bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori dan … ii.pdfkerangka dasar pengembangan pariwisata...

31
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1. Kajian Pustaka Sampai saat ini, belum ada penelitian tentang keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata khususnya di kapal pesiar. Kajian perempuan Bali dalam industri kapal pesiar menarik untuk dibahas karena keterlibatan perempuan dalam sektor pariwisata dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut dikaji beberapa penelitian yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Penelitian Wilkinson dan Pratiwi (1995) berjudul “Gender and Tourism in an Indonesian Village” menyebutkan bahwa keadaan kemiskinan, ketiadaan pekerjaan pilihan, kebijakan pengembangan yang tidak memihak masyarakat lokal, ketiadaan kuasa politik lokal, adanya perbedaan struktur kelas dan pandangan terhadap gender membuat perempuan semakin termarginalisasi. Masyarakat pendatang yang lebih bermodal, lebih terampil di bidang pariwisata menyebabkan mereka merasakan manfaat ekonomi lebih besar dibandingkan masyarakat lokal Pengandaran-Indonesia. Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun pelaku pariwisata agar masyarakat lokal khususnya perempuan dapat merasakan manfaat lebih dari pengembangan pariwisata. MacDonald dan Jolliffe (2003); Nunkoo dan Gursoy (2012) menyatakan dalam pengembangan pariwisata perlu mempertimbangkan peran

Upload: hanga

Post on 06-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1. Kajian Pustaka

Sampai saat ini, belum ada penelitian tentang keberadaan perempuan Bali

dalam industri pariwisata khususnya di kapal pesiar. Kajian perempuan Bali dalam

industri kapal pesiar menarik untuk dibahas karena keterlibatan perempuan dalam

sektor pariwisata dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut

dikaji beberapa penelitian yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam

penelitian.

Penelitian Wilkinson dan Pratiwi (1995) berjudul “Gender and Tourism in

an Indonesian Village” menyebutkan bahwa keadaan kemiskinan, ketiadaan

pekerjaan pilihan, kebijakan pengembangan yang tidak memihak masyarakat

lokal, ketiadaan kuasa politik lokal, adanya perbedaan struktur kelas dan

pandangan terhadap gender membuat perempuan semakin termarginalisasi.

Masyarakat pendatang yang lebih bermodal, lebih terampil di bidang pariwisata

menyebabkan mereka merasakan manfaat ekonomi lebih besar dibandingkan

masyarakat lokal Pengandaran-Indonesia. Kondisi tersebut perlu mendapat

perhatian serius dari pemerintah maupun pelaku pariwisata agar masyarakat lokal

khususnya perempuan dapat merasakan manfaat lebih dari pengembangan

pariwisata. MacDonald dan Jolliffe (2003); Nunkoo dan Gursoy (2012)

menyatakan dalam pengembangan pariwisata perlu mempertimbangkan peran

12

budaya dan memberdayakan sumber daya manusia lokal dalam menyusun

kerangka dasar pengembangan pariwisata (Canada; Mauritius).

Dalam studi Kalpika (1999) yang berjudul “Perempuan dalam Industri

Pariwisata: Studi Kasus di Kawasan Wisata Kuta, Ubud, dan Kintamani”

dijelaskan bahwa pariwisata telah menggeser pola kerja dalam rumah tangga

masyarakat Kuta, Ubud, dan Kintamani. Alasan-alasan rasional, praktis dan

ekonomis telah masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Terlibatnya istri pada

sektor publik di hotel, rumah makan, dan toko cenderamata, membuat para suami

mulai memberikan perhatian serta ikut mengerjakan berbagai pekerjaan yang

terkait dengan urusan rumah tangga. Pekerjaan di sektor publik tidak lagi

monopoli laki-laki/suami, sebaliknya pekerjaan domestik tidak hanya menjadi

beban istri, akan tetapi keduanya merupakan tanggungjawab bersama secara

seimbang.

Dalam penelitian Sari (2008) berjudul “Motivasi Pekerja Perempuan Bali

pada Hotel Melati di Kawasan Pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali”

mengkaji motivasi pekerja perempuan Bali bekerja pada hotel melati, posisi yang

diraih perempuan Bali serta pengaruh faktor umur, pendidikan, pendapatan

keluarga, status perkawinan, kepemilikan aset dan kondisi kerja terhadap motivasi

perempuan Bali pada hotel melati di kawasan pariwisata Ubud. Dalam penelitian

ini diuraikan bahwa motivasi perempuan Bali bekerja pada hotel melati di

kawasan pariwisata Ubud mayoritas adalah untuk menambah penghasilan keluarga

(69,9%), karena desakan ekonomi 18,9%, meningkatkan status sosial 4,6%, untuk

aktualisasi diri 4,1%, menghilangkan kebosanan dari rutinitas pekerjaan rumah

13

1,5%, dan karena dekat dengan rumah 1,0%. Posisi perempuan Bali yang bekerja

pada hotel melati mayoritas (86,7%) sebagai staf, sebagai lower manager 11,2%,

middle manager 2,1%, top manager 13,3%. Selanjutnya disebutkan pula bahwa

variabel umur, pendidikan, pendapatan keluarga, status perkawinan,

kepemilikan aset dan kondisi kerja berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja

perempuan Bali bekerja pada hotel melati di kawasan pariwisata Ubud,

Gianyar, Bali.

Selanjutnya dalam penelitian Sadia dan Oka (2012) yang berjudul “Motivasi

kerja tenaga kerja Bali bekerja di Kapal Pesiar Mediterranean Shipping Company

Cruise” disebutkan bahwa motivasi kerja tenaga kerja Bali untuk bekerja dalam

industri pariwisata kapal pesiar Mediterranean Shipping Company Cruise yaitu

dominan karena motivasi ekonomi yaitu sebesar 91,58% sedangkan motivasi non

ekonomi yaitu sebesar 8,42%. Secara detail disebutkan pula bahwa tenaga kerja

Bali yang bekerja di kapal pesiar Mediterranean Shipping Company Cruise karena

alasan desakan ekonomi keluarga sebesar 72,79%, untuk meningkatkan

pendapatan keluarga sebesar 15,79 %, untuk meningkatkan status sosial diri dan

keluarga sebesar 6,32%, serta mereka bekerja untuk meneruskan hobinya yaitu

sebesar 2,11%. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara parsial variabel umur,

pendidikan, lama kerja dan pendapatan keluarga memiliki korelasi negatif

terhadap motivasi kerja tenaga kerja Bali untuk bekerja di kapal pesiar

Mediterranean Shipping Company (MSC) Cruise.

