bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori … ii.pdf · dalam penelitian ini ada lima tesis...

40
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Dalam penelitian ini ada lima tesis yang digunakan untuk mendukung topik yang sedang dibahas agar dapat membantu melengkapi penelitian ini. Kajian tesis ini digunakan untuk membandingkan penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan sehingga dapat dilihat posisi penelitian ini. Adapun tesis yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, “Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris dengan Menggunakan Teknik Bermain Peran pada Mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO” oleh Ni Luh Komang Julyanti Paramita Sari (2013). Penelitian itu mengkaji keterampilan berbicara dengan menggunakan teknik bermain peran yang diterapkan kepada peserta didik. Terdapat tiga tujuan dalam penelitian itu, yaitu mengetahui pelafalan (pronunciation), penggunaan tindak tutur, dan faktor-faktor yang menghambat mahasiswa dalam pembelajaran berbicara pada penerapan teknik bermain peran. Dalam penelitian linguistik terapan itu digunakan keterampilan berbicara dengan teknik role play, sedangkan unsur linguistiknya adalah tindak tutur. Hasil penelitian itu adalah pelafalan peserta didik masih dipengaruhi oleh bahasa pertama atau bahasa ibu, linguistik yang dikaji adalah tindak tutur, dan faktor penghambat mahasiswa dalam pembelajaran berbicara khususnya pada penerapan teknik bermain peran adalah penguasaan komponen kebahasaan, penguasaan komponen isi, serta kondisi lingkungan yang kurang efektif selama proses belajar

Upload: lamhuong

Post on 18-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini ada lima tesis yang digunakan untuk mendukung topik

yang sedang dibahas agar dapat membantu melengkapi penelitian ini. Kajian tesis

ini digunakan untuk membandingkan penelitian sebelumnya dan penelitian yang

dilakukan sehingga dapat dilihat posisi penelitian ini. Adapun tesis yang berkaitan

dengan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, “Keterampilan Berbicara

Bahasa Inggris dengan Menggunakan Teknik Bermain Peran pada Mahasiswa

Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO” oleh Ni Luh Komang Julyanti Paramita

Sari (2013). Penelitian itu mengkaji keterampilan berbicara dengan menggunakan

teknik bermain peran yang diterapkan kepada peserta didik.

Terdapat tiga tujuan dalam penelitian itu, yaitu mengetahui pelafalan

(pronunciation), penggunaan tindak tutur, dan faktor-faktor yang menghambat

mahasiswa dalam pembelajaran berbicara pada penerapan teknik bermain peran.

Dalam penelitian linguistik terapan itu digunakan keterampilan berbicara dengan

teknik role play, sedangkan unsur linguistiknya adalah tindak tutur. Hasil

penelitian itu adalah pelafalan peserta didik masih dipengaruhi oleh bahasa

pertama atau bahasa ibu, linguistik yang dikaji adalah tindak tutur, dan faktor

penghambat mahasiswa dalam pembelajaran berbicara khususnya pada penerapan

teknik bermain peran adalah penguasaan komponen kebahasaan, penguasaan

komponen isi, serta kondisi lingkungan yang kurang efektif selama proses belajar

mengajar berlangsung. Subjek dalam penelitian itu adalah mahasiswa Jurusan

Kantor Depan PPLP MAPINDO. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Komang

Julyanti Paramita Sari berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Perbedaan

tersebut, antara lain judul dan topik berbeda, objek penelitian berbeda, teknik

yang digunakan berbeda, serta aspek linguistik yang diteliti adalah tindak tutur,

sedangkan persamaannya terletak pada keterampilan berbicara. Jadi, menurut

penulis penelitian itu cukup relevan dalam keterampilan berbicara yang penulis

lakukan.

Tesis kedua berjudul “Peningkatan Penguasaan Kosakata Siswa Melalui

Penerapan Metode Pembelajaran Audiolingual pada Lembaga Kursus KUMON

English as A Foreign Language Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa

Inggris” oleh Desak Made Dewi Prabayanthi (2011). Penelitian itu mengkaji

penguasaan kosakata dengan menerapkan metode audiolingual. Adapun tujuan

penelitian itu adalah untuk mengetahui penguasaan kosakata siswa dengan

menerapkan metode audiolingual, mendeskripsikan kosakata yang diketahui

peserta didik, dan faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan penguasaan

kosakata peserta didik. Dalam penelitian itu unsur linguistik terapan yang

digunakan adalah kemampuan berbicara dengan penerapan metode audiolingual,

sedangkan unsur linguistiknya adalah penguasaan kosakata. Hasil penelitian itu

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penguasaan kosakata melalui metode

audiolingual karena media yang digunakan lebih menarik peserta didik untuk

mengingat kosakata yang diberikan dan dengan pengulangan materi mampu

meningkatkan penguasaan kosakata mereka. Penelitian Desak Made Dewi

Prabayanthi memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu

unsur linguistik terapan yang diteliti mengenai keterampilan berbicara dan metode

audiolingual yang digunakan. Namun, yang membedakan penelitian itu dengan

penelitian yang penulis lakukan adalah pada unsur linguistiknya yang

menekankan pada penguasaan kosakata, sedangkan penelitian penulis

menekankan pada unsur fonetik.

Tesis ketiga berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode

Langsung dalam Pengajaran Bahasa Inggris di Lembaga Kursus English Center”

oleh I Gusti Bagus Wahyu Nugraha Putra (2012). Penelitian itu bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar penggunaan metode langsung dan tindak tutur guru

dalam meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris peserta kursus pada

level/tingkat pemula di lembaga kursus English Center. Unsur linguistik terapan

yang dikaji adalah keterampilan berbicara dengan menggunakan metode langsung,

sedangkan unsur linguistik yang dikaji adalah tindak tutur. Hasil penelitian itu

menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan keterampilan berbicara setelah

metode langsung diterapkan. Peserta kursus mampu berbicara dalam konteks

percakapan sederhana. Mereka mampu menggunakan ungkapan-ungkapan dan

kosakata tertentu secara komunikatif.

Dari segi pelafalan/pengucapan dan pemahaman peserta didik, juga terjadi

peningkatan. Selain itu, metode langsung lebih mudah dipahami juga dapat

merangsang peserta kursus untuk berbicara. Unsur linguistik terapan lebih banyak

digunakan dalam penelitian itu yaitu keterampilan berbicara dengan metode

langsung, sedangkan unsur linguistiknya mengarah pada tindak tutur guru.

Penelitian I Gusti Bagus Wahyu Nugraha Putra cukup relevan karena terdapat

persamaan dengan penelitian penulis yaitu topik sama mengenai keterampilan

berbicara, metode penelitian berupa penelitian tindakan kelas (PTK), sedangkan

yang membedakan dengan penelitian penulis adalah metodenya berbeda dan unsur

linguistik yang dikaji dalam penelitian penulis adalah fonetik.

Tesis keempat berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Metode

Debat Plus dalam Proses Pembelajaran Bahasa Inggris pada Siswa Kelas XI IPA

SMA Pariwisata Kertha Wisata Denpasar” oleh Ida Ayu Ekayudha Pratiwi (2012).

Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penggunaan metode

debat plus mampu meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa

kelas sebelas di SMA Pariwisata Kertha Wisata Denpasar tahun ajaran 2010/2011.

