bab ii kajian pustaka 2.1 respon imunitas dan seluler

69
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler Pasca Cedera Saraf Tepi Cedera saraf tepi memprovokasi sebuah reaksi pada sel-sel imun perifer dan sel glia di beberapa tempat berbeda: makrofag dan sel Schwann memfasilitasi degenerasi Wallerian dari bagian distal serabut saraf yang mengalami cedera. Respon imunitas pada GRD dilaksanakan oleh makrofag, limfosit dan sel-sel satelit (Gambar 2.1a). Gambar 2.1 Respon imunitas dan sel glia sebagai respon dari cedera saraf tepi (Scholz & Woolf, 2007).

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Respon Imunitas dan Seluler Pasca Cedera Saraf Tepi

Cedera saraf tepi memprovokasi sebuah reaksi pada sel-sel imun perifer dan

sel glia di beberapa tempat berbeda: makrofag dan sel Schwann memfasilitasi

degenerasi Wallerian dari bagian distal serabut saraf yang mengalami cedera.

Respon imunitas pada GRD dilaksanakan oleh makrofag, limfosit dan sel-sel satelit

(Gambar 2.1a).

Gambar 2.1

Respon imunitas dan sel glia sebagai respon dari cedera saraf tepi

(Scholz & Woolf, 2007).

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

15

Makrofag, limfosit T dan sel mast menuju lokasi lesi dan menyebar ke

seluruh potongan distal dari serabut saraf yang mengalami cedera. Sel Schwann

mulai berkembang biak, berdifferensiasi dan membentuk band of Bungner, yang

berfungsi sebagai tabung pembimbing regenerasi akson (gambar 2.1b).

Makrofag yang berasal dari monosit yang bersirkulasi dan mikroglia yang

merupakan fagosit mononuclear pada SSP memiliki beberapa kesamaan dalam

kemampuan imunologi dan fungsional (Streit, 2002; Scholz & Woolf, 2007).

Gambar 2.2

Respon imunitas dan sel glia sebagai respon dari cedera saraf tepi pada GRD dan

medula spinalis (Scholz & Woolf, 2007).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

16

Makrofag dan beberapa limfosit T yang berada di GRD mengalami

peningkatan jumlah yang tajam setelah cedera. Makrofag juga bergerak dalam

selubung yang dibentuk oleh sel-sel satelit di sekitar tubuh sel neuron sensorik

primer. Sel-sel satelit mulai berkembang biak dan meningkatkan ekspresi glial

fibrillary acidic protein (GFAP). Satu minggu setelah cedera saraf, kelompok padat

sel mikroglia terbentuk pada kornu ventralis medula spinalis, mengelilingi badan

sel dari neuron-neuron motorik. Aktivasi mikroglia yang masif juga dijumpai pada

kornu dorsalis yang merupakan area proyeksi terminal sentral dari serabut-serabut

aferen primer yang mengalami cedera (Gambar 2.2). Dapat disimpulkan, terjadinya

nyeri neuropatik tidak hanya melibatkan jalur neuronal saja tetapi juga sel Schwan,

sel satelit pada GRD, komponen imunitas perifer, mikroglia dan astrosit medula

spinalis (Scholz & Woolf, 2007).

2.1.1 A ktivasi Kaskade Inflamasi melalui Jalur Faktor Transkripsi

Inflamasi dapat terjadi pada saraf tepi, ganglion radiks dorsal, hingga

medula spinalis. Inflamasi lokal yang terjadi akan menimbulkan perubahan pada 4

komponen inflamasi, yakni pemicu (inducer), sensor, mediator, dan efek mediator

(Huang&Glass, 2010). Pemicu inflamasi bersifat luas, dapat berupa materi endogen

(misal pada autoimun) maupun eksogen (misal pada infeksi virus, bakteri, parasit,

maupun protein pemicu reaksi alergi). Pemicu inflamasi kemudian berinteraksi

dengan sensor yang dalam hal ini adalah reseptor. Terdapat berbagai tipe reseptor

yang berkaitan langsung dengan proses inflamasi, namun sebagian besar

melibatkan reseptor toll-like (toll-like receptor/TLR) pada proses inflamasi yang

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

17

dipicu oleh infeksi virus, bakteri, jamur, dan parasit, serta reseptor nod-like (nod-

like receptor/NLR) yang berperan dalam pengenalan terhadap patogen somatik

(pathogen-associated molecular pattern/PAMP) dan material sitoplasmik yang

terkandung di dalamnya (damage-associated molecular patterns/DAMP)

(Creagh&O’Neill, 2006). Pemicu inflamasi diketahui menyebabkan peningkatan

sekresi dua sitokin pro-inflamasi utama, yakni TNF-α dan IL-1β yang kemudian

berinteraksi dengan TLR dan mengaktifkan jalur pensinyalan inflamasi melalui

regulasi faktor transkripsi (Chen et al., 2007). TLR merupakan reseptor

transmembran yang mampu mengenali pola molekuler patogen (pathogen-

associated molecular pattern/PAMP) melalui ulangan kaya leusin (leucine-rich

repeats/LRR) yang terdapat pada domain ekstraselulernya (Afsar et al., 2015).

Lebih lanjut, domain sitosolik TLR memiliki Toll/IL-1 reseptor (TIR) yang dapat

membentuk multimer dengan molekul adaptor seperti myeloid differentiation

primary response protein (MyD)88 (Zoccal et al., 2014). Setelah pembentukan

kompleks TLR-TIR-MyD88 tersebut, domain kematian (death domain/DD)

MyD88 merekrut kinase terasosiasi reseptor IL-1 (IRAK1, IRAK2, dan IRAK4)

melalui interaksi DD-DD (Afsar et al., 2015). IRAK4 kemudian terfosforilasi,

berdisosiasi dari kompleksnya dan berikatan dengan reseptor TNF terasosiasi faktor

6 (TRAF6). Interaksi tersebut memicu transkripsi gen inflamasi melalui aktivasi

faktor transkripsi (mediator).

Faktor transkripsi yang pertama kali ditemukan dan dipelajari secara

ekstensif pada proses inflamasi adalah nuclear factor κ (kappa)-light-chain-

enhancer of activated B cells (NF-κB). NF-κB merupakan faktor transkripsi yang

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

18

dapat teraktivasi secara spontan dan responsif terhadap berbagai pemicu inflamasi,

yang aktivitasnya diregulasi oleh mekanisme pos-translasi dan tidak bergantung

pada sintesis protein baru (Ghosh et al., 1998). Famili NF-κB pada mamalia

meliputi p65/RelA, RelB, c-Rel, p50, dan p52. NF-κB membentuk homo-

/heterodimer stabil melalui area rel homolog (rel homology region/RHR)

(Vallabhapurapu&Karin, 2009). Jalur persinyalan NF-κB diregulasi secara ketat

oleh famili ulangan ankirin yang mengandung protein inhibisi atau prekursor p50

dan p52 yang masing-masing disebut p105 dan p100 (Gambar 2.3). Pada sel yang

sedang beristirahat, NF-κB tidak aktif dan tertahan di sitoplasma melalui ikatannya

dengan protein IκB (Ahmed, 2011). Namun setelah stimulasi, dimer NF-κB

berdisosiasi dari protein IκB melalui mekanisme fosforilasi-ubikuitinasi dan

degradasi yang dimediasi oleh proteasome atau melalui pemotongan proteolitik

pada domain ulangan ankirin p105 dan p100. NF-κB yang telah berdisosiasi dari

IκB, kemudian bertranslokasi ke nukleus untuk mengaktifkan ekspresi gen. Lebih

lanjut, jalur persinyalan yang memicu disosiasi NF-κB juga dimediasi oleh

kompleks IκB kinase yang mengandung 2 subunit katalitik (IKKα dan IKKβ)

(Lawrence, 2009). Aktivasi IKKβ memicu jalur persinyalan NF-κB kanonikal yang

melibatkan translokasi kompleks p50-RelA, sedangkan jalur persinyalan NF-κB

non-kanonikal diinisiasi oleh kompleks p52/RelB dan bergantung pada p100 (Sun,

2012).

Faktor transkripsi yang berikatan langsung dengan motif DNA pada gen-

gen regulator inflamasi selanjutnya akan memicu aktivasi dan upregulasi ekspresi

gen tersebut, yang disertai dengan peningkatan sintesis dan sekresi berbagai sitokin

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

19

dan kemokin yang berperan sebagai mediator inflamasi (efek mediator). Berbagai

tipe sel terdampak, termasuk (namun tidak terbatas pada) astrosit, mikroglia, sel

mast, dan sel dendritik.

Gambar 2.3

Mekanisme aktivasi jalur persinyalan faktor transkripsi NF-κB dalam proses

inflamasi (Lawrence, 2009).

2.1.2 Respon Seluler Terhadap Inflamasi

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, aktivasi jalur persinyalan berdasarkan

faktor transkripsi seperti NF-κB akan berikatan langsung dengan motif DNA pada

gen-gen regulator inflamasi dan menginisiasi upregulasi ekspresi gen, proses

transkripsi, translasi, dan modifikasi pos-translasi yang hasil akhirnya akan

meningkatkan sintesis dan sekresi berbagai sitokin dan kemokin pro-inflamasi.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

20

Aktivasi jalur inflamasi ini terjadi pada berbagai tipe sel, namun terutama pada

derivat monosit (termasuk makrofag, mikroglia, dan astrosit), sel mast, dan sel

dendritik.

Aktivasi jalur persinyalan NF-κB pada makrofag diketahui dapat

meningkatkan produksi dan sekresi TNF-α, IL-1, IL-8, IL-6, dan radikal bebas

seperti reactive nitrogen species (RNI) dan reactive oxygen species (ROI)

(Gordon&Taylor, 2005). Makrofag yang teraktivasi dapat memproduksi IL-1, IL-

6, dan IL-23 dan berperan penting dalam perkembangan sel TH17

(Duque&Descoteaux, 2014). Sel TH17 diketahui berperan signifikan dalam

rekrutmen sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke jaringan yang mengalami inflamasi.

Sitokin proinflamasi dan kemokin yang disekresikan kemudian akan memicu

autostimulasi (mekanisme autokrin) yang akan meningkatkan aktivitas siklus

aktivasi tersebut. Selain itu, berbagai sitokin proinflamasi tersebut juga

mengaktifkan sistem imunitas adaptif yang ditandai dengan rekrutmen dan aktivasi

sel T dan sel B. Lebih lanjut, makrofag juga dapat teraktivasi oleh IFNγ yang

banyak diproduksi oleh sel NK pada fase-fase awal inflamasi. Produksi IFNγ oleh

sel NK berperan penting dalam menginisiasi proses aktivasi awal makrofag, namun

produksinya bersifat singkat dan umumnya IFNγ akan dilanjutkan produksinya

oleh sel-sel imunitas adaptif seperti sel T helper (TH1) .

Inflamasi juga berperan dalam aktivasi sel-sel glia di sistem saraf pusat dan

tepi. Mikroglia dan astrosit yang merupakan dua sel glia residen di sistem saraf

dapat teraktivasi oleh berbagai neuropeptida dan neurotransmitter. Sel-sel glia

teraktivasi melalui mekanisme persinyalan yang serupa dengan makrofag, yakni

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

21

terutama melibatkan faktor transkripsi NF-κB. Sel glia yang teraktivasi kemudian

akan mensekresikan berbagai sitokin dan kemokin pro-inflamasi, termasuk IL-1β,

IL-6, TNF-α. Selain itu, sel-sel glia tersebut juga akan direkrut ke area inflamasi

melalui mediasi kemokin seperti CCL2 (He et al., 2016).

Selain peningkatan produksi dan sekresi sitokin pro-inflamasi, sel-sel glia

juga meningkatkan produksi PGE melalui peningkatan aktivitas enzim COX. PGE

yang dihasilkan kemudian akan memicu umpan positif pada sel-sel lainnya

(termasuk neuron dan makrofag) untuk meningkatkan produksi NO yang berperan

penting dalam sensitisasi kornu dorsalis medula spinalis yang dapat memicu nyeri

nosiseptif dan neuropatik (Millan, 1999).

Sel mast juga mengalami aktivasi pada saat inflamasi. Sel mast berasal dari

sel progenitor hematopoietik yang bersirkulasi di darah. Setelah memasuki

jaringan, sel mast berdiferensiasi menjadi sel mast dewasa dan dapat bertahan lama,

mengalami degranulasi, regranulasi, dan dapat berproliferasi apabila mendapat

sinyal yang tepat. Sel mast memiliki reseptor untuk IgG dan IgE pada permukaan

selnya dan memungkinkan sel mast menjadi tersensitisasi saat berikatan dengan

antigen yang spesifik terhadap imunoglobulin tersebut. FcεI merupakan reseptor

dengan afinitas tinggi untuk IgE yang terekspresi di sel mast dan bertanggungjawab

terhadap aktivasi dan degranulasi sel mast pada berbagai kondisi patologis. Selain

itu, sel mast juga mengekspresikan family reseptor FcγR untuk IgG, dimana FcγRI

dan FcγRIII bersifat mengaktivasi sel mast, sedangkan FcγRIII bersifat inhibisi.

Lebih lanjut, ekspresi FcγRI diinduksi oleh IFNγ. Sel mast mengalami aktivasi saat

terjadi ikatan antara PAMP dengan reseptornya (terutama TLR). TLR4 yang

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

22

merupakan subunit varian TLR yang dimiliki oleh sel mast, dapat teraktivasi oleh

IL-4.

Granul sel mast mengandung proteoglikan dalam konsentrasi tinggi,

protease yang berikatan kuat dengan proteoglikan seperti heparin dan kondroitin

sulfat, serta amin biogenik terutama histamin (Thompson et al., 1988; Wernersson

et al., 2014). Selain itu, sel mast juga diketahui menyimpan sitokin dan faktor

pertumbuhan seperti TNF-α dan VEGF di dalam granulnya. Sel mast dapat

ditemukan pada berbagai jaringan, termasuk jaringan saraf tepi (Bienenstock et al.,

1991). Sel mast yang teraktivasi akan mengalami degranulasi dan komponen

granular di dalamnya akan terlepas ke jaringan. Komponen sel mast yang berupa

protease bersifat litik terhadap sel, sehingga memicu proses nekrosis dan apoptosis

yang kemudian meningkatkan intensitas inflamasi lokal, sementara histamin

mampu menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular

sehingga meningkatkan migrasi sel-sel glia dan sel imunitas adaptif ke area

inflamasi (regional).

