bab ii landasan teori 2.1 maintenanceeprints.umm.ac.id/43537/3/bab ii.pdf · tpm adalah suatu...

24
4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Maintenance Perawatan atau pemeliharaan (maintenance) adalah konsepsi dari semua aktivitas yang diperlukan untuk menjaga atau mempertahankan kualitas fasilitas/mesin agar dapat berfungsi dengan baik seperti kondisi awal. Perawatan sebagai bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai hasil yang mampu mengembalikan item atau mempertahankan pada kondisi yang selalu dapat berfungsi. Perawatan juga merupakan kegiatan pendukung yang menjamin kelangsungan mesin dan peralatan sehingga pada saat dibutuhkan dapat dipakai sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga kegiatan perawatan merupakan seluruh rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan unit-unit pada kondisi operasional dana man, dan apabila terjadi kerusakan maka dapat dikendalikan pada kondisi operasional yang handal dan aman (Ansori & Mustajib, 2013). 2.1.1. Jenis-jenis Perawatan Jenis perawatan dibagi sebagai berikut (Corder & Hadi, 1988): 1. Breakdown maintenance Breakdown maintenance adalah pemeliharaan yang direncakanakan untuk memperbaiki mesin setelah terjadi kerusakan atau kemacetan pada mesin. Penyebab kerusakan mesin terdiri dari berbagai macam, seperti salah pengoprasian mesin, kurangnya pemeliharaan, dan usia mesin yang sudah tua. Kerusakan mesin sering kali disebabkan oleh operator. Misalkan operator beranggapan bahwa kerusakan tidak bias dihindari atau mesin adalah tanggung jawab departemen pemeliharaan. Keruskan jenis ini terdiri dari dua jenis : 1. Function loss breakdown merupakan jenis kerusakan yang menyebabkan mesin tidak dapat dijalankan sama sekali. 2. Function reduction breakdown merupakan jenis keruskan yang mengakibatkan penurunan kemampuan mesin.

Upload: others

Post on 25-Jan-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Maintenance

Perawatan atau pemeliharaan (maintenance) adalah konsepsi dari semua

aktivitas yang diperlukan untuk menjaga atau mempertahankan kualitas

fasilitas/mesin agar dapat berfungsi dengan baik seperti kondisi awal. Perawatan

sebagai bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai hasil yang mampu

mengembalikan item atau mempertahankan pada kondisi yang selalu dapat

berfungsi. Perawatan juga merupakan kegiatan pendukung yang menjamin

kelangsungan mesin dan peralatan sehingga pada saat dibutuhkan dapat dipakai

sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga kegiatan perawatan merupakan seluruh

rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan unit-unit pada kondisi

operasional dana man, dan apabila terjadi kerusakan maka dapat dikendalikan pada

kondisi operasional yang handal dan aman (Ansori & Mustajib, 2013).

2.1.1. Jenis-jenis Perawatan

Jenis perawatan dibagi sebagai berikut (Corder & Hadi, 1988):

1. Breakdown maintenance

Breakdown maintenance adalah pemeliharaan yang direncakanakan untuk

memperbaiki mesin setelah terjadi kerusakan atau kemacetan pada mesin.

Penyebab kerusakan mesin terdiri dari berbagai macam, seperti salah pengoprasian

mesin, kurangnya pemeliharaan, dan usia mesin yang sudah tua. Kerusakan mesin

sering kali disebabkan oleh operator. Misalkan operator beranggapan bahwa

kerusakan tidak bias dihindari atau mesin adalah tanggung jawab departemen

pemeliharaan.

Keruskan jenis ini terdiri dari dua jenis :

1. Function loss breakdown merupakan jenis kerusakan yang menyebabkan

mesin tidak dapat dijalankan sama sekali.

2. Function reduction breakdown merupakan jenis keruskan yang

mengakibatkan penurunan kemampuan mesin.

5

2. Planned maintenance

Planned maintenance Yaitu suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk

mencegah terjadinya kerusakan pada semua unit perlengkapan pabrik, seperti

melumasi, menyetel mesin dan sebagainya. Tindakan-tindakan ini yang bersifat

rutin ada pula yang berkala tergantung kebutuhannya.

Planned maintenance merupakan factor utama yang berpengaruh besar

pada TPM dan keberhasilan dari kegiatan pemeliharaan. mengingat perannya yang

sangat penting kegiatan ini harus direncanakan dengan sebaik-baiknya.

Ada 4 tahap untuk merencanakan pemeliharaan:

1. Coreective maintenance

Pemeliharaan ini bertujuan untuk mengubah mesin sehingga operator

yang menggunakan mesin tersebut menjadi lebih mudah dan dapat

memperkecil breakdown mesin.

2. Predictive maintenance

Pemeliharaan jenis ini dilakukan dengan cara menentukan keandalan

masing-masing komponen peralatan dan melakukan penggantian

komponen sesuai dengan jadwal keandalan

3. Preventive maintenance

Pemeliharaan preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan.