Unsur linguistik terapan yang dikaji dalam penelitian itu adalah keterampilan

berbicara dan metode debat plus, sedangkan unsur linguistiknya adalah pelafalan,

tata bahasa, dan diksi. Penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang

penulis lakukan dalam metode pengajaran yang digunakan. Akan tetapi menurut

penulis penelitian itu sangat relevan dengan penelitian yang penulis lakukan

karena mengandung unsur fonetik dalam pelafalan serta subjek yang diteliti sama

sama kelas XI tetapi objek dan tempat penelitian berbeda.

Kemudian tesis yang terakhir berjudul “ The Role of Articulatory Phonetics in

Improving Listening for the First-Year Students of English at STIBA Saraswati

Denpasar” oleh Denok Lestari (2011). Penelitian itu bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan menyimak mahasiswa dan mengembangkan

pemahaman tentang bunyi-bunyi yang berbeda pada bahasa target. Unsur

linguistik terapan yang diteliti adalah tentang keterampilan menyimak, sedangkan

unsur linguistiknya adalah fonetik artikulatoris. Penelitian ini berbeda dengan

penelitian yang penulis lakukan dalam linguistik terapan. Denok mengkaji

keterampilan menyimak, sedangkan penelitian penulis mengkaji keterampilan

berbicara, tetapi penelitian tersebut sangat relevan dengan penelitian penulis

karena mengandung unsur fonetik artikulatoris yang memberikan kontribusi

dalam penelitian ini.

Secara keseluruhan dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa objek

penelitiannya berbeda dengan penelitian ini serta metode yang diterapkan juga

berbeda. Sebaliknya, yang sama adalah mengkaji keterampilan berbicara, namun

penelitian ini hanya berfokus pada pelafalan dalam percakapan bahasa Inggris.

2.2 Konsep

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep yakni peningkatan, pelafalan

bunyi, percakapan, dan metode audiolingual. Adapun penjelasannya sebagai

berikut:

2.2.1 Peningkatan

Menurut Purwadarminta (1976:11), peningkatan adalah suatu proses, cara,

perbuatan meningkatkan (usaha, kegiatan dan sebagainya). Peningkatan yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan berbicara peserta didik dalam

melafalkan bahasa Inggris.

2.2.2 Pelafalan Bunyi

Lafal adalah cara mengucapkan bunyi bahasa. (Educational Top Studies,

2014). Lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu

masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa. (KBBI, 2014). Dalam sistem

bunyi bahasa Inggris terdapat banyak cara pengucapan pada setiap individu yang

disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti daerah asal, pengaruh-pengaruh

awal, dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, banyak ahli bahasa Inggris yang

mengemukakan deskripsi rinci tentang satu bentuk pelafalan bahasa Inggris, yang

setidaknya dapat dengan mudah dipahami oleh lingkungan pengguna bahasa

Inggris, walaupun tidak standar.

Pada kenyataan yang sebenarnya, terdapat sejumlah alternatif pelafalan untuk

ribuan kata dalam bahasa Inggris, yang seluruhnya bisa disebut benar. Bagi yang

bukan penutur bahasa Inggris, cara pelafalan yang paling cocok untuk dipelajari

dikenal sebagai “Slower Colloquial”, cara pelafalan di antara bentuk formal

dengan pelafalan yang digunakan dalam perbincangan antarorang yang telah

akrab. Cara tersebut merupakan cara yang dapat digunakan sepanjang waktu.

dikutip dari yusti-arini.blogspot.co.id (2/11/2015).

Pelafalan bahasa Inggris melibatkan produksi setiap bunyi dan pengucapan

kata, frasa, dan kalimat dengan ejaan, penekanan dan atau intonasi yang benar.

Selain itu, terdapat cara bagaimana membaca kata dengan benar yang disebut

phonetic transcription (transkripsi fonetik), yang didefinisikan sebagai sejenis

penulisan alfabetik, yakni setiap huruf mewakili satu bunyi. Tujuan transkrip

fonetik adalah untuk memberikan informasi yang jelas dan tidak ambigu kepada

pembelajar bahasa, misalnya bunyi yang mana yang harus digunakan pada suatu

kata atau frasa, dan dalam rangka apa mempergunakan bunyi tersebut. (Arini,

2014)

2.2.3 Percakapan

Menurut Tarigan (1987: 106) percakapan adalah dialog antara dua orang atau

lebih dalam membangun komunikasi. Berdasarkan sifatnya percakapan dibagi

menjadi tiga yaitu;

1) Percakapan yang bersifat interaktif membutuhkan kontribusi percakapan

yakni respon reaksi terhadap apa yang sebelumnya telah dikatakan.

2) Percakapan yang bersifat spontan merupakan percakapan yang biasa tanpa

aturan tetapi dilakukan sampai batas tertentu, dan dalam beberapa cara, tak

terduga. Namun, terdapat ruang lingkup spontanitas yang mengharuskan

mengikuti aturan demi tujuan kebijaksanaan, misalnya talk show atau

perdebatan.

3) Percakapan mengikuti aturan etiket karena percakapan adalah interaksi

sosial, dan karena bergantung pada konvensi sosial. Maka percakapan pun

harus mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan seperti tidak saling sindir

menyindir, konten percakapan yang bersifat SARA, adu domba dan lain-

lain yang dapat mengganggu percakapan tersebut.

2.2.4 Metode Audiolingual

Istilah “Audiolingualisme” diciptakan oleh Prof. Nelson Brooks pada

tahun 1964, yang menuntut perubahan pengajaran dari suatu seni menjadi suatu

ilmu. Menurut Lado (1964) dalam bukunya yang berjudul Language Teaching: A

Scientific Approach ada lima hukum empiris yang mendasari MAL (Metode

Audiolingual) yaitu: hukum dasar hubungan, hukum latihan, hukum intensitas,

hukum asimilasi, dan hukum pengaruh.

Hukum dasar hubungan yang menyatakan bahwa apabila dua pengalaman

terjadi bersama-sama, kemunculan yang satu akan mengingatkan kita kembali

kepada yang satu lagi. Hukum latihan yang mengemukakan dengan tegas bahwa

semakin sering suatu response dipraktikkan, semakin baik pula hal itu dipelajari

dan semakin lama diingat. Hukum intensitas yang menyatakan bahwa semakin

intensif suatu respon dipraktikkan, semakin mantap hal itu dipelajari dan semakin

lama pula akan diingat. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik

kelas XI SMA Budi Utama, dilakukan dengan menerapkan metode audiolingual.

Artinya, menggunakan kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd

Edition yang kemudian diterapkan dalam praktik-praktik dan latihan-latihan

dalam berbahasa sehingga peserta didik mampu berbicara sesuai dengan pelafalan

yang benar dan tepat.

Metode audiolingual ini diharapkan mampu meningkatkan pelafalan bunyi

bahasa Inggris peserta didik kelas XI SMA Budi Utama dengan menggunakan

media utama kamus elektronik Chambridge Advanced Dictionary 3-rd Edition

yang dikombinasikan melalui teknik latihan (drill).

2.3 Landasan Teori

Sejumlah pandangan para ahli digunakan dalam penelitian ini sebagai

landasan teori yakni: (1) teori belajar behavioristik; (2) teori fonetik; (3)

keterampilan berbicara; (4) penelitian tindakan kelas.

2.3.1 Teori belajar behavioristik

Teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan

perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang

baru) sebagai hasil belajar (Winataputra, 2007: 2.4).

Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proses

pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup dan

relevansi pembelajaran dan dalam bentuk penyajian materi. Proses pengkondisian

atau interaksi antara stimulus dan respon Pavlov diterapkan dalam bentuk

pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda maupun

kombinasi stimulus misalnya: penyajian materi melalui uraian (ceramah), contoh,

diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan

media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHP, video, komputer dan

lain-lain). Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar yaitu:

dalil sebab-akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan. Berdasarkan

uraian di atas teori belajar behavioristik adalah salah satu teori yang dapat

diterapkan dalam metode audiolingual yang menggunakan media untuk

membantu proses belajar mengajar. Metode audiolingual menekankan

latihan/pembiasaan yang merupakan salah satu dalil dari teori belajar

behavioristik, untuk mencapai hasil yang maksimal metode audiolingual harus

didukung oleh teori belajar behavioristik.

Jika materi yang disampaikan oleh guru menarik dan menyenangkan maka

peserta didik cenderung untuk mengulangi melakukan hal yang sama, tetapi jika

sebaliknya peserta didik tidak akan mengulangi sesuatu yang tidak

menyenangkan. Oleh karena itu respon yang benar, menarik dan menyenangkan

serta dengan latihan yang berulang-ulang (drill and practice) akan sangat

membantu peserta didik dalam mencapai hasil yang diinginkan.

2.3.2 Teori Fonetik

Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa

memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda

makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa

itu,dibedakan ada 3 jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan

fonetik audiotoris. Dari ketiga jenis fonetik ini yang akan dijadikan landasan

dalam penelitian ini adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang

berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau

diucapkan. Pada umumnya bunyi bahasa dibedakan atas vokal dan konsonan.

Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit, sedangkan bunyi

konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau

agak lebar yang diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat

hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu. Selain bunyi vokal dan konsonan,

terdapat pula jenis bunyi yang lain seperti diftong atau bunyi vokal rangkap.

(dikutip dari academia, 2014). Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan berusaha

merumuskan secara teratur tentang hal ikhwal bunyi bahasa. ( Marsono, 1999:1).

Fonetik artikulatoris adalah ilmu fonetik yang mempelajari tentang bagaimana

bunyi bahasa diucapkan dan dibuat, serta bagaimana bunyi bahasa diklaifikasikan

berdasarkan artikulasinya. ( Marsono, 1999:2).

Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa

memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda

maknanya atau tidak (Abdul Chaer, 1994:102). Fonetik adalah ilmu yang

menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta

mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap

manusia (Keraf, 1984: 30). Fonetik adalah bidang kajian ilmu pengetahuan

(science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan bunyi-bunyi bahasa

dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa yang dikeluarkan,

dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk

dianalisis oleh otak manusia (Ladefoged, 1982:1).

2.3.2.1 Bunyi Vokal bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

Perbedaan bunyi vokal bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dapat

menyebabkan hambatan dalam melafalkan bunyi bahasa Inggris. Di bawah ini

dijabarkan bunyi vokal secara umum yang diperjelas dengan bunyi vokal bahasa

Indonesia dan bunyi vokal bahasa Inggris pada tabel 2.4 dan 2.5 agar lebih mudah

untuk dipahami.

Tabel 2.3 Bunyi Vokal secara Umum

Posisi

Lidah

Depan Tengah Belakang

Striktur tak

bulat

tak

bulat bulat netral

Tinggi i u Tertutup

Madya e

ə o Semi-tertutup

ɛ ɔ Semi-terbuka

Rendah a ɑ Terbuka

(Marsono, 1999:35)

Berdasarkan tabel di atas bunyi vokal secara umum dapat diklasifikasikan

menjadi tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur, dan bentuk

bibir. (Marsono, 1999:29-34)

1) Tinggi rendahnya lidah

a) Vokal tinggi, misalnya: [i, u].

b) Vokal madya, misalnya: [e, ɛ, ə, o, ɔ].

c) Vokal rendah, misalnya: [a, ɑ].

2) Bagian lidah yang bergerak

a) Vokal depan, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan turun

naiknya lidah bagian depan; misalnya; [i, e, ɛ, a].

b) Vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan lidah

bagian tengah; misalnya; [ə].

c) Vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh gerakan peranan

turun naiknya lidah bagian belakang (pangkal lidah); misalnya; [u, o, ɔ,

ɑ].

3) Striktur ialah keadaan hubungan posisional articulator aktif dengan

artikulator pasif. Karena vokal tidak ada artikulasi, maka striktur untuk

vokal ditentukan oleh jarak lidah dengan langit-langit. Menurut strikturnya

maka vokal dapat dibedakan atas:

a) Vokal tertutup (close vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal.

Vokal tertutup ini dapat digambarkan terletak pada garis yang

menghubungkan antara [i] dengan [u]. Jadi vokal [i] dan [u] menurut

strikturnya merupakan vokal tertutup.

b) Vokal semi-tertutup (half-close), yaitu vokal yang dibentuk dengan

lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di bawah tertutup atau dua

pertiga di atas vokal yang paling rendah, terletak pada garis yang

menghubungkan antara vokal [e] dengan [o]. Dengan demikian vokal

[e] dan [o] adalah semi tertutup.

c) Vokal semi-terbuka (half-open), yaitu vokal yang dibentuk dengan

lidah diangkat dalam ketinggian sepertiga di atas vokal yang paling

rendah atau dua pertiga di bawah vokal tertutup. Letaknya pada garis

yang menghubungkan vokal [ɛ] dengan [ɔ], dan dengan demikian

kedua vokal itu adalah semi-terbuka menurut strikturnya.

d) Vokal terbuka (open vowels), yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah

dalam posisi serendah mungkin, kira-kira pada garis yang

menghubungkan antara vokal [a] dengan [ɑ], dan dengan demikian

kedua vokal itu termasuk vokal terbuka.

4) Bentuk bibir

a. Vokal bulat (rounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan

bentuk bibir bulat. Bentuk bibir bulat bisa terbuka atau tertutup. Jika

terbuka maka vokal itu diucapkan dengan posisi bibir terbuka bulat

(open rounded) yakni pada vokal [ɔ]. Jika tertutup maka vokal itu

diucapkan dengan posisi bentuk bibir tertutup bulat, misalnya untuk

vokal [o,u].

b. Vokal netral (neutral vowels), yaitu vokal yang diucapkan dengan

bentuk bibir dalam posisi netral, dalam arti tidak bulat tetapi juga tidak

terbentang lebar. Misalnya, seperti vokal [ɑ]

c. Vokal tak bulat (unrounded vowels), yaitu vokal yang diucapkan

dengan bentuk bibir tidak bulat atau terbentang lebar. Misalnya, vokal

[i, e, ə, ɛ, a]. (Marsono, 1999:29-34)

Uraian di atas telah memberikan penjelasan mengenai bunyi vokal secara

umum. Untuk memahami perbedaan bunyi vokal bahasa Indonesia dengan bahasa

Inggris dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia

No Vokal

1 2 3 4 5

Tinggi

rendah

lidah

Gerak

lidah

bagian

Striktur Bentuk

bibir

Contoh

kata

1 [i:] tinggi

atas

depan

tertutup tak bulat ini, ibu,

kita, cari,

lari

2 [I] tinggi

bawah

depan semi-tertutup tak bulat pinggir,

kerikil,

kelingking

3 [e] madya

atas

depan semi-tertutup tak bulat ekor, eja,

enak

4 [ɛ] madya

bawah

depan semi-terbuka tak bulat nenek,

leher,

geleng,

dendeng

5 [a] rendah

bawah

depan

terbuka tak bulat ada, apa,

pada

6 [ə] madya tengah semi-terbuka

tak bulat emas,

elang,

sela, iseng

7 [ɔ] madya

bawah

belakang

semi-terbuka

bulat otot,

tokoh,

dorong,

roti

8 [o] madya

atas

belakang

semi-tertutup bulat oto, took,

kado,

prangko

9 [U] tinggi

bawah

belakang semi-tertutup bulat ukur,

urus,

turun

10 [u] tinggi

atas

belakang tertutup bulat udara,

utara,

bulan,

paku

(Marsono, 1999:37)

