bab ii kajian pustaka dan landasan teori 2.1 penelitian...

26
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca diantaranya adalah: penelitian pertama yang berjudul: “Makna Pariwisata Pulau Kemaro Menurut Pengunjung dan Perilaku Komunikasinyayang ditulis oleh Dwi Maharani. Hasil penelitian ini yaitu terdapat tiga pandangan terhadap pariwisata Pulau Kemaro, yaitu Pulau Kemaro adalah tempat yang nyaman, memiliki nilai sejarah, dan merupakan tempat untuk sembahyang. Penelitian terdahulu yang ke dua adalah “Respon Masyarakat dan Pemerintah Desa dalam Menangkap Peluang Pengembangan Pariwisata di Bawean” yang ditulis oleh Pudjio Santoso. Hasil penelitian ini yaitu adanya respon secara positif oleh sebagian masyarakat sebagai peluang kerja, namun adapula yang cemas dan takut jika pengembangan pariwisata tersebut menggerus nilai-nilai dan norma keagamaan (Islam) yang selama ini masih terjaga. Penelitian terdahulu yang ke tiga adalah “Persepsi Masyarakat Terhadap Pengembangan Ekowisata di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara”. Hasil

Upload: others

Post on 09-Mar-2020

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan

beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis

baca diantaranya adalah: penelitian pertama yang berjudul: “Makna

Pariwisata Pulau Kemaro Menurut Pengunjung dan Perilaku Komunikasinya”

yang ditulis oleh Dwi Maharani. Hasil penelitian ini yaitu terdapat tiga

pandangan terhadap pariwisata Pulau Kemaro, yaitu Pulau Kemaro adalah

tempat yang nyaman, memiliki nilai sejarah, dan merupakan tempat untuk

sembahyang.

Penelitian terdahulu yang ke dua adalah “Respon Masyarakat dan

Pemerintah Desa dalam Menangkap Peluang Pengembangan Pariwisata di

Bawean” yang ditulis oleh Pudjio Santoso. Hasil penelitian ini yaitu adanya

respon secara positif oleh sebagian masyarakat sebagai peluang kerja, namun

adapula yang cemas dan takut jika pengembangan pariwisata tersebut

menggerus nilai-nilai dan norma keagamaan (Islam) yang selama ini masih

terjaga.

Penelitian terdahulu yang ke tiga adalah “Persepsi Masyarakat

Terhadap Pengembangan Ekowisata di Desa Huta Ginjang, Kecamatan

Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara”. Hasil

17

penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi dari masyarakat terhadap

pengembangan ekowisata diketahui bahwa seluruh masyarakat menyatakan

tidak keberatan apabila di Desa Huta Ginjang dikembangkan sebagai desa

ekowisata.

Relevansi dari ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan

peneliti lakukan yaitu sama-sama berkaitan dengan makna dan respon

masyarakat terhadap adanya kegiatan pariwisata. Perpedaan dari penelitian

terdahulu dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah terletak pada jenis

penelitian dan pendekatan penelitian. Penelitian terdahulu menggunakan

metode kuantitatif dan studi fenomenologi, sedangkan penelitian yang peneliti

lakukan menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan

deskriptif.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu

No Judul Penelitian Temuan Relevansi

1 Dwi Maharani

(2014) “Makna

Pariwisata Pulau

Kemaro Menurut

Pengunjung dan

Perilaku

Komunikasinya”

Hasil penelitian ini terdapat tiga

pandangan terhadap pariwisata

Pulau Kemaro, yaitu Pulau

Kemaro adalah tempat yang

nyaman, memiliki nilai sejarah,

dan merupakan tempat untuk

sembahyang. Perbedaan jawaban

yang disampaikan oleh key

informan mengenai pandangan

mereka tentang pariwisata Pulau

Kemaro karena hal tersebut

muncul dari bagaimana orang

tersebut memandangnya.

Pandangan tersebut dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti

interaksi, motif dan pengalaman

yang dimiliki oleh masing-

Relevansi

penelitian ini

dengan penelitian

yang akan peneliti

lakukan adalah

kesamaan topik

tentang makna

pariwisata yang

dikaji. Sedangkan

perbedaannya

adalah penelitian

Dwi Maharani

menggunakan studi

fenomenologi dan

penelitian peneliti

menggunakan

deskriptif

18

masing informan terhadap

pariwisata Pulau Kemaro.

kualitatatif.

