bab ii kajian pustaka, konsep, dan landasan … 2.pdf · perangkat leksikon guyub tutur bahasa gayo...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ekolinguistik ini berkaitan pula dengan beberapa pustaka atau hasil
penelitian terdahulu sebagai pembanding dan penentu kedudukan penelitian ini.
Beberapa pustaka atau hasil penelitian yang dimaksud diuraikan secara singkat
berikut ini.
Penelitian Rasna (2010) berjudul “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap
Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Rasna menggunakan pengujian
kompetensi leksikal tanaman obat tradisional dan sikap remaja terhadap tanaman
obat. Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah wawancara dengan
bantuan kuesioner terstruktur. Dalam penelitiannya, Rasna (2010) menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan menggunakan dua model pertanyaan yaitu
pertanyaan A untuk mengetahui kompetensi leksikal tanaman obat dan pertanyaan
model B digunakan untuk mengetahui pengetahuan tanaman obat tradisional.
Sikap remaja yang diperlukan sebagai data didapat dari kuesioner pola Likert
dengan 5 indikator yaitu “sangat setuju/sangat peduli/sangat perhatian (skor 5),”
“setuju/peduli/perhatian (skor 4)”, “tidak setuju/tidak tahu (skor 3)”, “tidak
setuju/tidak tahu (skor 2)”, “sangat tidak setuju/sangat tidak peduli/sangat
perhatian (skor 1)”.
Hasil penelitian Rasna menggambarkan pengetahuan para remaja desa
maupun kota tentang tumbuhan dan tanaman obat yang ternyata masih kurang.
17
Pengetahuan remaja yang masih kurang tersebut ditunjukkan melalui daftar
tanyaan model A yang diberikan. Kurangnya pengetahuan remaja tentang obat
tradisional dipengaruhi faktor sosiokultural yang ditandai dengan pengalihan
penggunaan obat tradisional ke obat modern. Faktor sosio-ekologis berkaitan
dengan perubahan sosial pada lingkungan yang menyebabkan sulitnya
menemukan tanaman obat tersebut. Di sisi lain faktor sosio-ekonomi ditunjukkan
dengan adanya pilihan masyarakat untuk memenuhi kepentingan hidupnya
dibandingkan dengan segi-segi kesehatan sehingga pemeliharaan tanaman obat
tidak diperhitungkan dalam kehidupan mereka.
Persamaan penelitian Rasna (2010) dengan penelitian ini yaitu menerapkan
teori Ekolinguistik untuk mengkaji bahasa yang sama pula yaitu bahasa Bali.
Akan tetapi ada pula perbedaan antara penelitian Rasna dan penelitian ini,
perbedaannya yaitu Rasna mengkaji leksikon-leksikon khusus tentang tanaman
obat tradisional, sedangkan penelitian ini mengkaji leksikon yang secara khusus
mengacu pada ‘isi’ bantaran Tukad Badung sebagai lingkungan khusus
(ecoregion) yang merupakan pembeda dari penelitian Rasna. Pendekatan dan
metode pengumpulan data yang digunakan juga berbeda. Rasna (2010)
menggunakan pendekatan kuantitatif, sedangkan penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang didukung dengan kuantifikasi sederhana. Pengumpulan
data penelitian Rasna (2000) menggunakan kuesioner pola Likert, sedangkan
penelitian ini mengumpulkan data dengan metode pengamatan langsung dan
wawancara mendalam (depth interview).
18
Penelitian Sukhrani (2010) berjudul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam
Lingkungan kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik” Sukhrani mengkaji
perangkat leksikon guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan Danau
Lut Tawar. Penganalisisan data menggunakan teori ekolinguistik dan teori
pergeseran dan pemertahanan bahasa. Pendekatan yang digunakan oleh Sukhrani
adalah pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian ini ditemukan fakta dan
informasi bahwa pengetahuan lokal termasuk pengetahuan ekologi masyarakat
Gayo di lingkungan Danau Lut Tawar telah banyak yang hilang khususnya
leksikon tentang nama-nama biota dan istilah dalam penangkapan ikan secara
tradisional. Penyusutan pengetahuan lokal itu dipengaruhi oleh cara pandang
masyarakat yang lebih mementingkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
dalam pendidikan formal dan tidak adanya pewarisan dari generasi tua kepada
generasi muda.
Penelitian Sukhrani menemukan leksikon-leksikon nomina yang berhubungan
dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar. Berbeda dengan penelitian tersebut
yang menyasar lingkungan kedanauan, penelitian ini menyasar leksikon-leksikon
berkategori nomina, verba, dan adjektiva yang ditemukan dalam khazanah
leksikon di lingkungan kesungaian Tukad Badung.
Penelitian Laza (2012) yang berjudul “Khazanah Leksikon dan Budaya
Keladangan Masyarakat Tolaki Kajian Ekolinguistik” mengkaji leksikon bahasa
Tolaki dialek Konawe, Sulawesi Tenggara. Penelitian tersebut berhubungan
dengan lingkungan ladang berupa perangkat leksikon nomina, verba, adjektiva,
dan ungkapan yang berhubungan dengan lingkungan ladang Konawe. Selain itu,
19
dinamika budaya dan pelestarian lingkungan dikaji dalam penelitian ini. Teori
yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan sosiolinguistik yang membahas
pergeseran dan pemertahanan bahasa. Adapun pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif.
Persamaan penelitian Laza (2012) dengan penelitian ini yaitu sama-sama
menggunakan pendekatan kualitatif. Salah satu tujuan kajian penelitian ini yaitu
mengetahui perangkat leksikon serta menerapkan tiga dimensi ideologis,
sosiologis, dan biologis. Akan tetapi, perbedaannya adalah bahasa sebagai objek
kajiannya dan beberapa hal seperti fungsi dan makna serta bentuk pemuliaan
terhadap air di lingkungan kesungaian Tukad Badung sebagai hal yang berbeda
dengan penelitian Laza (2012).
