bab ii kajian pustaka, landasan teori, konsep … iib.pdfsebelum hasil survey dianalisis harus...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,
KONSEP PENELITIAN, DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini dibahas mengenai kajian pustaka yang merupakan penelitian
sejenis berupa tesis ataupun jurnal penelitian terkait dengan penelitian yang
dilakukan. Konsep penelitian dijabarkan agar persepsi antara peneliti dan
pembaca menjadi sejalan. Selain dari pada itu dibahas juga mengenai landasan
teori yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian serta model
penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka akan menjelaskan mengenai hasil penelitian sejenis
yang terdahulu. Kajian pustaka ini digunakan untuk menghindari terjadinya
duplikasi penelitian ganda tentang topik suatu penelitian. Selain dari pada itu juga
sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan penelitian selanjutnya. Hasil-hasil
penelitian yang digunakan adalah penelitian yang terkait dengan Perkembangan
Tata Ruang Permukiman Nelayan di Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu
Karangasem secara umum.
7
8
A. Konsep Penataan Kawasan Permukiman Nelayan Ngemplakrejo
Sebagai Dampak Pengembangan Kota Pasuruan
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Dwi Walojo, Johan Silas, Haryo
Sulistiyarso (2010) dengan judul ”Konsep Penataan Kawasan Permukiman
Nelayan Ngemplakrejo sebagai Dampak Pengembangan Kota Pasuruan” Hasil
analisis memperlihatkan kondisi sosial dan ekonomi nelayan Ngemplakrejo masih
mengalami ketertinggalan, serta terdapat kendala permodalan, pengolahan dan
pemasaran ikan yang mengindikasikan pengaruh positif kekuatan-kekuatan
dinamis Kota Pasuruan tidak maksimal di kawasan ini. Konsep penataan yang
perlu dilakukan adalah melalui revitalisasi usaha perikanan sebagai
pengembangan ekonomi mandiri dan penataan prasarana dan sarana dasar
permukiman. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dengan model
rasionalistik yang memadukan metoda kualitatif dan kuantitatif. Sebagai populasi
adalah 415 KK penduduk Kelurahan Ngemplakrejo yang berprofesi sebagai
nelayan dan sampel sebanyak 90 orang. Temuan dari penelitian ini adalah terdapat
aspek sosial dan ekonomi yang menjadi indikator kekuatan-kekuatan dinamis kota
Pasuruan belum sepenuhnya mampu memberi pengaruh positif yang maksimal
pada kawasan permukiman nelayan Ngemplakrejo antara lain : (a) pekerjaan,
sebagian besar nelayan pekerja yang merupakan nelayan; (b) penghasilan,
sebagian besar berpendapatan di bawah UMK Pasuruan 2009; (c) modal kerja,
lebih banyak yang memanfaatkan pinjaman dari tengkulak dari pada kredit bank,
(d) pemasaran hasil, sebagian besar menjual langsung kepada tengkulak; (e)
pengobatan, di puskesmas pembantu dan bidan desa/kelurahan; (f) tempat belanja
9
kebutuhan kerja, di lingkungan Kelurahan Ngemplakrejo dan mendapatkan harga
dan kualitas barang yang tidak bersaing; dan (g) pendidikan, di lingkungan
Kelurahan Ngemplakrejo yang merupakan pendidikan rendah (SD dan SMP).
B. Pengembangan Infrastruktur Kampung Nelayan Malabero di Kawasan
Wisata Pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu
Penelitian kedua dilakukan oleh Mas Syabirin Thaher (2010) dengan judul
“Pengembangan Infrastruktur Kampung Nelayan Malabero di Kawasan Wisata
Pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu” Kampung nelayan Malabero Kota Bengkulu
di hadapkan pada permasalahan rendahnya kualitas fisik lingkungan, salah
satunya adalah belum optimalnya kualitas infrastruktur. Hal ini dapat dilihat dari
minimnya ketersediaan infrastruktur dasar permukiman yang meliputi; jalan, air
bersih, drainase, air limbah, dan persampahan. Sebagai kawasan permukiman
yang berada di kawasan wisata pantai, diupayakan jaringan infrastruktur yang ada
dipermukiman ini teritegrasi dengan kawasan wisata di sekitarnya. Oleh sebab itu
diperlukan suatu arahan pengembangan dalam peningkatan kualitas infrastruktur
di kampung nelayan Malabero agar dapat mendukung keberlangsungan kegiatan
penduduk kampung nelayan Malabero sekaligus menjadi kawasan permukiman
yang menunjang keberadaan wisata pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu.Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk merumuskan arahan pengembangan infrastruktur
di kampung nelayan Malabero agar dapat mendukung keberadaan wisata pantai
Tapak Paderi Kota Bengkulu.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa infrastruktur di kampung nelayan
Malabero belum dapat dikatakan mendukung keberlangsungan kegiatan penduduk
10
secara optimal dan menunjang keberadaan wisata pantai yang ada disekitar
permukiman mereka, untuk mewujudkannya diperlukan suatu arahan
pengembangan infrastruktur yang mencakup kriteria yang harus dicapai. Adapun
arahan pengembangannya meliputi pengembangan infrastruktur jalan, air bersih,
drainase, air limbah, dan persampahan. Kondisi yang diharapkan dari permukiman
nelayan ini yaitu lingkungan hunian masyarakat nelayan yang mandiri dan
berkualitas, infrastruktur permukiman yang memadai sekaligus mempunyai nilai-
nilai estetika dan ciri khas lokal sehingga mendukung keberadaan pengembangan
kawasan wisata pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu.
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka untuk mencapai
tujuan penelitian dan studi ini diperlukan pendekatan kajian secara garis besar
dengan metoda deskriptif. Sebelum hasil survey dianalisis harus dimasukkan
dalam suatu kerangka tabel yang akan diolah, kemudian dibuat pengkodean hasil
survey berdasarkan masalah-masalah yang dilihat.
C. Identifikasi Pengembangan Permukiman Nelayan Oleh Neighborhood
Upgrading And Shelter Sector Project (NUSSP)
Penelitian ketiga dilakukan oleh Marly Valenti Patandianan & Zenaide Toban
(2011) dengan judul “Identifikasi Pengembangan Permukiman Nelayan Oleh
Neighborhood Upgrading And Shelter Sector Project (NUSSP)” Sebagian besar
rumah dan permukiman nelayan di Indonesia dibangun dan dikembangkan secara
swadaya. Pembangunan dan pengembangan permukiman secara swadaya yang
tidak direncanakan dengan baik dapat menimbulkan kekumuhan. Di tahun 2010,
pemerintah melakukan program pembangunan dan pengembangan permukiman
11
desa dan kampung termasuk permukiman nelayan (Neighborhood Upgrading and
Shelter Sector Project–NUSSP). Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi
perubahan rumah, prasarana dan sarana permukiman nelayan di Permukiman
Nelayan Sicini yang dilakukan oleh NUSSP. Simpulannya bahwa pengembangan
permukiman nelayan oleh NUSSP telah berhasil membuat permukiman yang
lebih layak huni dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai. Namun
keberhasilan ini tidak disertai dengan sosialisasi ataupun pendekatan kepada
masyarakat untuk menjelaskan pentingnya pemeliharaan prasarana dan sarana
yang telah ada. Prasarana yang dibangun oleh NUSSP cukup lengkap, yang belum
tersedia hanyalah tambatan perahu, pemecah gelombang dan drainase. Sarana
yang berhubungan dengan kegiatan utama nelayan seperti sarana perdagangan dan
pabrik es juga belum ada. Sebagian besar sarana yang telah tersedia telah
memenuhi standar permukiman nelayan yaitu sarana kesehatan, pendidikan,
sarana sosial dan tempat penjemuran ikan. Prasarana dan sarana yang telah ada
perlu dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya untuk mendukung kegiatan
nelayan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan kerjasama antara pihak NUSSP, pemerintah dan masyarakat dalam
menjaga dan memelihara prasarana dan sarana yang telah ada.
D. Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya
Penelitian keempat dilakukan oleh Ratna Darmiwati (2001) dengan judul
“Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya” Dengan fungsi
kota Surabaya sebagai pusat pengembangan di dalam lingkup nasional, maupun
regional Jawa Timur, menuntut Kota Surabaya menyiapkan berbagai sarana dan
12
fasilitas penunjang ke arah kota metropolitan. Akan tetapi, disisi lain kondisi alam
kota masih bersifat natural. Sejauh ini kondisi kota, khususnya pola perumahan di
wilayah pantai Timur adalah bersifat rural, dan umumnya mempunyai kegiatan
tambak/nelayan. Dengan mengetahui kondisi ini diharapkan dapat memberikan
pertimbangan bagi Surabaya menuju kota metropolitan sesuai dengan fungsi dan
perannya. Ruang lingkup ini mengidentifi kasikan permukiman nelayan Kalisari,
yang meliputi lokasi kawasan studi, kedudukan kawasan studi terhadap struktur
tata ruang kota, dan intensitasnya serta prasarana dan sarana lingkungan.
Karakteristik kependudukan, meliputi demografi, tingkat perekonomian, dan
kondisi sosial ekonominya. Tahap analisis meliputi analisis kondisi penggunaan
lahan, analisis kependudukan, analisis kondisi bangunan, serta analisis aspek
pembiayaannya.
E. Penataan Permukiman Nelayan di Kawasan Pasar Sentral Raha
(Studi Kasus : Permukiman Nelayan Laino Pantai,Laiworu Kab.Muna)
Penelitian kelima dilakukan oleh Shamsul Bahri (2010) dengan judul
“Penataan Permukiman Nelayan di Kawasan Pasar Sentral Raha (Studi Kasus :
Permukiman Nelayan Laino Pantai, Laiworu Kab.Muna): (1) menemukan arahan
penataan sekitar kawasan Pasar Sentral Raha, khususnya di Permukiman Nelayan
Laino Pantai, sesuai dengan Misi KSNPP dengan pendekatan perlindungan dan
perbaikan kualitas dan keseimbangan linkungan permukiman di Kota Raha; (2)
mengidentifikasi potensi yang dapat dikembangkan di Permukiman NelayanL.P;
dan (3) menemukan Arahan Pengembangan Potensi Permukiman Nelayan L.P.
13
NO PENELITI WAKTU JUDUL PENELITIAN METODE
PENELITIAN
HASIL DAN RELEVANSI
1 Dwi Walojo,
Johan Silas,
Haryo
Sulistiyarso
2010 Konsep Penataan Kawasan
Permukiman Nelayan
Ngemplakrejo Sebagai Dampak
Pengembangan Kota Pasuruan
Rasionalistik Hasil: terdapat aspek sosial dan ekonomi yang menjadi
indikator kekuatan-keuatan dinamis Kota Pasuruan belum
sepenuhnya mampu memberi pengaruh positif yang
maksimal pada kawasan permukiman nelayan Ngemplakrejo
Relevansi: Penataan kawasan permukiman
2 Mas Syabirin
Thaher
2010 Pengembangan Infrastruktur
Kampung Nelayan Malabero di
Kawasan Wisata Pantai Tapak
Paderi Kota Bengkulu
Deskriptif Hasil: mencapai tujuan penelitian dan studi ini diperlukan
pendekatan kajian secara garis besar
Relevansi: pengembangan infrastruktur kampung nelayan
3 Marly Valenti
Patandianan &
Zenaide Toban
2011 Identifikasi Pengembangan
Permukiman Nelayan Oleh
Neighborhood Upgrading And
Shelter Sector Project (NUSSP)
Kualitatif Hasil: melahirkan perubahan sudut dan cara pandang,
peningkatan ekonomi, perbaikan perumahan dan hunian
berikut lingkungannya.
Relevansi: pengembangan permukiman nelayan
4 Ratna
Darmiwati
2001 Perencanaan Permukiman
Nelayan di Pantai Timur
Surabaya
Kualitatif Hasil: mengetahui kondisi ini diharapkan dapat memberikan
pertimbangan bagi Surabaya menuju kota metropolitan sesuai
dengan fungsi dan perannya.
Relevansi:perencanaan permukiman nelayan
5 Shamsul Bahri 2010 Penataan Permukiman
Nelayandi Kawasan Pasar
Sentral Raha(Studi Kasus :
Permukiman Nelayan Laino
Pantai, Laiworu Kab.Muna
Kualitatif Hasil: menemukan arahan penataan sekitar kawasan Pasar
Sentral Raha, khususnya di Permukiman Nelayan Laino
Pantai, sesuai dengan Misi KSNPP dengan pendekatan
perlindungan dan perbaikan kualitas dan keseimbangan
lingkungan permukiman di Kota Raha.
Relevansi: penataan permukiman nelayan
Tabel 2.1 Kajian Pustaka
Sumber: Studi Literatur, 2015
14
2.2 Landasan Teori
Landasan teori merupakan suatu teori-teori yang digunakan sebagai dasar
ataupun batasan dalam melakukan suatu penelitian. Teori merupakan serangkaian
asumsi, konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. Menurut
definisi ini teori mengandung tiga hal. Pertama, teori adalah serangkaian proposisi
antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara
sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep.
Ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep
mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk
hubungannya (Singarimbun, 2006).
2.2.1 Teori Perkembangan Ruang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), "perkembangan" adalah
perihal berkembang. Selanjutnya, kata "berkembang" menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia ini berarti mekar terbuka atau membentang; menjadi besar, luas,
dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran,
pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian, kata "berkembang" tidak saja
meliputi aspek yang berarti abstrak seperti pikiran dan pengetahuan, tetapi juga
meliputi aspek yang bersifat konkret. Dalam Dictionary of Psychology (1972) dan
The Penguin Dictionary of Psychology (1988), arti perkembangan pada prinsipnya
adalah tahapan-tahapan perubahan yang progresif yang terjadi dalam rentang
kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspek-aspek yang
terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut.
