bab ii landasan teori 2.1. umumeprints.umm.ac.id/58466/3/bab ii.pdf · 2020. 1. 23. · tabel 2. 1...

92
6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Umum Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia dimana mencakup 17.000 pulau, dan terletak di garis khatulistiwa yang memiliki pancaran sinar matahari sepanjang tahun. Indonesia terletak diantara jajaran benua besar di dunia yaitu asia dan australia. Pulau-pulau tersebut juga terletak diantara selat bahkan lautan besar seperti samudra hindia dan pasifik. Akumulasi dengan daratan indonesia adalah sekitar 1,9 juta km 2 . Indonesia adalah negara terbesar diantara negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Filiphina, Papua Nugini. Populasi di indonesia adalah 222 juta berdasar data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2006. Tak hanya itu, indonesia juga memiliki panjang sungai yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu persebaran sungai terpanjang di Indonesia adalah di pulau Kalimantan yaitu sungai Kapuas sepanjang 1143 km, sungai Mahakam sepanjang 920 km, sungai Barito sepanjang 900 km. Kondisi daerah yang bervariasi yang dipisahkan oleh lembah dan sungai menyebabkan kebutuhan akan jembatan sebagai sarana transportasi jembatan akan sangat bermanfaat untuk menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya. Jembatan adalah suatu konstruksi yang gunanya meneruskan konektivitas suatu rintangan yang tidak sebidang dan berada lebih rendah. Rintangan ini biasanya berupa jalan air (sungai) atau jalan lalu lintas biasa (Struyk dan Veen, 1984). Dalam perencanaan dan perancangan jembatan sebaiknya juga mempertimbangkan fungsi kebutuhan transportasi, persyaratan teknik dan estetika arsitektural (supriyadi dan muntohar, 2007). Dalam merencanakan sebuah jembatan terdapat beberapa pertimbangan dari segi ekonomis maupun teknik yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Pada perkembangannya, berbagai macam dan bentuk material jembatan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi konstruksi terkini.

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1. Umum

    Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia dimana mencakup

    17.000 pulau, dan terletak di garis khatulistiwa yang memiliki pancaran sinar

    matahari sepanjang tahun. Indonesia terletak diantara jajaran benua besar di dunia

    yaitu asia dan australia. Pulau-pulau tersebut juga terletak diantara selat bahkan

    lautan besar seperti samudra hindia dan pasifik. Akumulasi dengan daratan

    indonesia adalah sekitar 1,9 juta km2. Indonesia adalah negara terbesar diantara

    negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Filiphina, Papua

    Nugini. Populasi di indonesia adalah 222 juta berdasar data Badan Pusat Statistik

    Republik Indonesia tahun 2006. Tak hanya itu, indonesia juga memiliki panjang

    sungai yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu persebaran sungai

    terpanjang di Indonesia adalah di pulau Kalimantan yaitu sungai Kapuas sepanjang

    1143 km, sungai Mahakam sepanjang 920 km, sungai Barito sepanjang 900 km.

    Kondisi daerah yang bervariasi yang dipisahkan oleh lembah dan sungai

    menyebabkan kebutuhan akan jembatan sebagai sarana transportasi jembatan akan

    sangat bermanfaat untuk menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya.

    Jembatan adalah suatu konstruksi yang gunanya meneruskan konektivitas

    suatu rintangan yang tidak sebidang dan berada lebih rendah. Rintangan ini

    biasanya berupa jalan air (sungai) atau jalan lalu lintas biasa (Struyk dan Veen,

    1984). Dalam perencanaan dan perancangan jembatan sebaiknya juga

    mempertimbangkan fungsi kebutuhan transportasi, persyaratan teknik dan estetika

    arsitektural (supriyadi dan muntohar, 2007). Dalam merencanakan sebuah jembatan

    terdapat beberapa pertimbangan dari segi ekonomis maupun teknik yang

    disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Pada perkembangannya, berbagai macam

    dan bentuk material jembatan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan ilmu

    pengetahuan dan teknologi konstruksi terkini.

  • 2.2. Pekembangan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia

    Indonesia sebagai negara berkembang telah melakukan pemerataan

    infrastruktur penghubung seperti jalan dan jembatan selama beberapa dekade

    terakhir. Berdasar dari UU No 38 tahun 2004 tentang jalan menyatakan bahwa

    jalanan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan

    penting dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan

    dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai

    keseimbangan dan pemerataan pembangunan daerah, membentuk dan

    memperkukuh kesatuan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka

    mewujudkan sasaran pembangunan nasional yang merata. Hingga saat ini,

    transportasi darat adalah moda transportasi yang paling dominan diantara yang

    tersedia. Di Indonesia sekitar 90% dari 95 barang yang di distribusikan di Indonesia

    ditopang oleh jalur darat. Dengan demikian, sejak tahun 1971 perkembangan jalan

    di Indonesia telah mencapai 85.000 km menjadi sekitar 437.759 km pada akhir

    tahun 2008 (Data Badan Pusat Statistik Indonesia). Adapun disepanjang jalan

    nasional tersebut terdapat sekitar 88.000 jembatan dengan panjang total jembatan

    mencapai 1000 km. terlepas dari hal tersebut, terdapat 28.000 jembatan berada di

    sepanjang jalan nasional dan provinsi serta 60.000 jembatan lainnya terdapat di

    jalan lokal dan perkotaan. Dari pandangan tersebut, sudah sangat jelas bahwa

    jembatan memiliki peran yang strategi terhapad fungsi O&M (Operation and

    Maintenance) sehingga dalam mengembangkan jembatan perlu investasi yang

    begitu besar. Untuk mempercepat pengembangan tersebut dalam hal pemenuhan

    infrastruktur, kebijakan pemerintah harus terarah pada pengembangan standarisasi

    struktur atas jembatan (superstructure) dengan menyediakan standar perencanaan

    yang final serta baku. Sehingga kedepan output yang dihasilkan merupakan hasil

    karya berupa gambar konstruksi teknis dan dapat mudah di implementasikan di

    lokasi konstruksi.

    Tujuan utama standarisasi struktur atas jembatan (superstructure) adalah

    menjamin bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh perencana dan memenuhi

    persyaratan keamanan konstruksi jembatan. Alasan ini juga untuk menjawab

    tantangan karena Indonesia memilik 88.000 jembatan yang sebagian besar

  • 8

    menyebrangi sungai kecil. Dari semua jembatan yang ada di sepanjang ruas jalan

    nasional dan provinsi, jumlah jembatan yang menyebrangi sungai dengan lebar

    sungai lebih dari 100 m kurang dari 2% dari total keseluruhan. Meskipun tidak

    begitu banyak sungai dengan lebar yang besar dibandingkan dengan negara lainnya.

    Maka dari itu, Indonesia telah lama mengembangkan teknologi struktural seperti

    yang di implementasikan oleh penerapan struktur beton pratekan, struktur kabel,

    rangka, dll. Untuk jembatan dengan bentang 60 m, konstruksi bangunan atas di

    Indonesia biasanya mengikuti standar jembatan bina marga yang normal.

    Sedangkan apabila jembatan yang memiliki bentang tidak standar memilki standar

    perencanaan yang berbeda yang mengadopsi peraturan dari negara maju namun

    tentunya standar tersebut tetap menyesuaikan kondisi geografis dengan negara

    Indonesia. Pembangunan jembatan bentang panjang di Indonesia dimulai tahun

    1960-an yaitu jembatan Ampera, jembatan panjang sistem gelagar menerus

    dibangun dari tahun 1962 hingga 1965 di Palembang, Sumatra Selatan.

    Pembangunan jembatan Danau Bingkuang di Riau juga memperkenalkan

    konstruksi gelagar baja komposit menerus dari tahun 1968 sampai 1970 (Chen dan

    Duan, 2014).

    Konstruksi jembatan bentang panjang di Indonesia mengalami perkembangan

    yang sangat signifikan dan menggunakan berbagai jenis konstruksi yang masih

    tergolong baru, antara lain jembatan box girder, PCI Girder, jembatan pelengkung

    beton (concrete arch bridge), jembatan pelengkung baja (steel arch bridge),

    jembatan gantung, jembatan suspensi (suspension bridge). Jembatan jenis ini

    adalah jembatan yang khusus dirancang untuk menjadi jembatan yang ekonomis

    dan juga meninjau dari aspek estetika dan komprebilitas jembatan terhadap

    lingkungan di sekitarnya (ramah lingkungan). Tren ini terus berkembang sesuai

    dengan karakteristik geografis dan kebutuhan lalu lintas lokal. Sebagai contoh, lalu

    lintas di pulau Jawa umumnya dirancang untuk melayani lalu lintas yang sangat

    padat, menyebrangi sungai atau tepian sungai yang relatif lebih pendek atau sedang.

    Sedangkan untuk beberapa wilayah di Kalimantan dan beberapa bagian di pulau

    Sumatra, ada banyak sungai dengan bentang lebar serta memiliki lalu lintas air yang

    padat. Namun lalu lintas jalan tidak sebesar di pulau Jawa sehingga karakteristik

  • 9

    jembatan harus mengakomodir ketersediaan jembatan dengan bentang dan

    ketinggian yang cukup untuk mengakomodasi lalu lintas pelayaran. Berikut ini

    perkembangan jembatan bentang panjang di Indonesia disajikan pada tabel 2.1.

    Tabel 2. 1 Perkembangan jembatan bentang panjang di Indonesia

    No Nama jembatan Lokasi

    Bentang

    utama

    (main

    span)

    Total

    panjang

    Tahun

    Pembuatan

    1

    Jembatan beton menerus

    (continuous concrete

    bridge)

    Rantau berangin Riau 121 201 1972-1974

    Rajamandala Jawa Barat 132 222 1972-1979

    Serayu Kegugihan Jawa Tengah 128 274 1978-1985

    Mojokerto Jawa Timur 62 230 1975-1977

    Arakundo Aceh 96 210 1987-1990

    Tonton-Nipah Riau Kepulauan 160 420 1995-1998

    Setoko-Rempang Riau Kepulauan 145 365 1994-1997

    Siti Nurbaya Sumatra Barat 76 156 1995-2002

    Tukad Bangkung Bali 120 360 2006

    Air Teluk II Sumatra Selatan 104 214 2006

    Perawang Riau 180 1473 2007

    2

    Jembatan Baja Menerus

    (Continuous Steel Bridge)

    Ampera Sumatra Selatan 75 1100 1962-1965

    Danau Bingkuang Riau 120 200 1968-1970

    Siak I Riau 52 350 1975-1977

    Kapuas Timpah Kalimantan Tengah 105 255 2010

    3

    Jembatan Pelengkung

    Beton (Concrete Arch

    Bridges)

    Karebbe Sulawesi Selatan 60 60 1996

    Serayu Cindaga Jawa Tengah 90 214 1993-1998

    Rempang-Galang Riau Kepulauan 245 385 1995-1998

    Besuk Koboan Jawa Timur 80 125 2000

    Pangkep Sulawesi Selatan 60 84 2006

    Bajulmati Jawa Timur 60 90 2007

    4

    Jembatan Pelengkung baja

    (Steel Arch Bridges)

    Malo Jawa Timur 128 178 2007

    Ogan Pelengkung Sumatra Selatan 100 100 2008

    Kahayan Hulu Kalimantan Tengah 80 160 2007

    Kahayan Kalimantan Tengah 150 640 1995-2000

    Rumbai Jaya Riau 150 780 2003

  • 10

    Tabel 2. 2 Perkembangan jembatan bentang panjang di Indonesia (lanjutan)

    No Nama jembatan Lokasi

    Bentang

    utama

    (main

    span)

    Total

    panjang

    Tahun

    Pembuatan

    Barito Hulu Kalimantan Tengah 150 561 2008

    Martadipura Kalimantan Timur 200 560 2004

    Mahulu Kalimantan Timur 200 800 2003

    Palu IV Sulawesi Tengah 125 300 2006

    Rumpian Kalimantan Selatan 200 754 2008

    Batanghari II Jambi 150 1351 2009

    Teluk Majid Riau 250 1650 2012

    Siak III Riau 120 518 2011

    Pela Kalimantan Timur 150 420 2010

    Sei Tayan Kalimantan Barat 200 1420 2010

    5

    Jembatan Kabel (Cable-

    Stayed Bridges)