Pada fase awal stimulasi, sel mast meningkatkan sintesis mediator inflamasi

seperti sitokin dan eikosanoid (termasuk PGE dan LTE) (Boyce, 2005). Sedangkan

pada fase awal degranulasi, histamin bersifat solubel dan dapat memberikan efek

klinis dalam hitungan menit, sedangkan sitokin proinflamasi seperti TNFα

umumnya terperangkap di antara kompleks protease-proteoglikan yang bermuatan

positif dan heparin-kondroitin sulfat yang bermuatan negatif sehingga cenderung

dilepaskan secara bertahap pada area yang mengalami inflamasi.

Selain sel mast, sel dendritik juga mengalami rekrutmen dan aktivasi. Sel

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

23

dendritik merupakan sel yang berperan dalam presentasi antigen ke sel T naif

(antigen presenting cells/APC) (McLachlan et al., 2003). Sel dendritik berbeda dari

makrofag dari segi kemampuan migrasinya dari perifer ke kelenjar getah bening.

Sel dendritik berperan penting dalam mempertahankan proses inflamasi melalui

polarisasi sel CD4 TH0 menjadi TH1 (memproduksi IFNγ) dan TH2 (memproduksi

IL4, IL5, dan IL13), TH17 (memproduksi IL17 dan IL22) dan sel Treg

(memproduksi IL10 dan TGFβ) (McLachlan et al., 2008).

2.1.3 Sintesis ATP dan Peranannya terhadap Inflamasi

Adenosin trifosfat (ATP) diproduksi melalui glikolisis dan siklus krebs.

Fase pertama berupa glikolisis melibatkan metabolisme glukosa dan gliserol untuk

menghasilkan asam piruvat. Reaksi tersebut berlangsung di sitoplasma dan

menghasilkan 2 ATP dengan formula sebagai berikut:

glukosa + 2NAD- + 2ADP + 2P/2asam  piruvat + 2NADH + 2H- + 2ATP + 2H9O

Dengan demikian, setiap 1 molekul glukosa yang menjalani proses glikolisis

menghasilkan 2 asam piruvat. Lebih lanjut, 2 molekul NADH juga diproduksi pada

reaksi glikolisis tersebut. Molekul NADH selanjutnya dioksidasi pada rantai

transpor elektron untuk menghasilkan ATP dalam jumlah lebih besar, sementara

asam piruvat digunakan dalam siklus Krebs untuk menghasilkan ATP.

Siklus Krebs atau yang lebih dikenal dengan siklus asam trikarboksilat

(TCA) terjadi di mitokondria. Siklus Krebs melibatkan berbagai reaksi kimia

dimana asam piruvat didegradasi menjadi karbondioksida, air, dan elektron. Pada

siklus Krebs, asam piruvat diubah menjadi asetil-koA di mitokondria. Asetil-koA

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

24

kemudian dikonversi menjadi sitrat melalui reaksi oksidasi, hidrasi, dehidrasi, dan

dekarboksilasi untuk membentuk isositrat, alfa-ketoglutarat, suksinil-koA, fumarat,

dan malat. Reaksi ini dikalatisir oleh berbagai enzim kunci, seperti sitrat sintase,

akonitase, isositrat dehidrogenase, dan malat dehidrogenase. Secara keseluruhan,

siklus Krebs menghasilkan 2 molekul ATP, 6 molekul NADH, dan 2 molekul

FADH2.

NADH dan FADH2 yang dihasilkan dari siklus Krebs kemudian masuk ke

dalam rantai transpor elektron dan mengalami oksidasi untuk memproduksi ATP

melalui bantuan enzim ATP sintetase. Secara keseluruhan, setiap satu molekul

glukosa yang masuk ke dalam siklus respirasi sel dapat menghasilkan 38 molekul

ATP, yakni 2 ATP dari proses glikolisis, 2 ATP dari siklus Krebs, dan 34 ATP dari

rantai transport elektron.

ATP tidak hanya berfungsi sebagai nukelosida trifosfat intraseluler yang

berfungsi sebagai penghasil energi, namun juga berperan dalam proses inflamasi.

ATP dapat disekresikan oleh sel-sel apoptosis atau sel autofagi melalui hemikanal

connexin. Anafilatoksin seperti komplemen C3a diketahui dapat meningkatkan

sekresi ATP ekstrasel. ATP yang disekresikan dapat berikatan dengan reseptor

purinergik P2X7 yang terdapat pada makrofag dan sel dendritik yang dapat memicu

aktivasi kedua sel tersebut. Konsentrasi ATP yang tinggi diketahui bersifat fatal

terhadap sel limfosit T. ATP ekstrasel diketahui dapat memicu produksi dan sekresi

berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF α dan IL 10. ATP ekstrasel juga terbukti

dapat memicu disintegrasi seluler, kerusakan mitokondria, dan apoptosis. (Cauwels

et al., 2014).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

25

2.2 Peranan Inflamasi pasca Cedera Saraf

Inflamasi adalah hasil dari pertahanan dari kerusakan jaringan dan atau

melawan stimulus patogen. Inflamasi yang persisten atau hiperinflamasi bisa

mengarah kepada kerusakan jaringan dan berakhir pada kegagalan organ apabila

tidak dikendalikan dengan semestinya. Dalam menanggapi agen infeksi atau

stimulus proinflamasi, makrofag/monositmelepaskansitokin, faktor pertumbuhan,

dan mediator inflamasi termasuk IL-1, IL-6, TNF-α, NO, PGE2, dan aktivasi ROS,

dapat menyebabkan inflamasi akibat cedera (Murakami&Ohigashi, 2007;

Mosser&Edwards, 2008).

COX-1 dan COX-2 adalah dua bentuk COX atau sintesis prostaglandin H

yang dikodekan oleh gen-gen yang berbeda dan memiliki fungsi inflamasi. Jalur

COX-1 dan COX-2 berkaitan dengan neuroinflamasi dan neurodegeneratif. Kedua

isoform ini memiliki peranan yang berbeda pada kondisi normal dan patologis.

Kedua isoform ini mengkatalasi reaksi yang sama dari deoksigenasi asam

arakidonat untuk menghasilkan prostaglandin G2 (PGG2) dan reaksi peroksidase

yang merubah PGG2 menjadi prostaglandin H2 (PGH2). PGH2 selanjutnya dirubah

menjadi PGE2 yang merupakan mediator neuroinflamasi. PGE2 berikatan dengan

reseptornya di SSP, yakni EP2, EP3, dan EP4 yang merupakan reseptor protein G

berpasangan (G-coupled protein receptor/GPCR), yang melalui stimulasi adenilat

siklase, meningkatkan jumlah cAMP dan mengaktivasi PKA

(Sugimoto&Narumiya, 2007). Pada keadaan cedera saraf tepi oleh berbagai

etiologi, PGE2 diketahui dapat meningkatkan responsivitas nosiseptor perifer

dengan cara berikatan dengan reseptor kapsaisin (TRPV1) dan kanal natrium

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

26

resisten tetradotoksin (SCN10A), dimana aktivasi kedua reseptor tersebut dapat

meningkatkan sensitivitas nosiseptor perifer dan memicu propagasi impuls

nosiseptif di sepanjang saraf perifer (Bhave et al., 2002).

Dalam keadaan normal, ekspresi COX-2 terutama dijumpai pada neuron

dan berkaitan dengan fungsi sinap dan pembentukan memori (Shabab et al., 2016).

Pada medula spinalis, keberadaan COX-2 lebih mendominasi dibandingkan COX-

1, terutama pada area yang menerima impuls nosiseptif, seperti lamina I, II, dan X

(Millan, 1999). Dalam keadaan patologis, COX-2 berperan penting dalam regulasi

neuroinflamasi dan berkontribusi terhadap patofisiologi nyeri, terutama dalam

kaitannya dengan sensitisasi sentral.

2.3 Peranan Stres Oksidatif pasca Cedera Saraf

Inflamasi akan menginduksi stres oksidatif dan kerusakan DNA yang

memicu kelebihan produksi dari ROS oleh makrofag dan mikroglia (Shabab et al.,

2016). ROS dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, yang pada gilirannya dapat

memulai dan mendorong progres variasi dari penyakit-penyakit kronis

(Conforti&Menichini, 2011).

Selain itu, ROS juga dihasilkan dari proses transport elektron pada

mitokondria, disamping pengaruh faktor eksternal, seperti polusi udara, radiasi

pengion, dan ultraviolet (Sanchez et al, 2015). ROS juga dihasilkan oleh aktivitas

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase sebagai bagian

dari enzim kompleks membran sel. NADPH oksidase diekspresikan oleh berbagai

tipe sel, termasuk neuron, astrosit, dan mikroglia. Pada keadaan patologis, NADPH

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

27

dapat mengalami hiperaktivasi (terutama NOX2 pada SSP) dan menghasilkan ROS

dalam kadar yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap stress oksidatif dan

neurodegenerasi (Ma et al., 2017).

Ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas dan antioksidan, dimana

jumlah radikal bebas lebih tinggi daripada antioksidan, akan menimbulkan suatu

kondisi yang disebut dengan stres oksidatif. Stres oksidatif bersifat destruktif

terhadap sel dan komponen organelnya, yang dapat memicu apoptosis. Hal ini

terutama relevan pada neuron di SSP yang mengandung kadar asam lemak tak

jenuh yang tinggi dan rawan terhadap kerusakan seluler (Fischer & Maier, 2015).

Selain itu, stress oksidatif juga dapat menginisiasi dan mempertahankan

proses inflamasi, dimana sel-sel di sekitarnya, seperti neuron dan mikroglia dapat

teraktivasi dan memproduksi lebih banyak sitokin pro-inflamasi dan ROS. Aktivasi

mikroglia melalui jalur pensinyalan toll like receptor (TLR) terbukti dapat memicu

sintesis dan sekresi sitokin pro-inflamasi dan ROS dalam waktu yang bersamaan

(van Noort&Bsibsi, 2009).

NO yang terlalu banyak akan bergabung cepat dengan superoxide

anion(O2−) untuk menghasilkan peroxynitrite (ONOO−), yang akan mengarah

pada patogenesis dengan mengembangkan stres oksidatif akibat cedera saraf.

Peroxynitrite adalah sebuah oksidan yang poten yang bereaksi dengan protein,

lipids, dan DNA (Chou et al., 2012). Aktivasi sel-sel glia secara kronis juga

diketahui dapat menghasilkan peroksinitrit yang bersifat destruktif terhadap sel-sel

saraf (Fischer &Maier, 2015). Oleh karena itu, SOD, glutathione (GSH), GPx, dan

glutathione reductase (GRd) memainkan peranan yang sangat penting pada reaksi

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

28

memperbaiki inflamasi melalui penurunan stres oksidatif dan kerusakan melalui

pengurangan produksi radikal bebas. MDA, sebuah produk akhir dengan berat

molekul rendah terbentuk dari dekomposisi membran sel, merupakan sebuah

indikator pada evaluasi proses inflamasi (Chou et al., 2012).

Lebih lanjut, jalur pensinyalan inflamasi nuklear factor kappa-B (NF-κB)

diketahui berperan penting dalam aktivasi sel-sel glia dan merupakan pemicu

aktivasi inducible nitric oxide syntesis (iNOS) yang berperan dalam mengkatalisis

formasi nitric oxide (NO) (Morgan &Liu, 2011). Sehingga NF-κB juga

bertanggungjawab terhadap produksi peroksinitrit secara langsung. Disamping itu,

NF-κB juga bertanggungjawab terhadap peningkatan regulasi COX-2 dan sintesis

prostaglandin E (PGE), dengan demikian akan meningkatkan kadar radikal

superoksida sebagai hasil sampingan dari formasi PGE. Interaksi antara stres

oksidatif dan inflamasi akan membentuk rantai siklus positif yang saling bersinergi.

Interaksi antara keduanya akan memperburuk cedera saraf tepi, meningkatkan

sensitisasi nosiseptor, dan meningkatkan propagasi dan konduksi impuls nosiseptif

ke SSP. Keseluruhan proses tersebut berkontribusi terhadap inisasi dan

pemeliharaan impuls nyeri konstan yang akhirnya berdampak pada munculnya

nyeri neuropatik.

Selain itu, ROS juga diketahui dapat menginduksi dan mempertahankan

sensitisasi sentral pada medula spinalis melalui regulasi reseptor NMDA dan

AMPA serta efek lanjutannya berupa potensiasi jangka panjang (long term

potentiation/LTP) (Lee et al., 2010; Lee et al., 2012). ROS juga diketahui dapat

mengaktivasi kanal-kanal ion seperti TRPA1 dan TRPV1 yang berperan dalam

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

29

depolarisasi membran dan sensitisasi nosiseptif pada medula spinalis dan nyeri

neuropatik pasca cedera medula spinalis (Chung et al., 2011; Gold&Gebhart, 2010;

Nishio et al., 2013).

Bentuk ROS lainnya seperti hidrogen peroksida yang merupakan metabolit

sisa dari proses respirasi juga diketahui mempengaruhi sensitisasi nosiseptif dan

memodulasi plastisitas sinaptik melalui regulasi ion kalsium pada interneuron

medula spinalis kornu dorsalis.

Nyeri nosiseptif seperti hiperalgesia yang diinduksi oleh kapsaisin terbukti

dapat menyebabkan akumulasi superoksida dan menyebabkan penurunan aktivitas

SOD-2, enzim antioksidan yang berperan dalam netralisasi ROS (Schwartz et al.,

2009). Hal ini menunjukkan bahwa stress oksidatif dan ketidakseimbangan

produksi antioksidan berhubungan langsung dengan nyeri nosiseptif dan

neuropatik. Penghambatan terhadap prostaglandin dan NO melalui penekanan

terhadap sintesis COX-2 dan i-NOS sudah dibuktikan bermanfaat di dalam

perawatan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan inflamasi (Bogdan, 2001).

2.4 Nyeri Neuropatik

2.4.1 Definisi Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik secara umum didefinisikan sebagai kondisi nyeri kronis

akibat cedera pada sistem saraf perifer atau pusat maupun akibat kondisi akut

seperti amputasi maupun cedera medula spinalis atau penyakit sistemik seperti

diabetes mellitus, infeksi virus maupun kanker. Persepsi abnormal dari nyeri

neuropatik adalah adanya alodinia, hiperalgesia atau nyeri spontan seperti rasa

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

30

tersengat listrik, tertikam atau rasa terbakar yang tidak berkaitan dengan stimulus

(Cavenagh et al., 2006; Vallejo et al., 2010).

