bab ii kebijakan legislatif terbuka sebagai …...konstitusi. dalam suatu negara, konstitusi...

40
15 BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI KEWENANGAN LEGISLATIF UNTUK MEMBENTUK MUATAN SUATU UNDANG-UNDANG Dalam bab ini, Penulis hendak mendiskusikan perihal konsep kebijakan legislatif terbuka sebagai kebebasan bagi legislator dalam menentukan materi muatan suatu undang-undang. Dalam menjelaskan konsep kebijakan legislatif terbuka, akan dibandingkan pula dengan kebijakan legislatif tertutup yang memiliki karakter berlawanan. Dua kebijakan ini merupakan konsep yang membatasi MKRI dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial riview). Hal ini berdasarkan prinsip judicial self restraint sebagai batasan terhadap lembaga yudikatif terhadap kewenangannya dalam menguji undang- undang. Oleh karena itu, yang menjadi pembahasan utama dalam bab ini adalah menjabarkan karakeristik dua kebijakan legislatif dalam membentuk undang- undang dan pembatasan kewenangan MKRI dalam pengujian suatu produk undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka. Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun sebagai berikut. Pertama, menguraikan macam dan karakteristik kebijakan legislatif dalam perumusan undang-undang (infra Sub-judul A). Kedua, menguraikan bahwa kebijakan legislatif terbuka sebagai batas kewenangan MKRI dalam melakukan pengujian undang-undang (infra Sub-judul B).

Upload: others

Post on 29-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

15

BAB II

KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI KEWENANGAN

LEGISLATIF UNTUK MEMBENTUK MUATAN

SUATU UNDANG-UNDANG

Dalam bab ini, Penulis hendak mendiskusikan perihal konsep kebijakan

legislatif terbuka sebagai kebebasan bagi legislator dalam menentukan materi

muatan suatu undang-undang. Dalam menjelaskan konsep kebijakan legislatif

terbuka, akan dibandingkan pula dengan kebijakan legislatif tertutup yang

memiliki karakter berlawanan. Dua kebijakan ini merupakan konsep yang

membatasi MKRI dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial

riview). Hal ini berdasarkan prinsip judicial self restraint sebagai batasan

terhadap lembaga yudikatif terhadap kewenangannya dalam menguji undang-

undang. Oleh karena itu, yang menjadi pembahasan utama dalam bab ini adalah

menjabarkan karakeristik dua kebijakan legislatif dalam membentuk undang-

undang dan pembatasan kewenangan MKRI dalam pengujian suatu produk

undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka.

Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun

sebagai berikut. Pertama, menguraikan macam dan karakteristik kebijakan

legislatif dalam perumusan undang-undang (infra Sub-judul A). Kedua,

menguraikan bahwa kebijakan legislatif terbuka sebagai batas kewenangan MKRI

dalam melakukan pengujian undang-undang (infra Sub-judul B).

Page 2: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

16

A. Macam dan Karakteristik Kebijakan Legislatif dalam

Perumusan Undang-Undang

Materi muatan undang-undang merupakan kandungan atau isi dari sebuah

undang-undang, kandungannya berupa norma hukum yang mengikat dan

terangkai dalam bentuk pasal-pasal dan ayat-ayat. Bidang yang tidak dapat diatur

lebih lanjut hanyalah hal-hal yang secara tegas telah digariskan oleh konstitusi.

Artinya undang-undang dapat mengatur suatu bidang secara lebih lanjut

berdasarkan delegasi oleh konstitusi, atau mengamini apa yang sudah tertulis

dalam konstitusi. Dalam hal ini, yang memiliki kewenangan untuk membentuk

undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan

Presiden (yang kemudian disebut legislator). Hal ini didukung oleh pendapat

Jimly Asshidiqie yang menegaskan bahwa kewenangan legislator dan legislatif

(DPR) sebagai pencipta undang-undang yang utama yaitu :

“Kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan (regeling) pada

dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang

berdasarkan prinsip kedaulatan, merupakan kewenangan eksekutif

wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan

yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga

negara (presumption of liberty of the sovereign people)”. 18

Pendelegasian yang demikian itu tentunya ditujukan kepada DPR bersama

dengan Presiden sebagai pembuat undang-undang (selanjutnya disebut dengan

legislator), yang atas wewenangnya telah terjamin dalam Pasal 5 ayat (1) dan

Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945. Di dalam konstitusi itu sendiri termuat dua

macam kebijakan bagi legislator dalam membuat undang-undang, yakni kebijakan

legislatif terbuka (open legal policy), yang mana kebijakan ini berisi

18

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Penerbit Sekretariat Jendral

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Cetakan Pertama, 2006. hlm. 11.

Page 3: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

16

pendelegasian langsung atau tidak langsung kepada legislator untuk mengatur

lebih lanjut suatu norma yang terkandung dalam konstitusi serta kebijakan

legislatif tertutup (closed legal p[olicy) yang merupakan batasan bagi legislator

untuk tidak mengubah suatu norma yang telah tegas tercantum dalam konstitusi

dan menutup kemungkinan bagi legislator untuk mengaturnya berbeda.

Secara fungsional, konstitusi bermakna sebagai seperangkat norma untuk

mengatur terciptanya norma umum lainnya dan mengatur lembaga yang

berwenang untuk menciptakan norma umum tersebut. Kelsen memaknai fungsi

konstitutif dalam perspektif yuridis sebagai:

“Norms regulating the creation of general norms and – in

modern law – norms determining the organs and procedure of

legislatition.”19

(Norma yang mengatur penciptaan norma

umum dan - dalam hukum modern - norma menentukan organ

dan prosedur legislasi)

Pendapat tersebut berimplikasi bahwa konstitusi memiliki fungsi konstitutif

yakni berisi norma yang mengatur mengenai penciptaan suatu norma umum dan

lebih lanjut dan juga menetukan fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara,

hingga bagaimana prosedur pembentukannya. Konstitusi yang berisi tentang

dasar-dasar peraturan penyelenggaraan negara yang prinsip dan terbatas, ternyata

di dalamnya terkandung dua macam kebijakan legislatif untuk mengatur lebih

konkrit dan juga larangan untuk mengatur lain dari apa yang sudah ada dalam

konstitusi. Sehingga dikatakan bahwa kebijakan legislatif merupakan kebijakan

yang diturunkan oleh konstitusi kepada legislator untuk menjalankan fungsi

legislasinya yang berupa kebebasan dan pembatasan dalam menentukan materi

19

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Pernerbit Mandar Maju bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas

Kristen Satya Wacana, Bandung, 2015, hlm. 16.

Page 4: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

17

muatan undang-undang yang menjadi produknya. Kebebasan itu disebut dengan

kebijakan legislatif terbuka dan pembatasannya disebut dengan kebijakan

legislatif tertutup.

Untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai dua konsep kebijakan legislatif

dalam perumusan undang-undang, maka Penulis akan menjabarkannya dalam

sistematika berikut. Pertama, mengenai Kebijakan Legislatif Terbuka (infra Sub-

judul 1), kedua, mengenai Kebijakan Legislatif Tertutup (infra Sub-judul 2).

1. Kebijakan Legislatif Terbuka

Delegasi kewenangan dalam sistem ketata-negaraan adalah suatu

penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang menyebabkan kewenangan dan

tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan yaitu legislator sebagai

delegataris. Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu undang-

undang yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah

suatu materi tertentu layak diatur dalam undang-undang adalah wilayah kebebasan

dan kesepakatan pembentuk undang-undang dengan syarat mutlak dalam proses

legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Konsep

akan kebebasan legislator dalam menentukan materi undang-undang ini yang

disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka.

Dalam dissenting opinion Hakim MKRI, Maria Farida mengungkapkan

pendapatnya mengenai kebijakan legislatif terbuka dalam Putusan MKRI Nomor

14/PUU-XI/2013 bahwa, “hal itu bukanlah masalah konstitusional norma, tetapi

merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang.”20

Pendapat

tersebut sangat penting sebagai pengingat bahwa kebijakan legislatif terbuka

20

Pendapat berbeda Hakim Konstitusi Maria Farida pada Putusan MKRI Nomor

14/PUU-XI/2013, hlm. 90-91.

Page 5: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

18

adalah perihal kesepakatan pembentuk undang-undang yang secara tidak langsung

menjadikan batasan pada MKRI supaya tidak melakukan lompatan kewenangan

dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. Terkait dengan hal tersebut,

Hans Kelsen menegaskan bahwa:

“By legislative power legislation, one does not understand the

entire function a creating law, but a special aspect of this

function, the creation general norm. ‘A law’ – a product of a

legislative process – is essentially norm or a complex of such

norm”. 21

Kebebasan dalam menentukan materi undang-undang merupakan delegasi

oleh UUD NRI 1945 kepada legislator. Itu berarti bahwa dalam fungsinya,

legislator bertugas untuk menentukan pengaturan lebih lanjut yang sifatnya tekhnis

dari pengaturan yang sudah ada dalam UUD NRI 1945. Dalam pendelegasian ini,

konstitusi terkadang tidak menulis suatu aturan yang secara spesifik dan eksplisit

yang mengatur suatu dasar konstitusional bagi pilihan kebijakan yang terbuka yang

menjadi dasar kewenangan legislator untuk menjabarkan lebih jauh dalam satu

undang-undang.22

Hal ini berarti bahwa legislator bebas menentukan meteri

muatan undang-undang atau isi undang-undang sepanjang mengamini norma dasar

yang tertulis dalam konstitusi.

