bab ii kajian pustaka dan landasan teori 2.1 penelitian...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis
baca diantaranya adalah: penelitian pertama yang berjudul: “Makna
Pariwisata Pulau Kemaro Menurut Pengunjung dan Perilaku Komunikasinya”
yang ditulis oleh Dwi Maharani. Hasil penelitian ini yaitu terdapat tiga
pandangan terhadap pariwisata Pulau Kemaro, yaitu Pulau Kemaro adalah
tempat yang nyaman, memiliki nilai sejarah, dan merupakan tempat untuk
sembahyang.
Penelitian terdahulu yang ke dua adalah “Respon Masyarakat dan
Pemerintah Desa dalam Menangkap Peluang Pengembangan Pariwisata di
Bawean” yang ditulis oleh Pudjio Santoso. Hasil penelitian ini yaitu adanya
respon secara positif oleh sebagian masyarakat sebagai peluang kerja, namun
adapula yang cemas dan takut jika pengembangan pariwisata tersebut
menggerus nilai-nilai dan norma keagamaan (Islam) yang selama ini masih
terjaga.
Penelitian terdahulu yang ke tiga adalah “Persepsi Masyarakat
Terhadap Pengembangan Ekowisata di Desa Huta Ginjang, Kecamatan
Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara”. Hasil
17
penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi dari masyarakat terhadap
pengembangan ekowisata diketahui bahwa seluruh masyarakat menyatakan
tidak keberatan apabila di Desa Huta Ginjang dikembangkan sebagai desa
ekowisata.
Relevansi dari ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan yaitu sama-sama berkaitan dengan makna dan respon
masyarakat terhadap adanya kegiatan pariwisata. Perpedaan dari penelitian
terdahulu dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah terletak pada jenis
penelitian dan pendekatan penelitian. Penelitian terdahulu menggunakan
metode kuantitatif dan studi fenomenologi, sedangkan penelitian yang peneliti
lakukan menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif.
Tabel 1. Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Temuan Relevansi
1 Dwi Maharani
(2014) “Makna
Pariwisata Pulau
Kemaro Menurut
Pengunjung dan
Perilaku
Komunikasinya”
Hasil penelitian ini terdapat tiga
pandangan terhadap pariwisata
Pulau Kemaro, yaitu Pulau
Kemaro adalah tempat yang
nyaman, memiliki nilai sejarah,
dan merupakan tempat untuk
sembahyang. Perbedaan jawaban
yang disampaikan oleh key
informan mengenai pandangan
mereka tentang pariwisata Pulau
Kemaro karena hal tersebut
muncul dari bagaimana orang
tersebut memandangnya.
Pandangan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti
interaksi, motif dan pengalaman
yang dimiliki oleh masing-
Relevansi
penelitian ini
dengan penelitian
yang akan peneliti
lakukan adalah
kesamaan topik
tentang makna
pariwisata yang
dikaji. Sedangkan
perbedaannya
adalah penelitian
Dwi Maharani
menggunakan studi
fenomenologi dan
penelitian peneliti
menggunakan
deskriptif
18
masing informan terhadap
pariwisata Pulau Kemaro.
kualitatatif.
2 Pudjio Santoso
(2016) “Respon
Masyarakat dan
Pemerintah Desa
dalam Menangkap
Peluang
Pengembangan
Pariwisata di
Bawean”.
Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya respon secara positif oleh
sebagian masyarakat sebagai
peluang kerja, namun adapula
yang cemas dan takut jika
pengembangan pariwisata
tersebut menggerus nilai-nilai
dan norma keagamaan (Islam)
yang selama ini masih terjaga.
Pada tingkat kelembagaan desa,
peluang ekonomi ini belum
ditangkap secara baik meskipun
perangkat aturan tentang
keuangan desa dan BUMDesa
suda ada. Sementara masyarakat
melihat pengembangan
pariwisata di Bawean akan
membawa dampak pada
perubahan ekonomi dan
ketenagakerjaan. Mereka tidak
perlu lagi merantau ke luar negeri
untuk mencari nafkah.
Relevansi
penelitian ini
dengan penelitian
yang akan peneliti
lakukan adalah
adanya kesamaan
topik tentang
respon masyarakat
dan perangkat desa
yang akan menjadi
subjek dalam
penelitian ini.
