bab ii kajian teori tentang gerakan keagamaan …...keagamaan yang baru dan tidak dapat dijawab oleh...

20
13 BAB II KAJIAN TEORI TENTANG GERAKAN KEAGAMAAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS DAN MOTIVASI KEAGAMAAN Pada bagian ini penulis akan mendeskripsikan secara teoritis tentang gerakan keagamaan melalui perpektif sosiologis yang akan diawali dengan memahami agama dalam konsep gerakan keagamaan, fungsi agama dan bagaimana gerakan keagamaan hadir ketika menurunnya fungsi agama. Selain itu penulis juga akan mendeskripsikan tentang gerakan keagamaan sebagai bagian dari gerakan sosial dan dua bagian penting dalam memahami kemunculan gerakan keagamaan yang diantaranya tindakan kolektif dan perilaku kolektif. Pada akhir bab ini penulis menggunakan teori Neil Smelser dalam menggambarkan gerakan keagamaan sebagai gerakan yang berorientasi pada nilai. Penulis juga akan mendeskripsikan tentang pemikiran dari Sigmund Freud tentang motivasi keagamaan sehingga menolong penulis untuk memahami motivasi setiap individu dalam keikutsertaannya pada suatu bentuk gerakan keagaamaan. 2.1 Agama dalam Konsep Gerakan Keagamaan Agama merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Agama meliputi berbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mengatur dari hal sederhana sampai pada hal yang kompleks. Agama menjadi filosofis hidup manusia dalam bertindak dalam kehidupannya. Agama yang mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dapat menjadi dasar dalam suatu pergerakan yang muncul dalam masyarakat.

Upload: others

Post on 10-Feb-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 13

    BAB II

    KAJIAN TEORI TENTANG GERAKAN KEAGAMAAN DALAM

    PERSPEKTIF SOSIOLOGIS DAN MOTIVASI KEAGAMAAN

    Pada bagian ini penulis akan mendeskripsikan secara teoritis tentang

    gerakan keagamaan melalui perpektif sosiologis yang akan diawali dengan

    memahami agama dalam konsep gerakan keagamaan, fungsi agama dan

    bagaimana gerakan keagamaan hadir ketika menurunnya fungsi agama. Selain

    itu penulis juga akan mendeskripsikan tentang gerakan keagamaan sebagai

    bagian dari gerakan sosial dan dua bagian penting dalam memahami

    kemunculan gerakan keagamaan yang diantaranya tindakan kolektif dan

    perilaku kolektif. Pada akhir bab ini penulis menggunakan teori Neil Smelser

    dalam menggambarkan gerakan keagamaan sebagai gerakan yang berorientasi

    pada nilai. Penulis juga akan mendeskripsikan tentang pemikiran dari Sigmund

    Freud tentang motivasi keagamaan sehingga menolong penulis untuk

    memahami motivasi setiap individu dalam keikutsertaannya pada suatu bentuk

    gerakan keagaamaan.

    2.1 Agama dalam Konsep Gerakan Keagamaan

    Agama merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Agama

    meliputi berbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial,

    dan budaya. Mengatur dari hal sederhana sampai pada hal yang kompleks.

    Agama menjadi filosofis hidup manusia dalam bertindak dalam kehidupannya.

    Agama yang mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dapat

    menjadi dasar dalam suatu pergerakan yang muncul dalam masyarakat.

  • 14

    Perubahan zaman yang semakin hari kian pesat dengan membawa berbagai

    dampak pada kehidupan yang mulai menjauh dari nilai-nilai agama memicu

    bermunculannya gerakan sosial dengan basis agama untuk melakukan

    pembaharuan. Fenomena kemunculan gerakan keagamaan yang ingin

    memisahkan diri dari agama-agama arus utama, menjadi sebuah tantangan

    tersendiri bagi keberlangsungan agama itu sendiri. Bagi agama-agama arus

    utama kehadiran gerakan keagamaan justru menjadi ancaman bagi keberadaan

    mereka. Dari sini dapat dilihat bahwa eksistensi agama menjadi faktor penting

    kemunculan gerakan-gerakan keagamaan.

    Saliba mendeskripsikan lima fungsi utama agama dan juga termaksud fungsi

    dari suatu gerakan keagamaan yakni;14

    a. Fungsi Eksplanatori

    Agama menyediakan eksplanasi, interpretasi dan rasionalisasi dalam

    banyak segi kehidupan. Di sinilah gerakan keagamaan muncul ketika

    adanya kemunduran dalam pendirian dogmatis di mana disaat yang

    sama kemajuan ilmu pengetahuan membawa persoalan moral dan

    keagamaan yang baru dan tidak dapat dijawab oleh agama arus utama.

