bab ii kajian pustaka - perpustakaan digital itb ... manusia untuk memecahkan masalah. sedangkan...

21
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA Beberapa literatur yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 2.1 Perbedaan Data, Informasi, dan Pengetahuan Berikut ini beberapa definisi dan perbedaan tentang data, informasi, dan pengetahuan : Woolf (1990) dalam Liebowitz, (1999) di dalam Munir, N (2008), menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang terorganisasi sehingga dapat diterapkan untuk pemecahan masalah. Definisi itu hampir mirip dengan Turban, et al (2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang telah dianalisis dan diorganisasi sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan masalah serta mengambil keputusan. Menurut Munir, N (2008), informasi merupakan data yang menyebabkan perbedaan. Perbedaan terjadi karena cara pandang penerima berubah setelah menerima informasi. Davenport dan Prusak (1998) juga Maholtra (2001) di dalam Munir, N (2008) mengemukakan bahwa pengetahuan berasal dari informasi, seperti informasi berasal dari data. Jika informasi menjadi pengetahuan, manusia harus melakukannya secara virtual. Berdasarkan definisi dan perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan tersebut lebih didasarkan pada adanya peningkatan value/nilai dari data menuju pengetahuan, dimana semakin bernilai maka semakin mampu membantu pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. 2.2 Definisi Pengetahuan Berikut ini beberapa definisi yang disampaikan oleh banyak penulis mengenai pengetahuan : Menurut Probst, Raub dan Romhart (2000) di dalam Munir, N (2008), pengetahuan adalah keseluruhan kognisi dan keterampilan yang digunakan oleh

Upload: vukhanh

Post on 22-May-2018

216 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Beberapa literatur yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1 Perbedaan Data, Informasi, dan Pengetahuan

Berikut ini beberapa definisi dan perbedaan tentang data, informasi, dan

pengetahuan :

Woolf (1990) dalam Liebowitz, (1999) di dalam Munir, N (2008),

menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang terorganisasi sehingga dapat

diterapkan untuk pemecahan masalah. Definisi itu hampir mirip dengan Turban, et al

(2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang telah dianalisis

dan diorganisasi sehingga dapat dimengerti dan digunakan untuk memecahkan

masalah serta mengambil keputusan.

Menurut Munir, N (2008), informasi merupakan data yang menyebabkan

perbedaan. Perbedaan terjadi karena cara pandang penerima berubah setelah

menerima informasi.

Davenport dan Prusak (1998) juga Maholtra (2001) di dalam Munir, N (2008)

mengemukakan bahwa pengetahuan berasal dari informasi, seperti informasi berasal

dari data. Jika informasi menjadi pengetahuan, manusia harus melakukannya secara

virtual.

Berdasarkan definisi dan perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan

maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan tersebut lebih didasarkan pada adanya

peningkatan value/nilai dari data menuju pengetahuan, dimana semakin bernilai

maka semakin mampu membantu pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

2.2 Definisi Pengetahuan

Berikut ini beberapa definisi yang disampaikan oleh banyak penulis

mengenai pengetahuan :

Menurut Probst, Raub dan Romhart (2000) di dalam Munir, N (2008),

pengetahuan adalah keseluruhan kognisi dan keterampilan yang digunakan oleh

11

manusia untuk memecahkan masalah. Sedangkan definisi yang paling sederhana

mengenai pengetahuan adalah kapasitas untuk melakukan tindakan dengan efektif.

Menurut Munir, N (2008), pengetahuan explicit atau selanjutnya disebut

sebagai pengetahuan eksplisit, dapat diekspresikan dalam kata-kata dan angka, serta

dapat disampaikan dalam bentuk formula ilmiah, bagan, manual-manual dan

sebagainya. Pengetahuan jenis ini dapat segera diteruskan dari satu individu ke

individu lain secara formal dan sistematis. Di lain pihak, pengetahuan tacit atau

selanjutnya disebut sebagai pengetahuan terbatinkan, terletak dalam benak manusia,

bersifat sangat personal dan sulit dirumuskan, sehingga membuatnya sulit untuk

dikomunikasian atau disampaikan pada orang lain. Perasaan pribadi, intuisi, bahasa

tubuh, pengalaman fisik, petunjuk praktis termasuk didalam jenis pengetahuan

terbatinkan. Namun demikian, sesulit apapun suatu pengetahuan untuk

dikomunikasikan dan sangat personal, pengetahuan yang bersifat tacit harus dapat

dikelola sebagaimana ungkapan Davenport dan Prusak (1997) yang menyatakan

bahwa walaupun pengetahuan tersebut tersimpan di masing-masing individu,

organisasi/perusahaan harus mengidentifikasi dan menangkap pengetahuan yang

bersifat tacit tersebut.

Sedangkan menurut Iftikhar, et.al (2003), pengetahuan dapat dipandang

sebagai obyek yang bisa disimpan dan dimanipulasi, sekaligus bisa dipandang

sebagai proses knowing and acting yang berjalan secara simultan.

Di dalam Wong HK (2004) dinyatakan bahwa Polanyi (1958, 1966, 1974)

menyatakan bahwa perbedaan antara pengetahuan yang bersifat tacit dan eksplicit

terkadang diekspresikan dalam istilah ‘knowing-how’ dan ‘knowing-that’, terkadang

pula dalam istilah ‘embodied’ knowledge dan ‘theoritical ‘ knowledge.

Berdasarkan definisi diatas, maka pengetahuan merupakan hasil analisa

secara personal dari si penerima informasi/data sehingga menaikkan value/nilai dari

data/informasi tersebut dan mendayagunakanya untuk proses pemecahan masalah

dan proses pengambilan keputusan.

2.3 Definisi Manajemen Pengetahuan

Berikut ini beberapa pendapat mengenai definisi manajemen pengetahuan

menurut beberapa penulis :

12

Menurut Munir, N (2008), untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya

dari pengetahuan yang dimiliki dan untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan

yang harus dimiliki, perusahaan harus mengelola pengetahuannya melalui

manajemen pengetahuan.