Preventif dibagi menjadi:

a. Perawatan harian, misalnya: membersihkan, memeriksa, melumasi,

mengencangkan dan menyetel agar operasi mesin dapat bekerja

optimal.

b. Inspeksi berkala dan diagnosis alat

c. Restorasi periodic dan overhaul

4. Maintenance prevention

Maintenance prevention merupakan pembuatan berdasarkan informasi

masa lalu untuk mendapatkan peralatan yang tidak mudah rusak dan

mudah dipelihara.

6

3. Emergency maintenance

Emergency maintenance adalah berupa perbikan yang dilakukan secara

daruart untuk menanggulangi kemacetan proses produksi yang terjadi supaya tidak

terlalu lama berhenti. Pekerjaan ini bersifat sementara sampai selesai penggantinya

komponen yang menyebabkan kemacetan tersebut.

4. Overhaul maintenance

Overhaul maintenance adalah pemeliharaan berupa perbaikan yang

dilaksanakan secara terjadwal dalam interval waktu tertentu. Overhaul bertujuan

mengembalikan performa mesin dan peralatan produksi sehingga mendekati

performa awal. Periodesasi pelaksanaan yang terjadi ditentukan oleh lama jam kerja

maupun kondisi yang sudah out of tolerance (Corder & Hadi, 1988).

2.2. Total Productive Maintenance (TPM)

Total productive Maintenance (TPM) merupakan aktivitas perawatan yang

mengikutsertakan semua elemen dari perusahaan, yang pertama bertujuan untuk

menciptakan suasana kritis (critical mass) dalam lingkungan industri guna

mencapai zero breakdown, zero defect dan zero accident. TPM adalah suatu

metode yang bertujuan untuk memaksimalkan effisiensi penggunaan peralatan, dan

memantapkan system perawatan reventif yang dirancang untuk keseluruhan

peralatan dan memantapkan system perawatan preventif yang dirancang untuk

keseluruhan peralatan dengan mengimplementasikan suatu aturan dan memberikan

motivasi kepada seluruh bagian yang berada dalam suatu perusahaan tersebut,

melalui peningkatan komponenisipasi dari seluruh anggota yang terlibat mulai dari

manajemen puncak sampai ke level terendah (Kurniawan, 2013).

TPM adalah suatu konsep program tenang pemeliharaan yang melibatkan

seluruh pekerja melalui aktifitas terkecil. TPM adalah suatu program pemeliharaan

yang melibatkan suatu gambaran konsep untuk pemeliharaan peralatan dan pabrik

dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas serta pada waktu yang sama dapat

meningkatkan kepuasan kerja dan moril karyawan (Ansori & Mustajib, 2013).

Al-Turki (2011) menyatakan bahwa pemeliharaan merupakan seluruh aktivitas

yang berhubungan untuk memelihara tingkat availability dan reability sistem serta

7

memelihara kemampuan komponen untuk bekerja sesuai standar kualitas yang

ditentukan. Pemeliharaan adalah fungsi logistik perusahaan, dimana biasanya

diintegrasikan ke dalam proses produksi (Al-Turki, 2011).

2.2.1. Tujuan TPM

TPM juga bertujuan untuk menghilangkan kerugian proses yang dibagi

menjadi 3 bagian, yaitu (Ansori & Mustajib, 2013) :

1. Kerugian karena downtime

Kerugian system produksi yang masuk dalam kelompok ini adalah dari

peralatanyang tidak bias digunakan pada proses produksi untuk sementara

waktu. Kerugian ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu: breakdown dan

setup dan penyesuaian

2. Kerugian karena kinerja buruk

Kategori ini memfokuskan pada penggunaanperalatan yang hilang sebagai

akibat dari hasil peralatan yang dijalankan pada kecepatan yang kurang

dari maksimum. Kapabilitas produksi yang hilang ini masuk dalam

subkategori: reduksi kecepatan dan penghentian minor.

3. Kerugian karena kualitas buruk

Kerugian yang muncul dari produk kualitas yang buruk dibagi menjadi dua

klasifikasi : kerusakan proses dan kerugian startup.

8

2.2.2. 8 Pilar TPM

TPM terdiri dari delapan bagian yang berbeda yang telah dikenal sebagai 8

pilar (Venkatesh, 2007).

Gambar 2.1 8 Pillars of TPM

sumber : (Venkatesh, 2007)

1. 5 S

Permasalahan tidak bisa dilihat dengan jelas apabila tempat kerja tidak

terorganisasi. Melakukan bersih-bersih dan mengatur tempat kerja

membantu team untuk mampu menguak permasalahan. Membuat

permasalahan terlihat adalah langkah pertama improvement

a. Seiri

Menyortir dan mengatur item-item yang kritis, yang penting, yang sering

digunakan, tidak berguna, atau item yang tidak perlu sampai sekarang.

b. Seiton

Konsep disini adalah bahwa “Each items has a place, and only one

place” item harus ditempatkan kembali ketempat yang sama setelah

pemakaian.

c. Seiso

Membersihkan tempat kerja yang bebas dari burr, minyak, oli, limbah,

scrap dll.

