bab ii kajian teori tentang gerakan keagamaan …...keagamaan yang baru dan tidak dapat dijawab oleh...
TRANSCRIPT
-
13
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG GERAKAN KEAGAMAAN DALAM
PERSPEKTIF SOSIOLOGIS DAN MOTIVASI KEAGAMAAN
Pada bagian ini penulis akan mendeskripsikan secara teoritis tentang
gerakan keagamaan melalui perpektif sosiologis yang akan diawali dengan
memahami agama dalam konsep gerakan keagamaan, fungsi agama dan
bagaimana gerakan keagamaan hadir ketika menurunnya fungsi agama. Selain
itu penulis juga akan mendeskripsikan tentang gerakan keagamaan sebagai
bagian dari gerakan sosial dan dua bagian penting dalam memahami
kemunculan gerakan keagamaan yang diantaranya tindakan kolektif dan
perilaku kolektif. Pada akhir bab ini penulis menggunakan teori Neil Smelser
dalam menggambarkan gerakan keagamaan sebagai gerakan yang berorientasi
pada nilai. Penulis juga akan mendeskripsikan tentang pemikiran dari Sigmund
Freud tentang motivasi keagamaan sehingga menolong penulis untuk
memahami motivasi setiap individu dalam keikutsertaannya pada suatu bentuk
gerakan keagaamaan.
2.1 Agama dalam Konsep Gerakan Keagamaan
Agama merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Agama
meliputi berbagai bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial,
dan budaya. Mengatur dari hal sederhana sampai pada hal yang kompleks.
Agama menjadi filosofis hidup manusia dalam bertindak dalam kehidupannya.
Agama yang mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dapat
menjadi dasar dalam suatu pergerakan yang muncul dalam masyarakat.
-
14
Perubahan zaman yang semakin hari kian pesat dengan membawa berbagai
dampak pada kehidupan yang mulai menjauh dari nilai-nilai agama memicu
bermunculannya gerakan sosial dengan basis agama untuk melakukan
pembaharuan. Fenomena kemunculan gerakan keagamaan yang ingin
memisahkan diri dari agama-agama arus utama, menjadi sebuah tantangan
tersendiri bagi keberlangsungan agama itu sendiri. Bagi agama-agama arus
utama kehadiran gerakan keagamaan justru menjadi ancaman bagi keberadaan
mereka. Dari sini dapat dilihat bahwa eksistensi agama menjadi faktor penting
kemunculan gerakan-gerakan keagamaan.
Saliba mendeskripsikan lima fungsi utama agama dan juga termaksud fungsi
dari suatu gerakan keagamaan yakni;14
a. Fungsi Eksplanatori
Agama menyediakan eksplanasi, interpretasi dan rasionalisasi dalam
banyak segi kehidupan. Di sinilah gerakan keagamaan muncul ketika
adanya kemunduran dalam pendirian dogmatis di mana disaat yang
sama kemajuan ilmu pengetahuan membawa persoalan moral dan
keagamaan yang baru dan tidak dapat dijawab oleh agama arus utama.
Gerakan keagamaan menyediakan jawaban yang secara keagamaan
terlegitimasi terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
b. Fungsi Emosional
Agama memberikan identitas, sekuritas dan keteguhan hati kepada
seseorang untuk dapat menghadapi setiap persoalan hidup yang dialami
14 John Saliba, Understanding New Religious…., 146-148
-
15
yaitu mereduksi, melepaskan, menghilangkan kekuatiran, ketakutan,
ketegangan serta stres dan menolong setiap individu untuk
menanggulangi persoalan tersebut dengan keteguhan dan keyakinan.
Gerakan keagamaan berfungsi ketika agama tidak lagi dapat memenuhi
kebutuhan emosional ini.
c. Fungsi Sosial
Agama dinilai menjadi kekuatan integrasi, suatu ikatan yang
mempersatukan yang memberi kontribusi terhadap stabilitas sosial dan
kontrol sosial dan berkontribusi terhadap preservasi pengetahuan.
Gerakan keagamaan muncul ketika agama tidak memenuhi fungsi sosial
khususnya di zaman di mana ikatan-ikatan keagamaan, sosial dan
kekerabatan menjadi renggang. Gerakan keagamaan menyediakan gaya
hidup bersama dalam suatu budaya secara komunal dan menjadi norma.
