bab ii kajian pustaka - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0911004_bab2.pdf ·...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
Saat ini belum banyak tulisan berdasar penelitian atau kajian serius menyoal
fesyen anak-anak muda. Sedikitnya literatur fenomena fesyen anak-anak muda sedikit
banyak dipicu oleh fesyen yang kurang mendapat tempat dalam ranah kajian budaya
maupun dalam kajian seni dan keberadaan anak-anak muda dalam konfigurasi
budaya. Fesyen dan pakaian menunjukkan profil yang ambigu dan memancing
kepenasaran. Pada satu sisi profilnya kelihatan atraktif dan menggoda. Namun, pada
sisi lain, profil itu kelihatan kurang atraktif meski tetap menggoda. Cara fesyen,
pakaian, dan tekstil, muncul dalam perbincangan keseharian mencerminkan
pandangan ini, pandangan yang kurang menyakinkan dan kurang disambut hangat.
Dalam perbincangan keseharian, fesyen diasosiasikan dengan tipu-daya dan hal
remeh-temeh (Barnard, 2006:1-2).
Fesyen ataupun pakaian mempunyai peran penting dan arti penting dalam
pergaulan sosial. Menurut Nordholt pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan.
Pakaian dapat dilihat sebagai perpanjangan tubuh yang menghubungkan tubuh
dengan dunia sosial dan juga memisahkan keduanya (Nordholt, 2005:1). Pakaian
merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena seseorang mendefinisikan dan
mendiskripsikan diri sendiri melalui pakaian (Lury, 1998). Disadari atau tidak,
kaidah-kaidah berpakaian menjadi sarana dalam membentuk dan mereproduksi
berbagai kelompok masyarakat, dalam pengertian bahwa ikatan yang terjalin diantara
9
10
kelompok-kelolompok ini menjadi terlihat jelas sehingga sangat sulit dilintasi
(Nordholt, 2005:2). Dan, yang perlu mendapat perhatian, sejak pertengahan 1980-an
fesyen memiliki profil yang lebih tinggi dalam pemikiran akademik, pameran-
pameran internasional dan media populer dibandingkan sebelumnya (Anderson,
2005).
Skripsi Bekti Kurniawan (2013) pada Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI
Yogyakarta yang berjudul Kajian Semiotika Tanda dan Simbol Pada Desain T-Shirt
Ouval Research Tahun 2011 membahas di dalam disain t-shirt terdapat elemen tanda
berupa tanda verbal dan tanda visual tanda tersebut mengandung aneka interpretrasi
makna konotasi. Teori semiotika yang digunakan merupakan teori semiotika Pierce
untuk melihat ikon, indeks, dan simbol. Hasil penelitiannya memahami bahwa, dalam
desain t-shirt Ouval Research tahun 2011 merepresentasikan idealisme dan opini
Ouval Research terhadap kondisi kalangan anak muda yang mejadi target audience
dari Ouval Research sendiri.
Kebaruan dari penelitian ini adalah menggunakan pendekatan Cultural
Studies dalam membedah representasi visual produk fesyen clothing distro. Fesyen
yang diproduksi Ouval Research akan dilihat sebagai identitas dibalik proses
produksi makna di dalam bahasa visual pakaian melalui pendekatan Cultural Studies.
Mempertimbangkan keberadaan fesyen dalam ranah kajian diatas, maka
dalam penelitian ini sengaja mengkaji pustaka-pustaka yang berkaitan dengan
penelitian seperi buku-buku, baik umpulan tulisan dalam bentuk jurnal penelitian,
maupun esai yang berhubungan dengan fesyen, distro, street art, dan pendekatan
Cultural Studies baik yang dicetak ataupun yang berada di website.
11
1. Street Art
Street art terlahir dari adanya paradigma hibriditas pada budaya visual
global, dimana sebuah gaya postmodern yang timbul di area perkotaan yang
pada awalnya berisi dengan pesan-pesan mengenai isu perkotaan. (Martin,
2012). Street art dilakukan dengan tidak berizin, tidak ada klasifikasi bentuk
media, dimana aktifitasnya memakai media umum dengan proses merespon
ruang. Street art pada umumnya saat ini banyak dianggap sebagai aktifitas
vandal, mengganggu dan tidak jarang dianggap sebagai polusi visual.