Kajian-kajian yang dikemukakan dalam paparan sebelumnya dipakai

sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian ini secara umum memiliki

14

persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu, namun demikian

keorisinilan dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Persamaannya adalah karena sama-sama menjadikan perempuan yang terlibat

dalam sektor pariwisata sebagai subjek penelitian. Perbedaan mendasar dari

penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada cakupan kajiannya.

Penelitian ini mengkaji keberadaan perempuan Bali yang bekerja dalam industri

pariwisata kapal pesiar dilihat dari aspek kekuatan, kelemahan, peluang, dan

ancaman yang dihadapinya, faktor-faktor yang memotivasi perempuan Bali untuk

bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar, serta implikasi ekonomi, sosial, dan

budaya perempuan Bali untuk bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar

terhadap lingkungan kehidupannya.

2.2 Konsep

Dalam mengkaji keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata

kapal pesiar, dideskripsikan beberapa konsep yang terkait dengan penelitian, yaitu

industri pariwisata, kapal pesiar, kesetaraan jender, dan perempuan Bali.

2.2.1. Industri Pariwisata

Pengertian industri pariwisata dalam penelitian ini adalah kumpulan dari

bermacam-macam perusahaan, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang

dibutuhkan oleh para wisatawan selama melakukan perjalanan wisata ke destinasi

pariwisata. Gee & Sola (1997: 161-162) menyebutkan industri pariwisata

melibatkan berbagai perusahaan jasa terutama yang terkait dengan kebutuhan

wisatawan selama melakukan perjalanan wisata seperti hotel, perusahaan

15

penerbangan, dan daya tarik pariwisata. Selanjutnya dalam Undang-Undang

Nomor: 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan industri pariwisata

adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan

barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam

penyelenggaraan pariwisata (Sunaryo, 2013: 193).

Dengan demikian dapat dikatakan dalam industri pariwisata diperlukan

beberapa perusahaan yang dibutuhkan oleh para wisatawan selama melakukan

kegiatan pariwisata ke daerah tujuan pariwisata. Perusahaan-perusahaan yang

diperlukan para wisatawan selama melakukan perjalanan mulai dari negara asal

wisatawan sampai mereka kembali kembali ke negara asalnya.

Perusahaan-perusahaan yang termasuk industri pariwisata, menurut Leiper

(dalam Pitana dan Diarta, 2009: 63-65) terdiri atas tujuh sektor, yaitu sektor

pemasaran (the marketing sector), sektor perhubungan (the carrier sector), sektor

akomodasi (the accommodation sector), sektor daya tarik atraksi wisata (the

attraction sector), sektor tour operator (the tour operator sector), sektor

pendukung/rupa-rupa (the miscellaneous sector), dan sektor pengkoordinasi (the

coordinating sector).

Adapun ciri-ciri dari industri pariwisata (Suwena dan Widyatmaja, 2010:

72-74), dibedakan menjadi enam katagori, yaitu:

a. Service Industry. Pariwisata disebut sebagai industri jasa karena masing-masing

perusahaan yang membentuk industri pariwisata adalah perusahaan jasa yang

masing-masing bekerja sama menghasilkan produk (goods and service) yang

dibutuhkan wisatawan selama melakukan perjalanan wisata.

16

b. Labor intensive. Industri pariwisata mampu menumbuhkan dan menciptakan

kesempatan kerja, baik langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan

keperluan wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata. Oleh sebab itu,

sektor pariwisata tergolong sebagai kegiatan padat karya. Mulai dari usaha biro

perjalanan wisata, akomodasi perhotelan, daya tarik wisata, dan restoran yang

secara langsung menciptakan lapangan kerja.

3. Capital intensive. Untuk membangun sarana dan prasarana industri pariwisata

diperlukan modal yang besar untuk investasi, di mana dalam pengembalian

modal yang diinvestasikan tersebut relatif lebih lama dibandingkan dengan

industri manufaktur.

4. Sensitive. Industri pariwisata sangat rentan terhadap keadaan sosial, politik, dan

keamanan. Situasi sosial, politik, dan keamanan yang stabil, baik di negara asal

wisatawan maupun di negara yang dikunjungi, menjadi faktor penentu bagi

wisatawan untuk mengambil keputusan dalam menentukan pilihan.

5. Seasonal. Terjadi fluktuasi atau naik atau turunnya permintaan untuk

berkunjung pada destinasi pariwisata tertentu. Akibat terjadinya fluktuasi

tersebut pada musim ramai dirasakan kekurangan sarana atau tenaga yang

melayani wisatawan, sedangkan pada musim sepi terjadi sebaliknya.

6. Quick yielding industry. Dengan mengembangkan pariwisata sebagai industri,

devisa akan lebih cepat bila dibandingkan dengan kegiatan ekspor yang

dilakukan secara konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sejak wisatawan

menginjakkan kakinya di negara yang dikunjungi, karena saat itu wisatawan

membayar kebutuhannya, mulai dari hotel, restoran, transportasi, dan lain-lain.

17

2.2.2 Kapal Pesiar

Kapal pesiar (cruise ship) merupakan akomodasi yang dikelola secara

komersial yang menggunakan perahu/kapal laut sebagai fasilitas untuk

mendapatkan pelayanan penginapan, makan dan minum, serta jasa-jasa lain bagi

wisatawan yang tinggal dalam periode tertentu. Industri pariwisata kapal pesiar

dikatagorikan ke dalam hotel mewah yang bisa dijumpai di laut/samudra, yang

sering disebut dengan cruiser, marine hotel atau floating hotel. Kini kapal pesiar

merupakan akomodasi favorit yang banyak diminati oleh wisatawan dalam

menikmati liburannya.

Perwani (1997: 6) menyatakan hotel terapung (floating hotel) merupakan

bentuk akomodasi yang terdapat pada daerah sungai, terusan atau laut dengan ciri-

ciri khusus, antara lain menggunakan perahu atau kapal laut yang berlayar dari

satu tempat ke tempat lain, dan memiliki jumlah tamu tertentu selama perjalanan

yang sudah ditentukan. Sementara Bagyono (2012: 65), menyebutkan bahwa kapal

pesiar (marine hotel) adalah hotel terapung yang menyediakan fasilitas kamar,

restoran dan bar yang mirip dengan hotel berbintang. Ini berarti bahwa aktivitas

pelayanan para karyawan terhadap wisatawan yang tinggal di kapal pesiar tidak

jauh berbeda dengan aktivitas pelayanan yang terjadi pada hotel-hotel berbintang

lainnya di darat (resort). Bedanya wisatawan yang tinggal di hotel bintang, mereka

dapat melakukan atau menikmati aktivitas entertainment yang terjadi di dalam

maupun di luar hotel, seperti ke destinasi pariwisata. Sedangkan wisatawan yang

tinggal di kapal pesiar, mereka hanya dapat menikmati entertainment di

18

lingkungan kapal pesiar tersebut dalam periode tertentu.

