bab ii kajian pustaka 2.1 tinjauan mutakhir - … ii... · dg pada software etap dengan melakukan...

27
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mutakhir Penelitian mengenai dampak interkoneksi DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada jaringan distribusi tenaga listrik telah banyak dilakukan dan menunjukkan hasil yang positif terhadap penurunan nilai rugi-rugi daya serta mampu meningkatkan keandalan pada jaringan distribusi. Berikut beberapa ulasan penelitian mengenai dampak DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada jaringan distribusi tenaga listrik: 1. Penelitian mengenai pengaruh beroperasinya DG terhadap penurunan nilai rugi daya telah dilakukan oleh Dion A.P, 2015. Pada penelitian tersebut dilakukan analisis terhadap rugi daya dengan menggunakan metode bagi dua yaitu membagi penyulang menjadi dua bagian untuk memperoleh nilai rugi daya terendah. Hasil penelitian tersebut adalah penurunan nilai rugi- rugi daya pada jaringan distibusi Penyulang Bangli. Sebelum terpasangnya PLTS 1 MWp besarnya rugi daya pada penyulang Bangli adalah 168,7 kW yang kemudian menjadi 107,4 kW setelah terpasangnya PLTS 1 MWp pada penyulang tersebut. 2. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan DG terhadap perbaikan keandalan sistem distribusi telah dilakukan oleh Sunanda, 2013. Pada penelitian tersebut Metode analisis sensitivitas bus digunakan untuk mengetahui lokasi terbaik pemasangan DG dengan parameter peningkatan keandalan pada sistem. Berdasarkan semua studi kasus yang sudah dilakukan, perbaikan indeks keandalan (indeks keandalan sistem maupun indeks keandalan setiap beban) yang paling optimum terjadi ketika DG dipasang pada bus 4. Nilai indeks keandalan sistem pada kondisi tersebut adalah SAIFI sebesar 3,14 pemutusan/pelanggan, SAIDI sebesar 23,2052 jam/pelanggan, CAIDI sebesar 7,39 jam/pemutusan, ASAI = 0,9974 atau 99,74 %, dan ASUI sebesar 0,0026 atau 0,26 %. 5

Upload: hakhue

Post on 03-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Mutakhir

Penelitian mengenai dampak interkoneksi DG terhadap rugi-rugi daya dan

keandalan pada jaringan distribusi tenaga listrik telah banyak dilakukan dan

menunjukkan hasil yang positif terhadap penurunan nilai rugi-rugi daya serta

mampu meningkatkan keandalan pada jaringan distribusi. Berikut beberapa ulasan

penelitian mengenai dampak DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada

jaringan distribusi tenaga listrik:

1. Penelitian mengenai pengaruh beroperasinya DG terhadap penurunan nilai

rugi daya telah dilakukan oleh Dion A.P, 2015. Pada penelitian tersebut

dilakukan analisis terhadap rugi daya dengan menggunakan metode bagi

dua yaitu membagi penyulang menjadi dua bagian untuk memperoleh nilai

rugi daya terendah. Hasil penelitian tersebut adalah penurunan nilai rugi-

rugi daya pada jaringan distibusi Penyulang Bangli. Sebelum terpasangnya

PLTS 1 MWp besarnya rugi daya pada penyulang Bangli adalah 168,7 kW

yang kemudian menjadi 107,4 kW setelah terpasangnya PLTS 1 MWp pada

penyulang tersebut.

2. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan DG terhadap perbaikan

keandalan sistem distribusi telah dilakukan oleh Sunanda, 2013. Pada

penelitian tersebut Metode analisis sensitivitas bus digunakan untuk

mengetahui lokasi terbaik pemasangan DG dengan parameter peningkatan

keandalan pada sistem. Berdasarkan semua studi kasus yang sudah

dilakukan, perbaikan indeks keandalan (indeks keandalan sistem maupun

indeks keandalan setiap beban) yang paling optimum terjadi ketika DG

dipasang pada bus 4. Nilai indeks keandalan sistem pada kondisi tersebut

adalah SAIFI sebesar 3,14 pemutusan/pelanggan, SAIDI sebesar 23,2052

jam/pelanggan, CAIDI sebesar 7,39 jam/pemutusan, ASAI = 0,9974 atau

99,74 %, dan ASUI sebesar 0,0026 atau 0,26 %.

5

6

3. Analisis mengenai dampak pemasangan Distributed Generation terhadap

rugi–rugi daya telah dilakukan oleh Bawan, 2012. Pada penelitian tersebut

dilakukan analisis mengenai dampak pemasangan DG tehadap rugi-rugi

daya. Metode penempatan yang digunakan adalah metode Sectional, dengan

mempersentasekan panjang penyulang dan parameter yang digunakan

adalah rugi-rugi daya pada sistem. Hasil yang diperoleh pada penelitian

tersebut yaitu dengan injeksi pada lokasi bus 77 (65% panjang saluran dari

grid) dengan besar injeksi 85% kapasitas DG, penurunan rugi daya sebesar

dari 240,15 KW menjadi 99,39 KW atau penghematan sebesar 58,61%.

4. Penelitian mengenai pengaruh pemasangan distributed generation (DG)

terhadap nilai susut daya pada sistem distribusi tenaga listrik dilakukan oleh

Supardi, 2012 dengan memodelkan sistem jaringan distribusi 18 bus dan

DG pada software ETAP dengan melakukan load flow simulation pada

berbagai macam kondisi untuk mengetahui nilai susut daya yang dihasilkan.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa penambahan DG pada sistem distribusi

dapat menurunkan nilai susut daya pada sistem distribusi. Dengan

pemasangan DG berkapasitas 250 kW pada bus 25 atau 26 akan

menghasilkan nilai susut daya sistem yang rendah yaitu 117,4 kW.

5. Penelitian mengenai dampak pemasangan pembangkitan distribusi terhadap

tegangan dan losses pada jaringan distribusi telah dilakukan oleh Tjahjono,

2010. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pemasangan

DG sangat berpengaruh pada losses total sistem. Dengan pemasangan DG

dapat meminimalkan losses total pada jaringan distribusi Penyulang III

Keputih Gardu Induk Rawang. Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan

diperoleh losses total sebelum terpasangnya DG pada jaringan adalah 48,7

kW dan losses total setelah terpasangnya DG pada jarigan secara optimal

menjadi 28,6 kW.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian-penelitian tersebut merupakan acuan

yang digunakan dalam tugas akhir / skripsi ini. Perbedaan penelitian-penelitian

tersebut dengan tugas akhir / skripsi ini adalah adanya pengembangan dari DG yang

digunakan serta metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh interkoneksi

7

DG terhadap rugi-rugi daya dan keandalan pada sistem distribusi tenaga listrik.

Pada tugas akhir ini DG yang digunakan adalah sebuah pembangkit listrik tenaga

sampah yang diinterkoneksikan ke sistem distribusi tenaga listrik, sedangkan untuk

mengetahui pengaruh interkoneksi DG maka dilakukan analisis menggunakan Load

Flow Analysis dan Reliability Assessment yang masing-masing digunakan dalam

analisis rugi-rugi daya dan keandalan pada sistem distribusi tenaga listrik.