Sedangkan pada awal street art hadir, street art merupakan bentuk seni global
yang menjadi titik balik dari penerimaan pop-art pada awal 1960-an. Pada
tahun 1990-an street art merupakan bagian dari kehidupan urban, dimana
pelaku seni street mengekspresikan seninya kedalam tiap media vertikal
diarea publik. Konten yang terdapat pada street art berupa ekspresi diri pelaku
seni tersebut yang bernada protes terhadap isu perkotaan yang biasanya
mengenai pemerintahan serta isu lingkungan dan identitas diri pelaku seninya.
Di tahun 2000-an street art mulai dianggap sebagai seni, dimana street art
telah masuk kedalam institusi seni. Institusi seni mengkombinasikan budaya
punk dan hiphop sebagai bagian dari street art, dan pada masa ini juga street
art diteliti dan suatu instansi pendidikan dapat mengkelaskan bentuk-bentuk
street art.
12
2. Distro
Distro merupakan singkatan dari distribution store yang berarti toko
distribusi, untuk mendistribusikan produk dari suatu komunitas. Seperti
komunitas musik dari band-band independent (indie) sampai komunitas
skateboard. Distro sendiri dikenal di Indonesia sebagai toko yang menjual
pakaian dan aksesori dengan menerapkan sistem titip (oleh si pembuat
pakaian) kepada pemilik toko atau diproduksi sendiri oleh pemilik toko
tersebut. Distro umumnya merupakan industri kecil dan menengah (IKM)
sandang dengan merk independent yang dikembangkan oleh anak muda.
Produk yang dihasilkan oleh distro diusahakan untuk tidak diproduksi secara
massal, agar mempertahankan sifat eksklusif suatu produk. (Rachmawati,
2008:2).
Erat kaitannya dengan komunitas anak muda, di awal kemunculannya
distro memang digunakan sebagai sarana penunjang kebutuhan komunitas
tersebut sehingga tidak tergantung pada produk impor yang diproduksi oleh
industri mapan. (Widyatmoko, 2007:203). Pada mulanya distro tumbuh dan
berkembang di kalangan pelaku musik indie. Distro ini dimaksudkan sebagai
tempat menjual semua produk dari band indie, mulai dari album-album band
indie sampai ke pernak-perniknya seperti kaos dan aksesoris dan produk-
produk apparel untuk skateboard misalnya.
Namun, distro sendiri baru berkembang penuh pada tahun 1998,
dikarenakan keinginan anak muda untuk membangun identitas dan kebebasan
dalam mengekspresikan dirinya, tetapi dalam kondisi yang serba terbatas.
13
Perkembangan tersebut didorong pula oleh krisis keuangan yang melanda
Indonesia sehingga anak muda tidak mampu lagi membeli barang impor
sebagai penanda identitas. Kemudian mereka menciptakan sendiri
perlengkapan komunitasnya dengan modal yang relatif terbatas. Pada mulanya
produk-produk tersebut diciptakan bukan untuk tujuan bisnis, tetapi untuk
identitas diri. Distro mengutamakan nilai keunikan yang ada pada produk-
produk yang dijualnya, sehingga produk yang dijual diproduksi dalam jumlah
yang sangat terbatas/non masal (Rahardjo, 2012:72).
Distro di Indonesia bermula dari Bandung, kemudian berkembang
lebih jauh lagi menjadi distributor bagi produk clothing lokal dan menjadi
sebuah industri kreatif yang bukan lagi sebuah usaha kecil-kecilan. Kepala
Bagian Perekonomian Kota Bandung Ema Sumarna mengungkapkan, ada tiga
dari 14 item industri kreatif yang menjadi unggulan Kota Bandung, yakni
clothing, kuliner dan craft. Industri tersebut mampu menyerap 650.000 tenaga
kerja. Sementara 400 distro yang ada di kota Bandung menyerap sekitar
300.000 tenaga kerja (Suharyadi, 2007:25).
Perkembangan distro juga didukung adanya teknologi informasi yang
memudahkan setiap komunitas yang ada untuk berhubungan dan
mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Melalui jaringan telepon dan
internet orang dapat membangun komunitas untuk mendukung pemasaran
suatu produk. Dahulu ukuran keberhasilan bisnis suatu distro diukur dari
banyaknya pengunjung yang datang, saat ini dengan perdagangan online
14
menjadi lebih luas lagi jangkauannya. Perdagangan antar kota, antar pulau,
bahkan ke mancanegara bukan sesuatu yang sulit lagi (Rahardjo, 2012:75).