Tiwana (2000), di dalam Munir, N (2008), menyampaikan bahwa manajemen

pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan

menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima.

Menurut Munir, N (2008), kesadaran akan pengetahuan sebagai sumber daya

“baru” sangat dipengaruhi oleh situasi lingkungan eksternal organisasi yang sarat

dengan perubahan yang berjalan cepat dan sulit diramalkan. Perubahan-perubahan

yang cepat tersebut terutama disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi

informasi, terjadinya globalisasi dan semakin berkurangnya kualitas serta kuantitas

sumber daya alam. Akibatnya, dalam situasi seperti ini tidak ada posisi bersaing

perusahaan yang selamat dari kemungkinan untuk ditiru atau digantikan. Padahal

selama ini diketahui bahwa akses pada sumber daya yang unik merupakan salah satu

cara perusahaan menciptakan keunggulan bersaing. Kenyataannya pesaing-pesaing

yang tangguh akan meniru dengan cepat, bahkan menyempurnakan tiruannya serta

mengembangkan substitusi sumber daya itu.

Menurut Lee & Choi (2000), berdasarkan perbandingan beberapa penelitian

yang terkait dengan framework manajemen pengetahuan, banyak peneliti

menyarankan adanya tiga komponen utama di dalam manajemen pengetahuan yaitu :

komponen yang pertama adalah knowledge management enablers (or influencing

factor) yang didefinisikan sebagai mekanisme organisasi untuk mengembangkan

pengetahuan secara intensif dan konsisten, komponen yang kedua adalah knowledge

management process (atau knowledge management activities) seperti creation,

sharing, store dan use. Sedangkan komponen yang ketiga adalah kinerja organisasi

seperti pangsa pasar dan keuangan.

Menurut Chong & Coi (2005) di dalam Choy (2007), “manajemen

pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi secara tersistematis yang

mencakup proses creating, gathering, organizing , store, diffusing, use and

exploitation of knowledge untuk menciptakan nilai bisnis dan membangkitkan

keunggulan kompetitif dari perusahaan.

13

Menurut Mossey, Montoya-Weiss and O’Driscoll (2002) di dalam Jennex &

Olfman (2005), menunjukkan model sukses implementasi KM berdasar proses yag

dilakukan pada studi kasus di perusahaan Nortel. Studi kasus menyarankan bahwa

manajemen pengetahuan tidak dapat diaplikasikan secara general dan pendekatan

proses di dalam implementasi manajemen pengetahuan akan membantu organisasi

untuk memahami bagaimana pendekatan proses dapat mengaplikasikan manajemen

pengetahuan untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Menurut Lloria (2008), setelah menganalisa berbagai literature, menyatakan

bahwa konsep yang terkandung di dalam manajemen pengetahuan antara lain :

1. Manajemen pengetahuan berhubungan baik dengan praktek bisnis maupun

penelitian

2. Konsep manajemen pengetahuan lebih luas daripada manajemen teknologi

maupun manajemen informasi

3. Manajemen pengetahuan merupakan konsep yang luas dan tersusun dari

berbagai aktivitas, kesemua aktivitas tersebut terkait dengan asset

pengetahuan

4. Pengetahuan pada prinsipnya berada di dalam pikiran manusia dan

dikembangkan melalui proses pembelajaran. Oleh karenanya manajemen

pengetahuan yang efektif akan memindahkan pengetahuan dari yang bersifat

asset manusia menjadi asset bisnis.

5. Manajemen pengetahuan mempunyai tujuan dan strategi yang berbeda-beda

untuk berbagai perusahaan, namun secara umum memiliki kesamaan.

Pengetahuan dapat dikelola dengan tujuan pengembangan peluang baru,

penciptaan nilai bagi konsumen, pengembangan kinerja perusahaan dan

pencapaian keunggulan kompetitif.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen

pengetahuan adalah proses yang bersifat teknis, customize dan strategis di dalam

pengelolaan pengetahuan sebagai asset perusahaan, yang mana proses tersebut

dilakukan dari aspek pengelolaan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi manajemen pengetahuan, aspek proses pengetahuan (socialization,

externalization, combination and internalization) sampai mengukur sejauh mana

penggunaan pengetahuan akan meningkatkan kinerja perusahaan.

14

2.4 Proses/Aktivitas Manajemen Pengetahuan

Berikut ini beberapa pendapat mengenai proses yang terjadi di dalam

manajamen pengetahuan :

Menurut Goldoni & Oliviera (2006), proses manajemen pengetahuan

memiliki tahapan sebagai berikut :

a. Creation – proses penciptaan pengetahuan yang baru.

b. Storage – proses kodifikasi pengetahuan dan menyimpannya di dalam

database pengetahuan.

c. Dissemination – proses melakukan komunikasi dan distribusi pengetahuan di

dalam organisasi.

d. Utilization – proses pemanfaatan pengetahuan.

e. Measurement – proses evaluasi implementasi KM dan hasil yang dicapai dari

implementasi KM.

Menurut Davenport & Prusak (1998), proses manajemen pengetahuan

memiliki tahapan sebagai berikut :

a. Knowledge Generation

Knowledge generation adalah aktivitas dan inisiatif yang spesifik untuk

meningkatkan pengetahuan perusahaan.

Davenport dan Prusak (1998) menyatakan bahwa kebanyakan dari inisiatif

pengetahuan yang sukses bukanlah semata proses generating pengetahuan

melainkan juga memperhatikan lingkungan eksternal termasuk struktur tim

dan lokasi kerja.

b. Knowledge Codification and Coordination

Tahapan ini bertujuan untuk memindahkan pengetahuan organisasi ke dalam

bentuk tertulis sehingga dapat diakses dengan mudah oleh orang yang

membutuhkannya.

c. Knowledge Transfer

Pengetahuan itu selalu ditransfer di dalam organisasi entah proses transfer

tersebut dikelola dengan baik atau tidak. Pertanyaannya adalah bagaimana

organisasi dapat mentransfer pengetahuan secara efektif.

Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), proses manajemen pengetahuan

memiliki tahapan sebagai berikut :

15

a. Socialization

Socialization adalah proses melakukan sharing pengalaman dan proses

menciptakan pengetahuan yang bersifat tacit seperti melakukan sharing

keterampilan teknis.

b. Externalization

Externalization adalah proses untuk mengubah pengetahuan yang bersifat

tacit ke dalam bentuk konsep pengetahuan yang bersifat eksplisit (misal

dalam bentuk, metafora, analogi, konsep, hipotesis, dan model).

c. Combination

Combination adalah proses untuk melakukan sistematisasi pengetahuan ke

dalam bentuk sistem pengetahuan. Proses ini mencakup proses

mengkombinasikan berbagai pengetahuan yang bersifat eksplisit, melalui

proses seperti studi dokumen, pertemuan, percakapan telefon dan jaringan

komunikasi terkomputerisasi.

d. Internalization

Internalization adalah proses mengubah pengetahuan yang bersifat tacit ke

dalam bentuk pengetahuan yang bersifat eksplisit. Hal ini sangat

berhubungan dengan proses “learning by doing.”

Berdasarkan definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya

definisi manajemen pengetahuan merupakan sesuatu yang bersifat debatable dan

sangat tergantung pada siapa, dimana dan tujuannya apa, manajemen pengetahuan

akan diimplementasikan. Oleh karena itu, banyaknya para pakar di dalam

mendefinisikan manajemen pengetahuan lebih tepat untuk dipandang sebagai

alternatif untuk mengimplementasikan proses manajemen pengetahuan.

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Manajemen

Pengetahuan

Di dalam kajian perbandingan penelitian tentang kerangka manajemen

pengetahuan, banyak penulis memberikan saran mengenai tiga komponen utama dari

manajemen pengetahuan yaitu knowledge management enabler (or influencing

factors), knowledge management process (or knowledge management activities) dan

organizational performance. (Lee & Choi, 2000). Penelitian ini akan lebih

16

menitikberatkan pada knowledge management enabler (or influencing factors).

Berikut ini beberapa pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi manajamen pengetahuan :

Menurut Bose, R (2004), banyak literature penelitian yang menyarankan bahwa

perlu ada 4 enablers untuk pengelolaan pengetahuan didalam sebuah organisasi.

Keempat enablers tersebut adalah budaya, teknologi, infrastruktur dan pengukuran.

Keempat enablers tersebut akan mempunyai kontribusi kepada pengembangan

pembelajaran organisasi secara keseluruhan dan perusahaan dapat menggunakan

keempat enablers tersebut untuk membangkitkan nilai perusahaan dan

menyampaikan/mengkomunikasikannya kepada konsumen melalui produk dan jasa

yang dihasilkannya. Masing-masing dari keempat enablers tersebut adalah esensial

dan tidak cukup tanpa adanya yang lainnya (saling komplementer). Keempatnya

bekerja bersama untuk kesuksesan pengelolaan manajemen pengetahuan dalam

jangka panjang.

Menurut Bose, R (2004), dari keempat enablers tersebut, culture adalah faktor

yang paling potensial dan paling sulit untuk berubah. Budaya adalah kombinasi dari

shared history, expectations, unwritten rules, dan social mores yang mempengaruhi

keseluruhannya pada perilaku dari karyawan. Teknologi adalah faktor yang

mempunyai contributor penting bagi karyawan, penggunaan teknologi groupware

dan internet/intranet/extranet secara intensif telah memberikan pengaruh yang besar

pada kemampuan karyawan untuk melakukan sharing pengetahuan dan practices

secara efektif.

Menurut Bose, R (2004), infrastruktur mencakup mekanisme transfer, seperti

teknologi, proses kerja dan jaringan orang, untuk memastikan bahwa best practices

tersampaikan ke seluruh bagian perusahaan.

Menurut Yu & Liu (2008), salah satu pertimbangan yang penting di dalam

knowledge sharing adalah bagaimana memotivasi seorang individu untuk membagi

pengetahuan yang mereka percaya bahwa pengetahuan tersebut sangat bernilai bagi

individu yang bersangkutan di dalam organisasi. Banyak perusahaan telah

menggunakan system reward/penghargaan untuk merangsang karyawan untuk saling

membagi pengetahuan satu dengan yang lain. Yu & Liu (2008) berpendapat bahwa

knowledge sharing adalah sangat terkait dengan motivasi.

17

Model yang disusun oleh Yu & Liu (2008) menyatakan bahwa motivasi

dipengaruhi oleh dua hal :

a. Commitment : compliance commitment, identification commitment,

internalization commitment

b. Need : autonomy need, relatedness need and competence need.

Untuk membuktikan kedua hal yang mempengaruhi motivasi maka Yu & Liu

(2008) menyusun hipotesis sebagai berikut :

a. Adanya hubungan yang sifatnya positif dan langsung antara kebutuhan dan

motivasi melakukan sharing pengetahuan

b. Tipe kebutuhan yang berbeda akan mempunyai dampak yang berbeda pada

motivasi melakukan sharing pengetahuan

c. Komitmen dan kebutuhan akan memiliki dampak yang dapat dispesifikasikan

di dalam motivasi melakukan sharing pengetahuan.

2.6 Model Keterkaitan Singh dan Kant (2008)

Berikut ini beberapa konsep yang terkait dengan knowledge management

barriers berdasarkan pada model yang dikembangkan Singh dan Kant (2008) :

a. Lack of top management commitment

Menurut Singh dan Kant (2008), pihak manajemen puncak di perusahaan

bertanggung jawab penuh di dalam setiap aktivitas yang terjadi di semua level

perusahaan. Manajemen puncak di perusahaan bertanggung jawab di dalam

menganalisa SWOT dari kemampuan perusahaan untuk mendapatkan visi mengenai

jenis pengetahuan yang akan dikembangkan di dalam perusahaan (Nonaka dan

Takeuchi, 1995). Komitmen manajemen adalah instrument di dalam pengembangan

struktur organisasi, infrastruktur teknologi dan berbagai proses pembuatan keputusan

di dalam perusahaan. Efektifitas implementasi manajemen pengetahuan memerlukan

komitmen dan dukungan jangka panjang dari pihak manajemen perusahaan

khususnya di dalam merekrut karyawan dan menjaga supaya karyawan merasa

nyaman bekerja di dalam perusahaan (Brand, 1998 di dalam Singh dan Kant, 2008).