Penelitian Baru (2012) yang berjudul “Khazanah Leksikon Alami Guyub
Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal” mengkaji khazanah leksikon alami khususnya
tumbuhan dan hewan di lingkungan guyub tutur Karoon di Provinsi Papua Barat
dengan perspektif ekolinguistik khususnya ekoleksikal. Penelitian tersebut
bertujuan mengetahui pengetahuan leksikon penutur dan pemahaman masyarakat
guyub tutur Karoon tentang manfaat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup di
lingkungan tersebut serta faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
perkembangan leksikon alami bahasa Karoon. Lokasi penelitian Baru di Kampung
Senopi, distrik Senopi, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Data diambil
dari 100 orang yang berdomisili di Kampung Senopi dan dibedakan berdasarkan
usia dan jenis kelamin. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara
yang dikelompokkan berdasarkan manfaatnya.
20
Penelitian Baru (2012) menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif untuk menjelaskan pengetahuan
leksikon dan manfaat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup di lingkungan
guyub tutur Karoon, sedangkan pendekatan kualitatif menjelaskan data-data yang
diperoleh berwujud angka-angka berdasarkan pemahaman leksikon yang dimiliki
penutur dengan sejumlah penutur sebagai responden. Penelitian Baru (2012)
memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu mengumpulkan perangkat
leksikon tetapi sasarannya berbeda. Baru (2012) mengkhususkan data berupa
perangkat leksikon pada hewan dan tumbuhan saja di lingkungan bersifat umum,
sedangkan penelitian ini menyasar lingkungan kesungaian. Selain itu, penelitian
Baru menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, sedangkan penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif walaupun dibantu dengan kuantifikasi
sederhana tetapi perhitungan tidak sama dengan penelitian Baru.
Penelitian Tangkas (2013) dengan judul “Khazanah leksikon Kepadian
Guyub tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik” mengkaji
bahasa Kodi, Sumba Barat, sebagai pengungkap pola pikir guyub tutur bahasa
Kodi dengan menemukan fakta-fakta satuan lingual berupa ekoleksikon dan
ekowacana dengan menerapkan aspek sintaktik, semantik, dan pragmatik. Adapun
ekoleksikon kepadian yang dimaksud terdiri atas leksikon kepadian tahap
pratanam, leksikon kepadian tahap tanam, dan leksikon kepadian tahap
pascatanam. Teori ekolinguistik yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu model
hierarki dialektikal, model referensial, model matriks semantik, dan model
21
dimensi logis untuk mengkaji bentuk-bentuk kebahasaan berupa khazanah
leksikon kepadian, fungsi dan makna leksikon-leksikon kepadian.
Dengan menerapkan aspek sintaktik, semantik, dan pragmatik temuan dalam
penelitian Tangkas berupa khazanah leksikon kepadian yang khas terdiri atas
satuan-satuan lingual berupa ekoleksikon dan ekowacana kepadian. Selain itu,
fungsi dan makna khazanah leksikon kepadian juga ditemukan fungsi dan makna
ideologis, fungsi dan makna sosiologis, dan fungsi dan makna biologis.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Tangkas (2013) yaitu sama-sama
mengkaji perangkat leksikon dengan menerapkan aspek sintaktik dan semantik.
Selain itu, model yang diterapkan juga sama-sama model logis. Namun,
perbedaannya adalah Tangkas (2013) memiliki tahapan pada perangkat leksikon
yang digali yaitu ekoleksikon tahap pratanam, tahap tanam, dan tahap
pascatanam. Hal ini jelas berbeda dengan penelitian ini yang berfokus pada
leksikon berkategori nomina, verba, dan adjektiva yang berkaitan dengan
lingkungan kesungaian Tukad Badung, Denpasar termasuk leksikon-leksikon
yang muncul saat aktivitas menangkap ikan, mandi, dan saat berinteraksi dengan
lingkungan fisik seperti batu, pasir, tanah beserta “isi sungai” lain.
2.2 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, apapun di luar bahasa,
dan yang membutuhkan penggunaan akal budi untuk memahaminya
(Kridalaksana, 2008). Adapun konsep-konsep yang menjadi piranti konseptual
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
22
2.2.1 Leksikon
Leksikon adalah perbendaharaan kata yang dikonsepkan sebagai kekayaan
kata atau khazanah kata yang dimiliki para pengguna bahasa. Selain itu, leksikon
juga dikonsepkan sebagai daftar kata terstruktur seperti kamus yang memuat
informasi-informasi (Kridalaksana, 1984:114). Secara psikolinguistik, khazanah
leksikon dibagi menjadi dua kategori yaitu leksikon aktif dan leksikon pasif.
Leksikon aktif adalah kekayaan kata yang dipakai seseorang, sedangkan leksikon
pasif adalah kekayaan kata yang dipahami seseorang, namun sudah jarang atau
tidak pernah digunakan dalam berkomunikasi (Guemada, 1977:417, Kridalaksana,
2008:142). Leksikon juga berkaitan dengan konsep kata. Seperti yang
didefinisikan oleh Taylor dalam Gibbons (202:134-135), kata adalah tempat kita
mengklasifikasikan benda ke dalam kelas-kelas. Kata adalah rumah baru bagi
gagasan unit verbal yang diperoleh dari yang nyata, dan kata-kata mempunyai
makna karena kata-kata digunakan sebagai nama benda dan kata-kata disebut
tanda karena menunjuk pada sesuatu yang nyata.
2.2.2 Mitos
Mitos terbentuk dari unit-unit terkecil cerita yang dikumpulkan mengandung
tanda dan simbol (Levi Strauss, 2001). Proses penyampaian mitos melalui bahasa
yang mengandung pesan-pesan menunjukkan adanya keterkaitan mitos dan
bahasa. Mitos memiliki pola tidak terikat waktu sehingga dapat menjelaskan
cerita di masa lampau, yang sekarang sedang berlangsung, dan mendatang (Levi-
Strauss, 2001:81).
23
2.2.3 Dinamika
Konsep dinamika merupakan bagian dari ilmu fisika yang berhubungan
dengan gerak dan penyebabnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005),
dinamika dalam pandangan sosial adalah pergerakan masyarakat secara terus-
menerus yang menimbulkan perubahan pada tata hidup masyarakat bersangkutan.
