bab ii landasan teoretik a. pengertian...

58
20 BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umum 1. Pidana Mati Pidana mati atau hukuman mati menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan nyawa terhadap terpidana 1 . Kemudian dalam Wikipedia Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. 2 Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan nyawa seseorang. 3 1 kbbi.web.id diakses 24 Juni 2016 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses 24 Juni 2016 3 Sejarah, Pengertian, Dasar Dan Tujuan Pidana Mati Di Indonesia, http://www.wawasanpendidikan.com/2016/01/sejarah-pengertian-dasar-dan-tujuan-pidana- mati-di-indonesia.html, diakses 19 Juli 2016

Upload: ngokhuong

Post on 05-May-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

20

BAB II

LANDASAN TEORETIK

A. Pengertian Umum

1. Pidana Mati

Pidana mati atau hukuman mati menurut KBBI

(Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan

nyawa terhadap terpidana1. Kemudian dalam Wikipedia

Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukuman mati adalah

suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau

tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang

dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.2 Hukuman

atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut

hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana

yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan

hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan

nyawa seseorang.3

1 kbbi.web.id diakses 24 Juni 2016

2 https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati, diakses 24 Juni 2016

3 Sejarah, Pengertian, Dasar Dan Tujuan Pidana Mati Di Indonesia,

http://www.wawasanpendidikan.com/2016/01/sejarah-pengertian-dasar-dan-tujuan-pidana-

mati-di-indonesia.html, diakses 19 Juli 2016

Page 2: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

21

Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28A dengan

tegas menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup

serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Lebih lanjut mengenai hak asasi manusia, diatur dalam Pasal

28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,

hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai

pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah

hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apa pun.”

Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat

dijelaskan bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang

dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui

apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”,

sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak

untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu

yang tidak dapat dirampas dan dikurangi (non-derogable

rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi

apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau

dalam situasi darurat.4

4 https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang

hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia,

diakses 3 Agustus 2016

Page 3: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

22

Dalam bukunya Sahetapy yang berjudul Ancaman

Pidana Mati dalam pembunuhan berencana, masih banyak

peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan

pidana mati dalam hukum positif Indonesia 5 antara lain:

1) Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, Pasal

111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3)

KUHP;

2) Pembunuhan Berencana (Pasal 340) KUHP;

3) Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka

berat atau mati (Pasal 365 ayat (4))

4) Pembajakan dilaut, dipantai, dipesisir atau disungai

dengan kekerasan (Pasal 444 ) KUHP;

5) Kejahatan penerbangan dan Kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan (Pasal 479k ayat (2) dan

Pasal 479o ayat (2) KUHP)

Sedangkan diluar Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, maka kejahatan-kejahatan yang diancam dengan

pidana mati antara lain tercantum pada :

5 J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,

cet.ketiga, Setara Press Malang, Malang, 2009

Page 4: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

23

1) Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951 tentang senjata

api, munisi atau sesuatu bahan peledak

2) Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun dalam

perkembangannya Undang-undang ini telah dicabut

dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 1999 tentang

Pencabutan UU No.11/PNPS/Tahun 1963.

3) Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

4) Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 41, UU No. 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM

5) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme

6) Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2),

Pasal 121 ayat (2), UU No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

7) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

8) Pasal 89 ayat (1), UU No. 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Page 5: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

24

Hingga saat ini tercatat 133 negara telah menghapus

hukuman mati dalam sistem hukum pidana masing-masing.

Tetapi masih ada negara lainnya termasuk Indonesia yang

masih mempertahankan hukuman mati. Penghapusan

hukuman mati sendiri sejak tahun 1985 trennya kian

menguat.6 Secara formal keberadaan hukuman mati telah

dilarang oleh instrumen hukum internasional, misalnya,

Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The

Abolition of the The Death Penalty tahun 1990 dalam Pasal 1

ayat (2) yang menyatakan bahwa : “setiap negara pihak harus

mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapus

hukuman mati dalam yurisdiksinya”.7

Lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Internasional

Covenant on Civil and Politic Rights (ICCPR) menyebutkan

bahwa; “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang

melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum

dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Bagi negara-negara

yang belum menghapus hukuman mati, Pasal 6 ayat (2) masih

memperbolehkan diberlakukannya hukuman mati, namun

6 Hendarman Supandji., “ Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum

di Indonesia”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. IV , No.2 , 2008, hal 2. 7 Lihat ; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the

The Death Penalty tahun 1990

Page 6: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

25

penerapannya dibatasi hanya untuk kejahatan yang sangat

serius (the most serious crimes).8

Secara faktual, keberadaan hukuman mati

bertentangan dengan hak hidup. Keberadaannya tidak dengan

sendirinya membuat efek jera bagi pelaku kejahatan dan

belum tentu menurunkan tingkat kejahatan. Uni Eropa (EU)

merupakan pihak yang paling gencar melakukan kampanye

penghapusan hukuman mati bahkan EU mewajibkan

anggotanya untuk menghapuskan hukuman mati. Sementara

Indonesia, penghapusan hukuman mati masih menjadi wacana

karena masih tingginya kejahatan berat, seperti terorisme,

korupsi dan narkoba.9

Perdebatan mengenai pidana mati tidak pernah surut.

Dalam membahas mengenai eksistensi pidana mati terdapat

dua arus pemikiran utama yaitu kelompok yang

menginginkan penghapusan pidana mati secara keseluruhan

dan kelompok yang ingin tetap mempertahankan keberadaan

pidana mati berdasarkan ketentuan hukum positif yang

8 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, kompas,

Jakarta, 2009, hal 47

9 Hendarman Supandji, Loc.cit

Page 7: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

26

berlaku. Pendapat dari beberapa tokoh yang menentang

pidana mati antara lain :

a) Hans von Hentig (Jerman), berpendapat bahwa

sebenarnya pengaruh pidana mati sangat jelek, karena

tidak hanya berpengaruh terhadap keadaan fisik atas orang

yang terpidana tetapi fisik pada pikiran berjuta-juta orang

dengan perantaraan media massa dan seharusnya negara

wajib mempertahankan nyawa orang dalam keadaan yang

bagaimanapun. 10

b) Roeslan Saleh, berpendapat bahwa dengan tindakan

pidana mati itu, negara hanya memperlihatkan

ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas

kejahatan, jika negara masih dapat mencapai tujuannya

dengan melaksanakan penerapan pidana yang lain, maka

negara berkewajiban menghapuskan pidana mati. Alasan

lain yang harus diperhatikan adalah jika vonis hakim, dan

pidana mati itu telah dilaksanakan, maka kekeliruan itu

tidak dapat diperbaiki lagi.11

10

Ibid .Op. Cit, hal 6.

