pengertian Locus Of Control

Locus of control mengandung arti seberapa jauh individu yakin bahwa

mereka menguasai nasib mereka sendiri (Robbin 1988), sedangkan menurut

Rotter (1966) locus of control adalah keyakinan seseorang terhadap sumber-

sumber yang mengontrol kejadian-kejadian dalam hidunya yaitu apakah

kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya di kendalikan oleh kekuatan dari

luar dirinya. Dalam konsep tersebut, Rotter (1966) menjelaskan bahwa

seseorang akan mengembangkan suatu harapan kemampuannya untuk

mengendalikan kejadian-kejadian dalam hidunya.

Lebih lanjut Rotter (dalam Jess Feist, 2013) mengatakan bahwa locus of

control adalah anggapan seseorang tentang sejauh mana orang tersebut

merasakan adanya hubungan antara usaha-usaha yang telah dilakukan

dengan akibat yang diterima. Jika seseorang merasakan adanya hubungan

tersebut dikatakan mempunyai locus of control internal, sementara orang

yang mempunyai locus of control eksternal akan beranggapan bahwa akibat

yang diterima berasal dari kesempatan, keberuntungan, nasib, atau campur

tangan orang lain.

Locus of control atau letak kendali merupakan salah satu aspek yang

penting dalam karakteristik kepribadian manusia. Konsep ini diformulasikan

oleh Julian Rotter (1966) bahwa locus of control adalah persepsi individu

mengenai sebab utama terjadinya suatu kejadian dalam hidupnya, dapat

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

diartikan juga sebagai keyakinan individu mengenai kontrol dalam hidupnya,

dimana dalam suatu kejadian individu yang satu menganggap keberhasilan

yang telah dicapainya merupakan hasil usaha dan kemampuannya sendiri,

sedangkan individu yang lain menganggap bahwa keberhasilan yang telah

diperolehnya karena adanya keberuntungan semata.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa locus of

control merupakan tindakan dimana individu menghubungkan peristiwa-

peristiwa dalam kehidupannya dengan tindakan atau kekuatan di luar

kendalinya.

2.2.2 Macam Locus Of Control

Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) mengemukakan bahwa locus of

control memiliki 2 macam yaitu:

a. Locus of control internal

Orang yang memiliki locus of control internal memiliki

kecenderungan untuk melakukan usaha yang lebih besar dalam

mengontrol lingkungannya. Seseorang yang memiliki locus of

control internal dapat mengelola emosi dan stres secara efektif

dengan menggunakan strategi pemecahan masalah. Sehingga

orang yang memiliki locus control internal lebih berorientasi pada

keberhasilan karena mereka dapat menghasilkan efek positif dan

juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

b. Locus of control eksternal menunjukkan bahwa sikap seorang yang

percaya bahwa ia tidak memiliki kendali atas keadaan. Keyakinan

ini yang menyebabkan depresi dan stres pada pandangan hidup.

2.2.3 Ciri-Ciri Locus Of Control

Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) locus of control terdiri dari dua

macam internal dan eksternal, adapun ciri-cirinya sebagai berikut:

a. Ciri -ciri locus of control internal sebagai berikut:

1. Merasa mampu untuk mengatur segala tindakan, perbuatan dan

lingkungannya.

2. Rajin, ulet, mandiri dan tidak mudah terpengaruh begitu saja terhadap

pengaruh dari luar.

3. Lebih bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kegagalannya

4. Lebih efektif dalam menyelesaikan tugas.

5. Memiliki kepercayaan tinggi akan kemampuan dirinya.

b. Ciri-ciri locus of control eksternal sebagai berikut:

1. Lebih pasrah dan bersikap comfroming dengan lingkungan.

2. Merasa bahwa perbuatannya kecil berpengaruh terhadap kejadian

yang akan dihadapi, baik untuk menjalani situasi yang tidak

menyenangkan maupun dalam usaha untuk mencapai tujuan.

3. Kurang bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuat.

4. Kurang percaya diri terhadap kemampuannya

5. Cenderung mengandalkan pada orang lain

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

2.2.4 Karakteristik Locus Of Control

Locus of control internal diyakini mempunyai dua karakteristik pokok

yaitu motivasi prestesi tinggi dan independen. Locus of control internal lebih

cenderung pada pengertian prestasi dan mempunyai toleransi terhadap

penundaan hadiah serta cenderung merencanakan tujuan jangka panjang,

sementara locus of control eksternal kurang memberikan arti mengenai

tujuan kegagalan yang terjadi bagi individu yang memiliki kecenderungan

locus of control internal akan menyebabkan individu tersebut cenderung

untuk melakukan evaluasi atas kinerjanya dan tidak terlalu mengarapkan

keberhasilan, sedangkan individu yang memiliki kecenderungan locus of

control eksternal akan menaikan harapkannya. Rotter (dalam Feist, 2013).

Berdasarkan atas uraian di atas maka jelaslah bahwa locus of control

adalah bagaimana individu meyakini bahwa dirinya dapat mengontrol

kejadian dalam hidupnya. Individu dapat memiliki locus of control internal

yang tinggi dikarenakan hasil dari perilakunya dan tindakannya sendiri,

mempunyai kontrol diri yang lebih baik dan percaya bahwa usaha yang

dilakukannya akan membuat dirinya berhasil, sehingga individu tersebut

cenderung untuk aktif mencari informasi dan pengetahuan yang baru.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

2.2.5 Aspek Locus of Control

Pada awalnya Rotter (1966) melihat locus of control sebagai variabel

perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua dimensi (internal dan

eksternal) yang mempengaruhi berbagai perilaku dalam sejumlah konteks

yang berbeda. Namun Levenson (1981) mengembangkan konsep locus of

control mengembangkan konsep dari Rotter dan membaginya menjadi tiga

dimensi yaitu internalisasi (internality), powerful other, dan chance.

Menurut Levenson (dalam Friedman, 2006) mengungkapkan bahwa

individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control internal dalam hal

internalisasi (internality) akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua

kejadian atau peristiwa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh usaha dan

kemampuannya sendiri. Individu yang memiliki orientasi pada locus of

control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu individu

yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami

ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada di sekitarnya

(powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan

peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan,

serta kesempatan (chance).

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

2.3 Kajian Penelitian Yang Relevan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah

(2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara Locus Of Control

dengan Perilaku Prososial pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan

perilaku prososial pada mahasiswa fakultas psikologi UIN Maliki Malang.

Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Ervina (2010) dalam penelitiannya

yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Prososial Pada Remaja Panti

Asuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara Locus of control Internal dengan Perilaku Prososial pada remaja Panti

Asuhan.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah (2010) dan

penelitian yang dilakukan oleh Ervina (2010) dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti dalam judul penelitian hubungan antara Locus Of

Control Dengan Perilaku Prososial hasilnya menunjukkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial.

Sedangkan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti

dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Yuli Yanti Hapsari (2013) terletak

pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara Locus Of Control dengan Perilaku Prososial.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/5514/3/T1_132009090_BAB II.pdf · BAB II . LANDASAN TEORI . 2.1 Perilaku Perososial

Hasil penelitian yang peneliti harapkan adalah ada hubungan yang

signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial siswa, sehingga jika

locus of control naik, maka perilaku prosial juga akan naik, begitu sebaliknya

jika locus of control turun maka perilaku prososial juga akan turun.

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan

yang signifikan antara Locus of control dengan perilaku prososial siswa kelas

X SMA Kristen Purwodadi Tahun Ajaran 2014/2015.