Kapal pesiar merupakan hotel terapung yang menyediakan pelayanan

akomodasi, makanan dan minuman serta jasa lain, termasuk di dalamnya

entertainment yang dikemas dalam satu paket tur. Pekerjaan yang dilaksanakan

oleh para petugas yang bekerja di kapal pesiar, meliputi pelayanan pembersihan

kamar, pelayanan makanan dan minuman di restoran, pelayanan hiburan, dan

sebagainya. Kendali dari aktivitas kapal adalah kepala kapal (ship commandand)

sedangkan urusan pelayanan bagi para wisatawan yang tinggal di kapal pesiar oleh

para karyawannya, menjadi tanggungjawab manajer hotel (hotel manager). Ada

beberapa perusahaan kapal pesiar besar yang umumnya sudah dikenal di dunia,

antara lain: Mediterranean Shipping Company, Carnival Cruise Line, dan Star

Cruise. Jenis-jenis kapal tersebut termasuk ke dalam chartered lines yaitu adalah

kapal-kapal yang biasa digunakan khusus untuk pesiar (cruises). Jenis kapal pesiar

ini dilengkapi dengan segala macam fasilitas sehingga para penumpang kerasan,

karena itu sering disebut hotel terapung (floating hotel) yang dapat memberikan

pelayanan segala macam keperluan para penumpangnya.

2.2.3 Perempuan Bali

Perempuan Bali dalam industri pariwisata terkait penelitian ini adalah

kaum perempuan etnis Bali yang beragama Hindu yang pernah/masih bekerja

dalam industri pariwisata kapal pesiar. Mereka saat ini terus memperjuangkan

keadilan dan persamaan peran dalam dimensi keseharian di bidang pariwisata.

Triguna (2002: 32) menyatakan bahwa perjuangan untuk mendapatkan keadilan

19

dan persamaan peran di bidang pariwisata merupakan tantangan bagi perempuan

Hindu Bali ke depan. Kekalahan perempuan bukan semata-mata disebabkan oleh

kemampuan yang dimiliki, tetapi oleh sebuah kondisi bahwa perempuan harus

menerima kekalahan. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan kemampuan, maka

kekalahan tersebut harus diterima oleh perempuan Hindu, yakni tidak kalah dalam

tataran keadilan, tetapi diterima dengan sebuah kepasrahan. Oleh karena itu

perempuan Bali terus berjuang untuk mendapatkan haknya yaitu setara dengan

laki-laki dalam bidang pariwisata seperti di kapal pesiar.

Ketidakadilan dalam struktur sosial, kemudian termanifestasikan melalui

kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat. Ketidakadilan yang

dialami perempuan dalam masyarakat pada akhirnya merangsang lahirnya gerakan

emansipatoris yang selanjutnya disebut gerakan feminisme. Karenanya hubungan

feminisme dan kearifan lokal harus dipahami dalam upaya membongkar konsep

patriarki yang ada dalam agama, adat/kebiasaan masing-masing (Arniati, 2012).

Dengan demikan hubungan antara feminisme dan kearifan lokal bisa berupa

hubungan saling mendukung (mutualisme). Dalam hubungan ini, feminisme dapat

menjadi paradigma dalam melakukan dekonstruksi terhadap budaya patriarki.

Perempuan Bali sudah bangkit dengan potretnya yang sudah ikut terlibat

langsung dalam berbagai aktivitas yang terkait dengan pariwisata. Perempuan Bali

dengan etos kerja yang tinggi mampu menyaingi kaum laki-laki dalam prestasi di

sekolah. Namun sayang dalam meraih kedudukan, baik dalam kehidupan rumah

tangga, di masyarakat, legislatif maupun eksekutif masih didominasi oleh kaum

laki-laki (Geriya, 2006). Ini merupakan tantangan bagi perempuan Bali khususnya

20

perempuan Hindu dalam usaha untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan dalam

meraih kedudukan dalam bidang pekerjaan, termasuk pekerjaan yang berkaitan

dengan industri pariwisata. Dalam pekerjaan industri pariwisata khususnya kapal

pesiar, membutuhkan kualifikasi kompetensi yang lebih ketat. Oleh karena itu

perempuan Bali harus lebih menyiapkan diri baik dari segi soft skill maupun hard

skill dalam usaha merebut posisi/jabatan yang tersedia dalam industri pariwisata

kapal pesiar.

2.2.4 Kesetaraan Gender

Pakar etnometodologi membuat perbedaan penting teoretis antara jenis

kelamin (pengenalan biologis sebagai lelaki atau wanita), kategori jenis kelamin

(pengenalan sosial sebagai sebagai lelaki atau wanita), dan gender (perilaku yang

memenuhi harapan sosial untuk lelaki atau wanita). Gender tidak melekat dalam

diri seseorang tetapi dapat dicapai melalui interaksi dalam waktu tertentu (Ritzer

dan Goodman, 2012).

Dalam konsep gender berbeda dengan seks yang merujuk pada perbedaan

jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki

dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, berlaku universal

dan tidak dapat diubah. Namun dalam pembagian kerja antara laki-laki dan

perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan

dikonstruksikan oleh faktor sosial budaya, yakni relasi kuasa (power relation)

yang secara turun-temurun dipertahankan oleh laki-laki. Nilai-nilai tersebut

21

menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan bidang

kehidupan dalam masyarakat (Marhumah, 2011).

Chafetz (dalam Ritzer dan Goodman, 2012: 411) memusatkan perhatian

pada masalah cara mencapai kesetaraan gender, mencoba mengetahui persoalan

struktur kunci yang dapat diubah sehingga memperbaiki kondisi yang dialami

perempuan. Melalui pandangan proaktifnya untuk mencapai kesetaraan laki-laki

dan perempuan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keadilan bagi kaum

perempuan dalam kehidupan di masyarakat.