21

Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, Penerbit Russel & Russel, New

York, 1971, hlm. 256, dikutip dari Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatkan Model

Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2010, hlm. 1. 22

Pasal dalam UUD NRI 1945 yang mendelegasikan secara langsung untuk mengatur

pengaturan lanjutan dalam bentuk undang-undang ada dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (5),

Pasal 11 ayat (3), Pasal 15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18 A ayat

(1), Pasal 18B ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20A ayat (4), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C

ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal

23G, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), Pasal 24C ayat (6), Pasal 25, Pasal

26 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (3), Pasal 33 ayat (5), Pasal

34 ayat (4), dan Pasal 36C UUD NRI 1945; Radita Ajie, Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk

Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi (Limit To Open Legal Policy In Legislation

Making Based On Constitutional Court Decision), Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-

undangan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, 2016, hlm. 113.

Page 6: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

19

Sehingga sebelum Penulis jabarkan lebih lanjut tentang konsep kebijakan

ini, kita harus lebih dahulu mengenal apa yang dimaksud dengan kebijakan

legislatif terbuka itu. Kebijakan legislatif terbuka adalah kebijakan hukum yang

dimiliki legislator dalam pembentukan undang-undang yang secara langsung

didelegasikan oleh UUD NRI 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Indonesia,

dimana kebijakan hukum tersebut memberikan kebebasan pada legislator untuk

menentukan materi muatan suatu undang-undang yang merupakan pengaturan

lanjutan dari apa yang sudah tertulis dalam UUD NRI 1945 sehingga materi

undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka tidak dapat diuji oleh MKRI

sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang melampaui

kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan UUD NRI

1945.23

Perlu dipahami juga bahwa undang-undang sebagai produk legislasi

merupakan ordinary law yang pembentukan dan perubahannya tidak se-rumit dan

se-rigid konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan supreme law dengan

artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak ada batasan lagi untuk

men-challenge kedudukan konstitusionalitasnya. Berbeda dengan undang-undang

sebagai ordinary law yang berimplikasi bahwa kedudukannya berada dibawah

konstitusi. Dengan kata lain, suatu norma dalam undang-undang masih bisa

dipertanyakan konstitusionalitasnya yakni menggunakan konstitusi sebagai batu

uji.

Konsep kebijakan legislatif terbuka itu sendiri bermakna a priori atau

antecedent yakni ada terlebih dahulu daripada peraturan perundang-undangan

23

Putusan MKRI Nomor 10/PUU-III/2005.

Page 7: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

20

maupun putusan-putusan pengadilan, namun keberadaannya lahir dan diakui

pertama kali dalam putusan MKRI. Sekalipun keberadaannya tidak tercantum

secara eksplisit dalam suatu produk peraturan perundang-undangan, namun

keberadaannya menjadi krusial dan diakui menjadi salah satu prinsip

pembentukan suatu produk undang-undang. Kebijakan legislatif terbuka berfungsi

sebagai pengingat akan batasan kewenangan MKRI dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang agar tidak terjadi benturan fungsi dengan

legislator.

Dari uraian di atas maka Penulis menemukan ciri dari kebijakan legislatif

terbuka, yakni :

1. Delegasi dari konstitusi yang ditujukan kepada lembaga pembuat

undang-undang yaitu DPR bersama Presiden (legislator) yang berupa

wewenang untuk membuat pengaturan lanjutan tentang suatu bidang

yang telah diatur secara pokok dalam konstitusi dan mengamininya

dalam bentuk undang-undang. Sebagai contoh, seperti norma yang

tercantum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945, yang mengatakan bahwa

“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih

lanjut diatur dalam undang-undang.”

2. Menghasilkan suatu produk undang-undang yang tidak dapat

diintervensi oleh cabang kekuasaan lainnya serta memiliki kebebasan

untuk menentukan materi muatan undang-undang. Hal ini diungkapkan

dalam Putusan MKRI Nomor 10/PUU-III/2005, yang menyatakan

bahwa “... sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal

yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak

Page 8: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

21

merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata

bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan

kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah.

Lagi pula pembatasanpembatasan dalam bentuk mekanisme dan

prosedur dalam pelaksanaan hak-hak tersebut dapat dilakukan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2)”

Penjelasan di atas diperkuat dengan Putusan MKRI pertama terkait dengan

kebijakan legislatif terbuka, yaitu dalam Putusan Nomor 002/PUU-II/2004. Dalam

putusan tersebut, MKRI menyatakan bahwa:

“Pembentuk undang-undang bebas menentukan isi undang-

undang kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh

Undang-Undang Dasar, khususnya yang terkait dengan

permohonan a quo, seperti yang mencangkup asas langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, periodisasi (setiap lima

tahun sekali), tujuan Pemilu (partai politik), dan penyelenggara

Pemilu (KPU). Tentang sistem Pemilu, apakah sistem pluralistis

mayoritas (distrik), semi proporsional atau proporsional dengan

segala variannya, daerah pemilihan apakah berbasis pembagian

wilayah/desa administrasi atau bukan dan hal-hal lain yang

bersifat tekhnis diserahkan kepada pembentuk undang-undang.” 24

Jika UUD NRI 1945 tidak mengatur lebih jelas tentang teknik suatu

ketentuan, maka disitulah delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk

mengaturnya. Itu artinya bahwa pembentuk undang-undang bebas menentukan isi

undang-undang kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh

konstitusi. Pendelegasian tersebut salah satunya ditandai dengan rumusan

“…lebih lanjut diatur dalam undang-undang” atau “…diatur dengan undang-

undang”. Penggunaan kalimat “…lebih lanjut diatur dalam undang-undang”

berarti peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan (yang disini adalah

24

Putusan MKRI Nomor 002/PUU-II/2004, hlm. 26.

Page 9: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

22

konstitusi) telah mengatur pokok-pokoknya atau prinsipnya sebagai dasar dan

hukum bagi legislator untuk mengatur lebih lanjut dalam undang-undang. 25

Implementasi dari kebijakan legislatif terbuka telah ada dalam banyak

produk undang-undang di Indonesia. Dibawah ini Penulis akan menguraikan

beberapa contoh perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka yang terdapat dalam

undang-undang yang kemudian diajukan uji materi kepada MKRI, dan kemudian

menghasilkan putusan MKRI yang memperkuat bahwa materi muatan undang-

undang tersebut merupakan kebijakan legislatif terbuka sehingga MKRI

mengatakan bahwa itu bukan wewenangnya untuk dapat mengatakan

inkonstitusional.

Pertama adalah Putusan MKRI Nomor 006/PUU-III/2005 hasil pengujian

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam

undang-undang tersebut terdapat kebijakan legislator yang membatasi cara

pengusulan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, dimana pendapat

Mahkamah diuraikan sebagai berikut:

“… pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat

dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan

sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) (sic:

kebijakan hukum terbuka) yang tidak dapat diuji kecuali

dilakukan dengan secara sewenang-wenang (willekeur) dan

melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement

de pouvoir)”.26

“Sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal

yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan

tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak

nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945,

25

Ketentuan dalam angka 198 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menyatakan bahwa Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada

Peraturan yang lebih rendah. 26

Putusan MKRI Nomor 006/PUU-III/2005, hlm. 21.

Page 10: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

23

maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan

pengujian oleh Mahkamah.”27

MKRI dalam putusan diatas menyatakan bahwa pengaturan teknis suatu

sistem berupa pembatasan yang tertuang dalam suatu undang-undang merupakan

kewenangan legislator. Kewenangan tersebut sah sepanjang sesuai dengan UUD

NRI 1945 dan pembatasan yang ada dalam UUD NRI 1945. Secara konsisten,

MKRI juga mengikuti putusannya mengenai kewenangan legislator dalam

membentuk suatu undang-undang atas delegasi UUD NRI 1945, dalam putusan

MKRI perkara No. 16/PUU-V/2007 tentang pengaturan tata cara pemilihan umum,

yaitu:

“ … partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan

ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya

ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan

calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik

atau gabungan partai politik peserta pemilihan uum sebelum

pelaksaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945

berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah adalah partai politik”. Akan tetapi,

implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-

undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945,

“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” dan

menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang

pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini

berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur

hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-undang yang

mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD

1945”.28

Tidak hanya berhenti disitu, dalam putusan yang sama MKRI juga masih

memberikan contoh kebijakan legislatif dalam menentukan isi undang-undang

sebagai konsep kebijakan legislatif terbuka, yaitu:

27

Ibid, hlm. 30-31. 28

Putusan MKRI Nomor 16/PUU-V/2007, hlm. 80.

