bab ii karjo -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
DOSA DALAM PANDANGAN AGAMA HINDU
A. Pandangan tentang Dosa Secara Ma’nawi
Dosa adalah kesalahan yang disebabkan melanggar larangan Tuhan
atau melalaikan suatu kewajiban yang diperintahkannya.1 Kamus Besar
Bahasa Indonesia menerangkan bahwa dosa adalah perbuatan yang melanggar
hukum Tuhan atau agama.2 Pengertian yang sama dikemukan WJS.
Poerwadarminta, dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau
agama.3
Dosa sebuah istilah yang berasal dari kalangan Hindu, dan telah lazim
dipakai oleh umat Islam yang berbahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari
sejumlah istilah dalam al-Qur'an, seperti ism, zanb, wizr, dan sebagainya.4
Dosa merupakan perbuatan yang melanggar hukum hukum, baik hukum
Tuhan (agama), hukum adat atau hukum negara.5
Berbicara asal-usul dosa, sangat berhubungan dengan kisah Adam dan
Hawa. Kisah Adam adalah kisah manusia dengan segala rahasianya,
kehidupannya merupakan kehidupan mahluk ini secara lengkap, semenjak
sang pencipta menghendaki agar dunia ini diramaikan, agar alam ini nampak,
dan agar kehidupan ini menjadi sempurna dan indah maka manusia menjadi
penghuni dunia.6
1Fachruddin, Ensiklopedi Al-Qur'an, Buku 1, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 322 2Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, Cet
2, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 275. 3W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1976, hlm. 258. 4Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,
Anggota IKAPI, Jakarta, 1992, hlm. 224 5Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 1, PT.Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 318 6Muhammad Ali Ash- Shabuni, Kisah-kisah Nabi dan Masalah Kenabian, alih
bahasa Muslich Shabir, Cahaya Indah, Semarang, 1994, Cet. Ke-1, hlm. 165
12
Banyak yang menguatkan bahwa Adam adalah manusia pertama dan
tidak ada jenis manusia sebelumnya. Demikian pula kitab samawi, semuanya
sepakat akan hal ini dan berita-berita dari semua ahli agama saling mendukung
terhadap hal itu bahwa Adam adalah bapak manusia dan bahwa dia secara
mutlak adalah manusia pertama yang diciptakan oleh sang pencipta.7
Adam adalah manusia pertama. Sebelum Adam, belum ada manusia.
Seluruh manusia selain Adam, semuanya adalah turunan Adam. Di antara
manusia turunan Adam itu, ada yang menjadi Nabi dan Rasul, menjadi orang-
orang suci. Di antaranya ada orang-orang pandai dalam berbagai bidang yang
menyebabkan kemajuan-kemajuan hebat bagi manusia dari abad ke abad.
Lihatlah kemajuan anak cucu Adam yang hidup di dalam abad kedua puluh
sekarang ini. Sekalipun ada pula di antara anak cucu Adam sendiri yang
menjadi perusak dan penjahat. Sebab itu, memang sudah sepantasnya kalau
para malaikat memberikan penghormatan kepada Adam sebagai manusia
pertama dan mempunyai turunan yang hebat-hebat itu.
Adam diciptakan Sang pencipta dengan Tangan-Nya sendiri. Sedang
makhluk-makhluk lainnya, seluruhnya diciptakan Tuhan dengan perkataan-
Nya "Bila Tuhan menghendaki sesuatu". Ia hanya mengatakan: Jadilah! Maka
jadilah apa yang dikehendaki Tuhan itu. Demikian semua agama sepakat
hanya Adam, yang Tuhan ciptakan dengan kedua "Tangan"-Nya. Maka sudah
sepantasnya kalau para malaikat diperintahkan Tuhan untuk menghormati
Adam. Karena ia diciptakan Tuhan dengan "Tangan"-Nya, Adam sungguh-
sungguh suatu makhluk terhormat yang tiada taranya di alam ini.8
Semua agama samawi sepakat bahwa Adam diberi tempat di syurga
dan baginya diciptakanlah Hawa untuk mendampinginya dan menjadi teman
hidupnya, menghilangkan rasa kesepiannya dan melengkapi kebutuhan
fitrahnya, untuk menurunkan turunan. Menurut ceritera kitab-kitab agama
samawi, Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam yang sebelah kiri
di waktu ia lagi tidur, sehingga ketika ia terjaga, ia melihat Hawa sudah berada
7Ibid, hlm. 169 8Bey Arifin, Rangkaian cerita dalam Al-Qur'an, Alma'arif, Bandung, 1952, Cet. Ke-
1, hlm. 11-12
13
di sampingnya. la ditanya oleh malaikat: "Wahai Adam! Apa dan siapakah
makhluk yang berada di sampingmu itu?" "Seorang perempuan", jawab Adam
sesuai dengan fitrah yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepadanya. "Siapa
namanya?", tanya malaikat lagi. "Hawa", jawab Adam. "Untuk apa Tuhan
menciptakan makhluk ini?", tanya lagi sang malaikat. Adam menjawab:
"Untuk mendampingiku, memberi kebahagiaan bagiku dan mengisi kebutuhan
hidupku sesuai dengan kehendak Tuhan".9
Tuhan berpesan kepada Adam: "Tinggallah engkau bersama isterimu
di syurga, rasakanlah kenikmatan yang berlimpah-limpah di dalamnya,
cicipilah dan makanlah buah-buahan yang lezat yang terdapat di dalamnya
sepuas hatimu dan sekehendak nafsumu. Kamu tidak akan mengalami atau
merasakan lapar, dahaga ataupun lelah selama kamu berada di dalamnya.
Akan tetapi Aku ingatkan janganlah makan buah: dari pohon ini yang akan
menyebabkan kamu celaka dan termasuk orang-orang yang menyesal.
Ketahuilah bahwa Iblis itu adalah musuhmu dan musuh isterimu, ia akan
berdaya upaya membujuk kamu dan menyeret kamu keluar dari syurga
sehingga tercabutlah kebahagiaan yang kamu sedang nikmati ini".
Sesuai dengan ancaman yang diucapkan ketika diusir oleh Tuhan dari
syurga akibat pembangkangannya dan terdorong pula oleh rasa iri hati dan
dengki terhadap Adam yang menjadi sebab sampai ia terkutuk dan terlaknat
selama-lamanya, tersingkir dari singgasana kebesarannya, Iblis mulai
menunjukkan rencana penyesatannya kepada Adam dan Hawa yang sedang
hidup berdua di syurga tenteram, damai dan bahagia.
la menyatakan kepada mereka bahwa ia adalah kawan mereka dan
ingin memberi nasehat dan petunjuk untuk kebaikan dan kelestarian
kebahagiaan mereka. Segala cara dan kata-kata halus digunakan oleh Iblis
untuk mendapat kepercayaan Adam dan Hawa bahwa ia betul-betul jujur
dalam menasehati dan memberi petunjuk mereka. la membisikkan kepada
mereka bahwa larangan Tuhan kepada mereka memakan buah yang ditunjuk
9Salim Bahreisy, (penyadur), Sejarah Hidup Nabi-Nabi, PT. Bina Ilmu, Surabaya,
1999, cet 5, hlm. 4-5
14
itu adalah karena dengan memakan itu mereka akan menjelma menjadi
malaikat dan akan hidup kekal. Diulang-ulangilah bujukannya dengan sekali-
kali menunjuk akan harum baunya pohon yang dilarang, indah bentuk
buahnya dan lezat rasanya, sehingga pada akhirnya termakanlah bujukan yang
halus itu oleh Adam dan Hawa dan dilanggarlah larangan Tuhan.10
Adam dan Hawa mendengar perkataan Tuhan itu, sadarlah bahwa
mereka telah melanggar perintah Tuhan dan bahwa mereka telah melakukan
suatu kesalahan dan dosa yang besar. Seraya menyesal berkatalah mereka:
"Wahai Tuhan kami! Kami telah menganiaya diri kami sendiri dan telah
melanggar perintah-Mu, karena terkena bujukan Iblis. Ampunilah dosa kami
karena niscaya kami akan tergolong dalam golongan orang-orang yang rugi
bila Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami".