Disadari bahwa gender dalam diri seseorang tidak melekat secara

permanen melainkan mengalami perubahan melalui interaksi yang terjadi secara

berkesinambungan dalam lingkungan sosial di mana mereka berada. Kesetaran

gender dalam kehidupan masyarakat mengalami perubahan seiring dengan terus

berkembangnya pemahaman masyarakat terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, termasuk perkembangan dalam aktivitas pariwisata. Oleh karena itu

kesetaraan gender yang dimaksud dalam konteks pariwisata adalah tercapainya

keadilan dan persamaan peran dalam dimensi keseharian antara perempuan dan

laki-laki di industri pariwisata kapal pesiar baik dalam posisi, upah dan lain-lain.

Beberapa penelitian berikut menunjukkan bahwa sektor pariwisata ikut

memberi andil dalam perubahan peran gender. Pariwisata terbukti telah mampu

memperluas kesempatan kerja perempuan untuk lebih berperan baik di bidang

ekonomi, bidang sosial, bahkan di bidang politik. Hal ini didukung fakta yang

menunjukkan bahwa sejak tahun 1980, lebih dari 50% perempuan bekerja di luar

rumah. Partisipasi perempuan sebagai kekuatan pekerja diharapkan secara

22

berkelanjutan meningkat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perubahan

besar ini umumnya terjadi di beberapa aspek seperti di lembaga pelatihan maupun

industri pariwisata. Perempuan berhasil menduduki posisi manager sebesar 41%

bekerja di bagian food service dan 51% di penginapan (Barraws, 2009: 43-45).

Elmas (2007: 302-312) menyatakan bahwa terjadi perubahan paradigma

pekerja perempuan, sejak daerah Cappadocia-Turkey dikembangkan menjadi

daerah industri pariwisata. Kebanyakan pekerja perempuan mendapatkan manfaat

lebih dalam kehidupannya yang secara bersama-sama juga terjadi keberlanjutan

perubahan peran gender sehingga perempuan memiliki peluang sama dengan laki-

laki di pasar kerja. Perubahan budaya melalui aktivitas pariwisata tidaklah

sederhana yang tampak, tetapi perlu dilihat secara mendalam proses perubahan

sebagai manifestasi dari paradigma sosial, ekonomi dan budaya.

Selanjutnya Ishii (2012) menguji tentang manfaat ekonomi dari pariwisata

terhadap rumah tangga yang memengaruhi mengenai pola pembagian kerja dan

dinamika gender di mana masyarakat lokal yang minoritas mulai bekerja pada

industri pariwisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pariwisata telah

mampu meningkatkan pendapatan masyarakat lokal seperti penduduk asli Akha di

Thailand, di mana orang-orang minoritas dan perempuan memperoleh pendapatan

yang paling tinggi walaupun secara budaya menganut sistem patrilinier tradisional.

Sukeni (2006) menyatakan bahwa pariwisata telah menggeser peranan

gender masyarakat Bali di mana perempuan/istri yang dikontruksi oleh sosial

budaya berperan di rumah tangga (domestik), telah bergeser ke peran publik,

karena istri juga berperan sebagai (pencari nafkah). Hal ini terjadi karena

23

tersedianya peluang kerja yang disediakan oleh industri pariwisata. Selanjutnya

dikatakan bahwa pariwisata telah membantu mewujudkan kesetaraan gender,

karena pembagian kerja antara suami di sektor publik dan istri di sektor domestik

sudah tidak kaku lagi, melainkan sudah membaur, karena dituntut oleh situasi,

kondisi keluarga maupun lingkungan dan kesadaran masing-masing pihak untuk

harmonisnya keluarga dan masyarakat.

2.3 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang dipakai dalam menganalisis permasalahan yang

terkait dengan topik perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar. Secara

garis besarnya, penelitian ini menggunakan teori motivasi, teori feminisme, teori

dekonstruksi, dan teori perencanaan strategis. Beberapa teori ini dipilih karena

relevan dengan permasalahan yang dibahas yaitu memahami tentang keberadaan

perempuan Bali di kapal pesiar ditinjau dari aspek kekuatan (strengths),

kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang

dihadapi; faktor-faktor yang memotivsi perempuan Bali untuk bekerja di kapal

pesiar; serta implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali bekerja dalam

industri pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya.

2.3.1 Teori Motivasi

Motivasi adalah hasil proses-proses yang bersifat internal atau eksternal

bagi seseorang individu yang menimbulkan sikap entusias dan persistensi untuk

mengikuti arah tindakan-tindakan tertentu. Faktor-faktor dalam diri seseorang

24

dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau berbagai

harapan/cita-cita yang menjangkau ke masa depan. Faktor dari luar diri seseorang

misalnya lingkungan tempat tinggal mereka (Winardi, 2002). Selanjutnya

disebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi motivasi adalah; (1)

kebutuhan-kebutuhan pribadi, (2) tujuan-tujuan dan persepsi orang atau kelompok

yang bersangkutan, (3) cara dengan apa kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuan

tersebut akan direalisasikan. Dengan terpenuhinya faktor-faktor tersebut seseorang

akan merasa terdorong dan berkeinginan untuk melakukan kegiatan dengan

memberikan yang terbaik dari dirinya. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang

menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Kuat atau lemahnya motivasi kerja

seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasi.

Faktor-faktor ekonomis memainkan bagian yang penting yang tidak

diragukan lagi bagi seseorang mengambil keputusan untuk bekerja dalam suatu

industri. Faktor-faktor ekonomis bukan merupakan satu-satunya perangsang bagi

seseorang untuk bekerja, melainkan juga dibarengi oleh faktor non ekonomis

seperti keinginan untuk meningkatkan gengsi/status sosial. Pentingnya faktor-

faktor non ekonomis diperoleh melalui studi wawancara yang digambarkan oleh

Morse dan Weiss (dalam Moekijat, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa bekerja

dapat dipahami sebagai manifestasi atas kesadarannya sebagai makhluk individu,

sosial dan ciptaan Tuhan, sehingga mampu memberikan sumbangan nyata dan

bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat, maupun

bangsa.

25

Hasibuan (2005: 216) menyatakan motivasi tenaga kerja untuk bekerja

dalam industri sering diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan tersebut

merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motivasi menjadi

suatu (driving force) yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, dan

dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Motivasi kerja, mendorong

gairah kerja para bawahan agar tenaga kerja mau bekerja keras dengan

memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan

industri.