11 Ibid, hal 6

Page 8: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

27

c) Rolling (1983), berpendapat bahwa pidana mati itu

mempunyai daya destruktif, yaitu apabila negara sudah

tidak meghormati nyawa manusia dan menganggap tepat

untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang,

maka ada kemungkinan besar akan berkurang pulalah

hormat orang pada nyawa manusia, dan perbuatan

membunuh oleh negara itu akan memancing suatu

penyusulan pula terhadapnya.12

Sedangkan pendapat beberapa tokoh yang mendukung

pidana mati, ialah:

a) Lambroso dan Gorofalo, berpendapat bahwa pidana mati

itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat

untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat

diperbaiki lagi.13

b) Oemar Seno Adjie, berpendapat bahwa selama negara kita

masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan

sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib

masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir

12

Ibid.,

13 Ibid, hal 7

Page 9: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

28

anasir yang tidak mengenal perikemanusiaa, ia masih

memerlukan pidana mati.14

c) Bambang Poernomo, berpendapat bahwa untuk

mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras

seperti halnya dengan hukuman mati, terutama terhadap

kejahatan yang bengis.15

J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana

mati, walaupun terbatas hanya mengenai pembunuhan

berencana. Dalam disertasinya yang berjudul Suatu Studi

Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa bahwa:

a) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP pada

dewasa ini dalam praktik merupakan suatu ketentuan

abolisi de facto;

b) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP tidak akan

mengenai sasarannya selama ada beberapa faktor seperti

lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi,

kebebasan hakim, dan “shame culture”;

14

Ibid, hal 8

15 Ibid.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

29

c) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana

mati.16

Saat ini Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana

(RUU KUHP) Tahun 2015 masih mencantumkan hukuman

mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Dalam RUU

KUHP, hukuman mati masih termasuk pidana pokok namun

bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Hukuman mati dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 66 ayat

(1), menyatakan bahwa “Pidana mati merupakan pidana

pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara

alternatif ”. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 66 RUU

KUHP menyatakan bahwa :

Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk

menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat

khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain,

pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh

karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan

jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling lama 20 (tahun).

RUU KUHP menempatkan hukuman pokok dalam

rumusan sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan

secara alternatif. Pidana mati dicantumkan dalam pasal

tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-

16

J.E. . Sahetapy, Op. cit. hal. 18

Page 11: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

30

benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana

yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling

berat. Pidana mati ini harus selalu diancamkan secara

alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)

tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat,

dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam

tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana

diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati

tidak perlu dilaksanakan. 17

2. Eksekusi Pidana Mati

Eksekusi pada dasarnya merupakan salah satu

kewenangan jaksa yang diatur undang-undang untuk

melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang dapat

dilakukan eksekusi hanyalah putusan hakim yang sudah

memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.18

Menurut

teoretik dan praktik, suatu putusan pengadilan telah

17

http://reformasikuhp.org/data/wp-content/uploads/2015/11/Monograf-icjr-fgd-

29-Oktober-2015.pdf, diakses 25 Agustus 2016 18

RONI EFENDI, Kedudukan Masa Tunggu Eksekusi Bagi Terpidana Mati

Dalam Sistem Pemidanaan, http://scholar.unand.ac.id/10727/pdf, diakses 18 Agustus 2016

Page 12: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

31

berkekuatan hukum tetap apabila terdakwa dan penuntut

umum telah menerima putusan sebagaimana dinyatakan

dalam “surat pernyataan menerima putusan”, jika upaya

hukum tidak dipergunakan sehingga tenggang waktunya

terlampaui, apabila diajukan permohonan banding dan

kemudian dicabut kembali dan adanya permohonan grasi

yang diajukan disertai permohonan penangguhan eksekusi.19

Lebih lanjut dalam Pasal 270 KUHAP juga

menyatakan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,

yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan

kepadanya”. Sehingga eksekusi putusan pengadilan baru

dapat dilakukan oleh jaksa setelah jaksa menerima salinan

surat putusan panitera. Mengenai "dalam jangka waktu

beberapa lama" Panitera harus sudah mengirimkan salinan

surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu tidak diatur dalam

KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar

19

Lilik Mulyadi, Hukum Acara PidanaNormatif, Teoretis, Praktik dan

Permasalahannya, cet.ke-1, edisi Pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 287

Page 13: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

32

apabila jangka waktu pengiriman itu diberi batas, yakni

eksekusi putusan oleh Jaksa dapat segera dilaksanakan..20

Dikaji dari perspektif sejarahnya, hukuman mati telah

dikenal pada zaman Romawi yaitu dengan telah diterapkan

hukuman mati oleh Socrates tahun 399 SM dengan metode

minum racun. Selain racun, eksekusi hukuman mati dilakukan

dengan metode 21

:

Suntik mati dengan tiga kombinasi zat yang digunakan

terdiri dari sodium thiopental (sejenis obat tidur, shingga

si terhukum mati menjadi tidak sadar), pancuronium

bromide (berfungsi untuk melumpuhkan otot perut dan

paru-paru), dan potassium klorida (menyebabkan jantung

berhenti).

Setrum, terpidana ditempatkan pada kursi khusus dan

disetrum selama 4 (empat) menit menggunakan 2000V, 7

(tujuh) menit berikutnya 1000V dan 2 (dua) menit terakhir

208V.

Kamar Gas dengan diairi gas hydrocyanic yang berfungsi

menghancurkan kemampuan memproses hermaglobin

darah hingga meninggal

Digantung yang berdiri diatas lantai berlubang seperti

jendela dengan leher dijerat tali, lalu jendela lantai dibuka,

terpidana akan meluncur jatuh dan terjerat

Penggal/pancung, terpidana dipenggal lehernya. Metode

ini biasa dilakukan eksekutor manusia dan juga dengan

bantuan alat khusus seperti di Perancis disebut guillotine.

Metode ini banyak digunakan di Eropa dan negara-negara

islam sebelum abad ke-17.

20

Lihat SEMA NO. 21 TAHUN 1983 ttg Batas Waktu Pengiriman Salinan

Putusan Pada Jaksa

21 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal 288

Page 14: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

33

Kemudian perkembangannya di Indonesia, dalam hal

pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka

pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang

tidak dimuka umum (Pasal 271 KUHAP). Sebelumnya

ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi yang

diatur dalam Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa; “ Hukuman

mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan

menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan

mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan

menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”.

Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak

tanggal 27 April 1964 sudah tidak berlaku lagi22

karena

ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan

keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka diganti dengan

Undang-undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan

Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yakni

pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai

mati.23

Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan

22

http://www.academia.edu/7612356/Eksekusi_pidana, diakses 3 Agustus 2016

23 Lihat Pasal 1 UU No.2/1964

Page 15: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

34

oleh pengadilan di Lingkungan peradilan umum dan Militer,

yang dalam Pasal 2 s.d Pasal 16 UU No. 2/Pnps/1964,

ditentukan bahwa tata cara proseduralnya 24

sebagai berikut :

a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam saat

pidana mati dilaksanakan Jaksa Tinggi/Jaksa yang

bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana

tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut dan

apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu,

keterangannya atau pesannya itu diterima oleh Jaksa

Tinggi atau Jaksa tersebut (Pasal 6 ayat (1), (2));

b. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati

baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya

dilahirkan (Pasal 7);

c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri

Kehakiman yaitu di suatu tempat dalam daerah hukum

pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat

pertama (Pasal 2 ayat (1));

d. Kepala Kepolisian dari daerah yang bersangkutan

bertanggung jawab mengenai pelaksanaan pidana mati

tersebut setelah mendengar nasihat dari Jaksa

Tinggi/Jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana

mati pada peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan Pasal 4);

e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak

yang terdiri dari seorang Bintara, 10 orang Tamtama,

dibawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya dari

Brigade Mobile (Pasal 10 ayat (1));

f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira

yang ditunjuk) dan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung

jawab harus menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut

(Pasal 4);

g. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat

disertai rohaniawa (Pasal 11 ayat (1). Kemudian terpidana

dapat menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau

berlutut (Pasal 12 ayat(1)) dan pelaksanaan pidana mati

dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara

24

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoreti, Praktik dan

Permasalahannya, Cet ke-1, edisi pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal.290

Page 16: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

35

sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh

Presiden (Pasal 9);

h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada

keluarganya atau sahabat terpidana kecuali berdasarkan

kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan

dapat menetukan lain (Pasal 15);

i. Kemudian setelah pelaksanaan pidana mati dilaksanakan,

Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan harus membuat

berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi

dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan

didalam surat keputusan dari pengadilan yang

bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) dan (2))

Pengaturan lebih lanjut mengenai eksekusi pidana

mati juga diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.25

Dalam Pasal 4

Perkapolri No. 12 tahun 2010 ditentukan tata cara

pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan

sebagai berikut:

a. persiapan;

b. pengorganisasian;

c. pelaksanaan; dan

d. pengakhiran.