15
Yunus dalam bukunya Manajemen Kota Perspektif Spasial (2005)
menjelaskan bahwa ditinjau dari prosesnya, perkembangan ruang (spasial) secara
fisik tampak ada dua macam bentuk perkembangan yang dapat diidentifikasi,
yaitu: proses perkembangan spasial secara horizontal, dan proses perkembangan
spasial secara vertikal. Pada penelitian ini perkembangan ruang yang akan dibahas
secara horizontal, oleh sebab itu pembahasan mengenai teori perkembangan ruang
hanya sebatas perkembangan ruang secara horizontal.
Proses perkembangan ruang secara horizontal menjadi penentu bertambah
luasnya area kekotaan dan makin padatnya bangunan bagian dalam kota, yang
secara definitif dapat dirumuskan sebagai suatu proses penambahan ruang yang
terjadi secara mendatar dengan cara menempati ruang-ruang yang masih kosong,
baik di daerah pinggiran kota maupun di daerah-daerah bagian dalam kota.
Perkembangan keruangan secara horizontal terdiri dari proses perkembangan
spasial sentrifugal (centrifugal spatial development) dan proses perkembangan
spasial secara sentripetal (centripetal spatial development). Dua macam proses
perkembangan ini menandai bentuk perkembangan kota-kota di negara-negara
berkembang.
A. Proses Perkembangan Spasial Sentrifugal
Proses perkembangan secara sentrifugal adalah proses bertambahnya
ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah
terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota. Proses inilah yang
memicu dan memacu bertambah luasnya area kekotaan. Makin banyak dan kuat
16
faktor-faktor penarik yang terdapat di daerah pinggiran kota terhadap penduduk
dan fungsi-fungsi, makin cepat pula proses bertambahnya ruang perkotaan.
B. Proses Perkembangan Spasial Sentripetal
Merupakan suatu proses penambahan bangunan perkotaan yang terjadi di
bagian dalam kota (the inner parts of the city). Proses ini terjadi pada lahan-lahan
yang masih kosong di bagian dalam kota, baik berupa lahan yang terletak di
antara bangunan-bangunan yang sudah ada, maupun pada lahan-lahan terbuka
lainnya.
2.2.2 Teori Struktur Ruang Kota
Teori struktur ruang dan kota dalam penelitian terkait proses terbentuknya
sebuah kota berdasarkan struktur pada umumnya dan faktor-faktor daya tarik dan
pendukung. Pada teori ini juga disampaikan pola keruangan kota menurut para
ahli.
Kota pada hakekatnya lahir dan berkembang dari suatu wilayah pedesaan.
Akibat tingginya pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh meningkatnya
kebutuhan (pangan, sandang dan perumahan) dan pesatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka bermunculan pemukiman- pemukiman baru. Selanjutnya, akan
diikuti oleh fasilitas-fasilitas sosial seperti pasar, pertokoan, rumah sakit,
perkantoran, sekolah, tempat hiburan, jalan-jalan raya, terminal, industri dan lain
sebagainya, hingga terbentuklah suatu wilayah kota. Mengingat lengkapnya
fasilitas-fasilitas sosial yang dimiliki, maka kota merupakan daya tarik bagi
penduduk yang tinggal di desa untuk berdatangan, bahkan sebagian di antaranya
tinggal di wilayah kota.
17
Kota dapat dipandang sebagai suatu wilayah di permukaan bumi yang
sebagian besar arealnya terdiri atas benda-benda hasil rekayasa dan budaya
manusia, serta tempat pemusatan penduduk yang tinggi dengan sumber mata
pencaharian di luar sektor pertanian. Pengertian tersebut juga berarti suatu kota
dicirikan oleh adanya prasarana perkotaan, seperti bangunan yang besar-besar
bagi pemerintahan, rumah sakit, sekolah, pasar, taman dan alun-alun yang luas
serta jalan aspal yang lebar-lebar.
Berikut ini beberapa definisi kota menurut pandangan para ahli. Menurut
Bintarto (1979), kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur alamiah dan non alami dengan gejala gejala pemusatan penduduk yang
cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis
dibandingkan dengan daerah sebelumnya.
Pendapat ahli lainnya seperti yang dikemukakan Dickinson yang dikutip
Jayadinata (1992), kota adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat
dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Menurut Ray Northam (1979),
menyebutkan bahwa kota adalah suatu lokasi dimana kepadatan penduduk lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi, sebagian besar penduduk tidak bergantung
pada sektor pertanian atau aktivitas ekonomi primer lainnya, dan pusat
kebudayaan administratif dan ekonomi bagi wilayah di sekitarnya.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 tahun 1980
menyebutkan bahwa kota dapat dibagi menjadi dua pengertian, yaitu pertama,
kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif sebagaimana diatur
18
dalam perundang-undangan. Kedua, kota sebagai suatu lingkungan kehidupan
perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibukota kabupaten, ibukota
kecamatan, dan berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pemukiman.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas kaitannya dengan pusat kegiatan,
maka kota merupakan daerah pusat keramaian karena di dalamnya berbagai pusat
kegiatan manusia (di luar pertanian) terdapat di sini, seperti pusat industri baik
industri besar sampai industri kecil, pusat perdagangan mulai dari pasar
tradisional sampai regional dan pusat pertokoan, pusat sektor jasa dan pelayanan
masyarakat seperti rumah sakit, pusat pendidikan, pusat pemerintahan, pusat
hiburan dan rekreasi, dan lain sebagainya adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kota itu sendiri dan daerah-daerah di sekitarnya.
Berbicara tentang kota sebagai pusat kegiatan, ada yang dinamakan inti kota
atau pusat kota (core of city) merupakan pusat dari kegiatan ekonomi, kegiatan
politik, kegiatan pendidikan, kegiatan pemerintahan, kegiatan kebudayaan dan
kegiatankegiatan lainnya. Akan tetapi, daerah seperti ini dinamakan Pusat Daerah
Kegiatan (PDK) atau Central Business Districts (CBD). PDK berkembang dari
waktu ke waktu sehingga meluas ke arah daerah di luarnya, daerah ini disebut
Selaput Inti Kota (SIK).
Jenis kegiatan ekonomi di kota pada dasarnya terdiri dari:
A. Kegiatan ekonomi dasar (basic activities) yang membuat dan menyalurkan
barang dan jasa untuk keperluan luar kota atau ekspor. Barang dan jasa
tersebut berasal dari industri, perdagangan, rekreasi dan sebagainya.
19
B. Kegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yang memproduksi
dan mendistribusi barang dan jasa untuk keperluan penduduk kota sendiri.
Kegiatan ekonomi dasar merupakan hal penting bagi suatu kota, yaitu
merupakan dasar agar kota dapat bertahan dan berkembang. Mengenai
pengelompokan dan penyebaran jenis-jenis kegiatan di kota sangat bergantung
pada beberapa faktor yang meliputi: ketersediaan ruang di dalam kota, jenis-jenis
kebutuhan dari warga kota, tingkat teknologi yang diserap, perencanaan kota dan
faktor-faktor geografi setempat.