Tuhan telah menerima taubat Adam dan Hawa serta mengampuni
perbuatan pelanggaran yang mereka telah lakukan, hal mana telah melegakan
dada mereka dan menghilangkan rasa sedih akibat kelalaian peringatan Tuhan
tentang Iblis sehingga terjerumus menjadi mangsa bujukan dan rayuannya
yang manis namun beracun itu.
B. Sejarah Agama Hindu dan Ajaran Pokoknya
Agama Hindu dapat disamakan dengan rimba raya yang penuh dengan
pohon-pohon, semak-belukar, dan tumbuh-tumbuhan dengan berbagai bunga.
Pendeknya, suatu daerah dengan aneka ragam warna yang rimbun dan ruwet
sekali. Karena agama Hindu memperlihatkan berbagai bentuk dan bermacam-
macam gejala agama. Suatu percampuradukan dari tokoh-tokoh dewa, bentuk-
bentuk kultus, strata sosial, dan mazhab-madzhab agama berdasarkan filsafat.
Suatu perbedaan yang ruwet antara pernyataan-pernyataan mistik yang sangat
murni dan luhur, atau pernyataan cinta yang mesra terhadap dewa pemurah
10 Ibid, hlm. 4-5
15
yang tunggal dan bentuk-bentuk keagamaan dengan nafsu-nafsu manusia yang
rendah dan secara kasar menampakkan dirinya.11
Agama Hindu berkembang sejak 1500 S.M. bersamaan dengan
masuknya suku bangsa Arya (Indo German) ke India Utara. Mereka mula-
mula menduduki daerah Sungai Indus, yang kemudian bercampur dengan
penduduk asli yang terdiri dari suku bangsa Dravida dan lain-lain suku-suku
bangsa yang berdiam di India Utara. Kepercayaan bangsa Arya yang berpadu
dengan kepercayaan penduduk asli menjadi semacam syncretisme yang
membentuk Agama Hindu. Teori-teori keagamaan yang kemudian timbul dari
agama tersebut juga menggambarkan pengaruh kebudayaan bangsa Arya dan
penduduk asli India itu.12
Adapun sistem kepercayaan dalam Hindu Dharma adalah yang disebut
"Panca Sradha". Arti kata "Panca" adalah Lima, dan "sradha" adalah
kepercayaan. Pancasradha adalah sama dengan rukun iman Hindu, yang
terdiri dari lima keimanan sebagai berikut:
1. Percaya kepada adanya Sang Hyang Widhi ( Tuhan Y.M.E.).
Sang Hyang Widhi ialah la yang kuasa atas segala yang ada di
alam ini. Tidak ada yang luput dari kemahakuasaan-Nya.
2. Percaya adanya atma (roh leluhur).
Atman adalah percikan kecil dari Paratman, Atman yang tertinggi
atau Brahman. Bila Atman meninggalkan badan, maka makhluk itu akan
mati. Atman yang menghidupi badan disebut jiwatman. Jiwatman dapat
dipengaruhi oleh karma, hasil perbuatan di dunia ini. Karena itu Atman
tidak akan selalu kembali ke asalnya, yaitu Paratman. Menurut ajaran
agama Hindu, jiwatman seseorang yang meninggal dunia dapat mencapai
surga atau jatuh ke neraka.
3. Percaya adanya hukum karma phala (sebab akibat).
11C.J. Bleeker, Pertemuan Agama-Agama Dunia Menuju Humanisme Relijius dan
Perdamaian Universal, Pustaka Dian Pratama, Yogyakarta, 2004, hlm. 1 12HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Trayon,
Jakarta, 1990, hlm. 56
16
Buah dari perbuatan itu disebut phala. Buah perbuatan itu tidak
selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati, seperti halnya tangan yang
menyentuh es segera merasakan dinginnya es. Tetapi, tidak demikian
halnya dengan phala, yang kadang-kadang baru diterima hasilnya
(buahnya) setelah kehidupan yang akan datang, seperti menanam padi
yang harus menunggu beberapa bulan untuk dapat menikmati hasilnya.
4. Percaya adanya samsara (punarbhawa: menjelma berkali kali)
Jiwatman atau roh tidak selamanya berada di surga ataupun
neraka. la akan lahir kembali ke dunia. Kelahiran kembali ini disebut
Punarbawa atau Samsara, lingkaran kelahiran. Bagaimana kelahirannya
kembali akan tergantung dari karmawasana (bekas-bekas perbuatan)
terdahulu. Kalau ia membawa karma yang baik lahirlah ia menjadi orang
yang bahagia, berbadan sehat dan berhasil cita-citanya. Sebaliknya, bila ia
membawa karma yang buruk (kurang baik) ia akan lahir sebagai orang
yang menderita. Kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk
memperbaiki diri dari segala dosa yang telah diperbuat pada kehidupan
yang terdahulu.
5. Percaya adanya moksha (kelepasan dari samsara).
Bila seseorang berhasil lepas dari ikatan dunia ia akan mencapai
moksa. Moksa artinya kelepasan. Inilah tujuan akhir pemeluk agama
Hindu. Orang yang telah mencapai moksa tidak lahir lagi ke dunia, karena
tidak ada apa pun yang mengikatnya. la telah bersatu dengan Paratman,
Atman yang tertinggi atau Sang Hyang Widhi.13
Kepercayaan dalam Pancasradha tersebut diajarkan oleh Reshi Sri
Dharmakerti. Dalam ucapan doa dan upacara agama senantiasa dimulai
dengan kata suci "Om", yang berasal dari A : simbol Brahma; U. adalah
simbol Wisnu; dan M. adalah simbol Siwa, lalu diucapkan dengan suara
"Aum" atau "Om". Oleh karena itu ucapan salam Hindu berbunyi "Om
Swastyastu" (semoga selamat atasmu), maka jawabnya adalah" kata
13Djam’annuri, (editor), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah
Pengantar), Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, hlm. 51
17
"Shanti,Shanti,Shanti, Om' (Damai, Damai, Damai, semoga). Demikian juga
ucapan "Om Awignamastu; Om Dirghayur Astu": semoga tak ada halangan
dan semoga panjang umur. 14
Secara garis besar perkembangan agama Hindu dapat dibedakan
menjadi tiga tahap. Tahapan pertama sering disebut dengan zaman Weda,
yang dimulai dengan masuknya bangsa Arya di Punjab hingga munculnya
agama Hindu. Pada masa ini dikenal adanya tiga periode agama yang disebut
dengan periode tiga agama penting (tiga agama besar). Ketiga periode ini
adalah periode ketika bangsa Arya masih berada di daerah Punjab (1500-1000
S.M.). Agama dalam periode pertama lebih dikenal sebagai agama Weda
Kuno atau agama Weda Samhita. Periode kedua ditandai oleh munculnya
agama Brahmana, di mana para pendeta sangat berkuasa dan terjadi banyak
sekali perubahan dalam hidup keagamaan (1000 - 750 S.M.). Perubahan
tersebut lebih bersifat dari dalam agama Weda sendiri dibanding perubahan
karena penyesuaian agama Weda dengan kepercayaan-kepercayaan yang
berasal dari luar. Agama Weda pada periode kedua ini lebih dikenal dengan
nama agama Brahmana. Periode ketiga ditandai oleh munculnya pemikiran-
pemikiran kefilsafatan ketika bangsa Arya menjadi pusat peradaban sekitar
sungai Gangga (750 - 500 S.M.). Agama Weda periode ini dikenal dengan
agama Upanishad.15
Tahapan kedua adalah tahapan atau zaman agama Buddha, yang
mempunyai corak yang sangat lain dari agama Weda. Zaman agama Buddha
ini diperkirakan berlangsung antara 500 S.M. - 300 M. Tahapan ketiga adalah
apa yang dikenal sebagai zaman. agama Hindu, berlangsung sejak 300 M.
hingga sekarang.
Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke
Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Kapan agama
tersebut masuk ke Nusantara (Indonesia) tidak dapat diketahui secara pasti.
interpretasi terhadap penemuan kepurbakalaan, peninggalan karya tulis dan
14HM.Arifin, op. cit, hlm. 92-93 15Romdhon, et al, Agama-Agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm. 93 -94
18
sebagainya, juga tidak memberikan informasi tentang siapa nama pembawa
agama tersebut.
Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India
terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat
kebiasaan yang ada di sekitar kraton. Dari sini barangkali dapat dipahami
bahwa masuknya pengaruh tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya
ataupun Ksatria, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang
berwenang membaca kitab suci dan menentukan peribadatan. Ajaran tentang
samsara, karma, yang tidak terlepas dari ajaran kasta yang dikaitkan dengan
kelahiran seseorang memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan agama
dakwah dan tidak mencari pengikut. Yang sering menjadi persoalan adalah
bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut.
Dugaan kuat dalam hal ini ialah bahwa yang aktif adalah orang-orang
Indonesia sendiri.
Karena adanya hubungan dagang dengan orang-orang India, maka
banyak rakyat yang juga hidup berdagang dan menjadi kaya. Hubungan raja
dan rakyat juga baik sehingga para raja juga menghargai para Brahmana
tersebut. Lingkungan kehidupan beragama, para pedagang yang beragama
Hindu memerlukan para Brahmana. Oleh karena itu para Brahmana tersebut
memiliki kesempatan untuk berada dalam lingkungan kraton. Hal ini terbukti
dengan penemuan prasasti di Kutai yang menunjukkan bahwa untuk keperluan
sedekah raja memberikan beberapa ekor sapi kepada para Brahmana.16
Aliran agama Hindu yang paling besar pengaruhnya adalah aliran Siwa
dan Tantra (abad 6). Di Indonesia, aliran Tantra dan agama Buddha yang
sempat mendesak Tantra keluar dari India justru menyatu dengan sebutan
agama Siwa-Buddha. Percampuran antara keduanya terlihat jelas pada zaman
kerajaan Singasari (1222-1292).
Penemuan prasasti dapat diketahui bahwa perkembangan pengaruh
agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar kraton, sungguhpun ada
juga, karena jarak yang jauh, berpusat di biara-biara dan pemakaman-
16Ibid, hlm. 94 – 95
19
pemakaman. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman (abad ke-5)
menunjukkan bahwa korban sesajian oleh raja dilaksanakan dan
diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmrti. Pemujaan ditujukan
mungkin kepada Siwa dan mungkin kepada Wisnu.
Tahun 928, pusat kraton yang ada di Jawa Timur (dinasti raja Sendok)
lebih bercorak Wisnu. Peninggalan-peninggalan kitab sesudah zaman itu
(yaitu sekitar abad ke-10) adalah kitab Brahmandapurana yang di antara isinya
adalah tentang penciptaan (kosmogoni), silsilah para Resi, keterangan-
keterangan tentang kasta, asrama, yogi dan sebagainya. Juga terdapat uraian
tentang kitab Weda dan penjelasan tentang Manu yang semuanya berupa
mitos. kitab Agastyaparwa (akhir abad 10 memuat dialog antara Agastya dan
puteranya, Didhastu. Isi kitab tersebut adalah tentang kosmogoni, lahirnya
para Brahmarsi, lahirnya Manu dan lahirnya Manwatara. 17
Aliran Tantra mencapai puncak perkembangannya pada zaman
Singasari dan Majapahit Dalam kitab Nagarakertagama disebutkan bahwa raja
Kertanegara menekuni kitab Subhuti Tantra. Menurut kitab Pararaton, ia
adalah seorang pemabuk, seorang pemuja yang erat hubungannya dengan
upacara pancatattwa (Lima-M). Raja Adityawarman dinobatkan dalam
upacara Bhairawa karena ia adalah penganut sekte Siwa yang menekankan
pada aliran Tantrayana. Menurut prasasti Surowaso (1375), ia dinobatkan
menjadi Bhairawa di Ksetra dengan duduk di atas singgasana yang terdiri dari
tumpukan mayat sambil tertawa terbahak-bahak dan minum darah. Sebagai
korban dibakar mayat-mayat yang baunya dikatakan seperti harumnya berjuta-
juta bunga. Padang Lawas Sumatra, paham Tantrayana juga mengutamakan
Bhairawa.18
Perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di kraton,
juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau
mandala atau kasturi. para pendeta Di tempat-tempat ini memberikan
pelajaran. Kitab-kitab yang ada pada waktu itu adalah kitab Tantu
17Ibid, hlm. 95 – 96 18HM. Arifin, op. cit, hlm. 120-121.
20
Panggelaran, juga kitab Nawaruci yang juga disebut dengan kitab
Tattwajnana. Kitab terakhir ini penting karena mistik yang terdapat di
dalamnya sampai sekarang masih berlaku di kalangan tertentu. Dasar fikiran
dan mistik itu sendiri juga terdapat dalam kitab-kitab Suluk yang sudah
mendapat pengaruh dari Islam.
Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat, oleh karena itu, agama Hindu
Jawa pun sangat berpengaruh di sana, yang lama kelamaan bercampur dengan
agama asli Bali yang disebut agama Tirta dan kcmudian disebut agama Hindu
Dharma. Agama asli Bali mempunyai kepercayaan terhadap para dewa yang
dihindukan sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali
mempercayai para dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di
samping percaya terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari Hindu-
Jawa disebut dengan Bhatara, yang terpenting di antaranya adalah Bhatara
Brahma (dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa
penguasa surga), Bhatara Yama (penguasa maut) dan Dhatari Durga (dewi
maut atau kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan
memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan, semua dewa adalah
penjelmaannya. Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara
Guru, Bhatara Kala dan Bhatari Durga. 19
Karena arwah nenek moyang juga didewakan di Bali, maka di Bali lalu
terdapat pengkultusan terhadap orang yang sudah mati. Ada dua macam
pemujaan terhadap orang yang sudah mati. Menurut kepercayaan Bali asli,
mayat tersebut cukup ditempatkan di hutan-hutan atau di aliran sungai-sungai;
dan menurut kepercayaan Hindu-Jawa, pemujaan terhadap orang mati
dilakukan dengan cara membakar mayatnya terutama di kalangan bangsawan.
Orang mati dipuja terutama karena ada anggapan bahwa dengan pemujaan
tersebut arwahnya akan dapat segera sampai di tempat yang tenang dari
mengganggu orang yang masih hidup. Jiwa orang yang masih hidup. Jiwa
orang yang masih hidup dianggap terbelenggu oleh jasad sehingga menjadi
19Houston Smith, Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001,
hlm. 42.