Distro dan clothing merupakan dua hal yang saling berhubungan erat,
keduanya memiliki perbedaan yang terletak pada system produksi, lokasi, dan
cara kerjanya. Clothing sendiri merupakan produsen yang semua produknya
menggunakan merk sendiri. Produk tersebut sebagian besar berupa kaos (t-
shirt), yang kemudian berkembang sampi saat ini dengan mengeluarkan
berbagi produk sebagai penunjang lifestyle seperti kemeja, celana, jaket, tas,
dll dalam perkembangannya, terminologi distro mencakup pengertian sebagai
distributor dari clothing karena distro merupakan tempat menjual produk-
produk clothing (Widyatmoko, 2007:203).
FO atau singkatan dari factory oultlet, pada dasarnya berbeda dengan
distro yang membuat dan menjual produknya sendiri. FO cenderung lebih
mengutamakan pada proses penjualan suatu produk, yang mana produk
tersebut di dapat dari pabrik lain, atau bahkan di awal kemunculannya
terutama di Bandung, FO cenderung menjajakan produk-produk pakaian
dengan konsep dasarnya yaitu menjual sisa barang dari pabrik kualitas ekspor
yang dijual dengan harga miring alias murah. FO merupakan toko pengecer
yang hanya sebagai tempat menjual atau penyalur suatu produk. Sedangkan
distro selain membuat dan menjual produk sendiri dalam jumlah terbatas juga
memasarkan produknya melalui penyalur lain dan menerima produk distro
lain (Ma’ruf, 2006:3).
15
Distro atau distribution store sendiri merupakan sebuah ideologi yang
sangat anti keseragaman pemikiran. Mereka sangat menghargai perbedaan
dalam bentuk apapun. Kehadiran distribution store juga sebagai representasi
ideologi anak muda yang anti keseragaman selera dan pola pikir
atau mainstream serta DIY atau do it yourself.
3. Cultural Studies
Penggunaan Cultural Studies sebagai pembahasan dalam kajian visual
desain ini menjadikan makna dari Cultural Studies sebagai pisau bedah
kajian. Perkembangan Cultural Studies mencakup berbagai bidang termasuk
dalam kesenian. Salah satunya adalah produk distro ouval research yang pada
dasarnya suatu produk yang berkaitan erat dengan keadaan masyarakat. Untuk
lebih jelasnya pengertian Cultural Studies dapat dilihat dari pendapat para ahli
sebagai berikut.
Stuart Hall menyebutkan bahwa Cultural Studies merupakan suatu hal
yang tidak tetap, selalu berubah sesuai jaman berhubungan dengan kejadian –
kejadian masa lampau. Mencakup berbagai hal dalam aspek kehidupan
manusia pada umumnya mengambil suatu hal yang sedang menonjol disaat ini
juga. Cultural Studies mengandung wacana yang berlipat ganda, bidang ini
memuat sejumlah sejarah yang berbeda. Cultural Studies merupakan
seperangkat formasi, ia merekam momen – momen dimasa lalu dan kondisi
krisisnya (conjuncture) sendiri yang berbeda. Cultural Studies mencakup
berbagai jenis karya yang berbeda, senantiasa merupakan seperangkat
16
informasi yang tidak stabil dan mempunyai banyak lintasan. Kebanyakan
orang telah mengambil posisi teoritis yang berbeda, kesemuanya teguh pada
pendiriannya (Stuart Hall 1992 : 278).
Cultural Studies mencakup hal-hal yang tidak terbatas, selalu ada
hubungannya dengan sejarah perjalanan manusia ketika fenomena itu terjadi
akan terjadi suatu polemik dalam masyarakat. Cultural Studies senantiasa
merupakan wacana yang membentang, yang merespons kondisi politik dan
historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan,
ketidaksetujuaan, dan intervensi (Storey, 2007 : 2)
Cultural Studies merupakan suatu bidang studi yang hangat, memikat
dan telah menjadi kegemaran di tengah-tengah kalangan progresif dengan
budaya (culture) sebagai tema kajiannya, merupakan suatu pendekatan atau
perspektif baru bagi kajian budaya kontemporer. Istilah studi menyuguhkan
bidang telaah yang cukup luas cakupannya, dan bisa saja hingga mencakup
pada studi bisnis, manajemen bahkan yang lain. Cultural Studies sendiri bisa
muncul di mana saja bahkan pada bidang sains dan tekhnologi, sehingga bisa
dikatakan bahwa Cultural Studies tidak memiliki wilayah subjek yang bisa
didefinisikan secara jelas. Hal ini membuat Cultural Studies sangat berbeda
dengan disiplin-disiplin ilmu konvensional yang memiliki wilayah kajian dan
batasan yang sangat jelas.
