bab ii kajian teori a. kajian pustaka 1.digilib.uinsby.ac.id/8934/5/bab 2.pdf · perisai, dan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Pustaka
1. Definisi Perilaku Sosial
Perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis seseorang
terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau
orang lain yang sesuai dengan tuntutan social.1
Macam-macam perilaku sosial menurut Sarlito2 dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Perilaku sosial (social behavior).
Yang dimaksud perilaku sosial adalah perilaku ini tumbuh dari
orang-orang yang ada pada masa kecilnya mendapatkan cukup
kepuasan akan kebutuhan inklusinya. Ia tidak mempunyai masalah
dalam hubungan antar pribadi mereka bersama orang lain pada
situasi dan kondisinya. Ia bisa sangat berpartisipasi, tetapi bisa
juga tidak ikut-ikutan, ia bisa melibatkan diri pada orang lain, bisa
juga tidak, secara tidak disadari ia merasa dirinya berharga dan
bahwa orang lain pun mengerti akan hal itu tanpa ia menonjolkan-
nonjolkan diri. Dengan sendirinya orang lain akan melibatkan dia
dalam aktifitas-aktifitas mereka.
b. Perilaku yang kurang sosial (under social behavior).
1 Hurlock, B. Elizabeth. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga,hal 262
2 Sarwono Wirawan Sarlito. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta P.T Grafindo Persada,hal: 150
Timbul jika kebutuhan akan inklusi kurang terpenuhi,
misalnya: sering tidak diacuhkan oleh keluarga semasa kecilnya.
Kecenderungannya orang ini akan menghindari hubungan orang
lain, tidak mau ikut dalam kelompok-kelompok, menjaga jarak
antara dirinya dengan orang lain, tidak mau tahu, acuh tak acuh.
Pendek kata, ada kecenderungan introvert dan menarik diri. Bentuk
tingkah laku yang lebih ringan adalah: terlambat dalam pertemuan
atau tidak datang sama sekali, atau tertidur di ruang diskusi dan
sebagainya. Kecemasan yang ada dalam ketidak sadarannya adalah
bahwa ia seorang yang tidak berharga dan tidak ada orang lain yang
mau menghargainya.
c. Perilaku terlalu sosial (over social behavior).
Psikodinamikanya sama dengan perilaku kurang sosial,
yaitu disebabkan kurang inklusi. Tetapi pernyataan perilakunya
sangat berlawanan. Orang yang terlalu sosial cenderung
memamerkan diri berlebih-lebihan (exhibitonistik). Bicaranya keras,
selalu menarik perhatian orang, memaksakan dirinya untuk diterima
dalam kelompok, sering menyebutkan namanya sendiri, suka
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengagetkan.
Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga
sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau
dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi
interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas
yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses
pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi
interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.
Seseorang agar bisa memenuhi tuntutan sosial maka perlu
adanya pengalaman sosial yang menjadi dasar pergaulan.
1. Pentingnya pengalaman sosial
Banyak peristiwa atau pengalaman sosial yang dialami
pada masa anak-anak. Beberapa pandangan pengalaman.3
a. Pengalaman yang menyenangkan
Pengalaman yang menyenangkan mendorong anak untuk mencari
pengalaman semacam itu lagi.
b. Pengalaman yang tidak menyenangkan
Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan sikap
yang tidak sehat terhadap pengalaman sosial dan terhadap
orang lain. Pengalaman yang tidak menyenangkan mendorong
anak menjadi tidak sosial atau anti sosial.
c. Pengalaman dari dalam rumah (keluarga)
Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk
perkembangan sikap sosial yang baik, kemungkinan besar
anak akan menjadi pribadi yang sosial atau sebaliknya.
3 Hurlock, B. Elizabeth. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga,hal:156
d. Pengalaman dari luar rumah
Pengalaman sosial awal anak di luar rumah melengkapi
pengalaman di dalam rumah dan merupakan penentu penting bagi
sikap sosial dan pola perilaku anak. Berdasarkan pemahaman
diatas, pengalaman sosial pada masa anak-anak baik itu yang
menyenangkan, tidak menyenangkan, diperoleh dari dalam
rumah atau dari luar rumah adalah sangat penting.
2. Mulainya perilaku sosial
Perilaku sosial dimulai pada masa bayi bulan ketiga.4 Karena pada
waktu lahir, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Selama
kebutuhan fisik mereka terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai
minat terhadap orang lain. Sedangkan pada masa usia bulan ketiga bayi
sudah dapat membedakan antara manusia dan benda di lingkungannya
dan mereka akan bereaksi secara berbeda terhadap keduanya.