Pengertian nyeri neuropatik menurut IASP adalah “nyeri yang dipicu atau

disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf” dan dapat disebabkan

oleh kompresi atau infiltrasi dari nervus oleh suatu tumor, tergantung di mana lesi

atau disfungsi terjadi. Hal ini berbeda dengan nyeri nosiseptik yaitu nyeri yang

disebabkan oleh stimulasi perifer serabut saraf Aδ dan C polimodal karena

substansi alogenik (histamin, bradikinin, substansi P, dan lain-lain).

Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan

asalnya yaitu perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya, yakni nyeri

neuropatik akut dan kronik. Ada beberapa masalah dalam bidang kedokteran

paliatif yang menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri neuropatik,

dan tak ada satu pun hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya

nyeri. Dalam membuat suatu diagnosis adanya nyeri neuropatik diperlukan

anamnesis yang tepat tentang apa yang sedang dirasakan pasien, baik tipenya

maupun derajat dari nyeri tersebut (Dworkin, 2002; Borda et al., 2013).

2.4.2 Epidemiologi Nyeri Neuropatik

Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian

besar karena keragaman dari kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri neuropatik

menyerang 3% dari populasi umum. Salah satu penelitian di Inggris menyatakan

bahwa prevalensi nyeri kronik adalah 48% dan prevalensi nyeri neuropatik adalah

8%. Responden nyeri neuropatik kronik kebanyakan berjenis kelamin perempuan,

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

31

dengan usia yang cukup tua, belum menikah, tidak memiliki kualifikasi pendidikan

dan merupakan perokok (Nicholson, 2006; Borda et al.,2013; Zarshenas et al.,

2015).

IASP melaporkan bahwa 7-8% dewasa pada populasi umum mengalami

nyeri kronis dengan karakteristik nyeri neuropatik. Insiden nyeri neuropatik pada

studi di Belanda menemukan sekitar 8 kasus per 1000 orang-tahun. Nyeri dengan

karakteristik nyeri neuropatik secara umum lebih berat dan berhubungan dengan

kesehatan yang buruk pada semua dimensi dibandingkan nyeri tanpa karakteristik

neuropatik. Kualitas hidup individu dengan nyeri neuropatik lebih rendah pada

aspek depresi, penyakit jantung koroner, infark miokardiak akut, atau kontrol

diabetes yang buruk. Pada studi di Inggris, diperoleh 17% pasien nyeri dengan

karakteristik nyeri neuropatik memiliki kualitas hidup yang “lebih buruk dari

kematian” (IASP, 2014). Sebuah survei klinis nasional berbasis rumah sakit tentang

karakteristik nyeri neuropatik di Indonesia memperoleh hasil 1.779 dari 8.160

pasien (21,8%) mengalami nyeri neuropatik dengan prevalensi tertinggi pada usia

41-60 tahun (Purwata et al., 2015).

2.4.3 Klasifikasi dan Etiologi Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik terbagi menjadi dua yaitu: 1. Berdasarkan penyakit yang

mendahului dan letak anatomisnya yaitu: a) Perifer, dapat diakibatkan oleh

neuropatik, neuralgia pasca herpes zoster, trauma susunan saraf pusat, radikulopati,

neoplasma, dan lain-lain; b) Medula spinalis, dapat diakibatkan oleh multipel

sklerosis, trauma medulla spinalis, neoplasma, araknoiditis, dan lain-lain; c) Otak,

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

32

dapat diakibatkan oleh stroke, siringomielia, neoplasma, dan lain-lain. 2.

Berdasarkan gejala yaitu: a) Nyeri spontan (independent pain); b) Nyeri oleh karena

stimulus (evoked pain); c) Gabungan antara keduanya (Romanoff, 2006; Nicholson,

2006; Borda et al.,2013).

Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri

sentral) atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari

saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi,

tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat

disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik

pada badan sel neuron (Galuzzi, 2005).

Nyeri neuropatik sentral adalah suatu konsep yang berkembang akibat

bertambahnya bukti bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di

jaringan lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga dapat menyebabkan nyeri

sentral nosiseptif melalui proses sensitisasi. Sindrom nyeri talamus adalah salah

satu nyeri neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan pada

pasien pasca stroke, sklerosis multipel, cedera medula spinalis, dan penyakit

Parkinson (Galuzzi, 2005; Dupere, 2006).

Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf tepi. Kerusakan yang

berasal dari perifer menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat saraf

perifer yang terkena tetapi juga lepasnya muatan spontan sel-sel GDR saraf yang

rusak. Contoh-contoh sindrom yang mungkin dijumpai adalah neuralgia pasca

herpes, neuropatik diabetes, neuralgia trigeminus, kausalgi, phantom-limb pain,

kompresi akibat tumor, dan post operasi (Dupere, 2006).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

33

Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang

paling sering adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV).Cytomegalovirus,

yang sering ada pada penderita HIV, juga dapat menyebabkan nyeri punggung

bawah, radicular pain, dan mielopati. Nyeri neuropatik adalah hal yang paling

sering dan penting dalam morbiditas pasien kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat

timbul akibat kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf

karena radiasi atau kemoterapi (Nicholson B, 2006).

2.4.4 Gejala Nyeri Neuropatik

Pasien dengan nyeri neuropatik sering menderita akibat nyeri spontan,

alodinia dan hiperalgesia (tabel 2.1).

Tabel 2.1 Karakteristik nyeri neuropatik pada manusia

Nyeri spontan Alodinia Hiperalgesia Berlangsung lama: bulan, tahun bahkan seumur hidup Awitan lambat: nyeri mungkin timbul tanpa adanya proses cedera atau patologi yang masih berlangsung Kualitas nyeri: rasa terbakar, tertikam, tertembak, tersengat listrik, tersayat dsb Distribusi: nyeri bisa menjalar sepanjang dermatom saraf yang cedera nyeri dapat berlangsung secara bilateral

Sumber: Wang&Wang, 2003

Nyeri neuropatik dapat timbul dengan awitan lambat setelah suatu cedera

saraf dan dapat dirasakan meski tidak ditemukan lagi adanya lesi atau cedera yang

menyebabkan diagnosis yang tepat dan pengobatan dini menjadi sulit. Gejala utama

nyeri neuropatik adalah adanya alodinia dan hiperalgesia mekanik dan dingin.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

34

Alodinia mekanis seperti karena sentuhan menunjukkan adanya nyeri neuropatik

pada penderitanya (Wang&Wang, 2003).

Gejala nyeri neuropatik terdiri dari nyeri spontan dan evoked pain (nyeri

yang timbul akibat adanya stimulus), nyeri spontan adalah nyeri yang timbul secara

spontan pada area denervasi jejas saraf, berupa rasa terbakar, ditusuk-tusuk, tajam

seperti disayat, sedangkan evoked pain ada 2 jenis yaitu hiperalgesia dan alodinia.

Hiperalgesia dan alodinia merupakan gejala utama pada berbagai nyeri kronik

termasuk nyeri neuropatik. Istilah hiperalgesia pertama kali diungkapkan oleh

Gowers pada tahun 1800an. Hiperalgesia adalah istilah yang menjelaskan suatu

keadaan dimana terdapat peningkatan sensasi nyeri yang diinduksi baik oleh

stimulus noksius dan non-noksius biasanya pada jaringan perifer (Coderre, 2009).

Hiperalgesia dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder (Devor, 2006;

Coderre, 2009). Hiperalgesia primer mengacu pada hipersensitivitas terhadap

stimulus mekanik dan suhu, hal ini disebabkan oleh sensitisasi pada nosiseptor

perifer. Sedangkan hiperalgesia sekunder ditandai dengan hipersensitivitas

terhadap stimulus mekanik (predominan) yang disebabkan suatu sensitisasi sentral.

Sensitisasi sentral mengacu pada perubahan eksitabilitas neuron SSP yang

disebabkan oleh suatu aktivitas atau jejas terutama pada jalur nyeri dan

menyebabkan peningkatan aktivitas spontan, penurunan nilai ambang atau

peningkatan respon terhadap input aferen dan pemanjangan after-discharge

terhadap stimulus yang berulang (Coderre, 2009).

Hiperalgesia sekunder didefinisikan sebagai peningkatan sensitivitas nyeri

yang terjadi pada daerah di sekitar atau bahkan pada daerah yang jauh dari lokasi

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

35

nyeri. Sebagai contoh setelah jejas pada tangan maka mungkin saja akan timbul

daerah hiperalgesia di seluruh lengan atau suatu inflamasi di saluran intestinal atau

di kandung kemih mungkin akan menghasilkan daerah hipralgesia di seluruh

abdomen atau daerah pelvis. Hiperalesia sekunder disebabkan oleh perubahan

dalam pemrosesan impuls dari mekanoreseptor ambang rendah (low-threshold

mechanoreceptor) sehingga impuls yang datang mampu mengaktifkan neuron

nosiseptif dan mencetuskan nyeri. Perubahan sentral ini dipicu dan dipertahankan

oleh enhanced afferent discharge daerah hiperalgesia primer (Cervero, 2009).

Ada tiga proses utama nyeri dan hiperalgesia melalui pendekatan

neurobiologi yaitu: a) aktivasi dan sensitivitas nosiseptor, hal ini bertanggungjawab

terhadap sinyal awal jejas atau suatu perubahan perifer pada sistem nosiseptif yang

diinduksi stimulus noksius; b) proses amplikasi sentral sinyal nosiseptif, dikenal

dengan sensitisasi sentral, dihasilkan melalui penguatan hubungan sinaptik

(synaptic strengthening) antar neuron SSP, hal ini bertanggungjawab dalam

penguatan rangsangan yang menghasilkan nyeri persisten; c) suatu proses aktivitas

reseptor sensori low-threshold (LT) dari daerah perifer yang sehat, hal ini dapat

mencapai sistem nosiseptif dan akhirnya memicu sensasi nyeri dan hiperalgesia

(seperti nyeri sentuh atau alodinia taktil) (Cervero, 2009).Penelitian yang dilakukan

oleh Purwata et al.(2015) memperoleh gejala klinis terbanyak penderita nyeri

neuropatik adalah sensasi tertusuk (33,1%), sensasi seperti tersengat listrik

(30,5%), rasa seperti terbakar (22,9%), parestesia (22,5%) dan hiperalgesia

(19,7%).

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

36

2.4.5 Patofisiologi Nyeri Neuropatik

Patofisiologi nyeri neuropatik sampai saat ini belum sepenuhnya dipahami.

Beberapa mekanisme telah dipertimbangkan dan diusulkan untuk kondisi ini. Perlu

dicatat bahwa sebagian besar ide-ide tersebut berasal dari karya eksperimental pada

hewan coba (Baron, 2006).

Perubahan-perubahan pada proses sentral dapat disebabkan oleh proses

patologis aktif atau sensitisasi terhadap nosiseptor-nosiseptor. Perubahan ini

memimpin hipereksitabilitas dari medula spinalis yang disebabkan oleh masukan

dari mekanoreseptor serabut A-β (sentuhan ringan). Pada keadaan ini pasien

biasanya mengeluh adanya nyeri spontan dan hiperalgesia suhu serta alodinia statik

maupun dinamik dapat pula terjadi yang dapat dipersepsikan sebagai nyeri (Baron,

2009).

Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di

nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan

saraf baik serabut saraf pusat maupun perifer yang disebut nyeri neuropatik.

Trauma atau lesi dijaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan

berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamine, dan

sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktifasi nosiseptor yang dapat

menimbulkan munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif

(sensitisasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitisasi nosiseptor

menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer

atau sentral dapat memacu terjadinya remodeling atau hipereksitabilitas membran

sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel dalam

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

37

beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini

ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak

mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma.

Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal Na+.

Akumulasi kanal Na+ menyebabkan munculnya ectopic pace maker. Disamping

kanal ion juga terlihat adanya molekul-molekul tranduser dan reseptor baru yang

semuanya dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, mekanisme senstifitas

abnormal, termosensitifitas dan kemosensitifitas. Ectopic discharge dan sensitisasi

dari berbagai reseptor (mekanik, termal, kimiawi) dapat menyebabkan timbulnya

nyeri spontan dan evoked pain. Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan

bila lesi sembuh maka nyeri akan hilang. Akan tetapi lesi yang berlanjut

menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang

mungkin mengakibatkan terjadinya sensitisasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi

neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia

sekunder. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi

dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral (Romanoff, 2006;

Nicholson, 2006; Borda et al.,2013).

Nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron

sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras

ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan

kolumna dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks

prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada

peningkatan aktivitas neuron, rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

38

neuron itu sendiri misalnya terhadap aktivitas stimulus yang nonnoksious, dan

luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan

peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya

berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah dengan

stimulasi yang terus menerus dan impuls aferen baik yang berasal dari perifer

maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan

dengan reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid

(AMPA)/kainat dan NMDA (Romanoff, 2006; Nicholson, 2006; Borda et al.,2013).  

Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologik yang berlangsung berupa

perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi

sistem inhibitorik dan gangguan interaksi antara somatik dan simpatetik. Keadaan

ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan

pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan

neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses

apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri

maupun akibat proses inflamasi sebagai proses ekstrinsik. Kejadian inilah yang

mendasari sebagai konsep nyeri kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Rasa

nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropatik disebabkan oleh karena

respon sentral abnormal serabut sensorik nonnoksious. Reaksi sentral yang

abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi

struktural, dan hilangnya inhibisi (Romanoff, 2006; Nicholson, 2006; Borda et

al.,2013).

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

39

Mekanisme nyeri neuropatik secara garis besar dibagi menjadi mekanisme

perifer dan sentral, yang tentunya melibatkan berbagai proses fungsional dan

struktural yang kompleks.