Gerakan-gerakan keagamaan baru menciptakan sistem-sistem ide
tentang ikatan-ikatan yang diperluas di dalam suatu masyarakat di mana
bahkan keluarga inti sedang memperlihatkan tanda-tanda melemah atau
hancur. Gerakan-gerakan keagamaan baru selanjutnya mengajukan
sebuah situasi masa depan yang ideal ketika hubungan antara agama
dengan masyarakat akan menjadi lebih harmonis. Namun dari perspektif
yang lain, gerakan-gerakan keagamaan mendorong perkembangan
konflik dengan masyarakat dan antara anggota-anggota keluarga dan
dapat dinilai menjadi disfungsional.
-
16
d. Fungsi Validasi
Agama juga berfungsi untuk memvalidasi (mengesahkan) nilai-nilai
kultural. Keyakinan dan praktek-praktek keagamaan menyokong
sanksi-sanksi moral dan spiritual, lembaga-lembaga utama, nilai-nilai,
dan aspirasi dalam suatu masyarakat. Agama menanamkan norma-
norma sosial dan etis, agama menjustifikasi, mendorong, dan
mengimplementasi asumsi-asumsi ideologis seseorang dan cara hidup.
Aplikabilitas fungsi-fungsi ini terhadap gerakan-gerakan keagamaan
baru mungkin masih perlu diverifikasi. Bergabung dengan sebuah
gerakan keagamaan mengindikasikan sebuah pemutusan dengan nilai-
nilai keagamaan dan budaya tradisional. Gerakan-gerakan keagamaan
menyuguhkan suatu penilaian negatif terhadap gaya hidup sebelumnya
dari anggota-anggotanya. Namun pada saat yang sama ia memberikan
pada ideologi baru dan perilaku ritual dukungan dari otoritas karismatik
dan revelatori dan mengesahkan penanggalan agama sebelumnya dari
anggota-anggotanya.
e. Fungsi Adaptif
Para antropolog mengamati bahwa ada sebuah hubungan yang pasti
antara agama dengan lingkungan fisik dan sosial. Beberapa pakar
mengatakan bahwa melalui agama manusia dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan fisik dan sosial dan memanfaatkannya untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Agama – dalam pandangan ini –
dilihat sebagai alat untuk “survive” dan dapat lebih baik dipahami
-
17
berkenaan dengan proses-proses adaptif. Pendekatan ini telah
diterapkan untuk menunjukan berapa banyak ritual (seperti divinasi dan
totemisme) yang ditemukan di dalam agama-agama dan orang-orang
yang tuna aksara ternyata memiliki relevansi ekologis. Pendekatan ini
juga dipakai untuk menjelaskan kepercayaan dan nilai-nilai di dalam
beberapa agama besar, semisal perilaku ritual Hindu dan perlakuan
terhadap lembu telah ditafsirkan sebagai sebuah perkembangan yang
menguntungkan secara ekologis yang telah berkontribusi terhadap
adaptasi dan keberlangsungan hidup masyarakat di India. Dalam hal
inilah gerakan-gerakan keagamaan baru dapat menjadi cara dengan
mana manusia bisa beradaptasi dengan lingkungan sosio kultural.
Dari kelima fungsi di atas dapat dilihat bahwa semakin menurunnya
fungsi agama dalam kehidupan setiap individu-individu maupun dalam
kehidupan sosial masyarakat maka gerakan keagamaan hadir.
2.2 Gerakan Keagamaan
Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian dari gerakan sosial.
Artinya bahwa perilaku-perilaku kolektif keagamaan dapat dikelompokan dan
dianalisis dalam kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku
sosial.15 Artinya di dalam memahami tentang pengertian dari gerakan
keagamaan kita perlu terlebih dahulu melihat secara sosiologi pengertian
tentang gerakan sosial.
15 Lorne L Dawson (ed), Cults and New Religious Movement (Malden MA; Balckwell Publishing ltd2003), 5
-
18
Dalam ilmu sosial berbicara tentang gerakan berarti suatu aktifitas atau
kegiatan di mana adanya interaksi antara manusia dengan manusia yang lain.