Dalam kajian linguistik, konsep dinamika melihat fenomena bahasa yang
mengalami perubahan yang terus menerus dalam perjalanan waktu. Pengetahuan
leksikon yang tersimpan dalam ingatan guyub tutur diperoleh dari pengalaman
masyarakat bersangkutan terekam dalam pikiran guyub tutur dan dapat juga
terkikis serta tergantikan seiring dengan banyaknya pengalaman yang dialami
penutur. Menurut Bundsgaard dan Steffensen (2000:17), pengetahuan atau ingatan
bersifat situasional sesuai kondisi karena guyub tutur tidak bisa mengingat semua
unit sekecil atom dan hanya muncul jika digunakan dalam pernyataan yang
diujarkan. Bahkan pengetahuan entitas-entitas tertentu itu dikemas kembali secara
verbal sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang berubah.
2.2.4 Kesungaian
Kesungaian adalah semua konsep yang berkaitan dengan sungai. Daerah
Aliran Sungai (DAS) berkaitan dengan bioregion atau ruang hidup komunitas
biotis berupa flora dan fauna serta komunitas manusia beserta ekosistem
alamiahnya. Selain itu, bioregion juga merupakan tempat yang menjamin adanya
hubungan harmonis dengan seluruh jaringan kehidupan. DAS dan region
dikaitkan karena DAS dapat menggambarkan kesatuan wilayah ekosistem alam
dan komunitas manusia dalam hal ini guyub tutur. Pada wilayah bioregion atau
24
DAS, perubahan musim, cuaca, ritme alam sudah dipahami dan dirasakan melalui
pancaindera penghuninya (Keraf, 2014:161). Perubahan setiap elemen pembentuk
DAS memengaruhi perubahan komponen lain, seperti tercemarnya air DAS yang
memiliki dampak besar bagi komunitas biotis berupa flora, fauna, dan komunitas
manusia yang hidup di sekitar wilayah bioregion tersebut.
Umumnya sungai memiliki air. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup
dan lingkungan serta memiliki fungsi tertentu dalam berbagai aspek. Dalam
perspektif ekologi yang bersifat antroposentris (Keraf, 2013) air ataupun berbagai
hal yang berkaitan dengan air memiliki makna yang mengandung nilai filosofis di
dalamnya dan merefleksikan gambaran yang berbeda sesuai dengan tempatnya
dan lingkungan budayanya. Menurut Thales (1972), seorang filsuf Yunani Kuno
abad ke-6 sebelum Masehi, air merupakan segalanya. Segalanya dimulai dari air
dan kembali ke air. Teks Cina kuno Tao Te Ching bab 78 yang ditulis filsuf Lao
Tzu mengasosiasikan fenomena yang terjadi dalam kehidupan dengan air dan
menyebutkan sebagai berikut.
Nothing in the world is as soft and yielding as water
Yet for dissolving the hard and the inflexible, nothing can surpass it.
The soft overcomes the hard
The gentle overcomes the rigid
Teks tersebut bermakna, melalui kelembutan dan kelenturan, air memiliki
kemampuan untuk mengubah sesuatu yang keras dan tidak lentur atau kaku
(fleksibel) seperti fenomena di Grand Canyon, air sungai Colorado yang dalam
waktu jutaan tahun menyentuh dan membasahi batu-batu sehingga dapat
mengubah bentuk batu.
25
Air dipandang sebagai pemberi kehidupan dan nutrisi yang mendukung
pertumbuhan makhluk hidup. Bagi orang India terutama umat Hindu di India, air
di Sungai Gangga adalah air suci yang dipercaya memiliki kekuatan generatif ibu
karena sungai tersebut dipercaya dapat memberikan kelahiran kembali dalam
kehidupan dan memiliki kekuatan untuk memurnikan sesuatu yang tercemar
(McAnally, 2007).
2.3 Landasan Teori
Masalah-masalah dalam penelitian ini dipecahkan dengan teori-teori yang
relevan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Teori yang digunakan untuk
mengkaji masalah pertama adalah teori linguistik khususnya morfologi dan
semantik untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah kedua menggunakan
teori ekolinguistik yang dikemukakan oleh Sapir dan Haugen dan didukung
dengan teori linguistik kebudayaan untuk menjelaskan keberadaan entitas yang
dirujuk sudah dan hanya tertinggal di ingatan penutur tua saja. Masalah ketiga
dikaji dengan teori ekolinguistik khususnya ecology of language yang
dikemukakan Haugen dan parameter-parameter ekolinguistik untuk memperdalam
pembahasan untuk memecahkan masalah yang ketiga dari penelitian ini. Masalah
keempat dikaji dengan teori ekolinguistik dengan menggunakan model dimensi
logis yang dikemukakan oleh Bang dan Door dan dibantu dengan teori linguistik
khusunya semantik, dan teori linguistik kebudayaan. Berikut paparan teori-teori
tersebut.
26
2.3.1 Teori Ekolinguistik
Dalam ‘Language and environment’, Sapir (1912) menulis fenomena
kebahasaan yang dihubungkan dengan lingkungan dan dikuatkan oleh deskripsi
bahasa yang meliputi sistem bunyi, struktur, dan makna. Fenomena kebahasaan
tersebut dapat bermula dari kumpulan kosakata sederhana, tetapi mampu
menggambarkan hubungan penutur dan lingkungannya sebagaimana diungkapkan
Sapir (1912) (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:14) berikut.
It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical
and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a
language may indeed be looked upon as a complex inventory of all ideas,
interests, and occupation that take up the attention of the community, and
were such a complete thesaurus of the language of a given tribe at our
disposal, we might to a large extent infer the character of the physical
environment and the characteristics and the culture of the people making
use of it.
Kosakata bahasa dalam kutipan di atas bisa dikatakan sebagai refleksi
lingkungan penuturnya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.
Lingkungan fisik meliputi karakter geografis seperti topografi suatu wilayah,
iklim curah hujan, flora, fauna dan sumber daya alam di wilayah tersebut.
Kumpulan kosakata tersebut dianggap sebagai perbendaharaan pengetahuan dan
pengalaman yang kompleks dari ide-ide, kepentingan, dan latar belakang suatu
guyub tutur. Khazanah leksikon itu dapat mencerminkan karakteristik penutur dan
kebudayaannya yang dipengaruhi oleh karakter lingkungan fisik sebagai tempat
penutur dan bahasa tersebut hidup. Sapir menambahkan (dalam Fill dan
Mühlhäusler, 2001:2) interelasi antara bahasa dan lingkungan muncul pada
tingkatan kosakata bukan pada fonologi dan morfologinya. Kata yang menjadi
gambaran lingkungan tersebut bukan hanya sekadar kata, melainkan kata tersebut
27
memiliki kekayaan informasi untuk dianalisis kandungan makna referensial
eksternalnya. Analisis termaksud bahkan sampai pada gambaran yang lebih
khusus sehingga kata-kata tersebut dapat dideskripsikan sejelas mungkin oleh
penutur karena tingkat keakraban yang tinggi (degree of familiarity) terhadap
konsep tertentu (Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001:16).
