bab ii kajian teori 2.1 penelitian terdahulu
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kelayakan usaha banyak dilakukan antara lain
usahatani pertanian , usaha bidang makanan, usaha jasa maupun lainnya hingga
usaha bidang peternakan. Sapi potong merupakan topik tidak asing untuk diteliti,
hal itu diakibatkan oleh banyaknya bisnis yang bergerak dalam peternakan sapi
potong. Bisnis peternakan tersebut berfokus pada aspek penggemukan yaitu sapi
dipelihara dalam kandang dengan sistem yang intensif sehingga jangka waktu 3-4
bulan sudah menghasilkan bobot yang diinginkan. Untuk melengkapi teori-teori
dalam penelitian ini maka peneliti mengemukakan mengenai hasil, persamaan dan
perbedaan penelitian terdahulu dengan sekarang.
Penelitian yang dilakukan Makkan, et al. (2014) mengenai “Analisis
Keuntungan Penggemukan Sapi Potong Kelompok Tani “Keong Mas” Desa
Tambulango Kecamatan Sangkub Bolaang Mongondow Utara (Studi Kasus)”
memiliki tujuan untuk mengetahui pendapatan dan kelayakan usaha. Metode
analisis yang digunakan adalah studi kasus artinya melakukan pengamatan
langsung terhadap lokasi penelitian sehingga diperoleh pemahaman dan
melaporkan hasilnya secara rinci. Sumber data yang digunakan yaitu primer dan
sekunder cara pengambilannya yaitu mengamati, wawancara, serta dokumentasi
selain itu menggunakan data sekunder dari instansi daerah setempat dan kelompok
ternak sapi ntersebut.
8
Berdasarkan analisisnya hasil pendapatan yang diperoleh sebesar Rp 7.433.750
dari 15 ekor sapi yangdipelihara. Hasil kelayakan usaha menunjukkan nilai NPV
sebesar Rp 38.795.714, IRR yaitu 38% sedangkan net B/C sebesar 1,95. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi di kelompok “Keong Mas”
layak untuk dijalankan. Penelitian kali ini memiliki persamaan dan perbedaan
dengan penelitian tedahulu dari Makkan, et all. (2014) yaitu sama-sama meneliti
aspek biaya meliputi biaya variabel, biaya tetap, dan total biaya digunakan untuk
menganalisis pendapatan dan penerimaan serta kelayakan usahanya analisis net
B/C setara dengan R/C. Perbedaan terdapat pada analisis kelayakan usaha lainnya
yaitu NPV, IRR, BEP karena peneliti sekarang hanya menggunakn analisis R/C
Ratio untuk mengetahui kelayakan usahanya.
Sahala, et al. (2016) melakukan analisis tentang kelayakan finansial usaha
penggemukan sapi simmental peranakan ongole dan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap jumlah kepemilikan pada peternakan rakyat di kabupaten
karanganyar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan finansial usaha
penggemukan sapi potong SimPO dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
jumlah kepemilikan peternakan rakyat di Kabupaten Karanganyar. Metode
penelitiannya adalah metode survei dengan bantuan kuisioner sebagai acuan. Data
yang digunakan adalah primer dimana pengambilan datanya meliputi karakteristik
responden antara lain usia, pendidikan formal, pekerjaan utama, jumlah anggota
keluarga produktif, luas kepemilikan lahan, pengalaman beternak dan aspek teknis
yang berpengaruh terhadap biaya dan penerimaan. Metode analisis datanya yaitu
menganalisis kelayakan finansial seperti Net Present Value (NPV) Benefit Cost
9
Ratio (BCR) Internal Rate Of Return (IRR) dan Break Even Point (BEP) serta
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan dianalisis menggunakan
regresi berganda.
Berdasarkan hasil analisis total biaya sebesar Rp 74.338,58 hal itu sudah
mencakup biaya pakan, kesehatan ternak dan penyusutan investasi. Hasil
kelayakan usaha dengan kriteria NPV nilainya sebesar Rp 31.263.263,65 nilai
BCR adalah 1,95 untuk IRR sebanyak 20,24% dan BEP berdasarkan unit
sebanyak 2,55 ekor sedangkan BEP rupiah sebesar Rp 30.582.616,57. Penelitian
terdahulu mempunyai kesamaan yaitu mengenai analisis aspek teknis ekonomi
(biaya) dan penerimaan serta kelayakan usahanya adalah Break Even Point (BEP)
selain itu ada perbedaan dari segi data yang diambil, analisis regresi berganda
digunakan untuk menganalisis faktor-faktor kepemilikan dan kelayakan finansial
yaitu Net Present Value (NPV) Benefit Cost Ratio (BCR) Internal Rate Of Return
(IRR).