    Gerakan keagamaan menyediakan jawaban yang secara keagamaan

    terlegitimasi terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

    b. Fungsi Emosional

    Agama memberikan identitas, sekuritas dan keteguhan hati kepada

    seseorang untuk dapat menghadapi setiap persoalan hidup yang dialami

    14 John Saliba, Understanding New Religious…., 146-148

  • 15

    yaitu mereduksi, melepaskan, menghilangkan kekuatiran, ketakutan,

    ketegangan serta stres dan menolong setiap individu untuk

    menanggulangi persoalan tersebut dengan keteguhan dan keyakinan.

    Gerakan keagamaan berfungsi ketika agama tidak lagi dapat memenuhi

    kebutuhan emosional ini.

    c. Fungsi Sosial

    Agama dinilai menjadi kekuatan integrasi, suatu ikatan yang

    mempersatukan yang memberi kontribusi terhadap stabilitas sosial dan

    kontrol sosial dan berkontribusi terhadap preservasi pengetahuan.

    Gerakan keagamaan muncul ketika agama tidak memenuhi fungsi sosial

    khususnya di zaman di mana ikatan-ikatan keagamaan, sosial dan

    kekerabatan menjadi renggang. Gerakan keagamaan menyediakan gaya

    hidup bersama dalam suatu budaya secara komunal dan menjadi norma.

    Gerakan-gerakan keagamaan baru menciptakan sistem-sistem ide

    tentang ikatan-ikatan yang diperluas di dalam suatu masyarakat di mana

    bahkan keluarga inti sedang memperlihatkan tanda-tanda melemah atau

    hancur. Gerakan-gerakan keagamaan baru selanjutnya mengajukan

    sebuah situasi masa depan yang ideal ketika hubungan antara agama

    dengan masyarakat akan menjadi lebih harmonis. Namun dari perspektif

    yang lain, gerakan-gerakan keagamaan mendorong perkembangan

    konflik dengan masyarakat dan antara anggota-anggota keluarga dan

    dapat dinilai menjadi disfungsional.

  • 16

    d. Fungsi Validasi

    Agama juga berfungsi untuk memvalidasi (mengesahkan) nilai-nilai

    kultural. Keyakinan dan praktek-praktek keagamaan menyokong

    sanksi-sanksi moral dan spiritual, lembaga-lembaga utama, nilai-nilai,

    dan aspirasi dalam suatu masyarakat. Agama menanamkan norma-

    norma sosial dan etis, agama menjustifikasi, mendorong, dan

    mengimplementasi asumsi-asumsi ideologis seseorang dan cara hidup.

    Aplikabilitas fungsi-fungsi ini terhadap gerakan-gerakan keagamaan

    baru mungkin masih perlu diverifikasi. Bergabung dengan sebuah

    gerakan keagamaan mengindikasikan sebuah pemutusan dengan nilai-

    nilai keagamaan dan budaya tradisional. Gerakan-gerakan keagamaan

    menyuguhkan suatu penilaian negatif terhadap gaya hidup sebelumnya

    dari anggota-anggotanya. Namun pada saat yang sama ia memberikan

    pada ideologi baru dan perilaku ritual dukungan dari otoritas karismatik

    dan revelatori dan mengesahkan penanggalan agama sebelumnya dari

    anggota-anggotanya.

    e. Fungsi Adaptif

    Para antropolog mengamati bahwa ada sebuah hubungan yang pasti

    antara agama dengan lingkungan fisik dan sosial. Beberapa pakar

    mengatakan bahwa melalui agama manusia dapat menyesuaikan diri

    dengan lingkungan fisik dan sosial dan memanfaatkannya untuk

    memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Agama – dalam pandangan ini –

    dilihat sebagai alat untuk “survive” dan dapat lebih baik dipahami

  • 17

    berkenaan dengan proses-proses adaptif. Pendekatan ini telah

    diterapkan untuk menunjukan berapa banyak ritual (seperti divinasi dan

    totemisme) yang ditemukan di dalam agama-agama dan orang-orang

    yang tuna aksara ternyata memiliki relevansi ekologis. Pendekatan ini

    juga dipakai untuk menjelaskan kepercayaan dan nilai-nilai di dalam

    beberapa agama besar, semisal perilaku ritual Hindu dan perlakuan

    terhadap lembu telah ditafsirkan sebagai sebuah perkembangan yang

    menguntungkan secara ekologis yang telah berkontribusi terhadap

    adaptasi dan keberlangsungan hidup masyarakat di India. Dalam hal

    inilah gerakan-gerakan keagamaan baru dapat menjadi cara dengan

    mana manusia bisa beradaptasi dengan lingkungan sosio kultural.