21
kotor. Agar jiwa lepas dari belenggu tersebut maka jiwa harus disucikan
dengan cara-cara tertentu. Melalui kematian jiwa berpisah dari jasad, tetapi
masih belum sempurna karena belum bebas sebebas-bebasnya dan masih
harus mengalami kelahiran kembali. Jiwa macam ini disebut pirata, dan dapat
mendatangkan petaka bagi keluarganya.
Sesudah penyucian karena kematian, maka penyucian tahap berikutnya
adalah penyucian dengan mempergunakan api dan air yang dilakukan dengan
membakar mayat dan abunya dibuang ke laut atau ke sungai-sungai agar noda-
noda dan karat-karat yang mengotorinya menjadi bersih dan suci secara
sempurna sehingga jiwa dapat menuju ke Indraloka. Jiwa sudah berubah
menjadi piara dan tidak lagi membahayakan keluarga. Sesudah penyucian ini,
baru dilakukan upacara sraddha supaya jiwa dapat langsung berada di
Siwaloka. Upacara mayat yang disebut Ngaben ini terdiri dari tertib upacara
tertentu dan biasanya penyelenggaraannya memerlukan biaya yang relatif
besar, serta berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kasta yang bersangkutan.
Akan tetapi dewasa ini, biasanya karena alasan ekonomis dan sebagainya,
penyelenggaraan upacara Ngaben sudah tidak begitu lengkap lagi. 20
Perkembangan selanjutnya, agama Hindu di Indonesia mengalami
perkembangan sekaligus perubahan-perubahan yang sangat mendasar karena
faktor-faktor sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan perkembangan
agama Islam. Penyempurnaan dan perubahan tersebut bukan hanya
menyangkut penyelenggaraan upacara keagamaan tetapi juga dalam konsep
keagamaannya.
Agama Tirta mulai berubah sudah sejak zaman pemerintah Belanda, di
antaranya adalah usaha untuk mendapatkan tempat dalam Kementerian
Agama Republik Indonesia. Usaha lain ialah usaha untuk menyempurnakan
agama Tirta agar mendapatkan tempat yang pasti di tengah-tengah masyarakat
Salah satu caranya ialah dengan menyusun kitab suci yang selama ini belum
ada. Selain itu, juga dilakukan usaha untuk merumuskan kembali ajaran-ajaran
keagamaan, juga dengan mendirikan lembaga-lembaga keagamaan, yang
20Djam’annuri (editor), op. cit, 2000
22
dirasa sudah sangat mendesak adanya, di tengah-tengah kemajuan masyarakat
Beberapa tokoh muda kemudian mendirikan lembaga pendidikan dan
organisasi keagamaan yang disebut Trimurti, yang bertujuan menembus
pembaharuan di bidang keagamaan. Di Singaraja, Bali,. lahir organisasi Bali
Dharma Laksana yang berusaha untuk menyusun kitab suci yang jelas. Pada
zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma oleh pemerintah yang
dimaksudkan untuk mempersatukan paham keagamaan Bali dan sebagai
perantara dengan pemerintah Jepang. Pada waktu itu agama disebut dengan
Siwa Raditya atau agama Sang Hyang Surya yang mengutamakan pemujaan
terhadap matahari. Pada tahun 1950, badan tersebut berubah menjadi Majelis
Hinduisme. Sejak tahun ini ada lagi organisasi-organisasi keagamaan yang
muncul yaitu Wiwada Sastra Sabda dan Panti Agama Hindu Bali. Dari sinilah
muncul ide pengakuan agar Hindu Bali sebagai agama resmi di Indonesia,
yang baru berhasil diperjuangkan pada tahun 1958. Sejak saat itu minat untuk
memajukan agama Hindu Bali semakin meningkat Langkah pertamanya
adalah pemurnian agama Hindu. 21
Sesudah mendapatkan pengakuan resmi, para pemimpin Hindu Bali
membentuk muktamar Parisada Dharma Hindu Bali pada tahun 1959 yang
kemudian menjadi Parisada Hindu Dharma pada tahun 1964. Usaha utama
organisasi tersebut ialah memajukan Hindu, Dharma dengan. mendirikan
pendidikan menengah yaitu Pendidikan Guru Agama Atas dan pendidikan
tinggi yaitu Institut Hindu Dharma yang salah satu fakultasnya adalah
Fakultas Agama. Ini berarti telah terjadi suatu perubahan dan perkembangan
yang sangat besar dalam agama Hindu. Kitab-kitab suci sekarang harus
dipelajari oleh seluruh umat Hindu, dan pendidikan agama juga merupakan
hak semua orang Hindu. Bahkan, dengan adanya mobilitas sosial yang cepat
dewasa ini, agama Hindu juga mengalami perluasan yang sangat berarti. Hal
ini tidak dapat dilepaskan dari adanya usaha-usaha para cendekiawan. Hindu
untuk menyesuaikan agama mereka dengan suasana Indonesia.
21H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang ,
Jakarta, 1974, hlm. 53
23
Perubahan-perubahan tersebut ada yang menyangkut konsep ajaran
agama. Menurut agama Hindu Bali Sang Hyang Widi adalah Tuhan yang
Maha Esa. Dalam Kitab Weda disebutkan bahwa Brahma hanya satu, tidak
ada duanya. Sutasoma dikatakan bahwa Tuhan berbeda-beda tetapi satu, tidak
ada dharma yang dua. Upanishad juga diungkapkan bahwa Sang Hyang Widi
adalah tidak berbentuk, tidak beranggota badan, tidak berpanca-indera tetapi
mengetahui segala yang ada dan yang terjadi pada semua makhluk. Sang
Hyang Widi tidak pernah lahir, tidak pernah tua, tidak pernah berkurang dan
juga tidak pernah bertambah. la disebut dengan banyak nama, dan yang
terpenting adalah Tri-Sakti, yaitu Brahma (sebagai pencipta), Wisnu (sebagai
pelindung dan pemelihara), dan Siwa (sebagai perusak untuk dikembalikan ke
daur yang semestinya). 22
Agama Hindu mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan Sang Hyang
Widi dalam bentuk beberapa dewa yang banyak jumlahnya, akan tetapi
mempunyai fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan kepentingan makhluk hidup
ini. Sebagai Bhatara Brahma, ia memberikan pegangan dan tuntunan
bagaimana manusia harus bertindak. Brahma bertindak sebagai Sang Hyang
Saraswati yang memberikan ilham kepada para maharesi [salah satu literatur
menyebut seperti nabi dalam Islam?]. Hubungan antara Sang Hyang Saraswati
dengan Brahman diungkapkan seperti hubungan antara api dengan panasnya.
Saraswati dianggap sebagai dewi ilmu pengetahuan karena hanya dengan
pengetahuan saja penciptaan-penciptaan baru itu timbul. la adalah sumber
ilham, sumber gerak dan sumber ciptaan manusia. Sebagai Bhatara Wisnu,
Sang Hyang Widi menjadi pelindung dan pemelihara dunia. la mempunyai
dua sakti, yaitu Dewi Sri (dewi kesuburan) dan Dewi Lakshmi (dewi
kebahagiaan). Sebagai Bhatara Siwa, Sang Hyang Widi menguasai keadilan
dan mewujudkan (jin sebagai Dewi Durga dan Dewi Uma (Parwati). Kepada
orang yang berbuat dosa ia berlaku dan berujud Dewi Durga yang mengerikan
22Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, PT al-Husna Dzikra, Jakarta, 1996,
hlm. 49.