    Teuku Fisabilillah Riau Kepulauan 350 642 1998

    Pasupati Jawa barat 106 2282 2005

    Grand Wisata Overpass Jawa Barat 81 81 2007

    Siak Indrapura Riau 200 1196 2007

    Siak IV Riau 156 699 2009-2019

    Sukarno Sulawesi Utara 120 622 2003-2015

    Melak Kalimantan Timur 340 680 2008-sekarang

    Galalapoka Maluku 150 1065 2011-2016

    6

    Jembatan Suspensi (

    Suspension Bridges)

    Bantar Lama Yogyakarta 80 235 1932

    Membramo Papua 235 1082 1996

    Barito Hulu Kalimantan Selatan 240 714 1997

    Kutai Kertanegara Kalimantan Timur 270 1344 2001

    Balang/Teluk Balikpapan Kalimantan Timur 708 1344 DED

    7

    Jembatan

    Khusus/gabungan (Special

    Bridge Project)

    Kelok 9 Sumatra Barat 90 5000 2013

    Jalan Layang Jakarta Utara Jawa Varies Varies Preliminary

    Design

    Suramadu Jawa Timur 434 5438 2005-2009

    Selat Bali (Bali Strait) Jawa Timur-Bali 2000 2000 Preliminary

    Design

    Selat Sunda (Sunda Strait) Banten-Lampung 2200 29000 Preliminary

    Design

    Sumber: Buku Handbook of Bridge engineeering, Second Edition (2014)

    Dari sekian banyak jenis jembatan yang memiliki bentang panjang (long

    span bridge), salah satu yang masih menjadi andalan pemilihan jembatan bentang

    panjang adalah jembatan pelengkung (arch bridge) terutama di daerah Kalimantan

    yang secara geografis memiliki lebar sungai yang tidak biasa.

  • 11

    2.3. Klasifikasi Jembatan

    Jenis jembatan berdasar fungsi, lokasi, bahan konstruksi, dan tipe struktur

    sampai saat ini mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan perkembangan

    zaman dan teknologi 4.0 yang semakin cepat, perkembangan tersebut dimulai dari

    yang sederhana sampai yang rumit dan mutakhir. Adapun beberapa klasifikasi

    jembatan adalah sebagai berikut:

    1. Berdasar fungsinya, dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Jembatan jalan raya (highway bridge)

    b. Jembatan jalan kereta api (railway bridge)

    c. Jembatan pejalan kaki atau penyebrangan orang (pedestrian bridge)

    2. Berdasar lokasinya, dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Jembatan diatas sungai, danau atau laut

    b. Jembatan diatas lembah

    c. Jembatan diatas jalan yang ada (flyover)

    d. Jembatan diatas saluran irigasi/drainase (culvert)

    e. Jembatan di dermaga (jetty)

    3. Berdasar bahan konstruksinya, dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Jembatan kayu (log bridge)

    b. Jembatan beton (concrete bridge)

    c. Jembatan beton prategang (presstressed concrete bridge)

    d. Jembatan baja (steel bridge)

    e. Jembatan komposit (composite bridge)

    4. Berdasar tipe strukturnya, dapat dibedakan sebagai berikut :

    a. Jembatan pelat (slab bridge)

    b. Jembatan pelat berongga (voided slab bridge)

    c. Jembatan gelagar (girder bridge)

    d. Jembatan rangka (truss bridge)

    e. Jembatan pelengkung (arch bridge)

    f. Jembatan gantung (suspension bridge)

    g. Jembatan kabel (cabble stayed bridge)

    h. Jembatan kantilever (cantilever bridge)

  • 12

    5. Berdasar bentangnya, dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Bentang pendek (small span bridge), panjang bentang hingga 15 m.

    b. Bentang sedang (medium span bridge), panjang bentang hingga 75 m.

    c. Bentang menengah (large span bridge), panjang bentang antara 50-150 m.

    d. Bentang panjang (extra large span bridge), panjang bentang > 150 m.

    6. Berdasar position-moveable

    Berdasar buku bridge engineering, classification, design loading, and

    analysis methods 2017. Jembatan bergerak adalah jembatan yang dapat bergerak

    sesuai dengan lalu lintas pelayaran kapal tongkang dibawahnya (schneider, 1907).

    Kentungan membuat jembatan ini adalah bentang utama dalam melakukan

    pergerakan naik dan turun, sehingga dengan tipe jembatan seperti ini menyebabkan

    biaya konstruksi semakin rendah karena tidak adanya dermaga yang tinggi dan

    panjang (Teruhiko, 2017) . Adapun tipe jembatan position-moveable adalah sebagai

    berikut:

    a. Bascule bridge

    b. Swing bridge

    c. Lift bridge

    7. Berdasar interspan relation, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Simply supported bridges

    b. Continuous bridges

    c. Cantilever bridges

    8. Berdasar kondisi geometrik jembatan (geometric shape), jembatan dapat

    dibedakan sebagai berikut:

    a. Straight bridges

    b. Skewed bridges

    c. Curved bridges

    2.4. Definisi Jembatan Busur Rangka (Arch Bridge)

    Secara umum, jembatan busur rangka adalah sebuah jembatan yang

    mempunyai bentuk struktur setengah parabola dengan abutmen di kedua sisi

    jembatan. Struktur setengah parabola tersebut merupakan rangka utama dari

  • 13

    jembatan yang fungsinya menerima semua gaya-gaya yang bekerja pada jembatan.

    Pada prinsipnya, konstruksi dari jembatan busur dapat memberikan reaksi

    horizontal akibat beban vertikal yang bekerja. Desain lengkung akan mengalihkan

    beban yang diterima lantai kendaraan jembatan menuju abutmen yang menjaga

    kedua sisi jembatan agar tidak bergerak ke samping. Selain itu, bentuk busur

    setengah parabola dimaksudkan untuk memungkinkan konstruksi tersebut dapat

    menerima momen lentur lebih efisien bila dibandingkan dengan gelagal paralel

    (diktat perkuliahan ITS jembatan bentang panjang, 2007). Jembatan busur sangat

    cocok untuk lintasan dalam, dengan tebing curam berbatu, yang dapat berfungsi

    sebagai tembok pangkal alami yang efisien, terutama dalam menerima komponen

    horisontal dari reaksi busur.

    Perencanaan jembatan tentunya harus memenuhi aspek ekonomis sebagai

    acuan awal perencanaan. Adapun pada jembatan busur memiliki bentang yang

    ekonomis sebesar ±300 m (soegihardjo, 2016). Maka jembatan ini merupakan tipe

    jembatan yang umum digunakan untuk menyebrangi sungai-sungai di Indonesia

    yang pada umumnya memiliki lebar ±300 m. Terlihat beberapa jembatan di

    Indonesia yang sudah dibangun menggunakan tipe pelengkung yaitu jembatan

    Ponulele di Palu yang membentang diatas Teluk Talise, jembatan di Riau dan yang

    terakhir diresmikan di Pontianak yaitu jembatan Sei Tayan serta masih banyak lagi

    jenis jembatan bentang panjang di Indonesia seperti yang sudah di jelaskan pada

    sub bab sebelumnya.

    2.5.Tata Cara Pemilihan Jembatan

    Merencanakan sebuah jembaatn tentunya mempertimbangkan kondisi geografis

    dan juga bentang yang cocok untuk dilakukan proses desain/preliminary design.

    Berikut ini tata cara praktis pemilihan bentuk jembatan berdasar tipe dan bentang

    (bridge engineering, classification, design loading, and analysis methods 2017)

  • 14

    Gambar 2. 1 Tata cara praktis pemilihan tipe jembatan berdasar bentang jembatan

    (sumber: Bridge engineering, classification, design loading, and analysis methods 2017)

    2.6. Sejarah Jembatan Pelengkung Baja di Indonesia (Steel Arch Bridge)

    Berdasar buku Handbook of International Bridge Engineering, 2013,

    survey yang telah dilakukan di beberapa negara perihal jembatan bentang panjang

    memberikan informasi jembatan yang pernah dibangun di beberapa negara di dunia

    salah satunya di Indonesia. Berikut ini beberapa jembatan bentang panjang tipe

    busur rangka baja yang ada di Indonesia antara lain:

    1. Jembatan Kahayan (640 m), Palangkaraya, Kalimantan Tengah (2000)

    Jembatan Kahayan (Gambar 2.2), terletak di Kalimantan Tengah dimana

    menghubungkan Palangkaraya-Buntok, konstruksi jembatan melintasi sungai

    Kahayan, palangkaraya, Kalimantan Tengah. Jembatan ini di bangun dari tahun

    1995 sampai 2002 dimana menghubungkan kota Palangkaraya ke Kabupaten Barito

    Selatan dan Kabupaten Barito Utara. Jembatan memiliki panjang 640 m dengan

    lebar 9 m ( 7 m untuk kendaraan dan 1 meter untuk pejalan kaki di kedua sisinya).

    Jembatan ini memiliki 12 segmen dengan segmen utama jembatan terpanjang 150

    m dimana berfungsi sebagai jalur pelayaran. Sungai Kahayan merupakan alur

    pelayaran yang sibuk dengan kapal tongkang sehingga memerlukan tinggi bebas

    jembatan setinggi 14 m dari ketinggian muka air maksimum dan 18 m dari muka

    air normal.

  • 15

    Gambar 2. 2 Jembatan Kahayan (640 m), Palangkaraya, Kalimantan Tengah

    (Sumber : pegipegi.com)

    Gambar 2. 3 Tampak dan elevasi jembatan Kahayan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah

    (sumber: Handbook of International Bridge Engineering)

    2. Jembatan Rumbai Jaya (710 m), Indragiri Hilir, Riau (2004)

    Jembatan Rumbai Jaya (Gambar 2.4), membentang di sungai Indragiri pada

    hulu sungai Indragiri, dimana jembatan ini menghubungkan Pekanbaru-

    Tembilahan, jembatan ini adalah salah satu jembatan terpanjang yang berada di

    provinsi Riau.

    Gambar 2. 4 Jembatan Rumbai Jaya (710 m), Indragiri Hilir, Riau

    (sumber: youtube.com, diakses 21 oktober 2019 )

    Gambar 2. 5 Tampak jembatan Rumbai Jaya, Indragiri Hilir, Riau

    (sumber: Handbook of International Bridge Engineering)

  • 16

    Jembatan Rumbai Jaya memiliki panjang total 710 m, dengan bentang

    terpanjang adalah 120 m dengan lebar jembatan 7 m. struktur atas jembatan

    menggunakan struktur pelengkung rangka baja (steel truss arch bridge). Jembatan

    ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 13 maret, 2004.

    3. Jembatan Martadipura (569 m), Kota Bangun, Kalimantan Timur (2004)

    Jembatan Martadipura (Gambar 2.6), berada di Kota Bangun, Kalimantan

    Timur, merupakan jembatan ketiga yang memotong sungai Mahakam. Jembatan

    Martadipura adalah jembatan kedua yang dibangun di Indonesia dengan jenis yang

    sama, setelah jembatan Rumbai di Riau, dan jembatan dengan bentang terpanjang

    yang pernah dibuat, bentang utama jembatan adalah 200 m. Jembatan memiliki

    lebar 9 m dengan total panjang keseluruhan ditambah jembatan pendekat adalah

    569 m. Tinggi clearance jembatan utama adalah 15 m. struktur atas jembatan

    menggunakan konstruksi rangka baja (SM 490 YB) dengan tinggi tampang

    lengkung 36 m. lantai jembatan menggunakan beton bertulang K-350 dan struktur

    bawah menggunakan pile diameter 1000 mm.