Mengenai proses pelaksanaan pidana mati, lebih

spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri No. 12 Tahun 2010

sebagai berikut :

25

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl441/hukuman-mati, diakses 15

Agustus 2016

Page 17: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

36

a) terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan

berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi

pelaksanaan pidana mati;

b) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan

pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang

rohaniawan;

c) regu pendukung telah siap di tempat yang telah

ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan

pidana mati;

d) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana

mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di

daerah persiapan;

e) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua

belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi

tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter

sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah

persiapan;

f) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya

kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR,

PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;

g) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir

terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan

untuk pelaksanaan pidana mati;

h) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke

tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan

Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian

Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan

”LAKSANAKAN”;

i) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu

penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata

ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang

dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir

peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1

(satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;

j) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2

dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke

posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat

kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga

pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk,

atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;

Page 18: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

37

k) Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan

diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang

rohaniawan;

l) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain

hitam, kecuali jika terpidana menolak;

m) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju

terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran

penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan

diri dari terpidana;

n) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor

bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana

mati;

o) Jaksa Eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada

Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan

penembakan terhadap terpidana;

p) Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada

Komandan Regu penembak untuk membawa regu

penembak mengambil posisi dan mengambil senjata

dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah

terpidana;

q) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping

kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah

serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat

di tempat;

r) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap

sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas;

s) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat

bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah

jantung terpidana;

t) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan

setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak

untuk membuka kunci senjata;

u) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah

pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu

penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;

v) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana

menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu

penembak mengambil sikap depan senjata;

w) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter

memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter

bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda

Page 19: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

38

kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan

Pelaksana melakukan penembakan pengakhir;

x) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu

penembak untuk melakukan penembakan pengakhir

dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada

pelipis terpidana tepat di atas telinga;

y) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila

menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda

kehidupan;

z) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila

dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-

tanda kehidupan pada terpidana;

aa) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu

penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas

magasin dan mengosongkan senjatanya; dan

bb) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan

kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan

”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.

Eksekusi pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum surat

Keputusan Presiden yang menyatakan tentang penolakan grasi

tersebut diterima oleh terpidana (pemohon grasi).

B. Tujuan Pemidanaan

Negara (pemerintahan) dalam menjalankan hukum pidana

senantiasa dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh

Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut:

Pemerintah negara harus menjalankan kemerdekaan individu,

menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap

dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara

menjatuhkan hukuman dan justu menjatuhkan hukuman itu, maka

pribadi tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang

bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada satu pihak, pemerintah Negara

membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa

Page 20: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

39

pun juga, sedangkan dilain pihak pemerintah negara menyerang

pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.26

Tujuan pemidanaan yang merupakan pembenaran atas

penggunaan atau penjatuhan pidana mempunyai banyak variasi

dengan dasar-dasar pembenarannya (rechtvaardigingsgrond). Teori

yang dikenal dengan pembenaran tersebut dikenal dalam 3 golongan

utama, yaitu :

1) Teori Pembalasan atau Teori Absolute (Retributive/Vergeldings

Theorien)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang

telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak

pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana.

Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan

pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau,

maksudnya memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi

seorang penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang

mengatakan : Darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa.27

2) Teori Tujuan atau Teori Relatif (Utilitarian/Doeltheorien)

26

Utrecht, hukum pidana 1, Bandung : universitas, 1967 , hal 158

27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hal.59

Page 21: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

40

Teori-teori yang yang termasuk golongan teori tujuan

membenarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung pada

tujuan pemidanaan yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau

pencegahan terjadinya kejahatan (ne peccetur). Perbedaan dari

beberapa teori yang termasuk teori tujuan, terletak pada caranya

untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana.

Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana,

dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat

yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk

menyingkirkan penjahat, atau prevensi umum. Teori tujuan lebih

mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat

atau kepada kepentingan masyarakat. 28

3) Teori Gabungan (Verenegings Theorien)

Kemudian timbul golongan ketiga yang berdasarkan pemidanaan

kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang

disebut sebagai teori gabungan. Dasar pemikiran teori gabungan

adalah pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk

masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat

member kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun

28

Ibid., hal. 61

Page 22: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

41

kepada masyarakat.29

Gabungan kedua teori ini mengajarkan

bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata

tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si

penjahat.30

Selanjutnya secara umum, legitimasi bagi pengenaan pidana

dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu legitimasi

teleologis (teleological legitimacy) dan legitimasi deontologist

(deontological legitimacy). Legitimasi teleologis mencakup alasan-

alasan yang difokuskan pada tujuan pemidanaan untuk kepentingan

masa depan, sedangkan legitimasi deontologis lebih dititikberatkan

pada pemidanaan sebagai konsekuensi dari pelanggaran hukum

pidana. Sekarang ini pembenaran terhadap pembinaan umumnya

disandarkan baik pada legitimasi teleologis maupun legitimasi

deontologis, sebagaimana terlihat dari teori tentang pemidanaan yang

mencakup aspek pembalasan (retribution), pencegahan (deterrence),

pelumpuhan (incapacitation), perbaikan diri pelaku (rehabilitation),

dan penegasan kesalahan (denunciation). 31

29

Erdianto Effendi, Suatu Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika aditama,

Bandung, 2011 30

Leden Merpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,

2005, hal.107 31

Arie Siswanto, Buku 1 : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL SEBUAH

PEMAHAMAN AWAL, 2014, hal 12-16

Page 23: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

42

1) Pembalasan (retribution)

Pembalasan barangkali merupakan legitimasi yang tertua bagi

pengenaan pidana. Menurut gagasan deontologis yang

dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Immanuel Kant ini,

sudah merupakan hal yang layak apabila seseorang

mendapatkan pembalasan setimpal atas pelanggaran hukum

pidana yang sudah mereka lakukan. Pengenaan pidana

sekaligus dianggap sebagai pengakuan bahwa pelaku

pelanggaran adalah pribadi yang memiliki kemanusiaan

secara utuh (full personhood) yang mampu menjadi moral

agent, mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk,

mampu bertanggungjawab, serta pada akhirnya layak

mewujudkan tanggungjawabnya melalui pemidanaan. Terkait

dengan hal tersebut, dalam wujudnya yang ekstrem, gagasan

ini beranggapan bahwa pengenaan pidana untuk tujuan lain,

semisal tujuan untuk merehabilitasi pelaku, justru merupakan

penyangkalan terhadap pelaku yang pada hakikatnya adalah

manusia utuh yang mampu bertanggungjawab serta

menanggung konsekuensi hukum untuk apa yang

dilakukannya.

