bab ii landasan teoretis seputar islamisme

23
BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME Pada bab terdahulu, telah dijelaskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, metode dan sistematika penulisan. Dalam bab tersebut, penulis menjelaskan bahwa Islamisme yang lahir dari ketidakpuasan kalangan Islam tertentu terhadap modernitas dan krisis yang menyertainya dapat menjadi tantangan bagi aktualisasi nilai-nilai Pancasila di Indonesia. Ideologi Islamisme yang mengklaim kebenaran mutlak dan menolak pluralitas dan pluralisme sangat bertolak belakang dengan cita-cita masyarakat Indonesia dan nilai-nilai Pancasila yang luhur. Dengan demikian, Islamisme memiliki dampak yang besar bagi aktualisasi nilai-nilai Pancasila di Indonesia. Sebelum masuk pada pembahasan lebih lanjut tentang dampak Islamisme terhadap aktualisasi nilai-nilai Pancasila, akan dijelaskan landasan teoretis seputar Islamisme-salah satu variabel penting dalam skripsi ini- yang kemudian akan menjadi basis argumentasi penulis dalam keseluruhan skripsi ini. 2.1 HAKIKAT ISLAMISME 2.1.1 Definisi Islam Pembahasan yang komprehensif tentang Islamisme tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang Islam. Oleh karena itu, sebelum memasuki cakrawala pemikiran seputar Islamisme, akan diuraikan definisi tentang Islam yang dipresentasikan dalam beberapa perspektif berikut. Pertama, definisi etimologis. Secara etimologis, Islam berasal dari kata al- masdar (kata benda asal) dari kata kerja bentuk ke-4 aslama yang berarti tunduk, menyerah, mengikat diri dan menyerahkan diri. Lalu, Islam berarti ketundukan, kepatuhan, penyerahan diri. 10 Kedua, definisi menurut para ahli. Tentang Islam-sebagaimana dikutip Philipus Tule- Syeik Mahmud Shaltut dari Universitas Al-Azhar (Kairo) menulis: 10 Philipus Tule, Mencintai Muslim dan Muslimat Cet. II (Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hlm. 22.

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

BAB II

LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

Pada bab terdahulu, telah dijelaskan latar belakang, rumusan masalah,

tujuan, metode dan sistematika penulisan. Dalam bab tersebut, penulis

menjelaskan bahwa Islamisme yang lahir dari ketidakpuasan kalangan Islam

tertentu terhadap modernitas dan krisis yang menyertainya dapat menjadi

tantangan bagi aktualisasi nilai-nilai Pancasila di Indonesia. Ideologi Islamisme

yang mengklaim kebenaran mutlak dan menolak pluralitas dan pluralisme sangat

bertolak belakang dengan cita-cita masyarakat Indonesia dan nilai-nilai Pancasila

yang luhur. Dengan demikian, Islamisme memiliki dampak yang besar bagi

aktualisasi nilai-nilai Pancasila di Indonesia.

Sebelum masuk pada pembahasan lebih lanjut tentang dampak Islamisme

terhadap aktualisasi nilai-nilai Pancasila, akan dijelaskan landasan teoretis seputar

Islamisme-salah satu variabel penting dalam skripsi ini- yang kemudian akan

menjadi basis argumentasi penulis dalam keseluruhan skripsi ini.

2.1 HAKIKAT ISLAMISME

2.1.1 Definisi Islam

Pembahasan yang komprehensif tentang Islamisme tidak dapat dipisahkan

dari pemahaman tentang Islam. Oleh karena itu, sebelum memasuki cakrawala

pemikiran seputar Islamisme, akan diuraikan definisi tentang Islam yang

dipresentasikan dalam beberapa perspektif berikut.

Pertama, definisi etimologis. Secara etimologis, Islam berasal dari kata al-

masdar (kata benda asal) dari kata kerja bentuk ke-4 aslama yang berarti tunduk,

menyerah, mengikat diri dan menyerahkan diri. Lalu, Islam berarti ketundukan,

kepatuhan, penyerahan diri.10

Kedua, definisi menurut para ahli. Tentang Islam-sebagaimana dikutip

Philipus Tule- Syeik Mahmud Shaltut dari Universitas Al-Azhar (Kairo) menulis:

10

Philipus Tule, Mencintai Muslim dan Muslimat Cet. II (Maumere: Penerbit Ledalero, 2008), hlm.

22.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

8

Islam adalah agama Allah yang diperintahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, untuk mengajar tentang pokok-pokok

serta peraturan-peraturan dan menugaskannya untuk

menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia

serta mengajak mereka untuk memeluknya.11

Sementara itu Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, cendikiawan dari Urdu College,

Karachi (Pakistan) menulis:

Agama (Islam) adalah kaidah hidup yang diturunkan

kepada manusia dari masa ke masa sejak manusia

menghuni bumi ini dan terwujud dalam bentuknya yang

terakhir dan sempurna dalam Qur’an yang diwahyukan

Tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir Muhammad SAW,

suatu kaidah hidup yang memuat tuntutan yang jelas dan

lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual

maupun material.12

Ketiga, definisi ensiklopedis. Menurut Ensiklopedi Islam, Islam adalah

agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT yang ajarannya terdapat

dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan sunah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-

larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun

di akhirat.13

Menurut Encyclopedia of Time, para muslimin dan muslimat percaya

bahwa Muhammad adalah nabi terakhir yang dikirim Allah untuk mengembalikan

umat kepada ajaran abrahamistik yang asli,14

karena situasi masyarakat pra-Islam

tidak terlepas dari kebodohan religius yang memutarbalikkan penyembahan

kepada Allah yang telah diletakkan dasarnya oleh Ibrahim dan Ismail.15

Dari beberapa pengertian di atas, ada beberapa poin penting yang hendak

dipertegas demi pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam. Pertama, Islam

sebagai agama samawi. Agama samawi merupakan agama yang bersumber pada

wahyu Tuhan. Konsep ketuhanannya bersifat monoteis, disampaikan oleh

Rasulullah (utusan Tuhan), dan mempunyai Kitab Suci sebagai wahyu Tuhan

11

Ibid. 12

Ibid., hlm. 23. 13

“Islam”, Ensiklopedi Islam Vol. 2 (Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hlm.