    Gambar 2. 6 Jembatan Martadipura (569), Kota Bangun, Kalimantan Timur

    (sumber: wikipedia.org)

    Gambar 2. 7 Tampak jembatan Martadipura, Kota Bangun, Kalimantan Timur

    (sumber: Handbook of International Bridge Engineering)

    4. Jembatan Barito Hulu (561 m), Puruk Cahu, Kalimantan Tengah (2008)

  • 17

    Jembatan Barito Hulu (Gambar 2.10), yang sekarang disebut sebagai

    jembatan Merdeka, dimana melintasi sungai Barito, Puruk Cahu, Kota Murung

    Raya (Mura), Kalimantan Tengah. Jembatan ini menghubungkan kota Puruk Cahu

    dengan Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara. Total panjang jembatan adalah 561

    m dengan lebar lantai kendaraan 9 m, dengan konfigurasi busur rangka baja.

    Jembatan didesain oleh PT. Perencanan Jaya, Jakarta, dan konstruksi dilaksanakan

    selama 5 tahun (2003-2008). Struktur utama menggunakan jembatan busur rangka

    baja, dengan bentang 62 m + 153 m + 62 m. Jembatan ini sepintas mirip dengan

    jembatan Batanghari II, Jambi, Sumatra.

    Gambar 2. 8 Jembatan Merdeka (561 m), Puruk Cahu, Kalimantan Tengah

    (sumber: kompas.com)

    Gambar 2. 9 Tampak jembatan Merdeka, Puruk Cahu, Kalimantan Tengah

    (sumber: Handbook of International Bridge Engineering)

    5. Jembatan Rumpiang (754 m), Barito Kuala, Kalimantan Selatan (2008)

    Jembatan Rumpiang (Gambar 2.10) terletak di Sungai Barito, Kabupaten

    Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Konstruksi jembatan dimulai pada 1

    Desember 2003, dan proyek selesai pada 25 April 2009. Total panjang jembatan

    adalah 754 m dengan lebar jembatan 9 m.

    Secara umum jembatan ini menggunakan tipe rangka, bagian busur

    jembatan dilakukan proses erection dengan menggunakan metode kantilever, maka

  • 18

    dari itu menggunakan metode tower sementara dengan memanfaatkan kabel

    sebagai penerima beban sementara dengan metode kantilver

    Gambar 2. 10 Jembatan Rumpiang (754 m), Barito Kuala, Kalimantan Selatan

    (sumber: wikipedia.org)

    Gambar 2. 11 Tampak jembatan Rumpiang, Barito Kuala, Kalimantan Selatan

    (sumber: Handbook of International Bridge Engineering)

    Pada bentang tengah jembatan dilakukan konstruksi tipe kantilever, setelah

    rangkaian rangka busur telah selesai dikerjakan, selanjutnya dilakukan pemasangan

    lantai jembatan beserta elemen pendukungnya.

    6. Jembatan Mahulu (800 m), Samarinda, Kalimantan Timur (2008)

    Jembatan Mahakam Ulu (Gambar 2.14), melintasi Sungai Mahakam,

    menghubungkan antara Desa Loa Buah dan Sungai Kujang di Kabupaten

    Sengkotek, Kalimantan Timur. Jembatan ini adalah salah satu dari lima jembatan

    yang melintasi Sungai Mahakam, Jembatan Martadipura, Jembatan Kertanegara,

    Jembatan Ulu Mahakam, Jembatan Mahkota I dan II (adalah merupakan jembatan

    yang dilakukan proses konstruksinya pada April 2013). Jembatan ini memiliki

    bentang 800 m dengan bentang tengah 200 m dengan lebar lantai kendaraan 11 m.

    Jarak antara jembatan dengan elevasi permukaan air adalah 18 m. Proses konstruksi

    jembatan terbagi menjadi dua segmen pekerjaan yaitu jembatatan pendekat

    (approach span) dari Loa Janan (240 m), dan dari Loa Buah (360 m) dimana

  • 19

    menggunakan I-Girder Prategang, dan bentang utama jembatan menggunakan

    busur rangka baja (200 m)

    Gambar 2. 12 Jembatan Mahulu (800 m), Samarinda, Kalimantan Timur

    (sumber: detik.com)

    7. Jembatan Sei Tayan (1420 m), Tayan, Kalimantan Barat (2019)

    Jembatan Sei Tayan (Gambar 2.15), adalah proyek jembatan yang berada di

    Kecamatan Tayan, di desain untuk melintasi Sungai Kapuas dan menghubungkan

    Kota Tayan dan Piasak, Kabupaten Sanggau, memiliki jarak sekitar 112 km dari

    Kota Pontianak. Jembatan ini melintasi Pulau Tayan, dimana pulau ini merupakan

    pulau kecil dengan luas 58 ha dengan penduduk sekitar 2100 jiwa. Jembatan ini

    mengakomodasi alur transportasi kapal ferry. Jembatan ini merupakan rangkaian

    jalan lingkar Kalimantan Selatan, dimana menghubungkan Kalimantan Barat dan

    Kalimantan Tengah.

    Jembatan Sei Tayan memiliki 2 bagian, dengan panjang total 1420 m

    dengan lebar lantai kendaraan 11 m (4 lajur). Bagian jembatan yang pertama dapat

    diakses dari sisi utara dari Pulau Tayan dengan bentang 280 m. Jembatan kedua,

    dimana jembatan utama berada, menghubungkan Pulau Tayan dan Piasak dengan

    bentang 1074 m. Jembatan utama menggunakan busur rangka baja dengan bentang

    350 m, bentang jembatan di desain sebagai alur pelayaran yang sibuk pada sungai

    ini. Jembatan ini telah diresmikan pada tahun 2019 oleh Presiden Republik

    Indonesia Ir. Joko Widodo pada tahun 2019.

  • 20

    Gambar 2. 13 Jembatan Sei Tayan (1074 m), Pontianak, Kalimantan Barat

    (sumber: kompas.com)

    Gambar 2. 14 Tampak jembatan Sei Tayan, Pontianak, Kalimantan Barat

    (sumber: Handbook of International Bridge Engineering)

    2.7. Jembatan Busur Penyebrangan Orang Muara Teweh-Jingah

    Pembangunan jembatan penyebrangan orang Muara Teweh-Jingah adalah

    salah satu proyek yang digagas oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

    Provinsi Kalimantan Tengah. Secara geografis pembanguanan jembatan ini

    menghubungkan Kota Muara Teweh ke wilayah Jingah, jembatan ini bertujuan

    untuk meningkatkan laju ekonomi pada daerah Jingah sehingga arus orang dan

    barang menjadi lebih cepat dan murah. Jembatan ini memliki bentang total 300

    meter dengan tinggi 29,3 meter serta lebar lantai kendaraan 6,2 meter. Secara

    servicebility jembatan Muara Teweh-Jingah merupakan jalan yang difungsikan

    hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda 2. Tipe jembatan yang digunakan saat

    ini adalah rangka busur baja tipe A Half Through Arch.

  • 21

    Gambar 2. 15 Proses konstruksi jembatan Muara Teweh-Jingah

    (sumber: Hidayat, 2019)

    2.8 Jenis-Jenis Jembatan Busur

    Seperti jembatan lainnya, jembatan busur juga memiliki jenis-jenis yang

    diklasifikasikan dengan beberapa jenis (O’Conor 1971). Dimana dalam beberapa

    kasus dapat di klasifikasikan berdasar pengaturan strukturalnya, dll.

    a) Menurut posisi relatif dek kendaraan

    a. Deck arch bridges

    Jembatan busur tipe deck arch, adalah jembatan yang memiliki lantai

    kendaraan diatas puncak (crown) busur itu sendiri sehingga transfer beban langsung

    disalurkan melalui sprandel ke pelengkung. Jembatan jenis ini dapat menahan gaya-

    gaya dalam aksial dan lentur yang terjadi akibat beban lalu lintas diatasnya.

    Jembatan jenis ini adalah tipe busur yang ideal digunakan untuk melintasi viaduk

    dengan konstruksi batu gunung atau beton. Jarak antara lantai kendaraan dan busur

    disebut dengan sparandel. Pemilihan jembatan ini juga berdasar dari jenis tanah

    yang cukup untuk mengakomodasi perletakan jepit pada jembatan.

    Gambar 2. 16 Deck arch bridge

    (sumber: Chen dan Duan,2014)

  • 22

    b. Through arch bridges

    Jembatan busur tipe Through arch bridge adalah jembatan yang memiliki

    lantai kendaraan yang berada diantara springline busur. Secara umum gaya dari

    girder jembatan disalurkan ke busur melalui hanger dengan menggunakan kabel/tie

    rod. Jembatan jenis ini biasanya dipilih berdasar kondisi tanah eksisting yang

    buruk. Girder dari jembatan biasanya menggunakan steel box girder atau

    prestressed concrete girder, tergantung dari kekakuan dalam memikul beban yang

    terjadi.

    Gambar 2. 17 Through arch bridge

    (sumber: Chen dan Duan, 2014)

    c. A-Half – Through arch bridges

    Jembatan busur tipe A-Half through arch, adalah jembatan yang memiliki

    dek yang terletak diantara ketinggian busur. Dimana setengah busur terletak di atas

    dek jembatan dan dibawah dek jembatan sehingga lantai kendaraan pada bentuk

    busur ini berada diantara puncak dari busur dan kaki busur. Pada kasus seperti ini

    sering dilakukan modifikasi dengan penambahan struktur setengah busur pada

    bagian bawah jembatan sebagai pengaku dari busur utama jembatan.

    Gambar 2. 18 A Half Through Arch

    (sumber: Chen dan Duan, 2014)

  • 23

    Gambar 2. 19 Deck arch dan A half through arch (jembatan Komagata, Tokyo)

    (sumber: Lin, 2017)

    Gambar 2. 20 A through arch, jembatan Kachidoki-Bashi, Tokyo)

    (sumber: Lin,2017)

    b) Menurut perletakan

    Menurut buku bridge engineering handbook second edition, fundamental

    2014, jembatan busur dapat dikasifikasikan menjadi beberapa jenis perletakan

    antara lain :

    a. Three-hinged arch

    b. Two-hinged arch

    c. Multi-hinged arch

    d. Fixed arch

    Gambar 2. 21 (a) three hinged arch, (b) two hinged arch, (c) Fixed arch

    (sumber: teruhiko, 2017)

  • 24

    Gambar 2. 22 Multi-hinged arch

    (sumber: Teruhiko, 2017)

    c) Menurut pengaturan hanger

    Menurut buku bridge engineering handbook second edition, Fundamental

    2014, jembatan busur dapat diklasifikasikan berdasar pengaturan hanger, dengan

    beberapa tipe antara lain:

    a. Vertical-hanger arch

    b. Nielsen arch

    c. Network arch

    Gambar 2. 23 Klasifikasi jembatan busur berdasar pengaturan hanger (a) vertical-hanger arch

    bridge, (b) nielsen arch bridge, (c) network arch bridge,

    (sumber: Bridge engineering handbook second edition, fundamentals, 2014)

    d) Menurut rib form

    Menurut buku bridge engineering handbook second edition, Fundamental

    2014, jembatan busur dapat diklasifikasikan berdasar rib form busur dengan

    beberapa tipe antara lain :

    a. Paralel-rib arch bridge

    b. Single-rib arch bridge

    c. Open arch bridge

    d. Backet-handle-like arch bridge

  • 25

    Gambar 2. 24 Klasifikasi jembatan busur berdasar rib form (a) paralel-rib arch bridge, (b) single-

    rib arch bridge, (c) open arch bridge dan (d) basket-handle-like arch bridge

    (sumber: Bridge engineering handbook second edition, fundamentals, 2014)

    2.9. Tata Cara Pemilihan Bentuk Busur

    Sebelum melakukan proses preliminary design terhadap bentuk busur yang

    akan diterapkan pada saat proses konstruksi, maka ada beberapa hal yang perlu

    dipertimbangkan antara lain sebagai berikut :

    a) Kondisi Geologi Tanah Dasar

    Ditinjau dari segi geologi tanah dasar dari jembatan yang akan dibangun

    maka terdapat beberapa pertimbangan antara lain sebagai berikut :

    a. Tebing yang memiliki ketinggian yang curam, tinggi serta kondisi tanah

    yang bagus maka lebih cocok mengguanakn tipe busur dengan lantai

    kendaraan diatas (deck arch)

    b. Bila kaki busur dari jembatan yang dikehendaki terendam air, maka

    jembatan yang cocok digunakan adalah A Half Through arch

    c. Kondisi tanah yang kurang baik, untuk menerima gaya lateral sebaiknya

    menggunakan jembatan jenis A Half Through Arch.

    b) Bentang Jembatan

    Kondisi panjang rentang jembatan menentukan tipe jembatan yang akan

    digunakan, berikut ini beberapa pertimbangan antara lain :

    a. Bentang jembatan 60-250 meter, sebaiknya menggunakan busur dinding

    penuh (box girder) atau rangka.

    b. Bentang jembatan 250-500 meter, sebaiknya menggunakan tipe rangka pada

    busur.