Analisis Kelayakan Usaha Secara Finansial Dan Efisiensi Produksi Di
Peternakan Sapi Perah Pt. Fructi Agri Sejati Kabupaten Jombang yang diteliti oleh
Khafsah et al. (2018) bertujuan untuk mengetahui tentang analisis kelayakan
usaha secara finansial dan efisiensi produksi peternakan Pt. Fructi Agri Sejati
dengan kapasitas 100 ekor sapi. Penelitian menggunakan metode survei dan jenis
datanya primer diperoleh melalui wawancara langsung memakai bantuan
kuisioner dan sekundernya berdasarkan pembukuan di Pt. Fructi Agri Sejati. Jenis
penelitiannya deskriptif yaitu menggambarkan kondisi kelayakan usaha sapi perah
yang dijalankan PT tersebut. Analisis finansial meliputi beberapa kriteria yaitu
10
Net Present Value (NPV), Benefict Cost Ratio (B/C), Internal Rate Return (IRR),
dan Payback Period (PP) serta R/C Ratio digunakan untuk menganalisis efisiensi
produksi.
Berdasarkan analisis diperoleh nilai penermaan rata-rata per tahun sebesar
Rp 1.800.232.042 dan pendapatannya Rp 25.377.666. hasil kelayakan usaha nilai
NPV sebesar Rp 181.016.633 untuk nilai Net B/C sebesar 1,15 sedanngkan IRR
sebanyak 12,3% serta PP = 7,2 tahun artinya pengembalian modal investasi
selama 7,2 tahun apabila usaha berjalan lebih dari itu sudah layak dijalankan,
untuk analisis R/C Ratio nilainya 1,18 > 1 kriterianya sudah efisien. Persamaan
dan perbedaan terdapat dalam penelitian terdahulu dengan sekarang antara lain
saling meneliti kelayakan usaha mengenai R/C Ratio dan bedanya pada objek
analisis yaitu sapi perah serta finansialnya menganalisis beberapa kriteria seperti
Net Present Value (NPV), Benefict Cost Ratio (B/C), Internal Rate Return (IRR),
dan Payback Period (PP), maka dari itu peneitian ini hanya dijadikan acuan
penulisan mengenai analisis kelayakan usaha R/C Ratio yang dilakukan oleh
peneliti sekarang.
Penelitian yang dilakukan oleh N. Diatmojo & Sari (2012) mengenai
“Analisis Finansial Usaha Penggemukan Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)
Jantan di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali” memiliki tujuan untuk
mengetahui kelayakan finansial (Net Present Value, Benefit Cost Ratio, Internal
Rate of Return dan Payback Period of Credit ) dan Break Even Point (BEP) pada
usaha penggemukan sapi jantan PFH jantan. Metode penelitian menggunakan
metode survei (survey method) dimana data dikumpulkan dari sejumlah unit atau
11
individu dalam jangka waktu bersamaan dengan bantuan pertanyaan bentuknya
kuisioner. Hasil survei yang didapatkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif
kuantitatif dimana memaparkan dalam bentuk angka-angka. Pengambilan sampel
peternak dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu peternak memiliki
sapi PFH jantan minimal dua ekor sehingga jumlah sampel penelitian sebanyak 60
responden.
Berdasarkan analisis diketahui nilai penerimaan sebesar Rp 25.703.234,88
hasil itu diperoleh dari penjualan ternak dengan rata-rata kepemilikan 4
ekor/tahun sedangkan pendapatannya sebesar Rp 4.654.322/tahun yang
merupakan keuntungan bersih karena sudah dikurangi biaya operasional. Hasil
analisis kelayakan menunjukkan bahwa nilai Net Present Value (NPV) Rp
14.750.373,83, Internal Rate of Return (IRR) 46,3%, Net Benefit Cost Ratio
(BCR) 1,9, Payback Period of Credit (PPC) 1,61 tahun artinya jangka waktu
pengembalian investasinya adalah 1,61 tahun, untuk analisis Break Even Point
(BEP) terdapat dua kriteria dalam rupiah sebesar Rp 40.196.379,48 dimana
peternak jika memiliki nilai penjualan tersebut tidak mengalami untung maupun
rugi sedangkan kriteria unit sebanyak 6,26 ekor hal itu berarto peternak
mendapatkan keuntungan apabila memeliharara sapi lebih dari 7 ekor. Penelitian
terdahulu ini memiliki persamaan dengan sekarang antara lain pada pengambilan
sampel secara sengaja (purposive sampling) dan analisis Break Even Point, selain
itu terdapat perbedaanya yaitu jumlah responden dan analisis kriteria kelayakan
usaha yang lainnya seperti Net Present Value, Benefit Cost Ratio, Internal Rate of
Return dan Payback Period.
12
Analisis Finansial Sistim Penggemukan Sapi Potong oleh Perusahaan dan
Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang yang dilakukan oleh E. Edi Sunarto, et
al (2016) bertujuan untuk menganalisis pendapatan usaha penggemukan sapi di
perusahaan PT Bumi Tirta dan peternakan rakyat di Kabupaten Kupang selain itu
untuk menganalisis kelayakan finansial meliputi Net Present Value (NPV),
Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio), Payback
period (PP). Penelitian dilakukan selama 2 bulan menggunakan metode survei
yaitu pengumpulan data dari unit atau individu dalam jangka waktu bersamaan
dengan bantuan kuisioner pertanyaan. Lokasi ditentukan secara sampel acak
(klaster random sampling) sehingga diperoleh 3 (tiga) kecamatan yaitu kecamatan
Amarasi Timur, Amarasi Barat dan Amarasi, dari ketiga tempat tersebut
dilakukan pengambilan sampel secara acak (purposive sampling) sehingga
diperoleh 1 kelompok peternak penggemukan sapi yang terdiri 20 orang anggota
dan total keseluruhan 60 responden. Analisis data tidak hanya mengkaji kelayakan
finansial tetapi faktor-faktor mempengaruhi pendapatan usaha ternak sapi potong
dianalisis menggunakan analisis Regresi Linier Berganda.