Pusat-pusat kegiatan di kota sering mengalami perubahan daya tarik.
Keadaan ini sebagai akibat dari pasang surutnya penduduk serta perkembangan
kotanya sendiri. Keramaian yang ada di kota tergantung pada beberapa faktor,
antara lain: kemampuan daya tarik dari bangunan dan gedung-gedung tempat
menyalurkan kebutuhan sehari-hari, tingkat kemakmuran warga kota dilihat dari
daya belinya, tingkat pendidikan dan kebudayaan yang cukup baik, sarana dan
prasarana dalam kota yang memadai, pemerintahan, dan warga kota yang dinamis.
Mengingat fungsi kota sebagai pusat dari segala kegiatan manusia dan
suatu yang komplekan, maka penataan ruangnya selain harus tersedia juga harus
melalui suatu perencanaan yang matang agar pertumbuhan dan perkembangannya
teratur, dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Penataan ruang kota yang baik, harus didasarkan pada kondisi fisik
setempat, pemerintah kota sebagai pengatur kebijakan, dan tingkat perekonomian
serta kebutuhan penduduk terhadap fasilitas kota. Fasilitas-fasiltas yang harus ada
20
dalam tata ruang kota diantaranya perkantoran, pemukiman, pendidikan, pasar,
pertokoan, bioskop, rumah sakit. Jalur-jalur jalan yang menghubungkan kota
dengan tempat-tempat lain diluarnya berupa jalan kabupaten, jalan propinsi dan
jalur-jalur jalan dalam kota yang berfungsi seperti urat nadi dalam tubuh manusia
yaitu mensuplai segala kebutuhan ke setiap sudut kota. Taman-taman kota, alun-
alun, taman olahraga, taman bermain dan rekreasi keluarga. Areal parkir yang luas
dan memadai. Tempat-tempat tersebut selain harus layak, mudah dijangkau, juga
harus memikirkan kemungkinan pengembangannya.
Pertumbuhan dan perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor alamiah dan faktor sosial wilayah, serta kebijakan pemerintah. Faktor
alamiah yang mempengaruhi perkembangan kota antara lain lokasi, fisiografi,
iklim dan kekayaan alam yang terkandung di daerah tersebut. Termasuk dalam
faktor sosial di antaranya kondisi penduduk dan fasilitas sosial yang ada.
Kebijakan pemerintah adalah menyangkut penentuan lokasi kota dan pola tata
guna lahan di wilayah perkotaan tersebut.
Lokasi kota yang strategis cenderung mengalami perkembangan yang
lebih cepat, apalagi didukung oleh kekayaan alam yang memadai, berada di pusat
kawasan hinterland yang potensial, sehingga penggunaan lahannya akan lebih
bervariasi. Kota yang memiliki bentuk morfologi pedataran memungkinkan
perkembangan yang lebih cepat dibandingkan kota yang berada di daerah
perbukitan. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam membuat aturan
penggunaan lahan, mana kawasan yang boleh dan tidak boleh dikembangkan.
21
Semakin tinggi tingkat ekonomi dan kebutuhan warga kota akan fasilitas kota
maka semakin beragam penggunaan tanah di kota.
Kenampakan penggunaan ruang perkotaan adalah keanekaragaman fungsi
tanah sebagai cerminan dari keanekaragaman kebutuhan warga kota terhadap
berbagai jenis fasilitas kehidupan. Penggunaan tanah akan menjadi salah satu
karakter kota, sebagai hasil perpaduan antara kondisi fisik seperti topografi,
morfologi, hidrografi, dan kondisi sosial seperti sejarah, ekonomi warga kota,
budaya, pemerintah dan keterbukaan kota terhadap daerah lainnya. Segmentasi
ruang dalam kota sangat tergantung ke pada lokasi kota, karakteristik fisik,
kebijakan penggunaan lahan, dan kondisi sosial ekonomi penduduk.
Pengunaan tanah di kota, umumnya dapat dilihat dari kenampakan yang
ada. Di mana kota merupakan pusat dari segala kegiatan manusia, sehingga
penggunaan tanahnya jauh lebih beragam dibandingkan dengan di desa. Semua
kegiatan ekonomi kota memerlukan tanah. Dengan demikian, sebagian besar dari
tanah di kota digunakan untuk kegiatan industri dan jasa, disamping untuk tempat
tinggal.
Berhubungan dengan hal tersebut, fungsi kota adalah sebagai pusat
pelayanan (misalnya perdagangan) dan industri. Kegiatan industri yang ada di
perkotaan meliputi industri besar, industri menengah dan industri kecil (home
industries). Tanah yang digunakan untuk industri adalah sebagai tempat bekerja
(pabrik), gudang, rumah karyawan, dan lain-lain.
22
Struktur ruang kota dapat diukur berdasarkan kerapatan bruto dan
kerapatan netto. Kerapatan bruto bagi industri adalah ukuran yang meliputi
bangunan gudang, tempat parkir, tempat bongkar muat, rel kereta api dan jalan di
dalam kawasan pabrik, ruang terbuka (taman), ruang yang belum terpakai, dan
sebagainya. Kerapatan netto bagi industri adalah ukuran yang hanya meliputi
bangunan pabrik, gudang, tempat parkir dan tempat bongkar muat saja. Kedua
ukuran ini digunakan untuk menganalisis penggunaan tanah yang sedang berlaku;
untuk perencanaan, akan lebih mudah jika hanya digunakan kerapatan bruto yaitu
untuk tanah yang kosong.
Berbagai fasilitas dan beragamnya aktivitas masyarakat kota, telah
membentuk struktur kota yang berbeda dengan struktur di desa. Menurut Johara
(1986), segala yang dibangun di daerah kota, baik oleh alam seperti bukit, gunung
dan sebagainya, maupun oleh manusia seperti gedung-gedung, rumah, pabrik dan
sebagainya, biasanya yang tersembul dari permukaan bumi dianggap sebagai
suatu struktur ruang kota.
Struktur ruang wilayah perkotaan yang terdapat di negara-negara lain
ternyata memperlihatkan bentuk-bentuk tertentu. Indonesia khususnya di Pulau
Jawa, hampir semua kota di pusatnya selalu ada alun-alun, mesjid agung, penjara,
pamong praja atau kantor pemerintahan, dan pertokoaan.
Perkembangan kota dapat dipengaruhi oleh berbagai rintangan alam
seperti pegunungan, perbukitan, lembah sungai dan lain-lain, dalam
perkembangannya akan selalu menyesuaikan diri dengan keberadaan fisik
23
wilayahnya sehingga kota berbentuk tidak teratur dan menimbulkan kesan sebagai
kota yang tidak terencana.