  • 26

    c) Tingkat Beban

    Penentuan kelas jembatan juga berpengaruh terhadap bentuk busur yang

    digunakan, berikut ini beberapa pertimbangan pemilihan bentuk busur berdasar

    tingkat beban.

    a. Apabila beban yang ditopang oleh jembatan besar, maka dapat

    menggunakan busur rangka baja.

    b. Apabila beban yang ditopang oleh jembatan tidak terlalu besar, maka dapat

    menggunakan busur dengan tipikal dinding penuh atau profil box.

    d) Keindahan/estetika

    Secara fungsi/serviceability jembatan tidak hanya mengakomodir sebagai

    alat penunjang transportasi, namun juga harus memberikan estitka yang baik

    sehingga bisa menjadi landmark. Berikut ini beberapa pertimbangan pemilihan

    bentuk busur berdasar keindahan/ estetika:

    a. Busur dengan penampang tengah lebih kecil memberikan kesan langsing

    b. Penambang busur yang berupa dinding penuh memberikan kesan tenang

    c. Struktur busur yang berupa rangka baja kantilever memberikan kesan

    megah pada jembatan.

    e) Clearance Jembatan

    Ditinjau dari clearance jembatan, terbagi menjadi dua antara lain clearance

    diatas jembatan utama dan clearance dibawah jembatan. Clearance diatas

    permukaan jembatan adalah untuk mengakomodasi ketinggian dari kendaraan yang

    akan melintasi jembatan. Sedangkan clearance dibawah jembatan secara umum

    diukur dari permukaan air dibawah jembatan (atau tanah,jika jembatan tidak

    menyebrangi sungai), ke bagian bawah struktur jembatan. Dalam merencanakan

    jembatan harus meninjau mean highest high water (MHHW) sebagai pengukuran

    clearance yang paling konservatif. Selain itu, perhitungan yang bisa dilakukan

    dalam merencanakan clearance jembatan adalah keamanan jembatan terhadap lalu

    lintas pelayaran dibawahnya (Tehuriko, 2017).

  • 27

    2.10. Elemen Struktur Atas (Superstructure) Jembatan Busur

    Terdapat beberapa elemen pendukung yang menyusun struktur atas

    (superstucture) dari jembatan busur A-Half Through Arch antara lain sebagai

    berikut:

    a. Trotoar

    b. Tiang railing dan pipa sandaran

    c. Lantai kendaraan jembatan

    d. Gelagar memanjang

    e. Gelagar melintang/diafragma

    f. Ikatan angin/Ikatan lateral

    g. Tali penggantung/hanger

    h. Rangka utama (rangka busur)

    i. Tumpuan/bearing

    j. Sambungan

    2.11. Karakteristik material

    Jembatan tipe A-Half Through Arch merupakan jembatan rangka yang

    memiliki material penyusun seperti baja dan beton, tentunya dalam merencanakan

    sebuah jembatan penting untuk mengetahui perilaku material tersebut terhadap

    hasil pengujian yang dipersyaratkan.

    2.11.1. Baja (Steel)

    Kriteria perencanaan struktur adalah memenuhi syarat kekuatan, kekakuan

    dan daktilitas. Kekuatan terkait dengan besarnya tegangan yang mampu di pikul

    tanpa mengalami kerusakan, baik berupa deformasi (yielding) atau fracture

    (terpisah). Parameternya berupa tegangan leleh dan tegangan ultimate. Faktor

    kekakuan adalah besarnya gaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit

    deformasi, parameternya adalah modulus elastisitas. Faktor daktilitas terkait

    dengan besarnya deformasi sebelum keruntuhan (failure) terjadi, satu faktor

    penting dalam perencanaan struktur dengan pembebanan tak terduga atau sulit

    diprediksi (gempa atau angin). Maka dari itu dengan parameter kekuatan, kekakuan

  • 28

    dan daktilitas digunakan untuk pemilihan material konstruksi maka dapat dengan

    mudah ditentukan bahwa material baja adalah material yang unggul dibandingkan

    beton atau kayu. Selain itu baja merupakan produk turunan industri sehingga

    kualitas produk material dapat dikontrol sebaik mungkin.

    Secara umum, karakteristik material baja dapat diukur berdasar kurva

    engineering stress-strain adalah kurva σ-ε yang umum dipakai dalam perencanaan

    rekayasa. Kurva didapat melalui konversi data pengujian (P-Δ) dengan data

    geometri (A dan L) kondisi awal. Dari kurva tersebut maka dapat ditentukan

    parameter berikut ini:

    Gambar 2. 25 Parameter penting kurva σ-ε

    (sumber: diktat struktur baja UGM, 2016)

    Gambar 2. 26 Kurva stress-strain beberapa jenis material

    (sumber: Barker, 2007)

  • 29

    Kurva engineering stress-strain, selanjutnya disebut kurva σ-ε atau kurva

    tegangan-regangan saja. Pada kurva tersebut, segmen OA berupa garis lurus,

    kemiringannya adalah modulus elastis, E= σ-ε, atau konstanta numerik yang

    menunjukkaan besarnya kekakuan elastis. Kondisi elastis jika deformasinya tidak

    permanen, dapat kembali ke kondisi awalnya jika beban dihilangkan. Oleh karena

    itu ,umumnya batas elastis disamakan dengan batas proporsional. Jika batas elastis

    tercapai,selanjutnya kondisinya menjadi plastis, atau inelastis, dimana jika terjadi

    deformasi akan bersifat permanen. Kurva σ-ε berasal dari hasil pengujian dimana

    titik regangan lelehnya tidak jelas. Oleh sebab itu, untuk menentukan perlu dibuat

    garis bantu baru sejajar OA, offset sebesar 0,2% (0,002), sampai memotong kurva

    σ-ε dititik fy, sehingga pada titik inilah yang disepakati sebagai tegangan leleh atau

    kuat leleh.

    Jika diperhatikan, karakter perilaku material baja konstruksi pada dasarnya

    mirip, bahkan untuk kondisi elastis adalah sama. Perbedaan baru akan terlihat

    ketika kondisi inelastis mulai terjadi, yaitu terjadinya leleh (yielding). Oleh sebab

    itu perbedaan mutu baja ditentukan oleh kuat leleh (fy) dan kuat tarik (fu)

    materialnya. Fenomena leleh (yield) berperan penting pada daktilitas struktur, dan

    dapat menyebabkan redistribusi tegangan saat inelastis. Oleh sebab itu pemakaian

    baja mutu tinggi, yang terbatas kemampuan lelehnya, harus dihindari dipakai pada

    bagian yang beresiko tinggi yang mengalami inelastis (gempa). Maka dari itu salah

    satu alasan mengapa analisis plastis dibatasi untuk baja mutu sampai 450 MPa saja

    (AISC 2010 dan AASHTO 2017).

    Gambar 2. 27 Kurva σ-ε tipikal baja konstruksi

    (sumber: engrzohaibahmed.com)

  • 30

    Untuk semua jenis baja, modulus elastis (E) adalah 200.000 MPa, dan

    tangent modulus kondisi strain-hardening, adalah sekitar 1/30 an kali kondisi

    elastisitasnya, yaitu 6700 MPa. Kurva σ-ε mewakili baja mutu biasa, dimana

    kondisi leleh terlihat jelas, sebagai segmen horisontal pada kurva. Kondisi elastis

    dibatasi sampai tegangan leleh, fy. Jika ditentukan kondisi tegangannya konstan,

    hanya ada pertambahan regangan sampai mulai terjadi strain-hardening. Jika beban

    diteruskan maka tegangannya akan meningkat sampai leleh maksimum, dan disebut

    kuat tarik atau kuat batas (ultimate) fu.

    Adapun sifat mekanis dari material baja dalam perencanaan harus

    memenuhi persyaratan minimum sesuai yang disajikan pada tabel dibawah ini

    (RSNI T-03-2005).

    Tabel 2. 3 Sifat mekanis baja

    Jenis Baja Tegangan Putus minimum,

    fu (Mpa)

    Tegangan leleh

    minimum, fy (Mpa)

    Peregangan minimum

    (%)

    BJ 34 340 210 22

    BJ 37 370 240 20

    BJ 41 410 250 18

    BJ 50 500 290 16

    BJ 55 550 410 13

    Sumber : RSNI T-03-2005

    Tabel 2. 4 Sifat mekanis baja lainnya

    Indikator Nilai

    Modulus elastisitas (E) 200.000 Mpa

    Modulus geser (G) 80.000 Mpa

    Angka poisson () 0,3

    Koefisien pemuaian () 12 x 10-6 per C

    Sumber : RSNI T-03-2005

    2.11.2. Beton (Concrete)

    Beton (concrete) merupakan material konstruksi yang paling banyak

    digunakan di Indonesia. Material ini merupakan campuran agregat kasar serta

    agregat halus yang diikat oleh campuran komposisi kimia seperti semen.

    Penggunaan material beton banyak digunakan di Indonesia karena material yang

    tersedia di alam sangat melimpah. Secara umum, beton memiliki karakteristik

    memiliki daya tahan terhadap tekan sangat baik dan rendah terhadap tarik. Kuat

    tekan beton dapat bervariasi tergantung dari perbandingan campuran antara semen,

  • 31

    agregat kasar, agregas halus, dan air serta berbagai jenis campuran (admixures) dan

    juga lama serta kualitas perawatan. Faktor lain adalah FAS (faktor air semen)

    merupakan faktor utama didalam menentukan kekuatan beton. Untuk beton normal,

    maka kekuatan uji yang tersedia disepakati sebesar 80 % dari kekuatan uji yang

    terjadi (ACI,2014).

    Gambar 2. 28 Proses transfer gaya yang terjadi pada beton

    (sumber: civilengineeringforum.me)

    Dalam uji tarik beton itu sendiri biasanya sekitar 10 % sampai dengan 20 %

    dari kuat tekan tersedia, dimana proses pengujian tarik dilakukan dengan tes

    pembelahan silinder. Sedangkan modulus elastisitas dari beton juga tergantung dari

    mutu beton. Modulus elastisitas beton juga berpengaruh terhadap umur beton, sifat-

    sifat dari agregat dan semen, kecepatan pembebanan, jenis dan ukuran benda uji.

    Untuk lebih jelasnya, maka karakteristik beton biasanya diimplementasikan dalam

    bentuk diagram tipikal regangan beton dengan modulus awal beton secara praktis

    dianggap linear atau disebut dengan tangent modulus.

    Gambar 2. 29 Diagram tipikal tegangan dan regangan uji tarik dan tekan beton

    (sumber: hindawi.com)

    Modulus elastis dari beton biasanya terjadi pada 25% sampai 50 % dari

    kekuatan hancur beton (fc), sehingga diambil sebagai modulus elastis beton, setelah

  • 32

    mendekati 70 % kekuatan hancur (fc), maka material beton memiliki banyak

    kehilangan kekuatannya sehingga diagram tegangan dan regangan tidak linear lagi.

    Pada beban batas, terjadi retak yang searah beban dengan benda uji silinder akan

    hancur dan selanjutnya kekuatan beton akan turun secara tajam dan regangan batas

    umurnya berkisar antara 0,003 sampai 0,004.