9

d. Seiketsu

Karyawan harus membahas bersama-sama dan menentukan standar

untuk menjaga tempat kerja, mesin yang bersih. Standar ini

diimplementasikan untuk seluruh organisasi.

e. Shitsuke

Mengingat 5S sebagai cara hidup dan membawa tentang disiplin antara

organisasi karyawan. Ini termasuk disiplin, ketepatan waktu, dedikasi ke

organisasi, dll.

2. Autonomus Maintenance

Pilar ini diarahkan untuk mengembangkan operator harus mampu

mengurus tugas pemeliharaan kecil, dengan demikian membebaskan

orang-orang maintenance untuk menghabiskan waktu pada nilai lebih

pada aktivitas teknis perbaikan. Operator bertanggung jawab untuk

menjaga peralatan mereka untuk mencegah dari kerusakan.

3. Kaizen

“kai” berarti berubah, dan “Zen” berarti baik (untuk yang lebih baik).

Pada dasarnya kaizen untuk perubahan kecil, tetapi dilakukan secara

terus menerus dan melibatkan semua orang dalam organisasi. Kaizen

adalah kebalikan dari innovasi yang spektakuler. Kaizen tidak

membutuhkan atau sedikit investasi. Prinsipnya adalah “sejumlah

perubahan kecil yang banyak lebih efektif dilingkungan organisasi

daripada perubahan besar”. Pilar ini bertujuan untuk mengurangi

kerugian ditempat kerja yang mempengaruhi efisien.

4. Planned Maintenance

Pilar ini ditujukan untuk bebas dari mesin dan peralatan rusak, bebas dari

produk cacat untu kepuasan pelanggan.

5. Quality Maintenance

Quality maintenance bertujuan untuk memuaskan pelanggan melalui

kualitas yang tinggi melalui bebas dari proses yang cacat. Kegiatan QM

adalah untuk menetapkan kondisi peralatan dalam kondisi baik,

10

didasarkan pada konsep dasar mempertahankan peralatan yang sempurna

untuk menjaga kualitas produk yang sempurna

6. Training

Ditujukan untuk memiliki karyawan yang sangat terampil. Pendidikan

diberikan kepada operator untuk menambah keterampilan mereka. Hal

ini tidak cukup hanya “Know-How” mereka juga harus mempelajari

“Know-Why”

7. Office TPM

Office TPM harus dimulai setelah megaktifkan empat pilar lainnya

(AM,KK,QM,PM). Office TPM harus diikuti untuk meningkatkan

produktivitas, efisiensi dalam fungsi administrative dan mengidentifikasi

dan menghilangkan kerugian, ini termasuk menganalisis proses dan

prosedur terhadap peningkatan otomatisasi kantor.

8. Safety, Healthy and Environment

Target dari Safety, Healthy and Environment:

a. Zero accident

b. Zero health damage

c. Zero fires

Pada pilar ini fokus untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan area

sekitarnya yang tidak rusak oleh proses atau prosedur. Pilar ini akan

memainkan peran aktif dalam setiap pilarnya secara teratur (Venkatesh,

2007).

2.3 Overal Equiptment effectiveness (OEE)

Borris (2006) menyatakan OEE merupakan pengukuran kritis yang

digunakan dalam penerapan TPM untuk mengevaluasi kapabilitas sebuah peralatan

dalam sebuah sistem produksi. OEE terdiri dari tiga komponen utama yaitu :

• Availability

• Performance

• Quality

11

Ketiga nilai komponen tersebut mencakup seluruh pokok permasalahan yang dapat

mempengaruhi seberapa banyak produk yang dapat dihasilkan oleh peralatan dan

operator sistem yang digunakan.(Borris, 2006).

Overall Equipment Effectiveness (OEE) adalah metode pengukuran

efektivitas penggunaan suatu peralatan yang digunakan sebagai alat ukur (metric)

dalam penerapan TPM guna menjaga peralatan pada kondisi ideal dengan

menghapuskan six big losses peralatan. Pengukuran OEE ini didasarkan pada

pengukuran tiga rasio utama, yaitu Availability ratio, Performance ratio, dan

Quality ratio. Untuk mendapatkan nilai OEE, makaketiga nilai dari ketiga rasio

utama tersebut harus diketahui terlebih dahulu.Nilai OEE diperoleh dengan

mengalikan ketiga rasio utama tersebut (Jiwantoro, Argo, & Nugroho, 2013).

Menurut (Nakajima, 1988) menyatakan bahwa Availability ratio merupakan

suatu rasio yang menggambarkan pemanfaatan waktu yang tersedia untuk kegiatan

operasi mesin atau peralatan. Availability merupakan rasio dari operation time,

dengan mengeliminasi downtime peralatan, terhadap loading time. Faktor penting

dalam elemen Availability adalah loading time. Performance ratio merupakan suatu

ratio yang menggambarkan kemampuan dari peralatan dalam menghasilkan

barang. Rasio ini merupakan hasil dari operating speed rate dan net operating rate.

Operating speed rate peralatan mengacu kepada perbedaan antara kecepatan ideal

(berdasarkan desain peralatan) dan kecepatan operasi aktual. Net operating rate

mengukur pemeliharaan dari suatu kecepatan selama periode tertentu. Dengan kata

lain, apakah suatu operasi tetap stabil dalam periode selama peralatan beroperasi

pada kecepatan rendah.