2) Pencegahan (deterrence)

Page 24: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

43

Legitimasi penjatuhan pidana sebagai sarana untuk

melakukan pencegahan kejahatan banyak dipengaruhi oleh

gagasan utilitarianistik dari Jeremy Bentham. Berbeda dari

alasan retribusi yang lebih bersifat ontologis, alasan

pencegahan kejahatan lebih bernuansa teleologis. Menurut

alasan ini, penjatuhan pidana difokuskan pada manfaat

pemidanaan dalam upaya untuk mewujudkan kondisi yang

lebih baik di masa mendatang, yakni pencegahan kejahatan.

Melalui penjatuhan pidana diharapkan bahwa masyarakat

akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk melakukan

kejahatan seperti kejahatan yang dijatuhi pidana. Dalam

kalimat sederhana, penjatuhan pidana kepada seorang pelaku

kejahatan dilakukan supaya orang lain takut meniru perbuatan

salah yang dilakukan pelaku kejahatan itu.

3) Pelumpuhan (incapacitation)

Melucuti kemampuan pelaku kejahatan melalui pemidanaan

merupakan rationale yang ada dibalik tujuan incapacitation

ini. Ketika seorang pelaku kejahatan dijatuhi pidana,

khususnya berupa pidana pembatasan kebebasan fisik

(penjara), terdapat kehendak agar si pelaku tidak bisa

melakukan lagi kejahatan.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

44

4) Perbaikan diri pelaku (rehabilitation)

Dalam teori tentang pemidanaan (sentencing theory),tujuan

rehabilitasi mewakili pandangan yang kontemporer.

Berdasarkan sudut pandang ini, seorang pelaku kejahatan

dijatuhi pidana sebagai bagian dari sebuah proses yang secara

teleologis diharapkan bermuara pada perubahan pada diri

pelaku kejahatan sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi

warga masyarakat yang baik. Oleh karena itu, dari perspektif

ini pembinaan terhadap seorang terpidana menjadi factor yang

amat penting. Secara implisit, sudut pandang ini juga tidak

kompatibel dengan eksistensi pidana mati (capital

punishment), karena secara hakiki pidana mati menghilangkan

peluang bagi terpidana untuk direhabilitasi.

5) Penegasan kesalahan (denunciation)

Perspektif pemidanaan ini termasuk sebagai perspektif yang

relative baru didalam member dasar pembenaran bagi

pengenaan pidana. Pemidanaan sebagai bentuk penegasan

kesalahan juga diadopsi didalam hukum pidana internasional.

Berdasarkan sisi pandang ini, keseluruhan sistem hukum

pidana internasional procedural dan juga pemidanaan

dipandang sebagai kesempatan untuk mengkomunikasikan

Page 26: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

45

kepada pelaku, korban dan masyarakat luas perihal sifat salah

dari perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan demikian,

dapat pula dikatakan bahwa pemidanaan memiliki aspek

didaktik bagi masyarakat luas. Selain menegaskan norma-

norma yang tidak dapat diterima oleh masyarakat,

pemidanaan juga dianggap sebagai penghormatan terhadap

prinsip rule of law yang harus ditaati.

Dalam Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan

pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III

dengan judul : Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Rancangan KUHP

Tahun 2015 dalam Pasal 54 ayat (1) menetapkan ada 4 (empat)

tujuan pemidanaan 32

, antara lain :

a. Pemidanaan bertujuan :

i. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan

menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat;

ii. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna;

32

Rancangan KUHP Nasional Tahun 2015 Pasal 54

Page 27: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

46

iii. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan

iv. Membebaskan rasa bermasalah pada terpidana.

Menurut Barda Nawawi Arief, perumusan tujuan pemidanaan

didalam Konsep Rancangan KUHP Nasional bertolak dari pokok-

pokok pemikiran antara lain :

a) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem

hukum yang bertujuan (purposive system) sehingga

dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam

undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana

untuk mencapai tujuan.33

b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan

merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang

konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.

Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap

itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka

diperlukan perumusan tujuan pemidanaan.34

33

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,

Jakarta , 2007, hal. 127 34

Ibid, h.128

Page 28: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

47

c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai

„fungsi pengendali/control‟ dan sekaligus memberikan

dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi

pemidanaan yang jelas dan terarah.35

Pernyataan ini juga terlihat dalam pendapat Romli

Atmasasmita, yang menegaskan bahwa perumusan empat tujuan

pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional tersimpul pandangan

social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana,

pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual

berlandaskan pancasila.36

Tujuan pemidanaan tersebut dipertegas

kembali dengan mencantumkannya pada Pasal 54 ayat (2) RUU

KUHP yang menyebutkan bahwa: “pemidanaan tidak dimaksudkan

untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

C. Hambatan-Hambatan Dalam Eksekusi Pidana Mati

Dalam eksekusi pidana mati tidak selalu berjalan sesuai

aturan. Hal ini juga disebabkan karena masih adanya hak-hak

terpidana berupa pengajuan upaya hukum luar biasa berupa

Peninjauan kembali dan Grasi. Namun dalam penggunaan upaya

hukum ini juga tidak selalu berjalan konsisten karena terdapat juga

35

Ibid. 36

Ibid.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

48

hambatan-hanbatan didalamnya. Adapun hambatan yang terkait

dengan eksekusi pidana mati diantaranya :

a) Grasi

Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat

dilakukan atas sesuatu putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung.37

Dasar hukum pemberian grasi oleh presiden dapat dilihat dalam

Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 bahwa: “Presiden memberikan grasi

dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah

Agung”. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 22

Tahun 2002 Jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi,

dikatakan bahwa ; Grasi adalah “Pengampunan berupa

perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh

Presiden”. 38

Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana

oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada

tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan

terpidana tidak hadir, maka panitera yang mendampingi hakim

37

Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, ed, Panduan Bantuan Hukum

Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta, 2014, hal.246 38

Lihat UU Grasi

Page 30: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

49

ketua sidang dalam memutus perkara pada tingkat pertama harus

memberitahukan secara tertulis kepada terpidana.39

Permohonan

grasi terhadap terpidana yang dijatuhi hukum pidana mati

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2010

tentang Grasi, yang berhak mengajukan grasi adalah :

1) Terpidana atau kuasa hukumnya;

2) Keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana;

3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan

grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa

persetujuan terpidana.40

Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2), Pemberian grasi

oleh Presiden dapat berupa:

a) Peringanan atau perubahan jenis pidana;

b) Pengurangan jumlah pidana; atau

c) Penghapusan pelaksanaan pidana.

Sebelumnya pengaturan tentang batas waktu

permohonan grasi tidak diatur secara jelas dalam peraturan

perundang-undangan sampai dikeluarkannya UU No. 5 Tahun

2010 tentang Grasi. Dimana dalam Pasal 2 ayat (3)

39

Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Loc. Cit 40

Lihat Pasal 6 UU Grasi

Page 31: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

50

menyebutkan : “Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1

(satu) kali”. Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan

bahwa: “Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

rendah 2 (dua) tahun”.