Penglihatan dan pendengaran cukup berkembang sehingga
memungkinkan mereka untuk menatap orang atau benda juga dapat
mengenal suara. Perilaku sosial pada masa bayi merupakan dasar bagi
perkembangan perilaku sosial selanjutnya.
4 Hurlock, B. Elizabeth. 1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga,hal: 259
Krech et. al.5 mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku
sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri
respon interpersonalnya, yang terdiri dari :
a. Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang
mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang
individu,
b. Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu
kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap
individu lain, dan
c. Ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang
bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-
kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan
(Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu:
a. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan
arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul
dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.
b. Dominace-Submissive
5 Krech et.al.1962. Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakasha,hal:104-106
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan
arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah
dan tunduk pada perlakuan orang lain.
c. Social Initiative-Social Passivity
social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain,
dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan
pasif dan tak acuh.
d. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah
berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung
pada orang lain
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari
kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai,
manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut :
a. Yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial;
b. Memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya;
c. Mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan
d. Tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya,
perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai
manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut :
1) kurang mampu bergaul secara sosial;
2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain;
3) pasif dalam mengelola kelompok; dan
4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan
pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan
individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan
keberhasilan berperilaku pada masa lampau
2. Pencak Silat
Pencak Silat adalah kata majemuk. Pencak dan Silat mempunyai
pengertian yang sama dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
pribumi Asia Tenggara (Asteng), yakni kelompok masyarakat etnis yang
merupakan penduduk asli negara-negara di kawasan Asteng (Brunei
Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar,
Singapura, Thailand dan Vietnam).
Kata Pencak biasa digunakan oleh masyarakat pulau Jawa, Madura
dan Bali, sedangkan kata Silat biasa digunakan oleh masyarakat di wilayah
Indonesia lainnya maupun di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam
serta di Thailand (bagian Selatan) dan Filipina.
Penggabungan kata Pencak dan Silat menjadi kata majemuk untuk
pertama kalinya dilakukan pada waktu dibentuk suatu organisasi persatuan
dari perguruan Pencak dan perguruan Silat di Indonesia yang diberi nama
Ikatan Pencak Silat Indonesia, disingkat IPSI pada tahun 1948 di
Surakarta.
Sejak saat itu Pencak Silat menjadi istilah resmi di Indonesia.
Perguruan-perguruan yang mengajarkan Pencak dan Silat asal Indonesia di
berbagai negara kemudian juga menggunakan istilah Pencak Silat.
Di dunia internasional Pencak Silat menjadi istilah resmi sejak
dibentuknya Organisasi Federatif Internasional yang diberi nama
Persekutuan Pencak Silat Antarabangsa, disingkat PERSILAT, di Jakarta
pada. tahun 1980. Walaupun demikian, karena kebiasaan, kata Pencak dan
Silat masih digunakan secara terpisah.
Di bawah ini secara singkat akan diuraikan beberapa hal sekitar
Pencak Silat yang meliputi: sejarah dan perkembangannya, falsafah, serta
organisasi pencak silat. Keseluruhan uraian akan disimpulkan secara
umum.
a. Sejarah dan Perkembangan Pencak Silat
Di masa klasik Indonesia, menurut Draeger - yang juga menulis
buku Javanes Silat Martial Art of Perisai Diri ini - bukti adanya seni
bela diri bisa dilihat bukan saja dari berbagai artefak senjata yang
ditemukan dari masa klasik (Hindu-Budha) melainkan juga pada
pahatan relief-relief yang berisikan sikap-sikap kuda-kuda untuk silat
di candi Prambanan dan Borobudur.
Dalam bukunya Draeger menuliskan bahwa pada saat bukunya
disusun (medio 1970-an) senjata dan seni beladiri silat adalah tak
terpisahkan dari orang Indonesia. Silat bisa dilihat kebutuhannya
bukan hanya dari sekedar olah tubuh saja, melainkan juga pada
hubungan spiritual yang terkait erat dengan kebudayaan Indonesia.
Tradisi silat diturunkan secara lisan dan menyebar dari mulut
ke mulut, diajarkan dari guru ke murid. Karena hal itulah catatan
tertulis mengenai asal mula silat sulit ditemukan. Di Minangkabau,
silat atau silek diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan, Tanah
Datar, di kaki Gunung Marapi pada abad XI6. Kemudian silek dibawa
dan dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia
Tenggara.