Haugen adalah linguis yang tertarik dengan hubungan antara bahasa dan
lingkungan, menaruh perhatian lebih pada aspek tersebut dan muncullah istilah
ekologi bahasa (ecology of language). Haugen (dalam Fill dan Mühlhäusler,
2001:57) mengatakan ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai kajian interaksi
antara bahasa tertentu dan lingkungannya. Lingkungan kebahasaan yang
dimaksud bukan bahasa secara keseluruhan, melainkan leksikon-leksikon dan
tataran bahasa yang mengarahkan pada satu pemikiran terkait dengan dunia
referensial pada bahasa yang menyediakan indeks berupa kata-kata yang memiliki
makna dan merujuk pada dunia referensial tersebut. Lingkungan bahasa yang
sebenarnya adalah masyarakat yang menggunakannya sebagai suatu sistem kode.
Bahasa yang dimiliki penutur ada dalam pikiran penutur dan hanya berfungsi
dalam berhubungan dengan sesamanya atau lingkungan sosial mereka dan dengan
lingkungan alam mereka. Dengan demikian, perubahan lingkungan kebahasaan
dan lingkungan eksternal, berubah pula bahasa dan perbendaharaan leksikon,
ungkapan, dan teks-teks lainnya.
Bahasa bermula dari keadaan konkret ke keadaan abstrak (Cassirer,
1990:205). Kata-kata konkret itu terikat dengan fakta-fakta dan tindakan tertentu
serta dijelaskan terperinci tetapi tidak terklasifikasikan. Sesuai dengan teori
28
designatif yang memosisikan segala sesuatu merujuk pada sesuatu yang lain,
maka kata-kata yang digunakan dalam penamaan direlasikan dengan sesuatu yang
lain menjadikan kata-kata tersebut memiliki makna (Taylor dalam Gibbons,
1987:161). Penamaan pada kata-kata tersebut ditentukan oleh kepentingan dan
tujuan manusiawi tetapi kepentingan-kepentingan itu tidak tentu dan tidak
seragam serta tidak juga asal-asalan karena penamaan tersebut dilandasi unsur
tetap pengalaman inderawi penutur (Cassirer, 1987:2007). Menurut hipotesis
Sapir-Whorf, realitas-realitas berbeda melahirkan bahasa-bahasa, begitu juga
sebaliknya, bahasa-bahasa berbeda melahirkan realitas-realitas berbeda, baik
realitas sosial budaya maupun lingkungan alami sesuai dengan memori
kebahasaan yang terekam berdasarkan fokus perhatiannya.
Ekolinguistik disebut sebagai payung yang membawahi beragam pendekatan
teoretis (Bundsgaard & Steffensen, 2000:9). Selain itu, ekolinguistik merupakan
interdisipliner antara ekologi dan linguistik. Beberapa cabang linguistik seperti
pragmatik, kajian wacana kritis, linguistik antropologi, linguistik kebudayaan,
sosiolinguistik terapan juga dipayungi oleh ekolinguistik (Mbete, 2013:4).
Adapun parameter ekolinguistik yang berdasarkan parameter ekologi yaitu
lingkungan, keberagaman, serta interaksi, interelasi, dan interdependensi (Fill dan
Mühlhäusler, 2001:1). Lingkungan yang terbagi menjadi lingkungan fisik yaitu
lingkungan alam yang disebut jagat raya, dan lingkungan manusia dengan
lingkungan budaya dengan bahasanya yang disebut lingkungan sosial.
Lingkungan alam seperti lingkungan kesungaian merupakan lingkungan khusus
dengan keanekaragaman hayati dan nonhayatinya dan di dalamnya hidup
29
lingkungan sosial dengan budayanya beserta bahasa yang digunakan penuturnya.
Adanya interaksi antara penutur dan sesamanya beserta lingkungan sekitarnya
mengakibatkan kesalingterhubungan bahkan kesalingtergantungan. Sebagai
makhluk ekologis (Mbete, 2013:2) manusia hidup dengan keberagaman dalam hal
ini keberagaman biotik dan abiotik dalam lingkungan yang saling memengaruhi.
Melalui proses interaksi pula keberagaman yang diketahui dan dipahami secara
khusus itu menciptakan kode-kode lingual menjadi kata-kata. Perangkat leksikon
memiliki rujukan makna referensial eksternalnya yang nyata dan diakrabi oleh
guyub tutur di lingkungan tertentu itu. Makna referensial eksternal yang dimaksud
adalah satuan bentuk lingual berupa kata atau frase yang maknanya merujuk pada
entitas di luar bahasa, dapat diindrakan, dilihat atau diraba (Verhaar, 2006:389).
Leksikon lipi gadang misalnya, merupakan leksikon yang termasuk pengetahuan
kognitif guyub tutur di lingkungan kesungaian Tukad Badung yang merujuk pada
entitas di luar bahasa yaitu ular hijau yang entitasnya ada di lingkungan tersebut.
Entitas dikodekan sebagai lipi gadang tersebut dapat dilihat atau diraba.
Gambaran umum teori ekolinguistik dengan parameter-parameternya yang
dikembangkan oleh para ahli dapat dilihat pada tabel berikut.