    2.12. Filosofi Desain (Metode LRFD/ Load Factor Resistance Design)

    Konsep Load Resistance Factor Design (LRFD), pada struktur baja

    menyatakan bahwa beban yang dipakai pada LRFD adalah beban yang telah

    dikalikan dengan suatu load factor tertentu yang didapatkan dari hasil penelitian

    secara statistik serta telah dijadikan peraturan/code sesuai dengan instansi yang

    berwenang. Penggunaan faktor beban tentunya tergantung dari tingkat resiko dari

    beban tersebut sehingga faktor beban nilainya selalu ≥ 1,0. Demikian juga dengan

    kekuatan dari material/ struktur itu perlu dilakukan reduksi terhadap kekuatan

    material/ struktur. Pengurangan kekuatan material disebabkan karena

    ketidaksempurnaan proses fabrikasi/ instalasi dsb. Maka dari itu, faktor reduksi

    kekuatan material nilainya selalu < 1,0. Adapun analisa struktur dapat dilakukan

    secara elastis maupun plastis. Namun tetap merujuk kondisi keadaaan batas struktur

    (ultimate) berupa : kondisi leleh, tekuk, dan putus/fraktur. Adapun perencanaan

    struktur dan komponen-komponen dilakukan dengan memenuhi persyaratan

    sebagai berikut :

    ϕRn ≥ Σ ηi γi Qi ........................................................................................... (2.1)

    Dimana :

    Rn` : adalah kuat nominal dari struktur, diambil dari skenario kegagalan

    (kondisi ultimate) yang paling mungkin terjadi.

    ϕ : faktor keamanan untuk kekuatan nominal struktur (faktor reduksi struktur)

    Σ ηi γi Qi: adalah kombinasi jenis beban yang dipikul oleh struktur rencana.

    Dimana faktor keamanan diberlakukan baik terhadap beban maupun

    kekuatan struktur.

  • 33

    2.13. Pembebanan Jembatan

    Pembebanan pada jembatan harus direncanakan sesuai dengan peraturan

    yang berlaku, adapun standar pembebanan yang digunakan adalah SNI 1725:2016

    dan disesuaikan dengan AASHTO LRFD Bridge Design Spesifications 8th Edition

    2017. Pada perencanaan jembatan, pembebanan harus memperhitungkan aksi

    beban rencana yang digabungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan

    kombinasi perencanaan yang diisyaratkan dalam perencanaan jembatan. Aksi yang

    terjadi pada jembatan akan memberikan gaya-gaya dalam pada sebuah struktur

    sehingga dengan hasil reaksi tersebut dapat diperkirakan dimensi rencana yang

    ekonomis dari jembatan sesuai dengan beban yang bekerja. Maka dari itu dalam

    penentuan faktor pembebanan dan kombinasi dari pembebanan harus memenuhi

    persamaan (SNI 1725:2016 pasal 5) :

    Q = Σ ηi γi Qi ............................................................................................... (2.2)

    Dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

    Untuk beban-beban dengan nilai maksimum γi , maka faktor pengubah

    respon digunakan sebesar:

    ηi =ηD ηR ηI ≥ 0,95 ...................................................................................... (2.3)

    Untuk beban-beban dengan nilai minimum γi maka faktor pengubah reson

    digunakan sebesar:

    ηi = 1

    ηD

    ηR

    ηI

    ≤ 1................................................................................................ (2.4)

    Dimana:

    ηi : adalah faktor pengubah respon, termasuk daklititas, redudansi dan

    kepentingan operasional

    ηD : adalah faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas

    ηR : adalah faktor pengubah respons berkaitan dengan redudansi

    ηI : adalah faktor pengubah respons berkaitan dengan daktilitas

    γi : adalah faktor beban

    Qi : adalah gaya yang bekerja pada jembatan

  • 34

    1. Daktilitas

    Jembatan harus diporsi agar perilaku deformasi inelastis pada keadaan batas

    ultimit dan ekstrim sebelum mengalami kegagalan. Perangkat disipasi energi

    gempa dapat digunakan untuk menggantikan sistem pemikul beban gempa, maka

    dari perhitungan faktor pengubah respon sebaiknya dipertimbangkan pada keadaan

    batas ultimit, maka (SNI 1725:2016):

    ηD = 1,05 (untuk komponen tidak daktail dan sambungan)

    ηD = 1,00 (untuk perencanaan konvensional serta pedetailan yang mengikuti

    peraturan)

    ηD = 0,95 (untuk komponen-komponen dan sambungan yang telah dilakukan

    tindakan tambahan untuk meningkatkan daktilitas lebih dari peraturan

    yang diisyaratkan pada peraturan ini)

    ηD = 1,00 (untuk keadaan batas lain yang termasuk keadaan batas ekstrim/gempa)

    2. Redudansi

    Jenis pembebanan yang terjadi secara terus menerus harus digunakan

    kecuali dengan alasan kuat yang mengharuskan untuk tidak menggunakan struktur

    tersebut. Untuk keadaaan batas ultimit maka:

    ηR = 1,05 (untuk komponen no redundan)

    ηR = 1,00 (untuk komponen dengan redudansi konvensional)

    ηR = 0,95 (untuk komponen dengan redudansi melampaui kontiunitas girder

    dan penampang torsi tertutup)

    ηR = 1,00 (untuk keadaan batas lain yang termasuk keadaan batas ekstrim/

    gempa)

    3. Kepentingan operasional

    Dalam menentukan jenis kepentingan operasional harus dilakukan oleh

    otoritas yang berwenang terhadap jaringan transportasi dan mengetahui kebutuhan

    operasional:

  • 35

    Untuk keadaan batas ultimit maka:

    ηI = 1,05 (untuk jembatan penting atau sangat penting)

    ηI = 1,00 (untuk jembatan tipikal)

    ηI = 0,95 (untuk jembatan kurang penting)

    ηI = 1,00 (untuk jembatan kurang penting)

    2.13.1. Beban Permanen

    Berdasar AASHTO 2017, beban permanen adalah beban penyusun dari

    jembatan yang sifatnya tetap atau tidak berubah, beban permanen termasuk

    didalamnya adalah komponen struktur, beban mati tambahan/utilitas, wearing

    surface/lapisan permukaan jalan, overlay aspal jembatan, dan rencana pelebaran

    jembatan (planned widenings). Berat dari bagian tersebut adalah massa dikalikan

    dengan percepatan gravitasi. Kerapatan massa memberikan unit kg/m3 dan kg/mm.

    untuk konversi satuan menjadi N/m3 maka kerapatan massa harus dikalikan dengan

    percepatan gravitas g = 9,8066 m/sec2 dan satuan akan menjadi kg m/sec2 sebagai

    satuan newton. Adapun besarnya kerapatan massa material secara umum dijelaskan

    pada tabel 2.4.

    Tabel 2. 5 Berat jenis permanen

    No Bahan Berat isi

    (kN/m3)

    Kerapatan Massa

    (Kg/m3)

    1 Lapisan permukaan beraspal (bituminous

    wearing coarse) 22 2245

    2 Besi Tuang (cast iron) 71 7240

    3 Timbunan tanah dipadatkan (compacted sand,

    silt or clay) 17,2 1755

    4 Kerikil dipadatkan (rolled gravel, macadam

    or ballast) 18,8-22,7 1920-2315

    5 Beton aspal (asphalt concrete) 22 2245

    6 Beton ringan (light concrete) 12,25-19,60 1250-2000

    7 Beton F'c ≤ 35 MPa 2320

    35 < F'c ≤ 150 MPa 2240 + 2,29 F'c

    8 Baja (steel) 78,5 7850

    9 Kayu (wood) 7,8 800

    10 Kayu keras (hard wood) 11,0 1125

    Sumber: SNI 1725:2016

  • 36

    2.13.1.1. Berat Sendiri (MS)

    Berdasar SNI 1725:2016, berat sendiri adalah berat bagian dari elemen-

    elemen struktural lain yang dipikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat dari

    material jembatan yang merupakan elemen struktural jembatan. Adapun elemen

    nonstruktural jembatan juga termasuk dalam pembebanan ini. Berikut ini faktor

    pembebanan yang digunakan terhadap berat sendiri disajikan pada tabel 2.5.

    Tabel 2. 6 Faktor beban untuk berat sendiri

    Tipe

    Beban Bahan

    Faktor Beban (γMS)

    Keadaaan Batas Layan

    (γSMS)

    Keadaan Batas Ultimit (γUMS)

    Biasa Terkurangi

    Tetap

    Baja 1,00 1,10 0,90

    Aluminium 1,00 1,10 0,90

    Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85

    Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75

    Kayu 1,00 1,40 0,70

    Sumber: SNI 1725:2016

    2.13.1.2. Beban Mati Tambahan/ Utilitas (MA)

    Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu

    beban pada jembatan yang merupakan elemen nonstruktural, dan besarnya dapat

    berubah selama umur jembatan. semua jembatan harus direncanakan untuk bisa

    memikul beban tambahan yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan

    kembali di kemudian hari kecuali ditentukan oleh instansi berwenang. Selanjutnya

    pengaruh alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada jembatan harus

    dihitung seakurat mungkin. Berat pipa saluran air bersih, saluran air kotor dan

    lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh sehingga dapat

    diperhitungkan kondisi paling berbahaya pada jembatan. berikut ini faktor

    pembebanan untuk beban mati tambahan/ utilitas (MA) disajikan dalam tabel 2.6.

    Tabel 2. 7 Faktor beban untuk beban mati tambahan/utilitas

    Tipe

    Beban Bahan

    Faktor Beban (γMA)

    Keadaaan Batas Layan (γSMA)

    Keadaan Batas Ultimit

    (γUMA)

    Biasa Terkurangi

    Tetap Umum 1,00(1) 2,00 0,70

    Khusus (terawasi) 1,00 1,40 0,80

    Catatan (1) : Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas

    Sumber: SNI 1725:2016

  • 37

    2.13.1.3. Beban Tetap Pelaksanaan

    Beban tetap pelaksanaan adalah beban yang disebabkan oleh metode dan

    urutan pelaksanaan pekerjaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan

    terhadap beban aksi lainnya. Maka dari itu beban ini harus dikombinasikan terhadap

    pengaruh beban yang terjadi. Berikut ini faktor pembebanan beban tetap

    pelaksanaan yang disajikan dalam tabel 2.7.

    Tabel 2. 8 Faktor beban akibat pengaruh pelaksanaan

    Tipe

    Beban

    Faktor Beban (γPL)

    Keadaaan Batas Layan (γSPL) Keadaan Batas Ultimit (γUPL)

    Biasa Terkurangi

    Tetap 1,00 1,00 1,00

    Sumber: SNI 1725:2016

    2.13.2. Beban Lalu Lintas

    Beban lalu lintas pada perencanaan jembatan terdiri dari beban lajur “D”

    dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh jembatan lebar kendaraan

    dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu iring-

    iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja

    tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri

    Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 gandar yang

    ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar

    terdiri atas dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi

    pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per lajur lalu lintas

    rencana.

    Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan

    jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T”

    digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. Dalam keadaan tertentu

    beban “D” yang nilainya telah diturunkan atau dinaikkan dapat digunakan kembali.

    2.13.2.1. Beban Lajur “D” (TD)

    Beban lajur “D” terdiri atas beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan

    beban garis (BGT). Dalam menentukan nilai itensitas beban pada “D”, terbagi

  • 38

    menjadi dua yaitu beban terbagi rata (BTR) yang mempunyai itensitas q kPa dengan

    besaran q tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu sebagai berikut:

    jika L ≤ 30 m: q = 9,0 kPa………………………………………………....(2.5)

    jika L > 30 m: q = 9,0 (0,5+15

    L) kPa ........................................................... (2.6)

    Dimana:

    q : adalah itensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang

    jembatan (kPa)

    L : adalah panjang total jembatan yang dibebani (m)

    Sedangkan beban garis terpusat (BGT) dengan itensitas p kN/m harus

    ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. besarnya itensitas

    p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada

    jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam

    arah melintang jembatan pada bentang lainnya. Berikut ini ilustrasi beban “D” pada

    gambar 2.33.