Perbedaan dalam
penelitian ini
dengan penelitian
yang akan
penelitian lakukan
adalah penelitian
yang akan peneliti
lakukan tidak hanya
mengetahui respon
masyarakat tetapi
juga untuk
mengetahui makna
dari pembangunan
pariwisata.
3 Benmart E.
Manalu, Siti
Latifah, Pindi
Patana (2012)
“Persepsi
Masyarakat
Terhadap
Pengembangan
Ekowisata di Desa
Huta Ginjang,
Kecamatan Sianjur
Mula-Mula,
Kabupaten
Samosir, Provinsi
Sumatera Utara”.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa potensi alam dan potensi
sosial budaya dapat
dikembangkan menjadi daya
tarik wisata. Persepsi dari
masyarakat terhadap
pengembangan ekowisata
diketahui bahwa seluruh
masyarakat menyatakan tidak
keberatan apabila di Desa Huta
Ginjang dikembangkan sebagai
desa ekowisata, namun dengan
mensyaratkan bahwa
pengembangan pariwisata harus
tetap mengacu pada konsep
pariwisata yang memperhatikan
Relevansi
penelitian ini
dengan penelitian
yang akan
penelitian lakukan
adalah adanya
hubungan antara
persepsi dengan
makna. Dimana
manusia bertindak
dari makna yang
dia terima.
Perbedaan
penelitian ini
dengan penelitian
yang akan peneliti
19
pelestarian fungsi lingkunga,
potensi ekologis serta
mempertahankan nilai-nilai
sosial budaya yang ada di
masyarakat setempat.
lakukan adalah
penelitian ini
menggunakan
metode kuantitatif,
sedangkan metode
penelitian yang
akan peneliti
lakukan adalah
kualitatif.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Pengertian Pariwisata
Istilah pariwisata terlahir dari bahasa Sansekerta yang
komponen-komponennya terdiri dari: “Pari” Yang berarti penuh,
lengkap, berkeliling; “Wis(man)” yang berarti rumah, properti,
kampung,komunitas; dan “ata” berarti pertgi terus-menerus,
mengembara (roaming about) yang bila dirangkai menjadi satu kata
melahirkan istilah pariwisata, berarti: pergi secara lengkap
meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus menerus dan tidak
bermaksud untuk menetap di tempat yang menjadi tujuan perjalanan
(Pendit, 2002:3)
Konsep pariwisata menurut Burkart dan Medlik (1981:46)
wisatawan memiliki empat ciri, diantaranya adalah:
a. Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan dan tinggal
diberbagai tempat tujuan.
b. Tempat tujuan wisatawan berbeda dari tempat tinggal dan tempat
kerjanya sehari-hari, karena itu kegiatan wisatawan tidak sama
20
dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja di tempat
tujuan wisata.
c. Wisatawan bermaksud pulang kembali dalam beberapa hari atau
bulanbulanan, karena perjalanan itu bersifat sementara dan
berjangka panjang.
d. Wisatawan melakukan perjalanan bukan untuk mencari tempat
tinggal untuk menetap di tempat tujuan atau bekerja untuk mencari
nafkah.
Menurut Cohen (1974:533) seorang wisatawan adalah seorang
pelancong yang melakukan perjalanan atas kemauan sendiri dan untuk
waktu sementara dengan harapan mendapat kenikmatan dari hal-hal
baru dan perubahan yang dialami selama dalam perjalanan yang relatif
lama dan tidak berulang.
Menurut Cohen (1974:533), konsep pariwisata adalah sebuah
konsep yang jernih, garis-garis batas antara peran wisatawan dan
bukan peran wisatawan sangat kabur, dan banyak mengandung
kategori antara. Ada tujuh ciri perjalanan wisata, menurut pendapatnya
yang membedakan wisatawan dari orang-orang lain yang juga
bepergian adalah sebagai berikut:
a. Sementara, untuk membedakan perjalanan tiada henti yang
dilakukan petualang (Tramp) dan pengembara (Nomad)
b. Sukarela atau atas kemauan sendiri, untuk membedakan perjalanan
yang harus dilakukan orang yang diasingkan dan pengungsi.