Tabel 2.5 Bunyi Vokal Bahasa Inggris

No Vokal

1 2 3 4 5

Tinggi

rendah

lidah

Gerak

lidah

bagian

Striktur Bentuk

bibir

Contoh

kata

1 [i:] tinggi

atas

depan

tertutup tak bulat see, feel,

bead,

ream

2 [I] tinggi

bawah

depan semi-tertutup tak bulat it, lid,

fill, rich

3 [ɛ] madya depan semi-

tertutup/terbuka

tak bulat fell, get,

led

4 [ӕ] rendah depan hampir terbuka netral bad,

cat,bat

5 [ə:] madya

atas

tengah

semi-tertutup tak bulat bird,

burn,

heard

6 [ə] madya

bawah

tengah semi-terbuka netral ago,

colour,

perhaps

7 [ᴧ] rendah tengah hampir terbuka netral up, cup,

luck

8 [ɑ:] rendah

bawah

belakang

terbuka netral card,

dark,

hard

9 [ɔ] rendah

bawah

belakang terbuka bulat box, hot,

lock

10 [ɔ:] rendah

atas

belakang semi-terbuka bulat cord,

law, saw

11 [u] tinggi

bawah

belakang semi-tertutup bulat put, pull,

look

12 [u:] tinggi

atas

belakang tertutup bulat pool,

too,

shoed

(Marsono, 1999:47)

2.3.2.2 Bunyi Konsonan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

Bunyi konsonan dalam setiap bahasa memiliki perbedaan termasuk bahasa

Indonesia dan bahasa Inggris. Menurut Marsono, (1999:60) konsonan secara

umum dibedakan menjadi:

1) Cara dihambat (cara artikulasi).

2) Tempat hambatan (tempat artikulasi).

3) Hubungan posisional antara penghambat-penghambatnya atau hubungan

antara artikulator aktif dengan pasif (striktur).

4) Bergetar tidaknya pita suara.

Untuk lebih jelas dijabarkan pada penjelasan di bawah ini.

1) Konsonan Hambat Letup (Stops, Plosives)

Konsonan hambat letup ialah konsonan yang terjadi dengan hambatan penuh

arus udara kemudian hambatan ini dilepaskan secara tiba-tiba. Jadi strikturnya

rapat kemudian dilepaskan tiba-tiba. Striktur rapat yang pertama disebut

hambatan, sedangkan striktur pelepasan yang kedua disebut letupan Marsono,

(1999:60). Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan dapat

dibedakan menjadi:

1) Konsonan hambat letup bilabial

Konsonan hambat letup blabial terjadi bila penghambat artikulator aktifnya

adalah bibir bawah dan artikulator pasifnya adalah bibir atas, seperti bunyi: [p, b].

Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Bibir bawah menekan rapat

pada bibir atas, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk

beberapa saat. Bibir bawah yang menekan rapat pada bibir atas itu kemudian

secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut.

Perbedaan di antara keduanya ialah [p] sebagai konsonan keras tak bersuara,

sedangkan [b] adalah lunak bersuara. (Marsono, 1999:61)

2) Konsonan hambat letup apiko-dental

Konsonan hambat letup apiko-dental terjadi bila penghambat artikulator

aktifnya ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang

dihasilkan ialah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung

lidah menekan rapat pada gigi atas bagian dalam, sehingga udara yang

dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang

menekan rapat gigi atas itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadilah

letupan udara keluar dari rongga mulut. Bunyi dental [t] adalah konsonan keras

bersuara, sedangkan [d] adalah lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek

daripada [t]. (Marsono, 1999:63-64)

3) Konsonan hambat letup apiko-alveolar

Konsonan hambat letup apiko-alveolar terjadi bila penghambat artikulator

aktifnya adalah ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah gusi. Bunyi yang

terjadi adalah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung

lidah menekan rapat pada gusi, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-

parunterhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada gusi

itu kemudian secara tiba-tiba dilepaskan. Terjadlah letupan udara keluar dari

rongga mulut. Perbedaan antara alveolar [t] dengan [d], [t] adalah konsonan keras

bersuara, sedangkan [d] adalah konsonan lunak bersuara dan lebih pendek

hambatannya. (Marsono, 1999:65-66)

4) Konsonan hambat letup apiko-palatal

Konsonan hambat letup apiko-palatal terjadi bila artikulasi aktifnya adalah

ujung lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang terjadi ialah

[t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menekan

rapat pada langit-langit keras, sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru

terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah yang menekan rapat pada langit-langit

keras. Bunyi yang terjadi adalah [t,d]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya

dinaikkan. Ujung lidah menekan rapat pada langit-langit keras, sehingga udara

yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Ujung lidah

yang menekan rapat pada langit-langit keras itu kemudian secara tiba-tiba

dilepaskan. Terjadilah letupan udara keluar dari rongga mulut. Perbedaan di

antara kedua bunyi itu ialah [t] konsonan keras tak bersuara, sedangkan [d] adalah

lunak bersuara. (Marsono, 1999:66-67)

5) Konsonan hambat letup medio-palatal

Konsonan hambat letup medio-palatal terjadi bila artikulator aktifnya adalah

tengah lidah dan artikulator pasifnya langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan

ialah [c,d]. Tengah lidah menekan rapat pada langit-langit keras. Langit-langit

lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak bisa keluar melalui

rongga hidung sehingga udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat.

Secara tiba-tiba tengah lidah yang menekan rapat kemudian dilepaskan, terjadilah

letupan sehingga udara keluar dari mulut. Perbedaan antara bunyi [c] dengan [j]

ialah [c] sebagai konsonan keras bersuara, sedangkan [j] adalah konsonan lunak

bersuara. (Marsono, 1999:68-69)

6) Konsonan hambat letup dorso-velar

Konsonan hambat letup dorso-velar terjadi bila articulator aktifnya ialah

pangkal lidah dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan

ialah [k,g]. Pangkal lidah menekan rapat pada langit-langit lunak. Langit-langit

lunak beserta ank tekaknya dinaikkan, sehingga udara yang dihembuskan dari

paru-paru terhambat untuk beberapa saat. Secara tiba-tiba pangkal lidah yang

menekan rapat itu kemudian dilepaskan, terjadilah letupan sehingga udara keluar

dari rongga mulut. Perbedaan antara [k] dengan [g] ialah [k] sebagai konsonan

keras tak bersuara, sedangkan [g] adalah konsonan lunak bersuara. (Marsono,

1999:70-71)

7) Konsonan hamzah (glottal plosive, glottal stop)

Konsonan hamzah terjadi dengan menekan rapat yang satu terhadap yang lain

pada seluruh panjangnya pita suara, langit-langit lunak beserta anak tekaknya

dikeataskan, sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan

merapatnya sepasang pita suara maka glotis dalam keadaan tertutup rapat. Secara

tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan, terjadilah letupan udara keluar,

dan terdengarlah bunyi [?].(Marsono, 1999:72)

2) Konsonan Nasal (Nasals)

Konsonan nasal (sengau) ialah konsonan yang dibentuk dengan menghambat

rapat (menutup) jalan udara dari paru-paru melalui rongga mulut, jadi strikturnya

rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan,

sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Menurut tempat hambatannya

(artikulasinya) konsonan jenis ini dapat diperinci lagi menjadi:

1) Konsonan nasal bilabial

Konsonan nasal bilabial terjadi bila penghambat artikulator aktifnya ialah bibir

bawah dan artikulator pasifnya ialah bibir atas. Nasal yang terjadi ialah [m].

Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bibir bawah menekan rapat

pada bibir atas sehingga jalannya udara dari paru-paru melalui rongga mulut

terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita

suar ikut bergetar maka nasal [m] termasuk konsoan bersuara. (Marsono, 1999:74)

2) Konsonan nasal apiko-alveolar

Konsonan nasal apiko-alveolar terjadi bila penghambat artikulator aktifnya

ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi. Nasal yang terjadi ialah [n].

langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan. Bersama dengan itu lidah

ditekankan rapat pada gusi sehingga jalannya udara melalui rongga mulut

terhambat dan keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita

suara ikut bergetar maka nasal [n] adalah konsonan bersuara. (Marsono, 1999:75-

76)

3) Konsonan nasal medio-palatal

Konsonan nasal medio-palatal terjadi bila penghambat artikulator aktifnya

ialah tengah lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Nasal yang

dihasilkan ialah [ñ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan.

Bersama dengan itu tengah lidah ditekankan rapat pada langit-langit keras. Oleh

karena itu maka jalannya udara melalu rongga mult terhambat dan keluar melalui

rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [ñ]

juga konsonan bersuara. (Marsono, 1999:76-77)

4) Konsonan nasal dorso-velar

Konsonan dorso-velar terjadi bila proses penghambat artikulator aktifnya

pangkal lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit lunak. Nasal yang

dihasilkan ialah [ŋ]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan.

Bersama dengan itu pangkal lidah dinaikkan ditekankan rapat pada langit-langit

lunak. Oleh karena itu, maka jalannya udara melalui rongga mulut terhambat dan

keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut

bergetar maka [ŋ] juga termasuk konsonan bersuara. Seperti pada kata: ngarai,

langit, dan senang. (Marsono, 1999:77-78)

3) Konsonan Paduan (Affricates)

Konsonan paduan adalah konsonan hambat jenis khusus. Proses terjadinya

dengan menghambat penuh arus udara dari paru-paru, kemudian hambatan itu

dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Jadi strikturnya ialah rapat kemudian

dilepaskan pelan-pelan. Tempat artikulasinya ialah ujung lidah dan gusi bagian

belakang (langit-langit keras bagian depan atau prepalatal). Bunyi yang terjadi

ialah paduan apiko-prepalatal [tʃ, dʒ]. Ujung lidah menyentuh rapat pada gusi

bagian belakang, langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan, sehingga

arus udara yang dihembuskan dari paru-paru terhambat untuk sementara. Ujung

lidah yang menyentuh rapat itu kemudian dilepaskan secara bergeser pelan-pelan

dalam posisi seperti mengucapkan [ʃ, ʒ]. Geseran dalam mengucapkan [tʃ, dʒ]

tidak sedemikian panjang seperti pada geseran bunyi [ʃ, ʒ]. Perbedaan antara

kedua paduan itu ialah [tʃ] paduan keras tak bersuara, sedangkan [dʒ] adalah

paduan lunak bersuara dan hambatannya lebih pendek seperti pada kata chin,

riches, dan rich. (Marsono, 1999:79-80)

4) Konsonan Sampingan (Laterals)

Konsonan sampingan dibentu dengan menutup arus udara di tengah rongga

mulut sehingga udara keluar melalui kedua samping atau sebuah samping saja.

Latera dlam bahasa Latin berarti „samping-samping‟. Jadi strikturnya adalah

renggang lebar. Tempat artikulasinya ujung lidah dengan gusi. Bunyi yang

dihasilkan disebut sampingan apiko alveolar. Bunyi itu adalah [l]. Langit-langit

lunak beserta anak tekaknya dinaikkan. Ujung lidah menyentuh rapat pada gusi,

sehingga arus udara melalui tengah mulut terhalang. Karena udara melalui tenah

mulut terhalang maka udara yang dihembuskan dari paru-paru keluar melalui

kedua (salah satu) sisi lidah yang tidak bersentuhan dengan langit-langit. Pita

suara ikut bergetar. Karena pita suara ikut bergetar maka [l] adalah konsonan

bersuara. Seperti pada kata: lama, pula, asal, look, holiday, oil. (Marsono,

1999:80-81)

5) Konsonan Geseran atau Frikatif (Frikatives, Frictions)

Konsonan geseran atau frikatif ialah konsonan yang dibentuk dengan

menyempitkan jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru, sehingga

jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser. Jadi strikturnya tidak rapat

seperti pada konsonan letup tetapi renggang. Menurut tempat artikulasinya

konsonan geseran dapat dibedakan menjadi:

1) Konsonan geseran labio-dental

Konsonan geseran labio-dental terjadi bila artikulator aktifnya ialah bibir

bawah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang terjadi ialah [f,v].

Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan, udara tidak keluar melalui

rongga hidung dan terpaksa keluar lewat mulut. Bibir bawah ditekankan pada gigi

depan atas, dengan demikian penyempitan jalan arus udara terjadi. Karena

jalannya arus udara disempitkan maka udara keluar secara bergeser melalui sela-

sela bibir dengan gigi dan melalui lubang-lubang di antara gigi. Perbedaan di

antara kedua bunyi geseran itu ialah [f] sebagai konsonan keras bersuara,

sedangkan [v] adalah konsoan lunak bersuara. Seperti pada kata: fajar, nafas,

taraf, valuta, devisa, fan, sofa, life, van, cover, live (Marsono, 1999:82-83)

2) Konsonan geseran apiko-dental

Konsonan geseran apiko-dental terjadi bila artikulator aktifnya ialah ujung

lidah dan artikulator pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan ialah [θ,ð].

Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dikeataskan sehingga udara tidak keluar

melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut. Ujung lidah

ditekankan pada gigi depan atas, sehingga penyempitan jalan udara terjadi.

Karena jalannya arus udara disempitkan maka udara keluar dengan bergeser

melalui sela-sela ujung lidah dan gigi. Perbedaan di antara kedua bunyi itu ialah

[θ] sebagai konsonan keras tak bersuara hambatannya lebih panjang, sedangkan

[ð] adalah konsonan lunak bersuara hambatannya lebih pendek. Seperti pada kata:

thank, nothing, both. (Marsono, 1999:83-84)

3) Konsonan geseran apiko-palatal

Konsonan geseran apiko-palatal terjadi bila articulator aktifnya ialah ujung

lidah dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras. Bunyi yang dihasilkan

ialah [r]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara

tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut.