Banyak para ahli telah berusaha mengadakan penelitian mengenai struktur
ruang kota yang ideal, di antaranya adalah teori memusat (konsentris) menurut
Ernest W. Burgess dalm Yunus (2000) yang meneliti struktur kota Chicago. Teori
konsentris menyatakan daerah kekotaan dapat dibagi dalam enam zone, yaitu:
A. Zone pusat daerah kegiatan (PDK/CBD), terdapat pusat pertokoan besar
(Dept. Store), gedung perkantoran yang bertingkat, bank, museum, hotel,
restoran, dan lain sebagainya.
B. Zona peralihan atau zone transisi, merupakan daerah yang terikat dengan
pusat daerah kegiatan. Penduduk zone ini tidak stabil, baik dilihat dari
tempat tinggal maupun sosial ekonominya. Dikategorikan sebagai daerah
berpenduduk miskin. Dalam rencana pengembangan kota daerah ini
diubah menjadi lebih baik untuk komplek industri manufaktur, perhotelan,
tempat parkir, gudang, apartemen, dan jalan-jalan utama yang
menghubungkan inti kota dengan daerah luarnya. Pada daerah ini juga
sering ditemui daerah slum atau daerah pemukiman penduduk yang
kumuh.
C. Zone permukiman klas proletar, perumahannya sedikit lebih baik. Dihuni
oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan
kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang
24
menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga
besar.
D. Zone pemukiman kelas menengah (residential zone), merupakan komplek
perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian
tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan daerah klas ploretar.
E. Zone penglaju (commuters), merupakan daerah yang memasuki daerah
belakang (hinterland) atau merupakan daerah batas desa-kota.
Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran kota.
Selain teori konsentris, juga terdapat teori sektoral (sector theory) menurut
Homer Hoyt dalam Yunus (2000). Menurut teori ini struktur ruang kota
cenderung berkembang berdasarkan sektor-sektor daripada berdasarkan lingkaran-
lingkaran konsentrik. PDK atau CBD terletak di pusat kota, namun pada bagian
lainnya berkembang menurut sektor-sektor yang bentuknya menyerupai irisan kue
bolu. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor geografi seperti bentuk lahan dan
pengembangan jalan sebagai sarana komunikasi dan transportasi.
Gambar. 2.1
Pola Keruangan Kota Menurut Burgess
Sumber : Yunus, 2000
25
Menurut Homer Hoyt, kota tersusun pada lingkaran dalam terletak pusat kota
(CBD) yang terdiri atas: bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar
dan pusat perbelanjaan. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan
perdagangan. Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut, yaitu bagian sebelah
menyebelahnya terdapat sektor murbawisma, yaitu tempat tinggal kaum buruh.
Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor
madyawisma. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat
tinggal golongan atas.
2.2.3 Teori Proses Pemekaran dan Pertumbuhan Kota
Teori proses pemekaran dan pertumbuhan kota dalam penelitian terkait
bagaimana proses pemekaran dan pertumbuhan permukiman yang terjadi di
Dusun Ujung Pesisi berdasarkan teori.
Suatu kota atau bagian kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Perkembangan ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi
dan fisik. Menurut Herbert dalam Yunus (2000) makna perkembangan
pemukiman menyoroti eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati
Gambar. 2.2
Pola Keruangan Kota Menurut Homer Hyot
Sumber : Yunus, 2000
26
dari kenampakan kota secara fisik antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan
yang ada, blok-blok bangunan baik dari daerah hunian maupun bukan hunian dan
juga bangunan individual. Proses perembetan kenampakaan fisik kota ke arah luar
disebut ‘urban sparwl’. Adapun macam ‘urban sparwl’ sebagai berikut:
A. Tipe Perembetan Konsentris (concentric development/ low density
continous development)
Dikemukan pertama kali oleh Harvey Clark (1971) menyebut tipe ini sebagai
'low density, continous development'. Tipe perembetan paling lambat, berjalan
perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota
yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota
yang kompak. Peran transportasi terhadap perembetaannya tidak begitu besar.
B. Tipe Perembetan Memanjang (ribbon development/ linear development/
axial development)
Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan arel perkotaan di semua
bagian sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di
koridor jalan yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota.
Kawasan di sepanjang koridor merupakan tekanan paling berat dari
perkembangan (Yunus, 2000)
Gambar. 2.3
Perembetan Konsentris
Sumber : Yunus, 2000
27
Tipe ini perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi luar dari pada
daerah kota utama. Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang
koridor jalan.
C. Tipe Perembetan Meloncat (leap frog development/ checkkeroard
development)
Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh
kebanyakan pakar lingkungan, sebab tidak efisien dan tidak menarik.
Perkembangan lahannya berpencar secara sporadis dan tumbuh ditengah-tengah
lahan kosong, sehingga cepat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan
pertanian pada wilayah yang luas sehingga alih fungsi lahan pertanian akan lebih
cepat terjadi.
Gambar. 2.4
Perembetan Linear
Sumber : Yunus, 2000
Gambar. 2.5
Perembetan Meloncat
Sumber : Yunus, 2000
28
2.2.4 Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory)
Teori kutub pertumbuhan atau sering disebut teori pusat pertumbuhan
pertama kali diperkenalkan oleh Perroux (1995). Teori ini menyatakan bahwa
pembangunan sebuah kota atau wilayah merupakan hasil proses dan tidak terjadi
secara serentak, melainkan muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan
dan intensitas yang berbeda. Tempat atau lokasi yang menjadi pusat pembangunan
atau pengembangan dinamakan kutub pertumbuhan. Dari tempat inilah
selanjutnya proses pembangunan berlanjut ke wilayah-wilayah di sekitarnya.
Teori ini menjelaskan perkembangan ekonomi kota dalam suatu wilayah
yang luas dengan adanya sumber daya yang timpang. Teori ini juga ditopang oleh
alat-alat ukur ekonomi sehingga dapat menjelaskan implikasinya pada
perencanaan dan bersifat dinamis. Teori ini berkembang sejak tahun 1950-an dan
cukup mampu menjelaskan perkembangan di negara maju maupun berkembang.
Konsep-konsep yang ada dalam teori ini meliputi :
a. Prospulsive Industry, industri sebagai pemicu perkembangan.
b. Circular and Cumulative Causation, proses yang memungkinkan akumulasi
perkembangan.
c. Multiplier Effect, menurut teori ini ketimpangan dapat diatasi oleh tricling
down process dan spread effect.
Secara konseptual, pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan
dua cara, yaitu secara fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat
pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri
yang dikarenakan sifat hubungannya memiliki unsur-unsur yang bersifat dinamis
29
sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar
(wilayah belakangnya). Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi
yang memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of
attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di
daerah tersebut dan penduduk datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota
tersebut, walaupun kemungkinannya tidak ada interaksi antara usaha-usaha
tersebut.
Menurut Tarigan (2005) tidak semua kota dikategorikan sebagai pusat
pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan memiliki empat ciri, yaitu adanya
hubungan internal antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi,
adanya multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan
bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.