21
c. Perjalanan pulang pergi, untuk membedakan dari perjalanan satu
arah yang dilakukan orang yang pindah ke negara lain (Migran)
d. Relatif lama, untuk membedakan dari perjalanan pesiar (excursion)
bepergian (Tripper)
e. Tidak berulang-ulang, untuk membedakan perjalanan berkali-kali
yang dilakukan orang yang memiliki rumah istirahat (Holiday
house owner).
f. Tidak sebagai alat, untuk membedakan dari perjalanan sebagai
cara untuk mencapai tujuan lain, seperti perjalanan dalam rangka
usaha, perjalanan yang dilakukan pedagang dan orang yang
berziarah.
g. Untuk sesuatu yang baru dan berubah, untuk membedakan dari
perjalanan untuk tujuan-tujuan lain seperti misalnya menuntut
ilmu.
h. Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan
wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal seseorang
diluar tempat tinggalnya karena suatu alasan untuk melakukan
kegiatan yang bukan untuk menghasilkan upah.
Wisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan
kenikmatan dan memenuhi hasrat ngin mengetahui sesuatu. Dapat
juga karena kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan olahraga
untuk kesehatan, konvensi, keagamaan dan keperluan usaha lainnya.
22
Menurut Robinson dalam Pitana (2005:40), pariwisata
berkembang karena adanya gerakan manusia dalam mencari sesuatu
yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari
perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.
2.2.2 Objek Wisata
Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan
tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk
menikmati obyek dan daya tarik wisata. Seorang wisatawan
berkunjung ke suatu tempat/daerah/Negara karena tertarik oleh sesuatu
yang menarik dan menyebabkan wisatawan berkunjng ke suatu
tempat/daerah/Negara disebut daya tarik dan atraksi wisata
(Mappi,2001:30). Dalam Undang-Undang No.9 tahun 190, obyek dan
daya tarik wisata adalah segala yang menjadi sarana perjalanan wisata.
Menurut Mappi (2001:30-33) Objek wisata dikelompokan ke
dalam tiga jenis, yaitu:
Objek wisata alam, misalnya : laut, pantai, gunung (berapi), danau,
sungai, fauna (langka), kawasan lindung, cagar alam, pemandangan
alam dan lain-lain.
a. Objek wisata budaya, misalnya : upacara kelahiran, tari-tari
(tradisional), musik (tradisional), pakaian adat, perkawinan adat,
upacara turun ke sawah, upacara panen, cagar budaya, bangunan
bersejarah, peninggalan tradisional, festival budaya, kain tenun
23
(tradisional), tekstil lokal, pertunjukan (tradisional), adat istiadat
lokal, museum dan lain-lain.
b. Objek wisata buatan, misalnya : sarana dan fasilitas olahraga,
permainan (layangan), hiburan (lawak atau akrobatik, sulap),
ketangkasan (naik kuda), taman rekreasi, taman nasional, pusat-
pusat perbelanjaan dan lain-lain.
Membangun obyek wisata tersebut harus memperhatikan
keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat, sosial budaya daerah
setempat, nilai-nilai agama, adat istiadat, lingkungan hidup, dan obyek
wisataitu sendiri. Pembangunan obyek dan daya tarik wisata dapat
dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha maupun Perseorangan
dengan melibatkan dan bekerjasama pihak-pihak yang terkait.
Menurut UU No.9 Tahun 1990 disebutkan bahwa obyek dan
daya tarik wisata terdiri dari:
a. Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna.
b. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud
museum, peninggalan sejarah, wisata agro, wisata tirta, wisata
petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, obyek wisata dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam wisata yaitu wisata buatan
manusia dan wisata alam.
24
2.2.3 Faktor Pendorong dan Penarik
Jackson (1989) telah mengidentifikasi berbagai faktor penarik
dan pendorong. Menurutnya ada delapan faktor pendorong yang
diidentifikasi, yaitu: (1) ego enhancement, (2) itual Inversion, (3)
pilgrimage, (4) religion, (5) health, (6) education, (7) perceived
authenticity, dan (8) conventions/conferences. Dari sisi faktor penarik,
Jackson (1989) membedakannya atas sebelas faktor, yaitu: (1) location
climate, (2)national promotion, (3) retail advertising, (4) wholesale,
(5) special event, (6) incentive schmes, (7) visiting friends, (8) visiting
relatives, (9) tourist attractions, (10) culture, dan (11) natural
environment man-made environtment.