Menurut (Dal, Tugwell, & Greatbanks, 2000) Loading time dapat

didefinisikan sebagai total waktu shift setelah pengurangan waktu planned

downtime. Planned downtime biasanya dapat mencakup aktivitas berikut:

• Menunggu pada proses sebelumnya

• Tidak ada operator karena istirahat

• Aktifitas planned maintenance

• Operator training

12

Menurut (Nakajima, 1988) pengalaman perusahaan yang sukses menerapkan

TPM dalam perusahaan mereka nilai OEE yang ideal / diharapkan adalah :

• Avaibility > 90 %

• Performance Efficiency > 95 %

• Quality Product > 99 %

𝑂𝐸𝐸(%) = 𝑎𝑣𝑎𝑖𝑙𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑒 (%) × 𝑝𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑟𝑎𝑡𝑒 (%) × 𝑞𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑒 (%) (1)

Sehingga OEE yang ideal adalah : 0,90 x 0,95 x 0,99 = 85 %

Pada penerapannya angka formulasi ini akan berbeda-beda untuk tiap

perusahaan. Standar dari JIPM (Japan Institute of Plant Maintenance) untuk indeks

TPM yang ideal adalah diukur dari nilai bancmark OEE yaitu :

1. OEE < 65%

Kelas perusahaan tidak dapat diterima. Ada kerugian ekonomi penting.

Daya saing sangat rendah

2. 65% < OEE < 75%

Kelas perusahaan standar. Diterima jika hanya berada dalam proses

perbaikan. Kerugian ekonomi. Rendah daya saing

3. 75% OEE < 85%

Kelas perusahaan diterima. Lanjutkan perbaikan diatas 85% dan bergerak

menuju kelas dunia. Sedikit kerugian ekonomi. Daya saing sedikit rendah

4. 85% < OEE < 95%

Kelas perusahaan bagus. Maasuk kategori efek kelas dunia. Baik daya saing

5. OEE > 95%

Kelas perusahaan keunggulan. Nilai kelas dunia. Daya saing sempurna.

13

Dari hasil perhitungan OEE tersebut, dapat diketahui variabel mana yang

mempengaruhi produktifitas mesin. Faktor dari variabel tersebut adalah six big

losses. Menurut (Nakajima, 1988) terdapat 6 kerugian besar yang menyebabkan

rendahnya kinerja dari peralatan. Keenam kerugian tersebut, atau sering disebut

dengan six big losses yang terdiri dari :

1. Equipment failure

Kerusakan mesin yang tiba-tiba atau kerusakan yang tidak diinginkan,

keadaan tersebut akan menimbulkan kerugian karena kerussakan mesin

akan menyebabkan mesin tidak beroperasi.

𝑒𝑞𝑢𝑖𝑝𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑓𝑎𝑖𝑙𝑢𝑟𝑒 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 𝑒𝑞𝑢𝑖𝑝𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑓𝑎𝑖𝑙𝑢𝑟𝑒

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒 × 100% (2)

2. Setup and adjustment losses

Semua waktu setup termasuk penyesuaian dan juga waktu yang

dibutuhkan untuk kegiatan pengganti satu jenis produk.

𝑠𝑒𝑡𝑢𝑝 𝑎𝑛𝑑 𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 =𝑠𝑒𝑡𝑢𝑝 𝑎𝑛𝑑 𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (3)

3. Idle and minor stoppage

Disebabkan oleh kejadian seperti pemberhentian mesin sejenak,

kemacetan mesin (error) dan idle time dari mesin. Kenyataan kerugian ini

tidak dapat terdeteksi secara langsung tanpa adanya alat pelacak. Ketika

operator tidak dapat memperbaiki pemberhentian yang bersifat minor

stoppages dalam waktu yang tela ditentukan dapat dianggap sebagai suatu

breakdown.

𝑖𝑑𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑎𝑛𝑑 𝑚𝑖𝑛𝑜𝑟 𝑠𝑡𝑜𝑝𝑝𝑎𝑔𝑒 =(𝑝𝑙𝑎𝑛𝑛𝑒𝑑 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛−𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡)×𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (4)

14

4. Reduced speed

Kerugian karena mesin tidak dapat bekerja optimal terjadi jika kecepatan

aktual operasi mesin/peralatan lebih kecil dari kecepatan optimal atau

kecepatan mesin yang dirancang.

𝑟𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒 𝑠𝑝𝑒𝑒𝑑 =(𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒−𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒)×𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (5)

5. Reject & rework losses

Kerugian yang disebabkan karena adanya produk cacat maupun proses

pengerjaan diulang. Proses cacat yang dihasilkan akan mengakibatkan

kerugian material, mengurangi jumlah produksi. Kerugian akibat

pengerjaan ulang akan mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk

mengolah atau memperbaiki produk cacat.