2.2 Distributed Generation (DG)

DG merupakan pembangkit skala kecil maupun menengah dengan kisaran

daya yang dihasilkan antara 1 kW sampai dengan 10 MW, yang disambungkan pada

sistem distribusi dan biasanya ditempatkan pada bus yang langsung menyuplai

pusat beban dan atau pada gardu induk distribusi. Berikut adalah contoh

interkoneksi DG pada jaringan diribusi tenaga listrik:

Gambar 2.1 Interkoneksi DG pada Jaringan Distribusi Tenaga Listrik

Berdasarkan fungsinya, DG dibedakan atas dua macam yaitu sebagai unit

yang difungsikan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemutusan dari suplai daya

grid atau stand by unit dan difungsikan sebagai unit yang dipasang pada jam-jam

beban puncak atau peaking unit (Sunanda. W, 2013). Karakteristik DG adalah skala

kecil, terdistribusi dan dekat dengan pusat beban (closed to load), terinterkoneksi

dengan sistem distribusi, membatasi pembangunan jaringan transmisi dan memiliki

aliran daya satu arah. Pembangkit ini ramah lingkungan, andal dalam merespon

perubahan beban, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, deregulasi dalam

pasar kelistrikan dan sejumlah keuntungan lainnya (Viawan, 2008). Pada akhir

Gardu

Induk

Distributed Generation

8

1990-an, DG secara luas diselidiki oleh International Council on Large Electric

Systems (CIGRE). CIGRE telah mendefinisikan Distributed Generation sebagai

setiap unit pembangkit dengan kapasitas maksimum 5 MW sampai 10 MW, yang

terhubung ke jaringan distribusi (Bawan, 2011). Selain itu definisi lain juga

diberikan oleh Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) yang

mendefinisikan Distributed Generation sebagai pembangkitan yang menghasilkan

energi dalam kapasitas yang lebih kecil dibandingkan pusat-pusat pembangkit

konvensional dan dapat dipasangkan hampir pada setiap titik sistem tenaga listrik

dengan kapasitas dibawah 10 MW. Berikut adalah daftar penggolongan DG

berdasarkan range daya yang mampu dihasilkannya:

Tabel 2.1 Tipe DG Berdasarkan Range Daya Yang Dihasilkan

Tipe DG Range Daya

Micro DG 1 watt < 5 kW

Small DG 5 kW < 5 MW

Medium DG 5 MW < 50 MW

Large DG < 300 MW (Sumber: Muljono A.B dkk, 2009)

2.2.1 Interkoneksi DG Pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik

Meningkatnya penggunaan unit DG dapat menyebabkan aliran daya

mengalir dari jaringan bertegangan rendah ke jaringan bertegangan menengah.

Aliran daya dua arah ini membutuhkan skema proteksi yang berbeda pada kedua

level tegangan tersebut, dan skema proteksi yang baru tersebut dapat

memungkinkan aliran daya yang terbalik namun dengan tetap menjamin kegagalan

hanya terjadi ketika muncul gangguan di sisi jaringan bertegangan menengah.

Interkoneksi juga terkena dampak jika dilihat dari aspek topologi jaringan. Pada

jaringan radial, tegangan rendah dipasok oleh transformator tegangan menengah

yang relatif lebih mudah untuk dirancang. Akan tetapi, dalam kasus ini profil

tegangan untuk jaringan radial lebih rentan, DG yang memiliki daya di atas rating

daya tertentu dapat mempunyai pengaruh buruk terhadap profil tegangan.

Selain itu, untuk meningkatkan fleksibilitas DG maka dibutuhkan usaha yang lebih

di sisi operasi jaringan.

9

Beroperasinya unit-unit pembangkit tersebar (generator sinkron) dapat

mengubah kestabilan dinamis keseluruhan sistem tenaga, hal ini bergantung pada

seberapa besar unit-unit pembangkit ini mengubah struktur ataupun topologi dari

sistem terinterkoneksi dan titik operasinya. Berdasarkan sudut pandang matematis,

hubungan antara suatu generator dengan jaringan tenaga menghasilkan adanya

pengembangan parameter, sebuah titik operasi yang baru terbentuk dan kestabilan

titik ini harus dipelajari menggunakan perhitungan batasan stabilitas (Muljono A.B.

dkk, 2009).

Teknologi DG micro systems seperti photovoltaic modules, baterai, fuel cell

dan micro hydro turbines yang dikoneksikan menggunakan piranti antarmuka

converter pada jaringan akan memproduksi arus langsung. Piranti daya elektronik

modern memberikan solusi yang berbeda untuk mengkonversi arus DC ke AC,

tegangan dan arus aktif / reaktif sesuai frekuensi yang diperlukan. Power electronic

converters juga memberikan dampak kemungkinan untuk pengintegrasian jaringan.

Converter daya digunakan untuk mengontrol tegangan jaringan distribusi. Hal

tersebut dapat menyebabkan fluktuasi daya dan osilasi pada jaringan distribusi

meskipun kasus tersebut tergolong langka. Banyaknya pilihan dalam

menghubungkan jaringan distribusi dengan DG membuat analisis permasalahan

pengintegrasian menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, setiap jaringan

memerlukan analisis yang lebih rinci. Perkembangan standar industri untuk desain

pemasangan sebuah DG memerlukan standar interkoneksi dari sumber DG untuk

mencapai jaringan operasi yang aman. Standar yang biasa digunakan berdasarkan

rekomendasi IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers) atau ANSI

(American National Standards Institute) (Dion A.P, 2015)

2.2.2 Perkembangan Teknologi Distributed Generation di Indonesia

Infrastruktur tenaga listrik telah ada lebih dari satu abad yang lalu ketika

sebuah generator kecil yang terisolasi digunakan untuk menyuplai beban dengan

jarak yang dekat. Sebagai infrastruktur dengan perkembangan yang cepat,

keuntungan dari sistem yang didasarkan pada pembangkitan terpusat terus

bermunculan. Pembangkitan terpusat dalam sistem interkoneksi memberikan

10

manfaat berupa diversifikasi beban, peningkatan fleksibilitas sumber energi, dan

peningkatan keandalan. Akhir-akhir ini perubahan peraturan, kemajuan teknis, dan

dampak lingkungan telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam aplikasi

DG (IEEE Power & Energy, 2014).

Teknologi DG di Indonesia telah berkembang sejak lama seiring

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 “Tentang Penyediaan

dan Pemanfaatan Energi” yang mengijinkan pembelian terhadap kelebihan energi

listrik (excess power). Perkembangan teknologi DG terus berkembang dengan

memanfaatkan pembangkit listrik skala kecil (mikro) yang dikelola oleh pihak PLN

atau swasta (Independent Power Producer). Sejak tahun 2002, teknologi DG di

Indonesia dikenal sebagai “Pembangkit Listrik Skala Kecil Tersebar” seperti yang

tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2002. Melalui PP Nomor 31

tahun 2009, Pemerintah juga mendorong penggunaan sumber energi baru,

terbarukan dan energi primer yang yang lebih efisien untuk pembangkit tenaga

listrik, dan diberikan kesempatan bagi Pembangkit Skala Kecil Swasta dan

Koperasi (PSKSK) untuk menjual tenaga listriknya kepada PLN. Harga jual tenaga

listrik dari PSKSK adalah harga pada titik interkoneksi dengan Sistem PLN dan

harga jual ini disesuaikan setiap tahunnya berdasarkan perhitungan biaya marginal

Sistem PLN. Dewasa ini, skema pemanfaatan teknologi DG di Indonesia dibagi

menjadi 2 yaitu (Priatna, 2014):

1. Skema IPP (Independent Power Producer)

Skema ini berisi perjanjian yaitu teknologi DG harus mengirim tenaga

listriknya ke sistem PLN secara kontiniu (24 jam). Skema ini biasanya

memiliki kontrak dalam jangka waktu yang lama (minimal 15 tahun) dan

dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama.