2.2.5 Teori Infrastruktur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), infrastruktur dapat
diartikan sebagai sarana dan prasarana umum. Sarana secara umum diketahui
sebagai fasilitas publik seperti rumah sakit, jalan, jembatan, telepon, sanitasi dan
lainnya. Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi,
pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam lingkup sosial dan
ekonomi (Grigg, 2000).
Associated General Contractor of America (AGCA), mendefinisikan
infrastruktur adalah semua aset berumur panjang yang dimiliki oleh Pemerintah
setempat, Pemerintah Daerah maupun Pusat dan utilitas yang dimiliki oleh para
30
pengusaha. Menurut Chapin (1995), guna lahan harus memiliki akses terhadap
jaringan umum dan struktur umum serta pelayanan umum. Struktur umum di sini
disebut dengan infrastruktur, fasilitas umum atau terkadang disebut sebagai
fasilitas pelayanan umum. Secara umum istilah infrastruktur biasanya
berhubungan dengan air bersih, fasilitas air limbah, jalan raya, dan transportasi
umum, sementara fasilitas umum berhubungan dengan sekolah, taman, dan
fasilitas lain yang sering dikunjungi masyarakat. Terkadang fasilitas umum dapat
digunakan secara bergantian dengan infrastruktur untuk menunjukan segala
sesuatu yang terkandung dalam bangunan umum baik secara fisik maupun sistem
pelayanannya. Penggunakan istilah fasilitas umum (communal facility) guna
mempersatukan keduanya, infrastruktur dan struktur dan tempat di mana
pelayanan masyarakat dilakukan.
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Infrastruktur
merupakan fasilitas-fasilitas publik yang diadakan oleh pemerintah maupun
swasta merujuk pada sistem fisik seperti jaringan jalan, air bersih, drainase,
telekomunikasi, listrik, limbah, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik
yang lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam
lingkup sosial dan ekonomi.
Elemen dasar lingkungan perumahan menurut Dirjen Cipta Karya, secara
garis besar dapat dikelompokkan dalam infrastruktur fisik, antara lain:
A. Jaringan jalan
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi bagian jalan
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
31
bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan
tanah, di bawah permukaan tanah atau air serta di atas permukaan air (Adji
Adisasmita, 2012:79). Dalam suatu kota, pola jaringan jalan biasanya
terbentuk melalui proses yang sangat panjang dan merupakan bagian atau
kelanjutan dari pola yang ada sebelumnya (Rinaldi Mirsa, 2011:54).
B. Sistem drainase
Sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu
kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interseptor drain),
saluran pengumpul (colector drain), saluran pembawa (conveyor drain),
saluran induk (main drain) dan badan air penerima (receiving waters)
(Grigg, 2000).
Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang,
dengan membuat saluran yang dapat menampung air hujan yang mengalir di
permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas selanjutnya dialirkan ke
sistem yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan dengan
saluran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan infrastruktur
lainnya, sehingga apabila cukup banyak limbah cair yang berada dalam
saluran tersebut perlu diolah (treatment). Seluruh proses tersebut di atas
yang disebut dengan sistem drainase (Kodoatie, 2003).
32
C. Jaringan air bersih
Jaringan air bersih di permukiman merupakan suatu prasarana yang sangat
penting untuk menunjang keberlangsungan suatu permukiman tersebut
untuk berkembang. Pesatnya pembangunan serta tingginya laju
pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan
permukiman dengan prasarana yang mendukungnya. Sejalan dengan
meningkatnya permukiman, maka kebutuhan untuk air bersih pun
meningkat, baik dalam kualitas maupun kuantitas (Kodoatie, 2002).
D. Pengelolaan sampah
Sampah adalah sesuatu yang sudah tidak dapat digunakan lagi, tidak
terpakai, tidak disenangi dan sesuatu yang sudah dibuang yang berasal dari
aktifitas manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (American Public
Health Association, 1976). Sampah adalah limbah yang bersifat padat yang
berasal dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan
harus dikelola agar tidak menganggu lingkungan (Tri Nalarsih, 2007).
Pengelolaan sampah atau limbah padat pada dasarnya dibagi menjadi
dua sistem, yaitu sistem on-site dan off-site (Istiawan, 1996). Sistem on-site
yaitu pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masing-masing sumber dan
umumnya pada lokasi masing-masing sumber, baik dengan cara dibakar,
ditimbun, dan didaur-ulang. Sistem off-site yaitu pengelolaan sampah yang
dilakukan oleh sumber pada lokasi tertentu dan mempunyai jarak yang
cukup jauh.
33
E. Pengelolaan air limbah
Kriteria air limbah domestik yang berasal dari pusat permukiman dan
non permukiman antara lain: a) Air mandi, air cucian, air dapur merupakan
air limbah grey water b) Air jamban/water closet (WC) merupakan air
limbah black water.
Kriteria pengumpulan dan pengaliran air limbah dibedakan menjadi: (1)
sistem sanitasi terpusat (off site system) di mana air limbah yang
dikumpulkan dari sambungan rumah adalah dari air mandi, cuci, dapur dan
jamban. Pengumpulan air limbah domestik dari sambungan rumah dialirkan
ke pipa pengumpul dengan kecepatan aliran minimum 0,6 m/det dan
maksimum 3 m/det. Air limbah dari pipa pengumpul dialirkan ke instalasi
pengolahan air limbah (IPAL); (2) sistem sanitasi setempat (on site system)
dimana pengumpulan air limbah (Black Water) melalui kakus ke bangunan
tangki septik dan cubluk. Pengaliran air limbah (grey water) langsung ke
saluran drainase kota, atau diresapkan ke tanah. Pengumpulan/penyedotan
lumpur tinja dengan truk tinja untuk dibawa ke Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPLT).
2.2.6 Teori Permukiman
Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya
adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman.
Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta
prasarana dan sarana ligkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atau
benda mati, yaitu houses dan land settlement. Pemukiman memberikan kesan
34
tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam
lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan
bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Jadi perumahan dan
pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat
hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011
adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di dalam kawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan.
Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan
konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah
yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan merupakan bagian dari
lingkungan hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu
tempat bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan
suatu tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya.
Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat
tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk
pelayanan, komunikasi, pendidikan, dan rekreasi.
Elemen dasar perumahan permukiman dari artian perumahan permukiman
dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari dua bagian yaitu: manusia (baik
35
sebagai pribadi maupun dalam hubungan sosial) dan tempat yang mewadahi
manusia yang berupa bangunan (baik rumah maupun elemen penunjang lain).
Menurut Constantinos A. Doxiadis (1968: 21-35) ada lima elemen dasar
permukiman:
a. Nature (alam) yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah dan
difungsikan semaksimal mungkin.
b. Man (manusia) baik pribadi maupun kelompok.
c. Society (Masyarakat) bukan hanya kehidupan pribadi yang ada tapi juga
hubungan sosial masyarakat.
d. Shells (rumah) atau bangunan dimana didalamnya tinggal manusia dengan
fungsinya masing-masing.
e. Networks (jaringan atau sarana prasarana) yaitu jaringan yang mendukung
fungsi permukiman baik alami maupun buatan manusia seperti jalan
lingkungan, pengadaan air bersih, listrik, drainase, dan lain-lainnya.
