bab ii kebijakan legislatif terbuka sebagai …...konstitusi. dalam suatu negara, konstitusi...
TRANSCRIPT
15
BAB II
KEBIJAKAN LEGISLATIF TERBUKA SEBAGAI KEWENANGAN
LEGISLATIF UNTUK MEMBENTUK MUATAN
SUATU UNDANG-UNDANG
Dalam bab ini, Penulis hendak mendiskusikan perihal konsep kebijakan
legislatif terbuka sebagai kebebasan bagi legislator dalam menentukan materi
muatan suatu undang-undang. Dalam menjelaskan konsep kebijakan legislatif
terbuka, akan dibandingkan pula dengan kebijakan legislatif tertutup yang
memiliki karakter berlawanan. Dua kebijakan ini merupakan konsep yang
membatasi MKRI dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial
riview). Hal ini berdasarkan prinsip judicial self restraint sebagai batasan
terhadap lembaga yudikatif terhadap kewenangannya dalam menguji undang-
undang. Oleh karena itu, yang menjadi pembahasan utama dalam bab ini adalah
menjabarkan karakeristik dua kebijakan legislatif dalam membentuk undang-
undang dan pembatasan kewenangan MKRI dalam pengujian suatu produk
undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka.
Untuk tujuan itu, maka sistematika pembahasan dalam bab ini disusun
sebagai berikut. Pertama, menguraikan macam dan karakteristik kebijakan
legislatif dalam perumusan undang-undang (infra Sub-judul A). Kedua,
menguraikan bahwa kebijakan legislatif terbuka sebagai batas kewenangan MKRI
dalam melakukan pengujian undang-undang (infra Sub-judul B).
16
A. Macam dan Karakteristik Kebijakan Legislatif dalam
Perumusan Undang-Undang
Materi muatan undang-undang merupakan kandungan atau isi dari sebuah
undang-undang, kandungannya berupa norma hukum yang mengikat dan
terangkai dalam bentuk pasal-pasal dan ayat-ayat. Bidang yang tidak dapat diatur
lebih lanjut hanyalah hal-hal yang secara tegas telah digariskan oleh konstitusi.
Artinya undang-undang dapat mengatur suatu bidang secara lebih lanjut
berdasarkan delegasi oleh konstitusi, atau mengamini apa yang sudah tertulis
dalam konstitusi. Dalam hal ini, yang memiliki kewenangan untuk membentuk
undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan
Presiden (yang kemudian disebut legislator). Hal ini didukung oleh pendapat
Jimly Asshidiqie yang menegaskan bahwa kewenangan legislator dan legislatif
(DPR) sebagai pencipta undang-undang yang utama yaitu :
“Kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan (regeling) pada
dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang
berdasarkan prinsip kedaulatan, merupakan kewenangan eksekutif
wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan
yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga
negara (presumption of liberty of the sovereign people)”. 18
Pendelegasian yang demikian itu tentunya ditujukan kepada DPR bersama
dengan Presiden sebagai pembuat undang-undang (selanjutnya disebut dengan
legislator), yang atas wewenangnya telah terjamin dalam Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945. Di dalam konstitusi itu sendiri termuat dua
macam kebijakan bagi legislator dalam membuat undang-undang, yakni kebijakan
legislatif terbuka (open legal policy), yang mana kebijakan ini berisi
18
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Penerbit Sekretariat Jendral
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Cetakan Pertama, 2006. hlm. 11.
16
pendelegasian langsung atau tidak langsung kepada legislator untuk mengatur
lebih lanjut suatu norma yang terkandung dalam konstitusi serta kebijakan
legislatif tertutup (closed legal p[olicy) yang merupakan batasan bagi legislator
untuk tidak mengubah suatu norma yang telah tegas tercantum dalam konstitusi
dan menutup kemungkinan bagi legislator untuk mengaturnya berbeda.
Secara fungsional, konstitusi bermakna sebagai seperangkat norma untuk
mengatur terciptanya norma umum lainnya dan mengatur lembaga yang
berwenang untuk menciptakan norma umum tersebut. Kelsen memaknai fungsi
konstitutif dalam perspektif yuridis sebagai:
“Norms regulating the creation of general norms and – in
modern law – norms determining the organs and procedure of
legislatition.”19
(Norma yang mengatur penciptaan norma
umum dan - dalam hukum modern - norma menentukan organ
dan prosedur legislasi)
Pendapat tersebut berimplikasi bahwa konstitusi memiliki fungsi konstitutif
yakni berisi norma yang mengatur mengenai penciptaan suatu norma umum dan
lebih lanjut dan juga menetukan fungsi dan kewenangan lembaga-lembaga negara,
hingga bagaimana prosedur pembentukannya. Konstitusi yang berisi tentang
dasar-dasar peraturan penyelenggaraan negara yang prinsip dan terbatas, ternyata
di dalamnya terkandung dua macam kebijakan legislatif untuk mengatur lebih
konkrit dan juga larangan untuk mengatur lain dari apa yang sudah ada dalam
konstitusi. Sehingga dikatakan bahwa kebijakan legislatif merupakan kebijakan
yang diturunkan oleh konstitusi kepada legislator untuk menjalankan fungsi
legislasinya yang berupa kebebasan dan pembatasan dalam menentukan materi
19
Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Pernerbit Mandar Maju bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana, Bandung, 2015, hlm. 16.
17
muatan undang-undang yang menjadi produknya. Kebebasan itu disebut dengan
kebijakan legislatif terbuka dan pembatasannya disebut dengan kebijakan
legislatif tertutup.
Untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai dua konsep kebijakan legislatif
dalam perumusan undang-undang, maka Penulis akan menjabarkannya dalam
sistematika berikut. Pertama, mengenai Kebijakan Legislatif Terbuka (infra Sub-
judul 1), kedua, mengenai Kebijakan Legislatif Tertutup (infra Sub-judul 2).
1. Kebijakan Legislatif Terbuka
Delegasi kewenangan dalam sistem ketata-negaraan adalah suatu
penyerahan atau pelimpahan kewenangan yang menyebabkan kewenangan dan
tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan yaitu legislator sebagai
delegataris. Tidak ada kriteria khusus dalam pembuatan materi suatu undang-
undang yang diatur secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga kriteria apakah
suatu materi tertentu layak diatur dalam undang-undang adalah wilayah kebebasan
dan kesepakatan pembentuk undang-undang dengan syarat mutlak dalam proses
legislasi yaitu tidak boleh bertentangan dengan norma UUD NRI 1945. Konsep
akan kebebasan legislator dalam menentukan materi undang-undang ini yang
disebut sebagai kebijakan legislatif terbuka.
Dalam dissenting opinion Hakim MKRI, Maria Farida mengungkapkan
pendapatnya mengenai kebijakan legislatif terbuka dalam Putusan MKRI Nomor
14/PUU-XI/2013 bahwa, “hal itu bukanlah masalah konstitusional norma, tetapi
merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang.”20
Pendapat
tersebut sangat penting sebagai pengingat bahwa kebijakan legislatif terbuka
20
Pendapat berbeda Hakim Konstitusi Maria Farida pada Putusan MKRI Nomor
14/PUU-XI/2013, hlm. 90-91.
18
adalah perihal kesepakatan pembentuk undang-undang yang secara tidak langsung
menjadikan batasan pada MKRI supaya tidak melakukan lompatan kewenangan
dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. Terkait dengan hal tersebut,
Hans Kelsen menegaskan bahwa:
“By legislative power legislation, one does not understand the
entire function a creating law, but a special aspect of this
function, the creation general norm. ‘A law’ – a product of a
legislative process – is essentially norm or a complex of such
norm”. 21
Kebebasan dalam menentukan materi undang-undang merupakan delegasi
oleh UUD NRI 1945 kepada legislator. Itu berarti bahwa dalam fungsinya,
legislator bertugas untuk menentukan pengaturan lebih lanjut yang sifatnya tekhnis
dari pengaturan yang sudah ada dalam UUD NRI 1945. Dalam pendelegasian ini,
konstitusi terkadang tidak menulis suatu aturan yang secara spesifik dan eksplisit
yang mengatur suatu dasar konstitusional bagi pilihan kebijakan yang terbuka yang
menjadi dasar kewenangan legislator untuk menjabarkan lebih jauh dalam satu
undang-undang.22
Hal ini berarti bahwa legislator bebas menentukan meteri
muatan undang-undang atau isi undang-undang sepanjang mengamini norma dasar
yang tertulis dalam konstitusi.