246. 14

Helen Theresa Salmon, “Islam”, Encyclopedia of Time (London: SAGE Publications, 2009),

hlm. 719. 15

Philipus Tule, op. cit., hlm. 36.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

9

yang dibawa oleh Rasul.16

Sebagai agama samawi, Islam lahir dari wahyu yang

turun langsung dari Allah melalui Muhammad utusan-Nya. Umat Islam juga

percaya bahwa hanya satu Allah yang mereka sembah-tiada tuhan selain Allah-

dan umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan Kitab Suci yang benar-

benar berasal dari Allah dan berisikan sabda Allah. Kedua, Islam sebagai sistem

kepercayaan. Sebagai sebuah sistem kepercayaan agama memuat pengalaman dan

tanggapan manusia atas rahmat yang diterima manusia dari Allah. Kepercayaan

yang lahir dari respons manusia terhadap Allah kemudian diatur sedemikian rupa

mulai dari tata cara pengkultusan, ajaran-ajaran yang bertujuan agar kepercayaan

kepada Allah tidak jatuh pada praktik yang salah. Ketiga, Islam berisikan panduan

etis-moral dalam bertingkah laku. Islam berisikan juga kaidah-kaidah, perintah-

perintah, larangan-larangan yang berfungsi sebagai pembatas terhadap perilaku

manusia, pembatas antara apa yang baik dan yang buruk dan apa yang boleh dan

tidak boleh dilakukan. Islam pada tataran ini bekenaan dengan perilaku hidup baik

sebab mengarahkan manusia pada tatanan dunia yang lebih baik. Keempat, umat

Islam meyakini bahwa Muhammad adalah nabi-pembawa pesan Allah-yang

terakhir. Islam dalam ajaran mengakui dan mempercayai bahwa ada banyak nabi

yang pernah diutus Allah, tetapi Muhammadlah orang terakhir yang menerima

wahyu Allah untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang diwahyukan secara langsung oleh

Allah SWT melalui Muhammad, nabi-Nya yang terakhir, yang berisikan ajaran-

ajaran, kaidah hidup, larangan, perintah-perintah sebagaimana yang termaktub

dalam AL-Qur’an dan Sunah sebagai tuntutan yang jelas dan lengkap mengenai

aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.

2.1.2 Definisi Islamisme

Dalam upaya mendefinisikan Islamisme, terminologi Islamisme dan

fundamentalisme Islam digunakan dalam pengertian yang sama. Harus diakui

bahwa penggunaan istilah fundamentalisme Islam memicu perdebatan di kalangan

intelektual Islam. Bassam Tibi lebih condong pada penggunaan term Islamisme

karena mengisyaratkan konversi Islam menjadi sebuah ideologi. Sedangkan Sad

16

“Agama Samawi”, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),

hlm. 106.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

10

Eddin lebih condong pada penggunaan istilah fundamentalisme Islam karena

menunjukkan imperatif untuk kembali pada Al-Qur’an dan sunah sebagai

fundamen yang mengarahkan tingkah laku individu dalam masyarakat.17

Namun,

terlepas dari perdebatan tersebut, kedua istilah ini merujuk pada substansi yang

sama, yaitu menafsir Islam sebagai sebuah sistem politik yang berasal dari Allah

dan memaksakan pemberlakuan hukum Allah sebagai hukum yang mengatur

seluruh tatanan dunia.

Bassam Tibi dalam bukunya Islamism and Islam menyebut Islamisme

sebagai “religionized politics.” Ungkapan ini hendak mengafirmasi esensi dan

intensi Islamisme sebagai sebuah ideologi yang mengusung sistem politik yang

diyakini berasal dari kehendak Allah.18

Kelompok Islamisme meyakini bahwa

Allah telah menggariskan sebuah sistem politik, sistem pemerintahan yang

otentik, baku yang harus diterapkan dalam masyarakat Islam. Sistem politik ini

didasarkan pada hukum Islam yang harus diyakini sebagai tonggak pedoman arah

dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua

permasalahan dan krisis dalam kehidupan masyarakat modern hanya dapat diatasi

jika hukum Islam menjadi dasar dan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.19

Menurut Tibi, Islamisme pada hakikatnya merupakan sebuah ideologi.

Istilah Islamisme menggambarkan penambahan sufiks “isme” sebagai pendekatan

umum untuk mengkonversi ide original menjadi sebuah ideologi. Misalnya

penambahan sufiks “isme” pada nama Marx menggambarkan upaya untuk

mentransformasi pemikiran humanisme Eropa menjadi sebuah ideologi yang tidak

selalu sejalan dengan pemikiran original Marx. Marxisme selanjutnya

dikembangkan oleh Lenin menjadi komunisme totalitarian yang tidak pernah

dikehendaki Marx sebelumnya.20

Begitupun dengan Islamisme. Penambahan

sufiks “isme” pada term Islam menunjukkan sebuah upaya untuk mentransformasi

Islam sebagai sebuah kepercayaan menjadi sebuah ideologi politik. Islamisme

17

Mathias Daven, op. cit., hlm. 98. 18

Bassam Tibi, loc. cit. 19

Mathias Daven, op. cit., hlm. 112. 20

Bassam Tibi, op., cit., hlm. 7.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

11

menampilkan sebuah proses di mana Islam diartikulasikan sebagai sistem politik,

sebuah sistem yang tidak sejalan dengan Islam. Islamisme bertumbuh dari

penafsiran yang keliru, eksklusif dan semena-mena terhadap ajaran Islam.

Kelompok Islamisme memahami Islam tanpa mengerti substansi ajaran Islam.

Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh batasan-batasan

ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat, apalagi memahami,

kebenaran-kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan ideologis, tafsir

harafiah, atau platform politik mereka.21

Selain Tibi, definisi Islamisme juga dirumuskan oleh Asef Bayat. Bayat

mendefinisikan Islamisme sebagai ideologi nativistik22

yang dikonstruksi oleh

cendikiawan Islam sebagai upaya untuk memobilisasi masyarakat (kebanyakan

kelas menengah) yang merasa termarginalkan oleh proses-proses politik, sosial,

ekonomi dan budaya. Bayat melihat Islamisme sebagai sebuah upaya untuk

merespons defisit politik, ekonomi, sosial dan budaya. Respons ini tampak dalam

upaya kelompok Islamisme mengartikulasikan Islam sebagai sebuah sistem

ketuhanan dengan model politik, simbol-simbol kebudayaan, tatanan hukum dan

perencanaan ekonomi yang dipercayai mampu mengatasi berbagai persoalan yang

dihadapi manusia. 23

Islamisme (Fundamentalisme Islam) memiliki ciri derivasi seperti radikal,

ekstrem, menolak kontekstualisasi penafsiran, intoleran, dan beberapa fase yang

berkaitan dengan puritanisme. Istilah ini juga dipolarisasi ke dalam dua mediasi.

Pertama semata-mata bersifat konsepsi penafsiran terhadap teks-teks dan dogma

agama. Kedua, berkaitan dengan praksis tindakan yang semata-mata mengklaim

21

KH. Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam (Jakarta: Penerbit PT. Desantara Utama

Media, 2009), hlm. 21. 22

Nativistik merupakan kata sifat dari nativisme. Nativisme dalam kamus besar ilmu pengetahuan

memiliki beberapa arti. Namun, dalam konteks tulisan ini, nativisme yang dimaksudkan adalah

sikap sosial yang terlalu menonjolkan keaslian, kepribumian dan kebudayaan sendiri sehingga

melahirkan penolakan ekstrim terhadap pengaruh, gagasan dan kehadiran orang luar. Dengan

demikian, ideologi nativistik adalah sistem pemikiran yang mengagungkan kebudayaan, gagasan,

sendiri dan menolak dengan ekstrim pengaruh dari luar karena dianggap dapat menodai

kebudayaan mereka. Save M. Dagun, Kamus Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Penerbit Lembaga

Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2013), hlm. 1126. 23

Asef Bayat, Pos-Islamisme, penerj. Faiz Tajul Milah (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2011), hlm.