Page 11: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

24

“ … eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik

dalam Pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan

tidak dapat dicampuradukkan. Setidak-tidaknya, hal itulah yang

menjadi kebijakan hukum (legal policy) (sic: kebijakan hukum

terbuka) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum

demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena

nyatanya UUD 1945 memberikan mandate bebas kepada

pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk

mengenai persyaratan untuk mengikuti Pemilu berikutnya

dengan ketentuan ET”.29

“ … ketentuan tentang ET tersebut memang merupakan pilihan

kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam rangka

membangun suatu sistem multipartai sederhana di Indonesia.

Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy) di bidang

kepartaian dan Pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti

sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk

menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di

Indonesia di era reformasi, …”.30

Dari putusan MKRI di atas kemudian ditemukan karakter dari kebijakan

legislatif terbuka. Bahwa, kebijakan legislatif terbuka merupakan wewenang yang

diturunkan oleh konstitusi kepada legislator untuk menjalankan fungsi legislasinya.

Sehingga, sepanjang kebijakan yang tertuang dalam undang-undang tersebut tidak

bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang mengaturnya secara umum, MKRI tidak

berhak membatalkannya, sekalipun undang-undang tersebut dinilai buruk, karena

buruk belum tentu inkonstitusional.31

Untuk itu, MKRI juga mengembangkan

konsep kebijakan legislatif terbuka dalam putusan-putusan selanjutnya. Hal ini

terlihat dari dikeluarkannya putusan berikutnya dengan pertimbangan kebijakan

legislatif terbuka sebagai kebebasan legislator dalam menentukan materi muatan

29

Ibid, hlm. 82. 30

Ibid. 31

Dalam angka [3.17] Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menyatakan

bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak

mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut

merupakan delegasi kewenangan terbuka yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk

Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap

tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional,

kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan

ketidakadilan yang intorable.”

Page 12: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

25

undang-undang yang dipertahankan MKRI secara konsisten pada beberapa

putusannya. Pertama, keberadaan partai politik nasional dan partai politik lokal.32

Kedua, penentuan daerah pemilihan calon anggota legislatif.33

Ketiga, penentuan

syarat bagi calon anggota DPR dan DPRD sebagai calon pejabat publik.34

Keempat,

penentuan pimpinan DPR.35

Kelima, penentuan badan hukum dalam usaha

perumahsakitan,36

dan masih terdapat beberapa putusan yang menggunakan

argument kebijakan legislatif terbuka sebagai batas MKRI dalam melakukan

pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Dalam putusan-putusan tersebut MKRI sekaligus menyatakan bahwa

legislator memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang yang tidak dapat

diintervensi oleh MKRI, sepanjang kebijakan tersebut merupakan pengaturan

lanjutan dan atas delegasi UUD NRI 1945, yang dalam isinya tidak melanggar

norma moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable, dan yang tidak

secara nyata melanggar ketentuan dasar yang terdapat dalam UUD NRI 1945.

Sehingga dapat diambil makna bahwa kebijakan legislatif terbuka memiliki

legitimasi yang lahir dari putusan-putusan MKRI selaku legislator negatif.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan konsep

pembentukan muatan undang-undang yang menjadi kewenangan legislator yang

juga telah didelegasikan oleh UUD NRI 1945 secara langsung maupun tidak

langsung. Dapat dikatan pula bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan perihal

kesepakatan bersama antara legislator dalam menentukan materi muatan undang-

32

Putusan MKRI Nomor 94/PUU-X/2012, hlm. 59. 33

Putusan MKRI Nomor 96/PUU-X/2012, hlm. 75-76. Lihat juga Putusan MKRI Nomor

6/PUU-XI/2013, hlm. 38-39. 34

Putusan MKRI Nomor 108/PUU-X/2012, hlm. 22. 35

Putusan MKRI Nomor 73/PUU-XII/2014, hlm. 216-217 dan Putusan MKRI Nomor

82/PUU-XII/2014, hlm. 68. 36

Putusan MKRI Nomor 38/PUU-XI/2013, hlm. 76-77.

Page 13: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

26

undang. Kebijakan legislatif terbuka bersifat instrumental yang dapat berubah

seiring dengan perkembangan jaman. Dalam hal ini, mengingat bahwa ketentuan

dalam UUD NRI 1945 yang bersifat umum, singkat, dan juga untuk merubahnya

memerlukan proses yang panjang dan rumit, maka ketentuan lebih lanjut mengenai

teknis yang lebih rinci dan lengkap dari UUD NRI 1945 diatur dalam suatu produk

undang-undang yang lebih mudah cara perubahannya.

Sejalan dengan pendapat Mahkamah yang terdapat dalam putusan-putusan

MKRI, Mahfud MD juga menyatakan perihal pembatasan MKRI tentang

kebijakan legislatif terbuka, sebagai berikut:

“Dalam membuat putusan MK tidak boleh mencampuri

masalah-masalah yang didelegasikan oleh UUD kepada lembaga

legislatif untuk mengaturnya dengan atau dalam undang-undang

sesuai dengan pilihan politiknya sendiri. Apa yang diserahkan

secara terbuka oleh UUD untuk diatur oleh undang-undang

berdasar pilihan politik lembaga legislatif tidak bisa dibatalkan

oleh MK kecuali jelas-jelas melanggar UUD 1945. Di dalam

UUD 1945 sendiri banyak masalah yang diserahkan untuk diatur

berdasar kebutuhan dan pilihan politik lembaga legislatif yang

tentunya tidak dapat dicampuri oleh lembaga lain, termasuk oleh

MK”.37

Sehingga, sejatinya kekuasaan legislator merupakan kekuasaan untuk

mengimplementasikan amanat konstitusi UUD NRI 1945 untuk membentuk suatu

peraturan lanjutan berupa undang-undang. Dalam tugasnya tersebut, kemudian

legislator diberikan kekuasaan terbuka berdasarkan pilihan politiknya untuk

mengatur dan membentuk undang-undang, dan poin paling penting dalam hal ini

adalah bahwa dalam menjalankan wewenangnya, legislator tidak bisa

mendapatkan intervensi dari lembaga lain, termasuk MKRI.

37

Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi”, Jurnal Hukum No. 4 VOL. 16, Oktober 2009: 441 – 462, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 454.

Page 14: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

27

Dari uraian di atas, Penulis kemudian menurunkan dua konsep kebijakan

legislatif dalam proses pembuatan undang-undang. Pertama, kebijakan legislatif

terbuka (open legal policy) dan kedua, kebijakan legislatif tertutup (closed legal

policy) yang konsep dan perbandingannya akan Penulis uraikan dalam

pembahasan selanjutnya.

2. Kebijakan Legislatif Tertutup

Dalam bidang ilmu hukum, konsep kebijakan legislatif terbuka adalah hal

yang tidak secara eksplisit ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

namun kebijakan ini secara implisit ada dan diakui. Hal tersebut terbukti dengan

digunakannya kebijakan legislatif terbuka dalam praktek kehidupan bernegara,

yakni digunakan sebagai bahan rujukan atau disebut sebagai satu prinsip dalam

pembuatan peraturan perundang-undangan hingga menjadi pertimbangan hakim

dalam putusan-putusan pengadilan. Selama ini istilah kebijakan (policy) lebih

dikenal luas dalam bidang kebijakan publik yang sifatnya pun terbuka (open).

Namun, hukum mendapatkan keabsahannya karena selalu menjaga konsistensi

atau kesesuaian antar norma. Sehingga peraturan perundang-undangan memiliki

kewajiban untuk selalu konsisten dan menjaga agar tidak terjadi tabrakan yang

bersifat saling meniadakan antar norma hukum. Sedangkan pembuat kebijakan

publik jelas tentu memerkukan fleksibilitas tinggi dalam pembuatan kebijakan,

karena memang kebijakan publik adalah wilayah implementasi atau wilayah yang

bersentuhan langsung dengan aktivitas keseharian masyarakat. Sementara

pembentukan peraturan perundang-undangan dibatasi agar tidak banyak

perbedaan dengan peraturan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang tak lain adalah

peraturan yang menjadi dasar pijakan peraturan perundang-undangan lain. Hal ini

Page 15: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

28

bertujuan untuk menjamin tercapainya kepastian hukum, yang pada akhirnya

berkaitan dengan sifat Erga Omnes atau Universal (berlaku mengikat untuk semua

orang).