21
Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, Penerbit Russel & Russel, New
York, 1971, hlm. 256, dikutip dari Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatkan Model
Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, hlm. 1. 22
Pasal dalam UUD NRI 1945 yang mendelegasikan secara langsung untuk mengatur
pengaturan lanjutan dalam bentuk undang-undang ada dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (5),
Pasal 11 ayat (3), Pasal 15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18 A ayat
(1), Pasal 18B ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20A ayat (4), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C
ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23 ayat (1), Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal
23G, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), Pasal 24C ayat (6), Pasal 25, Pasal
26 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (3), Pasal 33 ayat (5), Pasal
34 ayat (4), dan Pasal 36C UUD NRI 1945; Radita Ajie, Batasan Pilihan Kebijakan Pembentuk
Undang-Undang (Open Legal Policy) Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Berdasarkan Tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi (Limit To Open Legal Policy In Legislation
Making Based On Constitutional Court Decision), Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, 2016, hlm. 113.
19
Sehingga sebelum Penulis jabarkan lebih lanjut tentang konsep kebijakan
ini, kita harus lebih dahulu mengenal apa yang dimaksud dengan kebijakan
legislatif terbuka itu. Kebijakan legislatif terbuka adalah kebijakan hukum yang
dimiliki legislator dalam pembentukan undang-undang yang secara langsung
didelegasikan oleh UUD NRI 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Indonesia,
dimana kebijakan hukum tersebut memberikan kebebasan pada legislator untuk
menentukan materi muatan suatu undang-undang yang merupakan pengaturan
lanjutan dari apa yang sudah tertulis dalam UUD NRI 1945 sehingga materi
undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka tidak dapat diuji oleh MKRI
sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang melampaui
kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan UUD NRI
1945.23
Perlu dipahami juga bahwa undang-undang sebagai produk legislasi
merupakan ordinary law yang pembentukan dan perubahannya tidak se-rumit dan
se-rigid konstitusi. Dalam suatu negara, konstitusi merupakan supreme law dengan
artian bahwa dia merupakan hukum tertinggi sehingga tidak ada batasan lagi untuk
men-challenge kedudukan konstitusionalitasnya. Berbeda dengan undang-undang
sebagai ordinary law yang berimplikasi bahwa kedudukannya berada dibawah
konstitusi. Dengan kata lain, suatu norma dalam undang-undang masih bisa
dipertanyakan konstitusionalitasnya yakni menggunakan konstitusi sebagai batu
uji.
Konsep kebijakan legislatif terbuka itu sendiri bermakna a priori atau
antecedent yakni ada terlebih dahulu daripada peraturan perundang-undangan
23
Putusan MKRI Nomor 10/PUU-III/2005.
20
maupun putusan-putusan pengadilan, namun keberadaannya lahir dan diakui
pertama kali dalam putusan MKRI. Sekalipun keberadaannya tidak tercantum
secara eksplisit dalam suatu produk peraturan perundang-undangan, namun
keberadaannya menjadi krusial dan diakui menjadi salah satu prinsip
pembentukan suatu produk undang-undang. Kebijakan legislatif terbuka berfungsi
sebagai pengingat akan batasan kewenangan MKRI dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang agar tidak terjadi benturan fungsi dengan
legislator.
Dari uraian di atas maka Penulis menemukan ciri dari kebijakan legislatif
terbuka, yakni :
1. Delegasi dari konstitusi yang ditujukan kepada lembaga pembuat
undang-undang yaitu DPR bersama Presiden (legislator) yang berupa
wewenang untuk membuat pengaturan lanjutan tentang suatu bidang
yang telah diatur secara pokok dalam konstitusi dan mengamininya
dalam bentuk undang-undang. Sebagai contoh, seperti norma yang
tercantum dalam Pasal 6A UUD NRI 1945, yang mengatakan bahwa
“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dalam undang-undang.”
2. Menghasilkan suatu produk undang-undang yang tidak dapat
diintervensi oleh cabang kekuasaan lainnya serta memiliki kebebasan
untuk menentukan materi muatan undang-undang. Hal ini diungkapkan
dalam Putusan MKRI Nomor 10/PUU-III/2005, yang menyatakan
bahwa “... sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal
yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak
21
merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata
bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan
kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah.
Lagi pula pembatasanpembatasan dalam bentuk mekanisme dan
prosedur dalam pelaksanaan hak-hak tersebut dapat dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2)”
Penjelasan di atas diperkuat dengan Putusan MKRI pertama terkait dengan
kebijakan legislatif terbuka, yaitu dalam Putusan Nomor 002/PUU-II/2004. Dalam
putusan tersebut, MKRI menyatakan bahwa:
“Pembentuk undang-undang bebas menentukan isi undang-
undang kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh
Undang-Undang Dasar, khususnya yang terkait dengan
permohonan a quo, seperti yang mencangkup asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, periodisasi (setiap lima
tahun sekali), tujuan Pemilu (partai politik), dan penyelenggara
Pemilu (KPU). Tentang sistem Pemilu, apakah sistem pluralistis
mayoritas (distrik), semi proporsional atau proporsional dengan
segala variannya, daerah pemilihan apakah berbasis pembagian
wilayah/desa administrasi atau bukan dan hal-hal lain yang
bersifat tekhnis diserahkan kepada pembentuk undang-undang.” 24
Jika UUD NRI 1945 tidak mengatur lebih jelas tentang teknik suatu
ketentuan, maka disitulah delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk
mengaturnya. Itu artinya bahwa pembentuk undang-undang bebas menentukan isi
undang-undang kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh
konstitusi. Pendelegasian tersebut salah satunya ditandai dengan rumusan
“…lebih lanjut diatur dalam undang-undang” atau “…diatur dengan undang-
undang”. Penggunaan kalimat “…lebih lanjut diatur dalam undang-undang”
berarti peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan (yang disini adalah
24
Putusan MKRI Nomor 002/PUU-II/2004, hlm. 26.
22
konstitusi) telah mengatur pokok-pokoknya atau prinsipnya sebagai dasar dan
hukum bagi legislator untuk mengatur lebih lanjut dalam undang-undang. 25
Implementasi dari kebijakan legislatif terbuka telah ada dalam banyak
produk undang-undang di Indonesia. Dibawah ini Penulis akan menguraikan
beberapa contoh perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka yang terdapat dalam
undang-undang yang kemudian diajukan uji materi kepada MKRI, dan kemudian
menghasilkan putusan MKRI yang memperkuat bahwa materi muatan undang-
undang tersebut merupakan kebijakan legislatif terbuka sehingga MKRI
mengatakan bahwa itu bukan wewenangnya untuk dapat mengatakan
inkonstitusional.
Pertama adalah Putusan MKRI Nomor 006/PUU-III/2005 hasil pengujian
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
undang-undang tersebut terdapat kebijakan legislator yang membatasi cara
pengusulan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, dimana pendapat
Mahkamah diuraikan sebagai berikut:
“… pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat
dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan
sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) (sic:
kebijakan hukum terbuka) yang tidak dapat diuji kecuali
dilakukan dengan secara sewenang-wenang (willekeur) dan
melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement
de pouvoir)”.26
“Sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak merupakan hal
yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan
tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak
nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945,
25
Ketentuan dalam angka 198 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan menyatakan bahwa Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada
Peraturan yang lebih rendah. 26
Putusan MKRI Nomor 006/PUU-III/2005, hlm. 21.
23
maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan
pengujian oleh Mahkamah.”27
MKRI dalam putusan diatas menyatakan bahwa pengaturan teknis suatu
sistem berupa pembatasan yang tertuang dalam suatu undang-undang merupakan
kewenangan legislator. Kewenangan tersebut sah sepanjang sesuai dengan UUD
NRI 1945 dan pembatasan yang ada dalam UUD NRI 1945. Secara konsisten,
MKRI juga mengikuti putusannya mengenai kewenangan legislator dalam
membentuk suatu undang-undang atas delegasi UUD NRI 1945, dalam putusan
MKRI perkara No. 16/PUU-V/2007 tentang pengaturan tata cara pemilihan umum,
yaitu:
“ … partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya
ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan uum sebelum
pelaksaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik”. Akan tetapi,
implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan undang-
undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945,
“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang” dan
menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini
berarti bahwa pembentuk undang-undang berwenang mengatur
hal-hal yang berkenaan dengan pemilihan umum dan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-undang yang
mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD
1945”.28
Tidak hanya berhenti disitu, dalam putusan yang sama MKRI juga masih
memberikan contoh kebijakan legislatif dalam menentukan isi undang-undang
sebagai konsep kebijakan legislatif terbuka, yaitu:
27
Ibid, hlm. 30-31. 28
Putusan MKRI Nomor 16/PUU-V/2007, hlm. 80.
24
“ … eksistensi partai politik dengan keikutsertaan partai politik
dalam Pemilu memang merupakan dua hal yang berbeda dan
tidak dapat dicampuradukkan. Setidak-tidaknya, hal itulah yang
menjadi kebijakan hukum (legal policy) (sic: kebijakan hukum
terbuka) pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum
demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena
nyatanya UUD 1945 memberikan mandate bebas kepada
pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, termasuk
mengenai persyaratan untuk mengikuti Pemilu berikutnya
dengan ketentuan ET”.29
“ … ketentuan tentang ET tersebut memang merupakan pilihan
kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam rangka
membangun suatu sistem multipartai sederhana di Indonesia.