2. Skema Pembelian Excess Power (Kelebihan Tenaga Listrik)

Skema ini berisi perjanjian yaitu teknologi DG mengirim kelebihan tenaga

listriknya ke sistem PLN pada waktu-waktu tertentu (biasanya pada Waktu

Beban Puncak). Skema ini biasanya memiliki kontrak jangka pendek (1

tahun) dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama.

11

Perkembangan pembangkit tersebar pada sistem tenaga diperkirakan akan

semakin menyebar. Uni Eropa sebagai pelopor DG memperkirakan penggunaan

pembangkit tersebar / Distributed Generation (DG) 12% dari total pembangkitan

pada tahun 2000, 13-18% pada tahun 2010 dan 15-22% pada tahun 2020. Oleh

karena itu saat ini perhatian mulai bergeser ke arah mempertimbangkan efek

kumulatif pada sistem tenaga akibat adanya level kapasitas DG yang signifikan.

Dapat diperkirakan bahwa DG ukuran besar akan memberikan dampak secara

global. Penelitian-penelitian saat ini lebih memperhatikan dampak pemasangan DG

terhadap stabilitas sistem (Muljono A.B dkk, 2009).

2.3 Sistem Distribusi Tenaga Listrik

Sistem distribusi tenaga listrik merupakan subsistem tenaga listrik yang

berfungsi untuk menyalurkan atau mendistribusikan energi listrik dari sumber

energi listrik besar (Bulk Power Source) sampai ke konsumen. Jadi sistem distribusi

ini merupakan subsistem yang berhubungan langsung dengan pelanggan karena

catu daya pada pusat-pusat beban secara langsung dilayani oleh sistem distribusi

ini. Sistem distribusi tenaga listrik dapat dibagi menjadi 2 berdasarkan besarnya

tegangan yang didistribusikan, yaitu sistem distribusi primer dan sistem distribusi

sekunder. Sedangkan berdasarkan konfigurasi jaringannya, sistem distribusi dibagi

menjadi 3 yaitu sistem distribusi radial, ring/loop, dan spindel (Suswanto D, 2009).

2.3.1 Sistem Distribusi Primer

Sistem distribusi primer atau sering disebut jaringan distribusi tegangan

menengah terletak diantara gardu induk dengan gardu pembagi atau gardu distribusi

yang memiliki tegangan sistem lebih tinggi dari tegangan untuk konsumen. Standar

tegangan untuk jaringan distribusi primer ini adalah 6 kV, 10 kV, dan 20 kV (SPLN

1, 1995). Pada sistem distribusi primer saluran yang digunakan untuk menyalurkan

energi listrik ke konsumen disebut sebagai penyulang (Feeder). Umumnya setiap

penyulang diberi nama sesuai dengan daerah beban yang dilayani oleh penyulang

tersebut. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mengingat dan menandai

jalur-jalur beban yang dilayani oleh penyulang tersebut.

12

2.3.2 Sistem Distribusi Sekunder

Sistem distribusi sekunder atau sering disebut jaringan distribusi tegangan

rendah, merupakan jaringan yang berfungsi sebagai penyalur tenaga listrik dari

gardu-gardu pembagi atau gardu distribusi ke pusat-pusat beban (konsumen tenaga

listrik). Besarnya standar tegangan untuk jaringan ditribusi sekunder ini adalah

127/220 V untuk sistem lama, dan 220/380 V untuk sistem baru, serta 440/550 V

untuk keperluam industri. Besarnya tegangan maksimum yang diizinkan adalah

+5% dan -10% dari tegangan nominalnya (SPLN 1, 1978). Penetapan ini sebanding

dengan besarnya nilai tegangan jatuh (voltage drop) yang telah ditetapkan, bahwa

rugi-rugi daya pada suatu jaringan adalah 15 %. Dengan adanya pembatasan

tersebut stabilitas penyaluran daya ke pusat-pusat beban tidak terganggu (Suswanto

D, 2009).

2.3.3 Sistem Distribusi Radial

Sistem distribusi tipe radial merupakan sebuah sistem yang hanya terhubung

ke satu sumber dan antara titik sumber dan titik bebannya hanya terdapat satu

saluran (line), tidak ada alternatif saluran lainnya. Sistem radial pada jaringan

distribusi merupakan sistem terbuka, yaitu tenaga listrik yang disalurkan secara

radial melalui gardu induk ke konsumen-konsumen dilakukan secara terpisah satu

sama lainnya. Sistem ini merupakan sistem yang paling sederhana diantara sistem

yang lain dan paling murah, sebab sesuai konstruksinya sistem ini menghendaki

sedikit sekali penggunaan material listrik, apalagi jika jarak penyaluran antara

gardu induk ke konsumen tidak terlalu jauh (Suswanto D, 2009). Dinamakan radial

karena saluran ini ditarik secara radial dari suatu titik yang merupakan sumber dari

jaringan itu dan dicabang-cabang ke titik-titik beban yang dilayani. Namun jaringan

yang hanya mempunyai satu pasokan tenaga listrik, jika terjadi gangguan akan

terjadi “black‐out” atau padam pada bagian yang tidak dapat dipasok (Buku I PLN,

2010). Sistem distribusi tipe radial dapat dilihat pada gambar 2.2.

13

Gambar 2.2 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Radial

(Sumber : SPLN 59, 1985)

2.3.4 Sistem Distribusi Ring/Loop

Sistem distribusi ring/loop pada jaringan distribusi merupakan suatu sistem

penyaluran melalui dua atau lebih saluran penyulang atau feeder yang saling

berhubungan membentuk rangkaian berbentuk cincin (Ring). Sistem ini secara

ekonomis menguntungkan, karena gangguan pada jaringan terbatas hanya pada

saluran yang terganggu saja. Sedangkan pada saluran yang lain masih dapat

menyalurkan tenaga listrik dari sumber lain dalam rangkaian yang tidak terganggu.

Sehingga kontinuitas pelayanan sumber tenaga listrik dapat terjamin dengan baik.

Yang perlu diperhatikan pada sistem ini apabila beban yang dilayani bertambah,

maka kapasitas pelayanan untuk sistem rangkaian tertutup ini kondisinya akan lebih

jelek. Tetapi jika digunakan titik sumber (Pembangkit Tenaga Listrik) lebih dari

satu di dalam sistem jaringan ini maka sistem ini akan benyak dipakai, dan akan

menghasilkan kualitas tegangan lebih baik, serta regulasi tegangannya cenderung

kecil (Suswanto D, 2009). Sistem ini cocok untuk digunakan pada daerah beban

yang padat dan memerlukan keandalan tinggi. Sistem distribusi tipe ring / loop

dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Ring / Loop

(Sumber : SPLN 59, 1985)

14

2.3.5 Sistem Distribusi Spindel

Konfigurasi spindel umumnya dipakai pada saluran kabel bawah tanah.