Kebanyakan sejarah silat dikisahkan melalui legenda yang
beragam dari satu daerah ke daerah lain. Seperti asal mula silat aliran
Cimande yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang
menyaksikan pertarungan antara harimau dan monyet dan ia
mencontoh gerakan tarung hewan tersebut. Asal mula ilmu bela diri di
Indonesia kemungkinan berkembang dari keterampilan suku-suku asli
Indonesia dalam berburu dan berperang dengan menggunakan parang,
perisai, dan tombak. Seperti yang kini ditemui dalam tradisi Suku Nias
yang hingga abad ke-20 relatif tidak tersentuh pengaruh luar.
Silat diperkirakan menyebar di kepulauan nusantara semenjak
abad ke-7 masehi, akan tetapi asal mulanya belum dapat dipastikan.
Meskipun demikian, silat saat ini telah diakui sebagai budaya suku
6 Silek Minangkabau Etalase Ribuan Filosofi Koran.Republika.com
Melayu dalam pengertian yang luas,7 yaitu para penduduk daerah
pesisir pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka, serta berbagai
kelompok etnik lainnya yang menggunakan lingua franca bahasa
Melayu di berbagai daerah di pulau-pulau Jawa, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, dan lain-lainnya juga mengembangkan sebentuk silat
tradisional mereka sendiri. Dalam Bahasa Minangkabau, silat itu sama
dengan silek. Sheikh Shamsuddin (2005)8 berpendapat bahwa terdapat
pengaruh ilmu beladiri dari Cina dan India dalam silat. Bahkan
sesungguhnya tidak hanya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena
memang kebudayaan Melayu (termasuk Pencak Silat) adalah
kebudayaan yang terbuka yang mana sejak awal kebudayaan Melayu
telah beradaptasi dengan berbagai kebudayaan yang dibawa oleh
pedagang maupun perantau dari India, Cina, Arab, Turki, dan lainnya.
Kebudayaan-kebudayaan itu kemudian berasimilasi dan beradaptasi
dengan kebudayaan penduduk asli. Maka kiranya historis pencak silat
itu lahir bersamaan dengan munculnya kebudayaan Melayu. Sehingga,
setiap daerah umumnya memiliki tokoh persilatan yang dibanggakan.
Sebagai contoh, bangsa Melayu terutama di Semenanjung Malaka
meyakini legenda bahwa Hang Tuah dari abad ke-14 adalah pendekar
7 Quintin Chambers and Donn F. Draeger. 1979, Javanese Silat: The Fighting Art of Perisai
Diri. ISBN 0-87011-353-4.
8 Sheikh Shamsuddin, 2011. The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong. North
Atlantic Books. ISBN 1-55643-562-2.
silat yang terhebat.9 Hal seperti itu juga yang terjadi di Jawa, yang
membanggakan Gajah Mada.
Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai
tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama,
seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara.
Catatan historis ini dinilai otentik dalam sejarah perkembangan pencak
silat yang pengaruhnya masih dapat kita lihat hingga saat ini. Kala itu
pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di
surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni
tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk
menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian
dari latihan spiritual.
Silat berkembang di Indonesia dan Malaysia (termasuk Brunei
dan Singapura) dan memiliki akar sejarah yang sama sebagai cara
perlawanan terhadap penjajah asing. Setelah zaman kemerdekaan, silat
berkembang menjadi ilmu bela diri formal. Telah tumbuh pula puluhan
perguruan-perguruan silat di Amerika Serikat dan Eropa. Silat kini
telah secara resmi masuk sebagai cabang olah raga dalam pertandingan
internasional, khususnya dipertandingkan dalam SEA Games.
b. Falsafah
Falsafah Pencak Silat dinamakan falsafah budi pekerti luhur.
Hal ini disebabkan karena falsafah ini mengandung ajaran budi pekerti
9 Sheikh Shamsuddin, 2011. The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong. North
Atlantic Books. ISBN 1-55643-562-2
luhur. Falsafah budi pekerti luhur berpandangan bahwa masyarakat
"tata-tentrem karta-raharja" (masyarakat yang aman-menentramkan
dan sejahtera-membahagiakan) dapat terwujud secara maksimal
apabila semua warganya berbudi pekerti luhur. Karena itu,
kebijaksanaan hidup yang harus menjadi pegangan manusia adalah
membentuk budi pekerti luhur dalam dirinya.