Garner mendefenisikan bahwa gerakan adalah suatu respon inidividu atau
seseorang terhadap seseorang yang lain. Gerakan tidak terpisahkan atau
terkotak-kotak dalam interaksi terhadap ‘sesuatu’ tetapi melibatkan pikiran
manusia dan tindakan dalan interaksi tersebut.16
Dalam kamus sosiologi, gerakan sosial merupakan istilah yang
mencakup tindakan sosial dengan tujuan melakukan reorganisasi sosial.
Tujuan dari gerakan sosial dalam pengertian sangat luas diantaranya
menggulingkan suatu pemerintahan dan yang sempit seperti membersihkan
lingkungan sekitar. Suatu bentuk tindakan sosial dari agen yang berinteraksi
satu dengan yang lain dalam suatu grup, kelompok atau dalam komunitas.17
Dengan tujuan melakukan sebuah perubahan sosial.
Nottingham menyebutkan bahwa gerakan keagamaan merupakan
setiap usaha yang terorganisir untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi
baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Agama-agama besar dunia yaitu,
Budha, Kristen dan Islam dapat dianggap sebagai hasil dari gerakan
keagamaan. Demikian pula gerakan-gerakan keagamaan berkembang dalam
kerangka agama-agama yang sudah mapan.18 Gerakan keagamaan juga sangat
dipengaruhi oleh kepribadian dari pendirinya. Pandangannya terhadap bidang
16 Herbert Blumer, Collective Behavior, in Alfred McClung Lee (ed), New Outlineof The Principles of Sosiology (New York: Barners & Nobles 1951), 8 17 Nicholas Albercrombie, (et,al). Sosiology of Dictionary (England : Penguin Perss 1984) 18 Lorne L Dawson (ed), Cults and New Religiou…, 36
-
19
keagamaannya mempunyai daya tarik yang sangat kuat, mengikat. Sifat yan
penting ini yang disebut dengan kharismatik.
Menurut Saliba kecendrungan dari suatu gerakan keagamaan adalah
mengatur dengan jelas batas-batas yang menandai setiap anggotanya dengan
kaum elit terpilih. Anggota dalam kelompok ini terikat bukan oleh warisan
budaya atau tradisi tetapi lebih kepada kesadaran diri dan komitmen yang
sungguh. Pencarian pada sebuah kebenaran dan pengalaman keagamaan telah
menempatkan mereka pada sebuah pencapaian cita-cita akan sebuah agama
baru. Para anggota ini mendedikasikan diri pada sebuah otoritas sakral yang
terwujud dalam diri seorang pemimpin kharismatik yang mendiktekan doktrin
dari gerakan dan untuk menentukan gaya hidupnya.19 Individu-individu
pertama-tama terdorong untuk bergabung dalam gerakan ini oleh karena
hubungan-hubungan yang telah ada antara sesama anggota ketimbang daya
tarik ideologinya.
Beberapa teori tentang gerakan keagamaan dalam pendekatan Sabila
yang diapakai penulis untuk memahami kemunculan gerakan-gerakan
keagamaan baru.20
1) Rodney Stark dan William Sims Bainbridge merumuskan dalam
bahasa sosiologis “When religion becomes too securalized one can
expect new religious group to come into being” yang melihat
gerakan-gerakan keagamaan sebagai kebangkitan keagamaan dan
19 John Saliba, Understanding New Religious….,143 20 John Saliba, Understanding New Religious…., 151-152
-
20
spiritual yang asli. Gerakan-gerakan keagamaan muncul dapat
muncul dan terjadi kapanpun ketika agama-agama tradisional
kehilangan vitalitas yang original.
2) Bryan Wilson yang mengatakan bahwa kemunculan gerakan
keagamaan sebagai indikasi dari sebuah pendakalan agama dan
bukan suatu kebangkitan agama asli. Gerakan keagamaan hadir
disaat adanya dampak dari sebuah proses sekularisasi terhadap
agama-agama yang sudah ada.
3) Marvin Harris, gerakan keagamaan adalah sebuah pencarian
kekuasaan, kesejahteraan material ketimbang nilai-nilai
transcendental dan spiritual.