Menurut Chang, et.al (2008), untuk mendapatkan kesuksesan di dalam

proyek implementasi manajemen pengetahuan, tahap yang pertama adalah

mendapatkan dukungan dan komitmen dari manajemen puncak untuk memberikan

18

inisiatifnya. Tipe kepemimpinan juga akan memberikan dampak pada outcome

manajemen pengetahuan.

Menurut Iftikhar (2003) menyatakan bahwa dukungan yang bagus dari

manajemen puncak sangat membantu tidak hanya untuk waktu pelaksanaan proyek

tetapi juga menyediakan dukungan pasca proyek. Manajemen puncak menunjukkan

komitmen dan tindakannya dalam bentuk kebijakan KM, guidelines dan aktivitas-

aktivitas. Manajemen puncak mampunyai pemahaman yang bagus tentang

pengetahuan dan keterampilan dari para staffnya.

b. Lack of technological infrastructure

Infrakstruktur teknologi menyediakan landasan bagi manajemen pengetahuan

dan meningkatkan dampak manajemen pengetahuan di dalam organisasi, dengan

cara membantu dan mengelola pengetahuan tersebut secara sistematis dan aktif

(Singh dan Kant, 2008). Banyak alternative infrastruktur teknologi informasi yang

dapat dipakai untuk mendukung implementasi manajemen pengetahuan dan

menyeleksi teknologi informasi yang sesuai untuk meningkatkan kinerja perusahaan

(Singh dan Kant, 2008).

Wu dan Wang (2006) melakukan penelitian yang lebih khusus dalam

mengevaluasi knowledge management system (KMS). Menurut Wu dan Wang

(2006), KMS adalah kelompok dari system informasi yang mengelola pengetahuan

dari organisasi, suatu KMS merupakan sistem yang dikembangkan untuk mendukung

dan meningkatkan proses organisasi dalam penciptaan pengetahuan, penyimpanan,

distribusi dan aplikasi pengetahuan. Ada 2 karakteristik dari KMS yaitu knowledge

repositories dan knowledge map. Berdasar pada knowledge repositories, KMS adalah

“ integrated, user machine system for providing information or knowledge to support

operations, management, analysis and decision making.” Definisi tersebut masih

belum berbeda dengan definisi tentang MIS (management information system),

definisi KMS menjadi berbeda dengan MIS karena adanya knowledge map di dalam

KMS. KMS menyediakan mekanisme untuk mengelola pengetahuan yang bersifat

tacit yang masih ada di dalam pikiran individu dan tidak terwujud di dalam database

perusahaan.

Wu dan Wang (2006) telah merekayasa ulang model sukses sistem informasi

berdasar DeLone and McLean’s. Dimensi model sukses yang dikembangkan oleh

19

Wu dan Wang (2006) adalah system quality, knowledge/information quality,

perceived KMS benefit, user satisfaction dan KMS Use. Wu dan Wang menguji

model suksesnya dengan menyusun beberapa ukuran untuk masing-masing dimensi.

Menurut Iftikhar (2003) menyatakan bahwa jika data, informasi dan asset

pengetahuan tidak dirawat dengan baik maka mereka akan mengalami penurunan

nilai sebagaimana asset perusahaan yang lain dan menjadi tidak berguna. Oleh

karena itu, sangat penting untuk mengetahui bagaimana suatu organisasi melindungi

dan menjaga informasi dan pengetahuannya.

Penelitian ini akan menggunakan ukuran-ukuran dimensi dari model sukses

sistem informasi yang dikembangkan oleh Wu dan Wang (2006).

c. Lack of methodology

Walaupun telah ada komitmen dari manajemen puncak perusahaan, struktur

organisasi dan infrastruktur teknologi, implementasi manajemen pengetahuan akan

gagal tanpa adanya methodologi yang sesuai. Banyak para pakar yang telah

menyusun metodologi untuk mengarahkan tahap demi tahap implementasi

manajemen pengetahuan, namun demikian organisasi harus memahami metodologi

tersebut sesuai dengan konteks yang ada di dalam perusahaan (Levett, 2000 ;

Campbell et.all, 1999 di dalam Singh dan Kant, 2008). Montano (2001)

mendefinisikan metodologi sebagai sekumpulan prosedur yang dapat diikuti untuk

mencapai tujuan.

Menurut Carillo, et.al (2003), banyak perusahaan telah memahami

pentingnya mengelola pengetahuan organisasi, namun pertanyaan muncul yaitu

bagaimana mengevaluasi keuntungan/manfaat yang manajemen pengetahuan, dengan

tahapan : mengembangkan strategi bisnis, strategi manajemen pengetahuan dan

strategi evaluasi manajemen pengetahuan.

Menurut Weggeman di dalam Der-Fu (2004) membedakan proses

manajemen pengetahuan menjadi 4 yaitu : kebutuhan terhadappengetahuan yang

sifatnya strategis, identifikasi pengetahuan yang dibutuhkan dan yang telah tersedia,

knowledge gap difokuskan pada pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah

tersedia disosialisasikan secara intensif.

Menurut Cheung et.al (2005) di dalam Soltero, et.al (2006) menyatakan

bahwa jika pengetahuan dikelola dengan baik, maka organisasi dapat menggunakan

20

pengetahuan tersebut untuk menciptakan pengetahuan yang baru dan gagasan yang

inovatif. Oleh karenanya, hal tersebut akan membantu organisasi untuk menciptakan

value/nilai bagi organisasi.