    Dari kelima fungsi di atas dapat dilihat bahwa semakin menurunnya

    fungsi agama dalam kehidupan setiap individu-individu maupun dalam

    kehidupan sosial masyarakat maka gerakan keagamaan hadir.

    2.2 Gerakan Keagamaan

    Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian dari gerakan sosial.

    Artinya bahwa perilaku-perilaku kolektif keagamaan dapat dikelompokan dan

    dianalisis dalam kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku

    sosial.15 Artinya di dalam memahami tentang pengertian dari gerakan

    keagamaan kita perlu terlebih dahulu melihat secara sosiologi pengertian

    tentang gerakan sosial.

    15 Lorne L Dawson (ed), Cults and New Religious Movement (Malden MA; Balckwell Publishing ltd2003), 5

  • 18

    Dalam ilmu sosial berbicara tentang gerakan berarti suatu aktifitas atau

    kegiatan di mana adanya interaksi antara manusia dengan manusia yang lain.

    Garner mendefenisikan bahwa gerakan adalah suatu respon inidividu atau

    seseorang terhadap seseorang yang lain. Gerakan tidak terpisahkan atau

    terkotak-kotak dalam interaksi terhadap ‘sesuatu’ tetapi melibatkan pikiran

    manusia dan tindakan dalan interaksi tersebut.16

    Dalam kamus sosiologi, gerakan sosial merupakan istilah yang

    mencakup tindakan sosial dengan tujuan melakukan reorganisasi sosial.

    Tujuan dari gerakan sosial dalam pengertian sangat luas diantaranya

    menggulingkan suatu pemerintahan dan yang sempit seperti membersihkan

    lingkungan sekitar. Suatu bentuk tindakan sosial dari agen yang berinteraksi

    satu dengan yang lain dalam suatu grup, kelompok atau dalam komunitas.17

    Dengan tujuan melakukan sebuah perubahan sosial.

    Nottingham menyebutkan bahwa gerakan keagamaan merupakan

    setiap usaha yang terorganisir untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi

    baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Agama-agama besar dunia yaitu,

    Budha, Kristen dan Islam dapat dianggap sebagai hasil dari gerakan

    keagamaan. Demikian pula gerakan-gerakan keagamaan berkembang dalam

    kerangka agama-agama yang sudah mapan.18 Gerakan keagamaan juga sangat

    dipengaruhi oleh kepribadian dari pendirinya. Pandangannya terhadap bidang

    16 Herbert Blumer, Collective Behavior, in Alfred McClung Lee (ed), New Outlineof The Principles of Sosiology (New York: Barners & Nobles 1951), 8 17 Nicholas Albercrombie, (et,al). Sosiology of Dictionary (England : Penguin Perss 1984) 18 Lorne L Dawson (ed), Cults and New Religiou…, 36

  • 19

    keagamaannya mempunyai daya tarik yang sangat kuat, mengikat. Sifat yan

    penting ini yang disebut dengan kharismatik.

    Menurut Saliba kecendrungan dari suatu gerakan keagamaan adalah

    mengatur dengan jelas batas-batas yang menandai setiap anggotanya dengan

    kaum elit terpilih. Anggota dalam kelompok ini terikat bukan oleh warisan

    budaya atau tradisi tetapi lebih kepada kesadaran diri dan komitmen yang

    sungguh. Pencarian pada sebuah kebenaran dan pengalaman keagamaan telah

    menempatkan mereka pada sebuah pencapaian cita-cita akan sebuah agama

    baru. Para anggota ini mendedikasikan diri pada sebuah otoritas sakral yang

    terwujud dalam diri seorang pemimpin kharismatik yang mendiktekan doktrin

    dari gerakan dan untuk menentukan gaya hidupnya.19 Individu-individu

    pertama-tama terdorong untuk bergabung dalam gerakan ini oleh karena

    hubungan-hubungan yang telah ada antara sesama anggota ketimbang daya

    tarik ideologinya.