2 Pudjio Santoso

(2016) “Respon

Masyarakat dan

Pemerintah Desa

dalam Menangkap

Peluang

Pengembangan

Pariwisata di

Bawean”.

Hasil penelitian ini menunjukkan

adanya respon secara positif oleh

sebagian masyarakat sebagai

peluang kerja, namun adapula

yang cemas dan takut jika

pengembangan pariwisata

tersebut menggerus nilai-nilai

dan norma keagamaan (Islam)

yang selama ini masih terjaga.

Pada tingkat kelembagaan desa,

peluang ekonomi ini belum

ditangkap secara baik meskipun

perangkat aturan tentang

keuangan desa dan BUMDesa

suda ada. Sementara masyarakat

melihat pengembangan

pariwisata di Bawean akan

membawa dampak pada

perubahan ekonomi dan

ketenagakerjaan. Mereka tidak

perlu lagi merantau ke luar negeri

untuk mencari nafkah.

Relevansi

penelitian ini

dengan penelitian

yang akan peneliti

lakukan adalah

adanya kesamaan

topik tentang

respon masyarakat

dan perangkat desa

yang akan menjadi

subjek dalam

penelitian ini.

Perbedaan dalam

penelitian ini

dengan penelitian

yang akan

penelitian lakukan

adalah penelitian

yang akan peneliti

lakukan tidak hanya

mengetahui respon

masyarakat tetapi

juga untuk

mengetahui makna

dari pembangunan

pariwisata.

3 Benmart E.

Manalu, Siti

Latifah, Pindi

Patana (2012)

“Persepsi

Masyarakat

Terhadap

Pengembangan

Ekowisata di Desa

Huta Ginjang,

Kecamatan Sianjur

Mula-Mula,

Kabupaten

Samosir, Provinsi

Sumatera Utara”.

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa potensi alam dan potensi

sosial budaya dapat

dikembangkan menjadi daya

tarik wisata. Persepsi dari

masyarakat terhadap

pengembangan ekowisata

diketahui bahwa seluruh

masyarakat menyatakan tidak

keberatan apabila di Desa Huta

Ginjang dikembangkan sebagai

desa ekowisata, namun dengan

mensyaratkan bahwa

pengembangan pariwisata harus

tetap mengacu pada konsep

pariwisata yang memperhatikan

Relevansi

penelitian ini

dengan penelitian

yang akan

penelitian lakukan

adalah adanya

hubungan antara

persepsi dengan

makna. Dimana

manusia bertindak

dari makna yang

dia terima.

Perbedaan

penelitian ini

dengan penelitian

yang akan peneliti

19

pelestarian fungsi lingkunga,

potensi ekologis serta

mempertahankan nilai-nilai

sosial budaya yang ada di

masyarakat setempat.

lakukan adalah

penelitian ini

menggunakan

metode kuantitatif,

sedangkan metode

penelitian yang

akan peneliti

lakukan adalah

kualitatif.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Pengertian Pariwisata

Istilah pariwisata terlahir dari bahasa Sansekerta yang

komponen-komponennya terdiri dari: “Pari” Yang berarti penuh,

lengkap, berkeliling; “Wis(man)” yang berarti rumah, properti,

kampung,komunitas; dan “ata” berarti pertgi terus-menerus,

mengembara (roaming about) yang bila dirangkai menjadi satu kata

melahirkan istilah pariwisata, berarti: pergi secara lengkap

meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus menerus dan tidak

bermaksud untuk menetap di tempat yang menjadi tujuan perjalanan

(Pendit, 2002:3)

Konsep pariwisata menurut Burkart dan Medlik (1981:46)

wisatawan memiliki empat ciri, diantaranya adalah:

a. Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan dan tinggal

diberbagai tempat tujuan.

b. Tempat tujuan wisatawan berbeda dari tempat tinggal dan tempat

kerjanya sehari-hari, karena itu kegiatan wisatawan tidak sama

20

dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja di tempat

tujuan wisata.

c. Wisatawan bermaksud pulang kembali dalam beberapa hari atau

bulanbulanan, karena perjalanan itu bersifat sementara dan

berjangka panjang.

d. Wisatawan melakukan perjalanan bukan untuk mencari tempat

tinggal untuk menetap di tempat tujuan atau bekerja untuk mencari

nafkah.

Menurut Cohen (1974:533) seorang wisatawan adalah seorang

pelancong yang melakukan perjalanan atas kemauan sendiri dan untuk

waktu sementara dengan harapan mendapat kenikmatan dari hal-hal

baru dan perubahan yang dialami selama dalam perjalanan yang relatif

lama dan tidak berulang.