12.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

12

pietisme (kesalehan) atau kesucian bagi dirinya. 24

Sebagai konsepsi, Islamisme

merupakan interpretasi yang literer terhadap teks-teks suci Islam. Interpretasi

yang literer membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara

pembacaan selain cara pembacaan harafiah. Hal ini membuat teks-teks suci jauh

dari konteks pembaca (umat Islam) dan tidak komunikatif dengan konteks

penganutnya.25

Sebagai praksis tindakan, kelompok Islamisme menganggap diri

sebagai yang paling suci. Kesombongan religius ini kemudian membangkitkan

kecendrungan mereka untuk mengkafirkan yang lain. Kekafiran bagi mereka

merupakan musuh Allah yang harus disingkirkan. Hal ini yang kemudian menjadi

alasan penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok Islamisme tertentu.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Islamisme adalah

sistem pemikiran yang menafsir Islam sebagai sebuah sistem politik yang berasal

dari Allah untuk memobilisasi masyarakat Islam yang termarginalisasi akibat

proses-proses politik, sosial-ekonomi, budaya dengan memberlakukan hukum

Islam sebagai hukum yang mengatur tatanan hidup manusia. Sebagai sebuah

ideologi, Islamisme memiliki ciri derivasi seperti radikal, ekstrem, menolak

kontekstualisasi penafsiran, intoleran, dan beberapa fase yang berkaitan dengan

puritanisme.

2.1.3 Islam dan Islamisme

Serangan terhadap gedung World Trade Center di New York pada 11

September 2001 oleh kelompok militan al-Qaeda telah membentuk persepsi yang

buruk tentang agama Islam. Islam dipandang sebagai akar terorisme yang

mengancam peradaban dunia. Oleh karena itu Islam harus diperangi. Stigma

negatif terhadap Islam ini kemudian diikuti oleh rentetan upaya memerangi

terorisme yang kental dengan Islam.

Stigma negatif di atas lahir dari pemahaman yang minim tentang Islam.

Berbagai aksi terorisme selalu dikaitkan dengan Islam. Islam dipandang sebagai

agama yang produktif melahirkan para teroris dan berbagai aksi terorisme.

Pengetahuan teoretis dan faktual yang tidak komprehensif seperti ini kemudian

24

Ismatillah A. Nu’ad, Fundamentalisme progresif (Jakarta: Penerbit Panta Rei, 2005), hlm. 2. 25

KH. Abdurrahman Wahid (ed.), op. cit., hlm. 63.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

13

dijadikan basis legitimasi untuk menilai dan menyikapi Islam. Maka, dalam pokok

bahasan ini akan diketengahkan demarkasi antara Islam dan Islamisme demi

pemahaman yang lebih komprehensif tentang Islamisme dan penilaian yang lebih

objektif terhadap Islam sebagai sebuah keyakinan.

Pada galibnya, Islamisme merupakan sebuah ideologi dan Islam

merupakan sebuah sistem kepercayaan. Sebagai ideologi, Islamisme mempunyai

semua ciri ideologi sekuler lainnya, seperti keyakinan memiliki dan menawarkan

satu-satunya kebenaran, hanya kaum elite yang bisa memahami ajaran tersebut

dan dipanggil untuk menjaga kemurniannya, adanya klaim berhak untuk

menentukan hukum yang harus ditaati oleh masyarakat.26

Kelompok Islamisme

meyakini bahwa Islam merupakan sistem politik yang dijalankan berdasarkan

otoritas ilahi yang absolut benar. Islamisme menuntut ketaatan mutlak setiap

orang. Masyarakat dituntut untuk taat tanpa terlebih dahulu memahami kemudian

menerima, tanpa kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik. Sedangkan

sebagai kepercayaan, Islam berhubungan dengan pengalaman personal akan

Allah-bukan pengalaman orang, atau sesuatu yang dipaksakan dari luar-dan

tanggapan manusia yang bebas terhadap pengalaman akan Allah. Jelaslah, Islam

sebagai sistem kepercayaan menjunjung tinggi kebebasan manusia.

Menurut Bassam Tibi, Islamisme merupakan religionized of politics yang

berarti promosi sebuah sistem politik yang diyakini berasal dan berdasarkan

kehendak Allah. Namun, Islam pada hakikatnya bukan merupakan sebuah sistem

politik. Sebagai sebuah keyakinan, kultus dan pedoman etis bertingkah laku,

Islam menyiratkan nilai-nilai politis, tetapi tidak mengisyaratkan sebuah sistem

politik, sistem pemerintahan yang jelas, konkret. Islamisme bertumbuh dari

interpretasi yang keliru atas Islam, tetapi Islamisme bukanlah Islam: Ia adalah

ideologi politik yang tidak sejalan dengan ajaran agama Islam.27

Islamisme juga

kerap kali dipandang sebagai kebangkitan agama Islam. Islamisme bukanlah

kebangkitan Islam, tetapi konstruksi pemahaman atas Islam yang tidak sesuai

dengan warisan Islam. Utopia kelompok Islamisme, sebuah sistem pemerintahan

26

Mathias Daven, op. cit., hlm. 104. 27

Bassam Tibi, loc. cit.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

14

ilahi, yakni hakimiyyat Allah (kehendak Allah), tidak pernah ada dalam sejarah

Islam.28

Sebagai sebuah keyakinan, seseorang dikatakan sebagai penganut Islam

jika ia menaati dan mengamalkan al-arkan al-khamsah (lima rukun Islam). Lima

rukun itu adalah melafalkan syahadat (ke-Esa-an Allah dan pengakuan

Muhammad sebagai utusan Allah), melakukan salat (doa harian), berpuasa selama

bulan suci Ramadan, zakat (bersedekah), dan jika kondisi finansial

memungkinkan, berziarah ke Mekkah sebagai kewajiban menunaikan ibadah Haji

untuk menjadi hajji (laki-laki) atau hajja (perempuan). Lalu, apakah kelompok

Islamisme juga mengamalkan lima rukun Islam ini? Keyakinan utama kelompok

penganut Islamisme ialah din wa dawla (kesatuan antara negara dan agama) di

bawah sistem konstitusional berdasarkan hukum Islam. Hal ini menegaskan

bahwa Islamisme bukanlah Islam, melainkan sistem politik yang

mengatasnamakan agama Islam.29

Bagi kelompok Islamisme, pengamalan lima

rukun Islam bukanlah yang utama, melainkan pendirian negara Islamlah yang

utama.

Akhirnya, dapat dipahami bahwa sebagai sebuah keyakinan Islam

diwahyukan langsung oleh Allah melalui nabi-Nya yang terakhir Muhammad

untuk disebarluaskan kepada semua orang. Sedangkan sebagai sebuah ideologi

politik, Islamisme bukanlah hasil pewahyuan ilahi melainkan sistem pemikiran

manusia yang dikonstruksi melalui penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama

Islam yang samawi itu.

2.2 LATAR BELAKANG KEMUNCULAN ISLAMISME

Kelahiran Islamisme dalam peradaban global ditandai dengan apa yang

disebut Daniel Bell sebagai “a returned of the sacred” (kembalinya yang kudus).