30
Tabel 2.1 Parameter ekolinguistik dan tokoh pengembangnya
Tokoh Parameter ekolinguistik
Bang dan Døør (1996)
Saling ketergantungan (Interdependency)
Interaktivitas (Interactivity)
Fill (2001) Keberagaman (Diversity)
Interaksi timbal balik (Mutual interaction)
Keseluruhan (Wholeness)
Kesatuan (Unity)
Kontinuitas (Continuity)
Keberlanjutan (Sustainability)
Biosentrisme (Bio-centrism)
Fill dan Mühlhäusler (2001)
Saling keterhubungan (Interrelationships)
Lingkungan (Environment)
Keberagaman (Diversity)
Stibe (2010) Interkoneksi (Interconnections)
Kesalingtergantungan (Interdependencies)
Keterhubungan (Relationship)
Isi tabel di atas diuraikan sebagai berikut. Interaktivitas (interactivity) yaitu
interaksi antara guyub tutur dengan lingkungan yang terus menerus dilakukan,
memengaruhi pengetahuan dan pengalaman guyub tutur yang ada di lingkungan
tersebut. Interaksi dan interelasi itu membentuk pola pikir, pola hidup, dan
pengetahuan kebahasaan khususnya pengetahuan leksikon yang merupakan hasil
interaksi antarkeduanya. Interaktivitas yang dilakukan memunculkan
31
kebergantungan antarguyub tutur dan lingkungannya. Meskipun demikian,
kemungkinan perubahan selalu ada seperti perubahan cara hidup, cara pikir dan
cara berkomunikasi (Bundsgaard and Steffensen, 2000:16).
Individu mempelajari bahasa ibunya tidak sekali saja, tetapi dalam jangka
waktu lama. Tanpa disadari bahasa yang dipelajari mengikuti dinamika sosial dan
budaya, dan lingkungannya karena adanya penghayatan mendalam (internalisasi)
yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (bdk. Døør, 1998:42). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa jika norma sosial dan budaya berubah,
perubahan pada guyub tuturnya tidak terelakkan. Perubahan tersebut tidak hanya
berakibat buruk, tetapi juga memiliki pengaruh baik berupa kekayaan
pengetahuan leksikon guyub tutur yang beragam. Pengetahuan tentang
keberagraman (diversity) adalah hasil interaksi guyub tutur dengan
lingkungannya. Keberagaman pengetahuan leksikon secara dinamis itu bisa
memengaruhi keberlanjutan ataupun ketidakberlanjutan pengetahuan kognitif
yang dimiliki guyub tutur apalagi dalam proses pewarisan (transmisi)
antargenerasi.
Menurut Bundsgaard dan Steffensen (2000:19), keberlanjutan bahasa
bergantung pada kemampuan bahasa penutur (producers) dalam memroduksi dan
juga kemampuan para pengguna bahasa (consumers). Seperti leksikon pancingan,
sau, jaring merupakan contoh alat-alat untuk menangkap ikan di Tukad Badung
yang disebut mengalami keberlanjutan karena intensitas penggunaan bahasa oleh
guyub tutur, khususnya pemancing di lingkungan tertentu cenderung tinggi.
Selain kemampuan kebahasaan guyub tutur, kemampuan bertahan hidup biota
32
sungai yang dikenal dan dikodekan secara lingual juga memiliki peran penting
demi keberlanjutan. Kemampuan hewan dan tumbuhan di lingkungan tertentu,
khususnya lingkungan kesungaian Tukad Badung yang beradaptasi dapat
membantu keberlanjutannya. Akan tetapi, tidak sedikit pula hewan dan tumbuhan,
termasuk warga guyub tutur yang sulit beradaptasi. Salah satu penyebabnya
adalah dominasi yang terjadi di lingkungan tersebut. Keinginan manusia untuk
memanfaatkan lingkungan mendominasi lingkungan beserta makhluk hidup yang
ada di dalamnya. Dominasi itu membahayakan kelangsungan hidup makhluk
hidup tersebut. Bukan hanya itu, keadaan lingkungan pun berubah menyesuaikan
keinginan bahkan ideologi pendominasinya. Hewan lain yang mendominasi pun
dapat mengancam keberadaan hewan yang terbilang minoritas, baik dalam jumlah
maupun kemampuannya yang lebih rendah untuk beradaptasi, bertahan, apalagi
mendominasi.
Keberlanjutan yang terjadi di dalam suatu lingkungan guyub tutur bukan
hanya meliputi perangkat leksikon, melainkan juga ungkapan dan tuturan-tuturan
yang berkaitan dengan mitos dan ritual. Menurut Mishra (2000:3), mitos dan
ritual digunakan untuk menyelaraskan pemikiran dan tindakan guyub tutur yang
berada di lingkungan tersebut dengan menghubungkan benda tidak bernyawa
(abiotik) dalam benda bernyawa dan menghubungkan masa lalu dengan masa
sekarang.
Terkait dengan tabel 2.1, berikut gambar yang diupayakan untuk menjelaskan
keeratan hubungan antarparameter tersebut.
33
Gambar 2.1 Hubungan antarparameter
Gambar 2.1 Hubungan Antarparameter Ekolinguistik
Gambar di atas menunjukkan hubungan parameter-parameter ekolinguistik
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh ekolinguistik. Keberagaman yang ada di
lingkungan khususnya lingkungan kesungaian berinteraksi dengan guyub tutur
sekitar yang hidup dekat dengan lingkungan kesungaian tersebut. Interaksi yang
semakin kuat membuat lingkungan dan manusia saling bergantung dan
memberikan dampak baik dan buruk pada keberlanjutan keduanya, sebagaimana
halnya interaksi yang terjadi antara lingkungan kesungaian Tukad Badung dengan
guyub tutur yang hidup di bantaran Tukad Badung.
Pandangan biosentrisme dan kosmosentrisme menganggap alam dan isinya
berhak hidup dan mendapat perlakuan secara moral terlepas dari bernilai atau
tidaknya bagi manusia (Keraf, 2002:49). Paham tersebut menunjukkan bahwa
alam sebagai buana agung atau makrokosmos seharusnya dijaga dan diperlakukan
interkonektivitas
Interkoneksi interdependensi
keselu
ruhan
kes
atuan
Interdependensi
interkonektivitas
interelasi
kontinuitas interkoneksi
Keberagaman
Lingkungan
kesungaian
Guyub tutur
Antroposentrisme
Biosentrisme
kosmosentrisme
Interaksi
menguntungkan
34
sebagaimana tempat hidup yang berharga bagi kehidupan manusia. Alam bukan
hanya sebagai penyedia kebutuhan manusia seperti pandangan antroposentrisme.