Menurut Cohen (1974:533), konsep pariwisata adalah sebuah

konsep yang jernih, garis-garis batas antara peran wisatawan dan

bukan peran wisatawan sangat kabur, dan banyak mengandung

kategori antara. Ada tujuh ciri perjalanan wisata, menurut pendapatnya

yang membedakan wisatawan dari orang-orang lain yang juga

bepergian adalah sebagai berikut:

a. Sementara, untuk membedakan perjalanan tiada henti yang

dilakukan petualang (Tramp) dan pengembara (Nomad)

b. Sukarela atau atas kemauan sendiri, untuk membedakan perjalanan

yang harus dilakukan orang yang diasingkan dan pengungsi.

21

c. Perjalanan pulang pergi, untuk membedakan dari perjalanan satu

arah yang dilakukan orang yang pindah ke negara lain (Migran)

d. Relatif lama, untuk membedakan dari perjalanan pesiar (excursion)

bepergian (Tripper)

e. Tidak berulang-ulang, untuk membedakan perjalanan berkali-kali

yang dilakukan orang yang memiliki rumah istirahat (Holiday

house owner).

f. Tidak sebagai alat, untuk membedakan dari perjalanan sebagai

cara untuk mencapai tujuan lain, seperti perjalanan dalam rangka

usaha, perjalanan yang dilakukan pedagang dan orang yang

berziarah.

g. Untuk sesuatu yang baru dan berubah, untuk membedakan dari

perjalanan untuk tujuan-tujuan lain seperti misalnya menuntut

ilmu.

h. Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan

wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal seseorang

diluar tempat tinggalnya karena suatu alasan untuk melakukan

kegiatan yang bukan untuk menghasilkan upah.

Wisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan oleh

seseorang atau lebih dengan tujuan antara lain untuk mendapatkan

kenikmatan dan memenuhi hasrat ngin mengetahui sesuatu. Dapat

juga karena kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan olahraga

untuk kesehatan, konvensi, keagamaan dan keperluan usaha lainnya.

22

Menurut Robinson dalam Pitana (2005:40), pariwisata

berkembang karena adanya gerakan manusia dalam mencari sesuatu

yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari

perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru.

2.2.2 Objek Wisata

Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk

menikmati obyek dan daya tarik wisata. Seorang wisatawan

berkunjung ke suatu tempat/daerah/Negara karena tertarik oleh sesuatu

yang menarik dan menyebabkan wisatawan berkunjng ke suatu

tempat/daerah/Negara disebut daya tarik dan atraksi wisata

(Mappi,2001:30). Dalam Undang-Undang No.9 tahun 190, obyek dan

daya tarik wisata adalah segala yang menjadi sarana perjalanan wisata.

Menurut Mappi (2001:30-33) Objek wisata dikelompokan ke

dalam tiga jenis, yaitu:

Objek wisata alam, misalnya : laut, pantai, gunung (berapi), danau,

sungai, fauna (langka), kawasan lindung, cagar alam, pemandangan

alam dan lain-lain.

a. Objek wisata budaya, misalnya : upacara kelahiran, tari-tari

(tradisional), musik (tradisional), pakaian adat, perkawinan adat,

upacara turun ke sawah, upacara panen, cagar budaya, bangunan

bersejarah, peninggalan tradisional, festival budaya, kain tenun

23

(tradisional), tekstil lokal, pertunjukan (tradisional), adat istiadat

lokal, museum dan lain-lain.

b. Objek wisata buatan, misalnya : sarana dan fasilitas olahraga,

permainan (layangan), hiburan (lawak atau akrobatik, sulap),

ketangkasan (naik kuda), taman rekreasi, taman nasional, pusat-

pusat perbelanjaan dan lain-lain.

Membangun obyek wisata tersebut harus memperhatikan

keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat, sosial budaya daerah

setempat, nilai-nilai agama, adat istiadat, lingkungan hidup, dan obyek

wisataitu sendiri. Pembangunan obyek dan daya tarik wisata dapat

dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha maupun Perseorangan

dengan melibatkan dan bekerjasama pihak-pihak yang terkait.