Ungkapapan ini hendak mengafirmasi sebuah upaya gerak balik, kembali kepada

agama, setelah sebelumnya peran agama dalam ruang publik kian tergerus akibat

arus sekularisasi. Penguatan kembali peran agama-a returned of the sacred-

dilatarbelakangi oleh dua krisis yaitu krisis normatif yang berhubungan dengan

28

Ibid. 29

Ibid., hlm.3.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

15

modernitas dan krisis struktural yang berhubungan dengan pembangunan. Namun,

a return of the sacred bukanlah sebuah kebangkitan kembali agama dan perannya

di ruang publik, melainkan sebuah agama dalam balutan politik, agama yang

ditafsir secara politis.30

Sebagai sebuah ideologi, Islamisme lahir dari krisis yang melanda

masyarakat Islam akibat modernitas.31

Islamisme menolak modernitas karena

dampak yang dibawa modernitas terhadap peradaban dunia tidak sesuai dengan

cita-cita Islamisme. Modernitas yang tidak dapat dilepas-pisahkan dari

kebudayaan Barat dinilai sebagai awal dari merosotnya nilai-nilai keislaman.

Islamisme yang berpegang teguh pada hukum Allah melihat modernitas sebagai

tendensi manusia untuk menyaingi Allah. Modernitas beserta dampak yang

mengiringinya menjauhkan manusia dari Allah. Manusia dinilai memiliki

kebebasan yang penuh dalam menentukan kehidupannya dan melupakan hukum

Allah yang dipandang Islamisme sebagai hukum yang harus menjadi dasar bagi

semua manusia dalam bertindak. Demokrasi sebagai bagian yang tak terpisahkan

dari modernitas dilihat sebagai sistem pemerintahan kaum kafir. Maka, Islamisme

menolak paham demokrasi.

Arus modernitas yang mengglobal melalui proses globalisasi dilihat

sebagai pencemaran terhadap dunia sehingga harus dilawan sebagai upaya

purifikasi terhadap tatanan dunia. Oleh karena itu, kelompok Islamisme kemudian

menyusun kekuatan politis untuk melawan modernitas dengan berbagai cara.32

Perlawanan golongan Islamisme terhadap arus modernitas dapat dilihat dari

perjuangan kedua tokoh yang sangat berperan dalam sejarah Islamisme; Hassan

al-Bana dan Sayyid Qutb.

Hassan al-Bana mendirikan organisasi radikal Ikhwanul Muslimin pada

tahun 1928 dengan agenda mengakhiri hegemoni tatanan sekuler di Mesir dan di

seluruh wilayah peradaban Islam. Dominasi nilai-nilai peradaban Barat akibat

modernitas tidak saja menyangkut sistem politik pemerintahan, melainkan juga

menyangkut bidang ekonomi dan pendidikan. Menurutnya, sistem pendidikan di

30

Bassam Tibi, op. cit., hlm. 2. 31

Ibid., hlm. 102. 32

KH. Abdurrahman Wahid (ed.), op. cit., hlm. 8.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

16

Mesir telah menjauhkan generasi muda Islam dari identitas keislaman dan

menggiring generasi muda untuk mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai modern

versi Barat. 33

Langkah solutif untuk memulihkan moralitas keislaman yang merosot

akibat arus modernitas adalah pendidikan moral. Pendidikan moral ini

dikhususkan bagi para perempuan muslim agar terhindar dari pengaruh gaya

hidup Barat yang sangat bertolak belakang dengan kaidah moralitas Islam. Demi

menjaga moralitas Islam tersebut, maka ruang gerak wanita dibatasi. Perempuan

kemudian dilarang untuk tampil di depan umum. Kehadiran perempuan di depan

umum hanya akan menjerumuskan laki-laki pada praktik seksual yang illegal-

tidak sesuai dengan moralitas Islam-yang dapat merusak institusi perkawinan.

Oleh karena itu ruang publik hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan

perempuan hanya berkutat seputar urusan rumah tangga dan pantang untuk tampil

di ruang publik. Selain pemisahan dan pembatasan ruang gerak ini, aktivis

Ikhwanul Muslimin juga melakukan pengawasan dan pengontrolan yang ketat

terhadap praktek prostitusi, perjudian, alkohol serta tempat-tempat hiburan seperti

diskotek.34

Dalam sejarahnya, organisasi Ikhwanul Muslimin di bawah pimpinan

Hassan al-Bana sangat dipengaruhi oleh ideologi fasisme Italia dan komunisme

Soviet. Pengaruh ideologi-ideologi ini membuat organisasi ini sering kali terlibat

konflik dengan rezim Mesir. Konflik ini kemudian berdampak pada kematian

Hassan al-Bana pada tahun 1948. Selanjutnya pemikiran ideologis Ikhwanul

Muslimin dirumuskan secara sistematis oleh Sayyid Qutb.35

Sayyid Qutb berkeyakinan bahwa Islam terlibat dalam pertikaian dengan

imperialisme Barat, dan bahwa pada akhirnya tujuan dari modernisasi atau

pembangunan, baik yang dinyatakan sebagai kapitalisme adalah untuk

memperkuat kolonialisasi material di dunia Islam dengan melakukan penjajahan

33

Matias Daven, op. cit., hlm. 99-100. 34

Ibid., hlm. 100. 35

Ibid., hlm. 100-101.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

17

moral dan kultural.36

Modernitas dilihat Qutb sebagai bentuk penjajahan terhadap

tatanan dunia Islam yang pada akhirnya akan menggiring peradaban Islam kepada

kemerosotan moral dan budaya.

Modernitas sebagai produk Barat oleh Sayyid Qutb dilihat sebagai

tendensi manusia untuk menyaingi kedaulatan Allah. Kekuasaan yang selain

daripada Tuhan dinamakan taghut, yakti tidak sah, kafir dan tiran. Oleh karena

itu, tujuan Islam adalah menghilangkan taghut dan menggantikannya dengan

kekuasaan Islamiah atau ilahiah. Tentang hal ini, sebagaimana dikutip Leonard

Binder, Qutb menulis:

… Dalam setiap rezim non-Islam, sekelompok manusia tunduk

kepada kekuasaan manusia lain. Dan untuk bisa terbebaskan dari

penghambaan terhadap sesama, manusia hanya dapat menempuh

“cara” (minhaj) yang Islami: yakni dengan menghambakan diri

kepada Tuhan semata, dengan hanya menerima perintah dari

Tuhan, dan dengan bertunduk diri hanya pada Tuhan.37

Bagi Qutb, hanya kedaulatan Allah yang boleh bertakhta di dunia ini.

Tatanan dunia universal tidak memberi tempat bagi kedaulatan manusia untuk

bertakhta. Qutb menulis:

Sesungguhnya hanya kepada Allahlah manusia menghambakan

diri. Namun mereka tidak akan dapat menghambakan diri hanya

kepada Allah jika tidak diserukan kepada mereka bahwa “tiada

tuhan selain Allah”-Kalimat “tiada tuhan selain Allah”,

sebagaimana dipahami oleh (setiap) orang Arab yang paham

akan tata-bahasa Arab, bermakna “Tidak ada kedaulatan selain

dari pada Allah, dan tidak ada syariat [hukum agama] selain

yang berasal dari Allah, dan tidak ada kekuasaan politik (sultan)

bagi siapa pun di atas siapa pun, karena kekuasaan politik hanya

milik Allah semata.38

Sayyid Qutb menyebut modernitas yang baginya menomor-satukan

kedaulatan manusia sebagai jahilliyah. Kata jahilliyah, yang kerap diartikan

sebagai “kebodohan”, merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menamai

kondisi budaya dan intelektual masyarakat Arab pra-Islam. Istilah ini kemudian

mengalami perluasan makna, yaitu untuk menyebut segala sesuatu yang tidak

36

Leonard Binder, Islam Liberal, penerj. Imam Muttaqin (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar,