Menurut Liebowitz et.al, (2000) di dalam Soltero, et.al (2006) menyatakan

bahwa dengan mengidentifikasi pengetahuan yang dimiliki maka hal ini akan

memungkinkan untuk menemukan metode yang paling efektif untuk melakukan

penyimpanan dan pendistribusian pengetahuan dan akan menjadi dasar bagi

organisasi untuk mengevaluasi kebutuhan perubahan organisasi. Salah satu bagian

dari audit pengetahuan adalah menangkap pengetahuan yang bersifat tacit.

Penelitian ini akan menerjemahkan konsep-konsep tersebut diatas menjadi

variable manifest untuk variabel laten methodologi.

d. Lack of organizational structure

Organisasi bisnis sebaiknya memakai struktur organisasi yang sesuai dengan

tujuan bisnis perusahaan. Struktur organisasi mencakup pembagian karyawan,

pembentukan departemen dan distribusi otoritas dan kewenangan yang akan

mendukung proses informasi dan pengambilan keputusan di dalam organisasi.

Struktur organisasi merupakan spesifikasi tugas yang akan dikerjakan di dalam

organisasi dan merupakan cara untuk menghubungkan antar pekerjaan/tugas (Griffin

dan Ebert, 2005 di dalam Singh dan Kant, 2008). Ada dua tipe struktur organisasi

yaitu bureaucracy dan task force (Nonaka dan Takeuchi, 1995). Struktur yang

bersifat bureaucratic akan menghalangi aliran pengetahuan , oleh karenanya jenis

struktur organisasi yang seperti ini perlu dipertimbangkan pemakaiannya. Sedangkan

struktur organisasi yang bersifat task force lebih fleksibel dan mudah beradaptasi

sehingga memudahkan para karyawan untuk bersama-sama memecahkan masalah

(Z.Ang, P.Massingham, 2007 di dalam Singh dan Kant, 2008). Oleh karena itu,

struktur organisasi perlu mendukung transfer pengetahuan dan harus memiliki

kontribusi terhadap penciptaan dan pemakaian pengetahuan untuk kesuksesan

implementasi manajemen pengetahuan di dalam perusahaan.

Menurut Iftikhar (2003) menyatakan bahwa organisasi berbasis pengetahuan

adalah lebih berhubungan dengan jaringan dan tim kerja daripada traditional

bureadcracies. Kondisi ini menunjukkan fakta bahwa ketersediaan pengetahuan

sangat tergantung pada struktur organsasi. Dalam system struktur organisasi yang

21

hierarkhi, informasi hampir mengalir secara vertical sedangkan dalam organisasi

matriks, informasi mengalir secara vertical dan horizontal. Struktur organisasi perlu

didukung oleh sejumlah knowledge worker yang berdedikasi untuk mendukung dan

mendorong proses pengetahuan.

e. Lack of organizational culture

Budaya organisasi adalah core beliefs, value norms dan social customs yang

akan mengarahkan para individu perusahaan untuk berperilaku di dalam perusahaan

(Lemken, Kahler dan Rittenbruch, 2000 di dalam Singh dan Kant, 2008). Budaya

mempertimbangkan banyak aspek terutama collaboration dan trust. Trust merupakan

salah satu aspek budaya pengetahuan yang akan mendorong hubungan antara

individu dan kelompok dan memfasilitasi sharing pengetahuan secara lebih proaktif

dan terbuka ((Alawi, Marzooqi dan Mohammed, 2007 di dalam Singh dan Kant,

2008). Tidak adanya collaboration akan mencegah transfer pengetahuan antara

karyawan dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.

Menurut Iftikhar (2003), menyatakan bahwa sharing/membagi pengetahuan

dan keinginan untuk membantu karyawan yang lain adalah didasarkan pada

kepercayaan/trust dan rasa percaya diri/ confidence. Kepercayaan akan menguatkan

komunikasi interpersonal.

f. Lack of motivation and reward

Tujuan organisasi tidak akan tercapai kecuali jika perusahaan

mengintegrasikan konsep motivasi dan penghargaan kepada para karyawannya.

Motivasi dapat diperoleh melalui penghargaan dan pelibatan kinerja pengetahuan di

dalam proses penilaian system dan insentif (A Hariharan, 2002 di dalam Singh dan

Kant, 2008). Motivasi dapat bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Pemberian

penghargaan merupakan faktor motivasi yang ekstrinsik sedangkan motivasi yang

bersifat intrinsic merupakan sesuatu yang alamiah (Bhirud, Rodriguez, dan Desai,

2005 di dalam Singh dan Kant, 2008). Karyawan akan membagi pengetahuan secara

mudah ketika mereka termotivasi. Oleh karena itu, tanpa adanya system reward dan

penghargaan, maka akan sulit untuk mensinergikan antara manajemen pengetahuan

dan kinerja bisnis di dalam organisasi (R. Witt, 1999 di dalam Singh dan Kant,

2008).

22

Menurut Davenport de Long dan Beers (1998) di dalam Iftikhar (2003),

menyatakan bahwa karyawan akan memberikan output yang maksimum jika usaha

mereka diberikan penghargaan. Insentif sebaiknya digunakan untuk merangsang

karyawan mengulang kembali prestasi kinerjanya dan bertujuan untuk hasil yang

lebih baik.

g. Staff retirement

Banyak organisasi menghadapi banyak persoalan karena expertise retirement

(Singh et.al, 2006 di dalam Singh dan Kant, 2008) Jika seorang karyawan pensiun

maka akan sulit menemukan pengganti dari karyawan tersebut pada level

pengetahuan yang sama. Pengalaman dan expertise yang dimiliki oleh karyawan

yang pensiun akan serta merta hilang dari perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan

perlu memfokuskan pada penjagaan/pengelolaan pengetahuan dan memindahkan

pengetahuan tersebut ke dalam manajemen proses bisnis perusahaan.

h. Lack of ownership of problem

Ketiadaan rasa kepemiliki terhadap persoalan yang dihadapi akan

menyebabkan tidak adanya karyawan yang siap untuk mengambil tugas/pekerjaan

kecuali ditugasi. Situasi yang seperti ini terjadi karena tidak adanya budaya di dalam

organisasi. Para karyawan tidak siap untuk mengambil tanggung jawab dari tugas

yang tidak dibebankan kepadanya.