Cultural Studies bertitik pijak pada budaya dan semua hal yang
berkaitan dengannya. Sedangkan budaya sendiri hingga saat ini masih
merupakan suatu topik perbincangan yang memuat berbagai penafsiran yang
17
berbeda-beda atau bisa dikatakan menunjukan sifat ambiguitas disetiap
disiplin ilmu, dan tergantung pada si pengama apakah menggunakan cara
pandang idealis atau materialis. Meskipun bertitik pijak pada budaya,
pengertian budaya dalam Cultural Studies berbeda (bisa dikatakan baru)
dengan pengertian yang dikembangkan dari kajian-kajian pada masa
sebelumnya. Hal ini muncul pada tahun 1960-an, yang mana budaya
dipandang sebagai suatu yang tak terpisahkan dari masyarakat kontemporer
dan hubungannya dengan aspek kekuasaan yang ada di dalamnya. Pada tahun
itu juga istilah Cultural Studies ini diciptakan dan didirikan oleh oleh Richard
Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thompson dan Stuart Hall. Tepatnya pada
tahun 1964 Pusat Studi Kontemporer Budaya Birmingham atau CCCS
(Centre of Contemporary Cultural Studies) di Universitas Brimingham
(Ziauddin dan Borin, 2001:24).
Cultural Studies mengandung wacana yang berlipat ganda, dengan
memuat sejumlah sejarah yang berbeda. Cultural Studies merupakan
seperangkat formasi, ia merekam kejadian di masa lalu dan kondisi krisisnya
(conjuncture). Cultural Studies senantiasa merupakan seperangkat informasi
yang tidak stabil dan mempunyai banyak lintasan, dengan para penelitinya
menggunakan posisi teoritis yang berbeda, dengan menghasilkan hasil
(pengertian) baru dan kesemuanya teguh pada pendiriannya (Hall, 1992: 278).
Cultural Studies senantiasa menjadi wacana yang membentang, yang
merespons kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai
18
dengan perdebatan, ketidak setujuan, dan intervensi (Storey, 2007:2),
sehingga menjadi suatu polemik dalam masyarakat.
Cultural Studies tidak memiliki wilayah subjek yang didefinisikan
secara jelas seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka Cultural Studies tidak
memiliki afiliasi disiplin ilmu yang tunggal, ia merupakan lapangan yang
bersifat trans-disipliner dan bahkan bersifat counter-diciplinary. Ia bisa
meminjam berbagai ilmu sosial, humaniora bahkan seni, bahkan ia pun
mengambil berbagai macam teori dari antropologi, psikologi, linguistik, kritik
sastra, politik, dan lain sebagainya hingga mungkin semua disiplin ilmu akan
diambil dan diadopsi sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya.
Sesuatu yang dipertaruhkan oleh Stuart Hall sebagai salah satu dari
bapak pendiri Cultural Studies, adalah kaitan Cultural Studies dengan
persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan
representasi dari kelompok-kelompok social yang terpinggirkan, terutama
representasi yang menyangkut kelas, gender, dan ras daripada itu, Cultural
Studies bukanlah bangunan pengetahuan yang netral dan bahkan menurut Hall
produksi bangunan pengetahuan itu sendiri merupakan suatu tindakan politik
(Sandi, 2011:28). Maka dapat dikatakan bahwa, Cultural Studies tidak hanya
mengkaji sesuatu bidang kajian dari satu pihak saja melainkan dari berbagai
pihak, bahkan dari pihak yang terpinggirkan sekalipun, dalam Cultural
Studies dikenal dengan istilah yang lain (the other) dengan aksi-aksi
perlawanannya, maka dari itu dalam Cultural Studies menggunakan konsep
19
utama tanda (sign) sebagai sarana guna menerapkannya, dengan
menggunakan semiotika.