4) Robert Wuthnow gerakan keagamaan sebagai bentuk agama
eksperimen. Artinya dalam sebuah masyarakat yang menekankan
kebebasan dan menghargai sebuah pengalaman individu sebagian
besar orang tertarik oleh gerakan-gerakan keagamaan bahkan dalam
bentuk keagamaan yang baru. Sifat eksperimental ini sebagai akibat
dari hilangnya ikatan-ikatan kekeluargaan.
5) Pendekatan lain memandang bahwa perubahan kontemporer terjadi
begitu cepat dan telah mencabut orang-orang dari tambatan
(mooring) parental dan kultural. Dunia sedang berada dalam kondisi
krisis kultural. Orang merasa tersesat dan tidak aman di dalam
sebuah dunia sehingga mempersoalkan semua nilai-nilai dan norma-
norma absolut dan menjadi begitu impersonal dan utilitarian.
-
21
Gerakan-gerakan keagamaan baru memberi dorongan dan
keteguhan hati dan kepastian kepada orang-orang yang ditimpa oleh
kebingungan moral dan keagamaan dan yang berada di dalam
kondisi anomi.
Contoh dalam tradisi reformatoris adalah gerakan Pietisme. Gerakan
Pietisme merupakan gerakan yang muncul dan menjadi populer dalam Gereja
Lutheran. Kelompok-kelompok ini merupakan kumpulan orang-orang yang
hidup saleh. Pietisme lahir sebagai sebuah reaksi terhadap ortodoksi dalam
kehidupan gereja. Para pengikut gerakan ini merasa kecewa dengan pelayanan
fiman yang ada di Gereja Lutheran ataupun di gereja-gereja Calvinis karena
pelayanan firman di dalam gereja yang bersifat intelektual. Selain itu gerakan
ini muncul juga karena kekecewaan terhadap kehidupan kristiani yang telah
dipengaruhi oleh kehidupan duniawi. Untuk mencapai tujuan mereka, kaum
Pietis menekankan pada beberapa hal yaitu: (1) iman yang berpusat pada
Alkitab dan bukan pada ajaran gereja, (2) pengalaman khas dalam kehidupan
kristiani (rasa berdosa, pengampunan, pertobatan, kesucian dan kasih dalam
persekutuan) (3) pengungkapan iman secara bebas melalui nyanyian, kesaksian
dan semangat menginjili.21
2.3 Gerakan Keagamaan sebagai Tipe Khusus Gerakan Sosial
Para sosiolog klasik berpendapat bahwa agama adalah bagian dari
struktur sosial masyarakat. Dalam pemikiran mereka dinamika keagamaan
21 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995) 147
-
22
adalah bagian dari fenomena sosial. Oleh karena itu gerakan-gerakan
keagamaan dapat dipandang sebagai tipe khusus dari gerakan-gerakan sosial.
Pada bagian ini penulis menggunakan kajian teoritis secara sosiologis
dalam mendeskripsikan dan menganalisis apa itu gerakan keagamaan sebagai
gerakan sosial. Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian dari
gerakan sosial. Bagi para sosiolog keberhasilan sebuah gerakan-gerakan
keagamaan baru sangat ditentukan oleh gagasan-gagasan, individu, organisasi
yang terhubung satu dengan yang lain dalam sebuah perilaku kolektif, serta
proses yang di dalamnya nilai-nilai, kepentingan-kepentingan dan gagasan
yang berkembang menjadi suatu tindakan kolektif.22 Artinya bahwa perilaku-
perilaku kolektif keagamaan dapat dikelompokan dan dianalisis dalam
kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku sosial. Dengan kata
lain ada sistem nilai-nilai baru dari suatu perilaku kolektif yang melahirkan
sebuah gerakan sosial keagamaan. Sistem nilai yang dimaksud diantaranya
adalah nilai-nilai, norma, ide, individu-individu, kegiatan-kegiatan dan
organisasi yang terhubung satu dengan yang lain di dalam proses perilaku
kolektif tersebut.23
Smelser telah berusaha untuk membedakan tipe perilaku kolektif yang
mencakup perilaku yang bersifat keagamaan sebagai satu model tindakan. Ia
selanjutnya mendefinisikan gerakan keagamaan sebagai gerakan yang
22 Bryan Wilson & Jamie Creswell (ed), New Religious Movement; Challenge and Response (London& New York; Routledge, 1999), 1-12 23 Donatella Della Porta & Mario Diani, Social movements; An Introduction (Malden MA;Balckwell Publishing 2006)
-
23
berorientasi nilai. Artinya gerakan-gerakan keagamaan yang ada sekarang ini
sebaiknya dipandang sebagai gerakan sosial yang berorientasi nilai.24
Selain Smelser, di dalam proses globalisasi Alberto Meluci juga
mengembangkan sebuah teori perilaku kolektif yang disebutnya sebagai teori
tindakan kolektif. Meluci lebih memperhatikan kosntruksi identitas kolektif di
tengah transformasi budaya oleh karena perkembangan dari sistem teknologi
komunikasi. Menurut Meluci gerakan-gerakan sosial memberikan kesempatan
kepada orang-orang untuk memperoleh kembali hak-hak individual dalam
mendefinisikan identitas mereka dan menentukan kehidupan pribadi.