24
dan kepada orang yang berbuat baik ia berlaku dan berujud Dewi Uma yang
penuh cinta kasih;
Mengenai agama dikatakan bahwa agama adalah jalan untuk sampai
kepada moksa (kelepasan). Oleh sebab itu agama berisi petunjuk-petunjuk
yang benar. Agama adalah jalan yang lengkap dengan petunjuk dan pedoman
ke arah yang benar. Dalam ungkapan sering dikatakan bahwa agama adalah
"perahu" untuk menyebrangkan manusia dan dunia yang tidak kekal menuju
surga (moksa); jiwa (atman) adalah "bendega" tukang perahu' layar adalah
pikiran manusia; angin adalah hawa nafsu; air laut adalah persoalan
keduniaan, dan tujuannya adalah pulau harapan (surga).23
Mengenai 'kitab suci, Weda adalah kitab suci agama Hindu yang
mengutamakan pengetahuan suci tentang Sang Hyang Widi dan perintah-
perintahnya. Weda tercakup kitab-kitab Upanishad, Wedapari krama.
Bhagavadgita dan Sang Hyang Kamahayanikan. Kitab-kitab tersebut wajib
dibaca dan dipelajari oleh segenap umat Hindu, tidak terbatas hanya pada
kalangan pendeta saja. Karena itu lalu muncul pula beberapa kitab semacam
Smriti, berupa Manu-Smriti dan Sarasamuccaya, kitab-kitab Parana, kitab-
kitab Itihasa. dan Wiracarita. Terlepas dari kebenaran yang mereka percaya,
pengertian kitab suci di Bali agaknya berbeda dengan di India, apalagi dengan
agama Brahmana, yang sudah amat jauh perbedaannya.
Mengenai masalah kasta atau caturvarna, yang semula selalu dikaitkan
dengan persoalan kelahiran, maka pada agama Hindu di Bali sudah
memperoleh pengertian yang lain juga. Dikatakan, varna adalah sifat dan
bakat kelahiran dalam mengabdi masyarakat, yang mementingkan sumber
gairah kerja, minat atau bakat, untuk berkarya. Kasta brahmana adalah
golongan orang yang mengabdi pada masyarakat karena memiliki sumber
gairah dan minat untuk menyejahterakan masyarakat, negara dan rakyat
dengan jalan mengabdikan dan mengamalkan ilmu pengetahuannya sehingga
mampu memimpin masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara
23Abujamin Roham, Agama Wahyu dan Kepercayaan Budaya, Media Da’wah,
Jakarta, 1999, hlm. 82
25
dan beragama. Ksatria adalah golongan orang yang mengabdi pada
masyarakat karena mempunyai sumber gairah dan minat untuk memimpin
dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat berdasarkan agamanya.
Waisya adalah orang yang mengabdi kepada masyarakat karena
mempunyai sumber gairah dan minat untuk menyelenggarakan kemakmuran
negara, masyarakat dan kemanusiaan dengan jalan mengabdikan dan
mengamalkan watak-watak tekun, terampil, hemat dan cermat. Adapun sudra
adalah orang yang mengabdi kepada masyarakat karena memiliki sumber
gairah dan minat untuk memakmurkan masyarakat dengan jalan mengabdikan
kekuatan jasmani dan ketaatannya kepada seluruh masyarakat.24 Dengan
pengertian caturvarna seperti itu, berarti sudah tidak ada lagi persoalan-
persoalan yang timbul karena pengertian bahwa kasta (bahkan juga karma)
seseorang itu ditentukan oleh kelahiran.25
Hubungannya dengan sekte-sekte Hinduisme, Sri Swami Sivananda
menegaskan,
Orang Hindu dipisahkan menjadi tiga golongan besar, yaitu Waisnawa, yang memuja Wisnu sebagai Tuhan; Saiwa yang memuja Siwa sebagai Tuhan; dan Sakta, yang memuja Dewi atau aspek ibu dari Tuhan. Sebagai tambahan, ada Gaura, yang memuja Dewa matahari; Ganapya, yang memuja Ganesa sebagai yang tertinggi; dan Kaumara, yang memuja Skanda sebagai Tuhan.26 Dengan demikian sebagaimana terdapat dalam agama-agama besar
lainnya, maka dalam agama Hindu juga terdapat aliran-aliran atau sekte-sekte
yang masing-masing mempunyai konsepsi tersendiri dalam menanggapi
beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih penting daripada ajaran
pokoknya. Sekte-sekte yang dimaksud yaitu: sekte agama Hindu Vedanta;
aliran agama yang bercorak atheis yang disebut Sankya; aliran Hinduisme
“Yoga”; sekte Hinduisme yang disebut Jainisme; sekte Wisnuisme
24Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Wijaya, Jakarta, 1980, hlm. 41-48 25Ahmad Shalaby, Perbandingan Agama Agama-Agama Besar Di India Hindu-
Jaina-Budha, alih bahasa H. Abu Ahmadi, Bumi Aksara, Jakarta, 1998, hlm. 37. 26Sri Swami Sivananda, Intisari Ajaran Hindu, Paramita, Surabaya, 1993, hlm. 139
26
(Vaisnava); sekte Siwaisme (Saiva); sekte Brahmaisme; sekte Tantrisme
(Tantrayana); agama Hindu Bali (Hindu Dharma).27
C. Pengertian Dosa dalam Agama Hindu
Dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum kesucian yang
disabdakan Hyang Widhi Wasa. Dosa itu dapat terjadi pada kelahiran yang
terdahulu maupun pada kelahiran sekarang ini.28 Perbuatan dosa merupakan
sebab utama kesengsaraan manusia. Perbuatan dosa dilarang di dalam agama
karena mengandung bahaya bagi pelakunya, baik kesehatannya, akalnya atau
pekerjaannya. Perbuatan dosa dapat membahayakan masyarakat yang
mengakibatkan hilangnya nilai persatuan dan melahirkan keguncangan serta
keributan. Karena adanya perbuatan dosa, pasti akan mendatangkan marah
Tuhan. Kemudian Tuhan akan menurunkan siksaannya terhadap umat
manusia. Siksaan tersebut terkadang berupa bencana alam, seperti banjir,
kelaparan, angin topan dan gempa bumi. Kadang-kadang, siksaan itu berupa
revolusi berdarah sehingga mengakibatkan kehancuran total.
Dosa sebuah istilah yang berasal dari kalangan Hindu, dan telah lazim
dipakai oleh umat Islam yang berbahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari
sejumlah istilah dalam al-Qur'an, seperti ism, zanb, wizr, dan sebagainya.29
menurut agama Hindu, perbuatan, tingkah laku, sikap dan tutur kata yang
termasuk dalam dosa antara lain langgah, dura cara, durhaka, tresna dudu
dan sebagainya.