4. Fesyen sebagai komunikasi
Fesyen adalah istilah yang tidak asing lagi, yang secara sepintas adalah
mengenai pakaian atau busana. Fesyen adalah sesuatu yang sangat dekat
dengan kehidupan manusia. Etimologi fesyen terkait dengan bahasa Latin,
factio, yang artinya membuat atau melakukan. Kata lain yang mengawali kata
fesyen adalah facere yang artinya juga membuat dan melakukan. Arti kata
fesyen tersebut mengacu pada hal yang berkaitan dengan suatu kegiatan. Jadi,
fesyen merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, bukan hanya seperti
pemaknaan yang dewasa ini lebih mengemuka, yaitu memaknai fesyen
sebagai sesuatu yang dikenakan oleh seseorang (Barnard, 2011:11-13).
Produk-produk fesyen sekarang ini sudah sangat banyak dijumpai di
pasaran, seperti baju, celana, topi, selendang, sarung, jilbab, berbagai
aksesoris (perhiasaan kalung, gelang, ataupun anting), termasuk kaus atau t-
shirt. Fesyen menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari penampilan dan gaya
keseharian. Fesyen digunakan oleh seseorang memiliki berbagai macam
fungsi antara lain adalah sebagai penutup tubuh, perlindungan dari cuaca
(panas/dingin), kesopanan (penutup aurat), daya tarik seksual, ekspresi
individual, status dan peran sosial, simbol politik, ritual kegiatan tertentu, dan
rekreasi.
20
Fesyen juga memiliki fungsi sebagai alat komunikasi. Fesyen termasuk
komunikasi nonverbal karena mampu menyampaikan pesan-pesan tanpa
bahasa atau tanpa kata. Fesyen memungkinkan seorang individu untuk
memproduksi dan mempertukarkan makna dan nilai-nilai identitasnya dalam
tataran sosial melalui sarana komunikasi,. Segala hal bentuk fesyen atau
pakaian dipadu-padankan dengan desain yang unik dan menarik menjadi alat
yang dapat menunjukkan identitas si pemakai. Fesyen atau pakaian yang
seseorang kenakan akan membuat pernyataan tentang penampilan. Fesyen
merupakan salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas dari
penampilan luar seseorang.
Perkembangan fesyen atau pakaian tidak bisa lepas dari sejarah
kehidupan dan kebudayaan manusia. Definisi kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 2009:144). Menurut Williams (dalam Barnard, 2011:51)
budaya merupakan suatu deskripsi atas suatu cara hidup tertentu, yang
mendeskripsikan nilai-nilai dan makna-makna tertentu, bukan hanya dalam
seni dan belajar, melainkan juga dalam institusi dan perilaku biasa. Fesyen
dianggap sebagai bentuk fenomena budaya karena di dalamnya bisa dipahami
suatu sistem penandaan untuk mengomunikasikan keyakinan, nilai-nilai, ide-
ide, dan pengalaman melalui praktek-praktek, artefak-artefak, dan institusi-
institusi. Singkatnya, fesyen merupakan cara yang digunakan suatu kelompok
untuk mengonstruksi dan mengomunikasikan identitasnya.
21
Fesyen bukan hanya cara bagi suatu kelompok sosial
mengomunikasikan identitasnya, melainkan juga cara untuk menentang dan
melawan posisi kekuasaan yang mendominasi dalam tatanan sosial melalui
ide-ide, keyakinan, dan nilai-nilai kelompok yang diekspresikan dalam fesyen
yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat mengenai aspek ideologis
fesyen bahwa dalam kelompok sosial, fesyen merupakan bagian dari proses
membangun, menopang, dan mereproduksi posisi kekuasaan, serta relasi
dominasi dan didominasi (Barnard, 2011:59).
5. Retorika Visual
Pada ideologi yang berlaku umum, penanda konotasi dijadikan satu
berdasarkan substansi tertentu. Penanda-penanda seperti ini disebut dengan
konotator. Dan sekumpulan konotator membentuk retorika. Retorika
merupakan bagian dalam proses pertandaan yang berurusan dengan penciptaan
ideologi. Retorika bervariasi bergantung pada substansinya (pada suara yang
terucap, pada imaji, ataupun gerak tubuh). Namun, tidak pada
bentuk/konotator. Dengan demikian, retorika imaji (berdasarkan klasifikasi
terhadap konotatornya) tidak hanya berlaku khusus/spesifik pada keterbatasan
penglihatan fisikal (berbeda dengan misal keterbatasan bunyi), tetapi secara
umum terdapat kemungkinan terhadap isi/petanda konotasi yang terbentuk
lebih dari hubungan formal antarelemen. Retorika ini dapat dibangun dengan
dasar adanya inventaris (Barthes, 1977:49).