Berdasarkan analisis-analisis tersebut diperoleh hasil antara pendapatan di
peternakan rakyat sebesar Rp 22.740.313/tahun atau Rp 2.344.362/ekor/tahun
sedangkan pendapatan di perusahaan sebesar Rp 612.218.595 atau Rp
1.224.473/ekor/tahun artinya hasilnya tidak jauh berbeda antara sistem
penggemukan di peternakan rakyat dengan perusahaan PT. Bumi Tirta. Hasil
analasis kriteria kelayakan atau finansial di peternakan rakyat menunjukkan
bahwa nilai NPV sebesar Rp 7.493.671, IRR sebanyak 25%, B/C Ratio 1,65 dan
13
IRR sebesar 19%, PP 1,71 tahun, dari keseluruhan aspek tersebut maka usaha
ternak sapi di tingkat rakyat sudah layak secara finansial. PT Bumi Tirta juga
mengkaji hal serupa dan diketahui hasilnya sebagai berikut : nilai NPV sebesar Rp
7.472.015.043, nilai Net B/C adalah 3.09, untuk IRR sebanyak 30,15% terakhir
PP 4,27 Tahun hasil itu sudah menunjukkan bahwa penggemukan sapi potong di
perusahaan juga menguntungkan atau layak. Faktor-faktor mempengaruhi
pendapatan penggemukan sapi jantan tingkat rakyat dianalisis dengan regresi
linier berganda disimpulkan terdapat jumlah ternak, harga bakalan, biaya tenaga
kerja dan harga jual yang berpengaruh sedangkan di perusahaan biaya kandang,
harga pakan dan harga jual, dari kedua perbandingan itu tidak berbanding jauh
faktor-faktornya. Penelitian terdahulu dan sekarang memiliki persamaan antara
lain analisisnya yaitu analisis pendapatan,analisis B/C Ratio (setara R/C Ratio)
dan metode survey dengan kuisioner, selain itu terdapat perbedaan pula dalam hal
kelayakan usaha karena krtiterianya lebih banyak yaitu Net Present Value (NPV),
Internal Rate Return (IRR), Payback period (PP) serta analisis faktornya regresi
linier berganda, dengan ini penelitian terdahulu yang sudah dilakukan hanya
sebagai referensi karena peneliti sekarang cuma mengunakan analisis R?C Ratio.
Penelitian mengenai “Analisis Kelayakan Usaha Sapi Potong Dengan
Metode Zero Waste Farming Di Kecamatan Parongpong” yang dilakukan oleh
Steflyando, et al. (2014) bertujuan dalam rangka menganalisis aspek-aspek studi
kelayakan guna mengetahui kelayakan usaha sapi potong dengan menggunakan
konsep Zero Waste Farming. Metode penelitian dilakukan beberapa tahapan
pertama mengidentifikasi permasalahan, kedua menentukan analisis secara
14
sistematis terhadap lima aspek yang diteliti terkait usaha itu antara lain aspek
pasar, aspek teknis, aspek legal dan lingkungan, aspek manajemen sumber daya
manusia, dan aspek finansial. Kelima aspek tersebut dianalisis satu persatu
sehingga nantinya diketahui penjelasan mengenai hal itu semua. Berdasarkan
analisis diperoleh keterangan bahwa dari aspek finansial menunjukkan pendapatan
di tahun 1 adalah Rp 4.090.410.00 hingga tahun 10 sebesar Rp 6.143.085.128
artinya keuntungan usaha setiap tahunnya meningkat. Hasil kelayakan usaha atau
finansial lainnya perhitungan Net Present Value (NPV), dan Interest Return of
Rate (IRR), Payback Period (PP) 5 tahun 2 bulan sebagai syarat kelayakan
pendirian usaha sapi potong, Net Present Value (NPV) Rp. 3.312.004.581, dan
Interest Return of Rate (IRR) 12,3%. Penelitian kali ini mempunyai persamaan
dalam hal analisis aspek finansial salah satunya pendapatan dan memiliki
perbedaan sangat banyak mulai mulai aspek pasar, aspek teknis, aspek legal dan
lingkungan, aspek manajemen sumber daya manusia, dan aspek finansial
(Payback Period (PP), Net Present Value (NPV), dan Interest Return of Rate
(IRR). Adanya perbedaan dan persamaan dalam penelitian ini tidak
mempengaruhi penelitian yang sekarang dilakukan karena peneliti kali ini hanya
menganalisis kelayakan usaha dengan alat analisis R/C Ratio sehingga tidak ada
perhitungan usaha per tahun seperti Cash Flow, Arus Kas, dan lain-lain sebab
penggemukan sapi dilakukan selama 90 Hari saja.