Menurut Handzic (2006), menyatakan bahwa supaya terhindar dari bahaya

kesalahpahaman, tugas penting pertama bagi organisasi yang mengimplementasikan

manajemen pengetahuan adalah membangun KM Awareness. Hal ini memerlukan

proses untuk mengkomunikasikan konsep manajemen pengetahuan, membangun

terminology yang bisa dipahami bersama oleh semua personil organisasi dan

menciptakan pemahaman yang sama pada seluruh level organisasi.

i. Staff defection

Program manajemen akan mengalami kegagalan karena keluarnya karyawan

yang terlatih dan berketrampilan. Situasi ini akan memnyebabkan ketidakstabilan di

dalam perusahaan.

Menurut Loquercio (2006), menyatakan bahwa keluarnya karyawan dari

perusahaan bisa dibagi menjadi dua jenis yaitu yang bisa dihindari (avoidable

turnover) dan yang tidak bisa dihindari (unavoidable turnover). Contoh yang berjenis

23

unavoidable turnover adalah karyawan yang meninggal atau mengikuti suami (jika

karyawannya adalah perempuan). Oleh karena itu, yang menjadi fokus perhatian

adalah avoidable turnover. Alasan orang/karyawan keluar dari perusahaan (yang

berjenis avoidable turnover) mempunyai dua faktor yaitu push dan pull factors.

Faktor push terjadi jika karyawan merasa tidak puas bekerja di tempat yang

sekarang, sehingga mencari alternatif pekerjaan lainnya. Sedangkan faktor pull

terjadi jika karyawan merasa ada jenis pekerjaan lain (di luar tempat kerja sekarang)

yang lebih menarik dan menantang sehingga memutuskan diri untuk berpindah

pekerjaan. Kedua faktor tersebut bisa terjadi secara bersamaan atau tidak bersamaan

pada diri seorang karyawan.

2.7 SEM (Structural Equation Modelling)

Menurut Supranto (2004), terdapat dua alasan penting kenapa pendekatan

SEM banyak dipakai di berbagai bidang :

a. Memberikan metode yang mudah dimengerti/dipahami berkenaan dengan

hubungan berganda secara simultan sementara itu juga memberikan efisiensi

statistik.

b. Kemampuannya untuk mengakses hubungan secara komprehensif dan

memberikan suatu transisi dari exploratory to confirmatory analysis.

Menurut Supranto (2004), teknik SEM juga dibedakan oleh dua karakteristik

yaitu :

a. Estimasi atau perkiraan hubungan dependensi berganda dan saling terkait

Banyak variabel yang sama mempengaruhi setiap variabel tak bebas, akan

tetapi dengan tingkatan yang berbeda. Model struktural mengekspresikan hubungan-

hubungan ini antara variabel bebas dan variabel tak bebas, bahkan kalau suatu

variabel tak bebas menjadi suatu variabel bebas dalam hubungan lainnya. Hubungan

yang diusulkan kemudian diterjemahkan ke dalam suatu seri persamaan struktural

(mirip persamaan regresi) untuk setiap variabel tak bebas.

b. Kemampuan untuk mempresentasikan konsep yang tidak terlihat dalam

hubungan-hubungan ini dan memperhitungkan pengukuran kesalahan di

dalam proses estimasi.

24

Estimasi hubungan depedensi berganda yang saling terkait tidak hanya satu-

satuya hal yang dibahas di dalam SEM, akan tetapi SEM juga mempunyai

kemampuan untuk menggabungkan variabel yang tidak terlihat atau latent variables

ke dalam analisis. Suatu latent variable merupakan suatu konsep yang dihipotesiskan

dan tak terlihat yang hanya bisa diperkirakan dengan variabel yang bisa diukur.

Variabel yang terlihat, yang dikumpulkan dari responden melalui berbagai metode

pengumpulan data (seperti survei, tes, observasi, pengukuran, eksperimen) disebut

variabel manifes.

Menurut Kusnendi, (2008) menyatakan bahwa SEM adalah model persamaan

regresi berganda dengan tujuan menguji model pengukuran dan model struktural,

karena yang dianalisis meliputi pengaruh langsung dan tidak langsung maka variabel

yang terdapat dalam model dibedakan menjadi variabel eksogen dan variabel

endogen.

Wijayanto (2007) mengatakan bahwa kombinasi antara model dari Joreskoq

(1973), Keesling (1973) dan Wiley (1973) menghasilkan suatu model persamaan

struktural, yang mengandung dua bagian :

a. Bagian pertama adalah model variabel laten

Variabel laten adalah sebuah konsep yang dihipotesiskan atau yang tidak

teramati dan merupakan variabel yang tidak terukur secara langsung

b. Bagian kedua adalah model pengukuran

Model ini menggambarkan indikator-indikator atau variabel-variabel terukur

sebagai efek atau refleksi dari variabel latennya. Varibel terukur atau teramati adalah

variabel yang nilainya dapat diperoleh dari responden melalui berbagai metode

pengumpulan data (survei, tes, observasi dan sebagainya). Variabel teramati ini juga

dikenal sebagai variabel manifest atau measured variable. Pendekatan variabel-

variabel teramati terhadap suatu konsep jarang dapat dilakukan dengan sempurna dan

hampir selalu ada kesalahan-kesalahan pengukuran. Kesalahan-kesalahan

pendekatan ini sering dikenal sebagai kesalahan-kesalahan pengukuran

(measurement errors) dan dapat diestimasi menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada

di dalam SEM. Konsep dasar dari model ini adalah confirmatory factor analysis.

25

Menurut Joreskoq dan Sorbom, 1993;1996 di dalam Kusnendi (2008)

menyatakan bahwa sama dengan analisis jalur, model struktural menjelaskan

prediksi atau hipotesis hubungan antara variabel penyebab terhadap variabel akibat.

Menurut Kusnendi (2008), sedangkan model pengukuran atau disebut juga

model deskriptif atau model CFA tidak lain adalah menjelaskan operasionalisasi

variabel penelitian menjadi indikator-indikator terukur yang dinyatakan dalam

bentuk diagram jalur dan atau persamaan matematik tertentu.