Langgah adalah melanggar hukum Tuhan. Dalam Sarasamuscaya
dikatakan: "orang yang tidak mempunyai kepercayaan kepada Hyang Widhi
Wasa dan Hukum-Nya, orang yang demikian itu tidaklah akan menemukan
27HM.Arifin, op. cit, hlm. 78 - 88 28J.G.K. Adia Wiratmadja, Bunga Rampai Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusta, Indonesia, 1987, hlm. 21 29Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,
Anggota IKAPI, Jakarta, 1992, hlm. 224
27
kebahagiaan tertinggi, melainkan akan senantiasa menanggung derita, yaitu
akan terus mengalami kelahiran kembali (punarbhawa).30
Dura cara ialah mengumbar hawa nafsu, misalnya mencuri, berzinah,
madat, berjudi dan sebagainya. Dalam kekawin Ramayana dikatakan: "musuh
itu tidak jauh letaknya dari diri kita, di hati kitalah ia letaknya
Manawa Dharmasastra XII, 7 menyebutkan: "mengambil barang yang
tidak diberikan orang, melukai makhluk dan melakukan zinah dengan istri
orang lain, dinyatakan sebagai tiga macam dosa dari tingkah laku.31
Durhaka/Durwaka adalah perbuatan jahat terhadap orang tua, guru,
baik dalam pikiran maupun hanya kata-kata saja. Dalam Sarasamuscaya
ditegaskan: "bila ada orang yang berkhianat terhadap ibu/bapak dengan
perbuatan dan pikiran, orang demikian perilakunya itu amat besarlah dosanya,
lebih besar dari pada berunaha (pengguguran kandungan).
Tresna dudu adalah cinta palsu, perbuatan suci yang tidak dilandasi
dengan kesucian, Tuhan menciptakan alam semesta ini dengan kasih-Nya,
maka itu kita harus memuliakan Hyang Widhi dengan senantiasa berbuat baik
dan suci. Dalam Manu Smrti dikatakan: " janganlah berkata kasar meskipun
benar, sebaliknya janganlah berkata lemah lembut, akan tetapi dusta". Jika
menghina dan marah hatinya orang yang melakukan yadnya, maka nista
namanya dan tidak akan membawa pahala yang baik kepadanya".32
D. Asal Usul Dosa
Agama Hindu mengajarkan, bahwa hakekat manusia adalah sama
dengan Brahman, sebab manusia adalah sebagian daripada Brahman atau
Brahman seutuhnya. Brahman ini menjelmakan diri di dalam perorangan atau
mengindividualisir dirinya sendiri. Oleh karena itu maka jiwa manusia pada
dirinya adalah murni dan bersih, tanpa cacat dan tanpa cela. Dosa disebabkan
karena benda, prakrti. Karena jiwa (atman atau purusa) bersekutu dengan
prakrti, maka jiwa manusia disilaukan, hingga tidak tahu bahwa dunia ini
30J.G.K. Adia Wiratmadja, op. cit, hlm. 21 31Ibid, hlm. 21 32Ibid, hlm, 22
28
adalah maya, semu saja. Prakrti sendiri telah mengandung di dalamnya nafsu-
nafsu, yang dihubungkan dengan indera manusia serta dengan unsur yang
bermacam-macam dari dunia ini. Karena persekutuannya dengan prakrti itulah
maka jiwa dijalinkan ke dalam banyak khayalan. Hal ini mengakibatkan,
bahwa tiap langkah yang dilakukan adalah salah.
Di dalam Weda telah dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia
mempunyai kesadaran akan dosa. Hidup mereka tidak luput dari pada dosa.
Dosa yang ditimbulkan oleh pikiran, dosa yang ditimbulkan oleh perkataan
atau kata-kata yang diucapkan dan dosa yang timbul karena perbuatan atau
tingkah laku yang dilakukan secara disengaja maupun dengan tak disengaja.
Semua itu mampu menimbulkan penderitaan yang menyiksa lahir dan bathin
manusia.
Karena perbuatan berdosa atau yang dirasakan berdosa itu
menyebabkan timbulnya hambatan bagi mereka untuk mendekatkan dirinya
kepada Tuhan. Semua tingkah laku yang dikerjakan, perkataan yang
diucapkan dan pikiran yang dipikirkan yang dirasakan mereka itu salah
menghambat mereka untuk dapat mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.
Tuhan yang Maha Suci hanya dapat didekati melalui kesucian. Untuk itu
badan dan bathin manusia harus suci (suddha).
Untuk mensucikan lahir dan bathin itu perlu upaya yang harus
dilakukan secara terus menerus. Upaya inilah yang dikenal dengan melakukan
tapa atau melakukan prayascitta, atau melakukan brata yaitu pengendalian atas
indria dan pikiran. Pikiran harus dikendalikan dan selalu diusahakan agar
berpikir baik. Demikian pula kata-kata yang diucapkan harus selalu baik.
Tidak yang menimbulkan orang tidak senang atau sakit hati karena kata-kata
yang demikian dianggap tidak baik. Oleh karena itu pengendalian atas kata-
kata adalah merupakan cara untuk mensucikan diri. Demikian pula mengenai
tingkah laku suci, yaitu tingkah laku yang baik dan yang terkendalikan.
Tapa adalah semacam cara pengendalian yang dilakukan dengan
keyakinan dan kesadaran. Bila dilakukan karena tidak disadari melainkan
dipaksakan oleh penguasa dalam negara, ini berarti penghukuman. Jadi
29
penghukuman adalah semacam tanpa yang dipaksakan oleh negara untuk
mengembalikan tingkah laku mereka supaya menjadi baik kembali, sesuai
menurut hukumnya.
Pada jaman dahulu, hukuman mutilasi sebagai akibat melakukan
perbuatan yang tergolong salah adalah biasa dilakukan. Tetapi dewasa ini
bentuk-bentuk hukuman yang lebih ringan, misalnya dengan hukuman
percobaan, hukuman kurungan, hukuman denda. dan sebagainya. Hukum yang
paling berat adalah hukuman mati dan pembuangan (selong) seumur hidup.33
Adapun Prayascitta, Brata dan Parisuddha, ketiga inilah tersebut
mempunyai arti yang sama pula dengan tapa dan fungsinya pun sama dengan
tapa. Hanya saja dalam banyak tulisan sering arti kata tapa itu diartikan secara
khusus yaitu dengan mengartikan bahwa tapa adalah Semacam perbuatan yang
dilakukan dengan sadar untuk mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi untuk
mensucikan jiwa raga. Dalam hal ini fungsinya sama saja. Tetapi dalam Kitab
Mahabharata, Arjuna pergi melakukan tapa dilukiskan senjata yang diperlukan
dalam memerangi lawannya. Cerita itu pada dasarnya bersifat simbolis tetapi
diartikan secara riil sehingga kata tapa berubah artinya dan fungsinyapun
akhirnya berubah pula.34
Dari penguraian mengenai fungsi tapa itu jelas tujuan tapa adalah
untuk pensucian lahir dan bathin. Yang terpenting adalah mengusahakan agar
supaya jiwa raga kita itu tetap suci sehingga dengan kesucian itu, seseorang
akan mampu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Agama Buddha mengajarkan, bahwa penderitaan manusia di dalam
dunia ini disebabkan oleh keinginan (trsna) atau kehausan (tanha), sedang
keinginan atau kehausan itu pada akhirnya disebabkan oleh awidya atau
ketidaktahuan. Yang dimaksud dengan ketidaktahuan atau awidya ini adalah
semacam ketidaktahuan yang kosmis, yang menjadikan manusia dikaburkan
pandangannya. Ketidaktahuan ini pertama-tama mengenai tabiat asasi alam
semesta ini, yang memiliki tiga ciri yang menyolok, yaitu bahwa alam semesta
33G. Pudja, Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi, Jilid 1, Jakarta: Mayasari, 1985, hlm. 94-95
34Ibid, hlm. 95.
30
adalah penuh dengan penderitaan (dukha), bahwa alam semesta adalah fana
(anitya) dan bahwa tiada jiwa di dalam dunia ini (anatman). Demikianlah
awidya menjadi sebab adanya dosa.35
Persoalan mengenai hal asal dosa, agaknya memang menarik sekali.