Lestari, et al. (2015) menganalisis keuntungan finansial usaha
penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro memiliki tujuan untuk
mengetahui tingkat keuntungan finansial usaha yang dijalankan karena daerah
15
tersebut merupakah salah satu sentra sapi jenis Peranakan Ongole (PO) di Jawa
Timur. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi langsung dan
wawancara bersama peternak mengacu pada kuisioner pertanyaan sebagai
bantuan. Jenis datanya ada dua yaitu primer meliputi identitas peternak,
penerimaan penjualan sapi potong, dan komponen biaya sedangkan sekunder
diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Tambakrejo dan Dinas
Peternakan Kabupaten Bojonegoro. Layak tidaknya suatu usaha dapat dilihat
apabila menguji aspek finansialnya seperti penelitian ini menganalisis parameter
kelayakan usaha seperti analisis Rasio B/C, Payback Period (PBP), dan analisis
titik impas atau Break Even Point (BEP), selain itu lebih baik jika dilengkapi
dengan perhitungan Net Present Value (NPV), dan Internal Rate Of Return (IRR).
Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan hasil penerimaan tahun 1
sebesar Rp 18.586.666,67 hingga tahun ke 5 sebesar Rp 21.378.666,67 hal itu
dapat disimpulkan bahwa penerimaan setiap tahunnya mengalami kenaikan
signifikan, untuk laba diperoleh hasil tahun 1 Rp 947.045.40 sampai tahun 5
sebesar Rp 5.252.074,99 artinya laba bersih juga mengalami peningkatan. Hasil
kelayakan usaha kriteria B/C nilainya sebesar 1,23, NPV tahun 1 Rp (-
10.445.024,23) karena masih menanggung beban investasi ditahun tersebut
selanjutnya NPV tahun berikutnya meningkat, nilai BEP Produksi sebesar
86,09Kg tiap ekor selama 4 bulan apabila peternak mencapai angka itu usaha
tidak mengalami kerugian sedangkan BEP Harga nilainya Rp 2.207.649,716
artinya peternak dalam menjual sapinya tidak untung. Persamaan penelitian
terdahulu dengan sekarang terletak pada analisis data yaitu analisis aspek biaya,
16
penerimaan, pendapatan dan kelayakan usaha Rasio B/C,, sedangkan
perbedaannya adalah kriteria finansial lainnya seperti analisis Break Even Point
(BEP), Payback Period (PBP), Net Present Value (NPV), dan Internal Rate Of
Return (IRR). Penelitian terdahulu yang ditulis ini digunakan sebagi referensi
penulisan karena peneliti sekarang hanya menggunakan analisis kelayakan usaha
R/C Ratio tanpa adanya perhitungan usaha per tahun.
17
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Sapi Potong
Sapi potong adalah salah satu hewan ternak yang menghasilkan daging di
Indonesia. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok
ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini
berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Produksi
daging sapi dalam negeri hingga saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan
karena populasi dan tingkat produktivitas ternak masih rendah. Rendahnya
populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh
peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas. Sapi potong dipelihara
oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah
tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi
potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau
penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan
maupun tanaman perkebunan (Suryana, 2009).
2.2.2 Jenis-jenis Sapi Potong
1. Sapi Bali
Sapi Bali merupakan sapi lokal yang berasal dari Provinsi Bali. Sapi ini
murni merupakan keturunan langsung dari sapi liar (banteng) yang telah
mengalami proses penjinakan sejak berabad lalu. Penyebaran sapi ini meliputi
daerah Bali, NTT, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Keaslian sapi domestik ini
dipertahankan, tetapi di Sulawesi dan pulau-pulau lain banyak disilangkan dengan
sapi ongole. Keunggulan sapi Bali antara lain adalah daging dan daya
18
reproduksinya yang bagus sehingga sapi ini menjadi primadona di kalangan
peternak di Indonesia (Suroto & Nurhasan, 2014).
2. Sapi Ongole
Sapi ongole bukanlah merupakan sapi asli Indonesia, melainkan berasal dari
India. Sapi ini di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sumba ongole
(SO) dan peranakan ongole (PO). Sumba ongole merupakan keturunan murni sapi
nellore dari India yang memiliki sifat mudah beradaptasi sehingga mampu
tumbuh secara murni di Pulau Sumba, sedangkan peranakan ongole merupakan
sapi hasil persilangan antara sumba ongole dengan sapi jawa. Ciri khas sapi
ongole adalah berbadan besar, berpunuk besar, bergelambir longgar, dan berleher
pendek (Suroto & Nurhasan, 2014).
3. Sapi Fries Holstein (FH)
Sapi fries holstein (FH) ini tergolong sapi perah yang dipelihara untuk
menghasilkan susu. Sapi ini berasal dari Belanda memiliki warna belang hitam
dan putih dengan ciri khusus segitiga pada bagian dahi. Pertumbuhan yang cukup
tinggi dari sapi ini, maka sapi-sapi jantannya sering pula dipelihara untuk
dijadikan sapi potong. Beberapa daerah di Indonesia sapi ini kerap disilangkan
dengan sapi jawa asli dengan pola grading up yang mengahasilkan keturunan
yang sering disebut peranakan fries holstein (PFH) (Aplunggi, et all., 2017).