Menurut UU No.9 Tahun 1990 disebutkan bahwa obyek dan

daya tarik wisata terdiri dari:

a. Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang

berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna.

b. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud

museum, peninggalan sejarah, wisata agro, wisata tirta, wisata

petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, obyek wisata dapat

diklasifikasikan menjadi dua macam wisata yaitu wisata buatan

manusia dan wisata alam.

24

2.2.3 Faktor Pendorong dan Penarik

Jackson (1989) telah mengidentifikasi berbagai faktor penarik

dan pendorong. Menurutnya ada delapan faktor pendorong yang

diidentifikasi, yaitu: (1) ego enhancement, (2) itual Inversion, (3)

pilgrimage, (4) religion, (5) health, (6) education, (7) perceived

authenticity, dan (8) conventions/conferences. Dari sisi faktor penarik,

Jackson (1989) membedakannya atas sebelas faktor, yaitu: (1) location

climate, (2)national promotion, (3) retail advertising, (4) wholesale,

(5) special event, (6) incentive schmes, (7) visiting friends, (8) visiting

relatives, (9) tourist attractions, (10) culture, dan (11) natural

environment man-made environtment.

2.2.4 Pengembangan Obyek Wisata

Pengertian obyek wisata adalah sumber daya alam , buatan

dan budaya yang berpotensi dan berdaya tarik bagi yang pada

umumnya daya tarik wisata menurut Suwontoro (2001) dipengaruhi

oleh :

a. Adanya sumber / obyek yang dapat menimbulkan rasa senang,

nyaman, dan bersih.

b. Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjungi.

c. Adanya arti khusus yang bersifat langka.

d. Adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para

wisatawan yang hadir.

25

e. Obyek wisata alam mempunyai daya tarik yang tinggi karena

keindahannya, seperti keindahan alam pegunungan, sungai, pantai,

pasir, hutan dan sebagainya.

Menurut Wahab (2003 : 110) ada dua hal yang dapat

ditawarkan kepada wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah ujuan

wisata, dimana kedua hal tersebut dapat berupa alamiah atau buatan

manusia, yaitu:

a. Sumber-sumber alam

1. Iklim : udara lembut, bersinar matahari, kering dan bersih.

2. Tata letak tanah dan pemandangan alam : dataran, pegunungan

yang berpanorama indah, danau, sungai, pantai, bentuk-bentuk

yang unik, pemandangan yang indah, air terjun, daerah

(gunung berapi, gua dll)

3. Unsur rimba : hutan-hutan lebat, pohon-pohon langka, dan

sebagainya

4. Flora dan fauna : tumbuhan aneh, barang-barang beragam jenis

dan warna, kemungkinan memancing, berburu dan bersafari

foto binatang buas, taman nasional dan taman suaka binatang

buas dan sebagainya.

5. Pusat-pusat kesehatan : sumber air mineral alami, kolam

lumpur berkhasiat untuk mandi, sumber air panas untuk

penyembuhan penyakit dan sebagainya.

26

b. Hasil karya buatan manusia yang ditawarkan:

1. Yang berdiri sejarah, budaya, agama:

1) Monumen-monumen dan peninggalan-peninggalan

bersejarah dari masa lalu.

2) Tempat-tempat budaya seperti museum, gedung kesenian,

tugu peringatan, perpustakaan, pentas-pentas budaya

rakyat, industri seni kerajinan tangan dan lain-lain.

3) Perayaan-perayaan tradisional, pameran-pameran, eksebisi,

karnaval, upacara-upacara adat, ziarah-ziarah dan

sebagainya.

4) Bangunan-bangunan raksasa dan biara-biara keagamaan.

2. Prasarana-prasarana

1) Sistem penyediaan air bersih, kelistrikan, jalur-jalur lalu

lintas, sistem pembuangan limbah, sistem telekomunikasi

dan lain-lain.

2) Kebutuhan pokok pola hidup modern misalnya.

3) Rumah sakit, apotek, bank, pusat-pusat perbelanjaan,

rumahrumah penata rambut, toko-toko bahan makanan,

kantor-kantor pemerintah (polisi, penguasa setempat,

pengadilan dan sebagainya), kedai obat, toko-toko

kacamata,warung-warung surat kabar, toko-toko buku,

bengkel-bengkel kendaraan bermotor, pompa-pompa

bensin dan lain-lain.

27

3. Prasarana wisata yang meliputi

1) Tempat penginapan wisatawan.

2) Tempat menemui wisatawan

3) Tempat-tempat rekreasi dan sport : fasilitas sport untuk

musim dingin dan panas, fasilitas perlengkapan sport darat

dan air dan lain-lain.