2.3.5.1 Mekanisme perifer

a.   Sensitisasi nosiseptor

Sensitisasi perifer terjadi jika terdapat kerusakan pada saraf perifer seperti

cedera saraf tepi. kejadian ini memiliki ciri yaitu munculnya aktivitas

spontan oleh neuron, penurunan ambang rangsang aktivitas dan

nosiseptor serabut saraf C akan membentuk reseptor adrenergik yang baru

sehingga hal ini dapat menjelaskan mekanisme simpatetik dalam kejadian

nyeri. selain terjadi sensitisasi pada saraf tepi yang mengalami kerusakan,

di berbagai tempat sepanjang perjalanan saraf akan terbentuk pacemaker

neuronal ektopik sehingga dapat menyebabkan peningkatan densitas

abnormalitas dan disfungsi sodium channel (Bridges et al., 2001; Devor,

2006; Ossipov et al.,2006).

b.   Ectopic discharge dan ephatic conduction

Ectopic discharge berasal dari axonal endbulbs, sprouts, lesi

demielinisasi, badan sel (soma), dan ujung saraf sensorik. Pada keadaan

abnormal, discharge ini dapat berasal baik dari akson bermielin (A) atau

tidak bermielin (C), meskipun berbeda sensitivitas dan kinetik. Ectopic

firing yang berasal dari serabut A biasanya ritmik dan memiliki kecepatan

hantar yang lebih cepat dibanding serabut C (63-35 ms dan 15-30 Hz), dan

irama ritmik ini sering terputus oleh silent pauses sehingga menimbulkan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

40

pola "on-off". sebagian besar serabut C dan beberapa serabut A memiliki

kecepatan hantar yang lambat dan polanya tidak teratur atau ireguler (0,1-

10 Hz) (Bridges et al., 2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006).

c.   Sprouting kolateral neuron aferen primer

Sprouting serabut saraf kolateral dari akson sensoris di kulit ke area

denervasi dapat dijelaskan pada model percobaan neurotrauma CCI

menggunakan tikus yang dilakukan oleh Bennett & Xie pada tahun

1988. Pada percobaan ini sprouting terjadi sekitar 10 hari setelah

tindakan operatif pada nervus iskhiadikus, tetapi derajat sprouting tidak

sebanding dengan derajat hiperalgesia yang terjadi setelah pembedahan

kronik nervus iskhiadikus (Bridges et al., 2001; Ossipov et al.,2006).

d.   Sprouting simpatetik ke ganglion radiks dorsalis

Mekanisme pasti onset sprouting simpatetik masih belum jelas, namun

diduga hal ini terjadi akibat peningkatan faktor neurotropik dan sitokin yang

disebabkan oleh degenerasi Wallerian. Secara lokal, degenerasi Wallerian

akan menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan dalam jumlah besar.

Nerve growth factor (NGF) yang berkaitan dengan reseptor Trk-A dapat

menginduksi terjadinya sprouting simpatetik pada SSP, sedangkan Glial

Cell Derived Neurothropic Factor (GDNF) dapat menginduksi terjadinya

sprouting simpatetik pada ganglion radiks dorsalis. Pemberian antagonis

reseptor α-adrenergik (phentolamine, guanethidine) dapat mengurangi nyeri

neuropatik yang diakibatkan oleh sprouting simpatetik karena obat ini dapat

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

41

menghambat pelepasan norepinefrin (Bridges et al., 2001; Ossipov et al.,

2006).

e.   Perubahan ekspresi pada saluran ion

Saluran ion natrium memegang peranan penting pada proses fisiologi

membran eksitasi termasuk membran neuronal. Pada tahun 1989 Devor et

al. menemukan bahwa terdapat akumulasi saluran Na+ pada neuroma akson

sensoris yang rusak, selain itu disimpulkan juga bahwa saluran Na+ dapat

menyebabkan ectopic discharge. Setidaknya terdapat 9 jenis Voltage gate

Na+ Channel pada badan neuron aferen primer ganglion radiks dorsalis

yang terbagi menjadi tetrodotoxin (TTX)-sensitive dan TTX-resistant.

Channel TTX-sensitive diekspresikan di seluruh sistem saraf pusat dan

predominan di serabut A ganglion radiks dorsalis, sedangkan Channel TTX-

resistant hanya diekspresikan di neuron eferen primer GRDterutama

serabut C (Bridges et al., 2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006; Hokfelt

et al., 2006).

2.3.5.2 Mekanisme sentral

a.   Sensitisasi sentral

Sensitisasi sentral meningkat pada eksitabilitas medula spinalis. Hl ini

dapat menggambarkan mekanisme pada keadaan nyeri patologis setelah

kerusakan saraf dan mekanisme ini mirip dengan mekanisme memori

melalui long term potentiation (LTP).

Penelitian menunjukkan bahwa akan terjadi plastisitas spinal setelah

terjadi kerusakan saraf parsial dan hal ini akan merubah respon

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

42

stimulasi tetanik serabut A yang semula potensial depresi menjadi eksitasi

sehingga menurunkan mekanisme inhibisi spinal dan meningkatkan eksitasi

spinal (Bridges et al., 2001; Lynch, 2004; Hokfelt et al., 2006).

b.   Hipereksitabilitas medula spinalis

Suatu proses yang tidak bisa lepas dari sensitisasi sentral adalah

hipereksitabilitas neuron kornu dorsalis. Asam amino glutamat merupakan

neurotransmiter utama yang dilepaskan di terminal sentral neuron aferen

nosiseptif primer setelah terjadi stimulus noksius. Menurut Woolf & Selter

(2000), mekanisme utama dalam proses ini adalah aktivasi reseptor

ionotropik NMDA (Bridges et al., 2001; Hokfelt et al., 2006).

c.   Reduksi mekanisme inhibisi pada medula spinalis

Hipereksitabilitas dan disinhibisi merupakan serangkaian proses yang tidak

bisa dipisahkan. Transmisi informasi sensoris dari SST ke SSP secara

horisontal dikontrol baik oleh mekanisme inhibisi pre maupun postsinaptik

yang dipengaruhi oleh aktivitas eferen sensorik, interneuron kornu dorsalis,

dan jalur desenden.

Pada aksotomi yang berat akan terjadi penurunan potensial inhibisi

presinaptik radiks dorsalis. Inhibisi postsinaptik neuron kornu dorsalis yang

perankan oleh input A-aferen juga menurun setelah aksotomi (Bridges et

al., 2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006; Hokfelt et al., 2006).

d.   Sistem opioid endogen dan cannabinoid

Peptida opioid endogen dan reseptornya merupakan sistem inhibisi

nosiseptik spinal lainnya yang tidak kalah penting. Opioid sangat efektif

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

43

digunakan sebagai terapi nyeri inflamasi dan nosiseptik, tetapi untuk nyeri

neuropatik masih menjadi kontroversial. Keterlibatan opioid pada nyeri

neuropatik diduga karena degenerasi Wallerian sehingga mengakibatkan

hilangnya ekspresi aksonal reseptor opioid dan injury-induces loss

receptors opioid δ dan µ pada terminal aferen dan atau interneuron kornu

dorsalis (Bridges et al., 2001; Gardell et al., 2004; Hokfelt et al.,2006).

Bersamaan dengan kejadian tersebut akan terjadi pula aktivitas

antinosiseptik reseptor NMDA dan peningkatan regulasi peptida seperti

mRNA cholecystokinin (CCK) dan dynorphin yang merupakan

antagonis opioid. Menariknya, terdapat bukti adanya coupling antara

aktivitas dependen reseptor opioid δ dan pelepasan neuropeptida

pronosiseptik, dan dynorphin sebagai mediator nyeri neuropatik

(Bridges et al., 2001; Gardell et al., 2004; Hokfelt et al.,2006).

e.   Reorganisasi anatomi medula spinalis.

Reorganisasi serabut saraf aferen di medula spinalis akan muncul sebagai

respon terhadap kerusakan saraf tepi. Pada keadaan fisiologis, berbagai

tipe neuron aferen primer akan berakhir secara spesifik di lamina kornu

dorsalis. Pada umumnya neuron nosiseptik berdiameter kecil dengan

serabut Aδ bermielin dan serabut C tidak bermielin akan berakhir di

lamina superfisial (I dan II) kornu dorsalis, sebaliknya neuron berdiameter

besar dengan serabut Aβ akan berakhir di lamina III dan IV. Lamina V

merupakan daerah konvergensi input.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

44

Pasca aksotomi nervus iskhiadikus akan terjadi sprouting terminal sentralis

neuron aferen primer bermielin kedalam lamina II kornu superfisial yang terjadi

dalam 1 sampai 2 minggu pasca aksotomi dan menetap sampai lebih dari 6 bulan

pasca aksotomi. Pasca aksotomi perifer juga akan terjadi sprouting serabut Aβ

kedalam lamina II kornu dorsalis superfisial sehingga terdapat hubungan sinaptik

fungsional dengan neuron orde dua dan input nonnoksius dengan ambangrangsang

rendah akan diinterpretasikan sebagai input nosiseptik (Gambar 2.4) (Bridges et al.,

2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006; Hokfelt et al.,2006; Tsuda, 2015).

Gambar 2.4

Ilustrasi skematik serabut-serabut sensoris aferen primer dan sirkuit neuronal di

kornu dorsalis medula spinalis (Tsuda, 2015).

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

45

2.4.6 Manajemen Nyeri Neuropatik

Manajemen nyeri neuropatik merupakan tantangan bagi dokter. Pengobatan

dengan terapi tunggal mungkin tidak banyak memberi keuntungan dan jarang

memberikan hasil yang diinginkan. Pemberian obat tunggal sering dibatasi karena

efek samping yang berhubungan dengan dosis. Polifarmasi atau kombinasi terapi

dengan penerapan dua atau lebih agen dengan mekanisme aksi yang sinergis dan

juga mekanisme kerja berbeda pada dosis suboptimal tampaknya diperlukan

(Zarshenas et al., 2015).

Nyeri neuropatik sangat resisten terhadap analgetik yang dijual bebas dan

metode pengobatan konvensional. Nyeri jenis ini sering bersifat kronis dan parah

serta terjadi pada bagian tubuh yang tampak sehat. Nyeri neuropatik merupakan

respon tertunda dan persisten terhadap kerusakan yang dapat diekspresikan sebagai

sensasi nyeri yang menyakitkan.

Jenis-jenis terapi nyeri neuropatik meliputi terapi non invasif yang terdiri

dari: a) terapi farmakologis dan non-farmakologis dan b) terapi invasif yang

meliputi bedah dan non bedah. Terapi farmakologik terdiri dari analgetik dan

analgetik adjuvan. Analgetik meliputi opioid dan non opioid, sedangkan analgetik

adjuvan terdiri dari antidepresan trisiklik, anestesi lokal peroral/antiaritmik,

antikonvulsan, simpatolitik, benzodiasepin, kortikosteroid, antispasmodik,

neuroleptik, antagonis NMDA dan obat topikal (Bridges et al., 2001; Suharjanti,

2010).

Pemilihan obat-obat tersebut tergantung pada sifat, penyebab dan

mekanisme nyeri neuropatik. nyeri neuropatik non malignan dapat diberikan semua

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

46

golongan obat-obatan tersebut, kecuali golongan opioid karena masih

kontroversial, dan pada saat ini tidak dianjurkan. Sedangkan untuk nyeri neuropatik

malignan dapat diberikan analgetik opioid, obat-obatan adjuvan dan NSAID pada

saat nyeri akibat kompresi saraf disamping obat-obatan kanker.

Berdasarkan uraian patofisiologi nyeri neuropatik di atas terlihat bahwa

mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropatik adalah: sensitisasi perifer,

ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Prinsip terbaik

untuk terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme dapat dilihat pada gambar

2.5.

Gambar 2.5

Terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme (Meliala, 2004)

Analgetik adjuvan adalah obat yang pada dasarnya tidak diindikasikan

untuk menghilangkan rasa nyeri, tetapi untuk kondisi yang lain, namun kemudian

bermanfaat untuk mengobati nyeri neuropatik. Sebagian besar analgetik adjuvan ini

OTAK

Medula Spinalis

SarafTepi

Sensitisasi Sentral

Ca++  :      Pregabalin,      GBP,OXC,LTG,LVT

NMDA  :  Ketamin,  TPMDextromethorphanMethadone

Lainnya:CapsaicinNSAIDsCOX  inhibitorLevodopa

Inhibitor  desendenNE/5HTReseptor opioid

Sensitisasiperifer

Na+CBZOXCPHTTCATPMLTGMexiletineLidocaine

TCASSRISNRITramadolOpiat

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

47

merupakan obat neuroaktif, yang bekerja pada sistem saraf baik sentral maupun

perifer. Berdasarkan farmakologi pengobatan neuroaktif, beberapa hal yang harus

diperhatikan (Farrar, 2001):

1.   Pilihlah pengobatan yang sesuai, dengan pertimbangan efek yang diinginkan

dan efek sampingnya.

2.   Pastikan bahwa pasien mengerti apa yang diharapkan dari pengobatan,

khususnya efek terapeutik obat yang lambat, kemungkinan penggunaan obat

jangka panjang, efek samping dan toleransi yang mungkin timbul.

3.   Dosis selalu dimulai dari dosis kecil yang kemudian dinaikkan bertahap, agar

pasien dapat menoleransi efek samping yang timbul. Naikkan dosis sampai

didapatkan efek yang diinginkan.

4.   Beberapa obat memerlukan beberapa minggu untuk mencapai efektivitas

maksimum, jadi pengobatan harus diberikan dalam periode waktu yang cukup

lama.

2.5 Peranan Sel Glia Pada Nyeri Neuropatik

2.5.1 Sel Glia

Sel glia atau neuroglia adalah sel pendukung yang utama dalam SSP. Sel

glia (secara literal dapat diterjemahkan sebagai nerve-glue atau perekat saraf)

memang berfungsi melekatkan SSP menjadi satu bagian yang utuh. Secara umum

ukuran neuroglia lebih kecil dibandingkan dengan neuron dan berjumlah lebih

banyak 5-50 kali. Berbeda dengan sel saraf, sel glia tidak berfungsi dalam

menghasilkan atau mencetuskan potensial aksi, namun peran penting sel glia yaitu

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

48

dalam mengontrol persediaan substansi kimia yang diperlukan neuron untuk

berkomunikasi dengan neuron lain, melindungi neuron yang satu dari pengaruh

neuron yang lain sehingga pesan dapat disampaikan antara neuron yang satu dengan

yang lain, selain itu ia juga berfungsi memusnahkan dan melepaskan sel-sel saraf

yang mati akibat kecelakaan atau karena proses penuaan (Marieb et al., 2011).

Dari enam tipe neuroglia, empat jenis sel terdapat hanya di SSP dan dua tipe

sisanya terdapat di Sistem Saraf Tepi (SST). Berikut ini adalah beberapa sel glia

yang terdapat dalam SSP, antara lain:

2.5.1.1 Oligodendroglia/Oligodendrosit

Oligodendroglia/Oligodendrosit menyerupai astrosit yang merupakan

bagian dari SSP, tetapi berukuran lebih kecil dan mengandung tonjolan lebih

sedikit. Tonjolan oligodendrosit bertanggung jawab untuk membentuk dan

mempertahankan selubung myelin sekitar akson SSP. Myelin yang dibuat dari

lemak multilayer dan protein ini berbentuk seperti gelondong-gelondong kecil yang

melindungi akson (berbentuk segmen-segmen), jadi ada bagian akson yang tidak

terlindungi mielin (yaitu antara segmen yang satu dengan segmen yang lain) yang

disebut dengan Nodus Ranvier. Selubung mielin kemudian akan membatasi akson

yang ditutupinya dan meningkatkan kecepatan impuls saraf konduksi (Tortora et

al., 2009; Marieb et al., 2011).