𝑟𝑒𝑗𝑒𝑐𝑡 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 =𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑗𝑒𝑐𝑡×𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (6)

6. Reduced yield

kerugian akibat hasil rendah/ material yang tidak terpakai

𝑟𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒 𝑦𝑖𝑒𝑙𝑑 =𝑟𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒 𝑦𝑖𝑒𝑙𝑑×𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (7)

Untuk lebih jelasnya perhitungan OEE dapat dilihat pada gambar 2.2

15

Gambar 2.2 Perhitungan OEE berdasarkan six big losess

Sumber : (Nakajima, 1988)

Dari Six Big Losses tersebut perencanaan program perawatan yang sistematis

dan jangka panjang dengan tujuan meminimasi losses dapat dilaksanakan yang

secara langsung akan mempengaruhi elemen-elemen penting dari perusahaan

seperti produktivitas yang meningkat karena berkurangnya kerugian, kualitas juga

meningkat sebagai dampak pengurangan kerusakan peralatan sehingga biaya juga

menurun dengan turunnya kerugiankerugian yang terjadi serta menurunnya angka

kerusakan produk.

16

2.3.1. Availability rate

Availability rate merupakan ketersediaan mesin/peralatan merupakan

perbandingan antara waktu operasi (operation time) terhadap waktu persiapan

(loading time) dari suatu mesin/peralatan. Maka availability rate dapat dihitung

sebagai berikut (Rinawati & Dewi, 2014) :

𝐴𝑣𝑎𝑖𝑙𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑒 =𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒−𝑑𝑜𝑤𝑛𝑡𝑖𝑚𝑒

𝑙𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (8)

2.3.2. Performance rate

Performance rate adalah tolak ukur dari efisiensi suatu kinerja mesin

menjalankan proses produksi. Perfomance rate merupakan hasil perkalian dari

operating speed rate dengan net operating speed. Net operating speed berguna

untuk menghitung menurunnya kecepatan produksi. Tiga faktor yang penting

untuk menghitung peformance rate adalah ideal cycle time (waktu siklus

ideal/waktu standar), processed amount (Jumlah produk yang diproses) dan

operation time (waktu proses mesin). Maka performance rate dapat dihitung

sebagai berikut (Rinawati & Dewi, 2014) :

𝑃𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑟𝑎𝑡𝑒 =𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒 × 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡

𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒× 100% (9)

2.3.3. Quality rate

Quality rate adalah perbandingan jumlah produk yang baik terhadap

jumlah produk yang diproses. Jadi quality merupakan hasil perhitungan dengan

faktor processed amount dan defect amount. Formula ini sangat membantu untuk

mengungkapkan masalah kualitas proses produksi (Rinawati & Dewi, 2014) :

𝑄𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑟𝑎𝑡𝑒 =𝑝𝑟𝑜𝑐𝑒𝑠𝑠𝑒𝑑 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡−𝑑𝑒𝑓𝑒𝑐𝑡 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡

𝑝𝑟𝑜𝑐𝑒𝑠𝑠𝑒𝑑× 100% (10)

17

2.4 Diagram Pareto

Diagram pareto adalah suatu diagram yang menggambarkan suatu masalah

menurut bobotnya yang dinyatakan dengan frekuensinya. Diagram pareto

digunakan untuk mengidentifikasi masalah, yaitu 20% kesalahan atau

penyimpangan akan menyebabkan 80% masalah yang timbul. Diagram pareto

berguna untuk (Nasution, 2004) :

1. Menentukan jenis persoalan utama

2. Membandingkan masing-masing jenis persoalan terhadap keseluruhan

3. Membandingkan hasil perbaikan masing-masing jenis persoalan sebelum

dan setelah perbaikan

2.6 Root Cause Failure Analysis (RCFA)

Root Cause Analysis (RCA) atau juga disebut Root Cause Failure Analysis

(RCFA) adalah langkah demi langkah metodologi yang mengarah ke penyebab

utama (atau akar penyebab) kegagalan. Jika akar penyebab kegagalan tidak

ditujukan secara tepat waktu, kegagalan akan terjadi lagi, biasanya menyebabkan

kegagalan produksi dan meningkatkan biaya pemeliharaan. RCFA merupakan

cara yang terstruktur untuk tiba pada akar penyebab, sehingga memudahkan dalam

penyebab dan gejala-gejala tidak hanya terkait dengan itu (Gulati, 2012).

Root Cause Failure Analysis bukan hanya untuk mendifinisikan satu metode.

Ada 4 (empat) klasifikasi metode RCFA yang dapat diaplikasikan yaitu:

1. Safety based RCA digunakan untuk kasus kegagalan yang berhubungan

dengan safety, health, and environment

2. Production based RCA digunakan untuk mengidentifikasi kualitas produk,

dan produksi yang berhubungan dengan produk

3. Process based RCA digunakan untuk mengidentifikasi masalah pada

proses, termasuk sistem bisnis

4. Asset based RCA digunakan untuk Analisa kegagalan pada mesin atau

sistem permesinan pada area maintenance

Prinsip umum dari RCFA adalah :

18

• Bertujuan korektif mengukur di akar penyebab lebih efektif daripada hanya

memperbaiki gejala-gejala dari masalah.

• Untuk menjadi efektif, RCFA harus dilakukan secara sistematis, dan

kesimpulan harus didukung oleh data.