Pada konfigurasi ini dikenal 2 jenis penyulang yaitu pengulang cadangan (standby

atau express feeder) dan penyulang operasi (working feeder). Penyulang cadangan

tidak dibebani dan berfungsi sebagai back‐up supply jika terjadi gangguan pada

penyulang operasi. Untuk konfigurasi 2 penyulang, maka faktor pembebanan hanya

50%. Berdasarkan konsep Spindel jumlah penyulang pada 1 spindel adalah 6

penyulang operasi dan 1 penyulang cadangan sehingga faktor pembebanan

konfigurasi spindel penuh adalah 85 %. Ujung‐ujung penyulang berakhir pada

gardu yang disebut Gardu Hubung dengan kondisi penyulang operasi “NO”

(Normally Open), kecuali penyulang cadangan dengan kondisi “NC” (Normally

Close) Dalam keadaan normal memang express feeder ini sengaja dioperasikan

tanpa beban (Buku I PLN, 2010). Sistem distribusi tipe spindel dapat dilihat pada

gambar 2.4.

Gambar 2.4 Konfigurasi Sistem Distribusi Tipe Spindel

(Sumber : SPLN 59, 1985)

2.4 Saluran Distribusi Tenaga Listrik

Saluran distribusi tenaga listrik merupakan saluran yang digunakan untuk

mendistribusikan energi listrik dari sumber ke konsumen. Sebagai saluran utama

yang digunakan untuk mendistribusikan energi listrik ke konsumen, saluran

distribusi tenaga listrik dituntut agar memiliki rugi-rugi daya yang kecil dan tingkat

keandalan yang tinggi dengan tujuan agar konsumen dapat menggunakan energi

listrik sesuai standar yang telah ditetapkan oleh PLN sebagai perusahaan utama

milik negara yang bertanggungjawab atas penyediaan dan penyaluran energi listrik.

15

Saluran distribusi tenaga listrik atau jaringan tegangan menengah 20 kV biasanya

menggunakan penghantar saluran udara tanpa isolasi, kabel udara pilin / twisted

tegangan menengah, atau kabel bawah tanah tegangan menengah.

2.4.1 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)

Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) merupakan sistem penyaluran

tenaga listrik melalui kawat penghantar tanpa isolasi. Sistem ini merupakan

konstruksi termurah untuk penyaluran tenaga listrik dan paling banyak digunakan

untuk melayani konsumen. Ciri utama jaringan ini adalah penggunaan penghantar

tanpa bahan isolasi yang ditopang dengan isolator pada tiang besi/beton.

Penggunaan penghantar tanpa isolasi harus memperperhatikan faktor yang terkait

dengan keselamatan ketenagalistrikan seperti jarak aman minimum yang harus

dipenuhi penghantar bertegangan 20 kV tersebut. Baik antar phasa, jarak

penghantar dengan bangunan, dengan tanaman maupun dengan jangkauan manusia.

Penggunaan penghantar ini tidak menjamin keamanan terhadap tegangan sentuh

yang dipersyaratkan akan tetapi untuk mengurangi resiko gangguan temporer

(Buku 5 PLN, 2010) .

Gambar 2.5 Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM)

Dalam pengoperasian saluran udara tegangan menengah perlu memper-

timbangkan jenis penghantar yang digunakan dalam saluran tersebut. Penentuan

jenis penghantar sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik mekanis

maupun karakteristik listrik saat aliran daya terjadi. Penghantar saluran distribusi

16

umumya berbahan tembaga atau alumunium dengan inti baja (Alumunium

Conductor, Steel-Reinforced atau ACSR) Jenis-jenis kawat penghantar yang biasa

digunakan antara lain (Dion A.P, 2015):

a. Tembaga dengan konduktivitas 100% (Cu 100%)

b. Tembaga dengan konduktivitas 97,5% (Cu 97,5%)

c. Alumunium dengan konduktivitas 61% (Al 61%)

Penggunaan penghantar berbahan alumunium mulai menggantikan

penggunaan penghantar berbahan tembaga. Untuk memperbesar kuat tarikan dari

pengahantar alumunium, digunakan campuran alumunium (alumunium alloy).

Penghantar alumunium terdiri dari berbagai jenis, seperti gambar sebagai berikut

(Dion A.P, 2015):

a. AAC (All-Alumunium Conductor), yaitu kawat penghantar yang

seluruhnya terbuat dari alumunium.

b. AAAC (All-Alumunium-Alloy Conductor), yaitu kawat penghantar yang

seluruhnya terbuat dari campuran alumunium.

Gambar 2.6 Jenis-jenis Kawat Penghantar Tenaga Listrik

(sumber: Dion A.P, 2015)

2.4.2 Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SKUTM)

Saluran Kabel Udara Tegangan Menengah (SUTM) merupakan sistem

penyaluran tenaga listrik melalui kawat penghantar berisolasi atau kabel.

Penggunaan kabel pada sistem distribusi tegangan menengah 20 kV adalah untuk

meningkatkan keamanan dan keandalan penyaluran tenaga listrik. Penggunaan

penghantar telanjang atau penghantar yang berisolasi setengah pada konstruksi

jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah 20 kV, dapat digantikan dengan

konstruksi penghantar berisolasi penuh yang dipilin (Buku 5 PLN, 2010). Jenis

17

kabel yang biasa digunakan pada saluran kabel udara tegangan menengah adalah

XLPE dan berselubung PVC berpenggantung penghantar baja dengan tegangan

Pengenal 12/20 (24) kV Penghantar jenis ini khusus digunakan untuk SKUTM dan

berisolasi penuh (SPLN 43-5-2, 1995). Berikut merupakan gambar dari kabel yang

digunakan untuk saluran udara tegangan menengah yang ditunjukkan pada gambar

2.7.

Gambar 2.7 Kabel Udara Tegangan Menengah (KUTM)

(Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero, 2010)

2.4.3 Saluran Kabel Tanah Tegangan Menengah (SKTM)

Konstruksi SKTM pada dasarnya memiliki fungsi yang sama seperti SUTM

yaitu menyalurkan tenaga listrik melalui kawat penghantar. Hanya saja penghantar

yang digunakan pada konstruksi ini adalah penghantar berisolasi dan tertanam

didalam tanah. Konstruksi ini memang lebih mahal dibandingkan dengan

konstruksi SUTM akibat konstruksi isolasi penuh pada penghantar per phasa dan

pelindung mekanis yang dipersyaratkan sesuai keamanan ketenagalistrikan. Namun

konstruksi ini memiliki keuntungan seperti tidak terpengaruh oleh cuaca buruk,

bahaya petir, badai, tertimpa pohon dan gangguan lain yang sifatnya eksternal

(Suswanto D, 2009). Penggunaan Saluran Kabel bawah tanah Tegangan Menengah

(SKTM) sebagai jaringan utama pendistribusian tenaga listrik merupakan upaya

utama peningkatan kualitas pendistribusian. Dibandingkan dengan SUTM,

penggunaan SKTM akan memperkecil resiko kegagalan operasi akibat faktor

eksternal dan meningkatkan keamanan ketenagalistrikan (Buku 5 PLN, 2010).