2001), hlm. 257. 37

Ibid., hlm. 259. 38

Ibid.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

18

Islami atau berlawanan dengan Islam, termasuk pengaruh modern yang

menjauhkan Islam dari mereka.39

Tentang hal ini, Qutb menulis:

Masyarakat jahilliyah memberikan kedaulatan kepada manusia,

dan menentukan siapa yang menjadi tuan dan siapa yang

menjadi budak. Kedaulatan ini bukan dalam bentuk sederhana

yang dikenal dalam kejahiliyahan awal, namun dalam bentuk

yang mengklaim hak untuk menentukan gagasan dan nilai-nilai,

hukum dan peraturan, rezim dan institusi.40

Selanjutnya, dalam melawan arus modernitas beserta krisis yang

menyertainya, Qutb meyakini bahwa hanya kedaulatan Allah, hukum Islamlah

solusi yang paling adekuat. Tidak ada solusi lain selain kedaulatan Allah. Qutb

menulis:

Bila kedaulatan tertinggi dalam masyarakat adalah Tuhan

semata, maka itulah satu-satunya cara agar umat manusia dapat

meraih kebebasan sejati dari penghambaan terhadap sesama…

Tidak ada kebebasan sejati dan tidak ada martabat pada tiap

individu dalam suatu masyarakat yang sebagian anggotanya

adalah para tuan yang membuat peraturan dan sebagian lain

adalah budak yang wajib mentaati peraturan itu.41

Sebagai sebuah resistensi terhadap modernitas, Islamisme tidak

sepenuhnya antimodern. Walaupun mereka mempropagandakan ide-ide anti

modern, kaum Islamisme tetap mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi

modern sebagai instrumen untuk mewujudkan cita-cita mereka.42

Selain itu,

walaupun selalu mempropagandakan ide-ide anti modern, tanpa modernitas, kritik

kaum fundamentalis terhadap budaya modern menjadi tak mungkin.

Fundamentalisme lebih tepat disebut antimodernisme yang modern, karena hanya

dalam hubungan timbal balik antara Islamisme dan modernitas pola pikir dan

tindakan kaum muslim fundamentalis atas problem yang dihadapi masyarakat

modern dan solusi yang ditawarkan dapat dipahami.43

Islamisme juga lahir sebagai respons atas krisis yang melanda masyarakat

Islam akibat proses-proses politik, ekonomi, dan sosial. Sistem politik, ekonomi

39

Ibid., hlm 260-261. 40

Ibid., hlm. 260. 41

Ibid. 42

Bassam Tibi, op. cit., hlm. 37. 43

Matias Daven, “Fundamentalisme Agama Sebagai Tantangan Bagi Negara”, Jurnal Ledalero,

15:2 (Maumere: Desember 2016), hlm. 277-278.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

19

dan sosial yang sekular dipandang sebagai sumber dari segala ketimpangan dalam

pembangunan dan korupsi. Oleh karena itu, kelompok Islamisme mengusung

slogan Islam sebagai solusi. Ketika mengudarakan slogan al- hall al- Islami

(Islam sebagai solusi) kelompok Islamisme hendak mengganti sistem politik

sekular dengan sistem politik yang diyakini berasal dari Allah.44

Sistem politik

yang berasal dari Allah ini meniscayakan implementasi hukum Allah sebagi

fundamen yang menyokong kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hanya

dengan implementasi hukum Allah dalam segala aspek kehidupan, krisis yang

melanda masyarakat modern baik krisis normatif maupun struktural dapat

diatasi.45

2.3 KARAKTERISTIK ISLAMISME

Sebagai sebuah ideologi politik Islam, Islamisme memiliki beberapa

karakteristik. Karakteristik-karakteristik Islamisme akan dijabarkan dalam poin-

poin berikut.

2.3.1 Islamisme Sebagai Invensi terhadap Tradisi Islam

Dalam sejarahnya, kemunculan Islamisme sering kali dikaitkan dengan

kebangkitan Islam. Sekularisasi yang berdampak pada peminggiran peran agama

dalam ruang publik membuat Islam kehilangan gemanya. Peran agama (Islam)

yang sebelumnya amat krusial dalam penyelenggaraan ruang publik diganti

dengan tatanan sekular yang mengedepankan rasionalitas. Sekularisasi mendorong

lahirnya konsep negara sekuler, yaitu pemisahan peran agama dan negara. Agama

berurusan dengan hal-hal privat, konsep good life, sedangkan negara berususan

dengan hal-hal publik dan pertanyaan seputar the concept of justice.46

Jadi,

Islamisme oleh kebanyakan orang dilihat sebagai upaya untuk menggaungkan

kembali peran agama dalam ruang publik. Islamisme dilihat sebagai kebangkitan

agama Islam untuk kembali memantapkan posisinya sebagai rujukan dalam segala

aspek kehidupan manusia. Namun, paradigma berpikir di atas dikritisi oleh Tibi.

Menurut Tibi, Islamisme bukanlah fenomena kebangkitan agama Islam,

44

Bassam Tibi, op. cit., hlm. 31. 45

Mathias Daven, op. cit., hlm. 112. 46

Otto Gusti, Post-sekularisme, Toleransi dan Demokrasi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017),

hlm. 27.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

20

melainkan invensi tradisi Islam yang berkiblat pada ideologisasi Islam menjadi

ideologi politik.47

Invensi terhadap tradisi Islam ini merupakan upaya untuk menafsir tradisi

Islam seturut kemauan penganut ideologi Islamisme. Tradisi ditafsir sedemikian

rupa-seturut kebutuhan agar dapat dijadikan basis justifikasi dan legalisasi

perbuatan dalam rangka mewujudkan agenda ideologis. Tradisi, ajaran, Al-

Qur’an tidak lagi ditafsir dalam kerangka iman, budaya dan kemanusiaan, tetapi

ditafsir dalam kerangka kepentingan ideologis.

Invensi terhadap tradisi Islam dapat kita lihat dalam beberapa pokok

pikiran berikut. Pertama, interpretasi Islam sebagai nizam Islami (sistem politk

islamiah).48

Penganut ideologi Islamisme menafsir Islam bukan hanya sebagai

agama melainkan juga sebagai sistem politik yang berasal dari kehendak Allah.