• Biasanya ada lebih dari satu akar penyebab masalah tertentu.

Root Cause Failure Analysis (RCFA) adalah metode yang banyak digunakan

di industri untuk mengendalikan terulangnya kegagalan. RCFA adalah metode

analisis kegagalan yang fokus untuk mendeteksi penyebab kegagalan dan

mengendalikan kegagalan serupa di masa depan dengan mengidentifikasi dan

menghilangkan penyebabnya. RCFA adalah metodologi pemecahan masalah yang

disiplin, digunakan untuk menentukan akar penyebab kejadian kegagalan spesifik.

Root Cause Failure Analysis adalah metode pemecahan masalah dengan

menggunakan metode langkah demi langkah untuk menemukan penyebab dasar

kegagalan. RCFA adalah proses untuk mengidentifikasi penyebab sebenarnya dari

kegagalan tertentu dan menggunakan informasi tersebut untuk menetapkan

tindakan korektif/preventif. RCFA membutuhkan penyelidikan awal untuk

menganalisa sifat dan frekuensi kegagalan memutuskan apakah akan melakukan

RCFA atau tidak. Setelah diputuskan, maka proses dimulai dengan pengumpulan

data yang komprehensif mengenai kegagalan termasuk bukti fisik dan teknis,

dilanjutkan dengan analisis data yang dikumpulkan, menemukan akar penyebab

kegagalan dan berakhir dengan menawarkan solusi untuk mencegah kekambuhan.

(Hussin, Ahmed, & Muhammad, 2016)

Beberapa faktor penting untuk melakukan RCFA berhasil diidentifikasi dan

dikelompokkan dan digabungkan menjadi lima kategori yaitu (Hussin et al., 2016):

• Management support.

Proses RCFA membutuhkan dukungan kuat dari manajemen atas

keberhasilan pelaksanaannya. Manajemen harus menyadari dari setiap

aspek proyek investigasi kegagalan dan memungkinkan tim investigasi

untuk mengakses semua data dan informasi yang diperlukan sehingga tidak

cukup waktu untuk menyelesaikan penyelidikan, mendorong tim investigasi

19

untuk menerapkan tindakan pencegahan / pencegahan dan tindak lanjut.

Semua sumber yang dibutuhkan untuk pelaksanaan RCFA harus diberikan

kepada tim untuk mendapatkan hasil yang efektif. Manajemen harus

memberi wewenang kepada tim RCFA untuk mengambil keputusan demi

mencegah terulangnya kegagalan serupa.(Hussin et al., 2016)

• Resources.

Sumber daya diperlukan untuk menyelesaikan investigasi RCFA secara

efektif. Alasan utama mengapa organisasi bersedia mengeluarkan sumber

daya mahal di RCFA adalah menghindari kegagalan. Sebelum melakukan

RCFA, perlu memastikan bahwa semua sumber daya yang dibutuhkan

seperti uang, waktu dan orang tersedia. Anggota tim penyelidik harus

terampil dan terlatih di bidangnya masing-masing karena profesional yang

terampil untuk proses RCFA. Pembentukan tim dengan memilih anggota

yang kompetitif dan berpengalaman dari berbagai departemen organisasi

mendukung investigasi RCFA. (Hussin et al., 2016)

• Data and information.

RCFA membutuhkan data dan informasi yang memadai untuk menganalisis

dan menyelidiki penyebab kegagalan yang potensial. Efektivitas RCFA

sangat tergantung pada ketersediaan data dan kemampuan tim RCFA yang

akurat dan komprehensif untuk menganalisis data dengan benar. Data dan

informasi membantu menganalisa alasan mengapa mesin atau peralatan

gagal dan untuk memahami masalah secara mendalam. Data untuk

kegagalan tertentu dapat diperoleh dari laporan kegagalan sebelumnya,

catatan peralatan, wawancara, pengamatan, data proses, data faktor

lingkungan, laporan analisis, bukti fisik dan catatan perawatan. Informasi

atau data yang tidak mencukupi dapat menyebabkan analisis yang tidak

adekuat untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasarinya.(Hussin et al.,

2016)

20

• Technical factors.

Faktor teknis RCFA perlu dipertimbangkan saat melakukan penyelidikan

kegagalan. Tim harus memfokuskan semua aspek kegagalan termasuk

masalah utama dan kecil, memiliki pengetahuan teknis tentang penggunaan

tools, mengetahui semua fitur alat yang digunakan untuk penyelidikan dan

pemahaman sistem yang tepat. Tools untuk metode RCFA dapat dilihat

pada gambar 2.2 (Hussin et al., 2016)

Gambar 2.2 RCFA tools

Sumber : (Hussin et al., 2016)

21

• Failure data management system/database.

Sistem pengelolaan / pelaporan kegagalan data kegagalan atau kegagalan

sangat diinginkan untuk mencatat data investigasi dan pelaporan kegagalan

yang dapat diakses dengan mudah dan cepat untuk menghindari

pengulangan kegagalan dengan meninjau laporan kegagalan / investigasi

sebelumnya dan data dari database. Kegagalan database mendukung

penyidik untuk mengakses laporan RCFA sebelumnya, rincian kegagalan,

mengidentifikasi akar penyebab kegagalan dan pelacakan solusi yang

diimplementasikan yang akan mendukung analisis jenis kegagalan serupa.

