bab ii landasan teori 2.1 motivasi belajar 2.1.1...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Motivasi Belajar
2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar
Menurut Woodworth dan Marques, (dalam Abu Ahmadi 2010),
motif adalah suatu tujuan jiwa yang mendorong individu untuk
aktivitas-aktivitas tertentu dan untuk tujuan-tujuan tertentu terhadap
situasi di sekitarnya. Sedangkan menurut Jeanne Ellis Ormord (2008),
motivasi adalah sesuatu yang menghidupkan (energize), mengarahkan
dan mempertahankan perilaku; motivasi membuat siswa bergerak,
menempatkan mereka dalam suatu arah tertentu, dan menjaga mereka
agar terus bergerak.
Menurut Woodworth dan Marques, (dalam Abu Ahmadi 2010)
tugas guru dalam memberikan motivasi kepada anak ialah mengingat
adanya dinamika anak dan membimbing dinamika anak. Maksudnya
ialah supaya anak yang belajar dalam membentuk dinamika manusia ini
tidak melalui pengalaman-pengalaman yang kurang baik. Berkaitan
dengan itu, semua siswa termotivasi dalam suatu cara tertentu. Seorang
siswa mungkin tertarik pada pelajaran di kelas dan mencari tugas yang
menantang, berpartisipasi secara aktif dalam diskusi kelas, serta
mendapatkan nilai tinggi dalam projek-projek yang ditugaskan. Siswa
lainnya mungkin lebih tertarik dengan sisi sosial sekolah, sering
berinteraksi dengan teman sekelas, hampir setiap hari mengikuti
9
aktivitas ekstrakurikuler, dan mungkin mencalonkan diri sebagai ketua
kelas.
Menurut Winkel, (2004) mendefinisikan bahwa motivasi belajar
adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan serta memberi arah pada kegiatan belajar.
Sedangkan menurut Sardiman, (2008) motivasi belajar adalah proses
yang memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya,
perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah
dan bertahan lama.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat penulis simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan motivasi belajar adalah dorongan atau
daya penggerak dari dalam diri individu yang memberikan arah dan
semangat pada kegiatan belajar, sehingga dapat mencapai tujuan yang
dikehendaki
2.1.2 Ciri-Ciri Motivasi Belajar
Motivasi yang ada pada diri siswa sangat penting dalam kegiatan
belajar. Ada tidaknya motivasi seorang individu untuk belajar sangat
berpengaruh dalam proses aktivitas belajar itu sendiri.
Seperti dikemukakan oleh Sardiman (2008) motivasi memiliki ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam
waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak
Memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin
(tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapai).
c. Mewujudkan minat terhadap bermacam-macam masalah untuk
orang dewasa. (misalnya masalah pembangunan, agama, politik,
10
ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap
setiap tindak kriminal, amoral dan sebagainya).
d. Lebih senang bekerja mandiri
e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat
mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).
f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan
sesuatu)
g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Jika ciri-ciri tersebut terdapat pada seorang siswa berarti siswa
tersebut memiliki motivasi belajar yang cukup kuat yang dibutuhkan
dalam aktivitas belajarnya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi dalam belajar akan
menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
(a). Keinginan mendalami materi
(b). Ketekunan dalam mengerjakan tugas
(c). Keinginan berprestasi
(d). Keinginan untuk maju
2.1.3 Aspek-Aspek Motivasi Belajar
Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yang
dikemukakan oleh Sardiman (2008), yaitu:
a. Motivasi ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan
sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan). Motivasi
ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti
imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam
menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik. Terdapat
dua kegunaan dari hadiah, yaitu sebagai insentif agar mau
mengerjakan tugas, dimana tujuannya adalah mengontrol
perilaku siswa, dan mengandung informasi tentang penguasaan
keahlian.
b. Motivasi instrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan
sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya,
murid belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata
11
pelajaran yang diujikan itu. Murid termotivasi untuk belajar saat
mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang sesuai
dengan kemampuan mereka, dan mendapat imbalan yang
mengandung nilai informasional tetapi bukan dipakai untuk
kontrol, misalnya guru memberikan pujian kepada siswa.