18

Gambar 2.8 Kabel Tanah Tegangan Menengah (KTM)

(Sumber : Buku 5 PT. PLN Persero, 2010)

2.4.4 Impedansi Saluran

Impedansi (Z) terdiri dari Resistansi (R) dan Reaktansi (X). Impedansi

merupakan parameter utama pada suatu saluran transmisi atau distribusi.

Kombinasi antara resistansi dan reaktansi disebut dengan impedansi yang

dinyatakan dalam satuan Ohm dengan lambing Ω. Impedansi pada saluran transmisi

atau distribusi perlu diketahui untuk melakukan analisa sistem, baik untuk analisa

aliran daya, hubung singkat dan proteksi, kestabilan sistem maupun kontrol sistem.

Nilai resistansi dan reaktansi (induktif dan kapasitif) ditentukan oleh jarak antar

saluran dan jumlah serat kawat penghantarnya. Biasanya untuk sistem bertegangan

rendah dan menengah, reaktansi kapasitif dapat diabaikan, karena nilainya relatif

kecil dibandingkan dengan reaktansi induktif (Tanjung A, 2012). Besarnya

impedansi dinyatakan dengan persamaan berikut:

Z = R + jX .......................................................................................... (2.1)

Dimana,

Z = Impedansi saluran (Ohm)

R = Tahanan saluran (Ohm)

jX = Reaktansi (Ohm)

2.4.5 Resistansi Saluran

Setiap konduktor memberi perlawanan atau tahanan terhadap mengalirnya

arus listrik dan hal ini dinamakan resistansi. Resistansi atau tahanan dari suatu

konduktor (kawat penghantar) adalah penyebab terpenting dari rugi daya (power

19

losses) pada saluran transmisi, resistansi yang dimaksud adalah resistansi efektif

yaitu perbandingan rugi daya pada penghantar dengan arus pangkat dua. Resistansi

efektif sama dengan resistansi arus searah (dc), Rdc ini tergantung kepada jenis

bahan kawatnya (Tanjung A, 2012). Besarnya resistansi dinyatakan dengan

persamaan berikut:

R = ρ 𝑙

𝐴................................................................................................ (2.2)

dimana,

R = Resistansi (Ohm)

ρ = Resistivitas atau tahanan jenis penghantar (Ohm)

l = Panjang kawat (m)

A = Luas penampang kawat (mm2)

2.4.6 Reaktansi Penghantar (Reaktansi Induktif)

Konduktor yang dialiri oleh arus listrik dikelilingi oleh garis-garis magnetik

yang berbentuk lingkaran-lingkaran konsentrik. Arus bolak-balik medan yang

berada disekeliling konduktor tidaklah konstan, melainkan akan selalu berubah-

ubah dan akan mengait konduktor itu sendiri maupun dengan konduktor-konduktor

lainnya yang terletak berdekatan. Dengan adanya kaitan-kaitan fluks tersebut maka

saluran akan memiliki sifat induktansi. Reaktansi pada saluran transmisi atau

distribusi terdiri dari reaktansi induktif (jX) dan rektansi kapasitif (-jX). Namun

pada saluran distribusi, reaktansi kapasitif sangat kecil, sehingga biasanya

diabaikan (Tanjung A, 2012). Besarnya reaktansi induktif (X) dinyatakan dengan

persamaan berikut:

X = 2 π f L .......................................................................................... (2.3)

dimana,

f = Frekuensi (Hz)

L = Induktansi (Henry)

X = Reaktansi Induktif (Ohm)

π = 3,14

20

2.5 Analisis Rugi-Rugi Daya Menggunakan Load Flow Analysis

Untuk menilai performansi sistem distribusi daya dan untuk menguji

keefektifan perubahan-perubahan yang direncanakan pada suatu sistem pada tahap

perencanaan, sangat penting untuk dilakukan analisis aliran daya. Studi aliran daya

ini dilakukan untuk menentukan (Adrianti, 2008):

a. Aliran daya aktif dan reaktif pada cabang – cabang rangkaian

b. Tidak ada rangkaian yang mempunyai beban lebih dan tegangan busbar

dalam batas – batas yang dapat diterima.

c. Pengaruh penambahan atau perubahan pada suatu sistem.

Dalam perencanaan pengembangan sistem untuk masa yang akan datang,

studi aliran daya sangat penting dilakukan. Hal tersebut dikarenakan dimasa yang

akan datang tidak diketahui secara pasti kondisi yang akan dianalisis, maka dalam

analisis aliran daya dapat dilakukan asumsi terhadap pengembangan sistem tenaga

listrik. Hal penting yang dapat diperoleh dari studi aliran daya adalah besar dan

sudut fasa tegangan pada setiap bus dan daya nyata serta daya reaktif yang mengalir

dalam setiap saluran.

Hilang daya (rugi daya) utama pada saluran adalah besarnya daya yang

hilang pada saluran, yang besarnya sama dengan daya yang disalurkan dari sumber

daya yang dikurangi besarnya daya yang diterima pada perlengkapan hubungan

bagi utama. Rugi daya dipengaruhi oleh tahanan dan besarnya arus yang mengalir

pada saluran, hingga timbul rugi energi berupa panas yang hilang pada saluran

(Tanjung A, 2012). Terjadinya rugi rugi daya pada sistem kelistrikan merupakan

salah satu acuan untuk mengetahui efesien atau tidaknya sistem kelistrikan tersebut

dalam beroperasi. Rugi-rugi daya selalu diukur dalam kurun waktu tertentu, dan

idealnya dihitung dalam kurun waktu satu tahun. Perhitungan rugi-rugi daya

dilakukan dengan menghitung selisih antara daya yang dibangkitkan dengan daya

yang terjual. Karena itulah ukuran efisiensi pada sistem ketenagalistrikan sangat

berkaitan dengan rugi-rugi daya yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, sebab

rugi-rugi daya sangat berpengaruh dengan jumlah daya yang hilang dengan daya

yang dibangkitkan.

21

2.5.1 Klasifikasi Bus

Untuk mengetahui besarnya nilai aliran daya dan rugi-rugi daya dalam

setiap saluran distribusi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan besarnya

(magnitude) tegangan dan sudut fasa tegangan pada setiap bus dalam sistem tenaga

listrik yang dianalisis. Terdapat 4 (empat) parameter atau besaran pada setiap bus

dalam sistem tenaga listrik, meliputi (Sulasno, 1993):

1. Injeksi netto daya nyata (net real power injected), mempunyai simbol “P”

dengan satuan Mega Watt (MW).

2. Injeksi netto daya semu (net reactive power injected), memiliki simbol ”Q”

dengan satuan Mega Volt Ampere Reaktif (MVAR).

3. Besaran (magnitude) tegangan, mempunyai simbol “V” dengan satuan kilo

Volt (kV).