22
Mitos, ideologi, dan retorika beroperasi pada level konotasi. Fungsi
denotasinya adalah mengalamiahkan konotasi, untuk menjadikannya seolah
tampak alamiah. Denotasi muncul menjadi satu tingkatan makna harfiah yang
di mana pun sama begitu adanya. Akibat denotasi ini tampak alamiah, orang
yakin konotasinya juga alamiah. Inilah dampak retorika imaji, ideologi adalah
proses tempat berlangsungnya budaya yang dipresentasikan agar dipahami
sebagai hal yang alamiah (Barthes, 1977:51).
Pandangan umum yang berkembang di masyarakat menganggap bahwa
gambar atau imaji merupakan wilayah yang bersifat resisten dan samar-samar
terhadap makna. Kesimpangsiuran ini diduga muncul karena dipengaruhi oleh
dua hal. Pertama, karena ide yang mengatakan bahwa gambar atau imaji
merupakan bentuk representasi atau dalam istilah Barthes disebut
pembangkitan kembali. Kedua, karena sebuah pandangan yang mengatakan
bahwa segala hal yang dapat ditangkap bersifat antipatif terhadap sesuatu yang
liar dan belum terungkap. Berdasarkan dua pandangan tersebut, gambar atau
imaji dipahami sebagai batas dari makna dan gambar atau imaji
memungkinkan adanya pengakuan terhadap hakikat hidup dalam proses
penandaan. Gambar atau imaji bersifat retorik dan persuasif.
Sebuah kajian mengenai retorika visual sebuah gambar atau imaji dapat
menjawab berbagai pertanyaan tentang sifat retoriknya. Pertanyaan tersebut
mulai dari bagaimana sebuah makna bisa diselundupkan ke dalam sebuah
gambar atau imaji, kapan dan di mana proses tersebut berhenti, sampai pada
pertanyaan bagaimanakah atau seperti apakah wujud sebuah gambar atau imaji
23
setelah disetubuhi makna. Secara singkat dan umum, pertanyaan-pertanyaan
tersebut adalah untuk mencari pesan-pesan yang termuat dalam gambar atau
imaji.
Untuk menganalisis retorika visual pada sebuah desain secara utuh,
terdapat tiga jenis pesan yang dapat ditemukan, yaitu pesan linguistik, pesan
ikonik terkode, dan pesan ikonik tak terkode.
Pertama, pesan linguistik menjadikan gambar atau imaji dapat diartikan.
Fungsi pesan linguistik berkaitan dengan kedua pesan lainnya adalah sebagai
jangkar dan penghubung. Fungsi pertama bisa juga disebut fungsi denominasi,
artinya mengidentifikasi dan menamai suatu objek sehingga bisa dibedakan
dengan objek yang lainnya. Fungsi jangkar juga dapat mengungkapkan semua
kemungkinan makna suatu objek lewat aktivitas penamaan. Sifat fungsi
jangkar adalah ideologis, dalam artian bahwa teks memperkenalkan pembaca
dengan banyak petanda, lalu memilih tertambat atau berhenti pada satu petanda
dan menolak petanda yang lainnya. Fungsi yang kedua sebagai penghubung.
Biasanya ditemukan dalam komik dan naskah dialog film. Fungsi ini
menghubungkan makna-makna pada aksi dan peristiwa yang tidak ditemukan
dalam gambar itu sendiri.
Kedua adalah pesan ikonik terkode. Proses penciptaan gambar visual
dipandang sebagai proses pengkodean yang di dalamnya bukan lagi memuat
relasi antara sesuatu yang bersifat natural atau alamiah (tanpa modifikasi) dan
sesuatu yang sarat akan muatan budaya (penuh dengan modifikasi), melainkan
sudah merupakan relasi antardua budaya yang berbeda. Semua jenis gambar
24
visual menggunakan tanda-tanda yang secara sengaja dikonstruksi dengan
menerapkan aturan-aturan transformasi. Ketika mereproduksi sebuah objek ke
dalam bentuk gambar dibutuhkan seperangkat kaidah pengatur tertentu.