Maslow (1943) menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan kerja identik

dengan kebutuhan biologis dan psikologis, yaitu berupa materil maupun non

materil. Dasar teori ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki

keinginan tidak terbatas atau tanpa henti. Alat motivasinya adalah kepuasan yang

belum terpenuhi serta kebutuhannya berjenjang. Jenjang tersebut dapat

digambarkan dari kebutuhan yang paling rendah sampai pada kebutuhan yang

paling tinggi, yaitu: (1) Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik fisiologis

(physiological needs); (2) Kebutuhan-kebutuhan keamanan (safety needs); (3)

Kebutuhan sosial (social needs); (4) Kebutuhan akan penghormatan (esteem

needs; dan (5) Kebutuhan mempertinggi aktualisasi diri (self actualization).

Herzberg (dalam Hasibuan, 2005: 229) mengatakan bahwa orang dalam

melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan

kebutuhan, yaitu maintenance factors dan motivation factors. Maintenance factors

adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia

yang ingin memeroleh ketenteraman badaniah. Kebutuhan ini merupakan

26

kebutuhan yang berlangsung terus menerus, karena akan kembali ke titik nol

setelah dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan menurut Herzberg meliputi gaji,

kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan dan lain-

lain. Faktor-faktor pemeliharaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari

pimpinan agar kepuasan dan kegairahan kerja karyawan dapat ditingkatkan.

Motivation factor adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis

seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi

ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung

berkaitan dengan pekerjaan, misalnya kursi yang empuk, ruangan yang nyaman,

dan lain-lain.

Perbedaan Maslow’s Need Hierarchy Theory dengan Herzberg’s Two

Factors Motivation Theory, yaitu: (1) Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan-

kebutuhan manusia itu terdiri lima tingkat (physiological needs, safety needs,

social needs, esteem needs, dan self actualization), sedang Herzberg

mengelompokkan atas dua kelompok (satisfiers dan dissatisfier); (2) Menurut

Maslow semua tingkatan kebutuhan itu merupakan alat motivator, sedang

Herzberg (gaji, upah, dan sejenisnya) bukan alat motivasi, hanya merupakan alat

pemeliharaan (dissatisfiers) saja; yang menjadi motivator (satisfiers) ialah yang

berkaitan langsung dengan pekerjaan itu.

Berpedoman pada pendapat Maslow dan Herzberg di atas, maka ciri-ciri

motivasi adalah ganda, dalam suatu perbuatan tidak hanya mempunyai satu tujuan

tetapi beberapa tujuan yang berlangsung secara bersama-sama. Misalnya

seseorang tenaga kerja yang bekerja dalam industri pariwisata, mereka melakukan

27

pekerjaan dengan sangat sungguh-sungguh, tidak hanya karena ingin mendapat

upah yang tinggi, tetapi juga ingin diakui dan dipuji, dan motivasi tenaga kerja

bisa berubah-ubah. Hal ini disebabkan karena keinginan manusia juga berubah-

ubah sesuai dengan kebutuhannya. Pada waktu tertentu tenaga kerja menginginkan

gaji mereka yang tinggi, namun pada waktu yang lain mereka menginginkan

pimpinan yang baik atau kondisi kerja yang menyenangkan.

Tujuan dari aplikasi teori motivasi dalam penelitian ini karena motivasi

setiap perempuan berbeda-beda ketika bekerja dalam industri pariwisata kapal

pesiar. Dua orang perempuan Bali yang melakukan pekerjaan yang sama di kapal

pesiar, ternyata memiliki motivasi yang berbeda. Misalnya yang satu orang

menginginkan upah/gaji kerja yang tinggi, sedangkan yang lain menginginkan

kondisi kerja yang menyenangkan. Dalam aktivitas bekerja yang dilakukan

perempuan mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu dan pada

akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian di balik dari

tujuan yang tidak langsung tersebut, perempuan bekerja juga untuk mendapatkan

imbalan hasil kerja berupa finansial yaitu berupa upah atau gaji dari hasil kerjanya.

Perempuan bekerja tidak hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,

tetapi juga bertujuan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

2.3.2 Teori Feminisme

Feminisme menurut berbagai sarjana adalah teori yang bertujuan untuk

memperjuangkan kaum perempuan untuk mendapatkan hak sesuai dengan

fungsinya dalam kehidupan masyarakat modern. Teori feminis menurut Ritzer dan

28

Goodman (2012: 403-404) merupakan sebuah generalisasi dari berbagai sistem

gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan

dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori feminis dikembangkan oleh

pemikir kritis dari aktivis atau pejuang demi kepentingan perempuan yang

mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan, dengan

demikian menurut para pemikir kritis, perjuangan tersebut adalah untuk

kemanusiaan.

Brooks (2004: 98) menyebutkan feminisme merupakan teori yang

mempelajari posisi perempuan dalam masyarakat di mana mereka berada, dan

memajukan kepentingan-kepentingan perempuan sendiri. Teori-teori yang

menyatakan metanarasi kuasa laki-laki, gagal untuk menunjukkan persoalan

perempuan yang marginal atau dibingkai sebagai sang lain dalam wacana feminis

arus utama. Posisi seperti itu mengabaikan kenyataan bahwa perempuan sendiri

memegang kuasa atas perempuan yang lain berdasarkan kelas, rasisme, orientasi

seksual, atau pelayanan domestik.

Dominasi laki-laki melalui wacana oleh Bourdieu (dalam Haryatmoko,

2003: 17) disebutkan bahwa kekerasan simbolis atau kekerasan yang tidak kasat

mata. Kekerasan semacam ini oleh korbannya (kaum perempuan) bahkan tidak

dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sesuatu yang alamiah dan

wajar. Pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidaktahuan dan

pengakuan dari yang ditindas. Sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena

prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun

yang dikuasai. Prinsip simbolis ini berupa bahasa, gaya, cara berpikir, cara

29

bertindak, kepemilikan khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.

Disadari dominasi laki-laki terhadap perempuan juga terjadi dalam sektor

pariwisata. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya perempuan menduduki posisi

dalam industri pariwisata. Minimnya perempuan menduduki posisi dalam industri

pariwisata, tidak hanya karena adanya sistem sosial budaya yang mengikat

perempuan, tetapi juga karena adanya kecenderungan dari pihak manajemen

industri pariwisata untuk mengurangi merekrut tenaga kerja perempuan.

Alasannya pihak manajemen industri pariwisata, karena perempuan memiliki hak-

hak khusus sebagai pekerja seperti adanya hak untuk cuti hamil, dan tidak boleh

dipekerjakan pada shift malam (23.00-07.00 WITA).