2.5.1.2 Astrosit / Astroglia

Jenis sel glia yang berbentuk seperti bintang ini memiliki jumlah paling

banyak dan paling besar terdapat dalam SSP. Terdapat dua jenis astrosit yaitu

protoplasmic astrosit yang memiliki banyak tonjolan bercabang yang pendek dan

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

49

ditemukan pada gray matter, serta fibrous astrocyts yang memiliki banyak tonjolan

panjang yang tidak bercabang dan ditemukan terutama pada substansia alba.

Tonjolan-tonjolan ini melakukan hubungan dengan kapiler darah, neuron dan

piamater (Marieb et al., 2011).

Fungsi astrosit adalah sebagai berikut: 1) Astrosit mengandung

mikrofilamen yang memberikan suatu kekuatan besar, yang memungkinkan

fungsinya untuk menyangga neuron, 2) Tonjolan astrosit membungkus kapiler

darah mengisolasi neuron SSP dari berbagai zat berbahaya dalam darah dengan

mengeluarkan bahan kimia yang mempertahankan karakteristik permeabilitas

selektif unik dari sel-sel endotel kapiler. Akibatnya, endotel sel menciptakan sawar

darah otak, yang membatasi pergerakan zat antara darah dan cairan interstitial dari

SSP, 3) Dalam embrio, astrosit mengeluarkan bahan kimia yang muncul untuk

mengatur pertumbuhan, migrasi, dan interkoneksi antar neuron di otak, 4) Astrosit

membantu untuk mempertahankan kimia yang tepat lingkungan untuk generasi

impuls saraf, 5) Astrosit juga berperan dalam proses belajar dan memori dengan

mempengaruhi proses pembentukan sinapsis saraf (Tortora et al., 2009).

2.5.1.3 Mikroglia

Mikroglia adalah jenis sel kekebalan yang berada dalam SSP dan terlibat

dalam berbagai kondisi patologis di SSP. Mikroglia cepat merespon kondisi

fisiologis yang merugikan (misalnya iskemia dan kerusakan fisik) dan berubah

menjadi bentuk aktif mengikuti serangkaian perubahan morfologi, jumlah dan

ekspresi gen secara progresif (Hanisch & Kettenmann, 2007).

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

50

Sel ini dapat dibedakan dengan yang lain karena berasal dari jaringan

mesenkim, bentuk intinya yang memanjang dengan butir-butir kromatin yang

tersebar rata. Kadang-kadang masih dapat terlihat sitoplasma di sekitar intinya.

Neuroglia ini adalah sel-sel kecil dengan tonjolan tipis yang mengeluarkan proyeksi

berbentuk tulang (spine like projection). Fungsi mikroglia sebagai fagosit. Seperti

makrofag jaringan, mikroglia menghilangkan debris selular yang terbentuk selama

perkembangan normal sistem saraf serta mikroba dan jaringan saraf yang rusak

(Tortora et al., 2009; Marieb et al., 2011).

2.5.1.4 Sel Ependimal

Sel ini secara umum disepakati dimasukkan ke dalam kelompok neuroglia,

walaupun badan selnya tidak terdapat di antara sel-sel saraf. Sel ependimal

merupakan sel selapis tersusun dari sel kuboidal dan sel kolumnar, yang memiliki

mikrovili dan silia. Sel-sel ini melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis dari

sumsum tulang belakang (tempat yang berisi cairan cerebrospinal, yang melindungi

dan memelihara otak dan sumsum tulang belakang). Secara fungsional, sel

ependimal memproduksi, menjaga, dan membantu sirkulasi cairan serebrospinal.

Mereka juga membentuk cairan sawar darah otak (Tortora et al., 2009; Marieb et

al., 2011).

2.5.1.5 Sel Schwann

Sel-sel ini mengelilingi akson sistem saraf tepi, dan seperti oligodendrosit,

sel ini juga membentuk selubung mielin di sekitar akson. Namun, satu

oligodendrosit dapat menyelubungi beberapa akson, tetapi masing-masing sel

Schwann hanya menyelubungi satu akson. Sebuah sel Schwann juga dapat

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

51

menyelubungi sebanyak 20 atau lebih akson yang tidak memiliki selubung mielin.

Sel Schwann berperan dalam regenerasi akson, yang lebih mudah terjadi dalam SST

daripada di SSP (Tortora et al., 2009; Marieb et al., 2011).

2.5.1.6 Sel Satelit

Badan sel neuron di ganglia perifer dikelilingi oleh sel-sel satelit yang

berbentuk datar. Sel-sel satelit mengatur pertukaran nutrisi dan produk-produk

limbah antara tubuh sel neuron dan cairan ekstraselular. Mereka juga membantu

mengisolasi neuron dari rangsangan selain yang disediakan pada sinapsis (Tortora

et al., 2009; Marieb et al., 2011).

2.5.2 Peranan Mikroglia pada Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik mengacu pada berbagai kondisi nyeri kronis dengan

berbagai mekanisme patofisiologi dan sumber yang berbeda. Studi-studi terbaru

menunjukkan adanya komunikasi antara sistem imun dan sistem saraf. Mekanisme

umum yang mendasari nyeri neuropatik adalah adanya inflamasi pada saraf yang

terkena. Respon inflamasi ini akan memicu kaskade yang menyebabkan terjadinya

konsentrasi dan aktivasi dari sel imun bawaan pada jaringan yang mengalami

kerusakan. Beberapa molekul yang disekresikan oleh sel saraf yang mengalami

inflamasi adalah EEA, PGE, substansi P (SP), ATP, dan NO, yang seluruhnya

memicu aktivasi sel-sel glia, sedangkan pelepasan substansi imunoaktif seperti

sitokin, neurotrophic factor dan kemokin menginisiasi aktivitas lokal yang

kemudian memicu respon imunitas secara umum. Kondisi ini akan mengaktivasi

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

52

sel glia pada sumsum tulang dan otak yang memegang peranan penting dalam

nosisepsi (Vallejo et al.,2010).

Sel Glial yang juga dikenal sebagai neuroglia, merupakan sel

nonconducting yang memodulasi transmisi neuron di tingkat sinaptik. Sel glial

dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu mikroglia dan makroglia, meliputi

astrosit dan oligodendrosit. Astrosit dan mikroglia dikenal memainkan peran dalam

pengembangan, penyebaran, dan potensiasi nyeri neuropatik. Setelah nosiseptor

perifer teraktivasi melalui cedera saraf, mikroglia menjadi aktif dan melepaskan

sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6, yang memulai proses nyeri.

Mikroglia menyebarkan peradangan saraf dengan merekrut mikroglia lainnya dan

akhirnya mengaktifkan astrosit di dekatnya, yang memperpanjang kondisi

inflamasi dan menyebabkan kondisi nyeri neuropatik kronis (Vallejo et al.,2010).

Ekspresi beberapa reseptor permukaan juga berubah pada mikroglia

teraktivasi. Mikroglia teraktifkan membangkitkan berbagai respon seluler, seperti

migrasi menuju area yang mengalami masalah, sekresi faktor pro-inflamasi dan

fagositosis sel-sel mati atau debris berbahaya (Davalos et al., 2005;

Hanisch&Kettenmann, 2007; Koizumi et al., 2008).

Mikroglia yang teraktivasi juga akan meningkatkan produksi PGE melalui

peningkatan aktivitas enzim COX di dalam mikroglia itu sendiri (Samad dkk,

2001). PGE yang dihasilkan kemudian akan menstimulasi ganglion radiks dorsal

untuk memproduksi NO yang juga diketahui berperan penting terhadap

patofisiologi nyeri melalui efeknya yang pleiotropik. Lebih lanjut, mikroglia yang

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

53

teraktivasi juga diketahui meningkatkan produksi dan mensekresikan NO dibawah

pengaruh aktivasi reseptor AMPA dan mGlu (Millan, 1999).

Pada hari pertama setelah terjadi cedera saraf akan terjadi aktivasi dan

peningkatan mikroglia pada area yang mengalami denervasi, puncaknya pada hari

ketiga pasca lesi dan kembali normal pada hari ke-8. Pasca aktivasi mikroglia,

selanjutnya astrosit akan teraktivasi, puncaknya pada hari ke-4, dan tetap aktif

sampai sekitar 2 minggu. Mikroglia terutama melakukan reaksi fagositosis secara

besar-besaran dan mencerna ujung degeneratif, mielin dan debris (Mense, 2009).

Mikroglia yang teraktivasi akan memberikan gambaran morfologi badan sel

yang mengalami hipertrofi dengan penebalan dan prosesus mengalami penarikan,

terjadi peningkatan jumlah sel dan peningkatan tingkat pewarnaan penanda

mikroglia seperti CD11b dan ionized calcium-binding adapter molecule-1 (Iba-1)

(Gambar 2.6) (Tsuda, 2015).

Cedera saraf juga memicu peningkatan proliferasi dan aktivasi astrosit pada

sisi ipsilateral medula spinalis. Jika dibanding dengan respon mikroglia, proliferasi

dan progresifitas astrosit relatif lebih lambat, tetapi tersedia terus-menerus dalam

periode yang lebih panjang yaitu lebih dari 5 bulan. Sinyal yang memicu proliferasi

dan aktivasi astrosit secara terus-menerus belum diketahui secara pasti. Spekulasi

menarik untuk menyatakan bahwa respon astrosit muncul secara sekunder setelah

aktivasi mikroglia (Scholz&Woolf, 2007).

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

54

Gambar 2.6

Aktivasi mikroglia di kornu dorsalis medula spinalis setelah cedera saraf tepi.

(a) Imunofluoresensi mikroglia dengan penanda ionized calcium-binding adapter

molecule-1 di kornu dorsalis medula spinalis7 hari setelah cedera saraf.

(b) normal dan (c) kondisi mikroglia teraktivasi di sisi kontralateral dan ipsilateral

masing-masing dari kornu dorsalis medula spinalis (Tsuda, 2015).

2.5.3 Reseptor Purinergik

Reseptor purinergik terdiri dari P1 dan P2. Reseptor Purinergik diaktifkan

oleh nukleotida ekstraseluler (Khakh & North, 2006; Burnstock, 2008). Reseptor

P2 terdiri dari dua keluarga, reseptor ionotropik (P2X) dan reseptor metabotropik

(P2Y). Reseptor-reseptor P2 memiliki peranan penting dalam proses inflamasi dan

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

55

nyeri, terutama famili reseptor P2X (Burnstock, 2006). Reseptor P2X mengandung

pori-pori intrinsik yang membuka ketika berikatan dengan ATP (Browne et al,

2010;. Coddou et al, 2011). Reseptor P2Y yang digabungkan ke second-messenger

systemsintraseluler melalui heteromerik G-protein (Abbracchio et al., 2006).

Reseptor P2X diekspresi di mRNA, protein, dan atau tingkat fungsional

telah didokumentasikan dalam berbagai macam sel, termasuk neuron dan sel glial

dalam SSP dan SST, sel otot, sel-sel epitel, endotel sel, sel-sel endokrin, sel-sel

tulang, dan sel-sel kekebalan tubuh, dan distribusi secara luas dalam keragaman

proses fisiologis (Jiang, 2012). Setelah teraktivasi pasca cedera saraf tepi,

mikroglia tulang belakang secara dramatis mengubah ekspresi berbagai gen yang

mengkode reseptor permukaan sel termasuk purinergik reseptor P2 (Tsuda, 2013).

Secara fisiologis fungsi reseptor P2X yang disimpulkan dari studi tikus knock out

(KO) dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2

Fungsi fisiologis reseptor-reseptor P2X (Jiang, 2012) Reseptor Fungsi fisiologis P2X1 kontraksi vas deferen dan kesuburan pria, auto regulasi mikrovaskular ginjal,

agregasi platelet dan trombosis, kemotaksis netrofil P2X2 neurotransmisi enterik dan peristaltik pada usus kecil, modulasi dari sinap

eksitatori ke interneuron di hipokampus, pembentukan hubungan tulang dan neuromuskuler, sekresi ATP, pelepasan vasopresin pada terminal hipotalamikneurohipofisial, fungsi sperma dan kesuburan pria

P2X3, P2X2/3 nyeri inflamasi dan neuropatik, transduksi mekanik pada kandung kemih, neurotransmisi enterik dan peristaltik pada usus kecil, kemoresepsi pada badan karotis, sensasi suhu, transduksi rasa, long term-depression

P2X4 Long-term potentiation di hipokampus, persinyalan kalsium pada endotel dan kontrol tonus vaskuler, pelepasan BDNF pada mikroglia dan nyeri neuropatik, pelepasan E2 dari makrofag dan nyeri inflamasi

P2X7 pelepasan IL-1β dari sistim imun, perubahan volume dan ketajaman monosit dan limfosit dan L-selectin shedding, kematian makrofag dan mikroglia, pelepasan prostaglandin E2 pada osteoblas dan osteogenesis, sinyaling NFκB pada formasi osteoklas, induksi kematian sel limfosit T, nyeri inflamasi dan neuropatik, pelepasan ATP dan sinyaling kalsium intraseluler astrosit, regulasi fungsi sel NK pada cedera hepar autoimun, regulasi sekresi glandula eksokrin, pelepasan cathepsin dari makrofag

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

56

Diantara 7 jenis subtipe dari reseptor P2X, tipe utama yang berkaitan

dengan pembentukan dan kontrol kondisi nyeri adalah reseptor P2X3 (P2X3R),

P2X2/3 (P2X2/3R) heteronomik, P2X4 (P2X4R) dan P2X7 (P2X7R) (Ando et al.,

2010; Jiang, 2012; Khaks & North,2012).

Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa di antara reseptor permukaan sel

tersebut, reseptor purinergik merupakan regulator potensial dari fungsi mikroglia

dan patogenesis gangguan SSP (Fields & Burnstock, 2006; Inoue et al., 2007;

Burnstock, 2008).

2.5.4 Peranan Reseptor P2X4 pada Mekanisme Nyeri Neuropatik

Peran reseptor P2X4 dalam patofisiologi nyeri kronis sebagian besar telah

dijabarkan berdasarkan ekspresi reseptor dan studi gangguan genetik. Beberapa

penelitian lain juga menunjukkan adanya kaitan reseptor P2X4 dengan nyeri akut

dan kronis (Tsuda et al., 2009; Trang et al.,2009; Trang and Salter, 2012),

Pada SSP, terjadi peningkatan ekspresi reseptor P2X4 pada permukaan sel

mikroglia setelah trauma atau paparan agen pro-inflamasi (misalnya,

lipopolisakarida bakteri). Ekspresi yang meningkat ini tampaknya spesifik pada

mikroglia karena ekspresi protein reseptor P2X4 ditemukan tidak meningkat pada

neuron atau astrosit setelah trauma atau cedera (Gum et al., 2012).