    Beberapa teori tentang gerakan keagamaan dalam pendekatan Sabila

    yang diapakai penulis untuk memahami kemunculan gerakan-gerakan

    keagamaan baru.20

    1) Rodney Stark dan William Sims Bainbridge merumuskan dalam

    bahasa sosiologis “When religion becomes too securalized one can

    expect new religious group to come into being” yang melihat

    gerakan-gerakan keagamaan sebagai kebangkitan keagamaan dan

    19 John Saliba, Understanding New Religious….,143 20 John Saliba, Understanding New Religious…., 151-152

  • 20

    spiritual yang asli. Gerakan-gerakan keagamaan muncul dapat

    muncul dan terjadi kapanpun ketika agama-agama tradisional

    kehilangan vitalitas yang original.

    2) Bryan Wilson yang mengatakan bahwa kemunculan gerakan

    keagamaan sebagai indikasi dari sebuah pendakalan agama dan

    bukan suatu kebangkitan agama asli. Gerakan keagamaan hadir

    disaat adanya dampak dari sebuah proses sekularisasi terhadap

    agama-agama yang sudah ada.

    3) Marvin Harris, gerakan keagamaan adalah sebuah pencarian

    kekuasaan, kesejahteraan material ketimbang nilai-nilai

    transcendental dan spiritual.

    4) Robert Wuthnow gerakan keagamaan sebagai bentuk agama

    eksperimen. Artinya dalam sebuah masyarakat yang menekankan

    kebebasan dan menghargai sebuah pengalaman individu sebagian

    besar orang tertarik oleh gerakan-gerakan keagamaan bahkan dalam

    bentuk keagamaan yang baru. Sifat eksperimental ini sebagai akibat

    dari hilangnya ikatan-ikatan kekeluargaan.

    5) Pendekatan lain memandang bahwa perubahan kontemporer terjadi

    begitu cepat dan telah mencabut orang-orang dari tambatan

    (mooring) parental dan kultural. Dunia sedang berada dalam kondisi

    krisis kultural. Orang merasa tersesat dan tidak aman di dalam

    sebuah dunia sehingga mempersoalkan semua nilai-nilai dan norma-

    norma absolut dan menjadi begitu impersonal dan utilitarian.

  • 21

    Gerakan-gerakan keagamaan baru memberi dorongan dan

    keteguhan hati dan kepastian kepada orang-orang yang ditimpa oleh

    kebingungan moral dan keagamaan dan yang berada di dalam

    kondisi anomi.

    Contoh dalam tradisi reformatoris adalah gerakan Pietisme. Gerakan

    Pietisme merupakan gerakan yang muncul dan menjadi populer dalam Gereja

    Lutheran. Kelompok-kelompok ini merupakan kumpulan orang-orang yang

    hidup saleh. Pietisme lahir sebagai sebuah reaksi terhadap ortodoksi dalam

    kehidupan gereja. Para pengikut gerakan ini merasa kecewa dengan pelayanan

    fiman yang ada di Gereja Lutheran ataupun di gereja-gereja Calvinis karena

    pelayanan firman di dalam gereja yang bersifat intelektual. Selain itu gerakan

    ini muncul juga karena kekecewaan terhadap kehidupan kristiani yang telah

    dipengaruhi oleh kehidupan duniawi. Untuk mencapai tujuan mereka, kaum

    Pietis menekankan pada beberapa hal yaitu: (1) iman yang berpusat pada

    Alkitab dan bukan pada ajaran gereja, (2) pengalaman khas dalam kehidupan

    kristiani (rasa berdosa, pengampunan, pertobatan, kesucian dan kasih dalam

    persekutuan) (3) pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian

    dan semangat menginjili.21

    2.3 Gerakan Keagamaan sebagai Tipe Khusus Gerakan Sosial

    Para sosiolog klasik berpendapat bahwa agama adalah bagian dari

    struktur sosial masyarakat. Dalam pemikiran mereka dinamika keagamaan

    21 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) 147

  • 22

    adalah bagian dari fenomena sosial. Oleh karena itu gerakan-gerakan

    keagamaan dapat dipandang sebagai tipe khusus dari gerakan-gerakan sosial.