Perubahan cara pandang antroposentrisme menjadi biosentrisme dan
kosmosentrisme diperlukan untuk menyadarkan bahwa manusia merupakan
bagian internal dari alam, sehingga muncul tanggung jawab, sikap hormat, dan
peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta (Keraf,
2002:279). Terciptanya harmonisasi keduanya dalam interaksi mutualisme dan
menghindari perusakan lingkungan akan membentuk kesatuan antara manusia dan
lingkungannya, menjauhkan lingkungan dari krisis serta menjaga ekosistem dalam
kebertahanan dan keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di lingkungan tersebut.
Ekolinguistik memiliki model tata kaji yang dikemukakan oleh Bang dan
Døør (1998) yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah dalam
penelitian ini. Model ini memaparkan dimensi logis yang memiliki tiga dimensi
yang berkaitan satu sama lain, yakni: dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis.
Gambar 2.2 Dimensi Logis
Dimensi ideologikal menunjukkan adanya hubungan individu dengan mental
kolektif beserta kognitifnya termasuk khazanah pengetahuan leksikon dan
35
ungkapan, tuturan atau wacana, sistem idelogis dan sistem fisik dalam arti unsur-
unsur material, yang biotik dan yang abiotik seperti air, udara. Tiap pengetahuan
kognitif berupa leksikon, ungkapan dan teks memiliki keberadaan ideologikal
bagi guyub tutur yang berarti keberadaannya mereka ketahui dapat diproduksi dan
digunakan guyub tutur itu sendiri (Bundsgaard and Steffensen, 2000 :19).
Pengetahuan kognitif tiap individu menunjukkan kuatnya interaksi yang dilakukan
yang memengaruhi pola pikir individu tersebut sehingga memunculkan idelologi
yang dijadikan konsep hidup sebagai akibat hubungan interaksi yang dijaga antara
individu dan sekitarnya. Dimensi sosio logikal menunjukkan cara masyarakat atau
individu mengorganisasi interelasi dengan lingkungannya untuk menjaga
kolektivitas individual.
Pengetahuan leksikon sudah ada terlebih dahulu dalam keberadaan dimensi
sosiologikal guyub tutur, dan sudah pernah mereka dengar dalam situasi
dialogikal pada situasi percakapan di dalam praksis sosial (Bundsgaard and
Steffensen, 2000:16). Disebutkan juga istilah neologisme dalam Bundsgaard dan
Steffensen (2000) yaitu sebuah pengetahuan yang terekam dalam ingatan guyub
tutur yang jika diujarkan, niscaya mereka akan masuk ke dalam lingkungan
sosiologikal termasuk sosiologikal kesungaian guyub tutur di bantaran Tukad
Badung. Pengetahuan itu akan menghilang jika tidak dituturkan. Begitu juga jika
guyub tutur aktif memroduksi leksikon-leksikon, ungkapan dan wacana, rekaman
pengetahuan leksikon sebelumnya bisa hilang dalam psikoterapi. Hubungan yang
semakin erat akan memengaruhi pengetahuan-pengetahuan kognitif setiap
individu dan mewakili keberagaman sesuai dengan tingkat keseringan interaksi
36
yang dilakukan. Misalnya, pemancing di bantaran sungai Tukad Badung memiliki
perangkat leksikon kesungaian yang lebih banyak dan khas daripada penutur yang
bukan pemancing walaupun sama-sama hidup di bantaran Tukad Badung. Selain
itu, pengetahuan yang dimiliki pemancing atau penutur yang hidup di bantaran
Tukad Badung berbeda dengan individu yang hidup di lingkungan tertentu seperti
lingkungan kelautan atau pegunungan. Dalam hal ini, hubungan yang dimaksud
adalah hubungan yang secara tidak langsung menunjukkan ikatan yang terjalin
antara manusia dengan sekitarnya sebagaimana konsep Tri Hita Karana ihwal
bagaimana individu menjaga keharmonisan hubungan dengan penciptanya,
sesamanya dan lingkungannya dan saling, menyayangi satu sama lain, mengetahui
satu sama lain dan tidak merasa asing satu sama lain.
Dimensi biologikal menunjukkan kolektivitas biologis individu yang
menggambarkan keharmonisan individu yang hidup berdampingan dengan spesies
lain, baik makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, mikroorganisme,
makroorganisme maupun benda-benda mati di alam seperti air, batu, pasir, lautan
(Bundsgaard and Steffensen, 2000). Sebagai contoh, pemancing di bantaran
Tukad Badung yang mencari ikan bukan hanya untuk menyalurkan hobinya,
melainkan juga sebagai mata pencaharian dan sumber penghidupannya tetap
berpikir untuk menjaga lingkungan khususnya lingkungan kesungaian Tukad
Badung atau kelautan dengan melarang pemancing menggunakan jala, racun atau
setrum untuk menangkap ikan. Jika ada pemancing yang tidak mengindahkan
aturan tersebut, pemancing tersebut tidak diperbolehkan menangkap ikan di Tukad
Badung lagi. Ini menunjukkan individu memiliki kecintaan akibat dari eratnya
37
hubungan yang terjalin antara masyarakat dan spesies yang hidup di Tukad
Badung. Dengan demikian, masyarakat yang hidup di bantaran Tukad Badung
khususnya pemancing terdorong untuk menjaga lingkungan Tukad Badung dan
‘isi’ nya agar tetap harmonis, seimbang dan tidak rusak dengan membuat aturan
tak tertulis tentang penangkapan ikan di Tukad Badung.
2.3.2 Linguistik
Teori linguistik diperlukan untuk memecahkan masalah pertama dalam
penelitian ini yakni tentang satuan-satuan lingual khazanah leksikon kesungaian
di Tukad Badung. Pada dasarnya semua masalah dalam penelitian ini dipecahkan
dengan teori linguistik yang diterapkan dalam penganalisisan data. Adapun
cabang-cabang linguistik yang digunakan diuraikan sebagai berikut.
2.3.2.1 Morfologi
Morfologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan
dasar dan turunan (derivasi) bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar, 2010:97).
Satuan minimum gramatikal atau morfem mengalami proses-proses morfemis.
Morfem dibedakan menjadi morfem bebas yaitu bentuk yang dapat berdiri sendiri
tanpa digabungkan dengan bentuk lain. Morfem bebas inilah mencakupi leksikon
atau kata, sedangkan morfem terikat yaitu morfem yang tdak dapat berdiri sendiri
dan dapat melebur dengan morfem lain (Verhaar, 2010:10).