Pertanyaan teoretis mendasar feminisme menghasilkan perubahan

revolusioner dalam pemahaman tentang kehidupan sosial. Pengetahuan yang

absolut dan universal tentang kehidupan sosial ternyata adalah pengetahuan yang

berasal dari pengalaman dari bagian masyarakat yang berkuasa, yakni dari lelaki

sebagai “tuan”. Penemuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai segala sesuatu

yang semula telah diketahui mengenai masyarakat. Penemuan ini dan implikasinya

merupakan intisari dari arti penting teori feminisme masa kini bagi teori sosiologi

(Ritzer dan Goodman, 2012: 406).

Feminisme masa kini, merupakan perubahan pola pikir masyarakat

terhadap perempuan yang bekerja dalam industri pariwisata. Perempuan mendapat

kesempatan yang sama dengan laki-laki ketika mereka bersaing dalam

memperoleh kesempatan kerja dalam industri pariwisata. Tentu saja kesempatan

kerja yang diperoleh perempuan, sesuai dengan kemampuan kompetensi yang

30

dibutuhkan pihak industri pariwisata. Dalam penelitian Petrzelka, et.al (2005)

terungkap bahwa pada masa studi diferensiasi gender memiliki persepsi sikap yang

sepaham terkait dengan pengembangan pariwisata khususnya dalam melestarikan

budaya lokal. Cheong dan Miller (2000) menyatakan aplikasi tripartit sistem

pariwisata (masyarakat, pelaku pariwisata, dan pemerintah) menekankan efek

produktif kekuasaan menjadi prioritas dalam perkembangan kajian pariwisata di

suatu daerah.

Berpedoman pada uraian di atas, teori feminisme merupakan suatu aktivitas

untuk memperjuangkan kepentingan perempuan yang merupakan tindakan atau

aksi yang perlu dilakukan secara berkelanjutan. Dalam memperjuangkan kaum

perempuan diharapkan perempuan benar-benar mendapatkan posisi/hak yang

sepantasnya tanpa mengurangi peranannya sebagai ibu dalam membina rumah

tangga. Posisi/hak yang mereka peroleh atau raih sesuai dengan kemampuan

kompetensi yang dimiliki oleh perempuan dalam menyongsong masa depan yang

lebih baik.

Peneliti menggunakan teori feminisme untuk menganalisis data dari ketiga

permasalahan yang diangkat. Pertama menganalisis tentang permasalahan

keberadaan perempuan Bali yang bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar.

Kedua, teori feminisme dipakai untuk menganalisis masalah tentang faktor-faktor

yang motivasi perempuan Bali untuk bekerja dalam industri pariwisata kapal

pesiar, dari aspek/faktor ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, menganalisis

masalah implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali yang bekerja

dalam industri pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya.

31

2.3.3 Teori Dekonstruksi

Para ahli menyatakan bahwa dekontruksi adalah teori yang mengantarkan

kepada manusia bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak (absolute) atau kekal,

kebenaran akan mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi serta

perkembangan jaman. Derrida (dalam Sutrisno dan Puranto, 2005: 164) sangat

keberatan terhadap para filsuf yang menganggap diri mereka sebagai pengamat

yang objektif. Mereka berpikir bahwa disiplin ilmu mereka mempunyai hak untuk

melemparkan pertanyaan mendasar terhadap disiplin ilmu yang lain. Derrida

mencoba untuk memaparkan kembali gagasan keterbukaan atas keberagaman atas

komunitas pascastrukturalis yang digagas dan menjadi tempat hidup dari

pemikiran Derrida seperti konsep “difference” dan konsep “dekonstruksi”.

Derrida (dalam Lubis, 2006: 103) menyatakan melalui dekonstruksi sedang

mencari dasar sebuah kebenaran sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi

dalam kehidupan manusia. Derrida termasuk hard liner posmodernist, “strong

posmodernist”, yang mencoba merombak pandangan dunia modern tentang

makna, kebenaran, pengetahuan serta bahasa dengan cara baru. Berkenaan dengan

konsep dekonstruksi, Derrida (dalam Sutrisno dan Puranto, 2005: 173) sekali lagi

mengadakan perubahan dengan sesuatu yang dapat dihasilkannya sendiri, sesuatu

yang tidak sekedar mengambil dari apa yang sudah tersedia dari tradisi pemikiran

yang hendak dikritiknya. Untuk melawan kesewenang-wenangan cara berpikir

yang selalu berusaha menemukan makna tunggal sebuah teks, Derrida berpendapat

bahwa konsep pemikiran sebagai titik berangkat pemikiran dan usaha berpikir

32

masa modern mesti diubah total, dihancurkan atau didekonstruksi. Dekonstruksi

bangunan pemikiran ini lalu membawa sebuah nuansa baru.

Pemikiran Derrida tentang mencari kebenaran secara nyata telah terjadi

dalam kehidupan masyarakat Bali. Fakta ini bisa dilihat dari adanya perubahan

pandangan masyarakat Bali terhadap keberadaan perempuan Bali yang bekerja

dalam industri pariwisata. Perubahan pola pikir ini mengantarkan kepada manusia

bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak atau kekal, yang terjadi adalah kebenaran

tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi serta

kemajuan jaman. Misalnya pada tahun 1970-an masyarakat Bali menganggap tabu

(berpandangan negatif) terhadap perempuan yang bekerja di sektor publik seperti

bekerja dalam industri pariwisata. Namun seiring dengan perkembangan zaman

Guerrier (1994) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bekerja di sektor

pariwisata telah menjadi kebanggaan dan memberikan gengsi bagi masyarakat

Bali. Mudita (2003) lebih lanjut menyatakan bahwa tenaga kerja yang bekerja

dalam sektor pariwisata dianggap bekerja dalam lingkungan kerja yang baik dan

menyenangkan.

Tujuan dari aplikasi teori dekonstruksi adalah mengajak perempuan untuk

lebih memahami kembali hakikat diri dari perempuan yang sesungguhnya dalam

kehidupan masyarakat. Perempuan yang masih berjuang agar tidak menjadi

manusia yang tertindas dan manusia yang terpinggirkan dalam masyarakat atau

lingkungan dimana mereka berada. Dalam perjuangan tersebut dengan tegas

disebutkan bahwa ada dua kata yang berperanan yaitu kekuasaan dan pengetahuan.

Dalam masyarakat-masyarakat feodal, Foucault (2002: 154) menegaskan

33

kekuasaan secara esensial menjalankan fungsinya melalui tanda dan pemungutan

pajak. Tanda-tanda kesetiaan kepada para tuan tanah, ritual, upacara, dan

sebagainya dalam bentuk pajak perampasan, perburuan, perang, dan sebagainya.