Clarke dalam penjelasan sosiologisnya mengemukakan munculnya
gerakan keagamaan baru disebabkan penafsiran masyarakat agama sebagai
respon atas krisis identitas, makna moral dan pergolakan budaya yang
mendalam untuk membawa tentang perubahan sosial yang cepat. Gerakan-
gerakan keagamaan baru “New Religious Movement” memperlihatkan
perkembangannya pada abad ke-20. Gerakan keagamaan baru adalah cara-cara
pemujaan di mana banyak di antaranya bukan merupakan pemisahan
sekretarian dari agama-agama yang ada, tetapi gerakan-gerakan yang diilhami
oleh individu kharismatik tertentu atau sekumpulan ajaran dari suatu latar
religius kultural yang diambil dari bagian agama-agama dan kepercayaan-
kepercayaan.25
24 Bryan Wilson: Magic and the Millenium: A Sociological Study of Religious Movements of Protest among Tribal and Third-World Peoples. By Tony Tampake. (Salatiga; UKSW 2014), 2 25 Pieter Clarke, New Religion in Global Perspective. (London & New York; Routledge,2006), 12
-
24
Dalam mendiskusikan secara teoritis tentang gerakan keagamaan
sebagai bagian dari gerakan sosial penulis juga akan mendeskripsikan dua hal
penting yakni tindakan sosial dan perilaku kolektif yang menjadi bagian
penting dalam memahami gerakan keagamaan.
2.4 Tindakan Sosial dari Suatu Gerakan Keagamaan
Weber mencirikan empat tipe tindakan dasar yaitu: pertama, tindakan
yang secara instrumental berorientasi pada rasionalitas sarana-tujuan atau
tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam
lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai
syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan
rasional. Kedua, tindakan sosial yang berorientasi nilai yang ditentukan oleh
keyakinan secara sadar terhadap nilai etika, keindahan dan agama yang
terlepas dari prospek keberhasilannya. Tujuan-tujuannya sudah ada dalam
hubungan dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan
nilai akhir baginya. Nilai akhir biasanya bersifat nonrasional dalam hal ini
orang-orang tidak memperhitungkan tujuan mana yang harus mereka pilih.
Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari tindakan ini. Orang-orang yang
beragama menilai bahwa pengalaman bersama dengan Allah merupakan nilai
akhir dan individu akan menggunakan alat-alat seperti meditasi, upacara
keagamaan sebagai alat untuk mendapatkan pengalaman religius.26 Ketiga,
tindakan sosial yang berorientasi afektif emosional yang ditentukan oleh
kondisi perasaan emosional sang aktor. Keempat, tindakan sosial tradisional
26 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Pt. Gramedia, 1988) 220
-
25
yang ditentukan oleh cara bertindak sang aktor yang biasa dan lazim
dilakukan.27
Menurut Talcot Parson, sebuah tindakan sosial selalu melibatkan
aktor, tujuan tindakan itu diarahkan, situasi yang mencakup ketentuan dan
sarana untuk tindakan dan norma untuk pengarahan tindakan tersebut.28
Smelser membagi dalam empat bagian utama dalam memahami
tindakan sosial. Pertama, nilai-nilai (values) yang memberi panduan pada
perilaku sosial yang disengaja. Nilai-nilai adalah bagian yang paling umum
dari tindakan sosial dan ditemukan dalam sebuah sistem nilai, bagian kedua
adalah norma (norms) yang mengatur pencapaian suatu tujuan dari perilaku
sosial. Norma adalah penegasan dari suatu penerapan nilai, lebih spesifik
daripada nilai karena menentukan prinsip aturan jika ingin mewujudkan nilai-
nilai. Bagian ketiga adalah mobilisasi individu-individu dalam meraih nilai-
nilai dari tujuan setiap tindakan sosial berdasarkan norma atau aturan-aturan.
Bagian ini sangat ditentukan oleh siapa yang menjadi agen berdasarkan peran
yang terstruktur dan terorganisasi sehingga dapat dihargai atas partisipasinya
di dalam organisasi untuk mencapai dan mewujudkan tujuan akhir atau nilai-
nilai yang diharapkan. Bagian keempat adalah ketersediaan fasilitas
fungsional yang dipakai oleh aktor untuk ketiga hal di atas yang mencakup
pengetahuan akan lingkungan, kemampuan untuk memperkirakan akibat dari
27 George Ritzer & Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi; Dari Teori Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, edisi terbaru.(Bantul:Kreasi Wacana, 2011),
137 28 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstuksi Identitas Pasca Konflik Poso, (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2014) 41.
-
26
tindakan. Bagian ini melibatkan cara-cara untuk menfasilitasi dan halangan-
halangan yang menghalangi pencapaian dari tujuan-tujuan yang konkrit
dalam konteks peran dan organisasi.29
Berdasarkan perspektif di atas maka yang menjadi pertanyaan adalah
dalam setiap analisis terhadap tindakan sosial dalam gerakan keagamaan
adalah apa yang menjadi nilai dalam melegitimasi setiap tindakan sosial
secara umum, pada jenis apa norma-norma dari tindakan sosial itu
terkoordinasikan, dengan cara apa tindakan sosial itu tersusun ke dalam
berbagai peran atau organisasi-organisasi dan seperti apa fasilitas-fasilitas
situasional yang tersedia bagi ketiga bagian sebelumnya. Menurut Smelser,
hubungan antara keempat bagian dari tindakan sosial ini harus dipahami
secara hirarkis. Artinya ketika ada perubahan terhadap nilai maka akan
membawa perubahan pada norma, organisasi dan fasilitas.30
2.5 Perilaku Kolektif Gerakan Keagamaan
Gerakan keagamaan adalah merupakan perilaku kolektif yang
melahirkan suatu tindakan sosial dalam bentuk aktifitas-aktifitas keagamaan,
atau dengan kata lain perilaku kolektif mendorong orang untuk melakukan
tindakan sosial dalam bentuk aktifitas-aktifitas maupun dari berbagai kegiatan-
kegiatan keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai dan norma yang
terkandung dari ajaran dan dogma dari agama tersebut.
29 Neil Smelser, Theory of Collective Behaviour (New York; The Free Press, 1962), 25 30 Smelser, Theory of Collective…, 33
-
27
Konsep tentang perilaku kolektif yang pertama kali dikembangkan oleh
Neil Smelser adalah suatu mobilisasi sosial yang berbasiskan kepercayaan
dalam mengartikan kembali suatu tindakan sosial. Hal ini berbeda dengan
perilaku konfensional yang adalah hasil dari harapan yang sudah mapan.31
Teori perilaku kolektif Smelser dibangun atas dua kontruksi yaitu
kontruksi komponen tindakan sosial untuk menggambarkan dan
mengelompokan tindakan sosial dan kontruksi proses pertambahan nilai yang
adalah cara untuk mengatur faktor-faktor penentu di dalam model-model
eksplanasi.32
Dalam memahami dan menganalisis perilaku kolektif tidak jauh
berbeda dengan konsep tentang perilaku sosial. Smelser membagi dalam empat
komponen penting yang sama dalam memahami tentang perilaku sosial yaitu
nilai-nilai (values), sebagai panduan terhadap suatu perilaku sosial, nilai-nilai
ini adalah komponen yang paling umum dengan tujuan akhir yang diharapkan.