Kemudian mengenai batas waktu maksimal pengajuan

Grasi sebelumnya diatur dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa:

“Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak

putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”, namun dalam

perkembangannya pasal tersebut sudah dihapus dengan

putusan MK No 107/PUU-XIII/2015. Bagi terpidana mati,

kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan

permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan

sebelum Keputusan Presiden tentang Penolakan Pemohonan

grasi diterima oleh terpidana.41

b) Peninjaun Kembali

Peninjauan Kembali (PK) yang dalam Bahasa Belanda

dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar

41

Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 247

Page 32: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

51

biasa dalam hukum pidana, terhadap suatu putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van

gewjisde).42

Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu

tugas dari Mahkamah Agung yang tertuang dalam Pasal 28 ayat

(1) huruf c UU No. 14 Tahun 1985 Jo UU No. 3 Tahun 2009

tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “MA bertugas dan

berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan

kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap” ketentuan diatas juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2)

UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

menyebutkan bahwa: “Terhadap putusan peninjauan kembali

tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana

atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan

kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).

Mengenai alasan mengajukan peninjauan kembali

sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dilakukan

atas dasar:

42

Referensi Hukum dan Politik;

www.gresnews.com/berita/tips/1731208...peninjauan-kembali-pk-perkara-pidana,

diakses 2 Agustus 2016

Page 33: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

52

a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan

kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu

sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan

bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau

tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau

terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang

lebih ringan;

b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan

bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan

sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah

terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang

lain;

c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Terkait upaya hukum luar biasa, pengajuan peninjauan

kembali, Pasal 268 ayat (3) membatasi bahwa “Permintaan

peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat

dilakukan satu kali saja”. Dalam hal ini, telah dilakukan

judicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh

Antazari Azhar (Mantan Ketua KPK). Dalam Putusan MK

No. 34/PUU-XI/2013, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan,

Page 34: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

53

bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.43

Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana Antasari

Azhar, yang didakwa turut serta menganjurkan orang lain

supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan

direncanakan terlebih dahulu. Terhadap Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Februari 2010, No perkara

1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, Antasari Azhar merasa tidak

pernah melakukan pembunuhan berencana terhadap

Nasruddin Zulkarnaen dan mengajukan Banding, Kasasi

hingga PK pada tanggal 13 Februari 2011 dengan Putusan

Nomor 117 PK/PID/2011 namun ditolak. Antasari Azhar

merasa hak konstitusionalnya dibatasi karena tidak bisa

mengajukan upaya hukum lain sebagaimana Pasal 268 ayat

(3) KUHAP yang menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan

kembali atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali

saja”. Oleh karena itu Antasari dan keluarga mengajukan uji

materiil ke MK dengan Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013

yang mengabulkan permohonan44

.

43

Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 245

44 ejournal.unesa.ac.id/article/15109/43/article.pdf , diaskes 7 Juni 2016

Page 35: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

54

Adapun yang menjadi alasan bagi Mahkamah

Konstitusi untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP)

45 antara lain yaitu :

1. Dengan dalih keadilan, MK membatalkan Pasal 268 ayat

(3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu

kali;

2. MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara

historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi

melindungi kepentingan terpidana;

3. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan

keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat

dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang

membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat

diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya PK

dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial

baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan;

4. Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah

sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait

45

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt55281d1ec53ee/alasan-peninjauan-

kembali-boleh-berkali-kali, diakses 18 Agustus 2016

Page 36: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

55

kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana

seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP;

5. Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang

diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang

demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan.

MK menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum

sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya

pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia

yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian

hukum.

Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi

dengan Nomor 34/PUU-XI/2013, dalam Pasal 268 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah tentu

menimbulkan dampak dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia yakni khususnya pada upaya hukum luar biasa

Peninjauan Kembali yang dalam putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengikat dan

berkekuatan hukum, artinya bahwa peninjauan kembali dapat

Page 37: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

56

dilakukan berkali-kali.46

Dalam perkembangannya di

penghujung Tahun 2014, Mahkamah Agung (MA) membuat

terobosan baru terkait dengan Permohonon Pengajuan

Kembali dalam Perkara Pidana. Terobosan tersebut dibuat

dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Nomor 7 Tahun 2014.47

Diterbitkannya SEMA ini, telah menegaskan sikap

dan pendirian Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan

(pidana) dibawahnya, yaitu bahwa permohonan peninjauan

kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali

saja. Nampaknya Mahkamah Agung berpegangan pada asas

kepastian hukum (rechtzakerheid) dan asas bahwa setiap

perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet). Lahirnya

SEMA No. 7 Tahun 2014 ini kemudian menuai pro dan

kontra baik didalam (sebagian) internal MA maupun dari

kalangan di luar MA. Diluar MA, beberapa ahli hukum tata

Negara berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi

(MK) Nomor 34/PUU-XI/2013, yang telah menyatakan Pasal

268 ayat (3) KUHAP tentang aturan PK atas perkara pidana

46

Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana normatif, teoritis, praktik dan

permasalahannya, Bandung:Alumni, 2007, hal. 277 47

http://nartocalonlegislator.blogspot.co.id/2015/01/pro-kontra-sema-nomor-7-

tahun-2014_7.html, diakses 17 Agustus 2016

Page 38: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

57

hanya satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat.48

Selain itu permasalahan mengenai pihak yang

berhak mengajukan Peninjaun kembali juga menjadi

permasalahan. Seperti yang sudah tertuang dalam Pasal 263

ayat (1) disebutkan baha pihak yang berhak mengajukan

Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau ahli warisnya.

Namun dalam perkembangannya Jaksa pun dapat mengajukan

Peninjauan kembali.

Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa dan

kemudian diterima oleh Mahkamah Agung, diyakini telah

merusak tatanan hukum Indonesia hingga kini. Rumusan dan

latar belakang historis KUHAP sudah jelas bahwa Peninjauan

Kembali mestinya merupakan hak terpidana atau ahli

warisnya. Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima

PK oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan dan beberapa

perkara sesudahnya. Mantan Hakim Agung Laica Marzuki

berpendapat bahwa putusan PK dalam kasus Muchtar

termasuk kasus lain seperti Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin

dimana PK diajukan oleh jaksa, bisa saja merupakan

kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling). Langkah jaksa

48

Albert Aries,Menguji Efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014 ,

http://www.hukumonline.com, diakses 17 Agustus 2016

Page 39: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

58

semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP.

Menurut dia, langkah jaksa itu merupakan kesewenang-

wenangan hukum.49

Sehingga jika Mahkamah Agung

mengabulkan PK oleh jaksa, maka terpidana atau ahli

warisnya pun berhak untuk mengajukan PK. Alhasil,

muncullah PK di atas PK atau PK kedua. Solusinya adalah

PK atas PK.50

D. Fenomena Deret Kematian (Death Row Phenomenon)

Penundaan eksekusi yang berlarut-larut oleh Negara terhadap

para narapindana mati sering disebut sebagai Fenomena Deret

Kematian. Fenomena ini seringkali terjadi di negara yang masih

mempraktekkan hukuman mati dan dipandang sebagai pelanggaran

konstitusi di berbagai Negara.51

Dalam praktiknya kemudian setiap

kasus dimana eksekusi dilaksanakan setelah 5 (lima) tahun

penjatuhan pidana dan belum dilakukan eksekusi, dimungkinkan

adanya dasar yang kuat dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut

merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan

49

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22482/pk-oleh-jaksa-rusak-tatanan-

hukum-indonesia, diaskes 3 Agustus 2016 50

ibid 51

Penghapusan Hukuman Mati dalam Praktik Pengadilan Internasional dan

Nasional, Lihat; http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Penghapusan-