4. Sudut fasa tegangan, mempunyai simbol “” dengan satuan radian.

Dalam analisis aliran daya pada setiap bus sistem tenaga listrik, maka harus

diketahui dua buah besaran dari empat besaran yang terdapat pada setiap bus sistem

tenaga listrik dan bergantung pada parameter–parameter yang telah diketahui

sebelumnya. Dengan demikian setiap bus dalam sistem tenaga listrik dapat

diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu (Sulasno, 1993):

1. Bus Beban (Load Bus)

Load bus biasanya disebut bus P,Q, karena besaran-besaran yang diketahui

adalah P dan Q, sedangkan besaran V dan tidak diketahui.

2. Bus Kontrol (Generator Bus)

Generator bus biasanya disebut bus P, V, karena hanya besaran P dan V saja

yang diketahui, sedangkan besaran dan Q tidak diketahui.

3. Bus Ayun (Slack Bus)

Besaran-besaran yang diketahui dalam slack bus adalah V dan , dan

biasanya bernilai nol ( = 0). Selama perhitungan aliran daya, besaran V

dan akan tetap dan tidak berubah. Slack bus akan selalu memiliki

generator dengan kapasitas daya yang dimiliki paling besar.

22

2.5.2 Persamaan Aliran Daya

Persamaan umum analisis aliran daya mengenai arus yang mengalir dari

suatu bus ke bus yang lain dalam sistem ketenagalistrikan (Pai,1979) :

I1 = Y11 V1 + Y12 V2 + Y13 V3 + … + Y1nVn

I2 = Y21 V1 + Y22 V2 + Y23 V3 + … + Y2n Vn

I3 = Y31 V1 + Y32 V2 + Y33 V3 + … + Y3n Vn ..................................... (2.4)

In = Yn1 V1 + Yn2 V2 + Yn3 V3 + … + Ynn Vn

Secara sedehana dapat ditulis sebagai berikut:

𝐼𝑝 = ∑ 𝑌𝑝𝑞 𝑉𝑞 ; 𝑝 = 1,2, … , 𝑛

𝑛

𝑞=1

Daya kompleks pada bus p tersebut adalah :

𝑆𝑝 = 𝑝𝑝 + 𝑗𝑄𝑝 = 𝑉𝑝𝐼𝑝∗ ..................................................................... (2.6)

dengan memasukkan Persamaan (2.5) ke Persamaan (2.6) akan menghasilkan:

𝑃𝑝 + 𝑗𝑄𝑝 = 𝑉𝑝 ∑ 𝑌𝑝𝑞∗ 𝑉𝑞

𝑛

𝑞=1

Apabila bagian real dan imajiner dari Persamaan (2.7) dipisahkan maka akan

diperoleh :

𝑃𝑝 = 𝑅𝑒 [𝑉𝑝 ∑ 𝑌𝑝𝑞∗ 𝑉𝑞

𝑛

𝑞=1

]

𝑄𝑝 = 𝐼𝑚 [𝑉𝑝 ∑ 𝑌𝑝𝑞∗ 𝑉𝑞

𝑛

𝑞=1

]

........................................................... (2.5)

.................................................................... (2.7)

.................................................................... (2.8)

.................................................................... (2.9)

23

Besaran daya pada sistem tenaga listrik juga dapat dinyatakan dalam 3 (tiga) bentuk

umum, antara lain (El-Hawary, 1982):

a. Bentuk Siku-siku (Rectangular Form).

b. Bentuk Kutub (Polar Form)

c. Bentuk Hibrid (Hybrid Form), yang merupakan perpaduan dari bentuk

siku-siku dan bentuk polar.

Jika tegangan dinyatakan dalam bentuk polar maka diperoleh persamaan:

Vp = Vp p ..................................................................................... (2.10)

Vq = Vq q .................................................................................... (2.11)

Jika impedansi dinyatakan dalam bentuk siku-siku maka diperoleh persamaan:

Ypq = Gpq + jBpq .................................................................................. (2.12)

sehingga persamaan daya pada Persamaan (2.8) dan (2.9) akan menjadi:

𝑃𝑝 = |𝑉𝑝| ∑|𝑉𝑞|[𝐺𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) + 𝐵𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑛

𝑞=1

𝑄𝑝 = |𝑉𝑝| ∑|𝑉𝑞|[𝐺𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) − 𝐵𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑛

𝑞=1

Analisis aliran daya pada saluran sistem tenaga listrik dapat ditentukan dengan

persamaan aliran daya kompleks saluran seperti berikut:

𝑃𝑝𝑞 + 𝑗𝑄𝑝𝑞 = 𝑉𝑝 𝐼𝑝𝑞∗ .......................................................................... (2.15)

Arus yang mengalir pada bus kirim (p) dari suatu saluran p ke q adalah :

𝐼𝑝𝑞 = (𝑉𝑝 − 𝑉𝑞)𝑌𝑝𝑞 + 𝑉𝑝𝑦𝑝𝑞

2 ............................................................. (2.16)

dengan :

ypq = Admitansi saluran

𝑦𝑝𝑞′ = Admitansi line charging total

𝑉𝑝𝑦𝑝𝑞

2 = Arus yang mengalir pada bus p akibat adanya line charging.

.............. (2.13)

............... (2.14)

24

Sehingga dapat diketahui daya yang mengalir dari bus p ke bus q adalah:

𝑆𝑝𝑞 = 𝑃𝑝𝑞 + 𝑗𝑄𝑝𝑞 = 𝑉𝑝𝐼𝑝𝑞∗ ................................................................ (2.17)

Sedangkan arus yang mengalir dari bus q ke bus p adalah :

𝐼𝑝𝑞 = (𝑉𝑞 − 𝑉𝑝)𝑌𝑝𝑞 + 𝑉𝑞𝑦𝑝𝑞

2 .............................................................. (2.18)

Jadi daya yang mengalir dari bus q ke bus p adalah :

𝑆𝑞𝑝 = 𝑃𝑞𝑝 + 𝑗 𝑄𝑞𝑝 = 𝑉𝑞𝐼𝑞𝑝 ............................................................... (2.19)

Dari persamaan persamaan tersebut dapat diketahui untuk rugi-rugi daya

pada saluran p-q (SLpq) menjadi :

SLpq = Spq + Sqp.................................................................................. (2.20)

2.5.3 Penerapan Metode Newton Raphson Pada Analisis Aliran Daya

Untuk menyelesaikan studi aliran daya, metode yang sering digunakan

adalah metode Gauss-Seidel dan Newton Raphson. Metode Newton Raphson lebih

cepat mencapai nilai konvergen sehingga proses iterasi yang berlangsung lebih

sedikit namun setiap iterasinya memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Karena

jumlah iterasinya lebih sedikit maka secara keseluruhan waktu yang diperlukan

lebih singkat dalam proses penyelesaian studi aliran daya. Metode Newton Raphson

pada dasarnya merupakan metode Gauss-Seidel yang telah diperluas dan

disempurnakan. Metode ini dapat mengatasi kelemahan dari metode Gauss Seidel

antara lain dalam hal ketelitian dan jumlah iterasi (Sulasno, 1993). Dalam

penyelesaian analisis iterasi pada metode Newton Raphson, nilai dari daya aktif (Pp)

dan daya reaktif (Qp) yang telah dihitung harus dibandingkan dengan nilai yang

ditetapkan, dengan menggunakan persamaan analisis sebagai berikut (Pai,1979) :