Oleh karena itu sistem politik ini harus dipromosikan dan diimplementasikan

dalam masyarakat. Kelompok ini juga yakin bahwa Islam adalah totalitas

integratif dari “tiga d”: din (agama), dawlah (negara) dan dunya (dunia).49

Konsekuensinya adalah eksistensi Islam sebagai agama dan negara di tengah

dunia tidak dapat dilepas-pisahkan. Islam menurut kelompok ini merupakan

sintesis antara negara dan agama. Islam tidak boleh dipahami sebagai

pengkultusan, tata cara hidup baik, atau budaya semata, melainkan sisitem politik

yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan politis, ekonomi, sosial, moral

dalam kehidupan masyarakat. Islam eksis bukan hanya sebagai sebuah agama,

melainkan juga sebagai sebuah negara. Konsep yang integratif antara Islam,

negara dan dunia meniscayakan pembentukan negara Islam yang dijalankan

berdasarkan syariat Islam. Namun, tak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang

menunjukkan Islam sebagai sistem politik atau penekanan bahwa umat Islam

harus mendirikan negara Islam. Memang Al-Qur’an memuat kandungan etika dan

paduan moral untuk memimpin masyarakat politik, termasuk untuk menegakkan

keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Namun, Al-Qur’an tidak pernah

47

Bassam Tibi, loc. cit. 48

Ibid., hlm. 6. 49

M. syafi’I Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Potret Pemikiran Politik

Gusdur” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: Penerbit The

Wahid Instititute, 2006), hlm. xix.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

21

menggariskan sebuah sistem politik yang jelas, baku tentang pendirian dan

penyelenggaraan negara Islam. Misi Nabi Muhammmad bukan untuk membangun

kerajaan atau negara, melainkan untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam dan

kebajikan.50

Kedua, konsep tentang jihad. Dalam ajaran dan tradisi Islam, jihad

memiliki dua pengertian. Pertama, jihad sebagai jihad al-nafs51

yang merupakan

perang melawan diri sendiri dalam ketaatan kepada Allah. Perang ini merujuk

pada usaha sungguh-sungguh untuk mengendalikan diri, mengendalikan hawa

nafsu sebab Islam memandang hawa nafsu sebagai kekuatan yang selalu

menyimpan potensi destruktif, membuat jiwa selalu resah, gelisah dan

membahayakan orang lain.52

Kedua, qitάl yang berarti perang fisik. Perang fisik

ini dimaknai sebagai tanggung jawab religius untuk menghancurkan halangan-

halangan dalam penyebaran agama Islam.53

Dalam pengamalannya, qitάl harus

didahului oleh kemenangan terhadap diri sendiri agar aktivitas apapun yang

dilakukan tidak dikuasai oleh hawa nafsu.54

Namun, makna jihad ini kemudian

mengalami perubahan substantaif. Hassan al-Bana dan Qutb kemudian mengubah

jihad menjadi sebuah ideologi, yaitu jihadisme. Jihadisme bertumbuh dalam

bingkai-seperti yang dibahasakan oleh Mark Juergensmeyer- “teror atas nama

Allah”. Ungkapan ini hendak mengafirmasi keyakinan mereka bahwa Allah atau

agama melegitimasi kekerasan-teror sebagai upaya untuk mencapai tujuan

mereka. Kekerasan hanyalah sebuah sarana, tujuannya ialah mendirikan negara,

membangun tatanan dunia baru di bawah panji-panji Islam. Jihadisme dalam

praksisnya sering kali muncul dalam berbagai bentuk terorisme dan dengan

demikian mengabaikan etika dalam jihad klasik (jihad dalam pengertian

sesungguhnya).55

50

Ibid., hlm. xvii. 51

Bassam Tibi, op. cit., hlm. 135. 52

KH Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, op. cit., hlm 12. 53

Bassam Tbi, op. cit., hlm. 141. 54

KH Abdurrahman Wahid (ed.), loc, cit. 55

Bassam Tibi, op. cit., hlm. 155-156.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

22

2.3.2 Islamisme Sebagai Totalitarianisme Baru

Hannah Arend dalam The Origins of Totalitarianism mengetengahkan

bahwa rezim yang lahir sebagai reaksi atas kegagalan demokrasi dan

pembangunan dapat dipandang sebagai totalitarianisme. Dasar yang fundamen

dari ideologi totalitarian adalah meregulasi seluruh aspek kehidupan masyarakat

tanpa meninggalkan ruang untuk kebebasan individu.56

Nilai manusia sebagai

makhluk bermartabat, sadar, bebas, berhati nurani, bertanggung jawab diabaikan

demi sebuah ambisi untuk menjadi tuhan atas seluruh manusia. Manusia tidak lagi

mempunyai wewenang untuk menentukan mana yang baik atau buruk untuk

dirinya sebab tatanan moral-etis, sosial-politis, legal-ilegal telah ditentukan oleh

nilai-nilai ideologis yang eksklusif, yang tidak terbuka terhadap diskusi,

perdebatan dan konsensus. Manusia dituntut untuk secara mutlak taat terhadap

nilai-nilai ideologi totalitarianisme tanpa harus terlebih dahulu mengetahui

memahami, menyukai, menyetujui tatanan nilai-nilai itu.

Bassam Tibi menggolongkan Islamisme sebagai sebuah ideologi

totalitarianisme dan menyejajarkannya dengan ideologi totaliter lainnnya seperti

fasisme dan komunisme. Namun, berbeda dengan fasisme dan komunisme yang

sekular, Islamisme mengambil bentuk yang lain, yakni bentuk religius. Hal inilah

yang kemudian membuat Tibi menyematkannya sebagai totalitarianisme baru,

yakni karena dia mengambil bentuk religius, bentuk yang berbeda dengan fasisme

dan komunisme yang sekular.57

Sebagai ideologi totaliter, Islamisme memberlakukan hukum Islam

sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan pada semua bidang dan menolak

prinsip otonomi politik. Watak totaliter dan cita-cita menciptakan suatu

masyarakat homogen merupakan hal yang konstitutif bagi Islamisme.58

Dalam

bidang politik kelompok Islamisme mempropagandakan sistem politik Islam yang

dalam keyakinan mereka diwahyukan langsung oleh Allah. Sistem politik seperti

ini harus menjadi satu-satunya sistem politik yang bertakhta di dunia ini dan

diyakini sebagai satu-satunya sistem politik yang dapat menjawabi krisis

56

Ibid., hlm. 210. 57

Ibid., hlm. 3. 58

Mathias Daven, op. cit., hlm. 111.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

23

pembangunan yang dialami umat Islam. Dalam bidang moral, kelompok

Islamisme mengusung hukum Islam sebagai sumber hukum yang dapat

merespons defisit moral. Segala persoalan moral, kemerosotan moral hanya dapat

diatasi dengan mengimplementasikan hukum Islam. Oleh karena itu, seluruh

manusia dituntun untuk taat secara mutlak.

2.3.3 Pembentukan Negara Islam Sebagai Tujuan Islamisme

Poin utama dari segala perjuangan kelompok Islamisme adalah mendirikan

negara Islam. Kelompok Islamisme meyakini bahwa misi yang diamanatkan Allah

kepada Muhammad adalah misi untuk mendirikan negara Islam. Umat Islam

harus selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya

(khulafa ar rasyidun) sebagai teladan dalam mengatur tatanan kemasyarakatan,

dijadikan referensi utama dan modal untuk mewujudkan “negara Islam yang

ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik

Barat.59

Kelompok Islamisme mengusung jargon “Islam sebagai solusi” atas segala

masalah yang ditimbulkan oleh dominasi kekuatan Barat. Mereka mengalami

sebuah "kebiadaban moral" yang dahsyat, keterpinggiran akibat proses-proses

politik, sosial, ekonomi, budaya akibat sistem pemerintahan sekuler yang selalu

dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan Barat, khususnya Amerika. Misalnya di

dunia Arab, kelompok Islamisme menganggap pendudukan Israel atas tanah

Palestina yang didukung oleh Amerika sebagai bukti penaklukan di tingkat global

yang berujung pada marginalisasi umat Islam.60

Oleh karena itu, untuk merespons

masalah ini, kelompok ideologis ini meniscayakan pembangunan kembali tatanan

dunia yang telah rusak dengan mendirikan dan meyatukan seluruh masyarakat

dunia di bawah pemerintahah Islam.