    Pada bagian ini penulis menggunakan kajian teoritis secara sosiologis

    dalam mendeskripsikan dan menganalisis apa itu gerakan keagamaan sebagai

    gerakan sosial. Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian dari

    gerakan sosial. Bagi para sosiolog keberhasilan sebuah gerakan-gerakan

    keagamaan baru sangat ditentukan oleh gagasan-gagasan, individu, organisasi

    yang terhubung satu dengan yang lain dalam sebuah perilaku kolektif, serta

    proses yang di dalamnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan dan gagasan

    yang berkembang menjadi suatu tindakan kolektif.22 Artinya bahwa perilaku-

    perilaku kolektif keagamaan dapat dikelompokan dan dianalisis dalam

    kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku sosial. Dengan kata

    lain ada sistem nilai-nilai baru dari suatu perilaku kolektif yang melahirkan

    sebuah gerakan sosial keagamaan. Sistem nilai yang dimaksud diantaranya

    adalah nilai-nilai, norma, ide, individu-individu, kegiatan-kegiatan dan

    organisasi yang terhubung satu dengan yang lain di dalam proses perilaku

    kolektif tersebut.23

    Smelser telah berusaha untuk membedakan tipe perilaku kolektif yang

    mencakup perilaku yang bersifat keagamaan sebagai satu model tindakan. Ia

    selanjutnya mendefinisikan gerakan keagamaan sebagai gerakan yang

    22 Bryan Wilson & Jamie Creswell (ed), New Religious Movement; Challenge and Response (London& New York; Routledge, 1999), 1-12 23 Donatella Della Porta & Mario Diani, Social movements; An Introduction (Malden MA;Balckwell Publishing 2006)

  • 23

    berorientasi nilai. Artinya gerakan-gerakan keagamaan yang ada sekarang ini

    sebaiknya dipandang sebagai gerakan sosial yang berorientasi nilai.24

    Selain Smelser, di dalam proses globalisasi Alberto Meluci juga

    mengembangkan sebuah teori perilaku kolektif yang disebutnya sebagai teori

    tindakan kolektif. Meluci lebih memperhatikan kosntruksi identitas kolektif di

    tengah transformasi budaya oleh karena perkembangan dari sistem teknologi

    komunikasi. Menurut Meluci gerakan-gerakan sosial memberikan kesempatan

    kepada orang-orang untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam

    mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan pribadi.

    Clarke dalam penjelasan sosiologisnya mengemukakan munculnya

    gerakan keagamaan baru disebabkan penafsiran masyarakat agama sebagai

    respon atas krisis identitas, makna moral dan pergolakan budaya yang

    mendalam untuk membawa tentang perubahan sosial yang cepat. Gerakan-

    gerakan keagamaan baru “New Religious Movement” memperlihatkan

    perkembangannya pada abad ke-20. Gerakan keagamaan baru adalah cara-cara

    pemujaan di mana banyak di antaranya bukan merupakan pemisahan

    sekretarian dari agama-agama yang ada, tetapi gerakan-gerakan yang diilhami

    oleh individu kharismatik tertentu atau sekumpulan ajaran dari suatu latar

    religius kultural yang diambil dari bagian agama-agama dan kepercayaan-

    kepercayaan.25

    24 Bryan Wilson: Magic and the Millenium: A Sociological Study of Religious Movements of Protest among Tribal and Third-World Peoples. By Tony Tampake. (Salatiga; UKSW 2014), 2 25 Pieter Clarke, New Religion in Global Perspective. (London & New York; Routledge,2006), 12

  • 24

    Dalam mendiskusikan secara teoritis tentang gerakan keagamaan

    sebagai bagian dari gerakan sosial penulis juga akan mendeskripsikan dua hal

    penting yakni tindakan sosial dan perilaku kolektif yang menjadi bagian

    penting dalam memahami gerakan keagamaan.

    2.4 Tindakan Sosial dari Suatu Gerakan Keagamaan

    Weber mencirikan empat tipe tindakan dasar yaitu: pertama, tindakan

    yang secara instrumental berorientasi pada rasionalitas sarana-tujuan atau

    tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam

    lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai

    syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan

    rasional. Kedua, tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh

    keyakinan secara sadar terhadap nilai etika, keindahan dan agama yang

    terlepas dari prospek keberhasilannya. Tujuan-tujuannya sudah ada dalam

    hubungan dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan

    nilai akhir baginya. Nilai akhir biasanya bersifat nonrasional dalam hal ini

    orang-orang tidak memperhitungkan tujuan mana yang harus mereka pilih.

    Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari tindakan ini. Orang-orang yang

    beragama menilai bahwa pengalaman bersama dengan Allah merupakan nilai

    akhir dan individu akan menggunakan alat-alat seperti meditasi, upacara

    keagamaan sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman religius.26 Ketiga,

    tindakan sosial yang berorientasi afektif emosional yang ditentukan oleh

    kondisi perasaan emosional sang aktor. Keempat, tindakan sosial tradisional

    26 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Pt. Gramedia, 1988) 220

  • 25

    yang ditentukan oleh cara bertindak sang aktor yang biasa dan lazim

    dilakukan.27

    Menurut Talcot Parson, sebuah tindakan sosial selalu melibatkan

    aktor, tujuan tindakan itu diarahkan, situasi yang mencakup ketentuan dan

    sarana untuk tindakan dan norma untuk pengarahan tindakan tersebut.28

    Smelser membagi dalam empat bagian utama dalam memahami

    tindakan sosial. Pertama, nilai-nilai (values) yang memberi panduan pada

    perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai adalah bagian yang paling umum

    dari tindakan sosial dan ditemukan dalam sebuah sistem nilai, bagian kedua

    adalah norma (norms) yang mengatur pencapaian suatu tujuan dari perilaku

    sosial. Norma adalah penegasan dari suatu penerapan nilai, lebih spesifik

    daripada nilai karena menentukan prinsip aturan jika ingin mewujudkan nilai-

    nilai. Bagian ketiga adalah mobilisasi individu-individu dalam meraih nilai-

    nilai dari tujuan setiap tindakan sosial berdasarkan norma atau aturan-aturan.

    Bagian ini sangat ditentukan oleh siapa yang menjadi agen berdasarkan peran

    yang terstruktur dan terorganisasi sehingga dapat dihargai atas partisipasinya

    di dalam organisasi untuk mencapai dan mewujudkan tujuan akhir atau nilai-

    nilai yang diharapkan. Bagian keempat adalah ketersediaan fasilitas

    fungsional yang dipakai oleh aktor untuk ketiga hal di atas yang mencakup

    pengetahuan akan lingkungan, kemampuan untuk memperkirakan akibat dari

    27 George Ritzer & Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi; Dari Teori Sosiologi Klasik sampai

    Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, edisi terbaru.(Bantul:Kreasi Wacana, 2011),

    137 28 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstuksi Identitas Pasca Konflik Poso, (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2014) 41.

  • 26

    tindakan. Bagian ini melibatkan cara-cara untuk menfasilitasi dan halangan-

    halangan yang menghalangi pencapaian dari tujuan-tujuan yang konkrit

    dalam konteks peran dan organisasi.29

    Berdasarkan perspektif di atas maka yang menjadi pertanyaan adalah

    dalam setiap analisis terhadap tindakan sosial dalam gerakan keagamaan

    adalah apa yang menjadi nilai dalam melegitimasi setiap tindakan sosial

    secara umum, pada jenis apa norma-norma dari tindakan sosial itu

    terkoordinasikan, dengan cara apa tindakan sosial itu tersusun ke dalam

    berbagai peran atau organisasi-organisasi dan seperti apa fasilitas-fasilitas

    situasional yang tersedia bagi ketiga bagian sebelumnya. Menurut Smelser,

    hubungan antara keempat bagian dari tindakan sosial ini harus dipahami

    secara hirarkis. Artinya ketika ada perubahan terhadap nilai maka akan

    membawa perubahan pada norma, organisasi dan fasilitas.30

    2.5 Perilaku Kolektif Gerakan Keagamaan

    Gerakan keagamaan adalah merupakan perilaku kolektif yang

    melahirkan suatu tindakan sosial dalam bentuk aktifitas-aktifitas keagamaan,

    atau dengan kata lain perilaku kolektif mendorong orang untuk melakukan

    tindakan sosial dalam bentuk aktifitas-aktifitas maupun dari berbagai kegiatan-

    kegiatan keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma yang

    terkandung dari ajaran dan dogma dari agama tersebut.

    29 Neil Smelser, Theory of Collective Behaviour (New York; The Free Press, 1962), 25 30 Smelser, Theory of Collective…, 33

  • 27

    Konsep tentang perilaku kolektif yang pertama kali dikembangkan oleh

    Neil Smelser adalah suatu mobilisasi sosial yang berbasiskan kepercayaan

    dalam mengartikan kembali suatu tindakan sosial. Hal ini berbeda dengan

    perilaku konfensional yang adalah hasil dari harapan yang sudah mapan.31

    Teori perilaku kolektif Smelser dibangun atas dua kontruksi yaitu

    kontruksi komponen tindakan sosial untuk menggambarkan dan

    mengelompokan tindakan sosial dan kontruksi proses pertambahan nilai yang

    adalah cara untuk mengatur faktor-faktor penentu di dalam model-model

    eksplanasi.32

    Dalam memahami dan menganalisis perilaku kolektif tidak jauh

    berbeda dengan konsep tentang perilaku sosial. Smelser membagi dalam empat

    komponen penting yang sama dalam memahami tentang perilaku sosial yaitu

    nilai-nilai (values), sebagai panduan terhadap suatu perilaku sosial, nilai-nilai

    ini adalah komponen yang paling umum dengan tujuan akhir yang diharapkan.