Menurut Mahkamah, kebijakan hukum (legal policy) di bidang
kepartaian dan Pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti
sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk
menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di
Indonesia di era reformasi, …”.30
Dari putusan MKRI di atas kemudian ditemukan karakter dari kebijakan
legislatif terbuka. Bahwa, kebijakan legislatif terbuka merupakan wewenang yang
diturunkan oleh konstitusi kepada legislator untuk menjalankan fungsi legislasinya.
Sehingga, sepanjang kebijakan yang tertuang dalam undang-undang tersebut tidak
bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang mengaturnya secara umum, MKRI tidak
berhak membatalkannya, sekalipun undang-undang tersebut dinilai buruk, karena
buruk belum tentu inkonstitusional.31
Untuk itu, MKRI juga mengembangkan
konsep kebijakan legislatif terbuka dalam putusan-putusan selanjutnya. Hal ini
terlihat dari dikeluarkannya putusan berikutnya dengan pertimbangan kebijakan
legislatif terbuka sebagai kebebasan legislator dalam menentukan materi muatan
29
Ibid, hlm. 82. 30
Ibid. 31
Dalam angka [3.17] Putusan MKRI Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menyatakan
bahwa: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak
mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut
merupakan delegasi kewenangan terbuka yang ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk
Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, Mahkamah tetap
tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional,
kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan
ketidakadilan yang intorable.”
25
undang-undang yang dipertahankan MKRI secara konsisten pada beberapa
putusannya. Pertama, keberadaan partai politik nasional dan partai politik lokal.32
Kedua, penentuan daerah pemilihan calon anggota legislatif.33
Ketiga, penentuan
syarat bagi calon anggota DPR dan DPRD sebagai calon pejabat publik.34
Keempat,
penentuan pimpinan DPR.35
Kelima, penentuan badan hukum dalam usaha
perumahsakitan,36
dan masih terdapat beberapa putusan yang menggunakan
argument kebijakan legislatif terbuka sebagai batas MKRI dalam melakukan
pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Dalam putusan-putusan tersebut MKRI sekaligus menyatakan bahwa
legislator memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang yang tidak dapat
diintervensi oleh MKRI, sepanjang kebijakan tersebut merupakan pengaturan
lanjutan dan atas delegasi UUD NRI 1945, yang dalam isinya tidak melanggar
norma moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable, dan yang tidak
secara nyata melanggar ketentuan dasar yang terdapat dalam UUD NRI 1945.
Sehingga dapat diambil makna bahwa kebijakan legislatif terbuka memiliki
legitimasi yang lahir dari putusan-putusan MKRI selaku legislator negatif.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan konsep
pembentukan muatan undang-undang yang menjadi kewenangan legislator yang
juga telah didelegasikan oleh UUD NRI 1945 secara langsung maupun tidak
langsung. Dapat dikatan pula bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan perihal
kesepakatan bersama antara legislator dalam menentukan materi muatan undang-
32
Putusan MKRI Nomor 94/PUU-X/2012, hlm. 59. 33
Putusan MKRI Nomor 96/PUU-X/2012, hlm. 75-76. Lihat juga Putusan MKRI Nomor
6/PUU-XI/2013, hlm. 38-39. 34
Putusan MKRI Nomor 108/PUU-X/2012, hlm. 22. 35
Putusan MKRI Nomor 73/PUU-XII/2014, hlm. 216-217 dan Putusan MKRI Nomor
82/PUU-XII/2014, hlm. 68. 36
Putusan MKRI Nomor 38/PUU-XI/2013, hlm. 76-77.
26
undang. Kebijakan legislatif terbuka bersifat instrumental yang dapat berubah
seiring dengan perkembangan jaman. Dalam hal ini, mengingat bahwa ketentuan
dalam UUD NRI 1945 yang bersifat umum, singkat, dan juga untuk merubahnya
memerlukan proses yang panjang dan rumit, maka ketentuan lebih lanjut mengenai
teknis yang lebih rinci dan lengkap dari UUD NRI 1945 diatur dalam suatu produk
undang-undang yang lebih mudah cara perubahannya.
Sejalan dengan pendapat Mahkamah yang terdapat dalam putusan-putusan
MKRI, Mahfud MD juga menyatakan perihal pembatasan MKRI tentang
kebijakan legislatif terbuka, sebagai berikut:
“Dalam membuat putusan MK tidak boleh mencampuri
masalah-masalah yang didelegasikan oleh UUD kepada lembaga
legislatif untuk mengaturnya dengan atau dalam undang-undang
sesuai dengan pilihan politiknya sendiri. Apa yang diserahkan
secara terbuka oleh UUD untuk diatur oleh undang-undang
berdasar pilihan politik lembaga legislatif tidak bisa dibatalkan
oleh MK kecuali jelas-jelas melanggar UUD 1945. Di dalam
UUD 1945 sendiri banyak masalah yang diserahkan untuk diatur
berdasar kebutuhan dan pilihan politik lembaga legislatif yang
tentunya tidak dapat dicampuri oleh lembaga lain, termasuk oleh
MK”.37
Sehingga, sejatinya kekuasaan legislator merupakan kekuasaan untuk
mengimplementasikan amanat konstitusi UUD NRI 1945 untuk membentuk suatu
peraturan lanjutan berupa undang-undang. Dalam tugasnya tersebut, kemudian
legislator diberikan kekuasaan terbuka berdasarkan pilihan politiknya untuk
mengatur dan membentuk undang-undang, dan poin paling penting dalam hal ini
adalah bahwa dalam menjalankan wewenangnya, legislator tidak bisa
mendapatkan intervensi dari lembaga lain, termasuk MKRI.
37
Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Hukum No. 4 VOL. 16, Oktober 2009: 441 – 462, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 454.
27
Dari uraian di atas, Penulis kemudian menurunkan dua konsep kebijakan
legislatif dalam proses pembuatan undang-undang. Pertama, kebijakan legislatif
terbuka (open legal policy) dan kedua, kebijakan legislatif tertutup (closed legal
policy) yang konsep dan perbandingannya akan Penulis uraikan dalam
pembahasan selanjutnya.
2. Kebijakan Legislatif Tertutup
Dalam bidang ilmu hukum, konsep kebijakan legislatif terbuka adalah hal
yang tidak secara eksplisit ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
namun kebijakan ini secara implisit ada dan diakui. Hal tersebut terbukti dengan
digunakannya kebijakan legislatif terbuka dalam praktek kehidupan bernegara,
yakni digunakan sebagai bahan rujukan atau disebut sebagai satu prinsip dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan hingga menjadi pertimbangan hakim
dalam putusan-putusan pengadilan. Selama ini istilah kebijakan (policy) lebih
dikenal luas dalam bidang kebijakan publik yang sifatnya pun terbuka (open).
Namun, hukum mendapatkan keabsahannya karena selalu menjaga konsistensi
atau kesesuaian antar norma. Sehingga peraturan perundang-undangan memiliki
kewajiban untuk selalu konsisten dan menjaga agar tidak terjadi tabrakan yang
bersifat saling meniadakan antar norma hukum. Sedangkan pembuat kebijakan
publik jelas tentu memerkukan fleksibilitas tinggi dalam pembuatan kebijakan,
karena memang kebijakan publik adalah wilayah implementasi atau wilayah yang
bersentuhan langsung dengan aktivitas keseharian masyarakat. Sementara
pembentukan peraturan perundang-undangan dibatasi agar tidak banyak
perbedaan dengan peraturan yang lebih tinggi sesuai hierarki yang tak lain adalah
peraturan yang menjadi dasar pijakan peraturan perundang-undangan lain. Hal ini
28
bertujuan untuk menjamin tercapainya kepastian hukum, yang pada akhirnya
berkaitan dengan sifat Erga Omnes atau Universal (berlaku mengikat untuk semua
orang).
Walaupun pengertian dan konsep kebijakan legislatif terbuka tidak tertulis
secara eksplisit dalam suatu peraturan perundang-undangan, namun
keberadaannya telah diakui oleh MKRI dengan lahirnya putusan-putusan dengan
kebijakan legislatif terbuka sebagai pertimbangannya. Berbicara mengenai
kebijakan legislatif terbuka, maka menurut penalaran yang wajar tentu ada konsep
mengenai legislatif tertutup. Sehingga disini Penulis akan membuktikan
keberadaan konsep kebijakan legislatif tertutup menggunakan logika berfikir
argumentum a contrario dari kebijakan legislatif terbuka. R. Soeroso dalam
bukunya menjelaskan pengertian argumentum a contrario, bahwa:
“A contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan
atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal
yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam
undang-undang”.38
Makna tertutup dalam pembuatan hukum diartikan sebagai pembatasan
kewenangan pembentuk hukum dalam menentukan subyek, objek, perbuatan,
peristiwa, dan/atau akibat hukum yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan tertentu, termasuk dalam sebuah produk undang-undang. Pembatasan
demikian dilakukan oleh norma hukum yang secara hierarki lebih tinggi dari
norma hukum yang sedang dibentuk. Ketika norma hukum yang lebih tinggi
memberi batasan-batasan tertentu, maka hal demikian menjadi rem bagi
“improvisasi” pembentuk undang-undang sehingga kebijakan tersebut bersifat
tertutup (close). Ketika norma hukum yang lebih tinggi menyerahkan atau
38
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 115.