Kondisi alodinia taktil pada nyeri kronis membutuhkan aktivasi reseptor

ionotropik P2X4 dan p38MAPK pada mikroglia medula spinalis (Inoue et al.,

2004). Bukti pertama peran kausal mikroglia adalah temuan alodinia taktil yang

diinduksi cedera saraf tepi melalui penghambatan farmakologis reseptor P2X4 di

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

57

sumsum tulang belakang (Tsuda et al., 2003).

Pada daerah perifer, saat reseptor P2X4 muncul di permukaan makrofag

yang teraktivasi, melalui jalur signal p38MAPK yang mengaktifkan PLA2 sitosol

yang membebaskan asam arakidonat (AA) yang mengakibatkan sintesis COX dan

pelepasan prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin memicu hipersensitivitas saraf

perifer menyebabkan nyeri inflamasi.

Aktivasi reseptor P2X menyebabkan pelepasan faktor-faktor bioaktif

diffusible seperti BDNF dan faktor-faktor proinflamasi lainnya seperti sitokin dan

kemokin (Tsuda et al., 2012; Soares-Bezerra at al.,2013). Selain sitokin, sel glial

teraktivasi juga melepaskan NO dan produk COX. Keduanya berperan sebagai

induktor poten pada nyeri neuropatik (Jo et al., 2009).

Aktivasi p38 MAPK menginduksi sintesis sitokin proinflamasi seperti

TNFα, IL-1B, dan IL-6. Pada konsentrasi rendah, sitokin ini dapat memfasilitasi

terjadinya sensitisasi sentral melalui mekanisme yang berbeda-beda. TNFα

misalnya dapat meningkatkan transmisi sinaptik eksitatorik dengan meningkatkan

frekuensi spontaneous excitatory inhibitory postsynaptic currents (sEPSCs) dan

amplitude AMPA atau NMDA-induced currents. IL-1β secara simultan dapat

meningkatkan transmisi eksitatorik sinaptik dan menurunkan transmisi sinaptik

inhibitorik. IL-6 menghambat transmisi sinaptik inhibitorik dengan menurunkan

frekuensi spontan inhibitory postsynaptic currents (IPSCs) dan amplitudo GABA

dan glycine-induced current (Gao &Ji, 2010).

Mikroglia yang teraktivasi melalui stimulasi berbagai reseptornya,

termasuk reseptor purinergik, diketahui dapat mengaktifkan jalur persinyalan

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

58

p38MAPK dan berperan dalam inisiasi dan fasilitasi impuls nyeri. Sebagai contoh,

ligasi nervus spinalis pada hewan coba diketahui dapat mengaktifkan jalur p38

MAPK dan pemberian antagonis terhadap MAPK dapat mencegah terjadinya

alodinia (Schafers et al, 2003). Pemberian minoksiklin sebuah antibiotik yang

memiliki efek inhibisi terhadap aktivasi mikroglia, juga diketahui dapat

mengurangi nyeri pada berbagai kondisi patologis (Carniglia dkk, 2017).

Pada kornu dorsalis medula spinalis, mikroglia yang teraktivasi

menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor P2X4 dan P2X7. Ekspresi ini

melibatkan sinyal dari fibronektin dan CCL21. Reseptor P2X4 dan P2X7 diaktifkan

oleh ATP dan pada akhirnya akan meningkatkan kalsium intraseluler dan

mengaktivasi jalur p38MAPK (Gambar 2.7).

Pada sumsum tulang belakang, ekspresi reseptor P2X4 diregulasi secara

eksklusif pada mikroglia, menunjukkan bahwa hipersensitivitas nyeri yang

diinduksi oleh cedera saraf tepi tergantung pada berkelanjutannya signaling

purinergik melalui reseptor-reseptor P2X4 mikroglia. Sebuah tanda pengurangan

nyeri neuropatik di kedua tikus yang diobati secara spinal dengan antisense P2X4R

oligonukleotida dan tikus yang kekurangan reseptor P2X4 menunjukkan perlunya

reseptor P2X4 (Tsuda et al., 2003, 2009a; Ulmann et al., 2008).

Data menunjukkan pemberian mikroglia yang reseptor P2X4-nya

teraktivasi melalui tulang belakang menyebabkan tikus normal mengalami alodinia,

hal menunjukkan bahwa aktivasi P2X4R di mikroglia tidak hanya diperlukan tetapi

juga cukup untuk menyebabkan alodinia taktil (Tsuda et al., 2003, 2005).

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

59

Salah satu mekanisme nyeri neuropatik adalah melibatkan aktivasi reseptor

purinergik, yang kemudian akan meningkatkan sintesis dan sekresi BDNF, yang

memiliki efek disinhibisi terhadap transmisi impuls nyeri pada kelompok neuron

yang terdapat di lamina I medula spinalis (Trang et al., 2012).

Gambar 2.7

Ilustrasi skematik mekanisme potensial bagaimana reseptor P2X4 pada mikroglia

yang teraktivasi memodulasi sinyal nyeri di kornu dorsalis medula spinalis pasca

cedera saraf tepi (Tsuda et al., 2013).

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

60

Ablasi reseptor purinergik P2X4 terbukti menurunkan kadar BDNF dan

mengurangi nyeri neuropatik yang diinduksi oleh hiperalgesia mekanis (Ulmann et

al., 2008). Reseptor P2X4 yang teraktivasi memerlukan jalur persinyalan via ion

kalsium dan p38 MAPK agar BDNF dapat dibentuk dan disekresikan dari mikroglia

(Trang et al., 2009).

Dapat disimpulkan secara teoritis, bahwa inhibisi terhadap reseptor P2X4

dapat menghambat persinyalan p38MAPK dan efek pleiotropiknya terhadap proses

inflamasi, sekaligus memitigasi konduksi impuls nosiseptif melalui penekanan

sintesis dan sekresi BDNF. Penghambatan ekspresi dan fungsi reseptor P2X4 dan/

atau p38MAPK pada mikroglia medula spinalis dapat menjadi pendekatan

terapeutik baru untuk mengobati alodinia taktil yang disebabkan oleh kerusakan

saraf (Inoue et al., 2004).

2.6 Flavonoid dan Nyeri Neuropatik

Flavonoid memiliki 6 subklas yaitu Flavonols, Flavones, Flavonones,

Isoflavones, Flavan-3-0ls dan Anthocyanidins dikenal sebagai antioksidan yang

kuat. Flavonoid menunjukkan efek antioksidan, anti inflamasi, anti karsinogenik,

anti viral dan anti aging. Flavonoid juga memiliki kemampuan untuk menekan

berbagai saluran ion termasuk saluran Ca2+. Sebagai tambahan Flavonoid juga

dilaporkan menghambat peningkatan agonis yang menginduksi Ca2+ dan

menghambat kematian sel (Perveen et al., 2014).

Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa konsumsi fitokimia makanan,

seperti flavonoid, mungkin memberi efek menguntungkan pada SSP dengan

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

61

melindungi neuron terhadap stres akibat cedera, melalui penekanan aktivasi

mikroglia dan astrosit, yang memediasi peradangan saraf, dan dengan

mempromosikan plastisitas sinaptik, memori dan fungsi kognitif (Spencer, 2007).

Bukti juga mendukung peranan flavonoid dalam otak, sehingga fitokimia

ini dapat dianggap sebagai neuroptotektif yang potensial, neuromodulator atau agen

antiinflamasi neuron. Tampaknya sangat mungkin bahwa sifat menguntungkan

tersebut dimediasi oleh kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan protein dan

kaskade sinyal lipid kinase, dibandingkan melalui potensi mereka bertindak sebagai

antioksidan. Konsentrasi flavonoid yang dijumpaipada in vivo yang cukup tinggi

untuk mengerahkan aktivitas farmakologi pada reseptor, kinase dan faktor

transkripsi. Lokasi aksi yang tepat sampai saat ini belum diketahui. Sangat mungkin

bahwa aktivitas mereka tergantung pada kemampuan mereka untuk: (1) berikatan

pada situs ATP pada enzim dan reseptor; (2) memodulasi aktivitas kinase secara

langsung, yaitu MAPKKK, MAPKK atau MAPK; (3) mempengaruhi fungsi

fosfatase penting, yang bertindak bertentangan dengan kinase; (4) menjaga Ca2+

homeostasis, sehingga mencegah aktivasi Ca2+ yang tergantung kinase di neuron;

dan (5) memodulasi kaskade sinyal kinase, yaitu mengaktivasi faktor transkripsi

dan berikatan dengan urutan promotor (Spencer, 2007).

Produk-produk natural muncul kembali dalam pengobatan tradisional

sebagai sumber potensial dari molekul baru atau phytomedicines untuk membantu

gangguan kesehatan. Hal penting dari penemuan ini adalah peranan sebagian dari

reseptor P2 pada inflamasi dan nyeri, lebih spesifiknya pada keluarga reseptor P2X,

yang merupakan salah satu dari dua subklas dari reseptor P2 (P2R). Reseptor P2X

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

62

adalah ionotropic dan memiliki ATP sebagai agonis utamanya. Diantara 7

subtipereseptor P2X, yang paling berhubungan dengan pengembangan atau

pengendalian status nyeri adalah reseptor P2X3, heteromerik reseptor P2X2/3,

reseptor P2X4, dan reseptor P2X7 (Burnstock, 2006; Andó et al., 2010; Khakh &

North, 2012).

Molekul-molekul produk-produk natural yang memiliki efek analgesik

melalui antagonis terhadap reseptor P2X antara lain: 1) Emodin; 2) Amentoflavone;

3) Ligunstrazine; 4) Puerarin dan 5) Purotoxin-1 (Gambar 2.8) (Khakh & North,

2012).

Gambar 2.8

Molekul dari produk natural dengan aktivitas analgesik melewati P2XR

antagonis: (1) Emodin; (2) Amentoflavone; (3) Ligunstrazine; (4) Puerarin dan

(5) Purotoxin-1 (PDB:2KGU) ((Khakh & North, 2012).

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

63

Reseptor P2X3 dan P2X2/3 diekspresikan secara selektif di sistem sensoris,

di serabut-serabut eferen perifer. Sel yang sudah rusak melepaskan molekul-

molekul stimulasi, seperti glutamat atau ATP, memicu sinyal noksius

memicueksitabilitas neuronal dan nyeri. Homomerik dari reseptor P2X3 dan

heteromerik dari reseptor P2X2/3 juga berhubungan dengan respon inflamasi,

bagaimanapun ini tetap belum jelas, apakah mekanisme perkembangan dari

inflammatory hyperalgesia tergantung pada sitokin-sitokin inflamasi atau

pelepasan dari PGE2 dan sympato mimetic amines yang menyebabkan pemindahan

PKC epsilon atau pelepasan dari bradikinin atau memang tidak memiliki korelasi

dengan pelepasan sitokin, PGE2 atau dopamin (Khakh & North, 2012).

Beberapa studi terbaru menemukan bahwa produk natural mampu untuk

menghalangi mekanisme dari P2X3R. Proyek ini mendemonstrasikan efek

analgesik pada nyeri yang diinduksi dengan formalin melalui antagonis P2X3.

Sebuah produk herbal yang digunakan pada obat cina yang disebut ligustrazine

(tetramethylpyrazine), alkaloid yang berasal dari Ligusticum wallachii,

menyebabkan inhibisi pada membran depolarisasi yang diinduksi oleh ATP di

neuron-neuron ganglion radiks dorsalis. Studi lain mengkonfirmasikan

kemampuan senyawa ini untuk menghalangi arus ionik yang diinduksi oleh ATP di

neuron-neuron GRD melalui aktifitas antagonis di reseptor P2X3. Ditemukan juga

bahwa efek dari hal ini tidak selektif, karena hal ini juga bekerja pada fosforilasi

PKC (Khakh & North, 2012).

Efek analgesik dari tetramethylpyrazine ditemukan juga pada nyeri

neuropatik melewati pemblokiran transmisi aferen primer oleh pengaktifan reseptor

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

64

P2X3 dan berhubungan dengan efek senyawa pada transmisi nyeri setelah

pembakaran/terbakar seperti melewati mekanisme reseptor P2X3. Produk natural

lain yang disebut sebagai puerarin juga ditemukan memiliki efek penghambatan

pada nyeri terbakar dan hiperalgesia melalui penghambatan upregulasi dari ekspresi

protein reseptor P2X3 di neuron-neuron GRD (Khakh & North, 2012).

Demikian pula, emodin, antrakuinon diperoleh dari ekstrak rhubarb (Rheum

officinale Baill) menunjukkan aktivitas analgetik tidak hanya pada nyeri neuropatik

melalui antagonis reseptor P2X3 yang terekspresi pada neuron-neuron sensoris

primer, tetapi juga melalui aktivitas antagonis terhadap reseptor P2X7 tikus.

Purotoxin, sebuah peptida yang diisolasi dari racun laba-laba Asia spesies

Geolycosa juga menunjukkan efek antagonis yang poten dan selektif terhadap

reseptor P2X3 penghambatan terhadap arus ion pada neuron tikus dan

menunjukkan efek analgesik pada nyeri inflamasi (Khakh & North, 2012).

Reseptor P2X4 terbukti pada beberapa penelitian memiliki hubungan

dengan nyeri akut dan kronis, dan perannya dalam timbulnya nyeri neuropatik dan

inflamasi baru-baru ini telah diusulkan. Di perifer, ketika reseptor P2X4 terkspresi

di makrofag yang teraktivasi, sel-sel ini melepaskan PGE2, melalui jalur

p38MAPK; prostaglandin ini mengarah ke hipersensitivitas dari saraf perifer,

menyebabkan nyeri inflamasi. Di SSP, di mana mikroglia yang mengekspresikan

reseptor P2X4, ketika diaktifkan, menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler

dan mengaktifkan jalur MAPK dengan merilis BDNF yang kemudian bekerja pada

rilis GABA (molekul hyperalgesic) oleh neuron GABAergic. Penghambatan

produksi BDNF melalui pengobatan dengan antagonis untuk reseptor P2X4 (TNP-

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

65

ATP) diamati in vitro. Sampai saat ini studi senyawa sintetik atau alami baru

dengan aktivitas pada gangguan inflamasi dan nyeri yang menguntungkan melalui

penghambatan reseptor P2X4 ini masih sangat kurang (Khakh & North, 2012).