4. Sapi Brahman
Sapi brahman berasal dari India yang merupakan keturunan dari sapi zebu
(Bos Indicus). Sapi ini berkembang pesat di Amerika Serikat karena pola
pemeliharaan dan sistem perkawinan yang terkontrol sehingga sapi brahman ini
19
banyak dieskpor ke Australia dan disilangkan dengan sapi asal Eropa. Persilangan
tersebut menghasilkan sapi bakalan yang banyak dipelihara untuk digemukkan di
Indonesia (Aplunggi, et al.,, 2017).
5. Sapi Madura
Sapi Madura sangat terkenal sebagai sapi karapan, selain itu jenis sapi ini
juga digunakan sebagai sapi kerja dan sapi potong. Sapi madura merupakan hasil
persilangan antara Bos indicus dari India dengan Bos indicus yang tumbuh dan
berkembang di Madura. Ciri khas umumnya tubuh sapi ini kecil dan berkaki
pendek (Suroto & Nurhasan, 2014).
2.2.3 Populasi Sapi Potong
Populasi sapi potong di Indonesia periode 1984-2017 menunjukkan
pertumbuhan positif, rata-rata meningkat sebesar 1,99% per tahun, tertinggi
terjadi pada tahun 2014 sebesar 16,09%.
Gambar 2. 1. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia
Sumber : Pusdatin, (2017)
20
Tabel 2. 1. Perkembangan Populasi Sapi Potong Di Indonesia, 1984 –1993 Tahun
Indonesia
(juta ekor)
Pertumbuhan
%
Jawa (juta
ekor)
Pertumbuhan
%
Luar Jawa
(juta ekor)
Pertumbuhan
%
1984 9,24 3,90 5,34
1985 9,11 -1,35 4,21 7,96 4,90 -8,15
1986 9,43 3,53 4,27 1,58 5,16 5,21
1987 9,51 0,81 4,32 1,17 5,19 0,51
1988 9,78 2,80 4,37 0,98 5,41 4,32
1989 10,09 3,27 4,42 1,21 5,68 4,93
1990 20,41 3,12 4,51 2,18 5,90 3,86
1991 10,75 3,26 4,60 1,92 6,15 4,29
1992 11,21 4,29 4,71 2,46 6,50 5,67
1993 10,83 -3,41 4,73 0,37 6,10 -6,14
Jumlah 110,36 16,32 44,04 19,83 56,33 14,5
Rata-rata 11,036 1,632 4,404 1,983 5,633 1,45
Sumber : Pusdatin, (2017) Diolah 2019
Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia dari tahun ke tahun,
diwarnai penurunan dan peningkatan. Data yang dihimpun oleh Pusat Data dan
Informasi Kementerian Pertanian menunjukkan sapi potong berkembang di
wilayah Jawa dan Luar Jawa. Data tersebut terlihat jumlah sapi potong di
Indonesia sebesar 110,36 juta ekor mulai 1984 sampai 1993, untuk nilai rata-
ratanya sebesar 11,036 juta ekor artinya setiap tahun populasi perkembangan
mencapai angka tersebut. Melihat dari wilayah Jawa tercatat selama periode itu
jumlah populasinya adalah 44,04 juta ekor dengan nilai rata-rata 4,404 juta ekor.
Perbandingan dengan luar jawa jumlahnya sebesar 56,33Juta ekor dengan rata-
rata 5,633 dapat disimpulkan bahwa perkembangan populasi sapi potong
didominasi Luar Jawa.
21
Tabel 2. 2. Perkembangan Populasi Sapi Potong Di Indonesia, 1994-2003
Tahun Indonesia
(juta ekor)
Pertumbuhan
%
Jawa (juta
ekor)
Pertumbuhan
%
Luar Jawa
(juta ekor)
Pertumbuhan
%
1994 11,37 4,97 4,96 4,78 6,41 5,12
1995 11,53 1,46 4,95 -0,21 6,59 2,76
1996 11,82 2,44 5,01 1,29 6,80 3,30
1997 11,94 1,04 5,02 0,26 6,92 1,62
1998 11,63 -2,55 4,82 -3,98 6,81 -1,52
1999 11,28 -3,08 4,98 3,18 6,30 -7,51
2000 11,01 -2,37 5,01 0,68 6,00 -4,79
2001 10,22 -7,20 4,26 -15,06 5,96 -0,64
2002 11,30 10,60 5,07 19,03 6,23 4,57
2003 10,50 -7,02 4,32 -14,73 6,18 -0,76
Jumlah 112,6 -1,71 48,4 -4,76 64,2 2,15
Rata-rata 11,26 -0,171 4,84 -0,476 6,42 0,215
Sumber : Pusdatin, (2017) Diolah 2019
Berdasarkan tabel 2.2 tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan
populasi sapi potong di Indonesia selama periode 1994 hingga 2003 masih di
dominasi dari Luar Jawa, hal itu sesuai dengan nilai yang ditunjukkan yaitu
sebesar 64,2 Juta ekor dengan rata-rata per tahun 6,42Juta ekor sedangkan
perbandingannya jumlah populasi di Jawa adalah 48,4 Juta ekor dan rata-ratanya
4,84 juta ekor.