Negara Islam yang diidealkan ini harus dibangun di atas syariat Islam.

Syariat yang diinterpretasikan sebagai hukum Tuhan harus dijadikan sebagai

dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan ke dalam seluruh

59

M. Syafi’i Anwar, op., cit. hlm. xix. 60

Asef Bayat, op. cit., hlm. 13-14.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

24

proses pemerintahan, dan menjadi pedoman perilaku politik penguasa.61

Dengan

demikian model pemerintahan seperti ini tidak memberi ruang kepada rakyat

untuk terlibat secara demokratis dalam segala aspek pemerintahan. Rakyat tidak

memiliki kedaulatan dalam seluruh proses pemerintahan. Syariat yang adalah

representasi dari kedaulatan Allah mengambil posisi sentral dalam segala proses

pemerintahan dan menjadi tonggak bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat.

Mengingat sentralnya syariat Islam sebagai dasar konstitutif negara dan

pedoman moral dalam kehidupan bermasyarakat, maka syariat bersifat

ekpansional dan transnasional. Islamisme memuat usaha untuk memberlakukan

syariat Islam tidak saja bagi masyarakat Timur Tengah, melainkan seluruh umat

manusia.62

Dengan demikian, secara geografis, ekspansi gerakan Islamisme tidak

terikat pada batas-batas geografis tertentu, melainkan bersifat transnasional, yakni

melampaui batas-batas negara tertentu. Cita-cita Islamisme untuk menyatukan

masyarakat dunia dalam sebuah negara Islam meniscayakan pemberlakuan syariat

Islam di seluruh belahan dunia.

2.4 VARIAN KELOMPOK ISLAMISME

Ambisi untuk menyatukan semua bangsa di bawah payung negara Islam

membuat Islamisme menolak ide pluralitas dan pluralisme karena sejatinya

keberagaman dan pengakuan atas keberagaman serta kesediaan untuk

berkoeksistensi dengan yang lain sangat bertolak belakang dengan cita-cita

Islamisme. Namun, tidak dapat dibantah, eksistensi Islamisme amat ditandai

dengan pluralitas internal. Mathias Daven, dalam tulisannya yang bertajuk

“Politik atas Nama Allah” menggolongkan Islamisme ke dalam beberapa varian

berdasarkan sarana atau cara yang digunakan dalam mencapai tujuan itu.63

Kelompok-kelompok itu adalah sebagai berikut.

2.4.1 Kelompok Jihadis-Wahabi

Kelompok jihadis-wahabi adalah varian Islamisme yang mengadopsi

pemikiran ideologis wahabisme yang tidak segan-segan menggunakan sarana

61

M. Syafi’i Anwar, loc. cit. 62

Matias Daven, op. cit., hlm 113. 63

Ibid., hlm. 116.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

25

kekerasan, penindasan, teror atau pembunuhan untuk mencapai tujuan

perjuangan.64

Selain itu, corak pemikiran wahabisme cendrung mengkafir-

kafirkan orang yang memiliki keyakinan dan pemikiran yang berbeda dengan

mereka.65

Dengan demikian kelompok jihadis-wahabi memiliki tendensi untuk

membagi manusia ke dalam dua kelas, yakni kelompok suci yang meliputi orang-

orang yang sepemikiran dengan mereka dan kelompok kafir, yang meliputi

mereka yang berbeda keyakinan dan pemikiran dengan mereka. Bagi kelompok

ini, dunia hanya diperuntukan bagi orang suci. Oleh karena itu, pembunuhan

merupakan jalan yang sangat adekuat untuk menyingkirkan orang-orang kafir dari

dunia ini.

Kelompok jihadis-wahabi-sejalan dengan pemikiran wahabisme-meyakini

bahwa kembali kepada makna asli Al-Qur’an dan sunah merupakan sebuah

kemendesakan. Mereka menolak rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Kelompok

ini bahkan menyebut ilmu pengetahuan humaniora, khususnya filsafat sebagai

ilmu setan. Eksklusivitas terhadap ilmu pengetahuan membuat kelompok ini

menolak penafsiran yang terbuka terhadap ajaran Islam. Mereka menolak segala

upaya untuk menginterpretasi hukum Allah secara historis dan kontekstual.66

Literalisme jihadis-wahabi ini telah memutuskan teks Islam dari konteks

masa risalah dan konteks masa pembacaan. Teks Islam dan Islam sendiri menjadi

tidak komunikatif dengan kondisi dan kebutuhan pembaca atau penganutnya.

Pembacaan yang harafiah terhadap ajaran Islam ini mungkin bertujuan untuk

menghindari kompleksitas pemahaman terhadap ajaran Islam. Namun, membatasi

interpretasi teks sesuai konteks zaman dan waktu membuat teks itu tidak aktual

dan kehilangan daya transformatifnya. Interpretasi teks yang tidak adaptif dengan

situasi sosial, budaya, politik dan moral membuat teks itu tidak lagi relevan dan

hanya akan menimbulkan masalah ketika teks itu tetap dipaksakan kepada

kelompok dengan konteks dan latar belakang yang berbeda.

64

Christoph Schuck, “Die Entgrenzung des Islamismus: Indonesische Erfahrungen im globalen

Kontext” dalam Ibid., hlm. 116. 65

KH. Abdurrahman Wahid (ed.), op. cit., hlm. 61. 66

Omid Safi (ed.), Progressive Muslims (Oxford: Oneworld Publication, 2003), hlm. 50.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

26

Di Indonesia, semangat kelompok jihadis-wahabi ini terpatri dalam

organisasi Jamaah Islamiah yang berjuang untuk mendirikan negara Islam dan

mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara. Organisasi ini terlibat dalam

pelbagai aksi pemboman atas kedutaan Filipina di Jakarta pada tanggal 1 Agustus

2000, aksi pemboman di Bali 11 Oktober 2002 dan 5 Oktober 2005, aksi

pemboman hotel Marriot di Jakarta 5 Agustus 2003 serta aksi pemboman atas

kedutaan Australia pada tanggal 9 September 2004.67

2.4.2 Kelompok Militan-Situatif

Kelompok militant-situatif adalah kelompok yang pada saat tertentu

menggunakan sarana kekerasan, sambil berkomitmen untuk mengkonstruksi

identitas keislaman yang tertutup dan eksklusif. Kelompok ini sangat reaktif

tatkala ada pernyataan provokatif dari pihak non-Islam bernada penistaan atau

memusuhi Islam dan reaksi kelompok ini diwujudkan dalam aksi demonstrasi

yang tak jarang diramu dengan aksi kekerasan terhadap pelbagai kedutaan negara-

negara Barat.68

Di Indonesia, kelompok ini direpresentasikan oleh FPI (Front Pembela

Islam), ormas yang didirikan di zaman reformasi oleh figur militan keturunan

Arab bernama Habib Rizieg Shihab. Organisasi ini mengusung agenda

pemberlakuan NKRI bersyariat menurut semangat Piagam Jakarta. Tak jarang

ormas ini melakukan kekerasan dengan dalil memerangi “penyakit masyarakat”

seperti minuman alkohol atau prostitusi. Hal yang menarik dalam perjuangan

kelompok ini adalah struktur argumentasi Habib Rizieg Shihab terkait dengan

demokrasi. Di satu pihak ia mendukung ide perwujudan NKRI bersyariat seturut

semangat Piagam Jakarta, yang berarti bertentangan dengan UUD 1945 (anti

demokrasi Pancasila). Di pihak lain, ia menandaskan pemberlakuan piagam

Jakarta justru memperkuat prinsip-prinsip demokrasi. Alasannya adalah karena

piagam Jakarta hanya menyangkut kewajiban bagi umat Islam, tidak menyangkut

umat beragama lain.69

67

Christoph Schuck, op. cit., hlm. 117. 68

Ibid. 69

Ibid., hlm. 188.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

27

2.4.3 Kelompok Indoktriner

Kelompok Indoktriner adalah varian Islamisme yang aktif menyebarkan

paham radikal melalui indoktrinasi atau khotbah-khotbah di rumah ibadat.