Budi adalah dimensi kejiwaan dinamis manusia yang berunsur
cipta, rasa dan karsa. Ketiganya merupakan bentuk dinamis dari akal,
rasa dan kehendak. Pekerti adalah budi yang terlihat dalam bentuk
watak. Semuanya itu harus bersifat luhur, yakni ideal atau terpuji.
Yang ingin dicapai dalam pembentukan budi pekerti luhur ini adalah
kemampuan mengendalikan diri, terutama di dalam menggunakan
"jurus".
"Jurus" hanya dapat digunakan untuk menegakkan kebenaran,
kejujuran dan keadilan dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah agama dan moral masyarakat maupun dalam rangka
mewujudkan masyarakat "tata-tentrem karta-raharja." Dalam kaitan itu
falsafah budi pekerti luhur dapat disebut juga sebagai Falsafah
pengendalian diri.
Dengan budi pekertinya yang luhur atau kemampuan
pengendalian dirinya yang tinggi, manusia akan dapat nemenuhi
kewajiban luhurnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk pribadi, mahluk
sosial dan mahluk alam semesta, yakni taqwa kepada Tuhannya,
meningkatkan kualitas dirinya, menempatkan kepentingan masyarakat
di atas kepentingan sendiri dan mencintai alam lingkungan hidupnya.
Manusia yang demikian dapat disebut sebagai manusia yang taqwa,
tanggap, tangguh, tanggon dan trengginas. Manusia yang dapat
memenuhi kewajiban luhurnya adalah manusia yang bermartabat
tinggi.
c. Organisasi Pencak Silat
1) PERSILAT- Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa
2) IPSI - Ikatan Pencak Silat Indonesia
3) FP2STI - Forum Pecinta dan Pelestari Silat Tradisional Indonesia
4) PESAKA Malaysia - Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia
5) PERSISI - Persekutuan Silat Singapore
6) EPSF - European Pencak Silat Federation
7) PERSIB - Persekutuan Silat Brunei Darussalam.
B. Kerangka Teoritik
Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar
hubungan antara individu dan lingkungannya yang terdiri atas bermacam-
macam obyek sosial dan non sosial. Pokok persoalan sosiologi menurut
paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam
hubungannnya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat
atau perubahan dalam faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan
terhadap tingkah laku.
Bagi paradigma perilaku sosial, individu kurang sekali memiliki
kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus
yang datang dari luar dirinya. Jadi tingkah laku manusia lebih bersifat
mekanik.
B.F Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran
behaviorisme kedalam sosiologi10
. Skinner melihat kedua paradigma fakta
sosial dan definisi sosial sebagai perspektif yang bersifat mistik, dalam arti
mengandung sesuatu persoalan yang bersifat teka-teki, tidak dapat diterangkan
secara rasional. Dalam bukunya Beyond Freedom and Dignity, Skinner
menyerang langsung paradigma definisi sosial dan secara tidak langsung
terhadap paradigma fakta sosial. Konsep kultur yang didefinisikan oleh
paradigma fakta sosial dinilai mengandung ide yang bersifat tradisional
khususnya mengenai nilai-nilai sosial. Menurutnya pengertian kultur yang
diciptakan itu tidak perlu disertai dengan unsur mistik seperti ide dan nilai
sosial itu. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan
nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Kebudayaan adalah tingkah laku
yang terpola. Yang diperlukan adalah pemahaman terhadap kemungkinan
penguatan penggunaan paksa.
Obyek Sosiologi dari teori ini adalah perilaku manusia yang tampak
serta kemungkinan perulangannya (hubungan antar individu dan
lingkungannya). Perilaku sosial berbeda dengan tindakan sosial. Perilaku
sosial: mekenisme stimulus dan respon, tindakan sosial: aktor hanya
10
George Ritzer, Sosioligi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT Raja
GrrafindoPersada, 2002.hal 69
penanggap pasif dari stimulus yang datang padanya. Teori yg tergabung:
Sosiologi Behavioral dengan konsep “reinforcement” dan proposisi “reward
and punishment”, serta teori Exchange dengan asumsi selalu ada “take and
give” dalam dunia sosial. Aktor (Perilaku Sosial): hanya sekedar memproduksi
kelakuan. Agen (Definisi Sosial): mereproduksi dan memproduksi tindakan.
Teori Behavioral Sociology dibangun dalam rangka menerapkan
prinsip-prinsip psikologi perilaku kedalam sosiologi. Memusatkan
perhatiannya kepada hubungan antara akibat dan tingkah laku yang terjadi
didalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Konsep dasar Behavioral
sociology adalah reenforcement yang berarti ganjaran (reward). Tidak ada
sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran.