Jadi aspek-aspek yang bisa digunakan untuk mengukur
motivasi belajar siswa ada dua yaitu aspek motivasi belajar
ekstrinsik dan motivasi belajar instrinsik.
2.1.4.Fungsi Motivasi Belajar
Motivasi berhubungan erat dengan suatu tujuan. Dengan demikian
motivasi dapat mempengaruhi adanya kegiatan. Dalam kaitannya
dengan belajar motivasi merupakan daya penggerak untuk melakukan
belajar.
Sardiman (2008), mengemukakan bahwa motivasi mempunyai
fungsi sebagai berikut:
a. Mendorong manusia untuk berbuat. Jadi motivasi sebagai penggerak
atau motor yang melepaskan energi motivasi dalam hal ini
merupakan motor penggerak yang akan digerakkan.
b. Menentukan arah perbuatan yakni kearah tujuan yang akan dicapai.
Jadi motivasi dapat memberi arah kegiatan yang harus dikerjakan
agar sesuai dengan tujuannya.
c. Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan yang harus
dikerjakan yang sesuai untuk mencapai tujuan dengan menyisihkan
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya fungsi motivasi dalam belajar adalah sebagai pendorong dan
pengarah siswa pada aktifitas mereka dalam pencapaian tujuan belajar.
12
2.2 Self Efficacy
2.2.1 Pengertian Self Efficacy
Menurut Bandura (2002) mendefinisikan self efficacy sebagai
keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu
bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian
dalam lingkungan. Bandura beranggapan bahwa keyakinan atas efikasi
seseorang adalah landasan dari agen manusia. Manusia yang yakin
bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang mempunyai potensi
untuk dapat mengubah kejadian dilingkungannya, akan lebih mungkin
untuk bertindak dan untuk lebih mungkin menjadi sukses dari pada
manusia yang mempunyai efikasi diri yang rendah.
Self Efficacy bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita.
Bandura (2002) membedakan antara ekspektasi mengenai efikasi dan
ekspektasi mengenai hasil. Efikasi merujuk pada keyakinan diri
seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan
suatu perilaku, sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prekdisi
dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut. Hasil tidak
boleh digabungkan dengan keberhasilan dalam melakukan perilaku
tersebut, hasil merujuk pada konsekuensi dari perilaku, bukan
penyelesaian melakukan tindakan tersebut.
Panjares (dalam Woolfolk, 2004) menambahkan bahwa self
efficacy adalah sebuah penilaian spesifik yang berkaitan dengan
konteks mengenai kompetensi untuk mengerjakan sebuah tugas
13
spesifik. Woolfolk (2004) juga menyebutkan bahwa self efficacy adalah
kepercayaan mengenai kompetensi personal dalam sebuah situasi
khusus.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa self efficacy
adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya
untuk mengorganisasikan dan bisa menampilkan perilaku performa
yang efektif sehingga bisa menyelesaikan tugas tertentu dengan baik
serta merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara
antara faktor perilaku dan faktor lingkungan.
2.2.2 Fungsi Self Efficacy
Self efficacy yang dipersepsikan tidak hanya sekedar perkiraan
tentang tindakan apa yang akan dilakukan pada masa mendatang
(Bandura, 1995). Keyakinan seseorang mengenai kemampuan diri juga
berfungsi sebagai suatu determinan bagaimana individu tersebut
berperilaku, berpola pikir, dan bereaksi emosional terhadap situasi-
situasi yang sedang dialami. Keyakinan diri juga memberikan
kontribusi terhadap kualitas dari fungsi psikososial seseorang.
Bandura (1995) menjelaskan fungsi dan berbagai dampak dari
penilaian self efficacy antara lain sebagai berikut:
a. Perilaku Memilih.