Kelompok ini dicirikan sebagai kelompok yang menolak cara-cara kekerasan

dalam mencapai tujuan mereka.70

Indoktrinasi yang dilakukan kelompok ini akan

berdampak pada glorifikasi ideologi Islamisme dalam pikiran setiap orang yang

diindoktrinasi. Mereka akan menutup diri terhadap realitas sosial, budaya dan

pluralitas cara pandang. Glorifikasi corak pemikiran Islamisme membuat para

indoktriner dan pengikutnya percaya bahwa Islamisme merupakan satu-satunya

ideologi yang benar. Oleh karena itu, mengartikulasikan dan menjadikan corak

berpikir Islamisme sebagai landasan dalam bertindak amatlah krusial dan

mendesak.

Hal yang menarik dari kelompok ini adalah penolakan cara-cara

kekerasan, teror, atau pembunuhan dalam mengejawantahkan tujuan mereka.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa proses indoktrinasi dapat melahirkan

generasi muda yang mudah untuk direkrut sebagai teroris atau pasukan yang siap

berjihad membela Allah. Namun, harus dipertegas bahwa tujuan utama kelompok

ini melakukan indoktrinasi bukan untuk melakukan aksi terorisme, melainkan

untuk menanamkan pengetahuan tentang Allah bagi yang belum mengenal Allah

dan paham-paham radikal lain seperti eksistensi hukum Islam sebagai satu-

satunya hukum yang mutlak bagi krisis moral yang melanda dunia. Dengan kata

lain, kelompok indoktriner hanya berkutat pada tataran teoretis-doktrinal, bukan

pada tataran praksis. Praksis atas doktrin yang ditanamkan merupakan

konsekuensi tidak langsung dari proses indoktrinasi itu.

Kelompok indoktriner ini mencakup kaum salafis neotradisional dan

oponen institusional. Kaum salafis neotradisional secara metodis hampir identik

dengan wahabisme, tetapi wahabisme lebih tidak toleran terhadap pluralitas,

termasuk pluralitas pandangan dan dalam memperjuangkan tujuannya, kelompok

salafis neotradisional menolak penggunaan cara-cara kekerasan. Kelompok ini

menegaskan bahwa umat Islam harus kembali kepada makna yang original dari

70

Ibid.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

28

Al-Qur’an dan sunah dan menekankan perlunya reinterpretasi ajaran Islam itu

seturut kebutuhan dunia modern.71

Keterbukaannya terhadap reinterpretasi ajaran Islam dan menolak

kepatuhan buta terhadap interpretasi generasi muslim sebelumnya menjadikan

salafisme neotradisional sebagai varian Islamisme yang tidak anti-intelektual.

Berbeda dengan wahabisme, kelompok ini tidak memusuhi tradisi hukum dan

mendukung pengembangan sekolah-sekolah untuk meletakkan dasar pemahaman

mereka tentang Islam dan kehendak ilahi.72

Kelompok ini aktif untuk melakukan

pengajaran untuk mendidik manusia yang belum mengenal Allah menjadi

manusia yang mengimani Allah.73

Pengajaran yang dilakukan oleh kelompok ini

tidak pernah bebas dari bingkai kehendak ilahi, artinya kehendak ilahi seperti

pemberlakuan sistem politik Allah, slogan “Islam sebagai solusi” selalu mendapat

tempat sentral dalam setiap proses pengajaran. Ormas Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI) merupakan representasi varian salafis neotradisional di

Indonesia.

Kedua, oponen institusional. Kelompok ini selalu mendefinisikan diri

sebagai oposis ektra-parlementer dan berjuang melawan sistem politik yang ada.

Walaupun kelompok ini dicirikan oleh prinsip non-kekerasan, toh tetap

mengambil jarak dan tidak melibatkan diri dalam proses politik karena menurut

kelompok ini sistem politik yang ada sudah tidak islamiah. Varian ini diwakili

oleh ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

2.4.4 Kelompok Pseudemokrat

Kelompok pseudemokrat adalah varian Islamisme yang berjuang dengan

cara berpartisipasi aktif dalam sistem politik yang ada dan mengambil bagian

secara aktif dalam pemilihan umum. Namun demikian partisipasi dalam proses

demokrasi tidak serta merta membuat kelompok ini diklasifikasikan sebagai

pendukung ide demokrasi. Dalam pandangan kelompok ini demokrasi tetap

merupakan merupakan ide yang lahir dari jahilliyah. Namun, partisipasi aktif

71

Omid Safi (ed.), op. cit., hlm. 55. 72

Ibid. 73

Christop Schuck, op. cit., hlm. 119.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORETIS SEPUTAR ISLAMISME

29

dalam sistem politik demokrasi dipandang sebagai langkah strategis pragmatis

dengan tujuan memenangkan mayoritas kursi parlemen dan dengan itu terbuka

jalan bagi perubahan sistem demokrasi menjadi sistem politik Islamiah. Di

Indonesia kelompok pseudemokrat ini dikaitkan dengan sepak terjang Partai

Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan jargon “Islam adalah solusi” PKS dapat

diklasifikasikan ke dalam kategori kelompok pseudemokrat, karena loyalitasnya

lebih mengabdi kepada umma ketimbang mekanisme demokrasi yang pada intinya

memuat penghormatan hak asasi manusia.74

Kelompok Pseudemokrat melihat demokrasi hanya sebagai sarana untuk

menggapai tujuan yang tidak demokratis, yaitu usaha menjadikan hukum Islam

sebagai dasar penyelenggaraan politik kenegaraan. Demokrasi dipahami dalam

bingkai sarana-tujuan: setelah tujuan tercapai, demokrasi sebagai sarana tidak lagi

dipandang sebagai relevan karena secara ideologis kelompok Islamisme

sebenarnya menolak prinsip pemilihan umum karena kebenaran absolut sama

sekali tidak bergantung pada konsensus yang bisa dibuktikan melalui proses

pemilihan umum. Hukum Islam adalah satu-satunya hukum yang berasal dari

Allah dan karena itu wajib dijadikan sebagai tonggak pedoman arah dalam

kehidupan bermasyarakat dan dalam politik kenegaraan. Hal itu tidak

membutuhkan prinsip suara terbanyak.75

74

Ibid., hlm. 120. 75

Ibid.