29
mendelegasikan sepenuhnya pengaturan norma kepada norma hukum yang lebih
rendah dengan penyerahan langsung maupun tidak langsung, maka kebijakan
hukum tersebut bersifat terbuka. Hal tersebut menjadi berbeda ketika norma
hukum yang lebih tinggi telah mengaturnya secara eksplisit dan tegas mengenai
suatu ketentuan norma dan tidak mendelegasikan pengaturan lanjutan pada
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka kebijakan hukum
tersebut bersifat tertutup. Dengan kebijakan yang bersifat tertutup tersebut, maka
pembuat norma tidak bebas menentukan norma yang akan diaturnya. Dalam
konteks peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang, kebijakan
pembentukan undang-undang dikatakan bersifat tertutup manakala UUD NRI
1945 telah memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi
harus diatur dalam undang-undang.
Sehingga dari uraian di atas Penulis dapat menarik pengertian dan konsep
dari kebijakan legislatif tertutup (closed legal policy). Kebijakan legislatif tertutup
(closed legal policy) adalah kebijakan hukum yang memberikan batasan kepada
legislator untuk mengatur suatu materi di dalam undang-undang karena
pengaturan tentang materi tersebut telah tertuang secara eksplisit dan tegas dalam
UUD NRI 1945. Sehingga dengan itu UUD NRI 1945 secara langsung tidak
memberikan ruang pada legislator untuk mengatur suatu norma secara bebas
dalam produk undang-undang.
Contoh dari kebijakan legislatif tertutup adalah Pasal 6 ayat (1) UUD NRI
1945, dimana tertulis:
“Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani
30
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.”39
Norma tentang salah satu syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden
tersebut bersifat baku dan tegas telah diatur oleh konstitusi. Sehingga untuk
syarat kewarganegaraan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden tidak
dapat diganggu gugat atau dimodifikasi menjadi norma lain dalam bentuk
peraturan undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa legislator tidak dapat
mengatur berbeda atau menambahi syarat tersebut karena konstitusi telah
mengaturnya langsung secara tegas sehingga sifat dari ketentuan tersebut adalah
tertutup.
Sebagai contoh adanya kebijakan legislatif tertutup, Penulis akan
menggunakan Putusan MKRI Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (UU Perjanjian Internasional) sebagai pendukung. Dalam putusan
tersebut, Penulis akan terfokus pada Pasal 11 ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menjadi salah satu batu uji permohonan tersebut. Dalam pasal tersebut mengatur
bahwa, “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.” Norma yang
berisi tentang jenis perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan
DPR tersebut sifatnya tertutup. Sehingga menutup ruang pada legislator untuk
dapat mengubahnya atau memodifikasinya. Sedangkan ketentuan tentang
mekanisme konsultasi oleh DPR yang menjadi bagian dari teknis perancangan
perjanjian internasional yang direkomendasikan oleh MKRI merupakan
perwujudan Pasal 11 Ayat (3) UUD NRI 1945, yang mana di dalam pasal
39
Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945.
31
tersebut tertulis “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dengan undang-undang.” Sehingga dapat dikatakan bahwa norma tersebut adalah
perwujudan dari kebijakan legislatif terbuka. Mekanisme konsultasi tersebut juga
sekaligus sebagai proses untuk mempertemukan pandangan antara Presiden
(pemerintah) dan DPR perihal apakah substansi perjanjian internasional tertentu
merupakan perjanjian yang termasuk ke dalam kategori Pasal 11 ayat (2) UUD
NRI 1945 atau tidak. Sehingga hasil rapat konsultasi dengan DPR tersebut dapat
menjadi alasan DPR untuk menolak memberikan rancangan undang-undang yang
akan mengesahkan perjanjian internasional tersebut.40
Dari uraian di atas, Penulis
kembali mengingat pernyataan MKRI dalam putusannya, bahwa: “Pembentuk
undang-undang bebas menentukan isi undang-undang, kecuali hal-hal yang
secara tegas sudah digariskan oleh Undang-Undang Dasar.”41
Gagasan di balik
kaidah tersebut mirip dengan doktrin the Rule of Clear Mistake yang
dikembangkan oleh James Bradley Thayer, yuris konstitusional Amerika Serikat,
dengan tujuan untuk mengurangi tensi antara badan yudisial dengan badan
legislatif karena dibukanya saluran pengujian yudisial konstitusionalitas undang-
undang.42
Menurut doktrin the Rule of Clear Mistake intervensi yudisial untuk
menentukan konstitusionalitas undang-undang hanya timbul manakala: “those
who have the right to make laws have not merely make a mistake, but have made
40
Ibid, hlm. 260-261. 41
Putusan MKRI Nomor 02/PUU-II/2004. 42
Titon Slamet Kurnia, Prediktabilitas Ajudikasi Konstitusional: Mahkamah Konstitusi
dan Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2, Juni 2016, hlm. 267.
32
a very clear one – so clear that it is not open to rational question.”43
Pemahaman
tersebut didasari mengenai konsep konstitusi:
“reasonable men will differ about its proper construction. The
Constitution leaves open ‘a range of choice and judgment,’ so that
‘whatever choice is rational is constitutional.’ The Court,
exercising the power of judicial review, is to be the ultimate
arbiter of what is rational and permissi'ble, but is to have no
further concern with policy choices.”44
Yang dimaksud dengan the clear mistake adalah kesalahan yang secara
gamblang atau jelas bertentangan dengan apa yang dieksplisitkan dalam suatu
konstitusi. Terhadap suatu persoalan konstitusionalitas yang tidak berangkat dari
the clear mistake, maka hakim MKRI perlu berhati-hati dalam membuat
suatu argumentasi untuk menghasilkan suatu justifikasi.45
Sehingga secara a
contrario dari pemikiran tersebut adalah kewenangan badan yudisial baru timbul
jika terjadi clearly erroneous interpretations of the Constitution oleh legislator.
Itu artinya bahwa MKRI baru akan menggunakan perannya untuk mengingatkan
rambu-rambu batasan pada legislator jikalau terbukti legislator mengubah atau
memodifikasi norma yang secara tegas telah diatur oleh konstitusi secara
langsung ke dalam bentuk undang-undang. Maka hal inilah yang disebut dengan
kebijakan legislatif tertutup, yaitu ketika legislator tidak mudah memodifikasi apa
yang sudah diatur secara tegas dalam konstitusi, sehingga jika dalam hal ini
terjadi pelanggaran kewenangan pada legislator maka MKRI akan bekerja aktif
43
Alexander M. Bickel, The Least Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of
Politics, Yale University Press, New Haven-Connecticut, 1986, hlm. 35, yang dikutip dalam Titon
Slamet Kurnia, Prediktabilitas Ajudikasi Konstitusional, Ibid. 44
Alexander M. Bickel, The Least Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of
Politics, Yale University Press, New Haven-Connecticut, 1986, hlm. 35-36, yang dikutip dalam
Titon Slamet Kurnia, Prediktabilitas Ajudikasi Konstitusional , Ibid., hlm. 268. 45
Ninon Melatyugra, Departmentalism Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dalam Pengujian Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, hlm. 3.
33
dan memberikan batasan hingga mengeluarkan putusan inkonstitusional pada
produk undang-undang yang menjadi objek pengujiannya.
Dari konsep kebijakan legislatif terbuka dan kebijakan legislatif tertutup
yang telah Penulis uraikan di atas maka dapat ditarik perbandingan mengenai
keduanya. Bahwa kebijakan legislatif terbuka merupakan delegasi langsung dari
konstitusi yang diberikan kepada legislator yang memunculkan akibat berupa
kebebasan untuk legislator dapat mengatur norma yang ada dalam konstitusi
dengan norma lanjutan berupa produk undang-undang tanpa boleh mendapatkan
intervensi dari cabang kekuasaan lain. Sehingga membatasi kewenangan MKRI
dalam menguji konstitusionalitas undang-undang agar tidak terjadi benturan
kewenangan antar lembaga negara. Berlawanan arti dengan kebijakan legislatif
tertutup. Bahwa kebijakan legislatif tertutup merupakan pembatasan oleh
konstitusi yang ditujukan kepada legislator tentang pengaturan suatu norma yang
akan dituangkan dalam undang-undang, hal ini disebabkan karena di dalam
konstitusi pengaturan tersebut telah tercantum secara konkrit dan tegas sehingga
legislator tidak dapat mengubah atau memodifikasinya ke dalam bentuk undang-
undang. Untuk itu jikalau legislator melanggar apa yang menjadi batasannya,
maka disitulah MKRI berperan menjadi pengingat dan harus memberikan rambu-
rambu pembatasan atau ketidakbebasan pada legislator untuk tidak off side dalam
membentuk undang-undang.