22
Tabel 2. 3. Perkembangan Populasi Sapi Potong Di Indonesia, 2004-2017
Tahun Indonesia
(juta ekor)
Pertumbuhan
%
Jawa (juta
ekor)
Pertumbuhan
%
Luar Jawa
(juta ekor)
Pertumbuhan
%
2004 10,53 0,27 4,37 1,13 6,16 -0,32
2005 10,57 0,35 4,42 1,07 6,15 -0,17
2006 10,88 2,89 4,50 1,98 6,37 3,55
2007 11,51 5,88 4,71 4,53 6,81 6,84
2008 12,26 6,44 5,45 15,85 6,80 -0,06
2009 12,76 4,11 5,65 3,62 7,11 4,50
2010 13,58 6,44 5,99 5,98 7,59 6,80
2011 14,82 9,15 7,51 25,45 7,31 -3,70
2012 15,98 7,80 7,85 4,54 8,13 11,15
2013 12,69 -20,62 5,79 -26,27 6,90 -15,15
2014 14,73 16,09 6,50 12,16 8,23 19,38
2015 15,42 4,70 6,70 3,14 8,72 5,94
2016 16,00 3,79 6,86 2,42 9,14 4,84
2017 16,60 3,72 7,07 3,08 9,53 4,20
Jumlah 188,33 28,3 27,13 20,8 35,62 34,36
Rata-rata 18,833 2,83 2,713 2,08 3,562 3,436
Sumber : Pusdatin, (2017) Diolah 2019
Perkembangan populasi sapi potong dari tahun 1984 sampai 2003 banyak
mengalami peningkatan, melihat dari sektor wilayahnya Luar Jawa terus
mendominasi. Hasil tabel 2.3 menunjukkan jumlah nilai di Luar Jawa sebesar
35,62 juta ekor selama periode 2004-2017 dengan rata-rata sebesar 3,562 untuk
setiap tahunnya, dibandingkan dengan Jawa diperoleh jumlah 27,13 juta ekor dan
rata-ratanya adalah 2,713 juta ekor setiap tahun. Kesimpulan akhir yaitu populasi
perkembangan sapi potong di Indonesia mulai tahun 1984-2017 didominasi oleh
23
wilayah Luar Jawa. Hasil tersebut tidak menjamin bahwa Indonesia tidak akan
melakukan impor karena hingga saat ini produksi daging masih kurang.
2.2.4 Sentra Populasi Sapi Potong Di Indonesia
Sentra populasi sapi potong hanya terdapat dibeberapa provinsi di
Indonesia. Sapi potong dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan akan
daging supaya tidak melakukan impor, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah
ini persentase wilayah pengembang sapi potong.
Gambar 2. 2. Perkembangan Sentra Populasi Sapi Potong di Indonesia, 2013 –
2017 Sumber : Pusdatin, (2017)
Sentra populasi sapi potong di Indonesia tahun 2013-2017 terdapat di 10
provinsi, memberikan kontribusi hingga 77,85% dari total populasi sapi potong
nasional.
Tabel 2. 4. Sentra Populasi Sapi Potong di Indonesia, 2013 – 2017
Sumber : Pusdatin, (2017)
Kumulatif
2013 2014 2015 2016 2017 Kontribusi (%)
Jawa Timur 3.586.709 4.125.333 4.267.325 4.407.807 4.545.780 4.186.591 27,75 27,75
Jawa Tengah 1.500.077 1.592.638 1.642.578 1.674.573 1.718.206 1.625.614 10,77 38,52
Sulawesi Selatan 984.036 1.200.137 1.289.442 1.366.665 1.434.999 1.255.056 8,32 46,84
Nusa Tenggara Barat 648.939 1.013.793 1.055.013 1.092.719 1.128.760 987.845 6,55 53,39
Nusa Tenggara Timur 803.450 865.731 899.534 984.508 1.003.704 911.385 6,04 59,43
Sumatera Utara 523.277 646.749 662.234 702.170 718.757 650.637 4,31 63,74
Lampung 573.483 587.827 653.537 665.244 672.711 630.560 4,18 67,92
Aceh 404.221 511.362 580.287 600.759 627.629 544.852 3,61 71,53
Bali 478.146 553.582 543.642 546.370 562.325 536.813 3,56 75,09
Jawa Barat 382.949 419.077 425.826 413.372 435.529 415.351 2,75 77,85
Lainnya 2.800.952 3.210.646 3.400.300 3.549.910 3.750.847 3.342.531 22,15 100,00
Indonesia 12.686.239 14.726.875 15.419.718 16.004.097 16.599.247 15.087.235 100,00
Provinsi
Tahun (Ekor)Rata-rata Kontribusi (%)
24
Periode sentra populasi sapi potong bersumber tetap dari tiga provinsi yaitu
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Provinsi Jawa Timur merupakan
kontributor terbesar yakni sebesar 27,75% atau sekitar 4,19 juta ekor, selanjutnya
diikuti oleh Jawa Tengah dengan kontribusi 10,77% atau sekitar 1,63 juta ekor,
dan Sulawesi Selatan dengan kontribusi 8,32% atau sekitar 1,25 juta ekor. Sentra
populasi sapi potong lainnya adalah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sumatera Utara, Lampung, Aceh, Bali, dan Jawa Barat, dengan kisaran kontribusi
2,75% sampai dengan 6,55% (Pusdatin, 2017).