Pp = Pp spec – Pp calc

∆𝑃𝑝 = 𝑃𝑝𝑠𝑝𝑒𝑐

− |𝑉𝑝| ∑|𝑉𝑞|[𝐺𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) + 𝐵𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑛

𝑞=1

p = 1,2,…,n ; p s

........... (2.21)

25

Qp = Qpspec – Qpcalc

∆𝑃𝑝 = 𝑃𝑝𝑠𝑝𝑒𝑐

− |𝑉𝑝| ∑|𝑉𝑞|[𝐺𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) + 𝐵𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑛

𝑞=1

p = 1,2,…,n ; p s ; p g

Superskrip spec merupakan yang ditetapkan (specified) dan calc merupakan yang

dihitung (calculated). Analisis proses iterasi ini berlangsung hingga perubahan

daya aktif (Pp) dan perubahan daya reaktif (Qp) tersebut telah mencapai nilai

konvergen ( ) yang telah ditentukan. Umumnya nilai konvergen yang ditentukan

berkisaran antara 0,01 sampai 0,0001 (Sulasno, 1993).

Matrik Jacobian terdiri dari turunan parsial dari P dan Q terhadap masing-

masing variabel, besar dan sudut fasa tegangan. Nilai besar dan sudut fasa tegangan

yang diasumsikan serta daya aktif dan daya reaktif yang dihitung digunakan untuk

mendapatkan elemen-elemen Jacobian. Setelah itu akan diperoleh harga dari

perubahan besar tegangan, ∆|𝑉|

|𝑉|, dan perubahan sudut fasa tegangan, . Secara

umum persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Pai, 1979):

[∆𝑃∆𝑄

](𝑘)

= [𝐻 𝑁𝐽 𝐿

](𝑘)

[

∆𝛿∆|𝑉|

|𝑉|]

(𝑘)

Submatrik H, N, J, L menunjukkan turunan parsial dari Persamaan (2.13) dan (2.14)

terhadap V dan , dengan matrik yang disebut matrik Jacobian. Nilai dari masing-

masing elemen Jacobian sebagai berikut (Pai, 1979):

a. Untuk p q

𝐻𝑝𝑞 =𝛿𝑃𝑝

𝛿 𝛿𝑞= |𝑉𝑝||𝑉𝑝|[𝐺𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) − 𝐵𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑁𝑝𝑞 =𝛿𝑃𝑝

𝛿|𝑉𝑞|= |𝑉𝑝||𝑉𝑝|[𝐺𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) + 𝐵𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

........... (2.22)

............................................................... (2.23)

.......... (2.24)

26

𝐽𝑝𝑞 =𝛿𝑄𝑝

𝛿 𝛿𝑞= −|𝑉𝑝||𝑉𝑝|[𝐺𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) + 𝐵𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝐿𝑝𝑞 =𝛿𝑃𝑝

𝛿|𝑉𝑞|= |𝑉𝑝||𝑉𝑝|[𝐺𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) − 𝐵𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

b. Untuk p = q

𝐻𝑝𝑝 =𝛿 𝑃𝑝

𝛿 𝛿𝑝= −𝑄𝑝 − 𝐵𝑝𝑝|𝑉𝑝|

2

𝑁𝑝𝑝 =𝛿 𝑃𝑝

𝛿 |𝑉𝑝|= 𝑃𝑝 + 𝐺𝑝𝑝|𝑉𝑝|

2

𝐽𝑝𝑝 =𝛿 𝑄𝑝

𝛿 𝛿𝑝= 𝑃𝑝 − 𝐺𝑝𝑝|𝑉𝑝|

2

𝐻𝑝𝑝 =𝛿 𝑃𝑝

𝛿 𝛿𝑝= 𝑄𝑝 − 𝐵𝑝𝑝|𝑉𝑝|

2

Dengan,

𝑃𝑝 = |𝑉𝑝| ∑|𝑉𝑞|[𝐺𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) + 𝐵𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑛

𝑞=1

𝑄𝑝 = |𝑉𝑝| ∑|𝑉𝑞|[𝐺𝑝𝑞 sin(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞) − 𝐵𝑝𝑞 cos(𝛿𝑝 − 𝛿𝑞)]

𝑛

𝑞=1

Setelah seluruh persamaan diselesaikan, maka harga dari magnitude

tegangan dan sudut fasa tegangan yang baru dapat diperoleh dengan menambahkan

nilai koreksi magnitude tegangan dan sudut fasa tegangan dengan nilai sebelumnya

(Pai, 1979):

𝛿𝑘+1 = 𝛿𝑘 + ∆𝛿𝑘

|𝑉|(𝑘+1) = |𝑉|𝑘 + ∆|𝑉|𝑘 = |𝑉|𝑘 (1 + ∆|𝑉|𝑘

|𝑉|𝑘 )

............................................................... (2.25)

............................................................................. (2.28)

....................................... (2.29)

......................... (2.26)

......................... (2.27)

27

2.6 Keandalan Sistem Distribusi Tenaga Listrik

Keandalan (reliability) didefinisikan sebagai peluang suatu komponen atau

sistem memenuhi fungsi yang dibutuhkan dalam periode waktu yang diberikan

selama digunakan dalam kondisi beroperasi. Dengan kata lain keandalan berarti

peluang tidak terjadi kegagalan selama beroperasi. Sistem yang mempunyai

keandalan tinggi akan mampu memberikan tenaga listrik setiap saat dibutuhkan,

sedangkan sistem mempunyai keandalan rendah bila tingkat ketersediaan

tenaganya rendah yaitu sering padam. Adapun macam – macam tingkatan

keandalan dalam pelayanan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal antara lain (Hartati

dkk, 2007):

1. Keandalan sistem yang tinggi (High Reliability System).

Pada kondisi normal, sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk

menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik.

Dan dalam keadaan darurat bila terjadi gangguan pada jaringan, maka

sistem ini tentu saja diperlukan beberapa peralatan dan pengaman yang

cukup banyak untuk menghindarkan adanya berbagai macam ganngguan

pada sistem.

2. Keandalan sistem yang menengah (Medium Reliability System).

Pada kondisi normal sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk

menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik.

Dan dalam keadaan darurat bila terjadi gangguan pada jaringan, maka

sistem tersebut masih bisa melayani sebagian dari beban meskipun dalam

kondisi beban puncak. Jadi dalam sistem ini diperlukan peralatan yang

cukup banyak untuk mengatasi serta menanggulangi gangguan – gangguan

tersebut.

3. Keandalan sistem yang rendah (Low Reliability System).

Pada kondisi normal, sistem akan memberikan kapasitas yang cukup untuk

menyediakan daya pada beban puncak dengan variasi tegangan yang baik.

Tetapi bila terjadi suatu gangguan pada jaringan, sistem sama sekali tidak

bisa melayani beban tersebut. Jumlah pengaman pada sistem ini lebih

sedikit dibandingkan pada sistem dengan keandalan tinggi.