Foucault (dalam Barker, 2005: 492) mengatakan bahwa pengetahuan adalah

kekuasaan untuk menguasai orang lain, kekuasaan untuk mendefinisikan yang

lain. Pengetahuan tidak lagi membebaskan dan menjadi model pengawasan,

peraturan, dan disiplin. Foucault lebih memusatkan perhatian pada kekuasaan

mikro yang dijalankan di tingkat kehidupan sehari-hari, dan tidak percaya kelas.

Kekuasaan adalah sesuatu yang tersebar, dan konflik bersifat spesifik, khusus

menurut wilayah kebudayaan dan teknologi yang relevan dengannya.

Dalam penelitian ini teori dekonstruksi relevan digunakan untuk

menganalisis permasalahan keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata

kapal pesiar, faktor-faktor yang memotivasi perempuan Bali bekerja di kapal

pesiar serta implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali yang bekerja

dalam industri pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya. Oleh

karena itu aplikasi teori dekonstruksi akan menghasilkan pemahaman kekinian

tentang keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar.

2.3.4 Teori Perencanaan Strategis

Perencanaan strategis merupakan perencanaan suatu strategi usaha untuk

mengatasi kemungkinan terjadinya ancaman eksternal dan merebut setiap peluang

yang ada. Perencanaan strategis dilakukan agar para pengelola pariwisata dapat

melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga pengelola

34

dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Rangkuti (2013: 2)

menyatakan analisis perencanaan strategis merupakan salah satu bidang studi yang

banyak dipelajari secara serius di bidang akademis. Hal itu dilakukan karena setiap

saat terjadi perubahan. Perubahan ini bisa dilihat dari adanya persaingan yang

semakin ketat, terjadinya peningkatan inflasi, perubahan teknologi yang semakin

canggih, dan perubahan kondisi demografis, yang mengakibatkan berubahnya

selera konsumen secara cepat.

Selanjutnya Rangkuti (2013: 2-3) menyebutkan pihak manajemen

perusahaan, setiap saat berusaha mencari kesesuaian antara kekuatan-kekuatan

internal yang dimiliki dan kekuatan-kekuatan eksternal (peluang dan ancaman)

suatu pasar. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pengamatan secara hati-hati

mengenai persaingan yang terjadi, peraturan-peraturan, keinginan dan harapan

konsumen, serta faktor-faktor lain yang dapat mengidentifikasi peluang dan

ancaman. Hal tersebut juga terjadi dalam pengembangan dan pengelolaan

pariwisata. Dalam mengembangkan pariwisata tidak bisa dilakukan secara

konvensional, melainkan dilakukan melalui manajemen pengelolaan pariwisata

secara profesional dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi seiring dengan

perkembangan zaman, dan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya

hambatan dan tantangan di masa depan.

Dalam manajemen pengelolaan pariwisata membutuhkan suatu

kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak semua

sumber-sumber dan alat-alat (resources) yang tersedia. Oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa sukses atau tidaknya pengelolaan pariwisata mencapai tujuan

35

yang telah ditentukan sangat tergantung atau kemampuan para pimpinannya untuk

menggerakkan sumber daya dan resources sehingga penggunaannya berjalan

dengan efektif dan efisien. Dalam aplikasi manajemen pengelolaan pariwisata

profesional membutuhkan strategi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

dalam perusahaan.

Fahmi (2013: 2) mendefinisikan strategi merupakan suatu rencana yang

disusun dengan memperhitungkan berbagai sisi dengan tujuan agar pengaruh

rencana tersebut dapat memberikan dampak positif bagi tujuan perusahaan jangka

panjang. Strategi bisnis dapat berupa perluasan geografis, diversifikasi,

pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi

dan joint venture. Sedangkan manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai

suatu seni dan pengetahuan dalam merumuskan, mengimplementasikan, serta

mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional yang memungkinkan suatu

perusahaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien.

Hamel dan Prahalad (dalam Umar, 2003: 31) menyatakan bahwa strategi

merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-

menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang yang diharapkan oleh

para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan strategi hampir

selalu dimulai dari “apa yang dapat terjadi”, bukan dimulai dari “apa yang terjadi”.

Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola prilaku konsumen

memerlukan kompetensi inti (core competencies) dalam mengantisipasi hal

tersebut.

Pemahaman yang baik mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain

36

yang terkait, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun oleh pihak

pengelola perusahaan. Konsep-konsep tersebut, meliputi: (1) distinctive

competence: tindakan yang dilakukan oleh para pengelola perusahaan agar dapat

melakukan kegiatan lebih baik dan berbeda dengan pesaingnya agar dapat

mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang, untuk menghadapi para

pesaingnya, (2) competitive advantage: kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh

pengelola perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya (David,

2009: 120).

Menurut Andrews (2005: 52), identifikasi distinctive competence dalam

suatu organisasi atau perusahaan meliputi: (a) keahlian tenaga kerja, dan (b)

kemampuan sumber daya. Selanjutnya dikatakan dua faktor tersebut menyebabkan

suatu perusahaan dapat lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya. Keahlian

sumber daya manusia yang tinggi muncul dari kemampuan membentuk fungsi

khusus yang lebih efektif dibandingkan dengan pesaing. Misalnya, memiliki

keahlian/keterampilan yang kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan pesaing

dengan cara memahami secara detail keinginan pelanggan, serta membuat program

pemasaran yang lebih baik daripada program pesaing.

Porter menyatakan ada tiga strategi yang dapat dilakukan pihak perusahaan

untuk memperoleh keunggulan bersaing, yaitu cost leadership, diferensiasi, dan

fokus (Hunger dan Wheelen, 2003: 260). Pihak pengelola dapat memperoleh

keunggulan bersaing yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya jika dapat

memberikan harga jual yang lebih murah daripada harga yang diberikan oleh

pesaingnya dengan kualitas produk yang sama. Harga jual yang lebih rendah

37

diperoleh dengan memanfaatkan skala ekonomis, penggunaan teknologi, dan

kemudahan akses untuk mencapai daerah tersebut. Pihak pengelola dapat

melakukan strategi diferensiasi dengan menciptakan persepsi terhadap nilai

tertentu kepada pelanggannya. Misalnya pelayanan yang lebih baik dan brand

image yang lebih unggul.

Berpedoman pada uraian di atas, sumber daya manusia baik laki-laki

maupun perempuan merupakan komponen vital dalam pengembangan pariwisata.