Karakteristik pesan tidaklah substansional atau tetap, tetapi bersifat
relasional atau terbentuk karena keterhubungannya dengan yang lainnya.
Selain itu, pesan ini bersifat utuh karena memiliki satu makna yang
mengidentifikasi terhadap apa yang direpresentasikan. Singkatnya, pesan ini
merupakan garda depan integibilitas yang didalamnya terdapat elemen-elemen
berupa garis, warna, dan bentuk. Pesan ini lahir saat suatu gambar atau imaji
ditelanjangi dari tanda-tanda konotasinya. Oleh karena itu gambar atau imaji
diyakini dalam keadaan yang paling sempurna dan dapat menjadi sangat
objektif.
Terakhir, ada pesan ikonik tidak terkode. Seperti telah diketahui bahwa
tanda-tanda yang merepresentasikan pesan ketiga ini adalah bersifat
diskontinyu meskipun jika suatu petanda sangat memenuhi atau serupa dengan
imaji dan petanda tersebut tetap merupakan tanda tersendiri yang berbeda
dengan tanda yang lainnya. Sekalipun keterhubungan antar elemen dalam
tanda bersifat analogis, tanda tersebut tetap berasal dari kode kultural. Hal ini
memiliki konsekuensi bahwa satu unit tanda pada suatu imaji bisa dibaca-tafsir
secara berbeda oleh masing-masing individu.
Munculnya multi tafsir di sini tidak bersifat anarkis, tetapi sebaliknya
sangat menjunjung tinggi perbagai pengetahuan, entah pengetahuan praktis,
estetis, ataupun kultural yang tertanam dalam gambar atau imaji. Proses baca-
25
tafsir terhadap gambar atau imaji bisa bervariasi karena setiap tanda terhubung
dengan begitu banyak pengetahuan. Di sini gambar atau imaji disebut
menyerahkan diri untuk dibaca-tafsir masing-masing orang. Gambar atau
imaji tersebut berbicara dengan menggunakan bahasa imaji yang bukan
sekadar ungkapan yang tersampaikan (dari pengotak-atik makna atau produsen
tanda), melainkan juga merupakan ujaran atau pesan total yang tertangkap.
B. Teori dan Kerangka Pikir
Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritik Cultural Studies. Pendekatan
ini dipilih karena Cultural Studies sebagai ranah teoritik yang lintas disiplin
menganggap 'budaya' adalah medan nyata di mana praktik-praktik, representasi-
representasi, bahasa dan kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat atau komunitas
tertentu berpijak. Budaya juga adalah bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang
sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari (Hall, 1996).
Budaya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna-makna sosial, yaitu
beragam cara yang digunakan untuk memahami dunia. Namun demikian, makna-
makna itu tidak langsung ada, melainkan muncul lewat tanda-tanda, terutama tanda-
tanda bahasa.
Cultural Studies memandang bahwa bahasa bukan sebuah medium yang
netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu dunia objektif
independen yang 'ada' di luar bahasa. Bahasa justru terlibat dalam pembentukan
makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material
dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa
26
kita pahami lewat istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa. Proses-proses produksi
makna ini disebut praktik-praktik penandaan (signifying practices), dan mempelajari
kebudayaan sama artinya dengan meneliti bagaimana makna diproduksi secara
simbolik dalam bahasa sebagai 'sistem penandaan' (Barker, 2000).
Lewat pendekatan Cultural Studies maka fesyen yang diproduksi Ouval
Research akan dilihat sebagai proses produksi makna di mana di dalamnya
melibatkan praktek penandaan dan bagaimana makna diproduksi secara simbolik
lewat “bahasa visual” yakni pakaian. Pakaian sebagai praktek penandaan dikemukaan
olah Malcom Barnard yang lebih melihat pakaian dan fesyen sebagai sebentuk
komunikasi yang dibingkai secara kultural. Dalam bingkai kultural inilah pakaian
dilihat sebagai sistem penandaan, dari pengalaman masyarakat dan nilai-nilai
keyakinan yang dikomunikasikan melalui praktik-praktik, artefak-artefak, dan
institusi-instusi (Barnard, 2009).