Berdasarkan satuan gramatikal, kata memiliki bentuk-bentuk yaitu kata
tunggal dan kata kompleks (hasil derivasi seperti afiksasi, reduplikasi, abreviasi),
dan bentuk majemuk (Kridalaksana, 2008:35). Proses berubahnya leksem menjadi
kata disebut afiksasi (Kridalaksana, 1989:28). Jenis-jenis afiks antara lain prefiks,
38
infiks, sufiks, dan konfiks. Prefiks dalam bahasa Bali yaitu N-, ma- /mə/, ka- /kə/,
pa- /pə/, sa- /sə/, a- /ə/, pra- /prə/, pari-, pati-, maka- /makə/, saka- /sakə/, kuma-
/kumə/. Sufiks (pengiring) dalam bahasa Bali yaitu –a, -ang, -in, -an, -e, -ne, -n,
-ing. Infiks (seselan) dalam bahasa Bali yaitu –um-, -in-, -el-, -er-, sedangkan
konfiks dalam bahasa Bali yaitu pa-an /pə-an/, ma-an /mə-an/, ka-an /kə-an/, dan
bra-an /brə-an/.
Selain afiks ada kata ulang yang termasuk dalam bentuk kompleks. Kata
ulang (reduplikasi) ada 3 macam yaitu reduplikasi fonologis, morfemis, sintaksis
dan gejala reduplikasi yang terbagi atas reduplikasi dwi purwa, dwilinggga,
dwilingga salin suara, dwiwasana, trilingga (Kridalaksana, 1989:88). Bahasa Bali
juga memiliki beberapa hasil proses pengulangan yang menghasilkan tipe-tipe
kata ulang yaitu kata ulang murni, kata ulang berubah bunyi (kruna dwi samatra
lingga), kata ulang semu, kata ulang dwi purwa, dan kata ulang dwi sesana.
Bentuk ulang menyerupai kata ulang tetapi bukan hasil dari proses pengulangan
karena bentuk ulang tidak memiliki bentuk dasar atau asal (Kridalaksana, 1996).
Bentuk kompleks yang terakhir adalah kata majemuk.
2.3.2.2 Semantik
Semantik adalah cabang linguistik mengkaji makna (Verhaar, 2010:385).
Bidang semantik dibagi menjadi semantik leksikal dan semantik gramatikal.
Dalam penelitian ini hanya digunakan teori semantik leksikal. Semantik leksikal
menyangkut makna antarleksikon yang terhubung (relasi leksikal) dalam bidang
leksikon tertentu (lexical field) seperti istilah dalam pertambangan, kedokteran,
pelayaran, dalam kegiatan memasak dan mendaki gunung yang mengkhusus,
39
saling berhubungan seperti jaringan (network) (Saeed, 1997:63). Adapun bagian-
bagian dari relasi leksikal yaitu homonimi, polisemi, sinonimi, antonimi,
hiponimi, meronimi, member-collection, dan portion-mass. Dalam penelitian ini,
hanya contoh hiponimi dan meronimi saja yang dibahas. Hiponimi adalah relasi
penyertaan leksikon-leksikon khusus (daughter-nodes) yang memiliki satu
leksikon sebagai titik sumber umum (mother-nodes) (Cruse, 1987:136). Hiponimi
digambarkan dengan taksonomi, yaitu hierarki leksikal taksonomik yang berdasar
hubungan akal dan rasa pada makna item leksikal (Cruse, 1987:137). Kosakata
yang terhubung dalam sistem penyertaan tersebut akan menghasilkan jaringan
semantik yang berbentuk hierarki taksonomi seperti berikut.
Animal
sheep horse
ewe ram mare stallion (Cruse, 1986:136)
Taksonomi di atas menunjukkan bahwa sheep (domba) dan horse (kuda)
merupakan hiponim dari animal (hewan), ewe (domba betina) dan ram (domba
jantan) merupakan hiponim dari sheep (domba), dan mare (kuda betina) dan
stallion (kuda jantan) merupakan hiponim dari horse (kuda). Taksonomi terdiri
atas hiponimi dan persaudaraan taksonomi (taxonomic sisterhood) atau disebut
juga ko-taksonomi (co-taxonomy) (Cruse, 1987:137). Dilihat dari gambar di atas,
hiponimi adalah hubungan vertikal dalam taksonomi, sementara saudari
taksonomik (taxonomic sisters) ditunjukkan dalam hubungan horizontal,
contohnya hubungan ewe dan ram adalah ko-taksonomi, begitu juga hubungan
mare dan stallion.
40
Berbeda dengan hiponimi, meronimi adalah tipe percabangan hierarki
leksikal karena adanya hubungan antara item leksikal yang mengartikan bagian
(part) dan yang mengartikan keseluruhan yang sesuai (whole) (Cruse, 1987:157).
Ada kerangka khusus untuk mengidentifikasi hubungan dalam meronimi seperti X
adalah bagian dari Y, atau Y memiliki X, seperti contoh halaman bagian dari buku
atau sebuah buku memiliki halaman-halaman. Meronimi juga direfleksikan dalam
klasifikasi hierarki seperti berikut.
body
head neck trunk arm leg
forearm hand
palm finger (Cruse, 1986:157)
Meronimi berbeda dengan taksonomi. Taksonomi memiliki transitivitas
(transitivity) antarleksikal tetapi meronimi tidak (Saeed, 1997:70), misalnya palm
(telapak tangan) adalah meronimi dari hand (tangan) dan hand (tangan) meronim
dari arm (lengan), tetapi palm (telapak tangan) tidak bisa dikatakan meronimi dari
arm (lengan) yang diuji dengan X part Y, Y has X (telapak tangan bagian dari
lengan, lengan memiliki telapak tangan) dan tidak berterima.
Selain itu, guna memecahkan masalah dalam penelitian ini segitiga makna
yang dikemukakan Ogden dan Richards (1972) juga digunakan. Segitiga makna
yang menghubungkan lambang (symbol), citra makna (reference) dan objek
(referent) untuk menjelaskan makna entitas-entitas khususnya makna referensial
yang merujuk pada sesuatu di luar bahasa. Berikut segitiga makna yang
dikemukakan oleh Ogden dan Richards.