2.6.1. Tahapan RCFA

Terdapat tujuh langkah umum dalam suah investigasi untuk mendapatkan

akar permasalah dari suatu analisa kegagalan (RCFA). Ketujuh langkah tersebut

antara lain (Zavagnin, 2008):

• Scoping

Metode RCFA dimulai dengan scoping dari kegagalan. Scoping

dimulai dengan mengevaluasi konsekuensi dari kegagalan dan

risikonya. Mengevaluasi risiko berarti mengidentifikasi konsekuensi apa

yang bisa terjadi jika kegagalan tersebut terulang, serta frekuensi atau

probabilitas kejadian tersebut terulang. Melakukan scoping memungkinkan

kita untuk memahami konsekuensi terburuk untuk kemudian

menghilangkan atau mengelolanya.

Scoping dapat digunakan untuk mengetahui apakah suatu kegagalan

dianggap besar atau kecil. Apabila kegagalan yang terjadi tergolong kecil,

maka biasanya langkah analisa dan mitigasi dapat langsung dilakukan tanpa

melibatkan pihak eksternal (dari luar), hanya pihak internal saja. Namun,

untuk kegagalan yang kompleks terkadang diperlukan gabungan antara

pihak internal dan external yang merupakan orang yang ahli dan

berpengalaman di bidang tersebut.

• Preserving Evidence and Collecting data

22

Tahapan menjaga bukti dan mengumpulkan data adalah langkah

yang penting dalam RCFA. Tanpa tahapan ini, hasil yang didapatkan adalah

akar permasalahan yang tidak tepat, dimana akan menyebabkan kerugian

dan memungkinkan terjadinya kembali kegagalan yang sama. Pada suatu

kejadian kegagalan, kebanyakan orang biasanya hanya berfokus pada

perbaikan dan penggantian material yang rusak saja agar proses dapat

bekerja kembali seperti semula, tanpa berpikir untuk mencegah kegagalan

tersebut terjadi lagi dan bukti-bukti dan data yang telah dikumpulkan hilang

begitu saja.

• Organizing the Analysis

Tahapan selanjutnya adalah membentuk sebuah tim untuk

menganalisa kegagalan yang terjadi untuk merumuskan suatu RCFA.

• Analyzing

Langkah yang selanjutnya adalah analisa. Tahapan analisa

membutuhkan pengetahuan mengenai apa saja yang dapat dikontrol dan hasil

dari suatu pengontrolan dan respon. Salah satu metode dalam menganalisa

adalah dengan metode fault tree analysis (FTA) diagram. FTA diagram

dikenal mampu untuk menyelesaikan masalah yang cukup kompleks atau

ambigu karena banyaknya sumber penyebab masalah.

• Documenting, Implementing, Confirming

Mengkomunikasikan analisis melibatkan tiga tahap

1. Ringkasan kejadian kegagalan, akar penyebab, dan rekomendasi terkait

yang keluar dari analisis

2. Rekomendasi mana yang dipilih selama evaluasi, bagaimana

penerapannya, kapan, dan oleh siapa

3. Apakah rekomendasi yang diimplementasikan berhasil atau tidak.

2.6.2. Fault Tree Analysis (FTA)

FTA digunakan untuk mengembangkan hubungan kausal untuk

menganalisis kejadian atau kegagalan yang tidak diinginkan. Deduktif dalam arti

23

bahawa akan dimulai dari menetapkan kegagalan sistem dan terbentang mundur

untuk mencari penyebabnya sampai ke kesalahan yang independen yang mendasar

(Amrussalam, 2016).

Fault Tree Analysis adalah metodologi deduktif untuk menentukan

kemungkinan penyebab kecelakaan, atau kegagalan sistem lebih umum, dan untuk

memperkirakan probabilitas gagal. Dalam artian FTA dapat dilihat sebagai

alternatif untuk menggunakan diagram blok kehandalan dalam menentukan

keandalan sistem dalam hal komponen yang sesuai. Namun, FTA berbeda dalam

pendekatan terhadap masalah dan lingkup analisis (LEWIS, 1995).

Fault Tree Analysis merupakan sebuah analytical tool yang menerjemahkan

secara grafik kombinasi-kombinasi dari kesalahan yang menyebabkan kegagalan

dari system. Teknik ini berguna mendeskripsikan dan menilai kejadian di

dalam sistem. FTA menggunakan 2 simbol utama yang disebut events dan gates.

Ada tiga tipe event yaitu (Foster, 2001):

1. Primary event

Primary event adalah sebuah tahap dalam proses penggunaan produk yag

mungkin saat gagal. Sebagai contoh saat memasukkan kunci kedalam

gembok, kunci tersebut mungkin gagaluntuk pas/sesuai dengan gembok.

Primary event lebih lanjut dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a Basic event

b Undeveloped event

c External events

2. Intermediate event

Intermediate event adalah hasil dari kombinasi kesalahan-kesalahan,

beberapa diantaranya mungkin primary event. Intermediate event ini

ditempatkan di tengah-tengah sebuah fault tree.