Penggabungan model pengukuran dan model struktural akan menghasilkan

suatu model yang lengkap yang dikenal sebagai Full atau Hybrid Model.

Wijayanto (2007) mengatakan bahwa bentuk model pengukuran di dalam

SEM sering disebut sebagai CFA Model (Confirmatory Factor Analysis Model).

Analisis faktor atau factor analysis di dalam CFA sedikit berbeda dengan analisis

faktor yang digunakan pada statistik/multivariat (yang dikenal sebagai Exploratory

Factor Analysis atau EFA Model).

2.8 Strategi Pemodelan dalam SEM

SEM menawarkan tiga strategi pemodelan (Hair, et.al, 1998 di dalam

Palopak, 2007) :

a. Confirmatory modelling strategy

b. Competing models Strategy

c. Model Development Strategy

Penelitian ini menggunakan strategi pemodelan yang bertipe confirmatory

modelling strategy. Tipe ini dipilih karena penelitian ini memakai model yang telah

ada dan dikembangkan oleh Singh dan Kant (2008).

2.9 Tahapan di dalam SEM

Tahapan dalam prosedur SEM secara umum akan mengandung tahap-tahap

sebagai berikut (Bollen dan Long, 1993 di dalam Wijayanto, 2007) :

a. Spesifikasi Model (model spesification)

Tahap ini berkaitan dengan pembentukan model awal persamaan struktural,

sebelum dilakukan estimasi. Model awal ini diformulasikan berdasarkan suatu teori

26

atau penelitian sebelumnya. Melalui langkah-langkah di bawah ini, peneliti dapat

memperoleh model yang diinginkan :

1. Spesifikasi model pengukuran

• Definisikan variabel-variabel laten yang ada di dalam penelitian

• Definisikan variabel-variabel teramati

• Definisikan hubungan antara setiap variabel laten dengan variabel

teramati yang terkait.

2. Spesifikasi model struktural

Definisikan hubungan kausal diantara variabel-variabel laten tersebut.

3. Gambar path diagram dari model hybrid yang merupakan kombinasi model

pengukuran dan model struktural.

b. Identifikasi (identification)

Tahap ini berkaitan dengan pengkajian tentang kemungkinan diperolehnya

nilai yang unik untuk setiap parameter yang ada di dalam model dan kemungkinan

simultan tidak ada solusinya. Yang dimaksud unik (Kusnendi, 2008) adalah

parameter yang ada dalam model dapat diestimasi dengan data sampel, hasil estimasi

dapat diuji dengan berbagai statistik uji yang ada serta hasil estimasi dapat

dibandingkan dengan model lain yang dianggap relevan.

Secara garis besar, ada 3 kategori identifikasi dalam persamaan simultan

yaitu :

1. Underidentified

Yaitu model dengan jumlah parameter yang diestimasi lebih besar dari

jumlah data yang diketahui (data tersebut merupakan variance dan

covariance dari variabel-variabel teramaati)

2. Just identified

Yaitu model dengan jumlah paramater yang diestimasi sama dengan data

yang diketahui.

3. Over identified

Yaitu model dengan jumlah parameter yang diestimasi lebih kecil dari jumlah

data yang diketahui.

Di dalam SEM, kita berusaha untuk memperoleh model yang overidentified

dan menghindari model yang underidentified.

27

Model yang just identified disebut juga saturated model atau perfect fit model

(Joreskoq dan Sorbom, 1993; 1996 di dalam Kusnendi 2008), artinya model mampu

mengestimasi semua parameter model yang nilainya cenderung sama dengan statistik

data sampel. Jika model yang underidentified memiliki derajat kebebasan negatif

maka model yang overidentified memiliki derajat kebebasan positif, artinya seluruh

parameter yang ada dalam model lebih besar dari jumlah parameter yang diestimasi.

Bagi kebanyakan peneliti, model yang overidentified merupakan model yang paling

disukai (Kerlinger, 1990; Maruyama, 1998 di dalam Kusnendi 2008), alasannya

adalah model tersebut memungkinkan untuk dievaluasi secara utuh oleh berbagai

statistik uji (Hair, Anderson, Tatham dan Black, 1998 di dalam Kusnendi, 2008)

serta model memungkinkan untuk ditolak (Ghozali, 2004: 35 di dalam Kusnendi,

2008)

c. Estimasi (estimation)

Tahap ini berkaitan dengan estimasi terhadap model untuk menghasilkan

nilai-nilai parameter dengan menggunakan salah satu metode estimasi yang tersedia.

Pemilihan metode estimasi yang digunakan seringkali ditentukan berdasarkan

karakteristik dari variabel-variabel yang dianalisis.

Setelah mengetahui bahwa identifikasi dari model adalah just atau over

identified, maka tahap berikutnya, kita melakukan estimasi untuk memperoleh nilai

dari parameter-parameter yang ada di dalam model. Ada beberapa jenis estimator

antara lain : Instrument Variable (IV), two stage least square (TSLS), unweighted

least square (ULS), generaliza least square (GLS), maximum likelihood (ML),

weighted leaste square (WLS) dan diagonally least square (DLS).

d. Uji kecocokan (testing fit)

Tahap estimasi menghasilkan solusi yang berisi nilai akhir dari parameter-

parameter yang diestimasi. Dalam tahap ini, kita akan memeriksa tingkat kecocokan

antara data dengan model, validitas dan reliabilitas model pengukuran dan

signifikansi koefisien-koefisien dari model struktural.