Dalam membicarakan alam adalah alam pada saat permukiman akan
dibangun, bukan kondisi pada suatu saat dimasa lampau. Seiring dengan
berjalannya waktu, alam pun mengalami perubahan. Kondisi alam pada waktu
manusia pada jaman purba dengan kondisi sekarang sangatlah berbeda. Agar
mencapai tujuan permukiman yang ideal sangatlah dipengaruhi oleh kelima
elemen dasar tersebut yaitu: kombinasi antara alam, manusia, bangunan,
masyarakat, dan sarana prasarana.
36
A. Pengertian Permukiman Nelayan
Menurut Khadija (1998) arti kata nelayan terbagi dalam dua pengertian nelayan
yaitu :
a. Nelayan sebagai subjek/orang; merupakan sekelompok masyarakat
manusia yang memiliki kemampuan serta sumber kehidupan di sekitar
pesisir pantai.
b. Nelayan sebagai predikat/pekerjaan; suatu sumber penghasilan masyarakat
yang berkaitan erat dengan sektor perikanan dan perairan (laut dan
sungai).
Permukiman nelayan adalah merupakan lingkungan tempat tinggal dengan
sarana dan prasarana dasar yang sebagian besar penduduknya merupakan
masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan memiliki akses dan
keterikatan erat antara penduduk permukiman nelayan dengan kawasan perairan
sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun demikian sebagian dari mereka
masih terikat dengan daratan. Secara umum permukiman nelayan dapat
digambarkan sebagai suatu permukiman yang sebagian besar penduduknya
merupakan masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Disisi lainnya
menurut Peraturan Menteri Negara Permukiman Rakyat Republik Indonesia
Nomor 15/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pengembangan Kawasan Nelayan, permukiman kawasan nelayan untuk
selanjutnya disebut kawasan nelayan adalah permukiman kawasan khusus untuk
menunjang kegiatan fungsi kelautan dan perikanan.
37
Kawasan permukiman nelayan ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana
yang memadai untuk kelangsungan hidup dan penghidupan para keluarga nelayan.
Kawasan permukiman nelayan merupakan merupakan bagian dari sistem
permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses terhadap kegiatan
perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan jaringan transportasi.
Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang
Cipta karya tentang karakteristik permukiman nelayan adalah :
a. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan permukiman yang
memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan dan
penghidupan penghuninya.
b. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki akses
yang tinggi terhadap kawasan perairan.
c. Sekitar 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan
lainnya yang terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan.
d. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan penghidupan
penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan dengan kegiatan-
kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.
Kawasan permukiman nelayan tersusun atas satuan-satuan lingkungan
permukiman yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai
dengan besaran satuan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kawasan permukiman nelayan haruslah mempunyai ataupun memenuhi prinsip-
prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administrasi,
38
maupun persyaratan lingkungan. Dari berbagai parameter tentang permukiman
dan karakteristik nelayan dapat dirumuskan bahwa permukiman nelayan
merupakan suatu lingkungan masyarakat dengan sarana dan prasarana yang
mendukung, di mana masyarakat tersebut mempunyai keterikatan dengan sumber
mata pencaharian mereka sebagai nelayan.
B. Karakteristik Kehidupan Masyarakat Nelayan
a. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Sosial
Hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat nelayan
adalah akibat interaksi dengan lingkungannya. Adapun ciri-ciri sosial masyarakat
nelayan sebagai berikut:
sikap kekerabatan atau kekeluargaan yang sangat erat, dan
sikap gotong royong/paguyuban yang tinggi.
Kedua sikap telah banyak mewarnai kehidupan masyarakat nelayan yang
pada umumnya masih bersifat tradisional. Lahirnya sikap ini sebagai akibat dari
aktivitas nelayan yang sering meninggalkan keluarganya dalam kurun yang waktu
cukup lama, sehingga timbul rasa keterkaitan serta keakraban yang tinggi antara
keluarga-keluarga yang ditinggalkan untuk saling tolong menolong.
Hal ini dapat tercermin pada pola permukimannya yang mengelompok
dengan jarak yang saling berdekatan, sikap gotong royong yang tampak pada saat
pembuatan rumah, memperbaiki jala ikan, memperbaiki perahu, dan alat tangkap
serta pada upacara adat, ketika akan melakukan penangkapan ikan yang juga
dilakukan secara gotong royong di laut yang dipimpin oleh seorang punggawa.
39
b. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau dari Aspek Budaya
Beberapa hal yang telah membudaya dalam masyarakat nelayan adalah
kecenderungan hidup lebih dari satu keluarga dalam satu rumah atau mereka
cenderung untuk menampung keluarga serta kerabat mereka dalam waktu yang
cukup lama, hal ini menyebabkan sering dijumpai jumlah anggota keluarga dalam
satu rumah melebihi kapasitas daya tampung, sehingga ruang gerak menjadi
sempit dan terbatas. Dampaknya itu pula, mereka cenderung untuk memperluas
rumah tanpa terencana.
Masyarakat nelayan pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan yang rendah,
menyebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menghambat
kemajuan nelayan itu sendiri, antara lain sulitnya bagi pemerintah untuk memberi
bantuan dalam bentuk penyuluhan maupun modernisasi peralatan (Mubyarto,
1985). Hal ini juga berpengaruh dalam lingkungan permukimannya, karena
rendahnya pengetahuan akan pentingnya rumah sehat yang mengakibatkan
mereka menganggapnya sebagai suatu kebutuhan.
c. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Ekonomi
Usaha perikanan banyak tergantung pada keadaan alam, sehingga
pendapatan nelayan tidak dapat ditentukan. Tingkat penghasilan nelayan
umumnya dibagi atas dua, yaitu sebagai berikut. Penghasilan bersih yang
diperoleh selama melaut jika seorang “sawi” maka besar pendapatannya sesuai
dengan kesepakatan, dan Penghasilan sampingan yaitu penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan tambahan, baik pekerjaan itu didapat ketika jadi buruh,
40
bertani dan berdagang maupun pekerjaan atau kerajinan dalam mengelola hasil
laut lainnya.
2.2.7 Teori Dampak Perubahan Eksternal dan Internal
Suatu kota dikembangkan berdasarkan pada potensi yang dimiliki oleh
kota tersebut. Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal merupakan suatu kekuatan yang terbentuk akibat kedudukan kota dalam
konstelasi regional atau wilayah yang lebih luas, sehingga memiliki kemampuan
untuk menarik perkembangan dari daerah sekitarnya. Faktor internal adalah
kekuatan suatu kota untuk berkembang dan ditentukan oleh keuntungan letak
geografis (fungsi kota). Beberapa faktor internal yang memepengaruhi
perkembangan kota adalah sebagai berikut.
A. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang
berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul jalur
transportasi, dipertemukan jalur tranfortasi regional atau dekat pelabuhan
laut.