B. Kebijakan Legislatif Terbuka sebagai Batas Kewenangan
MKRI dalam Melakukan Pengujian Undang-Undang
Kebijakan Legislatif Terbuka merupakan konsep hukum yang memiliki
legitimasi lahir dari putusan-putusan MKRI, dimana konsep tersebut juga menjadi
34
batasan kewenangan MKRI dalam melakukan pengujian konstitusional undang-
undang. Pengujian undang-undang hanya merupakan satu dari empat wewenang
MKRI, dan setiap lembaga negara tentu memiliki batasan akan kewenangannya,
termasuk juga MKRI. Di bawah ini Penulis akan menjabarkan lebih lanjut
mengenai kewenangan apa saja yang dimiliki MKRI beserta batasan-batasan akan
kewenangannya tersebut, dan juga implementasi kebijakan legislatif terbuka
dalam batasan kewenangannya. Maka dari rumusan tersebut Penulis akan
menjabarkannya dalam sistematika berikut. Pertama¸ mengenai wewenang MKRI
(infra Sub-judul 1), kedua, mengenai Prinsip judicial self restraint, ketiga,
mengenai Batasan Kewenangan MKRI dalam Pengujian Muatan Kebijakan
Legislatif Terbuka dengan Prinsip judicial self restraint.
1. Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
MKRI terbentuk dari perubahan ketiga UUD NRI 1945, dengan adanya
perubahan yang signifikan terutama dalam pengaturan kekuasaan yudisial,
mengakibatkan eksistensi pengujian konstitusionalitas menjadi jelas, yaitu dengan
dituangkannya pada pengaturan Pasal 24, 24A, 24B dan 24C UUD NRI 1945.
Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas untuk menguji
konstitusionalitas undang-undang (judicial riview), maka menjadi hal yang
penting untuk diamanatkan dalam konstitusi. Perubahan ketiga ini juga merubah
kekuasaan tertinggi negara oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
kemudian telah digantikan oleh UUD NRI 1945 sebagai dasar kekuasaan tertinggi
negara dan menjadikan MKRI sebagai penjaga dan pengawal konstitusi (The
Guardian of Constitution).
35
Wewenang MKRI telah di konstruksikan dalam UUD NRI 1945 yang diatur
dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2). Kewenangan tersebut adalah mengadili tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1) Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945;
2) Memutuskan sengketa antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945;
3) Memutuskan pembubaran partai politik;
4) Memutuskan sengketa hasil pemilihan umum.
Adapun satu kewajibannya adalah memeriksa, mengadili, dan memutuskan
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukann
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.
Berkaitan dengan wewenang MKRI tersebut, Penulis akan mempersempit
pembahasan selanjutnya yang hanya terfokus pada wewenang MKRI yang
pertama, yaitu wewenang dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI
1945. Mekanisme pengaturan lebih lanjut mengenai MKRI terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
selanjutnya disebut UU MKRI.
Putusan MKRI bersifat pertama dan terkahir, sehingga tidak dapat dianulir
oleh lembaga negara manapun. Untuk itu dalam beberapa kesempatan, Jimly
Asshiddiqie ketika menjabat sebagai ketua MKRI, melarang para hakim konstitusi
untuk mengomentari putusan yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap dari
MKRI, hal ini untuk menghindari pembiasaan dari munculnya dissenting opinion
para hakim konstitusi, yang juga dicantumkan dalam putusan MKRI.
36
Konsep pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilakukan oleh
MKRI adalah melakukan koreksi atas undang-undang yang melanggar atau
bertentangan dengan konsistensi terhadap konstitusi dan HAM, baik HAM yang
dijamin secara eksplisit dalam konstitusi maupun yang unenumerated. Sehingga
Titon Slamet Kurnia menyatakan bahwa pengujian konstitusionalitas undang-
undang adalah isu utama negara berbasis HAM. Negara berbasis HAM mengakui
bahwa, “the legitimacy of the State is based on its respect, protection and
fulfilment of the rights of each and very individual.”46
Salah satunya, Titon
mengutip pendapat Dworkin dalam menjasifikasi pentingnya hak, yang sebagai
berikut:
“Anyone who professes to take rights seriously, and who praises
our Government for respecting them, must have some sense of
what that point is. He must accept, at the minimum, one or both of
two important ideas. The first is the vague but powerful idea of
human dignity. This idea is associated with Kant, but defended by
philosophers of different schools, supposes that there are ways of
treating a man that are inconsistent with recognizing him as a full
member of the human community, and holds that such treatment is
profoundly unjust. The second is the more familiar idea of political
community are entlited to be same concern and respect of their
government as the more powerful members have secured for
themselves, so that if some men have freedom of decision whatever
the effect on the general good, then all men must have the same
freedom.”47
Untuk itu kewenangan MKRI dalam melakukan pengujian konstitusional
undang-undang merupakan kewenangan yang sesuai dengan konstitusi
(legitimate) sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi dan untuk menjamin
46
Jakob Kirkemann Boesen dan Tomas Martin, Applaying a Rights-Based Approach: An
Inspirational Guide for Guide for Civil Society, The Danish Institute for Human Rights,
Copenhagen, 2007, hlm. 11, yang dikutip dalam Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak Asasi
Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 75. 47
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Harvard University Press, Cambridge-
Massachusetts, 1978, hlm. 198-199, yang dikutip dalam Titon Slamet Kurnia “Interpretasi Hak
Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 75-76.
37
prinsip-prinsip hukum terutama yang berbasis HAM, pemisahan kekuasaan,
hingga sesuai dengan konsep negara hukum dan demokrasi. Hal tersebut
dikarenakan Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip negara hukum
dan demokrasi yang ciri utamanya adalah melakukan penghormatan terhadap
hukum dan HAM.
Lebih lanjut mengenai hukum acara MKRI diatur dalam UU MKRI, yang
MKRI juga diberikan wewenang untuk melengkapi hukum acaranya sesuai
dengan Pasal 86 dan Penjelasan UU MKRI untuk kelancaran dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya. Berbicara mengenai wewenang seperti yang telah
Penulis katakan di awal sub bab ini bahwa setiap lembaga negara tentu memiliki
batasan-batasan akan kewenangannya, termasuk juga MKRI. Batasan-batasan
inilah yang akan menjadi topik pembahasan selanjutnya.
2. Prinsip Judicial Self Restraint
Setiap lembaga negara tentu memiliki batasan (limitation) pada dirinya
dalam menjalankan kewenangannya. Hal itu salah satu tujuannya adalah sebagai
pengekangan wewenang supaya tidak masuk dalam ranah kekuasaan lembaga
negara lainnya. Pembatasan ini pula diterapkan oleh lembaga yudikatif termasuk
MKRI. Pembatasan pada MKRI yang akan diuraikan saat ini disebut dengan
prinsip judicial self restraint yang dalam bahasa Indonesia berarti batasan badan
peradilan. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman untuk mengekang diri
dari kecenderungan bertindak untuk menyelesaikan persoalan yang bukan
kompetensinya. Sehingga dikatakan bahwa prinsip judicial self restraint ini salah
satunya menghendaki kekuasaan kehakiman untuk tidak mengganggu cabang
kekuasaan lain.
38
judicial self restraint merupakan doktrin yang berkembang di Amerika
yang merupakan implemantasi dari penerapan pemisahan kekuasaan (separation
of power). 48
Pada tahun 1999 Philip A. Talmage menjelaskan dalam artikelnya,
bahwa:
“Some of these voluntary restraint policies are based on
constitutional principles such as separation of powers. Many of the
policies are not constitutional but prudential in nature, reflecting
goals of economical use of judicial resources or other policies.
What is lacking in our law is an overarching principle of judicial
restraint.”49
Doktrin tersebut menjelaskan bahwa judicial self restraint merupakan
salah satu perwujudan dari pemisahan kekuasaan lembaga negara yang telah
berwujud prinsip-prinsip dalam konstitusi. Dalam doktrin tersebut dikatakan pula
bahwa pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan
untuk bertindak layaknya sebuah “miniparlement”. Salah satu bentuk tindakan
pengadilan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan parlemen adalah
membentuk norma hukum baru ketika memutus perkara dalam pengujian
konstitusionalitas undang-undang, kesadaran oleh pengadilan ini dikarenakan
pengadilan memang bukan merupakan lembaga utama (primary custodian) dalam
sistem politik di sebuah negara demokrasi.