Dalam kehidupan sehari-hari, individu sering kali dihadapkan
dengan pengambilan keputusan, meliputi pemilihan tindakan dan
lingkungan sosial yang ditentukan dari penilaian self-
efficacy individu. Seseorang cenderung untuk menghindar dari
tugas dan situasi yang diyakini melampaui kemampuan diri
mereka, dan sebaliknya mereka akan mengerjakan tugas-tugas yang
dinilai mampu untuk mereka lakukan. Self efficacy yang tinggi
akan dapat memacu keterlibatan aktif dalam suatu kegiatan atau
tugas yang kemudian akan meningkatkan kompetensi seseorang.
14
Sebaliknya, self efficacy yang rendah dapat mendorong seseorang
untuk menarik diri dari lingkungan dan kegiatan sehingga dapat
menghambat perkembangan potensi yang dimilikinya.
Seseorang yang memiliki penilaian self efficacy-nya secara
berlebihan cenderung akan menjalankan kegiatan yang jelas di atas
jangkauan dengan kegagalan kemampuannya. Akibatnya dia akan
mengalami kesulitan-kesulitan yang berakhir yang sebenarnya
tidak perlu terjadi, dan hal ini bisa mengurangi kredibilitasnya.
Sebaliknya, seseorang yang menganggap rendah kemampuannya
juga akan mengalami kerugian, walaupun kondisi ini lebih seperti
memberi batasan pada diri sendiri daripada suatu bentuk
keengganan. Melalui kegagalan dalam mengembangkan potensi
kemampuan yang dimiliki dan membatasi kegiatan-kegiatannya,
seseorang dapat memutuskan dirinya dari banyak pengalaman
berharga. Seharusnya ia berusaha untuk mencoba tugas-tugas yang
memiliki penilaian yang penting, tetapi ia justru menciptakan suatu
halangan internal dalam menampilkan kinerja yang efektif melalui
pendekatan dirinya pada keraguan.
b. Usaha Yang Dilakukan dan Daya Tahan
Penilaian terhadap self efficacy juga menentukan seberapa besar
usaha yang akan dilakukan seseorang dan seberapa lama ia akan
bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan. Semakin tinggi self efficacy seseorang, maka akan
semakin besar dan gigih pula usaha yang dilakukan. Ketika
dihadapkan dengan kesulitan, individu yang memiliki self
efficacy tinggi akan mengeluarkan usaha yang besar untuk
mengatasi tantangan tersebut. Sedangkan orang yang meragukan
kemampuannya akan mengurangi usahanya atau bahkan menyerah
sama sekali.
c. Pola berpikir dan reaksi emosi.
Penilaian mengenai kemampuan seseorang juga mempengaruhi
pola berpikir dan reaksi emosionalnya selama interaksi aktual dan
terantisipasi dengan lingkungan. Individu yang menilai dirinya
memiliki self efficacy rendah, merasa tidak mampu dalam
mengatasi masalah atau tuntutan lingkungan, hanya akan terpaku
pada kekurangannya sendiri dan berpikir kesulitan yang mungkin
timbul lebih berat dari kenyataannya. Sebaliknya, individu yang
memiliki self efficacy yang tinggi akan lebih memusatkan perhatian
dan mengeluarkan usaha yang lebih besar terhadap situasi yang
dihadapinya, dan setiap hambatan yang muncul akan
mendorongnya untuk berusaha lebih keras lagi.
Self efficacy juga dapat membentuk pola berpikir kausal. Dalam
mengatasi persoalan yang sulit, individu yang memilikiself
efficacy tinggi akan menganggap kegagalan terjadi karena
kurangnya usaha yang dilakukan, sedang yang memiliki self
15
efficacy rendah lebih menganggap kegagalan disebabkan
kurangnya kemampuan yang ia miliki.
d. Perwujudan dari keterampilan yang dimiliki.