Banyak orang yang menanyakan hal ini, mungkin hal itu disebabkan karena
orang didorong oleh keinginan untuk mengetahui asal-usul dari hal yang
mengakibatkan segala kericuhan di dalam dunia ini. Akan tetapi biasanya di
belakang pertanyaan itu terkandung suatu gagasan, bahwa sekiranya segala
sesuatu diperintah oleh Tuhan, maka sebenarnya Tuhan sendirilah yang
menjadi asal kesengsaraan dan kericuhan dunia ini.
Oleh karena itu kita harus benar-benar berhati-hati, jikalau kita
membicarakan hal asal dosa. Pertanyaan mengenai asal dosa memang sukar
dijawab, bahkan dapat dikatakan, tidak mungkin dijawab oleh manusia,
siapapun dia. Maka sebenarnya kita tidak bisa menjawab pasti atas pertanyaan
yang mengenai asal dosa itu. Tidak ada seorangpun yang dapat menunjukkan
hubungan antara sebab dan akibat di dalam soal dosa ini, tanpa tersesat kepada
bahaya: membersihkan diri dan melontarkan segala tanggungjawab atas dosa
itu kepada Tuhan Allah.
E. Macam-Macam Dosa
Dalam agama Hindu dikenal istilah dosa besar dan dosa kecil, akan
tetapi rinciannya tidak selengkap agama Islam. Karena itu dalam Hindu,
uraian tentang macam-macam dosa lebih banyak menitik beratkan bahasan
pada seputar dosa dalam masalah-masalah yang sangat populer, di antaranya:
1. Pencurian
Perbuatan yang disebut pencurian itu adalah mengambil harta
benda orang lain tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemiliknya.36
Perbuatan itu merupakan pelanggaran etik dan merupakan perbuatan dosa,
karena mengakibatkan kerugian kepada orang lain. Perbuatan itu
35Hadiwijono, Iman Kristen, Gunung Agung, Jakarta, 1986, hlm. 226-227 36J.G.K. Adia Wiratmadja, Bunga Rampai Agama Hindu, Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat, Indonesia, 1987, hlm. 67
31
berlawanan dengan ajaran Tat twam asi dan Tri kaya parisudha. Hyang
Widhi Maha Kasih kepadaNya.
Kalau Hyang Widhi kasih kepada manusia dan manusia harus
kasih kepada sesama manusia, mengapa amat sering terjadi pencurian itu?
Sebab pencurian itu bermacam-macam. Pencurian dapat terjadi karena
orang yang mencuri itu tidak sradha kepada hukum karma, pahala, ia tidak
menaruh kasih kepada sesama manusia, malas bekerja, tetapi ingin hidup
enak (kerja enak hidup kepenak). Di samping itu sering pula pencurian itu
disebabkan oleh sifat loba, rakus. Pencurian dapat terjadi sebagai akibat
perubahan lain, yaitu perjudian. Kecuali disebabkan oleh bermacam-
macam faktor, penjabaran itu mempunyai bentuk yang berbeda-beda.
Dalam masyarakat agraris, pencurian itu pada umumnya berbentuk
pencurian ternak, pakaian, perhiasan, buah-buahan dan sebagainya. Dalam
dunia perdagangan, itu berupa tindakan pengurangan timbangan,
pengurangan ukuran, pemalsuan barang-barang dan sejenisnya. 37
Bentuk lain dari pada pencurian adalah menyalahgunakan jabatan
untuk kepentingan diri sendiri berupa pencurian waktu, misalnya harus
mulai dinas pukul 07.00 WIB, tetapi baru berangkat dari rumah pukul
08.00 WIB. Juga termasuk pencurian dalam kategori ini adalah tidak
mengerjakan pekerjaan sebagaimana mestinya. Pekerjaan bertumpuk,
tetapi di kantor hanya membaca surat kabar. Hal ini tidak saja merugikan
orang lain, akan tetapi juga merupakan pelanggaran etis (asusila).
Hukum karmapala mengatakan bahwa setiap pekerjaan, perbuatan
pasti akan mendapat imbalan/pahala, baik di dunia ini maupun di akherat
nantinya. Kitab Vrcasana menyebutkan bahwa pencurian itu harus
dihukum dan hukumannya tidak saja diberikan kepada pelaku utamanya,
akan tetapi mereka yang tersangkut kepada pencurian itu, baik langsung
maupun tidak langsung ada hubungan dengan pencurian itu. Jadi hukuman
harus diberikan kepada pelakunya sendiri, orang yang menyuruh mencuri,
orang yang melindungi pencuri, orang yang memberi makan kepada
37Ibid., hlm. 67
32
pencuri, orang yang memberikan tempat dan memberitahu caranya
mencuri. Hukuman itu tidak sama berat dan besarnya.38
2. Perjudian, Pertaruhan dan Sejenisnya
Permainan judi dan pertaruhan ini merupakan segala bentuk
permainan yang mempergunakan uang atau barang untuk mendapatkan
kemenangan dari lawannya, misalnya main dadu, main domino, ceki,
buntut dan sejenisnya. Perjudian itu semua orang berusaha untuk
mengalahkan lawannya sehingga ia mendapatkan kemenangan berupa
uang atau barang dari pihak yang dikalahkannya. Dilihat dari sudut etika
ekonomi, perjudian itu merupakan perbuatan etis dan dosa. Perjudian
dipandang sebagai pelanggaran terhadap etika ekonomi, karena ternyata
dalam masyarakat itu sangat merosot, ekonomi dan pembangunan
terganggu.
Permainan judi itu menyebabkan timbulnya sifat egois, keinginan
untuk memuaskan diri sendiri saja, artinya penjudi itu tidak memikirkan
anak istrinya, apakah anaknya makan, sekolah atau tidak. Orang tua
maupun muda yang sudah kecanduan main judi, kecanduan judi main
taruh dan sejenisnya, kehilangan terhadap hal-hal yang baik menurut
ukuran etis dan hal yang berfaedah. Perhatian mereka itu hanya bertumpah
kepada kemungkinan menang main judi dan merasa puas.
Permainan judi itu sering mengakibatkan pelanggaran terhadap
norma-norma yang berlaku dan sangat mengganggu pertumbuhan
ekonomi. Maka dari itu agama Hindu secara tegas melarang permainan
judi atau main taruh itu seperti ditandaskan dalam Rig-Weda X, 34, 13
sebagai berikut: "asair madewyah krsimit krsaswa wita ramaswa aryah"
artinya: "janganlah berjudi, kerjakanlah sawah ladangmu itu, cintailah dan
kerjakanlah dengan tekun, ingatlah kepada ternakmu dan istrimu.
Dengarkanlah petuah yang bernilai tinggi.39
38Ibid., hlm. 68 39Ibid., hlm. 68
33
3. Korupsi dan Penyuapan
Korupsi itu merupakan kejahatan besar dan merupakan musuh
yang berbahaya bagi pelakunya, bangsa dan negara. Dalam
Sarasamuccaya 304 dikatakan: "ikang wwang durbudi – maka musuh bagi
dirinya sendiri".
Penyuapan juga merupakan kejahatan dan perbuatan dosa (asusila).
Maka itu janganlah makan-makanan perempuan atau diberikan oleh
pencuri dan lintah darat. Apakah penyuapan itu? Penyuapan adalah
pemberian uang atau barang yang berharga kepada seseorang dengan
maksud agar orang-orang yang menerimanya itu melakukan sesuatu
dengan cara yang bertentangan dengan peraturan atau hukum dan Weda,
misalnya berusaha memberikan suap kepada pegawai tertentu untuk
mendapatkan tender atau menyuap penguji agar lulus dan sebagainya.