Terkait dengan keberlakuan judicial self restraint di Indonesia, dalam
beberapa putusannya MKRI tidak hanya menyatakan sebuah norma undang-
undang bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun juga menyatakan norma
yang seharusnya diberlakukan atau mengubah sebuah norma di dalam UUD NRI
1945 yang dirasa keluar dari original intent para perumusnya. Dalam hukum,
48
Philip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems, Seattle University Law Review, Vol. 22:695, hlm. 711. 49
Ibid.
39
sebenarnya hakim dapat saja membentuk hukum atau merubah konstitusi
melewati metode penafsiran konstitusi. Namun, judicial self restraint
menghendaki persyaratan-persyaratan tertentu agar hakim dan pengadilan lebih
berhati-hati dalam melakukan penafsiran hukum hingga membentuk norma
hukum baru ataupun mengubah makna sebuah norma dalam UUD NRI 1945
melalui putusannya.
Dalam kehidupan negara demokrasi yang berkembang makin kompleks
setiap harinya, mengakibatkan lahirnya peraturan perundang-undangan yang
bertujuan untuk menghadirkan hukum yang responsif sebagai jawaban atas
kebutuhan dan permasalahan-permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.
Untuk itu, kehadiran lembaga peradilan dalam masyarakat berperan untuk
membantu pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Sehingga, lembaga peradilan
memerlukan rambu-rambu yang tepat agar dapat memberikan putusan yang
memiliki nilai manfaat tanpa merusak tatanan hukum yang sudah ada. Kewajiban
untuk menjaga harmonisasi fungsi pengadilan dalam memecahkan masalah dan
juga fungsi untuk menjaga tatanan hukum merupakan tantangan yang besar. Oleh
karena itu, konsep judicial self restraint hadir sebagai jalan keluar yang tepat
bagi pengadilan dalam menjalankan dua fungsi tersebut.
Robert Posner berpendapat bahwa judicial self restraint bertumpu pada
prinsip deference, reticene, dan prudence.50
“Deference” yang secara literal
berarti “lega” dan “menghormati” berarti “avoiding contrasts with the decisions
of the other brances of government”, sedangkan reticene yang berarti diam
50
Richard A. Posner, The Federal Courts, Cambridge, MA: Harvard University Press,
1996, hlm. 314, dikutip dalam Disertasi Radian Salman, Pengujian Undang-Undang oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif Konstitusionalisme dan Demokrasi, Program Doktor
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Airlangga, Universitas Airlangga, Surabaya, 2017,
hlm. 73.
40
didefinisikan sebagai “assumption that judges shold not be making policy
decions”. Hal ini berarti bahwa judicial self restraint adalah upaya dari cabang
kekuasaan kehakiman untuk tidak mengadili perkara-perkara yang akan
mengganggu cabang kekuasaan lain. Juga Posner beranggapan bahwa pengadilan
bukanlah “primary custodian” dalam sistem politik sebuah negara yang dapat
menentukan kesejahteraan sosial.51
Oleh karena itu, pengadilan hanya berkenan
untuk mengadili perkara-perkara yang ditentukan secara limitatif berdasarkan
hukum sebagai kewenangannya (limitation jurisdiction).
Rebecca Zietlow mengungkapkan bahwa judicial self restraint merupakan
implemantasi dari pengakuan dan penghormatan hakim kepada cabang kekuasaan
politik sebagai cabang kekuasaan yang berwenang untuk membentuk hukum
dalam kerangka demokrasi. Zietlow mengungkapkan bahwa:
“Restrained judes recognize the institutional adventages of the
political branches when they create law, and respect their
authority to do so. Judicial restraint is thus “rooted in a
majoritarian conception of American democracy”. Hence judges
should use judicial restraint whenever possible”.52
Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa menutrutnya hakim atau pengadilan
sebagiknya menerapkan judicial self restraint kapanpun dimungkinkan, karena
bagaimanapun juga hakim dan pengadilan harus mneghormati otoritas para
pembuat undang-undang. Hal tersebut juga dikarenakan pengadilan bukanlah
cerminan keterwakilan rakyat melalui mekanisme pemilihan untuk membuat
suatu undang-undang yang dilegitimasi oleh konstitusi.
51
Ibid. 52
Rebecca E. Zietlow, The Judicial Restraint of the Warren Court (and Why it Matters),
Presented Essay on meeting of the Law and Society Association, Toledo, 2006, hlm. 9, yang
dikutip dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume 11, Nomor 4,
2014, hlm. 620.
41
Dari konsep dan pengertian judicial self restraint di atas, maka Penulis
berpendapat bahwa judicial self restraint adalah pengekangan dari yang
dilakukan oleh cabang kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya agar
tidak mengganggu cabang kekuasaan lainnya yang secara limitatif setiap
prinsipnya telah diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan masing-masing
lembaga negara. Sehingga dari pengertian tersebut, terbitlah beberapa jenis
pembatasan judicial self restraint bagi pengadilan dalam mengadili perkara-
perkara konstitusional. Jenis-jenis pembatasan itu adalah Pembatasan
Konstitusional (constitutional limitation), Pembatasan Berdasarkan Kebijakan
(policy limitation), dan Pembatasan Berdasarkan Doktrin (doctrine limitation).
Pembatasan konstitusional (constitutional limitation) adalah pembatasan
berdasarkan ketentuan yang secara limitatif tertuang di dalam konstitusi. Contoh
dari pembatasan konstitusional itu sendiri nampak pada Pasal 24C UUD NRI
1945, dimana dalam pasal tersebut kewenangan MKRI secara limitatif telah
diatur di dalamnya untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945,
mengadili sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD NRI 1945, mengadili sengketa hasil pemilihan umum, mengadili
permohonan pembubaran partai politik, dan mengadili pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan
dinyatakan tidak berkompetensi untuk melanjutkan jabatannya. Pasal 24C
tersebut merupakan norma hukum tertutup yang tidak memungkinkan adanya
penambahan kewenangan MKRI, kecuali dengan amandemen UUD NRI 1945.
Mengenai kewenangan MKRI tersebut tercantum dalam amandemen ketiga UUD
NRI 1945 dan diatur lebih rinci dalam UU MKRI, oleh sebab itu menjadi wajar
42
jika pengaturan tersebut menjadikan pembatasan kewenangan yang juga
berfungsi sebagai kontrol bagi MKRI.
Arah tujuannya adalah larangan bagi MKRI agar tidak membuat putusan
yang melampaui wewenangnya dan masuk pada wewenang cabang kekuasaan
lain seperti halnya legislatif karena hal ini sangat rentan pada wewenang MKRI
sebagai penguji konstitusionalitas undang-undang. Oleh karena itu, MKRI harus
kembali memperhatikan batasan yang menjadi wewenangnya dan menjadikan
konstitusi sebagai landasan MKRI lahir dan bekerja. Dari uraian di atas maka
Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pembatasan konstitusional berarti
memberikan kewenangan yang limitatif bagi kekuasaan kehakiman melalui
norma-norma dalam konstitusi dengan harapan agar kekuasaan kehakiman tidak
mengganggu kewenangan konstitusional cabang kekuasaan lain yang juga
tertuang menjadi norma-norma dalam konstitusi.
Pembatasan yang kedua yaitu pembatasan berdasarkan kebijakan (policy
limitation). Pembatasan berdasarkan kebijakan dikemukakan oleh Justice
Brandels pada tahun 1936 dalam perkara Ashwander v. Tennessee Valley
Authority yang kemudian dikenal sebagai “Ashwander rules”.53
Ashwander rules
terefleksi ke dalam tujuh prinsip yang seluruhnya bermuara pada komitmen
pengadilan untuk melakukan pengekangan diri (self restraint) dalam rangka
menjalankan kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Tujuh prinsip tersebut adalah:
1. Pengadilan harus menghindari memberikan putusan mengenai
permasalahan konstitusional yang timbul tanpa adanya sengketa
(in friendly non-adversary proceedings);
53
Kern Alexander, David Alexander, American Public School Law, Thomson West,
Belmont, 2005, hlm. 5, yang dikutip dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial
Restraint Di Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., hlm. 622.
43
2. Pengadilan tidak akan memutus sebuah permasalahan
konstitusional hingga benar-benar dibutuhkan;
3. Pengadilan akan selalu menganggap bahwa seluruh undang-
undang adalah konstitusional, dan membebankan kepada para
pihak yang berperkara untuk membuktikan sebaliknya
(presumption of constitutionality);
4. Pengadilan tidak akan merumuskan sebuah putusan dalam
masalah konstitusional melebihi kebutuhan yang diperlukan
sebagaimana yang tergambar di dalam persidangan dengan
sedapat mungkin menghindari pembentukan norma baru
(Avoiding the creation of new principles);
5. Pengadilan tidak akan menerima permohonan yang bersifat
constitutional question atau perkara yang memiliki isu politis
yang kuat jika perkara tersebut dapat diselesaikan melalui
mekanisme konstitusional lainnya (Strict necessity);
6. Pengadilan tidak akan menerima permohonan pengujian
undang-undang yang diajukan oleh mereka yang tidak dapat
membuktikan kerugian yang mereka alami akibat keberlakuan
undang-undang tersebut;
7. Pengadilan tidak akan menerima pengujian konstitusionalitas
dari sebuah undang-undang yang dimohonkan demi menarik
keuntungan bagi diri Pemohon sendiri.