Norma-norma (norms) sebagai aturan dalam sebuah pencapaian dari sebuah
perilaku sosial. Norma dibuat untuk menegakan penerapan nilai-nilai yang
disepakati bersama. Pengerahan (mobilization) yaitu motivasi individu dalam
suatu tindakan yang terorganisir dalam peran secara kolektif untuk meraih
tujuan berdasarkan norma dan regulasi. Fasilitas-fasilitas situasional seperti
informasi, ketrampilan, alat-alat dan hambatan dalam mencapai tujuan yang
konkret.33
31 Smelser, Theory of Collective…, 42 32 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial…., 46 33 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior..,9
-
28
Keempat komponen dari perilaku kolektif di atas dibedakan dalam empat
tipologi yakni:
1. Gerakan berorientasi nilai (the value-oriented movement), adalah
tindakan kolektif yang dilakukan karena suatu interakasi dengan
sebuah keyakinan umum (generalized belief) untuk menyusun
kembali kembali nilai-nilai dalam tindakan sosial. Contoh dari
gerakan ini dalam bentuk seperti persekutuan-persekutuan doa.
2. Gerakan berorientasi norma (the norm-oriented movement), adalah
tindakan kolektif yang dibentuk dari sebuah keyakinan umum untuk
menyusun kembali norma-norma dalam tindakan sosial.
3. Ledakan permusuhan (the hostile outburst), adalah tindakan kolektif
yang dikerahkan di atas dasar keyakinan umum untuk meminta
tanggung jawab dari agen-agen atas keadaan yang tidak diinginkan.
Contoh: Demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian masa dalam
memprotes pemerintah.
4. Panik (the craze and panic), adalah bentuk-bentuk perilaku kolektif
yang didasarkan pada redefinisi fasilitas situasional bersama.34
Proposisi utama Smelser menyatakan bahwa orang-orang berada di
bawah situasi atau kondisi ketegangan memobilisir untuk menyusun kembali
tata sosial demi sebuah keyakinan umum. Smelser mengakui bahwa proposisi
ini sangat umum dan tidak cukup menolong untuk menafsirkan data-data
aktual ledakan kolektif. Maka untuk membuatnya lebih spesifik Smelser
34 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior.. , 9
-
29
mengidentifikasi sejumlah jenis keyakinan umum yang berbeda dan kemudian
mempersoalkan untuk setiap keyakinan, di bawah kondisi apa orang akan
mengembangkan keyakinan itu dan bertindak di atasnya. Misalnya gerakan
keagaman berorientasi nilai, di bawah kondisi kondusifitas apa orang-orang
akan mengembangkan nilai-nilai agama dan bertindak di atasnya? Pertanyaan
inilah yang membuat proposisi utama Smelser dapat diimplikasikan secara
metodologis untuk memahami tipe-tipe, level-level, dan kualitas-kualitas
perilaku kolektif di dalam masyarakat.35
2.6 Gerakan Keagamaan yang Berorientasi Nilai
Menurut Talcot Parson, sebuah tindakan sosial selalu melibatkan
aktor, tujuan tindakan itu diarahkan, situasi yang mencakup ketentuan dan
sarana untuk tindakan dan norma untuk pengarahan tindakan tersebut.36
Berdasarkan Weber dan Talcot, Neil Smelser mengembangkan tindakan
sosial ke dalam empat kaitan yaitu tindakan sosial yang selalu diarahkan
kepada pencapaian tujuan, terjadi dalam situasi sosial dan melibatkan
motivasi. Berdasarkan hal ini Smelser menyebutkan empat bagian utama dari
tindakan sosial yaitu nilai yang menjadi panduan dari perilaku sosial. Nilai
menjadi komponen utama dari tindakan sosial yang ditemukan dalam sistem
nilai yang menyatakan tujuan akhir. Bagian kedua adalah norma-norma.
Norma adalah aturan yang menegaskan terapan nilai-nilai umum. Norma
sangat menentukan prinsip regulatif untuk mewujudkan situasi yang ada.