Hukuman-Mati-dalam-Praktik-Pengadilan-Internasional-dan-Nasional.pdf, diakses 13

Agustus 2016

Page 40: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

59

martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman or degrading

punishment or other treatment).52

Fenomena penungguan eksekusi pidana mati dalam literatur

Barat ditulis sebagai wujud penderitaan para terpidana mati yang

disebabkan masa penantian yang panjang serta praktik isolasi yang

dikenakan terhadap mereka sejak hakim menjatuhkan hukuman mati

hingga hari eksekusi. Kalangan yang anti hukuman mati menganggap

fenomena tersebut sebagai penzaliman ganda oleh negara. Pasalnya,

setelah hakim memutuskan terdakwa diganjar hukuman mati,

penghukuman terhadap terpidana justru sudah berlangsung akibat

kepastian nasib bahwa dia akan dimatikan, namun tanpa kepastian

kapan eksekusi dilaksanakan. Prosesi kematian seakan bukan lagi

misteri dan masa tunggu menjelang prosesi itu diselenggarakan bisa

mencapai bilangan puluhan tahun.53

Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon)

merupakan kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat

terpidana menunggu eksekusi mati yang menghasilkan trauma mental

yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Fenomena

ini didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan

kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan

52

ibid 53

www.jawapos.com/baca/opinidetail/13892/tembak_ diakses 8 Juni 2016

Page 41: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

60

lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan

terisolasi dari orang lain.54

Dalam konteks itu, korban eksekusi

pidana mati sesungguhnya tidak hanya mengalami satu bentuk

hukuman berupa hukuman mati, tetapi juga menjalani hukuman lain

berupa hukuman penjara. Disini, para korban sesungguhnya

mendapatkan hukuman ganda dan berlipat, yakni hukuman mati plus

hukuman penjara. Tak hanya itu, para terpidana mati juga mengalami

penyiksaan sebagai akibat dari fenomena deret kematian. Persoalan

ini memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi mereka. Setiap

waktu mereka dihadapkan pada penantian kematian yang tidak pasti.

Setiap pagi dan setiap malam para terpidana mati membayangkan

peristiwa kematian dan hal itu tentunya jadi bentuk penyiksaan

tersendiri. Kondisi ini mereka alami bertahun-tahun. Meski sejumlah

terpidana mati telah menyesali kesalahannya pada masa lalu dan

menunjukkan perbaikan diri, hal itu tidak dijadikan dasar

pertimbangan untuk mengubah hukumannya.55

Dalam kasus Soering v. United Kingdom, European Court of

Human Rights juga menemukan fakta bahwa applicant akan

menghadapi praktik apa yang disebut sebagai fenomena deret

54

http://icjr.or.id/hukuman-mati-dalam-r-kuhp-jalan-tengah-yang-meragukan,

diakses 18 april 2016 55

Todung Mulya Lubis, Rumah Opini : Deret Kematian, Kompas, 21 Juni 2013

https://lautanopini.com/2013/06/21/deret-kematian/ , diakses 25 Juli 2016

Page 42: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

61

kematian (death row phenomenon). Di Negara Bagian Virginia para

terpidana kasus hukuman mati harus menunggu tujuh hingga delapan

tahun setelah jatuhnya putusan pengadilan untuk kemudian

dieksekusi. Berangkat dari hal itu, European Court of Human Rights

kemudian mempertimbangkan pula soal keadaan penjara (prison

condition), usia (age) dan keadaan mental (mental status) dari

applicant. Sehingga hal itu melanggar Pasal 3 Convention for the

Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (Konvensi

bagi Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan

Fundamental) yang berbunyi: “Tidak seorang pun boleh dijadikan

sasaran penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi atau

hukuman yang merendahkan martabat”.

E. Pandangan Hukum Tentang Waktu Tunggu Eksekusi

Pidana Mati.

Berbicara mengenai waktu tunggu eksekusi pidana mati tentu tidak

terlepas dari pandangan-pandangan hukum di dunia, khususnya di

Indonesia dan beberapa negara Eropa, antara lain :

1. Indonesia

Problematika di Indonesia saat ini mengenai eksekusi

pidana mati yang berlarut-larut sedang mendapat perhatian

khusus. Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan yang

Page 43: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

62

menentukan mengenai kapan waktu eksekusi pidana mati setelah

adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati

belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan

hukum tetap, menurut Heri Aryanto, dalam artikel Apakah

Polisi Bisa Menembak Mati Orang yang Diduga

Perampok/Teroris 56

antara lain;

a) Bahwa dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan

putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila

belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum,

dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut

belum bisa dilaksanakan;

b) Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap,

terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi

(pengampunan) kepada presiden berupa permohonan

perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur

dalam UU No. 22 Tahun 2002 Jo UU No.5 Tahun 2010

tentang Grasi. Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati,

pelaksanaan pidana mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda

56

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53df2c50e4980/Alasan-Penundaan-

Eksekusi-Hukuman-mati diakses 9 Juni 2016

Page 44: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

63

sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan

grasi dari terpidana tersebut.

Serupa dengan penjelasan Heri Aryanto, Mantan Hakim

Agung Djoko Sarwoko dalam artikel Penundaan Eksekusi

Hukuman Mati Diduga Disengaja yang mengakui adanya kendala

untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut. Menurut

Agung, hal itu berhubungan dengan kesempatan yang diberikan

terkait upaya-upaya hukum lanjutan dari para terpidana. Seorang

terpidana mati yang menjelang eksekusinya tiba-tiba mengajukan

PK (Peninjauan Kembali) itu mau tidak mau harus diakomodir

sehingga mengakibatkan mundurnya proses eksekusi.57

Bagi

beberapa pihak, penundaan eksekusi mati sampai waktu yang

tidak dapat ditentukan akibat tidak jelasnya dasar hukum

mengenai waktu eksekusi mati justru dipandang sebagai

pelanggaran HAM.

Menurut Sahetapy, Pelaksanaan pidana mati yang

ditunda-tunda tanpa alasan jelas batas waktu yang tegas

sesungguhnya suatu bentuk pemidanaan pula meskipun tidak

dalam arti yuridis. Dalam jargon dewasa ini, hal tersebut

merupakan semacam pelanggaran hak asasi manusia, yaitu

57

Ibid,.

Page 45: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

64

membiarkan yang bersangkutan menderita tanpa mengetahui

batas akhir waktu penderitaan. 58

Hal serupa juga dikatakan oleh

Al Araf mewakili Koalisi Hapuskan Hukuman Mati (HATI)

yang mengatakan bahwa Penundaan eksekusi tersebut

mengakibatkan terpidana menerima 3 (tiga) hukuman sekaligus

yaitu hukuman penjara, penyiksaan psikis lantaran ketidakpastian

kapan akan dieksekusi dan eksekusi mati itu sendiri dimana

proses eksekusi mati ini merupakan tindakan yang jauh dari rasa

keadilan dan rasa kemanusiaan. Al Araf juga mendesak agar

mereka yang sudah menjalani tahanan lebih dari 5 (lima) tahun

tidak usah dieksekusi dan diubah menjadi seumur hidup.59

Menunda adalah menghukum orang dua kali setelah divonis,

diberi harapan tetapi tetap dihukum mati, itu lebih kejam.