2.3 Analisis Biaya Penggemukan Sapi Potong
2.3.1 Analisis Total Biaya
Biaya merupakan komponen utama dalam menjalankan usaha. Komponen
biaya dikelompokan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah
biaya yang dikeluarkan untuk menunjang usaha dan nilainya tidak berubah seiring
berjalan usahanya. Komponen biaya tetap terdiri dari gaji tenaga pengelola,
penyusutan peralatan dan bangunan dan sewa tanah. Biaya tidak tetap adalah
biaya yang dikeluarkan dimana nilainya terus berubah seiring berjalan usahanya.
Komponen biaya tidak tetap terdiri dari biaya pengadaan bahan, biaya overhead,
biaya pengadaan bibit sapi ,biaya transport, upah tenaga kerja tidak tetap/tenaga
harian (Itta & Yoesran, 2015).
Jumlah total biaya dalam usaha merupakan penjumlahan antara biaya tetap
dengan biaya tidak tetap. Jumlah total biaya di analisis dengan rumus sebagai
berikut :
TC = FC + VC
25
Keterangan :
TC = Total Cost (Biaya Total) (Rp/Ekor)
FC = Fixed Cost (Biaya Tetap) (Rp)
VC = Variabel Cost (Biaya Variabel) (Rp/Ekor)
2.3.2 Analisis Penerimaan
Penerimaan yaitu perolehan dari sapi potong yang telah dijual ke pasar
berdasarkan harga taksiran seorang pedagang maupun ke Rumah Potong Hewan
(RPH) sesuai bobot yang ditimbang menggunakan timbangan, Popidylah &
Radian (2015) menjelaskan bahwa penerimaan diperoleh dari bobot sapi potong
dikalikan dengan harga jual sapi hidup per kg sesuai keadaan di lokasi penjualan.
Perolehan penerimaan tersebut, untuk mengatahuinya maka digunakan analisis
penerimaan dengan rumus sebagai berikut:
TR = P x Q
Keterangan :
TR : Total Penerimaan (Total Revenue) (Rp/Ekor)
P : Harga Jual Sapi Potong (Rp/Kg)
Q : Bobot Sapi Potong (Kg/Ekor)
2.3.3 Analisis Pendapatan
Rahmah (2015) menjelaskan bahwa pendapatan usaha ternak merupakan
penerimaan bersih ataupun keuntungan yang diperoleh dari hasil penerimaan
dikurangi dengan semua komponen biaya untuk penggemukan sapi potong (Biaya
Variabel) dan biaya penyusutan investasi (Biaya Tetap). Pendapatan dalam usaha
penggemukan sapi dihitung secara rinci untuk per ekornya, sehingga dapat
26
diketahui keuntungan setiap ekor sapi. Analisis pendapatan dilakukan dengan
metode analisis dengan rumus sebagai berikut :
𝜋 = 𝑇𝑅 − 𝑇𝐶
Keterangan :
Π = Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Potong (Rp/Ekor)
TR = Total (Revenue) Penerimaan (Rp/Ekor)
TC = Total (Cost) Biaya Penggemukan Sapi (Rp/Ekor)
2.4 Analisis Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong
2.4.1 Analisis Return Cost Ratio (R/C Ratio)
Analisis ini merupakan perbandingan antara penerimaan yang diperoleh dari
usaha penggemukan sapi potong dengan seluruh komponen biaya atau total biaya
. Analisis R/C Ratio ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil yang
diperoleh dari usaha tersebut selama satu periode penggemukan. Rumus dari R/C
Ratio sebagai berikut :
R/C Ratio = 𝑇𝑅
𝑇𝐶
Keterangan :
R/C Ratio : Revenue Cost Ratio (R/C)
TR : Total Revenue (Penerimaan) (Rp/Ekor)
TC : Total (Cost) Biaya Penggemukan Sapi (Rp/Ekor)
Kriteria pengambilan keputusan analisis R/C Ratio sebagai berikut :
1. Jika nilai R/C > 1 maka kegiatan usaha penggemukan sapi yang dilakukan
dapat dikatakan efisien atau menguntungkan karena, dapat memberikan
penerimaan lebih besar daripada pengeluarannya,
27
2. Jika nilai R/C < 1 maka kegiatan usaha penggemukan sapi yang dilakukan
dapat dikatakan tidak efisien atau tidak menguntungkan karena, tidak dapat
memberikan penerimaan lebih besar daripada pengeluarannya,
3. Jika nilai R/C = 1 maka kegiatan usaha penggemukan sapi yang dilakukan
dapat dikatakan tidak memberikan keuntungan maupun kerugian (impas)
karena, penerimaan diterima sama dengan pengeluaran.