Banyak penelitian membuktikan bahwa self efficacy dapat
meningkatkan kualitas dari fungsi psikososial seseorang. Seseorang
yang memandang dirinya sebagai orang yang self efficacy-nya
tinggi akan membentuk tantangan-tantangan terhadap dirinya
sendiri yang menunjukkan minat dan keterlibatan dalam suatu
kegiatan. Mereka akan meningkatkan usaha jika kinerja yang
dilakukan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan,
menjadikan kegagalan sebagai pendorong untuk mencapai
keberhasilan, dan memiliki tingkat stres yang rendah bila
menghadapi situasi yang menekan. Individu yang memiliki self
efficacy rendah biasanya akan menghindari tugas yang sulit, sedikit
usaha yang dilakukan dan mudah menyerah menghadapi kesulitan,
mengurangi perhatian terhadap tugas, tingkat aspirasi rendah, dan
mudah mengalami stress dalam situasi yang menekan.
Jadi fungsi dari adanya self efficacy bisa berdampak pada
penilaian dari self efficacy yaitu perilaku memilih, usaha yang
dilakukan dan daya tahan, pola berpikir dan reaksi emosi,
perwujudan dari keterampilan yang dimiliki.
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self Efficacy
Keyakinan seseorang terhadap efficacy yang dimilikinya
merupakan aspek utama dari pengetahuan diri yang dimilikinya.
Keyakinan akan self-efficacy terbentuk dari empat prinsip utama, yaitu:
enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion,
phisiological and affective states (Bandura, 1995).
a. Pengalaman keberhasilan (enactive mastery experience),
berdasarkan pengalaman individu secara langsung. Individu yang
pernah memperoleh suatu prestasi, akan terdorong meningkatkan
keyakinan dan penilaian terhadap self efficacy-nya. Pengalaman
keberhasilan dan pencapaian prestasi individu ini meningkatkan
ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan,
sehingga dapat mengurangi kegagalan.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience). Pengamatan
terhadap perilaku dan pengalaman orang lain merupakan sumber
bagi proses belajar individu tersebut. Self efficacy individu akan
dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki kemampuan
16
yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang
menjadi subjek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan
merasa mampu melakukan hal yang sama. Meningkatkan self
efficacy individu ini akan dapat meningkatkan motivasi untuk
mencapai suatu prestasi. Peningkatan self efficacy ini akan menjadi
efektif jika subjek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak
kesamaan karakteristik antara individu tersebut dengan model,
kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi,
serta keanekaragaman yang dicapai oleh model
c. Persuasi verbal (verbal persuasion), yaitu individu yang mendapat
bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa ia akan dapat mengatasi
masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat
mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih dalam mencapai
tujuan serta kesuksesannya.
d. Keadaan fisiologis dan psikologis (phisiological and affective
states), situasi yang menekan kondisi emosional dapat
mempengaruhi self efficacy. Gejolak emosi, goncangan,
kegelisahaan yang mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah
yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan
terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan
dan mengancam akan cenderung dihindari.
Jadi faktor-faktor yang bisa mempengaruhi self efficacy seseorang
adalah pengalaman keberhasilan (enactive mastery experience),
pengalaman orang lain (vicarious experience), persuasi verbal (verbal
persuasion), keadaan fisiologis dan psikologis (phsicological and
affective states).
2.2.4 Aspek-Aspek Self Efficacy
Menurut Bandura (1995) terdapat tiga aspek dari self efficacy pada
diri manusia, yaitu:
a. Tingkatan (level)
Adanya perbedaan self efficacy yang dihayati oleh masing-
masing individu mungkin dikarenakan perbedaan tuntutan yang
dihadapi. Tuntutan tugas merepresentasikan bermacam-macam
tingkat kesulitan atau kesukaran untuk mencapai performansi
optimal. Jika halangan untuk mencapai tuntutan itu sedikit, maka
aktivitas lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kemudian
individu akan memiliki self efficacy yang tinggi.