    Gambar 2. 30 Ilustrasi beban lajur "D"

    (sumber: Penulis)

    Distribusi beban dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh

    momen geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan. Hal ini dilakukan

    dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar balok

    (tidak termasuk parapet, kerb dan trotoar) dengan itensitas 100 % untuk panjang

    bentang terbebani. Adapun faktor beban yang digunakan untuk beban lajur “D”

    yang disajikan dalam tabel 2.8.

  • 39

    Tabel 2. 9 Faktor beban untuk lajur "D"

    Tipe

    Beban Jembatan

    Faktor Beban (γTD)

    Keadaaan Batas Layan (γSTD) Keadaan Batas Ultimit

    (γUTD)

    Transien Beton 1,00 1,80

    Boks Girder Baja 1,00 2,00

    Sumber: SNI 1725:2016

    2.13.2.2. Beban Truk “T” (TT)

    Beban truk “T” adalah beban lalu lintas yang bekerja pada struktur lantai.

    Beban truk “T” menurut peraturan SNI 1725:2016 tidak dapat digunakan

    bersamaan dengan beban “D”. penggunaan beban truk hanya terbatas untuk

    perencanaan pelat lantai. Adapun faktor beban untuk beban “T” disajikan dalam

    tabel berikut ini.

    Tabel 2. 10 Faktor beban untuk beban "T"

    Faktor beban untuk beban lajur "T"

    Tipe Beban Jembatan

    Faktor Beban (γTT)

    Keadaaan batas layan

    (γSTT) Keadaan batas ultimit (γUTT)

    Transien Beton 1,00 1,80

    Boks Girder Baja 1,00 2,00

    Sumber: SNI 1725:2016

    Gambar 2. 31 Pembebanan truk "T" (500 kN)

    (Sumber: SNI 1725:2016)

  • 40

    Besarnya pembebanan truk “T” pada struktur lantai yang terdiri atas truk

    semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat gandar seperti pada gambar xx.

    Berat tiap-tiap gandar disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang

    merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai, dimana jarak antar

    gandar dapat dimodifikasi dari 4 m sampai 9 m.

    Adapun posisi penyebaran dari pembebanan truk “T” dalam arah melintang

    dapat diletakkan pada satu jalur lalu lintas rencana. Sedangkan untuk jembatan

    bentang panjang dapat diletakkan lebih dari satu lalu lintas rencana. Ban dari

    kendaraan yang menyentuh permukaan struktur pelat lantai terdiri dari satu atau

    dua yang diasumsikan mempunyai bentuk persegi panjang dengan panjang 750 mm

    dan lebar 250 mm. tekanan ban harus diasumsikan terdistribusi secara merata pada

    permukaan bidang kontak.

    2.13.2.3. Faktor Beban Dinamis (FBD)

    Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan

    yang bergerak pada jembatan. Besarnya FBD tergantung pada frekuensi dasar dari

    suspensi kendaraan yang biasanya antara 2 Hz sampai 5 Hz untuk kendaraan berat,

    dan frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan, FBD dapat

    dinyatakan sebagai beban statis ekivalen. Besarnya BGT dari pembebanan lajur

    “D” dan beban roda dari pembebanan truk “T” harus cukup untuk memberikan

    terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan dikali FBD.

    Untuk pembebanan “D” FBD merupakan fungsi panjang bentang ekivalen

    seperti tercantum pada gambar 2.33. Untuk bentang tunggal panjang bentang

    akuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang

    menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus :

    LE = √𝐿𝑎𝑣𝐿𝑚𝑎𝑥 ........................................................................................... (2.7)

    Dimana :

    Lav : adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang

    disambungkan secara menerus

    Lmax : adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang

    disambungkan secara menerus

  • 41

    Gambar 2. 32 Faktor beban dinamis untuk beban lajur "D"

    (Sumber: SNI 1725:2016)

    Sedangkan untuk pembebanan truk “T” secara teoritis nilai FBD dapat

    diambil 30 %. Nilai FBD yang dihitung digunakan pada seluruh bagian bangunan

    yang berada di atas permukaan tanah.

    2.13.2.4. Gaya Rem (TB)

    Gaya rem harus ditempatkan di semua lajur rencana yang dimuati sesuai

    dengan lalu lintas dengan arah yang sama. Gaya ini harus diasumsikan bekerja

    secara horizontal pada jarak 1800 mm diatas permukaan jalan pada masing-masing

    arah longitudinal dan dipilih yang paling menentukan. Untuk jembatan yang dimasa

    depan akan dirubah menjadi satu arah, maka semua jalur rencana harus dibebani

    secara simultan pada saat menghitung besarnya gaya rem. Gaya rem tidak boleh

    bekerja bersamaan dengan beban dinamis. Adapun gaya rem yang harus diambil

    yang terbesar dari:

    a. 25 % dari berat gandar truk desain atau,

    b. 5 % dari berat trus rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR

    Gambar 2. 33 Beban rem yang terjadi pada struktur lantai kendaraan

    (sumber: Gongkang, 2013)

  • 42

    2.13.2.5. Gaya Sentrifugal (TR)

    Untuk tujuan menghitung gaya radial atau efek guling dari beban roda,

    pengaruh gaya sentrifugal pada beban hidup harus diambil sebagai hasil kali dari

    berat gandar truk rencana dengan faktor C sebagai berikut :

    C=f V2

    gRI........................................................................................................ (2.8)

    Keterangan:

    V : adalah kecepatan rencana jalan raya (m/detik)

    f : adalah faktor dengan nilai 4/3 untuk kombinasi beban selain

    keadaaan batas fatik 1,0 untuk keadaan batas fatik

    g : adalah percepatan gravitasi 9,8 (m/detik2)

    RI : adalah jari-jari kelengkungan lajur lalu lintas (m)

    Gaya sentrigal harus diberlakukan secara horisontal pada jarak ketinggian

    1800 mm diatas permukaan jalan. Dalam hal ini, perencana harus menyediakan

    mekanisme untuk meneruskan gaya sentrifugal dari permukaan jembatan menuju

    struktur bawah jembatan. pengaruh superelevasi yang mengurangi momen guling

    akibat gaya sentrifugal akibat beban roda dapat dipertimbangkan dalam

    perencanaan.

    Gambar 2. 34 Generation sentrifugal force

    (sumber: Gongkang, 2013)

    2.13.2.6. Beban Pejalan Kaki (TP)

    Semua komponen trotoar yang lebih besar dari 600 mm harus direncanakan

    untuk memikul beban pejalan kaki dengan itensitas 5 kPa dan dianggap bekerja

    secara bersamaan dengan beban kendaraan pada masing-masing lajur kendaraan.

  • 43

    Jika trotoar dapat dinaiki maka beban pejalan kaki tidak perlu dianggap bekerja

    secara bersamaan dengan beban kendaraan. Jika ada kemungkinan trotoar berubah

    fungsi di masa depan menjadi lajur kendaraan, maka beban hidup kendaraan harus

    diterapkan pada jarak 250 mm dari tepi dalam parapet untuk perencanaan

    komponen jembatan lainnya. Dalam hal ini, faktor beban dinamis tidak perlu

    dipertimbangkan.

    Gambar 2. 35 Gaya sentrifugal dari kendaraan pada jembatan akibat superelevasi

    (sumber: Gongkang, 2013)

    2.13.2.7. Beban Akibat Tumbukan Kendaraan (TC)

    Fungsi utama dari railing adalah memberikan keamanan kepada pengguna

    jalan. Seluruh sistem pengaman lalu lintas, railing, dan railing kombinasi secara

    struktur dan geometrik harus tahan terhadap benturan, adapun dalam pemilihan

    mekanisme beban dari railing dari jembatan dipilih berdasar kinerja dari jembatan

    antara lain:

    a. Kinerja 1 : Digunakan pada jalan dengan kecepatan rencana rendah dan

    volume kendaraan yang sangat rendah, jalan lokal dengan

    kecepatan rencana rendah.

    b. Kinerja 2 : Digunakan pada jalan lokal dan kolektor dengan kondisi baik

    seperti jumlah kendaraan berat yang sedikit dan rambu

    kecepatan sedikit.

  • 44

    c. Kinerja 3 : Digunakan pada jalan arteri dengan kecepatan rencana tinggi

    dengan campuran kendaraan berat yang sangat rendah dan

    kondisi jalan yang baik.

    d. Kinerja 4 : Digunakan pada jalan arteri dengan kecepatan rencana tinggi,

    jalan bebas hambatan, jalan ekspress, dan jalan antar kota

    dengan campuran truk dan kendaraaan berat.

    e. Kinerja 5 : Digunakan sesuai dengan kriteria 4 dan jika kendaraan berat

    memiliki porsi besar terhadap lalu lintas harian atau saat

    kondisi jalan mengharuskan kriteria kinerja railing yang

    tinggi.

    f. Kinerja 6 : Digunakan pada jalan yang dapat dilalui truk tipe tanker atau

    kendaraan dengan beban gravitasi yang cukup besar.

    Berikut ini beban rencana yang akibat tumbukan kendaraan pada railing

    jembatan disajikan pada tabel 2.10.

    Tabel 2. 11 Kriteria kinerja railing dan kinerja terhadap tumbukan

    Karakteristik

    Kendaraan Mobil

    Truk

    Pickup

    Satu Unit

    Truk Van

    Truk Trailer

    Tipe Van

    Truk Trailer Tipe

    Traktor-Tanker

    W (N) 7000 8000 20000 80000 220000 355000 355000

    B (mm) 1700 1700 2000 2300 2450 2450 2450

    G (mm) 550 550 700 1250 1630 1850 2050

    Sudut tumbuk (θ) 20 20 25 15 15 15 15

    Kriteria kinerja Kecepatan (km/jam)

    KK-1 50 50 50 N/A N/A N/A N/A

    KK-2 70 70 70 N/A N/A N/A N/A

    KK-3 100 100 100 N/A N/A N/A N/A

    KK-4 100 100 100 80 N/A N/A N/A

    KK-5 100 100 100 N/A N/A 80 N/A

    KK-6 100 100 100 N/A N/A N/A 80

    Sumber: SNI 1725:2016

    2.13.3. Beban Aksi Lingkungan

    Beban aksi lingkungan adalah pengaruh temperatur, angin, banjir, gempa

    dan penyebab alamiah lainnya. Besarnya beban rencana yang diberikan dalam

    standar SNI 1725:2016 adalah berdasar analisis statistik dari kejadian-kejadian

    umum yang tercatat tanpa memperhitungkan hal khusus yang mungkin akan

    memperbesar pengaruh setempat.

  • 45

    2.13.3.1. Beban Angin

    Tekanan angin pada jembatan harus direncanakan dengan kecepatan angin

    angin dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam. Beban angin harus diasumsikan

    terdistribusi merata pada permukaan yang terekspos oleh angin. Luas area yang

    diperhitungkan adalah luas area dari semua komponen, termasuk sistem lantai dan

    railing yang diambil tegak lurus terhadap angin. Namun luasan yang tidak memberi

    kontribusi dapat diabaikan dalam perencanaan.

    Untuk jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari

    10000 mm diatas permukaan tanah atau permukaan air, kecepatan angin rencana,

    VDZ, harus dihitung dengan persamaan berikut:

    VDZ =2,5 V0 (V10

    VB) ln (

    Z

    Z0) ............................................................................. (2.10)

    Keterangan:

    VDZ : adalah kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)

    V10 : adalah kecepatan angin pada elevasi 10000 mm di atas permukaan

    tanah atau di atas permukaan air rencana (km/jam)

    VB : adalah kecepatan angin rencana yaitu 90 hingga 126 km/jam pada

    elevasi 1000 mm.