Perulangan tingkah laku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya
terhadap perilaku itu sendiri.
Teori perilaku sosial ini dikembangkan oleh Burrhus Frederic Skinner
yang lahir 20 Maret 1904, di kota kecil Pennsylvania Susquehanna. Skinner
mengadakan pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada
tahun 1938, Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of
Organism. Teori Perilaku Sosial biasa juga disebut Teori belajar dalam Ilmu
Psikologi. Konsep dasar dari teori ini adalah penguat / ganjaran (reward).
Teori ini lebih menitikberatkan pada tingkah laku aktor dan lingkungan.
Bagi Skinner, respon muncul karena adanya penguatan. Ketika dia
mengeluarkan respon tertentu pada kondisi tertentu, maka ketika ada
penguatan atas hal itu, dia akan cenderung mengulangi respon tersebut hingga
akhirnya dia berespon pada situasi yang lebih luas. Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan tersebut akan berlangsung
stabil dan menghasilkan perilaku yang menetap.
Robert Kwick (1974) dalam tulisan Akhmad Sudrajat tentang
perilaku soaial menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan
suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku
tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang
menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi
objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia11
.
Perilaku menyimpang itu pada umumnya merupakan kegagalan
system kontrol diri terhadap impuls-impuls kuat, dorongan-dorongan
primitif dan sentiment-sentimen hebat itu kemudian disalurkan lewat
perbuatan kejahatan, kekerasan dan agresi keras yang dianggap mengandung
nilai-nilai lebih oleh masyarakat. Oleh perasaan senasib dan sepenanggungan
anak-anak remaja yang merasa tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian
yang cukup dari luar dan kemudian merasa tersisih dari anggota masyarakat.
Karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan anak-anak
remaja yang merasa tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang
11
Akhmadsudrajat,2008;Perlaku Soaial
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/perilaku-sosial)
cukup dari keluarga dan kemudian merasa tersisih dari masyarakat, orang
dewasa. Sekarang merasa berarti di tengah gangnya, didalam gang tersebut
anak mencari segala sesuatu yang tidak mungkin mereka peroleh dari keluarga
maupun dari masyarakat sekitarnya.
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian terdahulu dan berbentuk tesis dengan judul, Peranan
Organisasi Perguruan Seni Beladiri Pencak Silat Dalam Meminimalisasi
Kejahatan (Suatu Studi Upaya Non-Penal Pada Organisasi Perguruan Seni
Beladiri Pencak Silat Di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah),
oleh Suwaryo, SH. (B4A 000074) Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang tahun 2008
menjelaskan. Organisasi perguruan seni beladiri pencak silat adalah
merupakan organisasi kemasyarakatan, yang mengajarkan ilmu beladiri juga
mengajarkan cara untuk menegakkan kebenaran dan memberantas kejahatan.
Orang yang ahli beladiri pencak silat dinamakan Pendekar.
Kejahatan adalah suatu bentuk tindakan yang menyimpang yang
selalu ada pada setiap masyarakat, dengan demikian kejahatan merupakan
masalah sosial yang perlu dihadapi.
Perumusan masalahnya bagaimana peranan organisasi perguruan seni
beladiri pencak silat dalam ikut meminimalisasi kejahatan, faktor yang
menjadi kendala, dan bagaimanakah seharusnya.
Hasil penelitian diperoleh bahwa Ikatan Pencak Silat Indonesia
(IPSI) cabang Kabupaten Banjarnegara adalah bentuk sambung tangan
pemerintah yang berfungsi mewadahi organisasi-organisasi perguruan seni
beladiri pencak silat yang berada di kabupaten Banjarnegara, dan dari
organisasi perguruan seni beladiri pencak silat yang ada mempunyai peranan
yang penting dalam meminimalisasi kejahatan, sehingga ditemukan
bagaimanakah peran seharusnya organisasi perguruan seni beladiri pencak
silat dalam meminimalisasi kejahatan.
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini yaitu peranan
organisasi perguruan seni beladiri pencak silat yang ada di Kabupaten
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah sebagai sarana non-penal dalam upaya
meminimalisasi kejahatan belum dapat terlaksana dengan Optimal yaitu
dengan adanya kendala-kendala yang dihadapinya. Upaya penaggulangan
kejahatan masih bertumpu pada aparat penegak hukum dengan menggunakan
sarana penal.