Penyuapan itu terjadi bila orang yang mau disuap itu tidak kuat imannya
(Sradhanya). 40
Korupsi dan penyuapan itu dipandang sebagai pelanggaran
terhadap dharma dan merupakan dosa ekonomi, sebab tindakan itu dapat
mengakibatkan ketidakadilan dan rusaknya peraturan atau hukum yang
berlaku. Penyuapan tidak saja merupakan percobaan untuk melakukan
tindakan adil, tidak juga merupakan perbuatan tidak jujur. Penyuapan dan
korupsi itu dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Penyuapan itu dapat terjadi apabila kedua belah pihak diliputi oleh sifat
loba, rakus, ditanggapi oleh kemerosotan moral dan krisis rasa tanggung
jawab. Korupsi dna penyuapan akan kecil kemungkinannya terjadi dalam
masyarakat yang sradhayam (beriman), masyarakat yang kuat imannya
dan selalu mengamalkan Pancasila dalam kehidupannya. Perluasan
pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila merupakan salah satu
sapu pembersih korupsi dna penyuapan. Pembersih lainnya yang amat
40Ibid., hlm. 69
34
penting artinya adalah usaha meningkatkan pembinaan dan pengamalan
ajaran agama serta menegakkan peraturan, norma-norma yang berlaku
disertai tindakan tegas terhadap pelakunya berupa hukuman barat.
4. Perampokan, Penodongan dan Sejenisnya
Kejahatan dengan kekerasan seperti perampokan, perkosaan, dan
sebagainya merupakan dosa ekonomi, karena hal itu mengakibatkan
kemerosotan produksi dan aktifitas perdagangan maka dari itu perkosaan
dna perampokan harus dihindari. Amat besar dosanya merencanakan
perkosaan dengan jalan membunuh. Karena itu dalam Isa Upanisad
dikatakan: "jangan menerima apa yang tidak baik dan jangan
menginginkan sesuatu dengan perbuatan tidak baik (asusila, asobha
karma). Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama, karena
kemudian orang dapat menolong dirinya dengan jalan berbuat baik. Bila
ada orang yang mendapatkan kesempatan menjelma menjadi manusia
ingkar akan pelaksanaan dharma, sebaliknya amat suka mengejar harta dan
kepuasan nafsu serta berhati tamak (merampok, menodong), orang itu
disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar. 41
5. Pemborosan
Pemborosan adalah penggunaan biaya, sarana dan waktu serta
tenaga yang efisien dan efektif. Kegiatan ekonomis segala sesuatu harus
dilakukan secara efisien dan efektif. Kepada pihak yang bersangkutan agar
mengadakan perencanaan, pengorganisasian, penggunaan tenaga dan
waktu dengan tepat disertai pengawasan yang ketat dan terorganisir.
Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk selalu hidup sederhana,
berencana dan berbuat serta hidup menurut kemampuan. Bhagawadgita
IV, 26 menegaskan sebagai berikut: " siapa yang sujud kepadaku dengan
persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan dan
seteguk air. Aku terima dengan bakti persembahan dari orang yang berhati
41Ibid., hlm. 69 - 70
35
suci". Faktor kesucian dan kebenaran itu sangat menentukan. Perbuatan
yang melampui batas kemampuan karena terdorong oleh nafsu ingin
berfoya-foya tanpa disertai pengertian, tidak saja merupakan dosa, tetapi
juga tidak memberikan kekhidmatan.42
F. Cara Penghapusan Dosa
Setiap manusia tidak lepas dari dosa, namun Tuhan memberi jalan
kepada manusia untuk menghapus dosa. Penghapusan dosa dapat dilakukan
dengan beberapa cara dan antara lain dapat dikemukakan seperti berikut:
Yadnya (yajna) ialah korban suci. Dosa dapat dilebur dengan
melaksanakan Pancayadnya, yaitu Dewa-Yadnya, Resi-Yadnya, Pitra-
Yadnya, Manusa-Yadnya dan Bhuta-Yadnya.43
Salah satu bagian yang merupakan aspek terakhir dalam unsur-unsur
keimanan (sraddha) dalam agama Hindu adalah yajna atau yajnya. Secara
populer istilah ini disebut rituil atau ritual. Pengertian yadnya yang
dipergunakan dalam bahasa sehari-hari dimaksudkan sebagai upacara
keagamaan yang sama artinya dengan samskara. Istilah yadnya, yang
diterjemahkan sebagai samskara, terdapat juga pengertian lain di mana kata
itu diterjemahkan atau diganti dengan istilah karman. Kata karman berarti
upacara keagamaan, yang di dalam bahasa Jawa Kuno ditulis krama, misalnya
dipergunakan dalam penulisan Wedaparikrama. Dengan dinyatakannya di
dalam Atharwa Weda, bahwa yadnya merupakan bagian dari dharma sehingga
merupakan unsur ajaran keimanan yang penting, maka menyebabkan ajaran
yadnya bukan sekedar ajaran formalistis, melainkan masalah ibadah yang
hukumnya adalah wajib.44
42Ibid., hlm. 70 43Adia Wiratmadja, Bunga RampaiAgama Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia
Pusta, Indonesia, 1987, hlm. 22 44Djam'annuri (editor), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah
Pengantar), Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 200, hlm. 55
36
Satyam. Dalam kitab suci disebutkan: "satyam na pramaditavyam,
yang artinya: "Janganlah melalaikan kebenaran". Manawa Dharmasastra XII,
83 menegaskan: "mempelajari Weda, melakukan tapa brata, tidak menyiksa
segala makhluk, memperhatikan pelajaran guru sewajarnya adalah cara yang
baik untuk mendapatkan anugerah Tuhan Yang Maha Esa". "Satyam asti paro
dharmah" yang artinya "kejujuran adalah kebijaksanaan yang tertinggi".45
Dharma. Dharma na pramaditavyam artinya: "menjalankan kewajiban
dengan baik. Menjelma menjadi manusia ini adalah untuk berbuat,
menjalankan tugas kewajiban dengan didasari dorongan untuk memperbaiki
karma, agar akhirnya mendapatkan kebahagiaan akhir yang disebut moksha.
Dharma umat Hindu yang utama ialah menjalankan Sila yaitu menjunjung
tinggi kesusilaan.46
Tapa atau pengendalian diri merupakan unsur keimanan yang kelima
dalam urut-urutannya menurut ketentuan Atharwa Weda XII. 1.1. Kata tapa
mempunyai arti penguasaan atas nafsu atau menjalani kehidupan suci. Untuk
dapat hidup baik atau suci, seseorang harus dapat menguasai dirinya sendiri.
Penguasaan terhadap diri sendiri adalah penguasaan atas panca indria dan
pikiran (manah).
Kehidupan beragama bertujuan untuk meningkatkan moral. Di dalam
kitab Yajur Weda XIX.30 dinyatakan bahwa kesucian (diksa) diperoleh karena
melakukan pengendalian indra (bratha). Adapun yang dimaksud dengan
bratha adalah bentuk dari tapa. Di dalam kitab Dharmasastra dijelaskan
bahwa seseorang yang melakukan perbuatan dosa berkewajiban untuk selalu
membersihkan diri. Membersihkan diri disebut dengan wisuddha atau
melakukan parisuddha dengan jalan melakukan tapa atau bratha. Jadi kata
tapa mempunyai pengertian luas menurut penggunaannya.47
45Adia Wiratmadja, op. cit, hlm. 22 46Ibid, hlm. 22 47Djam'annuri (edotor), op. cit, hlm. 54