Walaupun pengertian dan konsep kebijakan legislatif terbuka tidak tertulis

secara eksplisit dalam suatu peraturan perundang-undangan, namun

keberadaannya telah diakui oleh MKRI dengan lahirnya putusan-putusan dengan

kebijakan legislatif terbuka sebagai pertimbangannya. Berbicara mengenai

kebijakan legislatif terbuka, maka menurut penalaran yang wajar tentu ada konsep

mengenai legislatif tertutup. Sehingga disini Penulis akan membuktikan

keberadaan konsep kebijakan legislatif tertutup menggunakan logika berfikir

argumentum a contrario dari kebijakan legislatif terbuka. R. Soeroso dalam

bukunya menjelaskan pengertian argumentum a contrario, bahwa:

“A contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan

atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal

yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam

undang-undang”.38

Makna tertutup dalam pembuatan hukum diartikan sebagai pembatasan

kewenangan pembentuk hukum dalam menentukan subyek, objek, perbuatan,

peristiwa, dan/atau akibat hukum yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan tertentu, termasuk dalam sebuah produk undang-undang. Pembatasan

demikian dilakukan oleh norma hukum yang secara hierarki lebih tinggi dari

norma hukum yang sedang dibentuk. Ketika norma hukum yang lebih tinggi

memberi batasan-batasan tertentu, maka hal demikian menjadi rem bagi

“improvisasi” pembentuk undang-undang sehingga kebijakan tersebut bersifat

tertutup (close). Ketika norma hukum yang lebih tinggi menyerahkan atau

38

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 115.

Page 16: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

29

mendelegasikan sepenuhnya pengaturan norma kepada norma hukum yang lebih

rendah dengan penyerahan langsung maupun tidak langsung, maka kebijakan

hukum tersebut bersifat terbuka. Hal tersebut menjadi berbeda ketika norma

hukum yang lebih tinggi telah mengaturnya secara eksplisit dan tegas mengenai

suatu ketentuan norma dan tidak mendelegasikan pengaturan lanjutan pada

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka kebijakan hukum

tersebut bersifat tertutup. Dengan kebijakan yang bersifat tertutup tersebut, maka

pembuat norma tidak bebas menentukan norma yang akan diaturnya. Dalam

konteks peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang, kebijakan

pembentukan undang-undang dikatakan bersifat tertutup manakala UUD NRI

1945 telah memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi

harus diatur dalam undang-undang.

Sehingga dari uraian di atas Penulis dapat menarik pengertian dan konsep

dari kebijakan legislatif tertutup (closed legal policy). Kebijakan legislatif tertutup

(closed legal policy) adalah kebijakan hukum yang memberikan batasan kepada

legislator untuk mengatur suatu materi di dalam undang-undang karena

pengaturan tentang materi tersebut telah tertuang secara eksplisit dan tegas dalam

UUD NRI 1945. Sehingga dengan itu UUD NRI 1945 secara langsung tidak

memberikan ruang pada legislator untuk mengatur suatu norma secara bebas

dalam produk undang-undang.

Contoh dari kebijakan legislatif tertutup adalah Pasal 6 ayat (1) UUD NRI

1945, dimana tertulis:

“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga

negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah

mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani

Page 17: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

30

untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan

Wakil Presiden.”39

Norma tentang salah satu syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden

tersebut bersifat baku dan tegas telah diatur oleh konstitusi. Sehingga untuk

syarat kewarganegaraan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak

dapat diganggu gugat atau dimodifikasi menjadi norma lain dalam bentuk

peraturan undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa legislator tidak dapat

mengatur berbeda atau menambahi syarat tersebut karena konstitusi telah

mengaturnya langsung secara tegas sehingga sifat dari ketentuan tersebut adalah

tertutup.

Sebagai contoh adanya kebijakan legislatif tertutup, Penulis akan

menggunakan Putusan MKRI Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang pengujian

konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional (UU Perjanjian Internasional) sebagai pendukung. Dalam putusan

tersebut, Penulis akan terfokus pada Pasal 11 ayat (1) UUD NRI 1945 yang

menjadi salah satu batu uji permohonan tersebut. Dalam pasal tersebut mengatur

bahwa, “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan

perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.” Norma yang

berisi tentang jenis perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan

DPR tersebut sifatnya tertutup. Sehingga menutup ruang pada legislator untuk

dapat mengubahnya atau memodifikasinya. Sedangkan ketentuan tentang

mekanisme konsultasi oleh DPR yang menjadi bagian dari teknis perancangan

perjanjian internasional yang direkomendasikan oleh MKRI merupakan

perwujudan Pasal 11 Ayat (3) UUD NRI 1945, yang mana di dalam pasal

39

Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945.

Page 18: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

31

tersebut tertulis “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur

dengan undang-undang.” Sehingga dapat dikatakan bahwa norma tersebut adalah

perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka. Mekanisme konsultasi tersebut juga

sekaligus sebagai proses untuk mempertemukan pandangan antara Presiden

(pemerintah) dan DPR perihal apakah substansi perjanjian internasional tertentu

merupakan perjanjian yang termasuk ke dalam kategori Pasal 11 ayat (2) UUD

NRI 1945 atau tidak. Sehingga hasil rapat konsultasi dengan DPR tersebut dapat

menjadi alasan DPR untuk menolak memberikan rancangan undang-undang yang

akan mengesahkan perjanjian internasional tersebut.40

Dari uraian di atas, Penulis

kembali mengingat pernyataan MKRI dalam putusannya, bahwa: “Pembentuk

undang-undang bebas menentukan isi undang-undang, kecuali hal-hal yang

secara tegas sudah digariskan oleh Undang-Undang Dasar.”41

Gagasan di balik

kaidah tersebut mirip dengan doktrin the Rule of Clear Mistake yang

dikembangkan oleh James Bradley Thayer, yuris konstitusional Amerika Serikat,

dengan tujuan untuk mengurangi tensi antara badan yudisial dengan badan

legislatif karena dibukanya saluran pengujian yudisial konstitusionalitas undang-

undang.42

Menurut doktrin the Rule of Clear Mistake intervensi yudisial untuk

menentukan konstitusionalitas undang-undang hanya timbul manakala: “those

who have the right to make laws have not merely make a mistake, but have made

40

Ibid, hlm. 260-261. 41

Putusan MKRI Nomor 02/PUU-II/2004. 42

Titon Slamet Kurnia, Prediktabilitas Ajudikasi Konstitusional: Mahkamah Konstitusi

dan Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni 2016, hlm. 267.

Page 19: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

32

a very clear one – so clear that it is not open to rational question.”43

Pemahaman

tersebut didasari mengenai konsep konstitusi:

“reasonable men will differ about its proper construction. The

Constitution leaves open ‘a range of choice and judgment,’ so that

‘whatever choice is rational is constitutional.’ The Court,

exercising the power of judicial review, is to be the ultimate

arbiter of what is rational and permissi'ble, but is to have no

further concern with policy choices.”44

Yang dimaksud dengan the clear mistake adalah kesalahan yang secara

gamblang atau jelas bertentangan dengan apa yang dieksplisitkan dalam suatu

konstitusi. Terhadap suatu persoalan konstitusionalitas yang tidak berangkat dari

the clear mistake, maka hakim MKRI perlu berhati-hati dalam membuat

suatu argumentasi untuk menghasilkan suatu justifikasi.45

Sehingga secara a

contrario dari pemikiran tersebut adalah kewenangan badan yudisial baru timbul

jika terjadi clearly erroneous interpretations of the Constitution oleh legislator.

Itu artinya bahwa MKRI baru akan menggunakan perannya untuk mengingatkan

rambu-rambu batasan pada legislator jikalau terbukti legislator mengubah atau

memodifikasi norma yang secara tegas telah diatur oleh konstitusi secara

langsung ke dalam bentuk undang-undang. Maka hal inilah yang disebut dengan

kebijakan legislatif tertutup, yaitu ketika legislator tidak mudah memodifikasi apa

yang sudah diatur secara tegas dalam konstitusi, sehingga jika dalam hal ini

terjadi pelanggaran kewenangan pada legislator maka MKRI akan bekerja aktif

43

Alexander M. Bickel, The Least Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of

Politics, Yale University Press, New Haven-Connecticut, 1986, hlm. 35, yang dikutip dalam Titon

Slamet Kurnia, Prediktabilitas Ajudikasi Konstitusional, Ibid. 44

Alexander M. Bickel, The Least Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of

Politics, Yale University Press, New Haven-Connecticut, 1986, hlm. 35-36, yang dikutip dalam

Titon Slamet Kurnia, Prediktabilitas Ajudikasi Konstitusional , Ibid., hlm. 268. 45

Ninon Melatyugra, Departmentalism Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

dalam Pengujian Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,

Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, hlm. 3.

Page 20: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

33

dan memberikan batasan hingga mengeluarkan putusan inkonstitusional pada

produk undang-undang yang menjadi objek pengujiannya.