2.2.4 Pengembangan Obyek Wisata
Pengertian obyek wisata adalah sumber daya alam , buatan
dan budaya yang berpotensi dan berdaya tarik bagi yang pada
umumnya daya tarik wisata menurut Suwontoro (2001) dipengaruhi
oleh :
a. Adanya sumber / obyek yang dapat menimbulkan rasa senang,
nyaman, dan bersih.
b. Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjungi.
c. Adanya arti khusus yang bersifat langka.
d. Adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para
wisatawan yang hadir.
25
e. Obyek wisata alam mempunyai daya tarik yang tinggi karena
keindahannya, seperti keindahan alam pegunungan, sungai, pantai,
pasir, hutan dan sebagainya.
Menurut Wahab (2003 : 110) ada dua hal yang dapat
ditawarkan kepada wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah ujuan
wisata, dimana kedua hal tersebut dapat berupa alamiah atau buatan
manusia, yaitu:
a. Sumber-sumber alam
1. Iklim : udara lembut, bersinar matahari, kering dan bersih.
2. Tata letak tanah dan pemandangan alam : dataran, pegunungan
yang berpanorama indah, danau, sungai, pantai, bentuk-bentuk
yang unik, pemandangan yang indah, air terjun, daerah
(gunung berapi, gua dll)
3. Unsur rimba : hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan
sebagainya
4. Flora dan fauna : tumbuhan aneh, barang-barang beragam jenis
dan warna, kemungkinan memancing, berburu dan bersafari
foto binatang buas, taman nasional dan taman suaka binatang
buas dan sebagainya.
5. Pusat-pusat kesehatan : sumber air mineral alami, kolam
lumpur berkhasiat untuk mandi, sumber air panas untuk
penyembuhan penyakit dan sebagainya.
26
b. Hasil karya buatan manusia yang ditawarkan:
1. Yang berdiri sejarah, budaya, agama:
1) Monumen-monumen dan peninggalan-peninggalan
bersejarah dari masa lalu.
2) Tempat-tempat budaya seperti museum, gedung kesenian,
tugu peringatan, perpustakaan, pentas-pentas budaya
rakyat, industri seni kerajinan tangan dan lain-lain.
3) Perayaan-perayaan tradisional, pameran-pameran, eksebisi,
karnaval, upacara-upacara adat, ziarah-ziarah dan
sebagainya.
4) Bangunan-bangunan raksasa dan biara-biara keagamaan.
2. Prasarana-prasarana
1) Sistem penyediaan air bersih, kelistrikan, jalur-jalur lalu
lintas, sistem pembuangan limbah, sistem telekomunikasi
dan lain-lain.
2) Kebutuhan pokok pola hidup modern misalnya.
3) Rumah sakit, apotek, bank, pusat-pusat perbelanjaan,
rumahrumah penata rambut, toko-toko bahan makanan,
kantor-kantor pemerintah (polisi, penguasa setempat,
pengadilan dan sebagainya), kedai obat, toko-toko
kacamata,warung-warung surat kabar, toko-toko buku,
bengkel-bengkel kendaraan bermotor, pompa-pompa
bensin dan lain-lain.
27
3. Prasarana wisata yang meliputi
1) Tempat penginapan wisatawan.
2) Tempat menemui wisatawan
3) Tempat-tempat rekreasi dan sport : fasilitas sport untuk
musim dingin dan panas, fasilitas perlengkapan sport darat
dan air dan lain-lain.
4) Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang :
meliputi pelabuhan udara, laut bagi negara-negara yang
berbatasan dengan laut, sungai atau danau multinasional,
keret api dan alat transportasi darat lainnya, kapal-kapal,
sistem angkutan udara, angkutan di pegunungan dan lain-
lain.
5) Sarana pelengkap : seperti halnya prasarana, maka sarana
pelengkap ini berbeda menurt keadaan perkembangan suatu
negara. Pada umumnya sarana ini meliputi gedung-gedung
yang menjadi sumber produksi jasa-jasa yang cukup
penting tetapi tidak mutlak diperlukan oleh wisatawan.