B. Tapak merupakan faktor-faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan
suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah
topografi.
C. Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan
kota-kota yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan
lebih kuat dan berkembang lebih pesatdari pada kota yang berfungsi
tunggal.
41
D. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakteristik fisik dan sifat
masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota
kerajaan adan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awal
tumbuh secara organik.
E. Unsur-unsur seperti jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan
kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik
kota kearah tertentu.
2.3 Konsep Penelitian
Konsep merupakan dasar pemikiran atau pemikiran awal yang dijadikan
sebagai patokan untuk melakukan suatu penelitian, sehingga nantinya tidak
menyimpang dari ruang lingkup penelitian yang dilakukan. Konsep juga
digunakan untuk menyamakan persepsi dari peneliti kepada pembaca mengenai
topik penelitian. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
2.3.1 Pembangunan Perumahan dan Permukiman dalam Penataan Ruang
Tujuan pembangunan perumahan dan permukiman adalah
menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman yang mengacu
pada suatu kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung tertib,
terorganisasi dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan
kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan ini tidak
akan tercapai bila tidak dilakukan perubahan dalam pengelolaan tanah
(pendaftaran, sertifikasi, pembebasan tanah, ganti rugi, pemberian hak atas tanah).
Sasaran dari rencana pembangunan perumahan dan permukiman antara lain:
42
A. tersedianya rencana pembangunan permukiman di daerah yang aspiratif
dan akomodatif, yang dapat diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara
pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D);
B. tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang
memungkinkan terselenggaranya pembangunan secara tertib dan
terorganisasi, serta terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta
dalam seluruh prosesnya;
C. terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang
dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah;
D. tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman di
daerah sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan Pemerintah
serta bagi berbagai pihak yang akan terlibat/melibatkan diri.
Kaitan antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang
adalah sebagai berikut :
Rencana Tata Ruang Wilayah-sebagai hasil perencanaan tata ruang
merupakan landasan pembangunan sektoral. Dengan kata lain setiap
pembangunan sektoral yang berbasis ruang perlu mengacu pada rencana tata
ruang yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinergi dan efisiensi
pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik
pemanfaatan ruang antar sektor yang berkepentingan dan dampak merugikan pada
masyarakat luas. Dalam RDTR Kawasan Perkotaan diatur alokasi pemanfaatan
43
ruang untuk berbagai penggunaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan,
keseimbangan, keserasian, keterbukaan, dan efisiensi agar tercipta kualitas
permukiman yang layak huni.
Dalam Kawasan perkotaan, alokasi ruang untuk perumahan dan
permukiman merupakan yang terbesar dibandingkan dengan alokasi penggunaan
lainnya. Lingkup pembangunan perumahan dan permukiman senantiasa
mencakup aspek penataan ruang dan aspek penyediaan prasaranadan sarana
lingkungan. Dalam mendukung pelaksanaan UU No.22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah serta mewujudkan visi dan misi pembangunan perumahan
dan permukiman yang tertuang dalam KSNPP (Kebijakan dan Strategi Nasional
Perumahan dan Permukiman), maka telah disiapkan Pedoman Penyusunan RP4D.
2.3.2 Infrastruktur Permukiman
Infrastruktur dapat dibedakan menjadi infrastruktur fisik dan infrastruktur
sosial. Infrastruktur fisik meliputi, penyediaan air bersih, jaringan jalan,
pengelolaan persampahan, sistem drainase, jaringan listrik dan telekomunikasi,
sanitasi, serta sistem pembuangan air limbah. Infrastruktur sosial meliputi,
fasilitas pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan niaga, pemerintahan, pelayanan
umum, peribadatan, rekreasi, kebudayaan, olahraga, dan lapangan terbuka (Grigg,
2000). Permukiman nelayan adalah merupakan lingkungan tempat tinggal dengan
sarana dan prasarana dasar yang sebagian besar penduduknya merupakan
masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan memiliki akses dan
keterikatan erat antara penduduk permukiman nelayan dengan kawasan perairan
44
sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun demikian sebagian dari mereka
masih terikat dengan daratan.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan sintesis dan abstraksi antara teori-teori yang
dipilih sesuai dengan permasalahan penelitian. Fokus dari penelitian ini adalah
dimana melihat perkembangan yang terjadi pada permukiman nelayan yang ada di
Dusun Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem yang telah di kemukakan pada
rumusan masalah yaitu bagaimana gambaran perkembangan yang terjadi baik itu
secara tata ruang maupun sistem infrastruktur jalan dan apa aspek-aspek yang
melatar belakangi terjadinya perubahan tersebut. Lebih jelas mengenai model
penelitian akan dijelaskan pada Diagram 2.1 berikut.
TOPIK
(Perkembangan permukiman nelayan)
Rumusan Masalah 1
Bagaimana gambaran
perkembangan tata
ruang permukiman
nelayan yang terjadi
Rumusan Masalah 2
Bagaimana gambaran
perkembangan sistem
infrastruktur jalan yang
terjadi
Rumusan Masalah 3
Apa aspek-aspek yang
melatar belakangi
terjadinya
perkembangan.
Faktor yang mempengaruhi
Kondisi dilapangan
Teori
Teori Perkembangan
Teori Struktur Ruang
Kota
Teori Proses
Pertumbuhan Kota
Teori Permukiman
Teori
Teori Perkembangan
Teori Infrastruktur
Jalan
Teori
Teori Dampak
Perubahan Eksternal
dan Internal
Diagram 2.1 Model Penelitian
Sumber: Hasil Analisis, 2015
45
2.5 Kerangka Berfikir
Penelitian dimulai dari ketertarikan atas keberadaan permukiman nelayan
di Desa Ujung Pesisi Desa Tumbu Karangasem yang telah diuraikan sebelumnya
pada Bab I subbab 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dari peninjauan awal
didapatkan topik bahwa terdapat perkembangan tata ruang permukiman nelayan.
Berpijak pada ketertarikan akan perkembangan tersebut kemudian dilakukan
pencarian literatur serta membangun pemahaman awal terkait dengan
permukiman nelayan yang telah tersaji pada Bab II subbab 2.2, dan bersamaan
dengan kegiatan tersebut dilakukan grandtour terhadap studi kasus-kasus yang
telah dirinci pada Bab III, Selanjutnya hasil observasi perkasus akan disintesiskan
menjadi tema-tema temuan dan bangun pemahaman yang disarikan menjadi
pemahaman-pemahaman yang akan mengerucut kearah fenomena yang ditemukan
dan kemudian didialogkan pada tahap sintesa antar tema temuan berupa konsep.
Hasil dari pada dialog diuraikan guna menjawab beberapa rumusan permasalahan
yang telah dibangun antara lain mencari latar belakang perubahan perkembangan
permukiman nelayan, serta menguraikan gambaran perkembangannya. Lebih
jelas mengenai kerangka berpikir penelitian akan dijelaskan dalam Diagram
Penelitian 2.2 berikut.
46