Dari konsep kebijakan legislatif terbuka dan kebijakan legislatif tertutup

yang telah Penulis uraikan di atas maka dapat ditarik perbandingan mengenai

keduanya. Bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan delegasi langsung dari

konstitusi yang diberikan kepada legislator yang memunculkan akibat berupa

kebebasan untuk legislator dapat mengatur norma yang ada dalam konstitusi

dengan norma lanjutan berupa produk undang-undang tanpa boleh mendapatkan

intervensi dari cabang kekuasaan lain. Sehingga membatasi kewenangan MKRI

dalam menguji konstitusionalitas undang-undang agar tidak terjadi benturan

kewenangan antar lembaga negara. Berlawanan arti dengan kebijakan legislatif

tertutup. Bahwa kebijakan legislatif tertutup merupakan pembatasan oleh

konstitusi yang ditujukan kepada legislator tentang pengaturan suatu norma yang

akan dituangkan dalam undang-undang, hal ini disebabkan karena di dalam

konstitusi pengaturan tersebut telah tercantum secara konkrit dan tegas sehingga

legislator tidak dapat mengubah atau memodifikasinya ke dalam bentuk undang-

undang. Untuk itu jikalau legislator melanggar apa yang menjadi batasannya,

maka disitulah MKRI berperan menjadi pengingat dan harus memberikan rambu-

rambu pembatasan atau ketidakbebasan pada legislator untuk tidak off side dalam

membentuk undang-undang.

B. Kebijakan Legislatif Terbuka sebagai Batas Kewenangan

MKRI dalam Melakukan Pengujian Undang-Undang

Kebijakan Legislatif Terbuka merupakan konsep hukum yang memiliki

legitimasi lahir dari putusan-putusan MKRI, dimana konsep tersebut juga menjadi

Page 21: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

34

batasan kewenangan MKRI dalam melakukan pengujian konstitusional undang-

undang. Pengujian undang-undang hanya merupakan satu dari empat wewenang

MKRI, dan setiap lembaga negara tentu memiliki batasan akan kewenangannya,

termasuk juga MKRI. Di bawah ini Penulis akan menjabarkan lebih lanjut

mengenai kewenangan apa saja yang dimiliki MKRI beserta batasan-batasan akan

kewenangannya tersebut, dan juga implementasi kebijakan legislatif terbuka

dalam batasan kewenangannya. Maka dari rumusan tersebut Penulis akan

menjabarkannya dalam sistematika berikut. Pertama¸ mengenai wewenang MKRI

(infra Sub-judul 1), kedua, mengenai Prinsip judicial self restraint, ketiga,

mengenai Batasan Kewenangan MKRI dalam Pengujian Muatan Kebijakan

Legislatif Terbuka dengan Prinsip judicial self restraint.

1. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

MKRI terbentuk dari perubahan ketiga UUD NRI 1945, dengan adanya

perubahan yang signifikan terutama dalam pengaturan kekuasaan yudisial,

mengakibatkan eksistensi pengujian konstitusionalitas menjadi jelas, yaitu dengan

dituangkannya pada pengaturan Pasal 24, 24A, 24B dan 24C UUD NRI 1945.

Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas untuk menguji

konstitusionalitas undang-undang (judicial riview), maka menjadi hal yang

penting untuk diamanatkan dalam konstitusi. Perubahan ketiga ini juga merubah

kekuasaan tertinggi negara oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang

kemudian telah digantikan oleh UUD NRI 1945 sebagai dasar kekuasaan tertinggi

negara dan menjadikan MKRI sebagai penjaga dan pengawal konstitusi (The

Guardian of Constitution).

Page 22: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

35

Wewenang MKRI telah di konstruksikan dalam UUD NRI 1945 yang diatur

dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2). Kewenangan tersebut adalah mengadili tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

1) Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945;

2) Memutuskan sengketa antar lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945;

3) Memutuskan pembubaran partai politik;

4) Memutuskan sengketa hasil pemilihan umum.

Adapun satu kewajibannya adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan

pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukann

pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.

Berkaitan dengan wewenang MKRI tersebut, Penulis akan mempersempit

pembahasan selanjutnya yang hanya terfokus pada wewenang MKRI yang

pertama, yaitu wewenang dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI

1945. Mekanisme pengaturan lebih lanjut mengenai MKRI terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang

selanjutnya disebut UU MKRI.

Putusan MKRI bersifat pertama dan terkahir, sehingga tidak dapat dianulir

oleh lembaga negara manapun. Untuk itu dalam beberapa kesempatan, Jimly

Asshiddiqie ketika menjabat sebagai ketua MKRI, melarang para hakim konstitusi

untuk mengomentari putusan yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dari

MKRI, hal ini untuk menghindari pembiasaan dari munculnya dissenting opinion

para hakim konstitusi, yang juga dicantumkan dalam putusan MKRI.

Page 23: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

36

Konsep pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilakukan oleh

MKRI adalah melakukan koreksi atas undang-undang yang melanggar atau

bertentangan dengan konsistensi terhadap konstitusi dan HAM, baik HAM yang

dijamin secara eksplisit dalam konstitusi maupun yang unenumerated. Sehingga

Titon Slamet Kurnia menyatakan bahwa pengujian konstitusionalitas undang-

undang adalah isu utama negara berbasis HAM. Negara berbasis HAM mengakui

bahwa, “the legitimacy of the State is based on its respect, protection and

fulfilment of the rights of each and very individual.”46

Salah satunya, Titon

mengutip pendapat Dworkin dalam menjasifikasi pentingnya hak, yang sebagai

berikut:

“Anyone who professes to take rights seriously, and who praises

our Government for respecting them, must have some sense of

what that point is. He must accept, at the minimum, one or both of

two important ideas. The first is the vague but powerful idea of

human dignity. This idea is associated with Kant, but defended by

philosophers of different schools, supposes that there are ways of

treating a man that are inconsistent with recognizing him as a full

member of the human community, and holds that such treatment is

profoundly unjust. The second is the more familiar idea of political

community are entlited to be same concern and respect of their

government as the more powerful members have secured for

themselves, so that if some men have freedom of decision whatever

the effect on the general good, then all men must have the same

freedom.”47

Untuk itu kewenangan MKRI dalam melakukan pengujian konstitusional

undang-undang merupakan kewenangan yang sesuai dengan konstitusi

(legitimate) sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan untuk menjamin

46

Jakob Kirkemann Boesen dan Tomas Martin, Applaying a Rights-Based Approach: An

Inspirational Guide for Guide for Civil Society, The Danish Institute for Human Rights,

Copenhagen, 2007, hlm. 11, yang dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak Asasi

Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 75. 47

Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Harvard University Press, Cambridge-

Massachusetts, 1978, hlm. 198-199, yang dikutip dalam Titon Slamet Kurnia “Interpretasi Hak

Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 75-76.

Page 24: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

37

prinsip-prinsip hukum terutama yang berbasis HAM, pemisahan kekuasaan,

hingga sesuai dengan konsep negara hukum dan demokrasi. Hal tersebut

dikarenakan Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip negara hukum

dan demokrasi yang ciri utamanya adalah melakukan penghormatan terhadap

hukum dan HAM.

Lebih lanjut mengenai hukum acara MKRI diatur dalam UU MKRI, yang

MKRI juga diberikan wewenang untuk melengkapi hukum acaranya sesuai

dengan Pasal 86 dan Penjelasan UU MKRI untuk kelancaran dalam menjalankan

tugas dan wewenangnya. Berbicara mengenai wewenang seperti yang telah

Penulis katakan di awal sub bab ini bahwa setiap lembaga negara tentu memiliki

batasan-batasan akan kewenangannya, termasuk juga MKRI. Batasan-batasan

inilah yang akan menjadi topik pembahasan selanjutnya.

2. Prinsip Judicial Self Restraint

Setiap lembaga negara tentu memiliki batasan (limitation) pada dirinya

dalam menjalankan kewenangannya. Hal itu salah satu tujuannya adalah sebagai

pengekangan wewenang supaya tidak masuk dalam ranah kekuasaan lembaga

negara lainnya. Pembatasan ini pula diterapkan oleh lembaga yudikatif termasuk

MKRI. Pembatasan pada MKRI yang akan diuraikan saat ini disebut dengan

prinsip judicial self restraint yang dalam bahasa Indonesia berarti batasan badan

peradilan. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman untuk mengekang diri

dari kecenderungan bertindak untuk menyelesaikan persoalan yang bukan

kompetensinya. Sehingga dikatakan bahwa prinsip judicial self restraint ini salah

satunya menghendaki kekuasaan kehakiman untuk tidak mengganggu cabang

kekuasaan lain.

Page 25: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

38

judicial self restraint merupakan doktrin yang berkembang di Amerika

yang merupakan implemantasi dari penerapan pemisahan kekuasaan (separation

of power). 48

Pada tahun 1999 Philip A. Talmage menjelaskan dalam artikelnya,

bahwa:

“Some of these voluntary restraint policies are based on

constitutional principles such as separation of powers. Many of the

policies are not constitutional but prudential in nature, reflecting

goals of economical use of judicial resources or other policies.