2. Beberapa Negara Eropa

Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon) telah

menjadi salah satu dari isu yang mengkhawatirkan bagi badan-

badan adjudikatif hak asasi manusia internasional. Dalam hal ini,

European Court of Human Right telah mengambil sikap yang

cepat untuk mengkritiknya. Tetapi disisi lain, UN Human Right

58

J.E.Sahetapy, Op. Cit., hal. 77 59 Pendapat direktur program imparsial Al.Araf mewakili koalisi Hapuskan

hukuman mati dalam jumpa pers bersama LBH masyarakat, YLBHI dan Elsam tgl

17/5/2013,dilihat:http://nasional.kompas.com/read/2013/05/18/04405360/Eksekusi.Mati.Tid

ak.Berperikemanusiaan, diakses 3 Agustus 2016

Page 46: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

65

Committee mengambil sikap yang berbeda. Terhadap hukuman

mati sendri, Committee memegang pandangan yang sama dengan

European Court bahwa hukuman mati tidak dapat disebut

“kejam” dan melanggar Pasal 7 dari ICCPR, tepatnya karena itu

diperbolehkan sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup

dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berbunyi : “Setiap manusia

berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini

wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas

hak hidupnya secara sewenang-wenang”.

Sedangkan mengenai death row phenomenon, menurut

UN Human right committee, penundaan dalam pelaksanaan

hukuman mati tidak dapat dianggap sebagai hukuman yang

kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Sebab itu lebih baik bagi terpidana hukuman mati untuk sebisa

mungkin memperoleh lebih banyak waktu sebelum dieksekusi.

Pendapat serupa juga dapat dilihat dari sikap special Rapporteur

yang selalu ragu untuk menyatakan bahwa “death row

phenomenon” bertentangan dengan norma internasional, karena

ini dapat mendorong pemerintah untuk melaksanakan eksekusi

lebih cepat.60

60

http://repository.usu.ac.id/bitstream/.../Chapter%20III-V.pdf, diakses 18 Apr 2016

Page 47: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

66

Dalam kasus Pratt v. Attorney General for Jamaica, the

Lordships of Privy Council yang merupakan pengadilan tertinggi

bagi negara- negara Persemakmuran Inggris, menginterpretasikan

section 17 (1) dari Konstitusi Jamaika. The Lordships

menemukan bahwa penundaan selama 14 tahun dalam deret

kematian merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Didalam

keputusan tersebut, the Lordships juga menyatakan bahwa setiap

kasus dimana eksekusi dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah

penjatuhan hukuman, dimungkinkan adanya dasar yang kuat

(strong grounds) dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut

merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan

merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman

or degrading punishment or other treatment). Terlebih, dalam

kasus Catholic Commission for Justice and Peace in Zimbabwe v.

Attorney General, Mahkamah Agung Zimbabwe

mengiterpretasikan section 15 (1) dari Zimbabwe Constitution

perihal penundaan yang lama (prolonged delay) selama 72 bulan

dan hidup dalam kondisi buruk (harsh conditions). Oleh karena

itu, Mahkamah Agung Zimbabwe menjatuhkan putusan bahwa

penundaan yang lama (prolonged delay ) lebih dari 72 bulan dan

hidup dalam keadaan kondisi buruk adalah tindakan tidak

Page 48: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

67

manusiawi sebagaimana diatur dalam section 15 (1) Konstitusi

Zimbabwe. 61

Hukuman mati narapidana di AS biasanya akan

menghabiskan setidaknya 10 tahun menunggu eksekusi, dengan

beberapa terpidana menunggu lebih dari 20 tahun. sementara itu

dikatakan membuat mereka sendiri mengalami banyak

penundaan yang disebabkan oleh upaya banding yang melelahkan

mereka sendiri. Mahkamah Agung California menyatakan bahwa:

Kekejaman hukuman mati tidak hanya terletak pada eksekusi dan

rasa sakit dari insiden tersebut, tetapi juga dalam efek manusiawi

dari lamanya hukuman penjara sebelum eksekusi selama prosedur

peradilan dan administrasi penting untuk proses hukum

dilakukan. Penologists dan ahli medis setuju bahwa proses

melaksanakan vonis kematian sering begitu merendahkan dan

brutal terhadap jiwa manusia yang membentuk penyiksaan

psikologis.62

Sebuah doktrin hukum baru yang muncul untuk orang

yang menentang legitimasi model hukuman. Alih-alih serangan

langsung, yang sebagian besar tidak berhasil dinegara-negara

yang mempertahankan hukuman mati, tahanan menggunakan

serangan argumen berdasarkan doktrin fenomena hukuman mati.

Argumen dasarnya adalah bahwa eksekusi setelah penundaan

61

www .elsam.or.id/downloads/710098 Analisis_Dokumentasi _Hak

_ASASI_Manusia_ Edisi_Nov-Des_2014.pdf diakses 2 Juni 2016

62 death row phenomenon, death Row syndrome and their affect on Capital

cases in the us, http://www.internetjournalofcriminology.com/Harrison_Tamony_

Death_Row_Syndrome _IJC_Nov_2010.pdf diakses 8 Juni 2016

Page 49: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

68

yang panjang dibawah kondisi hukuman mati yang keras

merupakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Ini bukan

hukuman mati yang sedang ditantang, tetapi pelaksanaan

hukuman mati setelah menyiksa dalam jangka waktu penundaan

yang begitu lama yang dipermasalahkan63

.

Secara perlahan para tahanan meyakinkan diberbagai

pengadilan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan tanpa

penderitaan yang tidak semestinya dan penundaan yang

berkepanjangan. Fenomena hukuman mati telah secara eksplisit

telah diakui sebagai pelanggaran manusia hak di beberapa

pengadilan internasional dan domestik. Pengadilan yang menolak

untuk mengadopsi doktrin, khususnya Amerika Serikat,

menunjukkan fakta bahwa tahanan sendiri biasanya menjalani

penundaan dengan mengejar banding 64

.

F. Konsep Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran HAM

1. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat

didalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling

mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara

63

Does the death row phenomenon violate a prisoner‟s human right under

international law http://www.ejil.org/pdfs/11/4/556.pdf diakses 8 Juni 2016 64

ibid

Page 50: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

69

merdeka dalam komunitas masyarakat.65

Sifat hakiki dan kodrati

HAM yang melekat pada diri setiap orang tidak dapat dicabut

atau dihapuskan oleh siapapun termasuk negara. Menghapus dan

mencabut HAM sama artinya menghilangkan eksistensi manusia

sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.66

Secara umum HAM adalah hak-hak yang secara inheren

melekat dalam diri manusia.67

Dalam UU No.39 Tahun 1999

Pasal 1 angka 1 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM menyatakan bahwa :

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang

maha kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah

dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia. 68

Secara spesifik, dalam pasal-pasal DUHAM termuat

beberapa kategori hak: pertama, hak yang secara langsung

memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi

individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni

hak pribadi dan individu. Hak yang dimaksud antara lain:

Pengakuan atas martabat (Pasal 1); perlindungan dari tindakan

65

Ruslan Renggong, HukumAcara PIDANA; Memahami perlindungan HAM dalam

proses penahanan di Indonesia, cet.ke-1, Edisi Revisi, Kencana,Jakarta, 2014, hal.1 66

ibid 67

Yahya Ahmad Zein, Op.Cit ,hal 165 68

Ibid, hal. 166.

Page 51: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

70

diskriminasi, atas dasar apapun (Pasal 2); jaminan atas kebutuhan

(Pasal 3); terhindar dari perbudakan (Pasal 4); perlindungan atas

tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan (Pasal 5);

kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga negara

(Pasal 15). Hak-hak ini bersifat sangat umum tentang apa yang

seharusnya diperoleh manusia. Kedua, hak tentang perlakuan

yang seharusnya diperoleh manusia dari system hukum yang ada.

Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan

sistem hukum pada manusia. Hak yang dimaksud antara lain :

persamaan di hadapan hukum (Pasal 6); tidak diperlakukan

secara sewenang-wenang (Pasal 9); memperoleh pengadilan yang

adil (Pasal 10), dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal

11); tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh negara (Pasal

12). Ketiga, Hak yang memungkinkan individu untuk turut

ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal

dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain : hak

kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18); hak menyatakan

pikiran secara bebas (Pasal 20); dan keikutsertaan aktif dalam

pemerintahan. Keempat, Hak yang menjamin taraf minimal

kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan

kebudayaan, yakni hak ekonomi, social dan budaya. Hak yang

Page 52: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

71

dimaksud antara lain : mendapatkan makanan, pekerjaan dan

pelayanan kesehatan serta syarat social lainnya (Pasal 22-25);

hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta

kebudayaan (Pasal 26-29).69

Menurut Darji Darmodiharjo, dalam buku A. Masyur

Effendi menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak

dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir

sebagai Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya menurut

Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-

hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia

mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup, misalnya,

adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu

yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut

eksistensinya sebagai manusia akan hilang.70

Senada dengan

pengertian diatas adalah pernyataan awal Hak Asasi Manusia

(HAM) yang dikemukakan oleh John Locke, bahwa :

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung

oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang

bersikap kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak

ada kekuasaan apapun didunia yang dapat mencabut hak asasi

69

M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia,

Jatim:UNISDAL, 2005, hal.,34-35 70

A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat

Madani, Jakarta: ICCE UIN, 2010

Page 53: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

72

setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang

dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa;

bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.71

Oleh karena itu, menelaah HAM, menurut Todung Mulya

Lubis sesungguhnya adalah menelaah totalitas kehidupan; sejauh

mana kehidupan kita memberi tempat yang wajar kepada

kemanusiaan72

. Siapapun manusianya berhak memiliki hak

tersebut. Artinya, disamping keabsahannya terjaga dalam

eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang

sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami, dan bertanggung

jawab untuk memeliharanya. Adanya hak pada seseorang berarti

bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka

kemungkinan baginya untuk diperlakukan sesuai dengan

“keistimewaan” yang dimilikinya. Juga, adanya suatu kewajiban

pada seseorang berarti bahwa diminta daripadanya suatu sikap

yang sesuai dengan “keistimewaan” yang ada pada orang lain.73

Lebih lanjut Howard juga mengatakan bahwa : “Hak asasi

manusia mutlak diperlukan dunia modern, dimana pun orang

tinggal, dan apa pun nilai-nilai pribadinya. Hak asasi manusia,

pertama-tama dimaksudkan untuk melindungi individu terhadap

71

Ibid.,hal 148 72

Majda El-Muhtai, HAM dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta : Prenada Media,

2002 73

Ibid,hal 46

Page 54: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

73

Negara dan semua kekuatan kursifnya yang menyelinap kemana-

mana, yang biasa dilakukan banyak Negara modern”. 74

Membicarakan HAM berarti berpatokan pada

konteksnya, dalam arti objek pembicaraan harus diletakkan pada

kerangka filosofis dan historis kemunculan HAM itu sendiri.

Secara Filosofis, HAM dimaksudkan untuk melindungi individu

sebagai manusia dari tindakan sewenang-wenang pihak

penguasa. Kemudian, secara historis kemunculan HAM

merupakan akibat dari tindakan sewenang-wenang dari pihak

yang berkuasa terhadap individu. Dua factor tersebut dapat

dikatakan sebagai “benang merah” HAM dan tanpa

memperhatikan kedua faktor tersebut maka tidak akan ditemukan

hakikat yang sebenarnya dari HAM. 75

Dalam perkembangannya, konsepsi HAM dipengaruhi

oleh beberapa factor lainnya yang kemudian terbukti “mewarnai”

HAM. Namun demikan, secara substansial ide HAM lahir

dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

kekuasaan (abuse of power) dari penguasa, sehingga hakikat

HAM dapat dikatakan sebagai perlindungan terhadap harkat dan

74

Titon Slamet Kurnia, Reparasi terhadap korban pelanggaran HAM di Indonesia,

Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005, hal 8 75

Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter,Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 2015.

Page 55: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

74

martabat manusia.76

Hak asasi manusia dipercaya memiliki nilai

universal; nilai universal berarti tidak mengenal batasan ruang

dan waktu, nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan

dalam berbagai produk hukum nasional diberbagai negara untuk

dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

2. Pelanggaran HAM

Pada prinsipnya negara memiliki tanggung jawab dan

kewajiban dalam hal memberikan perlindungan terhadap warga

negaranya, apabila negara tidak melakukan hal tersebut maka

negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran hak asasi

warganya.77

Secara normatif sebagaimana diatur dalam Pasal 1

angka 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, disebutkan bahwa:

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau

sekelompok atau sekelompok orang termasuk aparat Negara baik

sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara

melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau

mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang

dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang

adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran hak asasi manusia

merupakan tindakan pelanggaran kemanusian baik dilakukan

oleh individu maupun oleh instansi negara atau institusi lainnya

76

Ibid.,hal 29 77

Yahya Ahmad Sein , Op.cit , hal 172

Page 56: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

75

terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan

yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.78

Berdasarkan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

HAM, pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genoside

dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengenai waktu tunggu

eksekusi mati juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak

asasi manusia yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan

terhadap kemanusiaan yang dimaksud lebih mengarah ke

perlakuan sewenang-wenang. Lebih lenjut tertuang dalam Pasal 5

DUHAM, menyatakan bahwa “Tidak seorangpun boleh disiksa

atau diperlakukan atau dihukum secara keji, tidak manusiawi

atau merendahkan martabat”.

Mengenai definisi kejahatan kemanusian, Piagam

Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional

Nuremberg, dalam Pasal 6c mendefinisikan kejahatan

kemanusiaan sebagai :

“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan

perbuatanperbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan

terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau

persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama

sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap

kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut

baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di

mana ia dilakukan…”

78

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Op. Cit, hal. 163

Page 57: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

76

Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama

kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah

khusus “kejahatan terhadap kemanusiaan” diperkenalkan dan

didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di

dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang

baru, begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi

orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting

diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya dan dipergunakan

sebagai contoh (model) dan dasar hukum bagi perkembangan-

perkembangan lain selanjutnya,79

Kemudian pada tahun 1951,

Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan

kemanusiaan 80

sebagai:

Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh

para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu

perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan,

atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau

persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama, atau

budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-

kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini

Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada

1998. Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan

kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai

79

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29691/3/Chapter%20II.pdf, diakses 25 Agustus 2016

80 ibid

Page 58: BAB II LANDASAN TEORETIK A. Pengertian Umumrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14700/2/T2_322013029_BAB II.pdf · itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan

77

bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan

kepada suatu kelompok sipil dengan mengetahui adanya

serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan

kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta Roma adalah:

a) Pembunuhan

b) Pemusnahan

c) Perbudakan

d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk

e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik

dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional

f) Penyiksaan

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk

kekerasan seksual lain yang cukup berat

h) Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang

dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras,

nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan

dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal

diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum

internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang

dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada

dalam jurisdiksi mahkamah

i) Penghilangan paksa

j) Kejahatan apartheid

k) Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang

secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka

serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik

Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

Hak Asasi Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan

terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta

Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam Pasal 9.