4) Sarana pencapaian dan alat transportasi penunjang :

meliputi pelabuhan udara, laut bagi negara-negara yang

berbatasan dengan laut, sungai atau danau multinasional,

keret api dan alat transportasi darat lainnya, kapal-kapal,

sistem angkutan udara, angkutan di pegunungan dan lain-

lain.

5) Sarana pelengkap : seperti halnya prasarana, maka sarana

pelengkap ini berbeda menurt keadaan perkembangan suatu

negara. Pada umumnya sarana ini meliputi gedung-gedung

yang menjadi sumber produksi jasa-jasa yang cukup

penting tetapi tidak mutlak diperlukan oleh wisatawan.

Umumnya sarana pelengkap ini bersifat rekreasi dan

hiburan seperti misalnya : gedung-gedung, sandiwara,

bioskop, kasino, night club, kedai-kedai minum, warung-

warung kopi, klubklub dan lain-lain.

6) Pola hidup masyarakat yang sudah menjadi salah satu

khasanah wisata yang sangat penting. Cara hidup bangsa,

28

sikap, makanan dan sikap pandangan hidup, kebiasaan,

tradisi, adat istiadat semua itu menjadi kekayaan budaya

yang menarik wisatawan ke negara mereka. Hal ini berlaku

khususnya negara-negara sedang berkembang yang

masyarakat tradisionalnya berbeda dari masyarakat tempat

wisatawan itu berasal. Modal dasar yang penting yakni

sikap bangsa dari negara tersebut terhadap wisatawan

misalnya keramah tamahan, keakraban, rasa suka

menolong dan tidak bertindak mengeksploitasi dan lain-

lain.

Pengembangan kepariwisataan tentu tidak luput dengan

pembangunan yang berkelanjutan untuk mendorong pengembangan

objek wisata dalam hal ini menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1990

tentang kepariwisataan, pasal (5), menyatakan bahwa Pembangunan

Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) dilakukan dengan cara

mengusahakan, mengelola, dan membuat obyek-obyek baru sebagai

obyk dan daya tarik wisata, kemudian pasal (6) dinyatakan bahwa,

pembangunan obyek dan daya tarik wisata dilakukan dengan

memperhatikan:

a. Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan

kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

29

b. Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat.

c. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.

d. Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri.

2.2.5 Dampak Pariwisata

Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi

masyarakat lokal dapat diketegorikan menjadi delapan kelompok besar

(Cohen, 1984), yaitu:

a. Dampak sosial ekonomi

1. Dampak terhadap penerimaan devisa.

2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat.

3. Dampak terhadap kesempatan kerja.

4. Dampak terhadap harga-harga.

5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan.

6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol.

7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya.

8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

b. Menurut Pizam and Milman (1984) mengklasifikasikan dampak

sosial-budaya pariwisata atas enam, yaitu:

1. Dampak terhadap aspek demografis (jumlah penduduk, umur,

perubahan piramida kependudukan).

30

2. Dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan,

distribusi pekerjaan).

3. Dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa).

4. Dampak terhadap transformasi norma (nilai, moral, peranan

seks).

5. Dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur,

komuditas).

6. Dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas).

2.2.6 Kebijakan Pariwisata Kota Batu

Resmi menjadi Pemerintahan Kota pada 17 Oktober 2001,

Kota Batu mulai menata dan membangun kotanya. Dengan mengacu

kepada kebijakan Pemerintah Indonesia tentang kepariwisataan dan

dengan berdasarkan pada konsep daerah yang ingin memajukan

pariwisata, maka Pemerintah Kota Batu mulai menjalankan kebijakan-

kebijakan tertentu guna memajukan industri pariwisata. Hal tersebut

tertuang dalam visi Kota Batu di bawah pimpinan Walikota pertama

Kota Batu, H. Imam Kabul, yaitu: “Batu agropolitan bernuansa

pariwisata dengan masyarakat madani”. Misi Kota Batu bertujuan

untuk meningkatkan kepariwisataan di antaranya adalah

“Meningkatkan kwalitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang ditandai

dengan meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, keterampilan

dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) guna

31

menghadapi era globalisasi serta mengelola sumber daya alam

berbasis pada pertanian dan pariwisata yang berwawasan lingkungan,

pengembangan sistem ekonomi kerakyatan yang selaras dengan

perkembangan dunia usaha melalui kemitraaan usaha ekonomi lemah

dengan industri pariwisata dan pertanian dalam rangka meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat serta mengurangi

kesenjangan sosial ekonomi maupun kemiskinan dan pengangguran

dan perwujudan kehidupan sosial yang dinamis dan berkembang seni

budaya serta olahraga untuk menunjang pariwisata daerah”