    Z : adalah elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau dari

    permukaan air dimana beban angin dihitung (Z > 10000 mm)

    Vo : adalah kecepatan gesekan angin, yang merupakan karakteristik

    meteorologi, sebagaimana ditentukan pada tabel 2.13, untuk berbagai

    macam tipe permukaan di hulu jembatan (km/jam)

    Zo : adalah panjang gesekan di hulu jembatan, yang merupakan karakterisik

    meteorologi.

    V10 dapat diperoleh dari :

    a. Grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang

    b. Survey angin pada lokasi jembatan

    c. Jika tidak ada data yang lebih baik, perencana dapat mengasumsikan V10 =

    VB = 90 s/d 126 km/jam.

  • 46

    Tabel 2. 12 Nilai V0 dan Z0 untuk berbagai variasi kondisi permukaan hulu

    Kondisi Lahan Terbuka Sub Urban Kota

    Vo (km/jam) 13,2 17,6 19,3

    Zo (mm) 70 1000 2500

    Sumber: SNI 1725:2016

    Berikut ini tekanan angin rencana (MPa) dapat ditetapkan dengan

    menggunakan persamaan sebagai berikut :

    PD=PB ( VDZ

    VB)

    2

    ............................................................................................ (2.11)

    Dimana :

    PB : adalah tekanan angin dasar seperti pada tabel 2.14.

    Tabel 2. 13 Tekanan Angin Dasar

    Komponen Bangunan Atas Angin Tekan (MPa) Angin Hisap (MPa)

    Rangka, Kolom, dan Pelengkung 0,0024 0,0012

    Balok 0,0024 N/A

    Permukaan Datar 0,0019 N/A

    Sumber: SNI 1725:2016

    Adapun gaya total beban angin tidak boleh diambil kurang dari 4,4 kN/mm

    pada bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur rangka dan

    pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.

    Beban angin pada struktur kendaraan juga harus diperhitungkan sebagai

    gaya-gaya yang akan berpengaruh pada struktur jembatan, dimana tekanan tersebut

    harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus dan

    bekerja 1800 mm diatas permukaan jalan. Adapun beban sudut serang pada

    kendaraan disajikan pada tabel 2.14.

    Tabel 2. 14 Komponen beban angin yang bekerja roda kendaraan

    Sudut Komponen Tegak Lurus Komponen Sejajar

    Derajat N/mm N/mm

    0 1,46 0,00

    15 1,26 0,18

    30 1,20 0,35

    45 0,96 0,47

    60 0,50 0,55

    Sumber: SNI 1725:2016

  • 47

    Gambar 2. 36 Ilustrasi beban angin pada kendaraan

    (sumber: Gongkang, 2013)

    Apabila jembatan dengan rasio panjang bentang terhadap lebar jembatan

    lebih besar dari 30 dianggap sebagai jembatan yang rentan terhadap pengaruh

    aeroelastik angin. Sehingga, jembatan harus mampu memikul beban garis

    memanjang jembatan yang mempresentasikan gaya angin vertikal ke atas sebesar

    9,6 x 10-4 MPa dikalikan lebar jembatan, termasuk parapet dan trotoar. Namun,

    gaya ini harus ditinjau hanya untuk keadaan Batas Kuat III dan Layan IV yang tidak

    melibatkan angin pada kendaraan, dan hanya ditinjau untuk kasus pembebanan

    dimana arah angin dianggap bekerja tegak lurus terhadap sumbu memanjang

    jembatan. gaya memanjang tersebut mempunyai titik tangkap pada seperempat

    lebar jembatan dan bekerja secara bersamaan dengan angin horizontal.

    Gambar 2. 37 Pengaplikasian tekanan angin vertikal

    (sumber: Gongkang, 2013)

  • 48

    Gambar 2. 38 Beban angin pada struktur atas (longitudinal dan lateral)

    (sumber: Gongkang, 2013)

    2.13.4. Beban Aksi Lainnya

    Beban aksi lainnya adalah pembebanan yang sifatnya hanya

    sementara/temporary sepeti halnya pada saat dilakukan proses konstruksi dari

    jembatan berdasar metode kerja yang dikehendaki dan disetujui oleh pihak

    berwenang yang didasakan pada keamanan terhadap konstruksi jembatan tersebut

    contohnya beban pelaksanaan.

    2.13.4.1. Beban Pelaksanaan

    Beban pelaksanaan terbagi menjadi dua yaitu:

    a. Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan itu sendiri dan;

    b. Aksi lingkungan yang mungkin timbuk selama waktu pelaksanaan

    Cara dan urutan metode kerja yang direncanakan harus dianalisis berdasar

    kejadian-kejadian pada waktu pelaksanaan secara bersamaan. Perencana harus

    menentukan tingkat kemungkinan kejadian dan menggunakan faktor beban sesuai

    untuk aksi lingkungan yang bersangkutan. Namun tidak perlu mempertimbangkan

    pengaruh gempa selama pelaksanaan konstruksi.

    2.13.5. Beban Kombinasi

    Faktor kombinasi pembebanan pada jembatan harus diperhitungkan untuk

    mendapatkan hasil aksi dari jembatan yang paling berpengaruh dan disesuaikan

    dengan kebutuhan dari jembatan itu sendiri. Berikut ini kombinasi pembebanan

    yang disajikan pada Tabel 15 dan pada penjelasan penggunaan batas pada Tabel 16.

  • 49

    Tabel 2. 15 Faktor kombinasi jembatan

    Keadaan

    Batas

    MS

    MA

    TA

    PR

    PL

    SH

    TT

    TD

    TB

    TR

    TP

    EU EWs EWL BF EUn TG ES

    Digunakan salah

    satu

    EQ TC TV

    Kuat I γp 1,8 1,0

    0 - - 1,00

    0,50/

    1,20 γTG γES - - -

    Kuat II γp 1,4 1,0

    0 - - 1,00

    0,50/

    1,20 γTG γES - - -

    Kuat III γp - 1,0

    0 1,40 - 1,00

    0,50/

    1,20 γTG γES - - -

    Kuat IV γp - 1,0

    0 - - 1,00

    0,50/

    1,20 - - - - -

    Kuat V γp - 1,0

    0 0,40 1,00 1,00

    0,50/

    1,20 γTG γES - - -

    Ekstrem I γp γEQ 1,0

    0 - - 1,00 - - -

    1,0

    0 - -

    Ekstrem II γp 0,50 1,0

    0 - - 1,00 - - - -

    1,0

    0

    1,0

    0

    Daya

    Layan I

    1,0

    0 1,00

    1,0

    0 0,30 1,00 1,00

    1,00/

    1,20 γTG γES - - -

    Daya

    Layan II

    1,0

    0 1,30

    1,0

    0 - - 1,00

    1,00/

    1,20 - - - - -

    Daya

    Layan III

    1,0

    0 0,80

    1,0

    0 - - 1,00

    1,00/

    1,20 γTG γES - - -

    Daya

    Layan IV

    1,0

    0 -

    1,0

    0 0,70 - 1,00

    1,00/

    1,20 -

    1,0

    0 - - -

    Fatik (TD

    dan TR) - 0,75 - - - - - - - - - -

    Catatan : γp dapatberupa γMS, γMA, γTA, γPR, γPL, γSH, tergantung beban yang ditinjau

    γEQ adalah faktor beban hidup kondisi gempa

    Sumber: SNI 1725:2016

    2.14. Geometrik Jembatan Busur

    Komponen utama dari jembatan adalah bagian jembatan yang menerima

    gaya-gaya dalam yang disalurkan dari kendaraan dan diteruskan ke tumpuan harus

    memiliki bentuk geometrik yang sesuai dengan batasan-batasan paling optimum

    yang telah ditentukan, dimana menurut Bridge Engineering Handbook, Second

    Edition:Fundamental 2014, beberapa persyaratan yang biasanya digunakan dalam

    perencanaan geometrik jembatan busur sebagai persamaan parabola yaitu:

  • 50

    Tabel 2. 16 Penjelasan penggunaaan keaadaan batas

    Keadaaan Batas Penjelasan

    Kuat I

    Kombinasi pembebanan yang memperhitungkan gaya-gaya yang timbul

    pada jembatan dalam keadaan normal tanpa memperhitungkan beban

    angin. Pada keadaan batas ini, semua gaya nominal yang terjadi dikalikan

    dengan faktor beban yang sesuai

    Kuat II

    Kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan penggunaan jembatan

    untuk memikul beban kendaraan khusus yang ditentukan pemilik tanpa

    memperhitungkan beban angin

    Kuat III Kombinasi pembebanan dengan jembatan dikenai beban angin

    berkecepatan 90 km/jam hingga 126 km/jam

    Kuat IV Kombinasi pembebanan untuk memperhitungkan kemungkinan adanya

    rasio beban mati dengan beban hidup yang besar

    Kuat V

    Kombinasi pembebanan berkaitan dengan operasional normal jembatan

    dengan memperhitungkan beban angin berkecepatan 90 km/jam hingga

    126 km/jam

    Ekstrem I

    Kombinasi pembebanan gempa. Faktor beban hidup γEQ yang

    mempertimbangkan bekerjanya beban hidup pada saat gempa

    berlangsung harus ditentukan berdasar kepentingan jembatan

    Ekstrem II

    Kombinasi pembebanan yang meninjau kombinasi antara beban hidup

    terkurangi dengan beban yang timbul akibat tumbukan kapal, tumbukan

    kendaraan, banjir atau beban hidrolika lainnya, kecuali untuk kasus

    pembebanan akibat tumbukan kendaraan (TC). Kasus pembebanan akibat

    banjir tidak boleh dikombinasikan dengan beban akibat tumbukan

    kendaraan dan tumbukan kapal

    Daya Layan I

    Kombinasi pembebaban yang berkaitan dengan operasional jembatan

    dengan semua beban mempunyai nilai nominal serta memperhitungkan

    adanya beban angin berkecepatan 90 km/jam hingga 126 km/jam.

    Daya Layan II

    Kombinasi pembebanan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya

    pelelehan pada struktur baja dan selip pada sambungan akibat beban

    kendaraan

    Daya Layan III

    Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada area

    memanjang jembatan beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol

    besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari jembatan

    beton segmental

    Daya Layan IV Kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada kolom

    beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol besarnya retak

    Fatik (TD dan TR) Kombinasi beban fatik dan fraktur sehubungan dengan umur fatik akibat

    induksi beban yang waktunya tak terbatas

    Sumber: SNI 1725:2016

    Gambar 2. 39 Penentuan tinggi busur

    (sumber: Penulis)

  • 51

    a. Tinggi busur (f )

    Penentuan tinggi busur (f ) dari jembatan harus memenuhi persyaratan :

    1

    7 ≤

    f

    L ≤

    1

    4 ..................................................................................................... (2.21)

    Dimana :

    f : tinggi busur jembatan

    L : bentang busur jembatan

    b. Tinggi tampang busur rangka (a)

    Penentuan tinggi tampang busur (a) dari jembatan harus memenuhi

    persyaratan :

    1

    40 ≤

    𝑡

    𝐿 ≤

    1

    25 ............................................................................................... (2.22)

    Dimana :

    t : tinggi tampang busur jembatan

    L : bentang busur jembatan

    c. Lebar segmen

    Penentuan lebar segmen jembatan (λ) dari jembatan harus memenuhi

    peryaratan :

    𝜆 ≤ 𝐿

    15 ....................................................................................................... (2.23)

    Dimana :

    λ : Lebar segmen jembatan

    L : Bentang busur jembatan

    d. Lebar jembatan

    Penentuan lebar jembatan (b), harus memenuhi persyaratan :

    𝑏

    𝐿 ≤

    1

    10 ......................................................................................................... (2.24)

    Dimana :

    λ : lebar segmen jembatan

    L : bentang busur jembatan

  • 52

    e. Panjang penggantung busur

    Panjang penggantung busur dapat dicari dengan menggunakan rumus

    parabola sebagai berikut :

    yn=

    4 . f . x . (L-x)

    L2 ............................................................................................ (2.25)