Umumnya sarana pelengkap ini bersifat rekreasi dan
hiburan seperti misalnya : gedung-gedung, sandiwara,
bioskop, kasino, night club, kedai-kedai minum, warung-
warung kopi, klubklub dan lain-lain.
6) Pola hidup masyarakat yang sudah menjadi salah satu
khasanah wisata yang sangat penting. Cara hidup bangsa,
28
sikap, makanan dan sikap pandangan hidup, kebiasaan,
tradisi, adat istiadat semua itu menjadi kekayaan budaya
yang menarik wisatawan ke negara mereka. Hal ini berlaku
khususnya negara-negara sedang berkembang yang
masyarakat tradisionalnya berbeda dari masyarakat tempat
wisatawan itu berasal. Modal dasar yang penting yakni
sikap bangsa dari negara tersebut terhadap wisatawan
misalnya keramah tamahan, keakraban, rasa suka
menolong dan tidak bertindak mengeksploitasi dan lain-
lain.
Pengembangan kepariwisataan tentu tidak luput dengan
pembangunan yang berkelanjutan untuk mendorong pengembangan
objek wisata dalam hal ini menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1990
tentang kepariwisataan, pasal (5), menyatakan bahwa Pembangunan
Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) dilakukan dengan cara
mengusahakan, mengelola, dan membuat obyek-obyek baru sebagai
obyk dan daya tarik wisata, kemudian pasal (6) dinyatakan bahwa,
pembangunan obyek dan daya tarik wisata dilakukan dengan
memperhatikan:
a. Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan
kehidupan ekonomi dan sosial budaya.
29
b. Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
c. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.
d. Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri.
2.2.5 Dampak Pariwisata
Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat lokal dapat diketegorikan menjadi delapan kelompok besar
(Cohen, 1984), yaitu:
a. Dampak sosial ekonomi
1. Dampak terhadap penerimaan devisa.
2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat.
3. Dampak terhadap kesempatan kerja.
4. Dampak terhadap harga-harga.
5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan.
6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol.
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya.
8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.
b. Menurut Pizam and Milman (1984) mengklasifikasikan dampak
sosial-budaya pariwisata atas enam, yaitu:
1. Dampak terhadap aspek demografis (jumlah penduduk, umur,
perubahan piramida kependudukan).
30
2. Dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan,
distribusi pekerjaan).
3. Dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa).
4. Dampak terhadap transformasi norma (nilai, moral, peranan
seks).
5. Dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur,
komuditas).
6. Dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas).
2.2.6 Kebijakan Pariwisata Kota Batu
Resmi menjadi Pemerintahan Kota pada 17 Oktober 2001,
Kota Batu mulai menata dan membangun kotanya. Dengan mengacu
kepada kebijakan Pemerintah Indonesia tentang kepariwisataan dan
dengan berdasarkan pada konsep daerah yang ingin memajukan
pariwisata, maka Pemerintah Kota Batu mulai menjalankan kebijakan-
kebijakan tertentu guna memajukan industri pariwisata. Hal tersebut
tertuang dalam visi Kota Batu di bawah pimpinan Walikota pertama
Kota Batu, H. Imam Kabul, yaitu: “Batu agropolitan bernuansa
pariwisata dengan masyarakat madani”. Misi Kota Batu bertujuan
untuk meningkatkan kepariwisataan di antaranya adalah
“Meningkatkan kwalitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang ditandai
dengan meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, keterampilan
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) guna
31
menghadapi era globalisasi serta mengelola sumber daya alam
berbasis pada pertanian dan pariwisata yang berwawasan lingkungan,
pengembangan sistem ekonomi kerakyatan yang selaras dengan
perkembangan dunia usaha melalui kemitraaan usaha ekonomi lemah
dengan industri pariwisata dan pertanian dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat serta mengurangi
kesenjangan sosial ekonomi maupun kemiskinan dan pengangguran
dan perwujudan kehidupan sosial yang dinamis dan berkembang seni
budaya serta olahraga untuk menunjang pariwisata daerah”
Pengembangan pariwisata di Kota Batu adalah rencana yang
telah dibuat sejak Batu menjadi Pemerintahan Kota sejak pada 2001,
sehingga kebijakan-kebijakan pariwisata ke depan dapat mengadopsi
kebijakan sebelumnya dan memberikan inovasi baru yang bertujuan
membangun kepariwisataan di Kota Batu.