3. Expanded Event

Expanded Event membutuhkan sebuah fault tree yang terpisah dikarenakan

kompleksitasnya. Untuk fault tree yang baru ini, expanded event adalah

undesired event dan diletakkan pada bagian atas fault tree.

24

Menurut (Pyzdek, 2002) tahapan Analisa FTA yaitu :

1. Tentukan kejadian paling atas atau disebut juga kejadian utama. Ini adalah

kondisi kegagalan yang akan ditinjau.

2. Tetapkan batasan Fault Tree Analysis.

3. Periksa sistem untuk mengerti bagaimana berbagai elemen berhubung pada

satu dengan lainnya dan untuk kejadian paling atas.

4. Buat pohon kesalahan, mulai pada kejadian paling atas dan bekerja ke arah

bawah.

5. Analisis pohon kesalahan untuk mengidentifikasi cara dalam menghilangkan

kejadian yang mengarah kepada kegagalan.

6. Persiapkan rencana tindakan perbaikan untuk mencegah kegagalan dan

rencana kemungkinan berkenaan dengan kegagalan saat mereka terjadi.

25

Tabel 2.1 Fault-Tree Symbols

Symbol Name Description

Rectangle Fault event; it is usually the result of

the logical combination of other events.

Circle Independent primary fault event.

Diamond

Fault evebt not fully developed, for its

causes are not known; it is only an

assumed primary fault event,

House Normally occurring basic event; it is

not a fault event.

OR Gate

The union operation of events; i.e., the

output event occurs if one or more of

the inputs occur.

AND Gate

The intersection operation of events;

i.e., the output event occurs if and only

if all the inputs occur

INHIBITE

Gate

Output exist when X exist and condition

A is present; this gate function

somewhat like an AND gate and is used

for a secondary fault event X.

Triangle-in

Triangle symbols provide a tool to

avoid repeating sections of a fault tree

or to transfer the tree construction from

one sheet to next sheet. Triangle-out

Sumber : (LEWIS, 1995)

Daftar Pustaka

Al-Turki, U. (2011). A framework for strategic planning in maintenance. Journal

of Quality in Maintenance Engineering, 17(2), 150-162.

Amrussalam, P. B. S., Ishardita Pambudi Tama. (2016). PENGUKURAN DAN

PERBAIKAN TOTAL PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM)

MENGGUNAKAN OVERALL EQUIPMENT EFFECTIVENESS (OEE)

DAN ROOT CAUSE FAILURE ANALYSISI (RCFA). jemis, 4.

Ansori, N., & Mustajib, M. I. (2013). Sistem Perawatan Terpadu (Integrated

Maintenance System).

Borris, S. (2006). Total productive maintenance: McGraw-Hill New York.

Corder, A., & Hadi, K. (1988). Teknik Manajemen Pemeliharaan: Erlangga.

Dal, B., Tugwell, P., & Greatbanks, R. (2000). Overall equipment effectiveness as

a measure of operational improvement–A practical analysis. International

Journal of Operations & Production Management, 20(12), 1488-1502.

Foster, S. T. (2001). Managing quality: an integrative approach.

Gulati, R. (2012). Maintenance and Reliability Best Practice (2 ed.). New York:

Industrial Press, Inc.

Hussin, H., Ahmed, U., & Muhammad, M. (2016). Critical Success Factors of Root

Cause Failure Analysis. Indian Journal of Science and Technology, 9(48).

Jiwantoro, A., Argo, B. D., & Nugroho, W. A. (2013). Analisis Efektivitas Mesin

Penggiling Tebu dengan Penerapan Total Productive Maintenance (In

Press, JKPTB Vol 1 No 2). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan

Biosistem, 1(2).

Kurniawan, F. (2013). TEKNIK DAN APLIKASI MANAJEMEN PERAWATAN

INDUSTRI. Yogyakarta: Graha Ilmu.

LEWIS, E. E. (1995). Introduction to Reliability Engineering. Editorial John Wiley

& Sons: Inc.

Nakajima, S. (1988). Introduction to TPM: Total Productive

Maintenance.(Translation). Productivity Press, Inc., 1988, 129.

Nasution, M. N. (2004). Manajemen Jasa Terpadu. Bogor: Ghalia Indonesia.

Pyzdek, T. (2002). The Six Sigma Hand Book Edisi 1. Jakarta: Salemba.

Rinawati, D. I., & Dewi, N. C. (2014). ANALISIS PENERAPAN TOTAL

PRODUCTIVE MAINTENANCE (TPM) MENGGUNAKAN OVERALL

EQUIPMENT EFECTIVENESS (OEE) DAN SIX BIG LOSSES PADA

MESIN CAVITEC DI PT. ESSENTRA SURABAYA. Prosiding SNATIF,

21-26.

Venkatesh, J. (2007). An introduction to total productive maintenance (TPM). The

plant maintenance resource center, 3-20.

Zavagnin, R. (2008). An overview of a Root Cause Failure Analysis (RCFA)

process. Paper presented at the Banff, Canada: IPEIA Conference.