Lidah membentuk lengkungan dengan ujung lidah mengarah pada langit-langit

tetapi ada sela-sela sempit yang menyebabkan jalannya udara bergeser. Bibir agak

dibulatkan, khususnya jika [r] itu ada pada awal kata. Pita suara ikut bergetar

sehingga [r] termasuk konsonan bersuara. (Marsono, 1999:85-86)

4) Konsonan geseran lamino-alveolar

Konsonan geseran lamino-alveolar terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun

lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi yang tejadi

ialah [s, z]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara

tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa keluar melalui rongga mulut.

Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya

udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan

keluarnya udara yang bergeser. Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan. Mulut tidak

terbuka lebar. Perbedaan di antara kedua konsonan lamino-alveolar itu ialah [s]

sebgai konsonan keras tak bersuara lebih panjang hambatannya, sedangkan [z]

adalah konsonan lunak bersuara lebih pendek hambatannya. Jika dibandingkan

dengan geseran [f,v] dan [θ,ð] maka geseran untuk bunyi lamino-alveolar ini

khususnya [s] lebih kuat. (Marsono, 1999:86-87)

5) Konsonan geseran apiko-prepalatal

Konsonan geseran apiko-prepalatal terjadi bila artikulator aktifnya ialah ujung

lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi bagian belakang atau langit-langit keras

depan (prepalatal). Bunyi yang terjadi ialah [ʃ, ʒ]. Langit-langit lunak beserta anak

tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi

terpaksa keluar melalui rongga mulut. Ujung lidah atau beserta daun lidah

ditekankan pada gusi bagian belakang (langit-langit keras depan). Ruangan

jalannya udara antara ujung lidah dengan gusi bagian belakang sempit sekali yang

menyebabkan keluarnya udara bergeser. Ruangan di antara ujung lidah dengan

gusi itu jika dibandingkan dengan [s] lebih besar], sebaliknya jalan udara di antara

bagian utama lidah dengan langit-langit lebih sempit. Lidah depan lebih tinggi

daripada untuk [s,z]. Bibir bulat ramping. Gigi atas dengan gigi bawah sangat

berdekatan. Perbedaan di antara kedua geseran apiko-prepalatal itu ialah [ʃ]

sebagai bunyi geseran apiko-prepalatal keras tak bersuara lebih panjang

hambatannya, sedangkan [ʒ] adalah lunak bersuara lebih pendek hambatannya.

Seperti pada kata: shop, nation, wash. (Marsono, 1999:88-89)

6) Konsonan geseran dorso-velar

Konsonan geseran dorso-velar terjadi bila artikulator aktifnya pangkal lidah

dan artikulator pasifnya langit-langit lunak. Bunyi yang terjadi ialah [x]. Langit-

langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udaa tidak keluar melalui

rongga hidung tetapi terpaksa melalui rongga mulut. Pangkal lidah ditekankan

pada langit-langit lunak sehingga ruangan jalannya udara antara pangkal lidah

dengan langit-langit lunak menjadi sempit. Karena ruangan jalannya udara sempit

maka udara keluar dengan bergeser. Pita suara tidak ikut bergetar maka bunyi [x]

tidak bersuara. (Marsono, 1999:90-91)

7) Konsonan geseran laringal

Konsonan geseran laringal atau geseran glottal terjadi bila artikulatornya

adalah sepasang pita suara. Udara yang dihembuskan dari paru-paru pada waktu

melewati glottis digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih

sempit daripada posisi terbuka. Posisi terbuka ini lebih sempit daripada posisi

glottis terbuka lebar dalam bernafas normal. Terjadilah bunyi [h], karena pita

suara tidak ikut bergetar maka [h] adalah konsonan tidak bersuara. (Marsono,

1999:92)

6) Konsonan Getar (Trills, Vibrants)

Konsonan getar atau geletar ialah konsonan yang dibentuk dengan

menghambat jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru secara

berulang-ulang dan cepat. Jadi strikturnya rapat renggang, yaitu dirapatkan

kemudian direnggangkan atau dilepaskan (dihambat-dilepskan) berkali-kali

dengan cepat. (Marsono, 1999:93) Menurut tempat artikulasinya konsonan getar

ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Konsonan getar apiko-alveolar

Konsonan getar apiko-alveolar terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan

proses menggetar itu ialah ujung lidah dan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi

yang dihasilkan ialah [r]. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan

sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi keluar melalui rongga

mulut. Lidah membentak lengkungan dengan ujung lidah merapat kemudian

merenggang (melepas) secara berkali-kali pada gusi belakang sehingga

menyebabkan jalannya udara bergetar. (Marsono, 1999:93)

2) Konsonan getar uvular

Konsonan getar uvular terjadi bila artikulator aktif yang menyebabkan

bergetarnya udara itu ialah pangkal lidah (lidah belakang) dan artikulator pasifnya

ialah anak tekak. Bunyi yang terjadi ialah [R]. Langit-langit luank terangkat ke

atas menutup jalannya udara melalui rongga hidung. Udara keluar melalui rongga

mulut. Pangkal lidah merapat kemudian merenggang (melepas) secara berkali-kali

pada anak tekak sehingga menyebabkan jalannya udara bergetar. (Marsono,

1999:94-95)

7) Konsonan Sentuhan (Tap)

Konsonan sentuhan ialah konsonan yang pembentukkannya hampir sama

dengan getar tetap proses bergetar itu hanya terjadi satu kali. Penghalangan udara

terjadi menyentuhkan artikulator aktif pada artikulator pasif satu kali. Jadi

strikturnya rapat renggang pendek sekali. Tempat artikulasinya ialah ujung lidah

dengan gusi belakang atau langit-langit. Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan

(tap) apiko-alveolar, dilambangkan dengan [r]. (Marsono, 1999:95)

8) Konsonan Sentuhan Kuat (Flap)

Konsonan sentuhan kuat ialah konsonan yang pembentukannya pada

prinsipnya sama dengan konsonan sentuhan (tap). Perbedaannya, pada sentuhan

kuat sebeum artikulator aktif disentuhkan pada artikulator pasif disertai ancang-

ancang lebih dahulu sehingga proses sentuhannya lebih kuat, dan disebut sentuhan

kuat. Strikturnya rapat renggang pendek kuat. Tempat artikulasinya sama dengan

konsonan sentuhan (tap), yaitu ujung lidah dengan gusi belakang atau langit-

langit. Ujung lidah sebagai artikulator aktif disentuhkan kuat-kuat pada gusi

belakang atau langit-langit sehingga menyebabkan arus udara terhambat dan

bergetar satu kali. Bunyi yang dihasilkan disebut sentuhan kuat apiko-aveolar

dilambangkan dengan [r].

9) Semi-vokal

Bunyi semi vokal secara praktis termasuk konsonan tetapi karena waktu

diartikulasikan belum membentuk konsonan murni, maka bunyi-bunyi itu disebut

semi-vokal. Hubungan posisional antar penghambat (artikulator) dalam

mengucapkan semi-vokal adalah renggang terbentang atau renggang lebar.

Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) ada dua jenis semi-vokal, yaitu:

1) Semi-vokal bilabial dan labio-dental

Semi-vokal bilabial terjadi bila artikulator aktifnya adalah bibir bawah dan

artikulator pasifnya adalah bibir atas, bunyi yang terjadi ialah [w] bilabial. Dapat

juga bibir bawah bekerja sama dengan gigi atas, yang terjadi adalah [w] labio-

dental. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak

keluar melalui rongga mulut. Pangkal lidah dinaikkan mendekati langit-langit

lunak, ketinggiannya sama dengan posisi pengucapan vokal [u]. Oleh karena itu,

maka udara yang keluar dari paru-paru sedikit terhambat. Posisi kedua bibir

hampir sama dengan pembentukan vokal [u]. Perbedaan-perbedaannya, dalam

mengucapkan [u], posisi bibir bulat. Dalam [w] ini posisi kedua bibir itu agak

terbentang. Pita-pita suara ikut bergetar sehingga [w] adalah bunyi bersuara.