Selain itu ada juga laporan hasil penelitian mandiri yang dilakukan
oleh Nugroho, A.M., Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Yogyakarta pada Tahun 2010, dengan judul Profil Gaya Kepemimpinan
Pelatih Pencak Silat Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam penelitian ini
dirumuskan permasalahannya adalah Bagaimana profil gaya kepemimpinan
pelatih pencak silat di Kota Yogyakarta?
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa profil gaya kepemimpinan
pelatih pencak silat pada perguruan pencak silat adalah sebagai berikut:
1. Faktor gaya kepemimpinan tertinggi tipe gaya kepemimpinan demokrasi,
indikator yang paling menonjol adalah: terdapatnya suasana saling
percaya, saling menghormat, dan saling harga menghargai.
2. Faktor gaya kepemimpinan tipe gaya kepemimpinan otoriter, indikator
yang paling menonjol adalah: pelatih yang keras dalam bertindak, kaku
dalam bersikap, dan kebijakan selalu dominan dibuat oleh sang pelatih.
3. Faktor gaya kepemimpinan terendah adalah tipe gaya kepemimpinan
bebas/laissez-fair, indikator yang paling menonjol adalah: peranan pelatih
yang sangat sedikit dalam kegiatan kelompok.
Selain penelitian diatas, ada juga penelitian lainnya yang berupa
skripsi dengan judul Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Atlet Di Pusat
Pendidikan Dan Latihan Pelajar Pencak Silat Jawa Tengah Tahun 2008 (Studi
Diskriptif Kualitatif tentang Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial Antar Atlet di
Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Pencak Silat Jawa Tengah di Kelurahan
Gajahan, Colomadu, Karanganyar Tahun 2008) yang disusun oleh Niken
Hartati Siam Nugroho (D.0305007). Universitas Sebelas Maret Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Poltik Jurusan Sosiologi Surakarta 2009.
Penelitian yang dilakukan di Asrama Pendidikan dan Latihan Perlajar
Pencak Silat Jawa Tengah di Kelurahan Gajahan, Colomadu, Karanganyar ini
menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
menggambarkan dan mengetahui bagaimana bentuk-bentuk interaksi sosial
antar atlet di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Pencak Silat Jawa Tengah
pada tahun 2008.
Teknik pengumpulan data, yang dilakukan adalah dengan terjun
langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan teknik observasi,
wawancara mendalam, studi dokumentasi terhadap pelaksanaan penelitian
terhadap 9 informan yang terdiri dari 3 atlet PPLP angkatan tahun 2007, 3
atlet PPLP angkatan 2008, 1 penjaga asrama PPLP, dan 2 Pelatih PPLP
Pencak Silat. Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling atau sampling bertujuan yaitu sample yang ditarik
pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian ini yang
akan mewakili siapa yang dimaksud dalam penelitian ini.
Dari hasil penelitian ini enunjukkan adanya interaksi sosial antar atlet
di PPLP Pencak Silat Jawa Tengah pada tahun 2008 yang terjalin secara
intensif dan terus menerus. Atlet di PPLP Pencak Silat sangat menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dan kerjasama antara atlet yang satu dengan atlet
yang lainnya. Interaksi itu dilandasi oleh adanya kepentingan yang sama
dalam mencapai tujuan mereka. Dimana tujuan tersebut adalah untuk
menciptakan kerukunan, kebersamaan dan keharmonisan didalam lingkup
PPLP Pencak Silat agar mereka dapat berprestasi setinggi-tingginya.
Bentuk kerjasama yang terjadi adalah saling bantu membantu dalam
kegiatan sosial seperti kerja bakti membersihkan lingkup asrama dan tempat
latihan, kerjasama dalam kegiatan belajar, kerjasama dalam latihan, dan juga
kerjasama dalam bidang transportasi. Sedangkan persaingan yang terjadi antar
atlet di PPLP Pencak Silat adalah persaingan dalam bertanding, persaingan
dalam bidang prestasi akademis, persaingan dalam hal latihan, dan persaingan
dalam bidang ekonomi.
Konflik yang terjadi antar atlet di PPLP Pencak Jawa Tengah disini
biasanya mengarah pada suatu bentuk konflik laten yaitu suatu bentuk konflik
yang dilakukan tidak secara terang-terangan atau dengan kata lain secara
tersembunyi. Rasa tidak suka ini sebenarnya lebih kepada sifat atau karakter
yang berbeda-beda antara atlet yang satu dengan atlet yang lain sehingga
menimbulkan ketidak cocokan sifat dan karakter satu sama yang lainnya.