Untuk menjawab penelitian ini, maka kerangka pikir yang digunakan adalah
dengan melihat distro sebagai manifestasi dari masyarakat pendukungnya, yakni
komunitas yang membentuk distro itu sendiri. Konsep representasi ini menjadi
penting dalam kajian budaya karena representasi menghubungkan makna dan bahasa
dengan budaya (Hall, 1997:15-21). Visual produk yang diteliti tidak hanya sekedar
produk estetis, namun juga sebagai representasi dari individu atau komunitas yang
melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu di dalamnya.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukanlah semiotika untuk membedah makna
yang terkandung di dalamnya, sehingga visual produk tersebut bisa diamati sebagai
suatu upaya penyampaian pesan yang menggunakan seperangkat tanda dalam satu
27
kesatuan sistem. Tujuan semiotika disini sebagai sarana menggali hakikat sistem
tanda yang beranjak keluar dari kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur
arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada pemaknaan dari subjek yang
mengamati. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan
(connotative) dan arti penunjukan (denotative) atau kaitan dan kesan yang
ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda (Alex Sobur,
2001:94).
Mempertimbangkan visual produk distro Ouval Research sebagai representasi
dari individu atau komunitas yang melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan
Cultural Studies yang dengan menekankan konsep dasar tanda (sign) pada teori
semiotika. Lewat kajian semiotika maka visual dari produk distro Ouval Research
akan dikaji dari sisi visual yang terdiri dari pemaknaan denotatif, pemaknaan
konotatif, dan kemudian berlanjut pada mitos. Pertama, makna denotatif bersifat
langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya
dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda, sedangkan makna konotatif adalah
makna yang berhubungan dengan kebudayaan yang tersirat dalam pembungkusnya,
tentang gambaran apa yang akan dipancarkan dan akibat yang akan ditimbulkan, dan
lain-lain. Makna konotasi dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau
mitos petunjuk (dan menekan makna-makna tersebut) pada akhirnya. Menurut
Rosalind Coward dan John Ellis, mekanisme suatu mitos adalah cara gambaran-
gambaran biasa terikat pada objek dan penerapannya sehingga makna-makna
ideologis menjadi tampak alami dapat diterima akal sehat (Berger, 2005:55).
28
Cultural Studies bertujuan mengkaji berbagai praktik budaya yang di
dalamnya memiliki sistem kuasa tertentu. Tujuannya untuk mengungkapkan dimensi
kuasa dan bagaimana kekuasaan tersebut mempengaruhi bentuk kebudayaan (sosial-
politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan lain-lain yang berkaitan dengan
bidang yang sedang diteliti), yaitu berupa visual produk distro Ouval Research, yang
mana distro ini dari awal kemunculannya merupakan sebuah komunitas olah raga
jalanan yaitu skateboard. Komunitas olah raga yang tidak lepas dari peran street art
ini, kemudian dikembangkan menjadi sebuah perusahaan yang menghasilkan produk-
produk penunjang dan bahkan gaya hidup untuk para pelaku olah raga jalanan
tersebut.
Pendekatan ini sengaja digunakan karena Cultural Studies sebagai formasi
wacana, yang artinya Cultural Studies didasarkan pada suatu cara dalam
membincangkan, mempersoalkan hingga tercipta koherensi diantara konsep dan ide
dalam perhatian yang mencakup artikulasi, budaya, wacana, ideologi, identitas,
kebudayaan pop, kekuasaan, represntasi, dan teks. Cultural Studies mencakup seluruh
pola perilaku yang dilakukan manusia baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya dengan segala aspeknya yang kompleks (Storey, 2007: 9-10). Aspek identitas
Ouval Research menjadi perhatian dalam penelitian ini, karena identitas tersebut
menjadikan produk Ouval Research menjadi penanda dari komunitas skateboard.
Skateboard sendiri menjadi salah satu olahraga atau pun permainan yang diminati
oleh anak-anak muda dalam arus budaya popular. Itulah mengapa di hampir setiap
daerah membentuk komunitas pecinta skateboard. Kehadiran komunitas ini pun
menjadi salah satu bentuk subkultur anak muda (youth subculture) di mana kehadiran
29
mereka di dalam wacana budaya arus utama (mainstream) menjadi kaum minoritas
yang tidak jarang pula mendapat stigma negatif dari lingkungan sekitar.
Berikut adalah bagan kerangka pikir penelitian ini:
Gambar 2. Bagan Kerangka Pikir