41
(b) citra makna (reference)
(a) lambang (symbol) (c) objek (referent)
Simbol adalah kata yang merujuk benda, orang, kejadian melalui pikiran yang
bersifat impersonal dan harus diverifikasi dengan fakta (Parera, 2004:29).
Reference adalah sesuatu yang tersimpan atau terbayang dalam pikiran penutur
tentang objek, peristiwa, dan fakta karena adanya simbol. Referent adalah objek,
peristiwa, fakta yang berkaitan dengan pengalaman manusia, dalam hal ini
pengalaman dan pengetahuan guyub tutur bahasa Bali tentang lingkungan
khususnya di bantaran Tukad Badung. Segitiga makna yang dikemukakan Ogden
dan Richards (1972) terbatas pada acuan yang masih ada di lingkungan tertentu
sebagai rujukan dari perbendaharaan kata yang dimiliki guyub tutur sehingga kata
yang hanya tinggal dalam pikiran guyub tutur tidak bisa dijelaskan dalam segitiga
makna karena entitas yang menjadi acuan sudah tidak ada dalam realitas
lingkungan tertentu.
2.3.2.3 Hubungan teori semantik dan morfologi
Teori semantik dan morfologi digunakan dalam penelitian ini karena
memiliki keterkaitan khususnya dalam membahas keberadaan khazanah leksikon
kesungaian, penamaan dari pemaknaan khusus, dan pengodean leksikon-leksikon
tersebut. Melalui teori semantik, pengetahuan kognitif pentutur berupa khazanah
leksikon kesungaian di lingkungan Tukad Badung diperoleh dari benda atau
entitas di lingkungan tersebut dan dimaknai serta dinamai secara khusus
42
berdasarkan ciri fisik, kegunaannya, dan sifatnya, sedangkan teori morfologi
berguna untuk mengodekan entitas-entitas di lingkungan yang sudah dimaknai
dan dinamai tersebut. Oleh karena itu, kedua teori ini sangat diperlukan dan
berkaitan untuk mengkaji leksikon-leksikon kesungaian Tukad Badung dalam
penelitian ini.
2.3.3 Linguistik Kebudayaan
Teori lain yang mendukung teori Ekolinguistik untuk membedakan dan
menemukan makna bahasa berkaitan dengan aspek sosial kultural di lingkungan
Kesungaian Tukad Badung serta untuk menggali leksikon-leksikon kesungaian
yang dimiliki oleh penutur tua yang hidup di lingkungan Tukad Badung, Denpasar
adalah teori antropolinguistik yang oleh Palmer (1976:14) disebut Linguistik
Kebudayaan. Menurut Sibarani dan Henry (1993:128), Linguistik kebudayaan
adalah cabang ilmu lingustik yang mengkaji variasi dan pemakaian bahasa
berkaitan dengan pola kebudayaan, ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan
kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan. Fokus sasaran dalam
linguistik kebudayaan adalah pengkajian makna sebagai cerminan budaya untuk
mengetahui suatu pemahaman budaya dalam kelompok masyarakat berkaitan
dengan pandangan seseorang pada dunia (Palmer, 1996:10-26; Foley, 1991:5).
Dalam kaitannya dengan komunikasi, kebudayaan disebut sebagai sistem tanda
yang mengandung arti bahwa kebudayaan adalah representasi dunia (Sibarani,
2004:48). Walaupun kebudayaan dikatakan sebagai representasi dunia bukan
berarti seseorang yang mempelajari atau mengalaminya mengenal semua yang ada
di dunia mengenal dunia yang mereka dalami saja dan memengaruhi cara berpikir
43
dan cara hidup mereka. Menurut Duranti (1997:86), guyub tutur cenderung
memiliki pandangan dunia berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.
Termasuk di dalam pengertian ini adalah dunia atau lingkungan kesungaian yang
dialami sebagai hasil interelasi, interaksi dengan lingkungan tertentu.
2.4 Model Penelitian
Bahasa Bali khususnya khazanah leksikon dan tuturan terkait kesungaian
yang digunakan oleh guyub tutur yang hidup di lingkungan Tukad Badung
memberikan informasi kebahasaan yang mengungkapkan realitas lingkungan dan
perubahan dinamisnya khususnya lingkungan Tukad Badung. Dari data yang
dikumpulkan berupa khazanah leksikon dan tuturan yang berkaitan dengan Tukad
Badung dirumuskan tiga masalah yaitu bentuk dan kategori khazanah leksikon
kesungaian Tukad Badung, dinamika khazanah leksikon kesungaian di bantaran
Tukad Badung, dan makna tuturan mitos tentang Tukad Badung. Penelitian ini
dipayungi oleh teori ekolingustik dan didukung oleh teori linguistik dan teori
linguistik kebudayaan. Masalah pertama mengidentifikasi bentuk dan kategori
digunakan teori linguistik untuk mengkaji, sedangkan masalah kedua tentang
dinamika khazanah leksikon dikaji teori ekolinguistik dan didukung teori
linguistik kebudayaan untuk menjelaskan keberadaan leksikon yang tidak
memiliki entitas rujukan di lingkungan dan masih tersimpan di pikiran penutur tua
saja. Masalah ketiga dikaji teori ekolinguistik yang dikemukakan oleh Haugen
dan hubungan parameter ekolinguistik. Masalah keempat mengkaji makna tuturan
mitos dikaji dengan teori ekolinguistik dan dibantu dengan teori linguistik
kebudayaan. Pembahasan dari keempat masalah tersebut menjadi temuan
44
penelitian dalam penulisan tesis ini. Pemaparan tersebut diinformasikan dalam
sebuah model penelitian seperti berikut ini.
Linguistik
Kebudayaan
lingkungan
bahasa
Guyub tutur bahasa Bali
di bantaran Tukad Badung
Data Leksikon
dan tuturan
Dinamika
khazanah
Leksikon
Kesungaian
Tukad Badung
Ekolinguistik Linguistik
Temuan
Penelitian
Bentuk dan
Kategori
Leksikon
Kesungaian
Tukad Badung
Faktor-faktor
Dinamika
Khazanah
Leksikon
Kesungaian
Tuturan mitos
tentang Tukad
Badung