Menurut Hair et.al (1998) di dalam Wijayanto (2007), menyatakan bahwa

evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model dilakukan melalui beberapa

tahapan yaitu :

28

1. Kecocokan keseluruhan model (overall model fit)

Sebagaimana telah disebutkan, dalam LISREL pengujian dilakukan dengan

menggunakan beberapa ukuran kesesuaian model (GOF) yang terdiri atas ukuran

yang bersifat absolut, komparatif dan parsimoni. Berdasarkan ketiga jenis GOF

tersebut suatu model diindikasikan sesuai atau fit dengan data jika model cocok

secara absolut dengan data, relatif lebih baik jika dibandingkan dengan model lain

serta relatif sederhana jika dibandingkan dengan model alternatif (Bachrudin dan

Tobing, 2003 di dalam Kusnendi, 2008). Berikut ini ringkasan beberapa ukuran

GOF yang paling banyak digunakan para peneliti dalam menguji kesesuaian model :

Tabel 2.1. Ringkasan ukuran goodness of fit (GOF)

Ukuran GOF Kriteria Kesesuaian Model Kriteria Uji Hasil Uji p- value 1,00 (model fit sempurna) ≥ 0,05 Model fit RMSEA 0,00 (model fit sempurna) ≤ 0,08 Model fit GFI, AGFI, CFI, NFI dan NNFI

0,00 (tidak fit) – 1,00 (fit sempurna)

≥ 0,90 Model fit

Sumber : Schumacker dan Lomax (1996), Ferdinand (2002), Hair, Anderson, Tatham dan Black (1998), Maruyama (1998), Ghozali (2004), Joreskoq dan Sorbom (1996), Bachrudin dan Tobing (2003), Browne dan Cudeck (1993) di dalam Kusnendi (2008)

2. Kecocokan model pengukuran (measurement model fit)

Kecocokan model pengukuran dievaluasi dengan :

a. evaluasi validitas dari model pengukuran, suatu variabel dikatakan

mempunyai validitas yang baik jika (Rigdon & Fergusson, 1991, Doll, Xia,

Torkzadeh, 1994 dan Igbaria et.al., 1997 di dalam Wijayanto, 2007) :

• nilai t-muatan faktornya (factor loadings) lebih besar dari nilai kritis (≥

1,96 atau untuk praktisnya ≥ 2)

• muatan faktor standarnya (standardized factor loadings) ≥ 0,70 atau

muatan faktor standarnya ≥ 0,50

b. evaluasi reliabilitas dari model pengukuran (Fornel & Larker, 1981 di dalam

Wijayanto, 2007) :

Construct Reliability = ( )

( ) ∑∑∑

+ jedarloadings

darloadings2

2

tan

tan

29

3. Kecocokan model struktural (structural model fit)

Kecocokan model struktural dievaluasi dengan : nilai-nilai Goodness of Fit

(GOF) dan nilai uji t

Menurut Kusnendi (2008), menguji model SEM mengandung dua hal :

pertama, menguji kesesuaian model secara keseluruhan dan kedua, menguji secara

individual hasil estimasi parameter model. Pengujian pertama erat hubungannya

dengan persoalan generalisasi, yaitu sejauh mana estimasi parameter model dapat

diberlakukan terhadap populasi. Sedang pengujian kedua berhubungan dengan

menguji hipotesa dengan menggunakan statistik uji t. Terkait hal tersebut, LISREL

menetapkan (default) statistik uji t pada tingkat kesalahan (α) 5%, artinya nilai

statistik t kritis yang ditetapkan adalah sebesar 1.96 (Joreskog dan Sorbom, 1993 :

107 di dalam Kusnendi, 2008).

e. Respesifikasi (respecification)

Tahap ini berkaitan dengan respesifikasi model berdasarkan atas hasil uji

kecocokan tahap sebelumnya.

Banyak software yang menawarkan SEM , antara lain : LISREL, AMOS,

EQS, ROMANO, SEPATH dan LISCOMP. LISREL merupakan program SEM yang

paling banyak dan paling umum digunakan, dikarenakan LISREL memiliki

kecanggihan dan kemampuan yang lebih dalam mengestimasi berbagai masalah

dalam SEM. Selain itu, LISREL menyajikan output hasil pengolahan statistik yang

paling informative, sehingga modifikasi model dan penyebab tidak fit atau buruknya

suatu model dapat diketahui dengan mudah (Ghozali, 2005 di dalam Palopak, 2007).

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penelitian ini akan menggunakan

sotware LISREL untuk menganalisa data SEM. Pada halaman berikut ini akan

disampaikan tabel mengenai notasi-notasi yang dipakai di dalam LISREL.

Tabel 2.2. Notasi di dalam LISREL

No. Notasi dan gambar Deskripsi Notasi output

lisrel

1. X Variabel manifest/indikator untuk variable laten eksogen

2. Y Variabel manifest/indikator untuk variable laten endogen

3. Ξ Ksi, lambang menyatakan variabel laten eksogen KSI

30

4. Η Eta, lambang menyatakan variabel laten endogen ETA

5. Β Beta, koefisien jalur antar variabel laten endogen BETA

6. Γ Gamma, koefisien jalur variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen

GAMMA

7. Φ Phi, korelasi antar variable laten eksogen dalam persamaan struktural

PHI

8. Ψ Psi, korelasi antar variable laten endogen dalam persamaan struktural

PSI

9. Λ Lambda X, koefisien bobot faktor variabel manifest eksogen

LAMBDA X

10. Λ Lambda X, koefisien bobot faktor variabel manifest endogen

LAMBDA Y

11. ∆ Theta-delta, kekeliruan pengukuran variabel manifest/indikator eksogen X

THETA-DELTA

12. Ε Theta-epsilon, kekeliruan pengukuran variabel manifest/indikator endogen Y

THETA-EPS

13. Ζ Zeta, kekeliruan, residual atau error variance dalam persamaan model struktural

PSI

14. □ Tanda menyatakan variabel manifest, baik eksogen maupun endogen

15. ○ Tanda menyatakan variabel/konstruk laten, baik eksogen maupun endogen

16. ↔ Tanda menyatakan hubungan korelatif antarvariabel laten eksogen

17. → Tanda menyatakan hubungan kausal atau pengaruh

antar variabel laten eksogen dengan variabel laten endogen

Sumber : Joreskog dan Sorbom (1996), Hair, Anderson,Tatham & Black (1998), Maruyama (1998) di dalam Kusnendi (2008) hal. 44