(Marsono, 1999:97)

2) Semi-vokal medio-palatal

Semi-vokal medio-palatal terjadi bila artikulator aktifnya ialah tengah lidah

dan artikulator pasifnya ialah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi ialah [y].

langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar

melalui rongga hidung tetapi keluar melalui rongga mulut. Tengah lidah menaik

mendekati langit-langit keras, tetapi tidak sampai rapat. Ketinggian lidah ini, jika

dibandingkan dengan [i], [y] sedikit lebih tinggi, tetapi lebih rendah daripada [j].

Oleh karena itu, maka udara yang keluar dari paru-paru sedikit terhambat. Pita-

pita suara ikut bergetar maka bunyi [y] termasuk bunyi bersuara. (Marsono,

1999:99) Untuk lebih jelasnya bunyi konsonan bahasa Indonesia dan bahasa

Inggris dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.6 Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia

Hubungan

posisional

antar

penghambat

(striktur)

Cara dihambat

(cara

artikulasi)

Ber

suar

a d

an t

ak

ber

suar

a

Tempat hambatan (tempat artikulasi)

Bil

abia

l

Lab

io-d

enta

l

Ap

iko

-den

tal

Ap

iko

-alv

eola

r

Ap

iko

pre

pal

atal

Ap

iko

-pala

tal

Lam

ino

-

alv

eola

r

Lam

ino

-pat

alal

Med

io-p

alat

al

Do

rso

-vel

ar

Uv

ula

r

Lar

ing

al

Glo

tal

ham

zah

Rapat lepas

tiba-tiba Hambat letup

T p p- t t- c k k- ?

B b d j g

Rapat lepas

tiba-tiba Nasal (sengau)

B m n n ŋ

T

Rapat lepas

pelan-pelan

Paduan

(afrikat) B

Renggang

lebar

Sampingan

(lateral) B l

Renggang Geseran

(frikatif)

T f s ʃ x

h

B v z

Rapat

renggang Getar (tril) r

Renggang

lebar Semi-vokal B w y

(Marsono, 1999:101)

Keterangan:

T = Tidah bersuara B= Bersuara

Tabel 2.7 Bunyi Konsonan Bahasa Inggris

Hubungan

posisional antar

penghambat

(striktur)

Cara dihambat

(cara artikulasi)

Ber

suar

a dan

tak

ber

suar

a

Tempat hambatan (tempat artikulasi)

Bil

abia

l

Lab

io-d

enta

l

Apik

o-d

enta

l

Apik

o-a

lveo

lar

Apik

o p

repal

atal

Apik

o-p

alat

al

Lam

ino

-alv

eola

r

Lam

ino

-pat

alal

Med

io-p

alat

al

Dors

o-v

elar

Uvula

r

Lar

ingal

Glo

tal

ham

zah

Rapat lepas tiba-

tiba

Hambat letup

T

p

ph

t th k kh

? B b d

g

Rapat lepas tiba-

tiba Nasal (sengau) B m n ŋ

Rapat lepas pelan-

pelan

Paduan

(afrikat)

T tʃ

B dʒ

Renggang lebar

Sampingan

(lateral) B l

Renggang Geseran

(frikatif)

T f θ ʃ s

x

h

B v ð ʒ r z

Rapat renggang Getar (tril) R*)

Rapat renggsng 1 x Sentuhan (tap) B r*) Rapat renggsng 1 x

kuat

Sentuhan kuat

(flap) r*)

Renggang lebar Semi vokal B w y

(Marsono, 1999:106)

Keterangan:

T = Tidah bersuara B= Bersuara *)= Tidak ada dalam bahasa Indonesia

Bunyi Segmental

Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita

suara. Bunyi Segmental ada empat macam yaitu:

1) Konsonan

Konsonan adalah bunyi yang terhambat oleh alat ucap.

2) Vokal

Vokal adalah bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap.

3) Diftong

Diftong adalah dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: [ai] dalam

sungai, [au] dalam [kau]

4) Kluster

Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi.

2.3.3 Keterampilan berbicara

Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi

bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau

perasaan secara lisan (Brown dan Yule, 1983). Menurut Tarigan (1981:15),

berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-

faktor fisik, psikologis, neurologis, semantis dan linguistik yang sangat intensif.

Lebih lanjut, Tarigan (2008:17) mengemukakan bahwa berbicara adalah

kemampuan seseorang dalam mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata

yang bertujuan untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran,

gagasan dan perasaan orang tersebut.

Berbicara sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa memiliki

keterkaitan erat dengan aspek keterampilan berbahasa lainnya, yaitu antara

berbicara dengan menyimak, berbicara dengan menulis, dan berbicara dengan

membaca.

1) Hubungan Berbicara dengan Menyimak

Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan yang berbeda yang berkaitan

erat dan tak terpisahkan. Kegiatan menyimak didahului oleh kegiatan berbicara.

Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi

komunikasi lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya-jawab,

interview, dan sebagainya. Kegiatan berbicara dan menyimak saling melengkapi,

tidak ada gunanya orang berbicara bila tidak ada orang yang menyimak. Tidak

mungkin orang menyimak bila tidak ada orang yang berbicara. Melalui kegiatan

menyimak siswa mengenal ucapan kata, struktur kata, dan struktur kalimat.

2) Hubungan Berbicara dengan Membaca

Berbicara dan membaca berbeda dalam sifat, sarana, dan fungsi. Berbicara

bersifat produktif, ekspresif melalui sarana bahasa lisan dan berfungsi sebagai

penyebar informasi. Membaca bersifat reseptif melalui sarana bahasa tulis dan

berfungsi sebagai penerima informasi.

Bahan pembicaraan sebagian besar didapat melalui kegiatan membaca.

Semakin sering orang membaca semakin banyak informasi yang diperolehnya.

Pembelajaran berbicara mempunyai sejumlah komponen yang pembahasannya

diarahkan pada segi metode pengajaran. Guru harus dapat mengajarkan

keterampilan berbicara dengan menarik dan bervariasi. Menurut Tarigan (1987:

106) ada empat kemampuan berbicara yaitu sebagai berikut:

1) Percakapan

Percakapan adalah pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu topik

tertentu antara dua atau lebih pembaca. Tarigan (1987: 106). Percakapan selalu

terjadi dua proses yakni proses menyimak dan berbicara secara simultan.

Percakapan biasanya dalam suasana akrab dan peserta merasa dekat satu sama lain

dan spontanlitas. Percakapan merupakan dasar keterampilan berbicara baik bagi

anak-anak maupun orang dewasa.

2) Bertelepon

Menurut Tarigan (1987: 124) telepon sebagai alat komunikasi yang sudah

meluas sekali pemakaianya. Keterampilan menggunakan telepon bisnis,

menyampaikan berita atau pesan. Penggunaan telepon menuntut syarat-syarat

tertentu antara lain: berbicara dengan bahasa yang jelas, singkat dan lugas.

Metode bertelepon dapat digunakan sebagai metode pengajaran berbicara. Melalui

metode bertelepon diharapkan siswa didik berbicara jelas, singkat dan lugas.