Kebijakan tentang kepariwisataan di Kota Batu sudah diatur
dan direncanakan dengan baik. Seperti dalam PERDA Kota Batu
Nomor 4 Tahun 2004 tentang fungsi Kota Batu. dijelaskan bahwa
fungsi Kota Batu yaitu sebagai Kota Pertanian dan Kota Pariwisata.
Kota Pertanian (agropolitan) yaitu pengembangannya diarahkan pada
kegiatan pembangunan pertanian terpadu dimana kondisi fisik, sosial
budaya dan ekonomi cenderung kuat dan mengarah pada kegiatan
pertanian. Kota pariwisata yaitu pengembangan pariwisata Kota Batu
yang meliputi pengembangan daya tarik dan atraksi wisata,
32
pengembangan usaha jasa wisata, pengembangan pusat pelayanan
wisata, pengembangan pusat informasi wisata terpadu (PERDA Kota
Batu, 2004:09). Selain itu, pengembangan pariwisata juga tertera
dalam Rencana Panjang Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Batu. Dimana RPJMD ini dilaksanakan 5 (lima) tahun ke depan
sampai berakhirnya masa jabatan Walikota/Wakil Walikota Batu
terpilih.
2.2.7 Strategi dan Arah Kebijakan Kota Batu
Strategi dan arah kebijakan memuat penjabaran masing-masing
misi ke dalam tujuan, sasaran, strategi dan arah kebijakan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008
tentang tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, yang dimaksud dengan
Tujuan dan sasaran adalah tahap perumusan sasaran strategis yang
menunjukkan tingkat prioritas tertinggi dalam perencanaan
pembangunan jangka menengah yang selanjutnya akan menjadi dasar
penyusunan kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan. Disini,
peran dari penjelasan visi dan misi sangat penting agar proses
penyusunan tujuan dan sasaran memenuhi syarat supaya selaras
dengan sasaran pokok RPJPD. Perumusan tujuan dan sasaran
merupakan salah satu tahap perencanaan kebijakan (policy plannin)
yang memiliki kritikal poin dalam penyusunan RPJMD.
33
Penyusunan arah kebijakan mengacu pada Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Kota Batu Tahun 2005-2025. Untuk lebih detail terkait strategi
dan arah kebijakan lihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Strategi dan Arah Kebijakan Kota Batu
Misi 4: Meningkatkan Posisi Peran dari Kota Sentra Pariwisata Menjadi Kota
Kepariwisataan Internasional.
Visi: Kota Batu sentra pertanian organik berbasis kepariwisataan
internasional, ditunjamg oleh pendidikan yang tepat guna dan berdaya
saing, ditopang oleh sumber daya (alam, manusia, dan budaya) yang
tangguh, diselenggarakan oleh pemerintahan yang baik, kreatif, inovatif,
dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan Sasaran Strategi Arah
Kebijakan
1. Mewujud
kan Kota
Batu
sebagai
destinasi
pariwisat
a
internasio
nal.
Terwujudnya Kota Batu
sebagai destinasi wisata
internasional “Batu
Destination” berbasis
budaya lokal dan
agrowisata.
Menusun
rencana induk
pengembangan
pariwisata kota
berwawasan
internasional
dalam
peraturan
daerah.
Menyusun
strategi dan
grand desain
penyiapan
sistem dan
struktur sosial
dalam
mendukung
kepariwisataan
internasional.
Menyusun
kebijakan
kepariwisataan
Pengemban
gan industri
pariwisata
berbasis
budaya
lokal dan
agrowisata.
34
dalam bentuk
peraturan
daerah.
Memfasilitasi
berdirinya
Daerah Tujuan
Wisata
unggulan baru
“ASEAN
CULTURE
PARK” yang
berwawasan
internsaional.
Mengembangk
an Kota Batu
secara makro
menuju
perwujudan
Batu
Destination.
Mengambangk
an
desa/kelurahan
menjadi “desa
wisata”
berdasarkan
pada potensi
masing-masing
wilayah.