28

Kontinyuitas pelayanan, penyaluran jaringan distribusi tergantung pada

jenis dan macam sarana penyalur dan peralatan pengaman. Sarana penyalur

(jaringan distribusi) mempunyai tingkat kontinyuitas yang tergantung pada susunan

saluran dan cara pengaturan sistem operasinya, yang pada hakekatnya direncanakan

dan dipilih untuk memenuh kebutuhan dan sifat beban. Tingkat kontinyuitas

pelayanan dari sarana penyalur disusun berdasarkan lamanya upaya menghidupkan

kembali suplai setelah pemutusan karena gangguan.

2.6.1 Indeks Keandalan

Indeks keandalan merupakan suatu indikator keandalan yang dinyatakan

dalam suatu besaran probabilitas. Sejumlah indeks sudah dikembangkan untuk

menyediakan suatu kerangka untuk mengevaluasi keandalan sistem tenaga.

Evaluasi keandalan sistem distribusi terdiri dari indeks titik beban dan indeks sistem

yang dipakai untuk memperoleh pengertian yang mendalam kedalam keseluruhan

capaian. Untuk menghitung indeks keandalan titik beban dan indeks keandalan

sistem yang biasanya digunakan meliputi angka keluar (outage number) dan lama

perbaikan (repair duration) dari masing-masing komponen (Hartati dkk, 2007).

1. Keluar (Outage) adalah : Keadaaan suatu komponen tidak dapat berfungsi

sebagaimana mestinya, diakibatkan karena beberapa peristiwa yang

berhubungan dengan komponen tersebut (SPLN 59, 1985). Angka keluar

adalah angka perkiraan dari suatu komponen yang mengalami kegagalan

beroperasi per satuan waktu (umumnya pertahun). Suatu Keluar (Outage)

dapat atau tidak dapat menyebabkan pemadaman, hal ini masih tergantung

pada konfigurasi dari sistem

2. Lama Keluar (Outage Duration): Periode dari saat permulaan komponen

mengalami keluar sampai saat komponen dapat dioperasikan kembali sesuai

dengan fungsinya (SPLN 59, 1985). Standar perkiraan angka keluar dan

waktu perbaikan dari komponen yang biasa dipakai adalah sesuai standar

SPLN 59 tahun 1985.

29

2.6.1.1 SAIFI (System Average Interruption Frequency Index)

SAIFI (system average interruption frequency index) adalah indeks

frekuensi gangguan sistem rata-rata setiap tahun. Menginformasikan tentang

frekuensi gangguan permanen rata-rata setiap konsumen dalam suatu area yang

dievaluasi.

SAIFI = Jumlah Total Banyaknya Pemadaman Pada Pelanggan

Jumlah Total Pelanggan Yang Dilayani

Atau dapat ditulis dengan persamaan berikut (Billinton, 1996):

SAIFI = ∑ λ𝑖N𝑖

∑ N𝑖 .............................................................................. (2.30)

Dengan :

λi = angka kegagalan rata-rata/frekuensi padam

Ni = jumlah pelanggan yang dilayani pada titik beban i

2.6.1.2 SAIDI (System Average Interruption Duration Index)

SAIDI adalah indeks keandalan yang merupakan jumlah dari perkalian lama

padam dan pelanggan padam dibagi dengan jumlah pelanggan yang dilayani.

Dengan indeks ini, gambaran mengenai lama pemadaman rata-rata yang

diakibatkan oleh gangguan pada bagian-bagian dari sistem dapat dievaluasi

(Billinton, 1996).

SAIDI = Jumlah Total Durasi Pemadaman Pada Pelanggan

Jumlah Total Pelanggan Yang Dilayani

Atau dapat ditulis dengan persamaan berikut (Billinton, 1996):

SAIDI = ∑ U𝑖N𝑖

∑ N𝑖 ................................................................................ (2.31)

Dengan :

Ui = waktu padam pelanggan dalam periode tertentu (jam/tahun)

Ni = jumlah pelanggan yang dilayani pada titik beban i

30

2.6.1.3 CAIDI (Customer Average Interruption Duration Index)

Indeks ini menggambarkan lama waktu (durasi) rata-rata setiap

pemadaman. Indeks ini merupakan perbandingan antara SAIDI dan SAIFI yang

dirumuskan dengan (Billinton, 1996):

CAIDI = Jumlah Total Durasi Pemadaman Pada Pelanggan

Jumlah Total Banyaknya Pemadaman Pada Pelanggan

atau

CAIDI = ∑ U𝑖N𝑖

∑ λ𝑖N𝑖 ................................................................................ (2.32)

Besarnya nilai CAIDI ini dapat digambarkan sebagai besarnya durasi

pemadaman sistem distribusi keseluruhan ditinjau dari sisi pelanggan.

2.6.1.4 ASAI (Average Service Availability Index)

Indeks ini menggambarkan tingkat ketersediaan layanan (Suplai daya) yang

diterima oleh pelanggan. Indeks ini dirumuskan dengan (Billinton, 1996):

ASAI = Jumlah Durasi Ketersediaan Suplai Daya ke Pelanggan

Jumlah Durasi Suplai Daya Yang Diperlukan Pelanggan

atau

ASAI = ∑ N𝑖 𝑥 8760−∑ U𝑖N𝑖

∑ N𝑖𝑥8760 .......................................................... (2.33)

Dengan 8760 adalah total jumlah jam dalam satu tahun kalender.

2.6.1.5 ASUI (Average Service Unavailability Index)

Indeks ini menggambarkan ketidaktersediaan layanan (Suplai daya) yang

diterima oleh pelanggan. Indeks ini dirumuskan dengan (Billinton, 1996):

ASUI = Jumlah Durasi Ketidaktersediaan Suplai Daya ke Pelanggan

Jumlah Durasi Suplai Daya Yang Diperlukan Pelanggan

atau

ASUI = ∑ U𝑖N𝑖

∑ N𝑖𝑥8760 .......................................................................... (2.34)

Dengan 8760 adalah total jumlah jam dalam satu tahun kalender.

31

Informasi dari indeks kegagalan memiliki kegunaan yang seperti berikut ini

(Priatna, 2014):

1. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan

pelanggan pada sistem kelistrikan secara keseluruhan.

2. Untuk mengidentifikasi subsistem dengan capaian dibawah standar dan

untuk memastikan penyebabnya.

3. Melengkapi manajemen dengan data capaian mengenai mutu layanan

pelanggan untuk masing-masing daerah operasi.

4. Menyediakan historisis keandalan dari sirkit individu untuk diskusi dengan

pelanggan sekarang atau calon pelanggan.

5. Memenuhi syarat pelaporan pengaturan.

6. Menyediakan suatu basis untuk menetapkan ukuran-ukuran kesinambungan

layanan.

7. Menyediakan data capaian yang penting bagi suatu pendekatan probabilistik

untuk studi keandalan sistem distribusi.

Standar nilai untuk indeks keandalan sistem distribusi tenaga listrik

ditunjukkan oleh tabel berikut :

Tabel 2.2 Standar Indeks Keandalan Sistem Spindel

Indeks Standar

SAIFI 1,7 kali/tahun

SAIDI 4,8 jam/tahun (Sumber: SPLN 68-2 : 1986)