    Dimana :

    f : tinggi busur jembatan

    x : beda tinggi antar kabel jembatan

    L : bentang busur jembatan

    2.15. Batang Tarik (Tension Member)

    Secara umum, material baja mempunyai kemampuan yang baik dalam

    memilkul gaya tarik dan tekan. Namun, secara teori dapat menahan gaya tarik yang

    lebih baik dibandingkan gaya tekan yang terjadi. Adapun . Batang tarik, secara

    umum terbagi menjadi dua (AASHTO,2017 dan Bridge Engineering Handbook,

    Second Edition:Fundamental 2014) yaitu kuat tarik nominal berdasar penampang

    bruto (gross section yielding) dan kuat tarik nominal berdasar fraktur pada

    penampang efektif (Net section fracture) dimana pada perencanaan diambil nilai

    terkecil diantara kuat tarik nominal berikut:

    a. Kuat tarik nominal kondisi leleh pada penampang bruto (Gross section

    yielding)

    Pr = ϕy Pny = ϕy Fy Ag .................................................................................. (2.26)

    Dimana:

    Fy : adalah tegangan leleh baja (MPa)

    Ag : adalah luas penampang bruto pada batang/member (mm2)

    ϕy : faktor tahanan untuk kondisi leleh, dapat diambil sebesar 0,95

    Adanya konsentrasi tegangan yang bekerja pada batang beberapa kali lebih

    besar dari tegangan rencana sehingga dapat diatasi dengan material daktail (pada

    tegangan leleh Fy. Perilaku tersebut menyebabkan tegangan tidak merusak lubang,

    Namun hanya menyebabkan deformasi saat tegangan leleh tercapai. Teori inilah

  • 53

    yang menyebabkan redistribusi tegangan (gaya) ke bagian lubang baut dianggap

    belum meleleh.

    b. Kuat tarik nominal kondisi leleh pada penampang efektif (Net section

    fracture)

    Pr = ϕu Pnu = ϕu Fu An Rp U ................................................................... (2.27)

    Dimana:

    Fu : adalah tegangan tarik putus baja (MPa)

    An : adalah luas penampang bersih (netto) dikurangi lubang (mm2)

    Rp : Faktor reduksi untuk lubang baut, dimana 0,9 pada kondisi ulir baut masuk

    area lubang baut dan 1,0 untuk kondisi ulir baut tidak masuk area lubang.

    U : Faktor Shear Lag

    ϕu : Faktor tahanan untuk kondisi fraktur 0,80

    Kuat tarik pada penampang berlubang (di area sambungan) tentunya akan

    memanfaatkan perilaku dari sifat mekanis baja yaitu stain-harderning (peningkatan

    tegangan) yang dipicu oleh peningkatan tegangan yang terkonsentrasi disekitar

    lubang. Maka dari itu pola keruntuhan yang dipakai adalah Fu sehingga faktor

    tahanan yang dipersyaratkan tentunya juga berbeda.

    Gambar 2. 40 Ilustrasi tinjauan kapasitas tarik pada penampang bruto (gross section yielding) dan

    netto (net section fracture)

    (sumber : Bridge Engineering Handbook Second Edition, 2014)

  • 54

    2.15.1. Faktor Shear Lag

    Faktor shear lag (U) pada batang tarik digunakan untuk mengantisipasi

    adanya ketidaksempurnaan pada saat proses penyambungan, sehingga distribusi

    tegangan tidak merata dan beberapa terjadi konsentrasi tegangan terpusat. Tentunya

    hal tersebut mengurangi kinerja pada batang tarik. Besar atau kecilnya shear lag

    dari batang tarik ditentukan berdasar bentuk sambungan yang digunakan. Tentunya

    pemilihan sambungan juga mempertimbangkan kemudahan dalam metode

    pelaksanaan dan biaya pembuatannya. Berikut ini faktor shear lag (U) pada batang

    tarik (AASHTO 2017 dan SNI 1729:2015).

    Tabel 2. 17 Faktor Shear-Lag (U) batang tarik

    Sumber: SNI 1729: 2015 dan AASHTO 2017

    Kasus Deskripsi Elemen Faktor Shear lag (U) Contoh

    1

    Semua komponen struktur tarik

    dimana beban tarik disalurkan

    secara langsung ke setiap dari

    elemen profil melintang melalui

    sarana penyambung atau las-las

    (kecuali seperti dalam Kasus 4,5

    dan 6)

    U = 1,0 _____

    2

    Semua komponen struktur tarik ,

    kecuali pelat dan PSB, dimana

    beban tarik disalurkan ke beberapa

    tetapi tidak semua dari elemen

    profil melintang melalui sarana

    penyambung atau las longitudinal

    atau melalui las longitudinal

    dalam kombinasi , dengan las

    transversal. (secara alternatif,

    untuk W, M, S dan HP, Kasus 7

    𝑈 = 1 −�̅�

    𝐿

    3

    Semua komponen struktur tarik

    dimana beban tarik hanya

    disalurkan melalui las transversal

    ke beberapa tetapi tidak semua

    dari elemen profil melintang

    U = 1,0

    dan

    An = luas dari elemen

    yang disambung langsung

    _____

    4

    Pelat dimana beban tarik

    disalurkan melalui hanya las

    longitudinal

    L ≥ 2w…U = 1,0

    2w > L ≥ 1,5w…U = 0,87

    1,5w > L > w…U = 0,75

    5 PSB bundar dengan sebuah pelat

    buhul konsentrik tunggal.

    L ≥ 1,3D…U = 1,0

    D ≤ L < 1,3D…U = 1 −�̅�

    𝐿

    �̅� −𝐷

    𝜋

  • 55

    Tabel 2. 18 Faktor Shear-Lag (U) batang tarik (lanjutan)

    Sumber: SNI 1729: 2015 dan AASHTO 2017

    Kasus Deskripsi Elemen Faktor Shear lag (U) Contoh

    6 PSB Persegi

    Dengan sebuah

    pelat buhul

    konsentris tunggal

    L ≥ H…U = 1 −�̅�

    𝐿

    �̅� −𝐵2 + 2𝐵𝐻

    4 (𝐵 + 𝐻)

    Dengan dua sisi

    pelat buhul

    L ≥ H…U = 1 −�̅�

    𝐿

    �̅� −𝐵2

    4 (𝐵 + 𝐻)

    7

    Bentuk W, M, S

    atau HP atau T

    memotong dari

    bentuk-bentuk

    ini (jika U

    dihitung dalam

    kasus 2, nilai

    yang lebih besar

    diizinkan untuk

    digunakan )

    Dengan sayap

    disambungkan

    dengan 3 atau

    lebih sarana

    penyambung per

    baris di arah

    pembebanan

    bf ≥ 2

    3𝑑…U = 0,90

    bf < 2

    3𝑑…U = 0,85

    _____

    Dengan badan

    disambungkan

    dengan 4 atau

    lebih sarana

    penyambung per

    baris di arah

    pembebanan

    U = 0,70 _____

    8

    Siku tunggal dan

    ganda (jika U

    dihitung dalam

    kasus 2, nilai

    yang lebih besar

    diizinkan untuk

    digunakan).

    Dengan 4 atau

    lebih sarana

    penyambung per

    baris di arah

    pembebanan

    U = 0,80 _____

    Dengan 3 sarana

    penyambung per

    baris di arah

    pembebanan

    (dengan lebih

    sedikit dari 3

    sarana

    penyambung per

    baris di arah

    pembebanan,

    gunakan kasus 2).

    U = 0,60 _____

    L = panjang sambungan (mm) ; w = lebar pelat (mm) ; �̅� = eksentrisitas sambungan (mm) ; B = lebar keseluruhan dari komponen struktur PSB persegi, diukur 90o terhadap bidang sambungan

    (mm) ; H = tinggi keseluruhan dari komponen struktur PSB persegi, diukur pada bidang

    sambungan (mm).

  • 56

    2.15.2. Batasan Rasio Kelangsingan Batang Tarik

    Mutu material baja yang sangat tinggi menyebabkan dimensi batang bisa

    sangat langsing. Secara teoritis, batasan rasio kelangsingan hanya digunakan untuk

    batang tekan. Karena kelangsingan diperuntukkan untuk batang tekan yang

    mengalami tekuk. Namun menurut AASHTO 2017 tetap disarankan menggunakan

    rasio kelangsingan karena struktur yang langsing cenderung bergoyang dan

    bergetar dan apabila berlebih akan menyebabkan ketidaknyamanan pada saat proses

    service. Adapun batasan rasio kelangsingan sebagai berikut :

    a. Untuk batang utama

    L

    r ≤ 200 .................................................................................................. (2.28)

    a. Untuk batang sekunder

    L

    r ≤ 240 .................................................................................................. (2.29)

    Dimana :

    L : panjang batang (mm)

    r : jari-jari girasi penampang (mm)

    Penggunaan rasio batasan kelangsingan ini tidak berlaku pada hanger yang

    menggunakan material solid strand/rod. Karena materal rod memang didesain

    hanya untuk menahan gaya tarik semata selama masa layan. Penggunaan hanger

    (struktur gantung) juga secara teoritis akan meningkat kekakuannya sesuai dengan

    beban yang bekerja dan dapat mempertahankan struktur geometrinya. Maka dari itu

    rasio kelangsingan struktur kabel terdapat persyaratan tersendiri dari produk yang

    ditentukan.

    2.16. Batang Tekan (Compression Member)

    Batang tekan pada jembatan ditujukan untuk komponen struktur yang menerima

    beban tekan sentris yang tepat pada titik sentris batang/titik berat penampang

    (ujung-ujung). Namun tentunya sangat sulit pada tingkat presisi pemasangan

    sehingga menimbulkan eksentrisitas pada batang. Eksentrisitas pada batang

    tentunya menimbulkan momen pada batang. Namun tentunya dengan persyaratan-

  • 57

    peryaratan umum, adanya eksentrisitas pada sebuah struktur batang relatif kecil dan

    dapat diabaikan sehingga prosedur desain dapat dipergunakan. Penentuan kapasitas

    dari batang tekan tentunya berbeda dengan batang tarik, dimana batang tarik

    menggunakan parameter material Fu dan Fy, namun untuk penentuan kapastitas

    batang tekan hanya menggunakan Fy karena Fu tidak pernah tercapai pada batang

    tekan. Selain material dari itu sendiri penentuan kapasitas batang tekan juga

    dipengaruhi oleh parameter lain, yaitu konfigurasi bentuk fisik (panjang batang)

    dan geometri dari potongan batang tekan. Maka dari itu pada batang tekan, rasio

    kelangsingan batang harus diperhitungkan untuk mencegah tekuk lokal (local

    buckling) dan tekuk global (global buckling). Untuk itu pada AASHTO 2017

    mengatur klasifikasi untuk memisahkan penampang langsing dan tidak langsing

    penampang.

    2.16.1. Batasan Rasio Kelangsingan Batang Tekan

    Rasio kelangsingan batang menjadi parameter penting perencanaan, serta

    menjadi batasan kinerja terhadap perilakunya. Parameter yang menjadi penentu

    dalam perencanaan adalah luar penampang, pengaruh bentuk penampang terhadap

    kekauan lentur (Imin) serta panjang batang yang ditumpu yang diformulasikan

    dengan panjang efektif dengan kondisi tumpuan (KL). Berikut ini batasan rasio

    kelangsingan batang tekan menurut AASHTO 2017:

    a. Untuk batang utama

    KL

    r ≤ 120 ............................................................................................... (2.30)

    b. Untuk batang sekunder

    KL

    r ≤ 140 ............................................................................................... (2.31)

    Dimana :

    K : faktor panjang efektif batang (Gambar 2.45)

    L : panjang batang (mm)

    r : jari-jari girasi penampang (mm)

  • 58

    Gambar 2. 41 Faktor panjang efektif batang tekan

    (sumber: ASSHTO, 2017)

    2.16.2. Klasifikasi Penampang Batang Tekan

    Perilaku tekuk yang terjadi pada batang tekan terbagi menjadi dua yaitu

    tekuk lokal (local buckling) dan tekuk global (global buckling), tentunya perilaku

    atau kejadian tersebut harus dihindari agar struktur yang