Meningkatkan
peran serta
masyarakat
dalam upaya
mewujudkan
“Batu
Destination”.
Menyiapkan
infrastruktur
kepariwisataan
35
internasional.
Terwujudnya penguatan
citra industri pariwisata
Kota Batu dalam
industri pariwisata
internasional.
Menggelar
even pariwisata
berbasis
budaya lokal
dan agrowisata
secara rutin
dalam skala
regional,
nasional,
maupun
internasional
sebagai sajian
wisata.
Mementai
sajian wisata
Kota Batu
supaya tetap
mempertahank
an basis budaya
lokal dan
agrowisata.
Melakukan
tindakan
tertentu
terhadap
penyelewengan
yang terjadi.
Mengupayakan
Kota Batu
masuk dalam
“international
tourism
directory”,
“World
Federation of
Tourism Guide
Association”,
dan “ World
Tourism
Organization”.
Penguatan
citra
industri
pariwisata
berbasis
budaya
lokal dan
agrowisata.
36
Memenuhi
standar sarana
prasarana
wisata
internasional.
Tersebarluaskannya
promosi keunggulan
dan kenyamanan wisata
Kota Batu.
Mempromosika
n semua obyek
kepariwisataan
Kota Batu
secara nasional
dan
internasional
melalui media
informasi yang
efektif.
Mengambangk
an promosi
langsung
melalui
Location
Bassed
Advertising.
Memperkuat
kerjasama
promosi
pariwisata
dengan daerah
Malang Raya
dan daerah
perbatasan.
Promosi
pariwisata
daerah dan
pemantapan
city
branding
Batu
sebagai
Kota Wisata
ditingkat
nasional dan
internasiona
l.
Memperkua
t kerjasama
bidang
pariwisata
antar daerah
dalam
provinsi dan
luar
provinsi
untuk
peningkatan
perekonomi
an daerah.
Tersedianya SDM
kepariwisataanberkomp
etensi dan profesional.
Mendukung
sekolah
kejuruan
bidang
kepariwisataan
untuk
menyesuaikan
materi
pembelajaran
dengan
keahlian dan
Peningkatan
SDM
pariwisata
yang
kompeten
an
profesional.
37
keterampilan
yang
dibutuhkan
oleh dunia
kerja
kepariwisataan.
Menyelenggara
kan pelatihan
dan
pendampingan
pengelolaan
wisata
internasional.
Meningkatkan
profesionalitas
pekerja sektor
pariwisata
melalui
pendidikan di
Balai Latihan
Kerja.
Sumber: RPJMD Kota Batu tahun 2012-2017
2.3 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
interaksionisme simbolik. Pada tahun 1934, George Herbert Mead
memformulasikan sebuah kerangka teori yang kemudian dikenal dengan
sebutan symbolic interactionism. Mead menggeneralisasikan teori Cooley
untuk skala yang lebih luas, mengajukan proposisi bahwa identitas
indidvidual berada dalam konteks masyarakat, memanifestasi, dan berubah
melalui interaksi sosial. Menurut Mead, makna yang muncul dalam interaksi
sosial diperoleh melalui negosiasi antara pengirim dan penerima pesan-pesan.
38
Makna-makna yang khusus menyebabkan perbedaan interpretasi mengenai
suatu even interaksi. Melalui proses ini citra diri di(ter)konstruksikan.
Herbert Blumer (1900-1987) adalah murid George Herbert Mead di
Universitas Chicago. Blumer lah orang yang pertama kali menggunakan
istilah interaksionisme simbolik pada tahun 1937. Bagi Blumer, makna
bukanlah emanasi make-up sesuatu yang bersifat intrinsik, juga makna tidak
muncul dari elemen-elemen psikologis antar orang. Makna tentang sesuatu
bagi seseorang muncul dari bagaimana cara orang-orang lain memaknai hal
tersebut. Jadi dalam perspektif ini, makna merupakan produk sosial yang
terbentuk melalui aktivitas-aktivitas orang yang berinteraksi. Individu-
individu dalam hal ini tidaklah pasif, tetapi dapat mempengaruhi individu lain,
bahkan kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, perilaku bersifat dinamis,
selalu terjadi refleksivitas diri dan negosiasi berbagai karakter yang ada pada
masing-masing individu (Farganis dalam Sindung Haryanto, 2012:67).
Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu perspektif teori
dalam sosiologi yang memiliki perspektif akar pemikiran yang beragam.
Banyak karya pemikir dan filsuf ternama yang mengilhami lahirnya teori ini.
Kelahiran teori interaksionisme simbolik sebagai respon terhadap dominasi
teori struktural fungsional yang telah mendominasi sosiologi selama lebih dari
satu abad. Bagi para pemikir teori interaksionisme simbolik, teori struktural
fungsional tidak mampu memecahkan persoalan klasik, namun tetap menjadi
39
problematik, yakni bagaimana memahami pemikiran orang lain. Problem
inilah yang semstinya menjadi subject matter sosiologi menurut teori ini.
Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional yang menyatakan
bahwa tindakan manusia lebih ditentukan oleh struktur masyarakat yang
berada diluar kediriannya (eksterior), teori interaksionisme simbolik
berpandangan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh makna yang ada pada
dirinya, makna tersebut berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap
berbagai objek diluar dirinya ketika interaksi berlangsung. Dengan demikian,
makna tersebut bersifat labil dan temporer. Dalam kaitan ini, Herbert Blumer
mengemukakan bahwa teori interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga
premis, yakni: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-
makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal dari
interaksi sosial seseorang dengan orang lain, (3) makna-makna tersebut
disempurnakan pada saat interaksi sosial berlangsung.
Interaksionisme simbolik yang diketengahkan Blumer (1969)
mengandung sejumlah root images atau ide-ide dasar yang dapat diringkas
sebagai berikut (Poloma dalam Hariyanto, 2012:82): (1) masyarakat terdiri
dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui
tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai “organisasi sosial”;
(2) interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain, baik interaksi non-simbolik, maupun interaksi
simbolik; (3) objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna
40
lebih menggunakan produk interaksi simbolik; (4) manusia tidak hanya
mengenal objek eksternal, mereka juga dapat melihat dirinya sebagai objek;
(5) tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia;
(6) tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai
”organisasi sosial dari tindakan-tindakan berbagai manusia”. Sebagian besar
tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang
disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”.
Premis-premis Blumer dapat dijelaskan sebagai berikut: manusia itu
memiliki “kedirian” (self). Ia dapat membuat dirinya sebagai objek dari
tindakan sendiri, atau ia bertindak menuju pada dirinya sebagaimana ia dapat
bertindak menuju kepada tindakan orang lain. Hal ini mendorong individu
untuk membuat indikasi terhadap dirinya. Sedangkan, indikasi kedirian itu
kita sebut dengan keseluruhan kesadaran yang memiliki berbagai tingkatan.
Self dan bentuknya itu dijembatani oleh bahasa yang mendorong manusia
untuk mengabstraksikan sesuatu yang berasal dari lingkungannnya, dan
memberikannya makna-“membuatnya menjadi suatu objek”. Objek bukan
hanya merupakan rangsangan, melainkan ia dibentuk oleh disposisi tindakan
individu (Sindung Haryanto, 2012:68).
Sebagaimana teori interaksionisme simbolik berpandangan bahwa
tindakan manusia ditentukan oleh makna yang ada pada dirinya, makna
tersebut berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap berbagai objek
41
diluar dirinya ketika interaksi berlangsung. Tindakan yang dilakukan
masyarakat Desa Oro-oro Ombo dalam menyikapi pembangunan pariwisata
Kota Batu ditentukan oleh makna yang berasal dari interpretasi masayarakat.
Premis-premis yang dikemukakan Blumer secara implisit terdapat asumsi-
asumsi lain yang menjadi pemandu arah perspektif interaksionisme simbolik,
salah satunya adalah untuk dapat memahami tindakan sosial seseorang.
Peneliti memerlukan metode yang dapat mengungkapkan makna-makna yang
ada dibalik tindakan tersebut. Maka dari itu, metode dari penelitian ini
dimaksudkan agar dapat mengungkap makna sosial pembangunan pariwisata
Kota Batu oleh masyarakat sekitar, sehingga dapat dipahami bagaimana
tindakan sosial masyarakat terkait dengan pembangunan pariwisata tersebut.