b. Keadaan umum (Generality)
Individu mungkin akan menilai diri merasa yakin melalui
bermacam-macam aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi
17
tertentu. Keadaan umum bervariasi dalam jumlah dari dimensi
yang berbeda-beda, diantaranya tingkat kesamaan aktivitas,
perasaan dimana kemampuan ditunjukan (tingkah laku, kognitif,
afektif), ciri kualitatif situasi, dan karakteristik individu menuju
kepada siapa perilaku itu ditujukan. Pengukuran berhubungan
dengan daerah aktivitas dan konteks situasi yang menampakan
pola tingkat generality yang paling mendasar berkisar tentang apa
yang individu susun pada kehidupan mereka.
c. Kekuatan (Strength)
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self efficacy yang
diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan
keyakinannya pula. Individu yang memiliki keyakinan kuat
terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam berusaha untuk
mengenyampingkan kesulitan yang dihadapi. Berdasarkan hal-hal
di atas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tiga aspek self efficacy yaitu
level (tingkat kesulitan tugas), generality (keadaan umum suatu
tugas), dan strength (kekuatan atau keyakinan seseorang dalam
menyelesaikan tugas).
2.2.5 Proses-Proses Self-efficacy
Bandura (1995) menguraikan proses psikologis self-efficacy dalam
mempengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui
cara-cara dibawah ini :
a. Proses Kognitif
Dalam melakukan tugas akademiknya, individu menetapkan tujuan
dan sasaran perilaku sehingga individu dapat merumuskan tindakan
yang tepatuntuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran
pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan
kemampuan kognitifnya.
Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi
kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa
depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin
efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih
mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan
mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan
18
mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang
mempengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses
kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.
b. Proses Motivasi
Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam
dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu
berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada
tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan
direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif. yang
dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal
dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari
teori nilai-pengharapan. Self-efficacy mempengaruhi atribusi
penyebab, dimana individu yang memiliki self-efficacy akademik
yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas
akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu
dengan self-efficacy yang rendah menilai kegagalannya disebabkan
oleh kurangnya kemampuan.
Teori nilai-pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh
pengharapan akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil
(outcome value) tersebut. Outcome expectation merupakan suatu
perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan
akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung
keyakinan tentang sejauhmana perilaku tertentu akan menimbulkan
konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai
arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu perilaku
dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi
untuk mendukung outcome expectation.
c. Proses Afeksi
Afeksi terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam
menentukan intensitas pengalaman emosional. Afeksi ditujukan
dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang
menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan.
Proses afeksi berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang
timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Kepercayaan individu terhadap kemampuannya mempengaruhi
tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas
yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya
mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir
yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan
kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena
tidak mampu mengelola ancaman tersebut.
d. Proses Seleksi
Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk
menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat
mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu
dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak
19
percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi
masalah atau situasi sulit. Self-efficacy dapat membentuk hidup
individu melalui pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu
akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih
situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara
kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses self-
efficacy meliputi proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi,
dan proses seleksi.
2.3 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Dari hasil penelitian yang dilakukanTrijoko Lestyanto (2013) dengan
penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan
Motivasi Belajar Pada Siswa RSBI Kelas VIII SMP Negeri 3 Pati.
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara variabel efikasi diri dengan motivasi belajar.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Sandi Prasetyaning Tyas (2007)
dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Motivasi Belajar
Dengan Efikasi Diri pada Siswa SMK Muhammadiyah 2 Andong
Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara motivasi belajar dengan efikasi diri pada siswa SMK
Muhammadiyah 2 Andong Boyolali.
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Dina Retraning (2012) dalam
penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Self Efficacy Dengan
Motivasi Belajar Pada Siswa SMA Laboratorium Universitas Negeri
Malang. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang
20
signifikan antara self efficacy dengan motivasi belajar pada siswa SMA
Laboratorium Universitas Negeri Malang.
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: Ada
hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan motivasi belajar
siswa kelas XI Akuntansi SMK Diponegoro Salatiga Tahun Ajaran
2013/2014.