    Norma-norma (norms) sebagai aturan dalam sebuah pencapaian dari sebuah

    perilaku sosial. Norma dibuat untuk menegakan penerapan nilai-nilai yang

    disepakati bersama. Pengerahan (mobilization) yaitu motivasi individu dalam

    suatu tindakan yang terorganisir dalam peran secara kolektif untuk meraih

    tujuan berdasarkan norma dan regulasi. Fasilitas-fasilitas situasional seperti

    informasi, ketrampilan, alat-alat dan hambatan dalam mencapai tujuan yang

    konkret.33

    31 Smelser, Theory of Collective…, 42 32 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial…., 46 33 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior..,9

  • 28

    Keempat komponen dari perilaku kolektif di atas dibedakan dalam empat

    tipologi yakni:

    1. Gerakan berorientasi nilai (the value-oriented movement), adalah

    tindakan kolektif yang dilakukan karena suatu interakasi dengan

    sebuah keyakinan umum (generalized belief) untuk menyusun

    kembali kembali nilai-nilai dalam tindakan sosial. Contoh dari

    gerakan ini dalam bentuk seperti persekutuan-persekutuan doa.

    2. Gerakan berorientasi norma (the norm-oriented movement), adalah

    tindakan kolektif yang dibentuk dari sebuah keyakinan umum untuk

    menyusun kembali norma-norma dalam tindakan sosial.

    3. Ledakan permusuhan (the hostile outburst), adalah tindakan kolektif

    yang dikerahkan di atas dasar keyakinan umum untuk meminta

    tanggung jawab dari agen-agen atas keadaan yang tidak diinginkan.

    Contoh: Demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian masa dalam

    memprotes pemerintah.

    4. Panik (the craze and panic), adalah bentuk-bentuk perilaku kolektif

    yang didasarkan pada redefinisi fasilitas situasional bersama.34

    Proposisi utama Smelser menyatakan bahwa orang-orang berada di

    bawah situasi atau kondisi ketegangan memobilisir untuk menyusun kembali

    tata sosial demi sebuah keyakinan umum. Smelser mengakui bahwa proposisi

    ini sangat umum dan tidak cukup menolong untuk menafsirkan data-data

    aktual ledakan kolektif. Maka untuk membuatnya lebih spesifik Smelser

    34 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior.. , 9

  • 29

    mengidentifikasi sejumlah jenis keyakinan umum yang berbeda dan kemudian

    mempersoalkan untuk setiap keyakinan, di bawah kondisi apa orang akan

    mengembangkan keyakinan itu dan bertindak di atasnya. Misalnya gerakan

    keagaman berorientasi nilai, di bawah kondisi kondusifitas apa orang-orang

    akan mengembangkan nilai-nilai agama dan bertindak di atasnya? Pertanyaan

    inilah yang membuat proposisi utama Smelser dapat diimplikasikan secara

    metodologis untuk memahami tipe-tipe, level-level, dan kualitas-kualitas

    perilaku kolektif di dalam masyarakat.35

    2.6 Gerakan Keagamaan yang Berorientasi Nilai

    Menurut Talcot Parson, sebuah tindakan sosial selalu melibatkan

    aktor, tujuan tindakan itu diarahkan, situasi yang mencakup ketentuan dan

    sarana untuk tindakan dan norma untuk pengarahan tindakan tersebut.36

    Berdasarkan Weber dan Talcot, Neil Smelser mengembangkan tindakan

    sosial ke dalam empat kaitan yaitu tindakan sosial yang selalu diarahkan

    kepada pencapaian tujuan, terjadi dalam situasi sosial dan melibatkan

    motivasi. Berdasarkan hal ini Smelser menyebutkan empat bagian utama dari

    tindakan sosial yaitu nilai yang menjadi panduan dari perilaku sosial. Nilai

    menjadi komponen utama dari tindakan sosial yang ditemukan dalam sistem

    nilai yang menyatakan tujuan akhir. Bagian kedua adalah norma-norma.