What is lacking in our law is an overarching principle of judicial

restraint.”49

Doktrin tersebut menjelaskan bahwa judicial self restraint merupakan

salah satu perwujudan dari pemisahan kekuasaan lembaga negara yang telah

berwujud prinsip-prinsip dalam konstitusi. Dalam doktrin tersebut dikatakan pula

bahwa pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan

untuk bertindak layaknya sebuah “miniparlement”. Salah satu bentuk tindakan

pengadilan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan parlemen adalah

membentuk norma hukum baru ketika memutus perkara dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang, kesadaran oleh pengadilan ini dikarenakan

pengadilan memang bukan merupakan lembaga utama (primary custodian) dalam

sistem politik di sebuah negara demokrasi.

Terkait dengan keberlakuan judicial self restraint di Indonesia, dalam

beberapa putusannya MKRI tidak hanya menyatakan sebuah norma undang-

undang bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun juga menyatakan norma

yang seharusnya diberlakukan atau mengubah sebuah norma di dalam UUD NRI

1945 yang dirasa keluar dari original intent para perumusnya. Dalam hukum,

48

Philip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General

Jurisdiction Court Systems, Seattle University Law Review, Vol. 22:695, hlm. 711. 49

Ibid.

Page 26: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

39

sebenarnya hakim dapat saja membentuk hukum atau merubah konstitusi

melewati metode penafsiran konstitusi. Namun, judicial self restraint

menghendaki persyaratan-persyaratan tertentu agar hakim dan pengadilan lebih

berhati-hati dalam melakukan penafsiran hukum hingga membentuk norma

hukum baru ataupun mengubah makna sebuah norma dalam UUD NRI 1945

melalui putusannya.

Dalam kehidupan negara demokrasi yang berkembang makin kompleks

setiap harinya, mengakibatkan lahirnya peraturan perundang-undangan yang

bertujuan untuk menghadirkan hukum yang responsif sebagai jawaban atas

kebutuhan dan permasalahan-permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.

Untuk itu, kehadiran lembaga peradilan dalam masyarakat berperan untuk

membantu pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Sehingga, lembaga peradilan

memerlukan rambu-rambu yang tepat agar dapat memberikan putusan yang

memiliki nilai manfaat tanpa merusak tatanan hukum yang sudah ada. Kewajiban

untuk menjaga harmonisasi fungsi pengadilan dalam memecahkan masalah dan

juga fungsi untuk menjaga tatanan hukum merupakan tantangan yang besar. Oleh

karena itu, konsep judicial self restraint hadir sebagai jalan keluar yang tepat

bagi pengadilan dalam menjalankan dua fungsi tersebut.

Robert Posner berpendapat bahwa judicial self restraint bertumpu pada

prinsip deference, reticene, dan prudence.50

“Deference” yang secara literal

berarti “lega” dan “menghormati” berarti “avoiding contrasts with the decisions

of the other brances of government”, sedangkan reticene yang berarti diam

50

Richard A. Posner, The Federal Courts, Cambridge, MA: Harvard University Press,

1996, hlm. 314, dikutip dalam Disertasi Radian Salman, Pengujian Undang-Undang oleh

Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif Konstitusionalisme dan Demokrasi, Program Doktor

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Airlangga, Universitas Airlangga, Surabaya, 2017,

hlm. 73.

Page 27: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

40

didefinisikan sebagai “assumption that judges shold not be making policy

decions”. Hal ini berarti bahwa judicial self restraint adalah upaya dari cabang

kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara-perkara yang akan

mengganggu cabang kekuasaan lain. Juga Posner beranggapan bahwa pengadilan

bukanlah “primary custodian” dalam sistem politik sebuah negara yang dapat

menentukan kesejahteraan sosial.51

Oleh karena itu, pengadilan hanya berkenan

untuk mengadili perkara-perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan

hukum sebagai kewenangannya (limitation jurisdiction).

Rebecca Zietlow mengungkapkan bahwa judicial self restraint merupakan

implemantasi dari pengakuan dan penghormatan hakim kepada cabang kekuasaan

politik sebagai cabang kekuasaan yang berwenang untuk membentuk hukum

dalam kerangka demokrasi. Zietlow mengungkapkan bahwa:

“Restrained judes recognize the institutional adventages of the

political branches when they create law, and respect their

authority to do so. Judicial restraint is thus “rooted in a

majoritarian conception of American democracy”. Hence judges

should use judicial restraint whenever possible”.52

Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa menutrutnya hakim atau pengadilan

sebagiknya menerapkan judicial self restraint kapanpun dimungkinkan, karena

bagaimanapun juga hakim dan pengadilan harus mneghormati otoritas para

pembuat undang-undang. Hal tersebut juga dikarenakan pengadilan bukanlah

cerminan keterwakilan rakyat melalui mekanisme pemilihan untuk membuat

suatu undang-undang yang dilegitimasi oleh konstitusi.

51

Ibid. 52

Rebecca E. Zietlow, The Judicial Restraint of the Warren Court (and Why it Matters),

Presented Essay on meeting of the Law and Society Association, Toledo, 2006, hlm. 9, yang

dikutip dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume 11, Nomor 4,

2014, hlm. 620.

Page 28: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

41

Dari konsep dan pengertian judicial self restraint di atas, maka Penulis

berpendapat bahwa judicial self restraint adalah pengekangan dari yang

dilakukan oleh cabang kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya agar

tidak mengganggu cabang kekuasaan lainnya yang secara limitatif setiap

prinsipnya telah diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan masing-masing

lembaga negara. Sehingga dari pengertian tersebut, terbitlah beberapa jenis

pembatasan judicial self restraint bagi pengadilan dalam mengadili perkara-

perkara konstitusional. Jenis-jenis pembatasan itu adalah Pembatasan

Konstitusional (constitutional limitation), Pembatasan Berdasarkan Kebijakan

(policy limitation), dan Pembatasan Berdasarkan Doktrin (doctrine limitation).

Pembatasan konstitusional (constitutional limitation) adalah pembatasan

berdasarkan ketentuan yang secara limitatif tertuang di dalam konstitusi. Contoh

dari pembatasan konstitusional itu sendiri nampak pada Pasal 24C UUD NRI

1945, dimana dalam pasal tersebut kewenangan MKRI secara limitatif telah

diatur di dalamnya untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945,

mengadili sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD NRI 1945, mengadili sengketa hasil pemilihan umum, mengadili

permohonan pembubaran partai politik, dan mengadili pendapat DPR bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan

dinyatakan tidak berkompetensi untuk melanjutkan jabatannya. Pasal 24C

tersebut merupakan norma hukum tertutup yang tidak memungkinkan adanya

penambahan kewenangan MKRI, kecuali dengan amandemen UUD NRI 1945.

Mengenai kewenangan MKRI tersebut tercantum dalam amandemen ketiga UUD

NRI 1945 dan diatur lebih rinci dalam UU MKRI, oleh sebab itu menjadi wajar

Page 29: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

42

jika pengaturan tersebut menjadikan pembatasan kewenangan yang juga

berfungsi sebagai kontrol bagi MKRI.

Arah tujuannya adalah larangan bagi MKRI agar tidak membuat putusan

yang melampaui wewenangnya dan masuk pada wewenang cabang kekuasaan

lain seperti halnya legislatif karena hal ini sangat rentan pada wewenang MKRI

sebagai penguji konstitusionalitas undang-undang. Oleh karena itu, MKRI harus

kembali memperhatikan batasan yang menjadi wewenangnya dan menjadikan

konstitusi sebagai landasan MKRI lahir dan bekerja. Dari uraian di atas maka

Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pembatasan konstitusional berarti

memberikan kewenangan yang limitatif bagi kekuasaan kehakiman melalui

norma-norma dalam konstitusi dengan harapan agar kekuasaan kehakiman tidak

mengganggu kewenangan konstitusional cabang kekuasaan lain yang juga

tertuang menjadi norma-norma dalam konstitusi.

Pembatasan yang kedua yaitu pembatasan berdasarkan kebijakan (policy

limitation). Pembatasan berdasarkan kebijakan dikemukakan oleh Justice

Brandels pada tahun 1936 dalam perkara Ashwander v. Tennessee Valley

Authority yang kemudian dikenal sebagai “Ashwander rules”.53

Ashwander rules

terefleksi ke dalam tujuh prinsip yang seluruhnya bermuara pada komitmen

pengadilan untuk melakukan pengekangan diri (self restraint) dalam rangka

menjalankan kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945.

Tujuh prinsip tersebut adalah:

1. Pengadilan harus menghindari memberikan putusan mengenai

permasalahan konstitusional yang timbul tanpa adanya sengketa

(in friendly non-adversary proceedings);

53

Kern Alexander, David Alexander, American Public School Law, Thomson West,

Belmont, 2005, hlm. 5, yang dikutip dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial

Restraint Di Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., hlm. 622.