Dalam setiap komponen industri pariwisata seperti kapal pesiar, memerlukan

sumber daya manusia yang profesional dalam mengendalikan usaha. Dengan kata

lain sumber daya manusia sangat strategis dalam menentukan eksistensi dari

industri pariwisata kapal pesiar. Sebagai salah satu industri jasa, sikap dan

kemampuan para staf berdampak kruisal terhadap pelayanan (service) yang

diberikan kepada wisatawan yang secara langsung akan berdampak pada kepuasan

wisatawan yang dilayani. Oleh karena itu kemampuan kompetensi tenaga kerja

dalam memberikan kepuasan terhadap wisatawan yang dilayani sehingga mereka

selalu tertarik untuk datang kembali. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak

pelaku pariwisata membutuhkan analisis perencanaan strategis, khususnya dalam

pemberdayaan perempuan dalam industri pariwisata kapal pesiar. Jadi

perencanaan strategis penting dilakukan dalam usaha untuk memperoleh

keunggulan bersaing dan memiliki kualitas sumber daya manusia khususnya

perempuan Bali sesuai dengan standar internasional.

Tujuan aplikasi perencanaan strategis terkait penelitian ini adalah untuk

memeroleh keunggulan kompetitif perempuan Bali yang bekerja di kapal pesiar

38

dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan analisis SWOT,

berikut: (1) apa kekuatan-kekuatan yang dimiliki perempuan Bali; (2) apa

kelemahan dari perempuan Bali; (3) bagaimana peluang perempuan Bali untuk

berkompetisi ke depan; (4) apa ancaman yang dihadapi perempuan Bali dalam

keberlanjutan di masa depan. Jawaban atas semua pertanyaan di atas memerlukan

pengamatan berbagai konsep atau literatur, teknik analisis, temuan-temuan empiris

serta paradigma yang dapat dipakai sebagai landasan untuk menyusun

perencanaan strategis.

2.4 Model Penelitian

Kondisi nyata yang dialami masyarakat Bali dalam berinteraksi di

lingkungan global, membuat mereka semakin menyadari akan keberadaan dirinya.

Adanya pengaruh faktor ekonomi, sosial dan budaya baik yang bersifat internal

maupun eksternal sebagai akibat dari perkembangan pariwisata di Bali menuntut

mereka semakin selektif dalam pergaulan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya

perubahan dalam persepsi masyarakat terhadap keberadaan perempuan Bali yang

bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar.

Peran pemerintah, masyarakat, dan penyelenggara wisata memiliki

hubungan yang sinergis untuk lebih mendorong pemberdayaan perempuan Bali

dalam industri pariwisata kapal pesiar. Tujuannya agar perempuan Bali lebih

banyak yang berpartisipasi/bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar serta

untuk memenuhi kualifikasi kompetensi dari industri pariwisata kapal pesiar akan

kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas. Pemerintah diharapkan mampu

39

memberikan akses atau kemudahan bagi perempuan Bali yang tertarik untuk

bekerja di kapal pesiar. Pihak masyarakat dan penyelenggara wisata harus turut

aktif membantu program pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia

yang berkualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan-

penyuluhan, pelatihan-pelatihan kepada calon tenaga kerja perempuan agar

perempuan Bali mampu bersaing dalam mengisi peluang kerja yang tersedia dalam

industri pariwisata kapal pesiar. Di sisi lain perempuan Bali perlu meningkatkan

diri dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baik melalui pendidikan formal

maupun informal. Dengan demikian perempuan Bali ke depan dapat lebih

memainkan perannya dalam aktivitas pariwisata, sehingga mereka dapat

menikmati manfaat dari pembangunan pariwisata tersebut.

Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan, yaitu: (1) keberadaan

perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar dilihat dari aspek kekuatan,

kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi; (2) faktor-faktor yang

memotivasi perempuan Bali untuk bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar;

dan (3) implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali dalam industri

pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya.

Analisis yang dipergunakan dalam mengkaji keberadaan perempuan Bali

dalam industri pariwisata kapal pesiar dilihat dari aspek kekuatan, peluang, dan

ancaman yang dihadapi yaitu analisis SWOT. Analisis faktor adalah untuk

mengkaji faktor-faktor yang memotivasi perempuan Bali untuk bekerja dalam

industri pariwisata kapal pesiar, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan

informasi secara mendalam tentang implikasi ekonomi, sosial dan budaya

40

perempuan Bali yang bekerja dalam industri pariwisata terhadap lingkungan

kehidupannya. Ketiga alat analisis (analisis SWOT, analisis faktor, dan analisis

kualitatif) saling terkait sehingga dapat menghasilkan kesimpulan, sesuai dengan

fakta yang terjadi di lapangan.

Dalam mengkaji keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata

kapal pesiar ini, dipergunakan beberapa konsep yaitu: industri pariwisata, kapal

pesiar, kesetaraan gender, dan perempuan Bali. Selanjutnya dalam membedah

keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar, faktor-faktor

yang memotivasi perempuan Bali untuk bekerja di kapal pesiar, serta implikasi

ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali bekerja dalam industri pariwisata

kapal pesiar dipergunakan beberapa teori yang relevan yaitu teori motivasi,

feminisme, dekonstruksi, dan teori perencanaan strategis. Hasil kajian ini dapat

dipergunakan sebagai bahan acuan dalam memberikan rekomendasi kepada pihak

pemerintah, penyelenggara wisata, dan masyarakat guna mampu lebih

memberdayakan perempuan Bali dalam industri pariwisata khususnya di kapal

pesiar.

Dalam membahas keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata

kapal pesiar, disusun sebuah model penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar

2.1.

41

Gambar 2.1. Model Penelitian

Perempuan Bali dalam

Industri Pariwisata

Kapal Pesiar

Faktor-faktor yang

memotivasi

perempuan Bali untuk

bekerja dalam industri

pariwisata kapal pesiar

Kondisi Masyarakat Bali

(Ekonomi, Sosial, Budaya)

Keberadaan

Perempuan Bali

dalam industri

pariwisata kapal

pesiar

Implikasi ekonomi, sosial, dan

budaya perempuan Bali yang

bekerja dalam industri

pariwisata kapal pesiar terhadap

lingkungan kehidupannya

Rekomendasi

Konsep:

Industri Pariwisata, Kapal

Pesiar, Kesetaraan

Gender, Perempuan Bali

Teori:

Motivasi,

Feminisme, Dekonstruksi,

Perencanaan Strategis

Pemerintah,

masyarakat

Penyelenggara

wisata

Temuan

Analisis Faktor

Analisis SWOT Analisis Kualitatif

Perempuan Bali

Simpulan