Pengembangan pariwisata di Kota Batu adalah rencana yang

telah dibuat sejak Batu menjadi Pemerintahan Kota sejak pada 2001,

sehingga kebijakan-kebijakan pariwisata ke depan dapat mengadopsi

kebijakan sebelumnya dan memberikan inovasi baru yang bertujuan

membangun kepariwisataan di Kota Batu.

Kebijakan tentang kepariwisataan di Kota Batu sudah diatur

dan direncanakan dengan baik. Seperti dalam PERDA Kota Batu

Nomor 4 Tahun 2004 tentang fungsi Kota Batu. dijelaskan bahwa

fungsi Kota Batu yaitu sebagai Kota Pertanian dan Kota Pariwisata.

Kota Pertanian (agropolitan) yaitu pengembangannya diarahkan pada

kegiatan pembangunan pertanian terpadu dimana kondisi fisik, sosial

budaya dan ekonomi cenderung kuat dan mengarah pada kegiatan

pertanian. Kota pariwisata yaitu pengembangan pariwisata Kota Batu

yang meliputi pengembangan daya tarik dan atraksi wisata,

32

pengembangan usaha jasa wisata, pengembangan pusat pelayanan

wisata, pengembangan pusat informasi wisata terpadu (PERDA Kota

Batu, 2004:09). Selain itu, pengembangan pariwisata juga tertera

dalam Rencana Panjang Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota

Batu. Dimana RPJMD ini dilaksanakan 5 (lima) tahun ke depan

sampai berakhirnya masa jabatan Walikota/Wakil Walikota Batu

terpilih.

2.2.7 Strategi dan Arah Kebijakan Kota Batu

Strategi dan arah kebijakan memuat penjabaran masing-masing

misi ke dalam tujuan, sasaran, strategi dan arah kebijakan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008

tentang tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi

Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, yang dimaksud dengan

Tujuan dan sasaran adalah tahap perumusan sasaran strategis yang

menunjukkan tingkat prioritas tertinggi dalam perencanaan

pembangunan jangka menengah yang selanjutnya akan menjadi dasar

penyusunan kinerja pembangunan daerah secara keseluruhan. Disini,

peran dari penjelasan visi dan misi sangat penting agar proses

penyusunan tujuan dan sasaran memenuhi syarat supaya selaras

dengan sasaran pokok RPJPD. Perumusan tujuan dan sasaran

merupakan salah satu tahap perencanaan kebijakan (policy plannin)

yang memiliki kritikal poin dalam penyusunan RPJMD.

33

Penyusunan arah kebijakan mengacu pada Peraturan Daerah

Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Daerah Kota Batu Tahun 2005-2025. Untuk lebih detail terkait strategi

dan arah kebijakan lihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Strategi dan Arah Kebijakan Kota Batu

Misi 4: Meningkatkan Posisi Peran dari Kota Sentra Pariwisata Menjadi Kota

Kepariwisataan Internasional.

Visi: Kota Batu sentra pertanian organik berbasis kepariwisataan

internasional, ditunjamg oleh pendidikan yang tepat guna dan berdaya

saing, ditopang oleh sumber daya (alam, manusia, dan budaya) yang

tangguh, diselenggarakan oleh pemerintahan yang baik, kreatif, inovatif,

dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tujuan Sasaran Strategi Arah

Kebijakan

1. Mewujud

kan Kota

Batu

sebagai

destinasi

pariwisat

a

internasio

nal.

Terwujudnya Kota Batu

sebagai destinasi wisata

internasional “Batu

Destination” berbasis

budaya lokal dan

agrowisata.

Menusun

rencana induk

pengembangan

pariwisata kota

berwawasan

internasional

dalam

peraturan

daerah.

Menyusun

strategi dan

grand desain

penyiapan

sistem dan

struktur sosial

dalam

mendukung

kepariwisataan

internasional.

Menyusun

kebijakan

kepariwisataan

Pengemban

gan industri

pariwisata

berbasis

budaya

lokal dan

agrowisata.

34

dalam bentuk

peraturan

daerah.

Memfasilitasi

berdirinya

Daerah Tujuan

Wisata

unggulan baru

“ASEAN

CULTURE

PARK” yang

berwawasan

internsaional.