Kebijakan ini menekankan bahwa pengadilan seharusnya menemukan
makna asli dari sebuah norma dalam undang-undang yang diuji untuk
menentukan konstitusionalitasnya. Kebijakan ini ditujukan untuk mengetahui
maksud asli (original intent) pembentuk undang-undang yang dipermasalahkan.
Hal ini sama seperti yang dikatakan oleh Mahfud MD, bahwa:
“Dalam melakukan pengujian UU atas kewenangannya itu selalu
sesuai dengan maksud yang sesungguhnya (original intent) UU
dan isi UUD yang dijadikan dasar pengujian. Dengan demikian
dalam memeriksa dan memutus perkara MK harus berpijak dan
mengembalikan putusan kepada original intent (maksud utama
atau maksud yang sebenarnya) isi konstitusi, sebab konstitusi
dibuat dengan maksud-maksud tertentu yang telah disepakati oleh
lembaga yang membuatnya.”54
Namun dalam perjanalannya, original intent tidak selalu dapat tergambar
jelas dalam risalah-risalah perdebatan para legulator. Oleh karena itu, ketika
54
Moh. Mahfud MD, “Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi”, Op.Cit., hlm. 451.
44
original intent tersebut tidak dapat secara jelas terlihat, maka pengadilan dapat
menentukan makna dari norma tersebut. Sehingga apabila sebuah norma
memiliki tafsir-tafsir yang berbeda, maka dengan judicial self restraint hakim
dikehendaki untuk memilih tafsiran yang melindungi konstitusionalitas norma
tersebut.
Pembatasan yang terakhir yaitu pembatasan berdasarkan doktrin (Doctrine
Limitation). Pembatasan berdasarkan doktrin tertentu merupakan implementasi
dari prinsip kehati-hatian (prudential principles) hakim dalam memutus sebuah
perkara.55
Pembatasan berdasarkan doktrin itu sendiri terbagi menjadi lima
doktrin, diantaranya adalah Standing Doctrine, Mootness Doctrine, Ripeness
Doctrine, Abstention Doctrine, Political Question Doctrine.
Doktrin yang pertama yaitu Standing Doctrin, Otis H. Stephens
menyatakan mengenai konsep doktrin ini yaitu dimana pihak yang berperkara
memiliki kepentingan secara langsung terhadap perkara berupa kerugian yang
bersifat nyata yang diakibatkan oleh berlakunya suatu undang-undang.56
Terdapat
tiga syarat agar doktrin ini terpenuhi. Pertama, bentuk kerugian, adanya kerugian
berupa pelanggaran hak/kepentingan Pemohon yang dilindungi secara spesifik
dalam konstitusi yang bukan bersifat potensial. Kedua, adanya hubungan
kasualitas. Terdapatnya hubungan sebab akibat antara kerugian dikarenakan
terbentuknya satu undang-undang sebagai penyebabnya. Ketiga, adanya
55
Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah
Konstitusi, Op.Cit., hlm. 623. 56
Otis H. Stephnes Jr. Jhon M. Scheb, American Constitutional Law Volume I: Source of
Power and Restraint, Belmont: Thomson Wadsworth, 2008, hlm. 26, yang dikutip dalam
Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah Konstitusi, Ibid.,
hlm. 623.
45
pemulihan kerugian. Dimana terdapat pemulihan atau penghindaran kerugian
berupa putusan yang diharapkan.
Doktrin yang kedua yaitu Mootness Doctrine, Otis H. Stephens menyatakan
dimana latar belakang masalah yang diperkarakan telah terselesaikan atau hilang
sehingga putusan pengadilan tidak dapat diimplementasikan atau tidak memiliki
efek praktis. Terselesaikan atau hilang, maka permasalahan pada sebuah perkara
sebelum adanya putusan pengadilan mengakibatkan perkara tersebut tidak lagi
memiliki sifat kontroversi yang aktual sebagai salah satu syarat berperkara di
pengadilan.57
Doktrin yang ketiga yaitu Ripeness Doctrine, yang menyangkut
kematangan sebuah perkara untuk dapat diadili oleh pengadilan. Doktrin ini
ditujukan untuk menghindari keterlibatan pengadilan secara premature dalam
mengadili suatu perkara yang mungkin dapat diselesaikan melalui cara-cara lain
yang ada berdasarkan hukum,58
sehingga tujuan utama dari doktrin ini adalah
menjaga agar pengadilan tidak mengadili perkara-perkara yang bersifat potensial
(hypothetical case). Doktrin yang keempat yaitu Abstention Doctrine, adalah
yang melarang pengadilan lebih tinggi intervensi terhadap perkara yang sedang
ditangani oleh pengadilan yang lebih rendah sampai terdapat putusan akhir.
Doktrin yang terakhir adalah Political Question Doctrine, adalah doktrin
pengekangan diri yang dilakukan cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak
mengadili perkara yang memiliki sifat politis yang berat.59
Penarikan diri
57
Otis H. Stephnes Jr. Jhon M. Scheb, American Constitutional Law Volume I: Source of
Power and Restraint, Ibid., hlm. 26, yang dikutip dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas
Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah Konstitusi, Ibid., hlm. 624. 58
Ibid. 59 Ibid., hlm. 705.
46
menurut Philip A. Talmadge dikarenakan pengadilan tidak mampu permasalahan
yang memiliki nilai politis yang besar. Philip mengatakan:
“The courts are not readily capable of managing the resolution of
large-scale political problems.”60
Doktrin ini bisa dikatakan sebagai cerminan dari prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of power). Penerapan Political Question Doctrine ini
harus dilakukan oleh cabang kehakiman apabila perkara yang diajukan padanya
merupakan exclusive power dari cabang kekuasaan lain. Dengan kata lain,
Political Question Doctrine ini diterapkan dalam rangka melindungi prinsip
pemisahan kekuasaan serta menghormati cabang kekuasaan lain dengan lebih
demokratis dan konstitusional. Penerapan doktrin ini pula yang dijadikan sebagai
‘rambu-rambu’ oleh kekuasaan kehakiman untuk tetap menjaga citranya di mata
masyarakat sebagai lembaga independen dan non-politis. Sehingga, pengajuan
perkara yang bermuatan politis yang kuat akan ditolak oleh pengadilan meskipun
memiliki argumen hukum yang sah dan kuat. Maka terdapat kriteria dari perkara
political question, diantaranya:
a. Apabila dalam perkara tersebut nampak nyata secara
konstitusional merupakan exclusive power dari cabang
kekuasaan lain (seperti legislatif atau eksekutif) yang serat
kekuasaan politik;
b. Kurangnya standar penyelesaian perkara secara hukum di
pengadilan;
c. Ketidakmungkinan penyelesaian perkara tanpa membentuk
sebuah kebijakan melalui proses non-judicial;
d. Apabila penyelesaian perkara yang dilakukan pengadilan akan
menggambarkan kurangnya penghormatan (lack to respect)
terhadap cabang kekuasaan yang lain.61
60
Philip A. Talmadge, Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems, Seattle University Law Riview No. 695, 1999, hlm. 698, yang dikutip
dalam Wicaksana Dramanda, Menggagas Penerapan Judicial Restraint Di Mahkamah Konstitusi,
Ibid., hlm. 625. 61
Wicaksana Dramanda, Ibid., hlm. 626.
47
Dari pemaparan macam-macam jenis pembatasan judicial self restraint di
atas, maka Penulis tarik kesimpulan bahwa sebenarnya prinsip judicial self
restraint ini bukanlah prinsip baru dalam kekuasaan kehakiman karena prinsip
tersebut telah teramini dan telah menjadi ‘rambu-rambu’ dalam pengadilan
menjalankan wewenangnya. Begitupun pasti pada MKRI yang bertugas sebagai
penjamin perlindungan HAM melalui wewenangnya menjadi guardian of
constitution. Untuk itu dengan posisi tersebut, MKRI dituntut sebagai lembaga
kehakiman yang mandiri, independen, juga sadar akan batasan dari
kewenangannya dengan menghargai serta menghormati kewenangan cabang
kekuasaan lain seperti yang menjadi spirit utama prinsip judicial self restraint.
Salah satu tujuan dalam penerapan judicial self restraint ini adalah meminimalisir
putusan hakim yang kontroversial. Prinsip ini dapat pula diterapkan dalam
bentuk-bentuk tertentu, namun sebagian prinsip judicial self restraint hanya dapat
dikembangkan di dalam diri masing-masing hakim MKRI.
3. Batasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dalam Pengujian Muatan Kebijakan Legislatif
Terbuka dengan Prinsip Judicial Self Restraint
Indonesia merupakan negara hukum demokrasi yang menganut sistem
pemerintahan berdasarkan Trias Politica yang dianut oleh Montesquieu dimana
adanya pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara, dimana kekuasaan
pemerintah terbagi menjadi tiga yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif,
dan kekuasaan yudikatif. Setiap cabang kekuasaan tersebut tentu saling bersinergi
walau memiliki kedudukan dan wewenangnya masing-masing untuk menjalankan
fungsi negara. Berbicara mengenai kedaulatan, Indonesia menganut prinsip
48
negara hukum (rule of law) dan prinsip negara demokrasi yang dua prinsip
tersebut lahir dalam Perubahan ketiga UUD NRI 1945, yaitu dalam Pasal 1 ayat
(2) dan (3). Juga kedua prinsip itulah yang menjadi prinsip fundamental dalam
konstitusi. Dengan kedaulatan tersebut, tentu Indonesia memiliki konsekuensi
masing-masing sebagai negara hukum (rule of law) maupun negara demokrasi.
Oleh sebab itu, untuk menjawab perihal batasan kewenangan MKRI dalam
pengujian konstitusional undang-undang bermuatan kebijakan legislatif terbuka
dengan prinsip judicial self restraint, Penulis menggunakan analisis berdasarkan
prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi.
Prinsip pertama yaitu prinsip negara hukum, dimana prinsip ini tercantum
dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.”62
Pengertian terpenting dalam prinsip ini bahwasanya kekuasaan negara dibatasi
oleh hukum, dengan artian segala sikap, tingkah laku dan segala kebijakan yang
dikeluarkan oleh para penguasa atau aparatur negara harus berdasarkan atas
hukum, dan yang terpenting dalam prinsip ini menghendaki adanya pembatasan
hukum bagi masing-masing cabang kekuasaan. Dalam Nomoi, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan
pada pengaturan (hukum) yang baik.63
Menurut Aristoteles, suatu negara yang
baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.
Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu: Pertama,
pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang umum; Kedua, pemerintahan
dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum,
62
Pasal 1 ayat (3) UU NRI 1945. 63
Tahir Azhary, Negara Hukum, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 63, yang
dikutip dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2014.
49
bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan
konvensi dan konstitusi; Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan
yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang
dilaksankaan pemerintahan dospotik. Aristoteles mengatakan, konstitusi
merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-
aturan tersebut. Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum dalam sistem
Kontinental dan Anglakson mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat
dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut: 64
a. Sistem pemerintahan negara yang berdasarkan atas kedaulatan
rakyat.
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan
perundang-undangan.
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga
negara).
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke
controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan
tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah
pengaruh eksekutif.
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau
warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian
yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran
warga negara.
Kontinental dan Anglosakson di atas tidak terlepas dari falsafah dan sosio-
politik yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme
yang bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh
kehendak bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan penguasa.
Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak
individu itu menempati posisi sentral. Semangat membatasi kekuasaan negara ini
64
Azhary, Negara Hukum Indonesia, Penerbit UI-Press, Jakarta, 1955, hlm. 20-21.
50
semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu popular dari Lord Acton:
“Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”65
Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan
kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan
disalahgunakan. Model negara hukum seperti ini berdasarkan catatan sejarah
dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, yang berciri bahwa pemerintah
yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang di luar kekuasaannya.66
Prinsip kedua yaitu prinsip demokrasi. Bukti konstitusi mengatur bahwa
Indonesia merupakan negara demokrasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.67
Teori kedaulatan rakyat (demokarasi) adalah ajaran
yang menentukan bahwa sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam suatu
negara berada di tangan rakyat (of the people), yang sehingga untuk itu rakyat
adalah alasan utama berdirinya suatu negara. Gagasan dasar prinsip demokrasi
adalah terwujudnya negara dengan pemisahan kekuasaan (separation of power),
cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya (limited government), terdapat
larangan pemerintah bertindak sewenang-wenang (abus de drait atau willikeur),
terjaminnya hak-hak asasi manusia dan dihindari terpusatnya kekuasaan pada satu
tangan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang
(detaournament de pouvair).68
Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum,
65
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.
57-58 66
Ibid. 67
Pasal 1 ayat (2) UU NRI 1945. 68
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press,
Jogjakarta, 2003, hlm. 149.
51
yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan dengan
kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sitem demokrasi.
Dari uraian dua prinsip konstitusional diatas, dapat ditarik makna bahwa
yang menjadi point penting dalam prinsip negara hukum demokrasi adalah
mengenai pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of power) dan
kewenangan pemerintahan melalui lembaga negara yang terbatas (limited
government) yang tentu kedua hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (detaournament de
pouvair) demi tercapainya tujuan bernegara yang melindungi segenap hak warga
negaranya.
Kembali pada pembahasan mengenai interpretasi kebijakan legislatif
terbuka sebagai batasan kewenangan MKRI terhadap prinsip judicial self
restraint, seperti yang Penulis uraikan pada sub bab pertama, bahwa kebijakan
legislatif terbuka merupakan kewenangan legislator dalam menciptakan materi
muatan dalam suatu rumusan undang-undang yang tidak boleh mendapat
intervensi dari lembaga negara lain yang diakui sebagai instrument pembatasan
diri yang diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang. Dari pengertian tersebut maka dapat di tarik dua konsep. Konsep
pertama¸ adalah kewenangan legislator dalam menciptakan materi muatan suatu
rumusan undang-undang. Konsep kedua, adalah instrument pembatasan diri yang
diciptakan oleh MKRI dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-
undang. Dua konsep yang terpecah tersebut jelas menunjukkan adanya prinsip
dari negara hukum demokrasi. Pemisahan/pembagian kekuasaan (separation of
power) terilhami dalam konsep pertama, dan kewenangan pemerintahan melalui
52
lembaga negara yang terbatas (limited government) terilhami dalam konsep
kedua.
Sedangkan prinsip judicial self restraint itu sendiri merupakan pengekangan
diri yang dilakukan oleh cabang kekuasaan yudikatif yang disini merupakan
MKRI dalam menjalankan fungsinya tanpa mengganggu cabang kekuasaan
lainnya (legislatif maupun eksekutif) yang secara limitatif setiap prinsipnya telah
diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan/kekuasaan masing-masing lembaga
negara. Sehingga bisa dikatakan bahwa dengan prinsip judicial self restraint
merupakan salah satu bentuk penghormatan MKRI kepada cabang kekuasaan lain
untuk dapat menjalankan kekuasaannya. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip ini
jelas selaras dengan amanat negara hukum demokrasi atas pemisahan/pembagian
kekuasaan (separation of power) dan kewenangan lembaga negara yang terbatas
(limited government). Lebih penting lagi, prinsip judicial self restraint memiliki
tiga pembatasan yang telah Penulis uraikan sebelumnya, bahwa ada pembatasan
konstitusional, pembatasan berdasarkan kebijakan, pembatasan berdasarkan
doktrin yang dimana ketiganya memiliki klasifikasi dalam pembatasannya
masing-masing. Pembatasan-pembatasan tersebut tanpa disadari juga telah
terilhami oleh MKRI, salah satunya yaitu dengan lahirnya ‘rambu-rambu’ yang
berasal dari dirinya sendiri berupa kebijakan legislatif terbuka (open legal policy).
Sehingga Penulis simpulkan bahwa prinsip judicial self restraint berbanding
lurus dengan kebijakan legislatif terbuka (open legal policy) yang bertujuan untuk
memberi batasan akan kewenangan MKRI dalam pengujian konstitusionalitas
undang-undang dan memberi kebebasan legislator untuk menjalankan
wewenangnya sebagai pembentuk norma dalam undang-undang. Untuk itu
53
Penulis simpulkan bahwa dengan diakuinya kebijakan legislatif terbuka yang
menjadi kebebasan kewenangan pada legislator untuk menentukan materi muatan
undang-undang oleh MKRI, maka MKRI telah melaksanakan prinsip judicial self
restraint sebagai prinsip pembatasan kewenangannya sebagai badan peradilan,
khususnya badan peradilan yang berwenang dalam menguji konstitusionalitas
undang-undang yang riskan dapat bersinggungan dengan lembaga kekuasaan lain
yang disini adalah legislator. Jadi semangat dengan diakuinya kebijakan legislatif
terbuka sebagai kebebasan kewenangan legislator adalah wujud penghormatan
MKRI kepada legislator yang keduanya telah memiliki fungsi masing-masing
secara eksplisit telah diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945, demi menciptakan
kehidupan bernegara yang disiplin dengan keselamatan rakyat sebagai tujuan
utama.