Nilai R/C menunjukkan kondisi suatu usaha menguntungkan atau merugi
sehingga bisa diketahui layak tidaknya untuk terus dijalankan (Nurjana Nyoman,
et all., 2015).
2.4.2 Analisis Return on Investment (ROI)
Kinerja keuangan sebuah perusahaan bisa dinilai menggunakan analisis
Return on Investment. Rosmawati, (2015) mengungkapkan bahwa Return on
Investment (ROI) merupakan suatu untuk mengukur seberapa besar dan banyak
laba bersih yang diperoleh dari seluruh investasi perusahaan. Analisis Return on
Investment lebih memusatkan perhatian pada nilai rasio dan presentase, apabila
semakin tinggi atau besar nilai rasio maupun persentasenya, maka semakin baik
Return on Investment-nya. Rumus Return on Investment (ROI) sebagai berikut :
ROI = Keuntungan
Biaya Total x 100%
ROI : Analisis keuangan perusahaan dalam presentase (%)
Keuntungan : Jumlah pendapatan bersih perusahaan (Rp)
Biaya Total : Jumlah biaya yang digunakan (Rp)
Kriteria keputusan analisis Return on Investment (ROI) diungkapkan oleh Yunita,
(2017) adalah :
28
- Apabila nilai ROI > i (tingkat suku bunga yang belaku ), maka usaha
tersebut layak untuk dijalankan.
- Apabila nilai ROI < i (tingkat suku bunga yang berlaku), maka usaha
tersebut tidak layak dijalankan sehingga wajib perbaikan usaha.
2.5 Aspek-Aspek dalam Studi Kelayakan Bisnis
1. Aspek Pasar dan Pemasaran
Analisis aspek pasar dan pemasaran dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui berapa estimasi permintaan, estimasi realisasi permintaan, serta
strategi dan bauran pemasaran. Aspek pasar dan pemasaran menyajikan tentang
peluang pasar, perkembangan permintaan produk di masa mendatang, kendala-
kendala yang dihadapi seperti keberadaan pesaing (Ashfa Durri & Muhammad
Saifi, 2016).
2. Aspek Teknis dan Produksi
Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkaitan dengan proses
pembangunan fisik usaha secara teknis dan pengoperasiannya setelah bangunan
fisik selesai dibangun. Pembahasan dalam aspek teknis meliputi penentuan lokasi
proyek, perolehan bahan baku produksi, serta pemilihan mesin dan jenis teknologi
yang digunakan untuk menunjang keberhasilan usahanya (Saifi, 2015).
3. Aspek Organisasi dan Manajemen
Aspek ini mencakup manajemen dalam pembangunan proyek dan
manajemen dalam operasi. Manajemen dalam pembangunan proyek mengkaji
tentang pembangunan proyek secara fisik, sedangkan manajemen dalam operasi
mencakup pengadaan sumber daya manusia, jumlah tenaga kerja serta kualifikasi
29
yang diperlukan untuk mengelola dan mengoperasikan suatu proyek. Aspek
manajemen dan organisasi digunakan untuk meneliti kesiapan sumber daya
manusia yang akan menjalankan usaha tersebut, kemudian mencari bentuk
struktur organisasi yang sesuai dengan usaha yang akan dijalankan (Saifi, 2015).
4. Aspek Lingkungan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah suatu hasil studi
mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan dan diperkirakan mempunyai
dampak penting terhadap lingkungan hidup. Analisis ini meliputi keseluruhan
kegiatan pembuatan 5 (lima) dokumen yang terdiri dari Penyajian Informasi
Lingkungan, Kerangka Acuan, Analisis Dampak Lingkungan, Rencana
Pemantauan Lingkungan, Rencana Pengelolaan IMADE.
5. Aspek Finansial
Analisis aspek finansial merupakan suatu kegiatan dimana melakukan
penilaian dan penentuan satuan rupiah terhadap aspek-aspek yang dianggap layak
dari keputusan yang dibuat dalam tahapan analisis usaha. Pembahasan dalam
aspek finansial ini yaitu sumber dan penggunaan dana, modal kerja, pendapatan,
biaya usaha, serta aliran kas atau arus kas (Saifi, 2015).
30
UD. Rojo Temen
Penggemukan Sapi Potong
Analisis Data
Analisis Aspek Biaya
2.6 Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir merupakan konsep tentang bagaimana teori berhubungan
dengan berbagai faktor yang diidentifikasi atau sebuah pemahaman dari suatu
bentuk proses dari keseluruhan terhadap penelitian yang akan dilakukan.
Kerangka ini menjelaskan dari perusahaan lokasi penelitian hingga aspek biaya
dan kelayakan usaha.
Gambar 2. 3. Bagan Kerangka Pemikiran
Analisis Kelayakan Usaha
Penggemukan Sapi Potong
Analisis Kelayakan Usaha
Revenue Cost Ratio (R/C)
Tidak Layak &
Tidak Efisien Layak & Efisien
Lanjutkan Usaha Perbaikan Usaha