Page 30: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

43

2. Pengadilan tidak akan memutus sebuah permasalahan

konstitusional hingga benar-benar dibutuhkan;

3. Pengadilan akan selalu menganggap bahwa seluruh undang-

undang adalah konstitusional, dan membebankan kepada para

pihak yang berperkara untuk membuktikan sebaliknya

(presumption of constitutionality);

4. Pengadilan tidak akan merumuskan sebuah putusan dalam

masalah konstitusional melebihi kebutuhan yang diperlukan

sebagaimana yang tergambar di dalam persidangan dengan

sedapat mungkin menghindari pembentukan norma baru

(Avoiding the creation of new principles);

5. Pengadilan tidak akan menerima permohonan yang bersifat

constitutional question atau perkara yang memiliki isu politis

yang kuat jika perkara tersebut dapat diselesaikan melalui

mekanisme konstitusional lainnya (Strict necessity);

6. Pengadilan tidak akan menerima permohonan pengujian

undang-undang yang diajukan oleh mereka yang tidak dapat

membuktikan kerugian yang mereka alami akibat keberlakuan

undang-undang tersebut;

7. Pengadilan tidak akan menerima pengujian konstitusionalitas

dari sebuah undang-undang yang dimohonkan demi menarik

keuntungan bagi diri Pemohon sendiri.

Kebijakan ini menekankan bahwa pengadilan seharusnya menemukan

makna asli dari sebuah norma dalam undang-undang yang diuji untuk

menentukan konstitusionalitasnya. Kebijakan ini ditujukan untuk mengetahui

maksud asli (original intent) pembentuk undang-undang yang dipermasalahkan.

Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh Mahfud MD, bahwa:

“Dalam melakukan pengujian UU atas kewenangannya itu selalu

sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU

dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian. Dengan demikian

dalam memeriksa dan memutus perkara MK harus berpijak dan

mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama

atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi

dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh

lembaga yang membuatnya.”54

Namun dalam perjanalannya, original intent tidak selalu dapat tergambar

jelas dalam risalah-risalah perdebatan para legulator. Oleh karena itu, ketika

54

Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi”, Op.Cit., hlm. 451.

Page 31: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

44

original intent tersebut tidak dapat secara jelas terlihat, maka pengadilan dapat

menentukan makna dari norma tersebut. Sehingga apabila sebuah norma

memiliki tafsir-tafsir yang berbeda, maka dengan judicial self restraint hakim

dikehendaki untuk memilih tafsiran yang melindungi konstitusionalitas norma

tersebut.

Pembatasan yang terakhir yaitu pembatasan berdasarkan doktrin (Doctrine

Limitation). Pembatasan berdasarkan doktrin tertentu merupakan implementasi

dari prinsip kehati-hatian (prudential principles) hakim dalam memutus sebuah

perkara.55

Pembatasan berdasarkan doktrin itu sendiri terbagi menjadi lima

doktrin, diantaranya adalah Standing Doctrine, Mootness Doctrine, Ripeness

Doctrine, Abstention Doctrine, Political Question Doctrine.

Doktrin yang pertama yaitu Standing Doctrin, Otis H. Stephens

menyatakan mengenai konsep doktrin ini yaitu dimana pihak yang berperkara

memiliki kepentingan secara langsung terhadap perkara berupa kerugian yang

bersifat nyata yang diakibatkan oleh berlakunya suatu undang-undang.56

Terdapat

tiga syarat agar doktrin ini terpenuhi. Pertama, bentuk kerugian, adanya kerugian

berupa pelanggaran hak/kepentingan Pemohon yang dilindungi secara spesifik

dalam konstitusi yang bukan bersifat potensial. Kedua, adanya hubungan

kasualitas. Terdapatnya hubungan sebab akibat antara kerugian dikarenakan

terbentuknya satu undang-undang sebagai penyebabnya. Ketiga, adanya

55

Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah

Konstitusi, Op.Cit., hlm. 623. 56

Otis H. Stephnes Jr. Jhon M. Scheb, American Constitutional Law Volume I: Source of

Power and Restraint, Belmont: Thomson Wadsworth, 2008, hlm. 26, yang dikutip dalam

Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah Konstitusi, Ibid.,

hlm. 623.

Page 32: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

45

pemulihan kerugian. Dimana terdapat pemulihan atau penghindaran kerugian

berupa putusan yang diharapkan.

Doktrin yang kedua yaitu Mootness Doctrine, Otis H. Stephens menyatakan

dimana latar belakang masalah yang diperkarakan telah terselesaikan atau hilang

sehingga putusan pengadilan tidak dapat diimplementasikan atau tidak memiliki

efek praktis. Terselesaikan atau hilang, maka permasalahan pada sebuah perkara

sebelum adanya putusan pengadilan mengakibatkan perkara tersebut tidak lagi

memiliki sifat kontroversi yang aktual sebagai salah satu syarat berperkara di

pengadilan.57

Doktrin yang ketiga yaitu Ripeness Doctrine, yang menyangkut

kematangan sebuah perkara untuk dapat diadili oleh pengadilan. Doktrin ini

ditujukan untuk menghindari keterlibatan pengadilan secara premature dalam

mengadili suatu perkara yang mungkin dapat diselesaikan melalui cara-cara lain

yang ada berdasarkan hukum,58

sehingga tujuan utama dari doktrin ini adalah

menjaga agar pengadilan tidak mengadili perkara-perkara yang bersifat potensial

(hypothetical case). Doktrin yang keempat yaitu Abstention Doctrine, adalah

yang melarang pengadilan lebih tinggi intervensi terhadap perkara yang sedang

ditangani oleh pengadilan yang lebih rendah sampai terdapat putusan akhir.

Doktrin yang terakhir adalah Political Question Doctrine, adalah doktrin

pengekangan diri yang dilakukan cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak

mengadili perkara yang memiliki sifat politis yang berat.59

Penarikan diri

57

Otis H. Stephnes Jr. Jhon M. Scheb, American Constitutional Law Volume I: Source of

Power and Restraint, Ibid., hlm. 26, yang dikutip dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas

Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah Konstitusi, Ibid., hlm. 624. 58

Ibid. 59 Ibid., hlm. 705.

Page 33: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

46

menurut Philip A. Talmadge dikarenakan pengadilan tidak mampu permasalahan

yang memiliki nilai politis yang besar. Philip mengatakan:

“The courts are not readily capable of managing the resolution of

large-scale political problems.”60

Doktrin ini bisa dikatakan sebagai cerminan dari prinsip pemisahan

kekuasaan (separation of power). Penerapan Political Question Doctrine ini

harus dilakukan oleh cabang kehakiman apabila perkara yang diajukan padanya

merupakan exclusive power dari cabang kekuasaan lain. Dengan kata lain,

Political Question Doctrine ini diterapkan dalam rangka melindungi prinsip

pemisahan kekuasaan serta menghormati cabang kekuasaan lain dengan lebih

demokratis dan konstitusional. Penerapan doktrin ini pula yang dijadikan sebagai

‘rambu-rambu’ oleh kekuasaan kehakiman untuk tetap menjaga citranya di mata

masyarakat sebagai lembaga independen dan non-politis. Sehingga, pengajuan

perkara yang bermuatan politis yang kuat akan ditolak oleh pengadilan meskipun

memiliki argumen hukum yang sah dan kuat. Maka terdapat kriteria dari perkara

political question, diantaranya:

a. Apabila dalam perkara tersebut nampak nyata secara

konstitusional merupakan exclusive power dari cabang

kekuasaan lain (seperti legislatif atau eksekutif) yang serat

kekuasaan politik;

b. Kurangnya standar penyelesaian perkara secara hukum di

pengadilan;

c. Ketidakmungkinan penyelesaian perkara tanpa membentuk

sebuah kebijakan melalui proses non-judicial;

d. Apabila penyelesaian perkara yang dilakukan pengadilan akan

menggambarkan kurangnya penghormatan (lack to respect)

terhadap cabang kekuasaan yang lain.61

60

Philip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General

Jurisdiction Court Systems, Seattle University Law Riview No. 695, 1999, hlm. 698, yang dikutip

dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah Konstitusi,

Ibid., hlm. 625. 61

Wicaksana Dramanda, Ibid., hlm. 626.

Page 34: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

47

Dari pemaparan macam-macam jenis pembatasan judicial self restraint di

atas, maka Penulis tarik kesimpulan bahwa sebenarnya prinsip judicial self

restraint ini bukanlah prinsip baru dalam kekuasaan kehakiman karena prinsip

tersebut telah teramini dan telah menjadi ‘rambu-rambu’ dalam pengadilan

menjalankan wewenangnya. Begitupun pasti pada MKRI yang bertugas sebagai

penjamin perlindungan HAM melalui wewenangnya menjadi guardian of

constitution. Untuk itu dengan posisi tersebut, MKRI dituntut sebagai lembaga

kehakiman yang mandiri, independen, juga sadar akan batasan dari

kewenangannya dengan menghargai serta menghormati kewenangan cabang

kekuasaan lain seperti yang menjadi spirit utama prinsip judicial self restraint.

Salah satu tujuan dalam penerapan judicial self restraint ini adalah meminimalisir

putusan hakim yang kontroversial. Prinsip ini dapat pula diterapkan dalam

bentuk-bentuk tertentu, namun sebagian prinsip judicial self restraint hanya dapat

dikembangkan di dalam diri masing-masing hakim MKRI.

3. Batasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia dalam Pengujian Muatan Kebijakan Legislatif

Terbuka dengan Prinsip Judicial Self Restraint

Indonesia merupakan negara hukum demokrasi yang menganut sistem

pemerintahan berdasarkan Trias Politica yang dianut oleh Montesquieu dimana

adanya pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara, dimana kekuasaan

pemerintah terbagi menjadi tiga yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif,

dan kekuasaan yudikatif. Setiap cabang kekuasaan tersebut tentu saling bersinergi

walau memiliki kedudukan dan wewenangnya masing-masing untuk menjalankan

fungsi negara. Berbicara mengenai kedaulatan, Indonesia menganut prinsip

Page 35: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

48

negara hukum (rule of law) dan prinsip negara demokrasi yang dua prinsip

tersebut lahir dalam Perubahan ketiga UUD NRI 1945, yaitu dalam Pasal 1 ayat

(2) dan (3). Juga kedua prinsip itulah yang menjadi prinsip fundamental dalam

konstitusi. Dengan kedaulatan tersebut, tentu Indonesia memiliki konsekuensi

masing-masing sebagai negara hukum (rule of law) maupun negara demokrasi.

Oleh sebab itu, untuk menjawab perihal batasan kewenangan MKRI dalam

pengujian konstitusional undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka

dengan prinsip judicial self restraint, Penulis menggunakan analisis berdasarkan

prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi.

Prinsip pertama yaitu prinsip negara hukum, dimana prinsip ini tercantum

dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.”62

Pengertian terpenting dalam prinsip ini bahwasanya kekuasaan negara dibatasi

oleh hukum, dengan artian segala sikap, tingkah laku dan segala kebijakan yang

dikeluarkan oleh para penguasa atau aparatur negara harus berdasarkan atas

hukum, dan yang terpenting dalam prinsip ini menghendaki adanya pembatasan

hukum bagi masing-masing cabang kekuasaan. Dalam Nomoi, Plato

mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan

pada pengaturan (hukum) yang baik.63

Menurut Aristoteles, suatu negara yang

baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.

Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: Pertama,

pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang umum; Kedua, pemerintahan

dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum,

62

Pasal 1 ayat (3) UU NRI 1945. 63

Tahir Azhary, Negara Hukum, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 63, yang

dikutip dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2014.

Page 36: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

49

bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan

konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan

yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang

dilaksankaan pemerintahan dospotik. Aristoteles mengatakan, konstitusi

merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-

aturan tersebut. Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum dalam sistem

Kontinental dan Anglakson mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat

dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut: 64

a. Sistem pemerintahan negara yang berdasarkan atas kedaulatan

rakyat.

b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan

perundang-undangan.

c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga

negara).

d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.

e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke

controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan

tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah

pengaruh eksekutif.

f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau

warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan

pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.

g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian

yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran

warga negara.

Kontinental dan Anglosakson di atas tidak terlepas dari falsafah dan sosio-

politik yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme

yang bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh

kehendak bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan penguasa.

Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak

individu itu menempati posisi sentral. Semangat membatasi kekuasaan negara ini

64

Azhary, Negara Hukum Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, 1955, hlm. 20-21.

Page 37: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

50

semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu popular dari Lord Acton:

“Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”65

Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan

kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan

disalahgunakan. Model negara hukum seperti ini berdasarkan catatan sejarah

dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, yang berciri bahwa pemerintah

yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak

dibenarkan bertindak sewenang-wenang di luar kekuasaannya.66

Prinsip kedua yaitu prinsip demokrasi. Bukti konstitusi mengatur bahwa

Indonesia merupakan negara demokrasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yang

berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”.67

Teori kedaulatan rakyat (demokarasi) adalah ajaran

yang menentukan bahwa sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam suatu

negara berada di tangan rakyat (of the people), yang sehingga untuk itu rakyat

adalah alasan utama berdirinya suatu negara. Gagasan dasar prinsip demokrasi

adalah terwujudnya negara dengan pemisahan kekuasaan (separation of power),

cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya (limited government), terdapat

larangan pemerintah bertindak sewenang-wenang (abus de drait atau willikeur),

terjaminnya hak-hak asasi manusia dan dihindari terpusatnya kekuasaan pada satu

tangan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang

(detaournament de pouvair).68

Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum,

65

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.

57-58 66

Ibid. 67

Pasal 1 ayat (2) UU NRI 1945. 68

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press,

Jogjakarta, 2003, hlm. 149.

Page 38: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

51

yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan dengan

kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sitem demokrasi.

Dari uraian dua prinsip konstitusional diatas, dapat ditarik makna bahwa

yang menjadi point penting dalam prinsip negara hukum demokrasi adalah

mengenai pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) dan

kewenangan pemerintahan melalui lembaga negara yang terbatas (limited

government) yang tentu kedua hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (detaournament de

pouvair) demi tercapainya tujuan bernegara yang melindungi segenap hak warga

negaranya.

Kembali pada pembahasan mengenai interpretasi kebijakan legislatif

terbuka sebagai batasan kewenangan MKRI terhadap prinsip judicial self

restraint, seperti yang Penulis uraikan pada sub bab pertama, bahwa kebijakan

legislatif terbuka merupakan kewenangan legislator dalam menciptakan materi

muatan dalam suatu rumusan undang-undang yang tidak boleh mendapat

intervensi dari lembaga negara lain yang diakui sebagai instrument pembatasan

diri yang diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas

undang-undang. Dari pengertian tersebut maka dapat di tarik dua konsep. Konsep

pertama¸ adalah kewenangan legislator dalam menciptakan materi muatan suatu

rumusan undang-undang. Konsep kedua, adalah instrument pembatasan diri yang

diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-

undang. Dua konsep yang terpecah tersebut jelas menunjukkan adanya prinsip

dari negara hukum demokrasi. Pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of

power) terilhami dalam konsep pertama, dan kewenangan pemerintahan melalui

Page 39: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

52

lembaga negara yang terbatas (limited government) terilhami dalam konsep

kedua.

Sedangkan prinsip judicial self restraint itu sendiri merupakan pengekangan

diri yang dilakukan oleh cabang kekuasaan yudikatif yang disini merupakan

MKRI dalam menjalankan fungsinya tanpa mengganggu cabang kekuasaan

lainnya (legislatif maupun eksekutif) yang secara limitatif setiap prinsipnya telah

diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan/kekuasaan masing-masing lembaga

negara. Sehingga bisa dikatakan bahwa dengan prinsip judicial self restraint

merupakan salah satu bentuk penghormatan MKRI kepada cabang kekuasaan lain

untuk dapat menjalankan kekuasaannya. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip ini

jelas selaras dengan amanat negara hukum demokrasi atas pemisahan/pembagian

kekuasaan (separation of power) dan kewenangan lembaga negara yang terbatas

(limited government). Lebih penting lagi, prinsip judicial self restraint memiliki

tiga pembatasan yang telah Penulis uraikan sebelumnya, bahwa ada pembatasan

konstitusional, pembatasan berdasarkan kebijakan, pembatasan berdasarkan

doktrin yang dimana ketiganya memiliki klasifikasi dalam pembatasannya

masing-masing. Pembatasan-pembatasan tersebut tanpa disadari juga telah

terilhami oleh MKRI, salah satunya yaitu dengan lahirnya ‘rambu-rambu’ yang

berasal dari dirinya sendiri berupa kebijakan legislatif terbuka (open legal policy).

Sehingga Penulis simpulkan bahwa prinsip judicial self restraint berbanding

lurus dengan kebijakan legislatif terbuka (open legal policy) yang bertujuan untuk

memberi batasan akan kewenangan MKRI dalam pengujian konstitusionalitas

undang-undang dan memberi kebebasan legislator untuk menjalankan

wewenangnya sebagai pembentuk norma dalam undang-undang. Untuk itu

Page 40: BAB II KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI …...konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan . supreme law. dengan artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak

53

Penulis simpulkan bahwa dengan diakuinya kebijakan legislatif terbuka yang

menjadi kebebasan kewenangan pada legislator untuk menentukan materi muatan

undang-undang oleh MKRI, maka MKRI telah melaksanakan prinsip judicial self

restraint sebagai prinsip pembatasan kewenangannya sebagai badan peradilan,

khususnya badan peradilan yang berwenang dalam menguji konstitusionalitas

undang-undang yang riskan dapat bersinggungan dengan lembaga kekuasaan lain

yang disini adalah legislator. Jadi semangat dengan diakuinya kebijakan legislatif

terbuka sebagai kebebasan kewenangan legislator adalah wujud penghormatan

MKRI kepada legislator yang keduanya telah memiliki fungsi masing-masing

secara eksplisit telah diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945, demi menciptakan

kehidupan bernegara yang disiplin dengan keselamatan rakyat sebagai tujuan

utama.