Mengembangk

an Kota Batu

secara makro

menuju

perwujudan

Batu

Destination.

Mengambangk

an

desa/kelurahan

menjadi “desa

wisata”

berdasarkan

pada potensi

masing-masing

wilayah.

Meningkatkan

peran serta

masyarakat

dalam upaya

mewujudkan

“Batu

Destination”.

Menyiapkan

infrastruktur

kepariwisataan

35

internasional.

Terwujudnya penguatan

citra industri pariwisata

Kota Batu dalam

industri pariwisata

internasional.

Menggelar

even pariwisata

berbasis

budaya lokal

dan agrowisata

secara rutin

dalam skala

regional,

nasional,

maupun

internasional

sebagai sajian

wisata.

Mementai

sajian wisata

Kota Batu

supaya tetap

mempertahank

an basis budaya

lokal dan

agrowisata.

Melakukan

tindakan

tertentu

terhadap

penyelewengan

yang terjadi.

Mengupayakan

Kota Batu

masuk dalam

“international

tourism

directory”,

“World

Federation of

Tourism Guide

Association”,

dan “ World

Tourism

Organization”.

Penguatan

citra

industri

pariwisata

berbasis

budaya

lokal dan

agrowisata.

36

Memenuhi

standar sarana

prasarana

wisata

internasional.

Tersebarluaskannya

promosi keunggulan

dan kenyamanan wisata

Kota Batu.

Mempromosika

n semua obyek

kepariwisataan

Kota Batu

secara nasional

dan

internasional

melalui media

informasi yang

efektif.

Mengambangk

an promosi

langsung

melalui

Location

Bassed

Advertising.

Memperkuat

kerjasama

promosi

pariwisata

dengan daerah

Malang Raya

dan daerah

perbatasan.

Promosi

pariwisata

daerah dan

pemantapan

city

branding

Batu

sebagai

Kota Wisata

ditingkat

nasional dan

internasiona

l.

Memperkua

t kerjasama

bidang

pariwisata

antar daerah

dalam

provinsi dan

luar

provinsi

untuk

peningkatan

perekonomi

an daerah.

Tersedianya SDM

kepariwisataanberkomp

etensi dan profesional.

Mendukung

sekolah

kejuruan

bidang

kepariwisataan

untuk

menyesuaikan

materi

pembelajaran

dengan

keahlian dan

Peningkatan

SDM

pariwisata

yang

kompeten

an

profesional.

37

keterampilan

yang

dibutuhkan

oleh dunia

kerja

kepariwisataan.

Menyelenggara

kan pelatihan

dan

pendampingan

pengelolaan

wisata

internasional.

Meningkatkan

profesionalitas

pekerja sektor

pariwisata

melalui

pendidikan di

Balai Latihan

Kerja.

Sumber: RPJMD Kota Batu tahun 2012-2017

2.3 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

interaksionisme simbolik. Pada tahun 1934, George Herbert Mead

memformulasikan sebuah kerangka teori yang kemudian dikenal dengan

sebutan symbolic interactionism. Mead menggeneralisasikan teori Cooley

untuk skala yang lebih luas, mengajukan proposisi bahwa identitas

indidvidual berada dalam konteks masyarakat, memanifestasi, dan berubah

melalui interaksi sosial. Menurut Mead, makna yang muncul dalam interaksi

sosial diperoleh melalui negosiasi antara pengirim dan penerima pesan-pesan.

38

Makna-makna yang khusus menyebabkan perbedaan interpretasi mengenai

suatu even interaksi. Melalui proses ini citra diri di(ter)konstruksikan.

Herbert Blumer (1900-1987) adalah murid George Herbert Mead di

Universitas Chicago. Blumer lah orang yang pertama kali menggunakan

istilah interaksionisme simbolik pada tahun 1937. Bagi Blumer, makna

bukanlah emanasi make-up sesuatu yang bersifat intrinsik, juga makna tidak

muncul dari elemen-elemen psikologis antar orang. Makna tentang sesuatu

bagi seseorang muncul dari bagaimana cara orang-orang lain memaknai hal

tersebut. Jadi dalam perspektif ini, makna merupakan produk sosial yang

terbentuk melalui aktivitas-aktivitas orang yang berinteraksi. Individu-

individu dalam hal ini tidaklah pasif, tetapi dapat mempengaruhi individu lain,

bahkan kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, perilaku bersifat dinamis,

selalu terjadi refleksivitas diri dan negosiasi berbagai karakter yang ada pada

masing-masing individu (Farganis dalam Sindung Haryanto, 2012:67).

Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu perspektif teori

dalam sosiologi yang memiliki perspektif akar pemikiran yang beragam.

Banyak karya pemikir dan filsuf ternama yang mengilhami lahirnya teori ini.

Kelahiran teori interaksionisme simbolik sebagai respon terhadap dominasi

teori struktural fungsional yang telah mendominasi sosiologi selama lebih dari

satu abad. Bagi para pemikir teori interaksionisme simbolik, teori struktural

fungsional tidak mampu memecahkan persoalan klasik, namun tetap menjadi

39

problematik, yakni bagaimana memahami pemikiran orang lain. Problem

inilah yang semstinya menjadi subject matter sosiologi menurut teori ini.

Berbeda dengan pendekatan struktural fungsional yang menyatakan

bahwa tindakan manusia lebih ditentukan oleh struktur masyarakat yang

berada diluar kediriannya (eksterior), teori interaksionisme simbolik

berpandangan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh makna yang ada pada

dirinya, makna tersebut berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap

berbagai objek diluar dirinya ketika interaksi berlangsung. Dengan demikian,

makna tersebut bersifat labil dan temporer. Dalam kaitan ini, Herbert Blumer

mengemukakan bahwa teori interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga

premis, yakni: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-

makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal dari

interaksi sosial seseorang dengan orang lain, (3) makna-makna tersebut

disempurnakan pada saat interaksi sosial berlangsung.

Interaksionisme simbolik yang diketengahkan Blumer (1969)

mengandung sejumlah root images atau ide-ide dasar yang dapat diringkas

sebagai berikut (Poloma dalam Hariyanto, 2012:82): (1) masyarakat terdiri

dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui

tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai “organisasi sosial”;

(2) interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan

kegiatan manusia lain, baik interaksi non-simbolik, maupun interaksi

simbolik; (3) objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna

40

lebih menggunakan produk interaksi simbolik; (4) manusia tidak hanya

mengenal objek eksternal, mereka juga dapat melihat dirinya sebagai objek;

(5) tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia;

(6) tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota

kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai

”organisasi sosial dari tindakan-tindakan berbagai manusia”. Sebagian besar

tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang

disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”.

Premis-premis Blumer dapat dijelaskan sebagai berikut: manusia itu

memiliki “kedirian” (self). Ia dapat membuat dirinya sebagai objek dari

tindakan sendiri, atau ia bertindak menuju pada dirinya sebagaimana ia dapat

bertindak menuju kepada tindakan orang lain. Hal ini mendorong individu

untuk membuat indikasi terhadap dirinya. Sedangkan, indikasi kedirian itu

kita sebut dengan keseluruhan kesadaran yang memiliki berbagai tingkatan.

Self dan bentuknya itu dijembatani oleh bahasa yang mendorong manusia

untuk mengabstraksikan sesuatu yang berasal dari lingkungannnya, dan

memberikannya makna-“membuatnya menjadi suatu objek”. Objek bukan

hanya merupakan rangsangan, melainkan ia dibentuk oleh disposisi tindakan

individu (Sindung Haryanto, 2012:68).

Sebagaimana teori interaksionisme simbolik berpandangan bahwa

tindakan manusia ditentukan oleh makna yang ada pada dirinya, makna

tersebut berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap berbagai objek

41

diluar dirinya ketika interaksi berlangsung. Tindakan yang dilakukan

masyarakat Desa Oro-oro Ombo dalam menyikapi pembangunan pariwisata

Kota Batu ditentukan oleh makna yang berasal dari interpretasi masayarakat.

Premis-premis yang dikemukakan Blumer secara implisit terdapat asumsi-

asumsi lain yang menjadi pemandu arah perspektif interaksionisme simbolik,

salah satunya adalah untuk dapat memahami tindakan sosial seseorang.

Peneliti memerlukan metode yang dapat mengungkapkan makna-makna yang

ada dibalik tindakan tersebut. Maka dari itu, metode dari penelitian ini

dimaksudkan agar dapat mengungkap makna sosial pembangunan pariwisata

Kota Batu oleh masyarakat sekitar, sehingga dapat dipahami bagaimana

tindakan sosial masyarakat terkait dengan pembangunan pariwisata tersebut.