35 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior.., 385 36Tampake, Redefinisi Tindakan….... 41
-
30
Bagian ketiga adalah mobilisasi individu dalam meraih nilai-nilai sebagai
tujuan tindakan berdasarkan norma-norma. Bagian ini berkaitan dengan agen
utama dalam mewujudkan nilai-nilai yang diharapkan. Bagian keempat
adalah fasilitas situasional. Fasilitas yang dipakai oleh aktor adalah
pengetahuan akan lingkungan, prediksi hasil dari tindakan dan alat-alat serta
keterampilan. Bagian ini menunjuk pada pengetahuan aktor untuk
mempengaruhi lingkungannya.37
Suatu gerakan berorientasi nilai sebagai sebuah perilaku kolektif akan
terjadi jika ada kondisi-kondisi kondusifitas dan kondisi-kondisi ketegangan
yang cocok, dan jika ada sebuah keyakinan akan nilai keagamaan yang
berkembang, dan jika terjadi mobilisasi tindakan, dan akhirnya jika kontrol
sosial gagal beroperasi. Melalui proses pertambahan nilai inilah gerakan
berorientasi nilai sebagai sebuah perilaku kolektif terjadi.
Munculnya sebuah gerakan berorientasi nilai menurut Smelser karena
tidak tersedianya cara alternatif dalam menyusun kembali sebuah situasi
sosial. Ada tiga aspek utama dalam memahami ketidaktersediaan di atas.
Pertama, adanya kelompok yang merasa diperlakukan kurang adil (aggrieved)
dengan tidak adanya fasilitas dalam menyusun kembali sebuah situasi sosial.
Kedua, suatu kelompok yang diperlakukan kurang adil dengan dilarang atau
dicegah untuk dapat mengekspresikan rasa dan ketidakpuasan mereka pada
orang atau kelompok yang bertanggung jawab terhadap suatu keadaan.
Ketiga, kelompok yang diperlakukan kurang adil dengan tidak dapat
37 Tampake, Redefinisi Tindakan……. 42-43
-
31
memodifikasi suatu struktur normatif yang mempengaruhi mereka untuk
dapat memiliki kuasa dalam melakukan hal tersebut.38
Gerakan berorientasi nilai adalah suatu upaya secara kolektif untuk
merestorasi, memproteksi, memodifikasi atau untuk menciptakan nilai-nlai
demi sebuah kepercayaan umum yang melibatkan semua unsur dari suatu
tindakan yaitu rekontruksi nilai-nilai, redefenisi norma dan reorganisasi
motivasi individu.39 Kepercayaan-kepercayaan yang berorintasi pada nilai
dapat terbentuk oleh item-item kultural pribumi atau yang diimpor dari
budaya luar atau terbentuk oleh sinkritisme. Kepercayaan ini melibatkan
restorasi nilai masa lampau, pelestarian nilai terkini, penciptaan nilai baru
untuk masa depan atau pencampuran dari hal-hal di atas.40 Kepercayaan
berorientasi nilai juga dapat terbentuk oleh adanya seorang pemimpin yang
menjadi simbol dari kepercayan tersebut. Munculnya gerakan-gerakan
keagamaan berdasarkan kontruksi pertambahan nilai dimulai ketika agama
menjadi kepentingan dominan.
Karakter utama dari gerakan keagamaan berorietasi nilai adalah
mobilisasi tindakan demi terwujudnya regenerasi suatu masyarakat.
Keduanya melibatkan kepercayaan yang dimiliki sebagai sebuah komponen
untuk menyusun kembali komponen-komponen tindakan sosial. Mobilisasi
perilaku kolektif yang berbasis pada tindakan sosial berdasarkan kepercayaan
keagamaan seringkali berhubungan dengan perubahan sosial yang menyentuh
38 Tony Tampake, Redefenisi…., 62 39 Smelser, Theory of Collective …,313 40 Smelser, Theory of Collective …., 314
-
32
pada aspek nilai-nilai dasar kehidupan sosial. Itulah sebabnya gerakan-
gerakan kegamaan juga merupakan gerakan sosial yang berorientasi nilai.