Siswa harus dapat menggunakan waktu seefisien mungkin.

3) Wawancara

Menurut Tarigan (1987: 126) wawancara atau interview sering digunakan

dalam kehidupan sehari-hari, misalnya wartawan mewawancarai para menteri,

pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat mengenai isu penting. Wawancara dapat

digunakan sebagai metode pengajaran berbicara, pada hakekatnya wawancara

adalah bentuk kelanjutan dari percakapan atau tanya jawab. Percakapan dan tanya

jawab sudah biasa digunakan sebagai metode pengajaran berbicara.

4) Diskusi

Diskusi sering digunakan sebagai kegiatan dalam kelas. Metode diskusi

sangat berguna bagi siswa dalam melatih dan mengembangkan keterampilan

berbicara dan siswa juga turut memikirkan masalah yang didiskusikan. Berbicara

adalah suatu kegiatan komunikasi antara 2 orang atau lebih menggunakan bahasa

lisan. Menurut Maidar dan Mukti (1993: 18) dalam berbicara ada sejumlah faktor

yang menunjang keefektifan berbicara. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan

sebagai berikut:

Faktor kebahasaan

1) Ketepatan ucapan, pengucapan bunyi-bunyian harus tepat, begitu juga

dengan penempatan tekanan, durasi, dan nada yang sesuai.

2) Pemilihan kata atau diksi, harus jelas, tepat dan bervariasi sehingga dapat

memancing kepahaman dari pendengar.

3) Ketepatan sasaran pembicara, pemakaian kalimat atau keefektivan kalimat

memudahkan pendengar untuk menangkap isi pembicaraan.

Faktor non-kebahasaan

1) Sikap yang tidak kaku;

2) Kesediaan menghargai pendapat;

3) Pandangan ke pendengar;

4) Gerak-gerik atau mimik tepat;

5) Kenyaringan suara;

6) Kelancaran berbicara;

7) Penguasaan topik.

Penilaian di dalam keterampilan berbicara ditentukan oleh 2 faktor, yaitu

faktor kebahasaan dan faktor non kebahasaan (Nurgiyantoro, 1995: 152).

Penilaian dari faktor kebahasaan meliputi: ucapan, tata bahasa, kosa kata,

sedangkan penilaian dari faktor non kebahasaan meliputi: ketenangan, volume

suara, kelancaran, pemahaman.

2.3.4 Penelitian Tindakan Kelas

Penelitian tindakan kelas (PTK) atau disebut juga Classroom Action Research

(CAR) adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki

mutu praktik pembelajaran di kelas. (Burns, 2009:6). Adapun tujuan PTK adalah

(1) meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan

pembelajaran di sekolah, (2) membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya

mengatasi masalah pembelajaran, (3) meningkatkan sikap profesional guru dan

tenaga kependidikan, (4) menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan

sekolah sehingga tercipta sikap proaktif dalam melakukan perbaikan mutu

pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan. (Burns, 2009:8).

Keunggulan yang dimiliki PTK yakni:

1) guru tidak perlu meninggalkan kelas atau pekerjaannya;

2) tidak memerlukan biaya yang tinggi dan dapat dilakukan kapan saja;

3) hasil penelitiannya yang direncanakan dapat dirasakan;

4) bila tindakan (treatment) dilakukan kepada responden, mereka dapat

merasakan hasilnya.

Tindakan (treatment) yang dilakukan memberikan motivasi kepada subjek

didik untuk menghasilkan perubahan sikap. Penelitian tindakan kelas

bermanfaat untuk memperluas kemampuan dan memperoleh pemahaman yang

lebih tentang kelas, peserta didik dan diri sendiri sebagai guru. (Trianto,

2011:18).

Gambar 2.3 Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

(1) Perencanaan (5) Tindakan berikutnya

(4) Refleksi (2) Tindakan

(3) Observasi

(Suparno, 2008:11)

Bagan di atas menggambarkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah sebuah

siklus yang dilakukan secara berulang. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1) Perencanaan

Peranan dalam fase ini sangat penting karena rencana tindakan

dikembangkan berdasarkan permasalahan yang ada di lapangan dengan

tujuan untuk meningkatkan kemampuan yang lebih khusus. (Burns,

2009:8)

2) Tindakan

Tindakan yang dilakukan harus melalui perencanaan yang baik dengan

mempertimbangkan situasi dan batasan waktu yang ditentukan.

3) Observasi

Pada fase ini mencakup pengamatan secara sistematis yang merupakan

dampak dari tindakan yang dilakukan dengan

mencatat/mendokumentasikan konteks, kegiatan, dan pendapat dari semua

yang ikut terlibat di dalamnya.

4) Refleksi

Pada fase ini guru menganalisis kembali kegiatan yang telah dilakukan

dengan menggambarkan, mengevaluasi, dan mendeskripsikan dampak dari

tindakan yang dilakukan dengan tujuan memberikan penjelasan yang

rasional dan memahami permasalahan yang telah dikaji lebih jelas. (Burns,

2009:8)

5) Tindakan berikutnya

Apabila hasil yang dicapai belum memuaskan maka perlu dilakukan

tindakan berikutnya yang pada akhirnya hasil dari tindakan yang diberikan

dapat memperoleh hasil yang memuaskan.

Pelafalan Bunyi pada Percakapan Bahasa Inggris Peserta Didik Kelas

XI SMA Budi Utama Melalui Metode Audiolingual

2.3.5 Model Penelitian

Pratindakan

Siklus 1 dan 2

Faktor-faktor

penyebab

terjadinya

penyimpangan

pelafalan

Metode

Audiolingual

Tujuan Penelitian

Hasil penelitian

ANALISIS

Kualitatif dan

Kuantitatif

menggunakan

teori fonetik

ANALISIS Kualitatif

dan Kuantitatif

menggunakan Teori :

- Teori belajar

behavioristik

- Teori Fonetik

- Teori Keterampilan

berbicara

ANALISIS

Kualitatif

Penjelasan bagan :

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa penulis ikut

berpartisipasi dalam proses pembelajaran sebagai guru dan juga pengamat

(observer). Penelitian ini menganalisis tiga masalah yang berkaitan dengan

pelafalan peserta didik, masalah pertama ditemukan pada tahap pratindakan,

masalah kedua ditemukan pada siklus 1 dan 2, kemudian masalah 3

ditemukan ketika masalah pertama dan kedua ditemukan.

Masalah pertama yang masih menggunakan metode ceramah pada tahap

pratindakan dianalisis menggunakan teori fonetik yang ditampilkan secara

kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui pelafalan peserta didik sebelum

menggunakan metode audiolingual. Selanjutnya masalah kedua yang telah

menggunakan metode audiolingual pada siklus 1 dan siklus 2 dianalisis

menggunakan teori belajar behavioristik, teori keterampilan berbicara, teori

fonetik untuk mengetahui peningkatan pelafalan peserta didik yang

ditampilkan secara kualitatif dan kuantitatif. Setelah hasil analisis masalah

pertama dan kedua ditemukan dilanjutkan dengan menganalisis masalah

ketiga menggunakan teori fonetik untuk mengetahui faktor penyebab

kekeliruan pelafalan peserta didik yang ditampilkan secara kualitatif.

Berdasarkan hasil analisis dari masalah pertama, kedua dan ketiga maka

tujuan penelitian ini telah tercapai yang menjadi hasil penelitian.