    Norma adalah aturan yang menegaskan terapan nilai-nilai umum. Norma

    sangat menentukan prinsip regulatif untuk mewujudkan situasi yang ada.

    35 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior.., 385 36Tampake, Redefinisi Tindakan….... 41

  • 30

    Bagian ketiga adalah mobilisasi individu dalam meraih nilai-nilai sebagai

    tujuan tindakan berdasarkan norma-norma. Bagian ini berkaitan dengan agen

    utama dalam mewujudkan nilai-nilai yang diharapkan. Bagian keempat

    adalah fasilitas situasional. Fasilitas yang dipakai oleh aktor adalah

    pengetahuan akan lingkungan, prediksi hasil dari tindakan dan alat-alat serta

    keterampilan. Bagian ini menunjuk pada pengetahuan aktor untuk

    mempengaruhi lingkungannya.37

    Suatu gerakan berorientasi nilai sebagai sebuah perilaku kolektif akan

    terjadi jika ada kondisi-kondisi kondusifitas dan kondisi-kondisi ketegangan

    yang cocok, dan jika ada sebuah keyakinan akan nilai keagamaan yang

    berkembang, dan jika terjadi mobilisasi tindakan, dan akhirnya jika kontrol

    sosial gagal beroperasi. Melalui proses pertambahan nilai inilah gerakan

    berorientasi nilai sebagai sebuah perilaku kolektif terjadi.

    Munculnya sebuah gerakan berorientasi nilai menurut Smelser karena

    tidak tersedianya cara alternatif dalam menyusun kembali sebuah situasi

    sosial. Ada tiga aspek utama dalam memahami ketidaktersediaan di atas.

    Pertama, adanya kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil (aggrieved)

    dengan tidak adanya fasilitas dalam menyusun kembali sebuah situasi sosial.

    Kedua, suatu kelompok yang diperlakukan kurang adil dengan dilarang atau

    dicegah untuk dapat mengekspresikan rasa dan ketidakpuasan mereka pada

    orang atau kelompok yang bertanggung jawab terhadap suatu keadaan.

    Ketiga, kelompok yang diperlakukan kurang adil dengan tidak dapat

    37 Tampake, Redefinisi Tindakan……. 42-43

  • 31

    memodifikasi suatu struktur normatif yang mempengaruhi mereka untuk

    dapat memiliki kuasa dalam melakukan hal tersebut.38

    Gerakan berorientasi nilai adalah suatu upaya secara kolektif untuk

    merestorasi, memproteksi, memodifikasi atau untuk menciptakan nilai-nlai

    demi sebuah kepercayaan umum yang melibatkan semua unsur dari suatu

    tindakan yaitu rekontruksi nilai-nilai, redefenisi norma dan reorganisasi

    motivasi individu.39 Kepercayaan-kepercayaan yang berorintasi pada nilai

    dapat terbentuk oleh item-item kultural pribumi atau yang diimpor dari

    budaya luar atau terbentuk oleh sinkritisme. Kepercayaan ini melibatkan

    restorasi nilai masa lampau, pelestarian nilai terkini, penciptaan nilai baru

    untuk masa depan atau pencampuran dari hal-hal di atas.40 Kepercayaan

    berorientasi nilai juga dapat terbentuk oleh adanya seorang pemimpin yang

    menjadi simbol dari kepercayan tersebut. Munculnya gerakan-gerakan

    keagamaan berdasarkan kontruksi pertambahan nilai dimulai ketika agama

    menjadi kepentingan dominan.

    Karakter utama dari gerakan keagamaan berorietasi nilai adalah

    mobilisasi tindakan demi terwujudnya regenerasi suatu masyarakat.

    Keduanya melibatkan kepercayaan yang dimiliki sebagai sebuah komponen

    untuk menyusun kembali komponen-komponen tindakan sosial. Mobilisasi

    perilaku kolektif yang berbasis pada tindakan sosial berdasarkan kepercayaan

    keagamaan seringkali berhubungan dengan perubahan sosial yang menyentuh

    38 Tony Tampake, Redefenisi…., 62 39 Smelser, Theory of Collective …,313 40 Smelser, Theory of Collective …., 314

  • 32

    pada aspek nilai-nilai dasar kehidupan sosial. Itulah sebabnya gerakan-

    gerakan kegamaan juga merupakan gerakan sosial yang berorientasi nilai.