Sebuah penelitian menunjukkan aktivitas N-substituted phenoxazine dan

derivat acridone pada masuknya kalsium dalam sel-sel garis 1321N1 astrocytoma

dan sel transfected dengan reseptor P2X4 manusia, menunjukkan kemungkinan

penggunaan senyawa ini dalam konteks nosisepsi. Partisipasi reseptor P2X4 dalam

konteks inflamasi adalah terkait co-ekspresi dengan reseptor P2X7, dan memediasi

fungsi inflamasi yang terkait dengan reseptor P2X7 melalui pelepasan sitokin

(yaitu, IL-1β) dan kematian sel sinyal melalui masuknya kalsium. Reseptornya juga

memediasi pelepasan PGE2 melalui aktivasi MAPK, yang berpartisipasi dalam

pemeliharaan respon inflamasi kronis (Hernandez-Olmos et al, 2012; Soares-

Bezerra et al., 2013).

2.6.1 Senyawa Antosianin

Antosianin adalah salah satu subklas dari flavonoid merupakan kelompok

terbesar pigmen yang larut dalam air di kerajaan tanaman. Secara kimia, mereka

adalah polyhydroxylated atau polymethoxy-lated glikosida atau acylglycosides dari

antosianidin dan merupakan turunan beroksigen dari 2-phenylbenzopyrylium atau

garam flavylium. Mereka merupakan keluarga senyawa yang dikenal sebagai

flavonoid, dan yang membedakan mereka dari flavonoid lainnya sebagai kelas

terpisah karena kemampuan mereka untuk membentuk kation flavylium (gambar

2.9) (Mazza, 2007).

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

66

Gambar 2.9

Kation flavylium (Mazza, 2007)

Mereka terjadi terutama sebagai glikosida anthocyanidinchromophores aglikon

dengan bagian gula yang masing-masing umumnya menempel pada posisi 3 pada

cincin C atau posisi 5 pada cincin A. Ada sekitar 17 antosianidin yang ditemukan

di alam, namun hanya enam (sianidin, delphinidin, petunidin, peonidin,

pelargonidin, dan malvidin, dengan sianidin yang paling umum) (Gambar 2.10)

tersebar di mana-mana dan sangat penting dalam makanan manusia (Miguel, 2011).

Gambar 2.10

Struktur kimia umum antosianin (antosianidin) (Miguel, 2011)

Page 54: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

67

2.6.2 Farmakokinetik Antosianin

Informasi tentang penyerapan, metabolisme, distribusi jaringan dan organ

serta ekskresi antosianin pada subyek manusia masih langka karena sangat

kompleks, mahal dan panjang, dan kadang-kadang dengan hasil yang bertentangan

(Kay et al., 2004; McDougall et al., 2005). Percobaan in vivo menggunakan tikus

menunjukkan bahwa malvidin-3-glukosida muncul di kedua plasma portal dan

sistemik hanya selama 6 menit dan dalam kondisi stabil. Temuan ini menunjukkan

bahwa antosianin dapat menembus mukosa lambung (Passamonti et al., 2003).

Waktu yang diperlukan bagi antosianin agar dapat mencapai kadar

maksimum dalam plasma (Tmaks) bervariasi, tergantung dari jenis substansi

aktifnya dan sumber dari antosianin tersebut. Secara umum, Tmaks berkisar antara

15 menit (sianidin 3-glukosida yang diperoleh dari bilberi dan elderberi), 30 menit

(sianidin 3-glukosida dan sianidin 3-rutinosida yang diperoleh dari anggur dan

bluberi), 60 menit (3-glukosida yang diperoleh dari beri hitam marrion kering),

hingga 2 jam (pada delpinidin 3-rutinosida) (Pojer et al., 2013).

Penelitian lain mengungkap-kan bahwa antosianin glikosida juga cepat dan

efisien diserap pada usus halus tikus dan lebih jauh lagi dengan cepat

dimetabolisme serta diekskresikan ke dalam empedu dan urin sebagai glikosida

utuh serta bentuk termetilasi dan turunannya glucuronidated (Talavéra et al., 2004).

Penyerapan antosianin bergantung pada struktur dan komposisi dari glisin,

glukosa, dan komponen yang terasetilasi (Fang, 2014; Tian, 2006; Wu et al., 2005;

Wu et al., 2004). Secara umum diasumsikan bahwa semakin kompleks struktur

Page 55: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

68

molekul sebuah antosianin, maka semakin lama dan sedikit tingkat absorpsinya

(Kurilich et al., 2005).

Diketahui bahwa bioavailabilitas antosianin pada hewan coba relatif rendah.

Diperkirakan hanya 1-2% kadar antosianin yang dapat dideteksi di organ tubuh

(Lila et al., 2016). Namun bioavailabilitas antosianin diprediksi jauh lebih tinggi

dari angka tersebut apabila mempertimbangkan pula metabolisme fase I dan II,

konjugasi, metabolism yang dibantu oleh mikroba saluran cerna, dan siklus

enterohepatik (Fang, 2014).

Sebuah studi yang mengkaji farmakokinetik antosianin yang berasal dari

beri hitam (kandungan antosianin:14,8 mmol/kg diet) yang diberikan kepada hewan

coba mencit menunjukkan bahwa dalam 15 hari pasca diet per oral, didapatkan

akumulasi antosianin pada berbagai organ, diantaranya pada jejunum (605 nmol/g),

ginjal (3,27 nmol/g), dan otak (0,25 nmol/g) (Talavera et al., 2005).

Penelitian lain meneliti kemampuan antosianin untuk melewati sawar darah

otak dan kemampuan meningkatkan kapasitas antioksidan otak. Diperoleh hasil

antosianin secara signifikan meningkatkan kadar glutation di otak yang

memperkuat kapasitas antioksidan otak. Metabolit antosianin juga terdeteksi di

jaringan otak tikus. Hal ini mendorong perlu dipelajari bahwa antosianin dapat

sebagai calon yang cocok untuk suplemen makanan yang dapat mendukung

kapasitas antioksidan di otak dan memiliki potensi untuk memberikan pelindung

saraf dalam kondisi neurodegeneratif (Rashid et al., 2014).

Page 56: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

69

2.6.3 Farmakodinamik Antosianin dalam Manajemen Nyeri Neuropatik

Antosianin flavonoid heterosiklik, terdiri dari dua atau tiga gugus-

anthocyanidinaglycone, gula dan asam asil terutama dijumpai pada buah-buahan

dan juga sayuran, akar-akaran, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sereal (Tall et

al., 2004).

Antosianin bertanggung jawab untuk sebagian besar warna merah, biru, dan

ungu dari buah-buahan, sayuran, bunga, dan jaringan tanaman atau produk lainnya.

Jumlah mereka berlimpah terutama dalam berry dan buah-buahan lainnya yang

berwarna merah, biru, atau ungu, serta anggur merah. Porsi 100gr buah bisa

mengandung hingga 500mg antosianin. Di Amerika, asupan harian antosianin pada

manusia diperkirakan 180-215mg/hari. Nilai ini jauh lebih tinggi dari asupan

flavonoid dari sumber lain seperti flavon dan flavonol pada diet orang Belanda (23

mg/hari, diukur sebagai aglikon). Perbedaan warna antara antosianin sebagian besar

ditentukan oleh pola substitusi aglikon, pola glikosilasi, dan tingkat serta sifat

esterifikasi dari gula dengan alifatik atau asam-asam aromatik, serta oleh pH, suhu,

jenis pelarut, dan kehadiran co-pigmen (Mazza, 2007).

Sekitar 400 jenis antosianin telah diidentifikasi. Enam antosianidin

terbanyak yang ditemukan pada tanaman diklasifikasikan sesuai dengan jumlah dan

posisi hidroksil dan kelompok methoxyl pada inti flavan, dan diberi nama

pelargonidin, cyanidin, delphinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Jenis

antosianidin terbanyak di alam adalah sianidin (Mazza, 2007).

Makanan-makanan yang banyak mengandung antosianin semakin popular

di masyarakat. Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi antosianin-

Page 57: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

70

antosianin menurunkan risiko penyakit-penyakit kardio-vaskuler, diabetes, arthritis

dan kanker melalui kemampuan sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Ketajaman

visual juga meningkat dengan pemberian antosianin karena pigmen-pigmen

meningkatkan penglihatan malam hari dan visual secara keseluruhan. Beberapa

penelitian telah mampu men-demontrasikan bahwa antosianidin-antosianidin

memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat ekspresi COX-2 yang

berperanan pada sintesis prostaglandin. Antosianin juga menujukkan efek

antimikroba, antikarsinogenik, serta efek neuroproteksi (Youdim et al., 2000; Galli

et al., 2002; Mazza, 2007).

Sebuah penelitian melaporkan peningkatan aktivitas antioksidan melalui

peningkatan gugus hidroksil dan penurunan aktivitas antioksidan dengan

glikosilasi antosianidin-antosianidin. Aktivitas antioksidan antosianin termasuk

perlindungan LDL terhadap oksidasi, telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian

invitro berbeda (Fukumoto & Mazza, 2000).

Baru-baru ini, telah ditemukan pelargonidin, sianidin, delphinidin,

peonidin, malvidin, malvidin 3-glucoside, dan malvidin 3,5-diglucoside memiliki

efek penghambatan kuat pada produksi NOxoleh makrofag. Di kisaran 16-500 pM,

senyawa ini menghambat produksi NOx lebih dari 50% tanpa menunjukkan

sitotoksisitas apapun. Efek penghambatan mereka adalah sebanding dengan yang

quercetin, yang telah secara ekstensif dipelajari dan ditunjukkan untuk sebagai

antiinflamasi dan efek antioksidan. Ekstrak berry kaya antosianin juga

menunjukkan efek penghambatan yang cukup besar pada produksi NOx dan efek

Page 58: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

71

penghambatan mereka secara signifikan berkorelasi dengan kandungan total

antosianin (Wang & Mazza, 2002).

Antosianin merupakan antioksidan kuat. Antosianin memakan radikal

superoksida (O2.-), hidroksil (OH.), lipid peroxyl (Roo.), dan NO serta menghambat

peroksidasi lipid yang diinduksi oleh Cu, asam askorbat yang ditambahkan dengan

Fe2+, doksorubisin dan radiasi cahaya ultraviolet. Antosianin melindungi low

density lipoprotein (LDL) terhadap tembaga dan oksidasi radikal yang menginduksi

peroksil (Cao et al., 2001).

Sebuah penelitian untuk mengetahui mekanisme molekuler yang mendasari

efek antiinflamasi dari antosianin terkait dengan penyakit-penyakit

neurodegeneratif. Mereka meneliti efek antosianin yang diisolasi dari kulit biji

kedelai hitam dapat menghambat mediator-mediator proinflamasi dan sitokin-

sitokin pada sel-sel mikroglia murine BV2 yang distimulasi dengan

lipopolysaccharide (LPS) (Jeong et al., 2013).

Hasilnya adalah antosianin secara signifikan menghambat mediator-

mediator inflamasi yang diinduksi oleh LPS seperti Nox dan prostaglandin E2 dan

sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β tanpa efek toksisitas yang

signifikan. Antosianin juga secara eksesif mengurangi ekspresi iNOS, Cox-2, TNF-

α dan IL-1 β. Lebih lanjut antosianin juga menghambat nuclear translocation of

NF-κB dengan mengurangi penghambatan terhadap degradasi NF-κB alpha seperti

juga phosphorylating extracellular signal-regulated kinase, c-Jun N-terminal

kinase, p38 MAPK, dan Akt (Jeong et al., 2013).

Page 59: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

72

2.6.4 Ubi Jalar Ungu Sebagai Sumber Antosianin

Ubi jalar merupakan salah satu jenis bahan pangan yang banyak terdapat di

Indonesia. Kandungan gizi ubi jalar diketahui banyak mengandung karbohidrat,

protein, lemak, serat vitamin, mineral serta kandungan fitokimia sebagai sumber

antioksidan, salah satunya antosianin (Nuraini, 2004). Secara umum, klasifikasi

ilmiah dari ubi jalar yang merupakan salah satu dari 20 jenis bahan pangan yang

berfungsi sebagai sumber karbohidrat adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Solanales

Famili : Convolvulaceae

Genus : Ipomoea

Spesies : I. batatas

Ada beberapa jenis ubi jalar yang dikenal, yang paling umum adalah ubi

jalar putih, merah atau ungu. Pada umumnya umbi-umbi yang berwarna ungu baik

ubi jalar, ubi aung dan tales mengandung antosianin lebih tinggi dibandingkan

dengan umbi berwarna lain (gambar 2.11) (Suprapta et al., 2003).

Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu bahan makanan

yang memiliki kandungan senyawa antioksidan yang sangat tinggi, yaitu

antosianin. Umbi ubi jalar ungu telah banyak digunakan untuk konsumsi sehari-

hari (Jawi et al., 2008).

Page 60: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

73

Gambar 2.11

Umbi Ubi Jalar Ungu (kiri); Pohon Ubi jalar (kanan) (Suprapta et al., 2003)

Warna ungu pada ubi jalar ungu disebabkan oleh adanya zat warna alam

yang disebut antosianin. Antosianin merupakan salah satu antioksidan yang mampu

mencegah berbagai jenis kerusakan akibat stres oksidatif. Kerusakan yang terjadi

akibat stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya beberapa jenis penyakit.

Tumbuh-tumbuhan yang ada di Bali telah banyak diteliti dan ternyata ubi jalar

Ungu mengandung antosianin cukup tinggi hampir sama dengan bilberry. Kadar

antosianin dalam ubi jalar ungu bervariasi, bergantung pada jenis kultivarnya. Ubi

jalar ungu mengandung antosianin bervariasi antara 110mg/100 g sampai

210mg/100g umbi segar (tabel 2.3) (Suprapta et al., 2003; Ginting et al., 2011).

Pada studi lain didapatkan bahwa kadar antosianin dari kultivar ubi jalar

ungu ‘Ayamurasaki’ adalah sebesar 59 mg ekivalen peonidin-3-

caffeoylsophoroside-5-glucoside/100 g (Suda et al., 2002). Studi pada ubi jalar

ungu kultivar Amerika menemukan kadar antosianin sebesar 24,6 hingga 45 mg

sianidin 3-glukosida/100 g berat segar (Teow et al., 2007).

Page 61: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

74

Senyawa antosianin yang terdapat pada ubi jalar berfungsi sebagai

antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah

terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar ungu pada mencit

menunjukkan aktivitas antikanker. Disamping itu, pada penelitian pada mencit

yang diberikan aktivitas fisik berat yang diawali dengan pemberian ekstrak umbi

ubi jalar ungu ternyata mampu memperkecil kadar malondialdehid yang merupakan

petanda terjadinya stres oksidatif (Jawi et al., 2008).

Tabel 2.3

Kandungan gizi ubi jalar ungu

Gizi Ubi Ungu Pati (%) Gula Reduksi (%) Lemak (%) Protein (%) Air (%) Abu (%) Serat (%) Vitamin C (mg/100 g) Vitamin A (SI) Antosianin (mg/100 g)

22,64 0,30 0,94 0,77 70,46 0,84 3,00 21,43

- 110,51

Sumber: Ginting et al., 2011

Senyawa antosianin yang terdapat pada ubi jalar berfungsi sebagai

antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah

terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis.

Sebuah penelitian mengatakan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar ungu pada mencit

menunjukkan aktivitas antikanker. Disamping itu, pada penelitian pada mencit

yang diberikan aktivitas fisik berat yang diawali dengan pemberian ekstrak umbi

Page 62: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

75

ubi jalar ungu ternyata mampu memperkecil kadar malondialdehid yang merupakan

petanda terjadinya stres oksidatif (Jawi et al., 2008).

2.7 Model Hewan Coba untuk Nyeri Neuropatik

Sejumlah model hewan coba untuk nyeri neuropatik telah dikembangkan

untuk memahami patogenesis nyeri dan membantu penemuan obat (Calvo et al.,

2012). Sebagian besar berdasarkan prosedur pada atau dekat nervus iskhiadikus.

metode-metode ini dibedakan berdasarkan lokasi dan jenis injuri meliputi transeksi,

ikatan longgar maupun kencang, krioneurolisis, crush, inflamasi perineura dan

invasi tumor.

Kelemahan penelitian nyeri neuropatik dengan menggunakan nyeri

neuropatik hewan coba sebagai tolok ukur adalah: 1) hewan coba tidak bisa

berkomunikasi, sehingga tidak bisa dilakukan pemeriksaan visual analog scale

(VAS), 2) tidak bisa menggunakan sampel dalam jumlah besar, sehingga kesulitan

dalam memproses statistik, 3) keterbatasan dalam penilaian perilaku nyeri

neuropatik hewan coba (Rahayuningsih, 2012).

Jenis kelamin tikus juga memiliki peranan yang penting dalam sensitivitas,

efikasi obat-obat analgesik dan prevalensi nyeri neuropatik. Sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Vacca et al. (2016) dapat mendemonstrasikan bahwa tikus jantan

dan betina memiliki reaksi berbeda terhadap perubahan struktur dan fungsi nyeri

neuropatik yang diinduksi dengan pengikatan nervus iskhiadikus. Tikus jantan

menunjukkan penurunan gradual alodinia dan perbaikan yang komplit sedangkan

pada tikus betina menunjukkan alodinia dan gliosis masih terjadi sampai 4 bulan

Page 63: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

76

setelah induksi neuropati. Model hewan coba yang banyak digunakan untuk

menilaian perilaku nyeri neuropatik adalah CCI, PSL dan SNL (gambar 2.12).

Gambar 2.12

Ilustrasi model CCI, PSL dan SNL (Bridges et al., 2001)

2.7.1 Model CCI atau Model Bennett

Bennett dan Xie tahun 1988 pertama kali melaporkan sebuah model tikus

untuk nyeri mononeuropati perifer. model berupa ikatan longgar pada nervus

iskhiadikus (bagian kanan atau kiri) dengan ikatan 4 chromic gut pada pertengahan

nervus ischiadikus sampaidiameter saraf itu sedikit tercekat erat, cukup menyentuh

saraf tanpa gangguan aliran darah dari pembuluh darah epineural (gambar 2.11)

(Dias et al., 2013). Respon imunitas akibat ikatan menimbulkan pembengkakan dan

penyempitan saraf, iskemik lokal dan degenerasi Wallerian (Champbell & Meyer,

2006; Jaggi et al., 2011).

Page 64: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

77

Pada Model ini menunjukkan gejala-gejala perilaku nyeri spontan seperti

autotomi, menjaga, menjilat berlebihan pada kaki belakang ipsilateral dan

menghindari pembebanan berat badan pada daerah injuri. Hiperalgesia karena

rangsangan suhu dan stimulasi mekanis dapat dideteksi seperti alodinia dingin dan

alodinia taktil (Wang & Wang, 2003). Nyeri neuropatik berlangsung paling tidak

selama 7 minggu setelah operasi (Bennett & Xie, 1988: Dowdall et al., 2005).

Pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan penurunan kecepatan hantar

saraf, dan pada pemeriksaan hisopatologi menunjukkan kerusakan yang berat pada

akson berselubung myelin dibandingkan yang tidak (Carlton et al., 1991).Saat ini

telah dapat didemonstrasikan bahwa kerusakan sebagian dari saraf memicu

sensitisasi terhadap serabut saraf A dan C dan keduanya memegang peranan

penting dalam memulai dan mempertahankan perilaku nyeri (Gabay & Tal, 2004).

Model ini memunculkan mononeuropati unilateral dan telah teramati pula

bahwa gejala ini berkaitan dengan kausalgia atau complex regional pain syndrome

(CRPS). Model ini sangat berguna untuk menganasis keluhan sensoris yang

berkaitan dengan neuropatik akibat jepitan seperti pada carpal tunnel syndome

(CTS) (Nakamura&Atsuya, 2006).

Model ini dipilih pada penelitian ini karena: 1) Merupakan model yang

handal dan mudah direproduksi, 2) sering digunakan, terutama untuk menilai

perilaku nyeri; 3) hasilnya adalah edema intraneural akibat strangulasi saraf, efektif

aksotomiakson saraf yang banyak meskipun tidak semua, 4)merupakan tiruan

kondisi nyeri neuropatik pasca cedera saraf tepi pada manusia; 5) denervasi parsial

mempertahankan beberapa respon perilaku terhadap rangsangan perifer; 6)

Page 65: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

78

menunjukkan tanda-tanda perilaku nyeri spontan; 7) Model ini menghasilkan

pengurangan besar dari serabut saraf (hampir semua serat Aβ dan aksotomi

mayoritas dari serabut Aδ sedangkan jumlah besar serabut C utuh); 8) melibatkan

komponen inflamasi dan neuropatik; 9) cocok untuk menilai allodynia dingin

dibandingkan dengan ligasi saraf skiatik parsial (PSL) dan spinal nerve ligation

(SNL) (Challa, 2015).

2.7.2 Model Partial Sciatic Nerve Ligation (PSL atau Model Seltzer)

Model percobaan binatang nyeri neuropatik ini pertama kali dikembangkan

oleh Ma dan Bisby. Pada model in pengerusakan saraf dilakukan dengan cara

memotong sepertiga sampai setengah diameter dari nervus iskhiadikus proksimal

dari trifurkasio iskhiadikus (gambar 2.11).

Model ini banyak dikerjakan terutama untuk menilai mekanisme nyeri

neuropatik dan efek pengobatan. Model ini dapat digunakan untuk menghubungkan

reaksi tikus dengan efek pengobatan terhadap perubahan endoneural tanpa

terganggu peradangan epineural. Model ini disukai karena mudah untuk mencapai

area operasionalnya, dan dapat dilakukan pada tikus rumah yang besar maupun

jenis tikus lainnya yang besar. Kelemahan model ini akibat adanya kemungkinan

pemotongan yang dilakukan bisa tidak sama ketebalannya. Kelebihan model ini

adalah setelah dilakukan pemotongan tidak meninggalkan sesuatu benda asing di

tempat lesi sehingga pengaruh inflamasi terhadap benda asing minimal. Modifikasi

dari model ini dikembangkan oleh Selter et al. (1990), dimana setengah dari nervus

iskhiadikus diikat benang setengahnya dan benangnya dibiarkan tetap disitu selama

Page 66: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

79

masa penelitian. Prosedur eksperimental ini dapat menunjukkan gejala alodinia

dengan stimulasi filamen von Frey dan hiperalgesia termal dan mekanis, gejala

dapat berlangsung lebih dari 7 bulan. model binatang juga akan menunjukkan gejala

nyeri spontan seperti gejala menjaga dan menjilat cakar ditempat perlukaan (Wang

& Wang, 2003).

2.7.3 Model L5/L6 spinal nerve ligation (SNL)

Kim dan Chung pertama kali melaporkan pada tahun 1992 model lain

eksperimen mononeuropati yang mensimulasikan kausalgia pada manusia. Pada

model ini, nervus spinalis L5 dan L6 secara unilateral diikat secara ketat pada

daerah distal ganglion kornu dorsalis (gambar 2.11).

Alodinia dan hiperalgesia muncul secara cepat setelah pengikatan dan

berlangsung selama lebih dari 4 bulan. Gejala perilaku nyeri neuropatik akan

muncul tanpa diikuti gejala autonomi. Jika dibandingkan dengan CCI dan PSL,

tempat pengikatan lebih konsisten dan juga mampu memisahkan segmen spinalis

yang mengalami perlukaan dan yang intak. SNL di lain pihak membutuhkan

prosedur operasi yang lebih ekstensif dari model lainnya. (Wang & Wang, 2003).

2.8 Penilaian Perilaku Nyeri Neuropatik

Penentuan adanya nyeri neuropatik pada hewan dinilai dengan evoked pain.

Penilaian evoked pain hewan coba yang diinduksi nyeri neuropatik dengan cara

diberikan stimulus mekanik maupun suhu pada area denervasi. Tanda tingkah laku

yang dihasilkan dari hipersensitivitas stimulus ini telah banyak diteliti pada model

Page 67: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

80

nyeri neuropatik hewan coba (Wang&Wang, 2003). Penilaian perilaku nyeri

neuropatik dapat dilihat pada tabel 2.4 (Wang&Wang, 2003).

Tabel 2.4

Penilaian perilaku nyeri kronis

Nyeri spontan Postur Menghindari berat tubuh pada sisi yang mengalami cedera Gaya jalan Pincang pada anggota tubuh yang terkena Tanda Nosifensif Menjilat cakar Perilaku eksploratif berlebih Menjaga anggota tubuh yang terkena Autonomi Mutilasi diri sendiri dan menyerang area yang mengalami denervasi Alodinia Alodinia taktil (contoh filamen von Frey) Alodinia dingin Hiperalgesia Hiperalgesia termal Radiant Heat Test (contoh tes Hargreaves's) hot plate Hiperalgesia mekanik (contoh Randall-Selito paw pressure device dan Filamen von Frey)

Penentuan adanya nyeri neuropatik pada hewan dinilai dengan evoked pain.

Penilaian evoked pain hewan coba yang diinduksi nyeri neuropatik dengan cara

diberikan stimulus mekanik maupun suhu pada area denervasi. Tanda tingkah laku

yang dihasilkan dari hipersensitivitas stimulus ini telah banyak diteliti pada model

nyeri neuropatik hewan coba (Wang&Wang, 2003).

Hipersensitifitas mekanik atau mechanical hyperalgesia-like behaviour

biasanya dinilai dengan filamen von Frey, yang dinilai adalah besarnya tekanan

yang diperlukan untuk dapat merangsang penarikan kaki hewan coba. Sedangkan

pada hipersensitivitas terhadap termal (thermal hyperalgesia-like behaviour dan

Page 68: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

81

cold allodynia-like behaviour) biasanya diukur dengan menilai waktu laten yang

diperlukan untuk penarikan kaki dan durasi reaksi terhadap stimulus hewan coba

setelah diberikan rangsangan panas maupun dingin (Decosterd & Berta, 2009;

Persson, 2009).

Mechanical hyperalgesia-like behaviour dapat juga ditimbulkan dengan tes

tusuk jarum (pinprick test). Pada hewan coba normal, tes ini akan merangsang

refleks penarikan yang cepat dan kecil (small brisk withdrawal reflex) sedangkan

pada model hewan coba nyeri neuropatik akan membangkitkan respon abnormal.

Cold allodynia-like behaviour dapat dinilai dengan meletakkan aseton pada daerah

yang diinginkan pada tubuh hewan coba, tipe dan durasi respon yang ditimbulkan

digunakan sebagai skor cold allodynia. Cara lain yang juga sering digunakan adalah

dengan menggunakan lantai metal yang dingin sehingga mencapai suhu yang

merangsang hewan coba (Decosterd & Berta, 2009).

Evoked pain juga dapat dinilai dengan tingkah laku alodinia dengan

menggunakan monofilamen von Frey (Bennett, 2001). Monofilamen dapat

diletakkan pada berbagai tempat pada tubuh hewan coba, yang dinilai adalah waktu

yang diperlukan oleh hewan coba untuk memberikan respon seperti penarikan,

pergerakan dan vokalisasi (Decosterd & Berta, 2009).

Perangkat filamen von Frey terdiri dari nilon monofilamen dengan diameter

yang berbeda (dikenal dengan serial Semmes-Weinstein) yang menentukan

kekuatan alat jika ditekan ke kulit hewan coba. Serial Semmes-Weinstein terdiri

dari 20 filamen dengan karakteristik berbeda. Label yang terdapat di filamen

menunjukkan kekuatan dalam unit log10 0,1 mg, dimana filamen akan membengkok

Page 69: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Imunitas dan Seluler

82

ketika ditekan ke kulit hewan coba. Kekuatan (tekanan) yang dihasilkan saat

filamen membengkok ketika ditekan dengan pan balance. Nilai yang diberikan di

sini berupa nominal dan akan berubah sesuai dengan kelembaban (Bennette et al.,

2003).

Beberapa kriteria dari filamen von Frey yaitu: a) Nilon monofilamen

bersifat hidrofilik sehingga akan dipengaruhi oleh kelembaban, sehingga sebaiknya

penilaian terhadap hewan coba dilakukan pada hari yang sama dengan kelompok

yang ingin dibandingkan, selain itu kelembaban udara sebaiknya diukur ketika

hendak melakukan pengukuran atau dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan

menekan filamen pada pan balance. b) Perlu diperhatikan apakah ujung

monofilamen sumbing atau terdapat kerusakan oleh karena itu dapat dilakukan

pemotongan. c) Monofilamen ordinal 18 sampai 20 biasanya tidak digunakan

karena terlalu kaku sedangkan ordinal 1 sampai 3 sangat lemah sehingga hewan

coba model alodinia jarang memberi respon. Pada penelitian hewan coba biasanya

digunakan filamen von Frey nomor 4 sampai 17 (Bennette et al., 2003).