bab ii kajian pustaka 2.1. model pembelajaran cooperative ...digilib.unila.ac.id/345/7/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Model Pembelajaran Cooperative Learning
2.1.1. Pengertian Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran
hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang
dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan
implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran
dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan
kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di
kelas (Suprijono, 2009: 46).
Sejalan dengan pendapat di atas, Arends (Suwarjo, 2008: 97)
mengungkapkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu istilah
yang digunakan untuk menjelaskan suatu pendekatan atau rencana
pengajaran yang mengacu pada pendekatan secara menyeluruh yang
memuat tujuan, tahapan-tahapan kegiatan, lingkungan pembelajaran,
dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran yang digunakan
diharapkan menjadi pedoman atau acuan guru dalam proses
pembelajaran mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi.
9
Berbeda dengan pendapat di atas, Hanafiah dan Suhana,
(2009: 41) mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan
salah satu pendekatan dalam rangka mensiasati perubahan perilaku
peserta didik secara adaptif dan generatif. Model pembelajaran
sangat erat kaitannya dengan gaya belajar siswa dan gaya mengajar
guru.
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan suatu rencana
pengajaran yang digunakan guru sebagai pendekatan dalam proses
pembelajaran di kelas. Model pembelajaran berkaitan erat dengan
cara mengajar guru dalam menyusun kurikulum serta
pelaksanaannya.
2.1.2. Pengertian Model Cooperative Learning
Model cooperative learning merupakan suatu model
pembelajaran secara berkelompok dalam mengerjakan suatu hal.
Model ini menjadi salah satu alternatif bagi guru yang digunakan
dalam proses pembelajaran karena dirasa lebih efekif dan efisien
dalam pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Roger
(Huda, 2012: 29) yang menyatakan bahwa cooperative learning
merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh
satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan
informasi secara sosial diantara kelompok pembelajar. Setiap
pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan
didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota yang lain.
10
Berbeda dengan pendapat tersebut, pendapat lain
mengemukakan bahwa model cooperative learning adalah suatu
model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk
mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa
(student oriented). Model ini digunakan untuk mengatasi
permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang
tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan
tidak peduli pada yang lain (Isjoni, 2007: 16).
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, peneliti
menyimpulkan model pembelajaran cooperative learning adalah
pembelajaran yang diterapkan oleh guru kepada siswa dengan
membentuk kelompok-kelompok kecil yang heterogen (kemampuan
siswa yang berbeda-beda baik rendah, sedang maupun tinggi).
Model ini menuntut siswa untuk saling bekerja sama dalam
menyelesaikan permasalahan terhadap materi yang diberikan oleh
guru.
2.1.3. Tujuan Model Cooperative Learning
Setiap model yang diterapkan guru memiliki tujuan yang
mengarahkan siswa menjadi lebih aktif. Seperti halnya model
cooperative learning yang memiliki tujuan sebagai berikut.
a. Penghargaan kelompok
Cooperative learning menggunakan tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok
11
diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang
ditentukan.
b. Pertanggungjawaban individu
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran
individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban
tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang
saling membantu dalam belajar.
c. Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
Cooperative learning menggunakan metode scoring yang
mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi
yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan metode ini
siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil dan
melakukan yang terbaik untuk kelompoknya (Isjoni, 2007: 21)
Lain halnya dengan pendapat di atas, menurut Slavin (2005:
81) tujuan dalam berkelompok dan tanggung jawab individu
adalah memberikan intensif kepada siswa untuk saling
membantu satu sama lain dan mendorong siswa dalam
melakukan usaha yang maksimal. Jika nilai siswa cukup baik
sebagai kelompok dan mampu mengerjakan suatu hal dengan
berhasil dipastikan semua anggotanya telah mempelajari materi,
maka anggota kelompok tersebut akan termotivasi untuk saling
mengajar. Selain itu dapat memotivasi siswa untuk terikat dalam
perilaku yang dapat meningkatkan pencapaian dan menghindari
perilaku yang dapat menurunkannya.
12
2.1.4. Prinsip-prinsip Model Cooperative Learning
Model cooperative learning memiliki prinsip-prinsip yang
berbeda dengan model pembelajaran yang lainnya. Menurut Roger
dan Johnson terdapat lima prinsip dasar dalam model cooperative
learning yaitu prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab
perseorangan, interaksi tatap muka, partisipasi dan komunikasi, serta
evaluasi proses kelompok (Rusman, 2010: 212).
Berbeda dengan pendapat tersebut, Lungdren dalam (Isjoni,
2007: 13) menyatakan ada tujuh prinsip–prinsip dasar dalam model
cooperative learning sebagai berikut:
a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka memiliki tujuan bersama.
b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari meteri yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
d. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok.
e. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerjasama selama belajar.
g. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
2.1.5. Langkah-langkah Model Cooperative Learning
Setiap model pembelajaran memiliki langkah-langkah yang
menjadi ciri khas tersendiri. Begitu pula dengan model cooperative
learning, memiliki langkah-langkah yang berbeda dengan model
pembelajaran yang lainnya. Menurut Arends dalam (Suwarjo, 2008:
13
106) ada enam langkah dalam menerapkan model cooperative
learning untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun langkah-
langkah model cooperative learning dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 1. Langkah-langkah model cooperative learning
No. Langkah-langkah Aktivitas Guru
1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai dan memotivasi siswa untuk belajar.
2. Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi dengan berbagai bentuk aktivitas pembelajaran.
3. Mengorganisasikan siswa dalam kelompok belajar
Guru menyampaikan informasi tentang bagaimana membentuk kelompok belajar dan membantu siswa agar melakukan transisi dalam kelompok belajar secara efisien.
4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru mengadakan bimbingan belajar pada saat kelompok melakukan tugas bersama.
5. Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar kelompok melalui representasi siswa dalam kelompok.
6. Memberi penghargaan Guru memberikan penghargaan kepada kelompok belajar secara individu ataupun kelompok.
2.1.6. Jenis-jenis Model Cooperative Learning
Setiap model, pendekatan, maupun metode yang dipilih guru
dalam pembelajaran, memiliki jenis yang berbeda-beda. Jenis-jenis
tersebut akan memberikan ciri khas maupun perbedaan di dalam
pelaksanaannya. Model cooperative learning memiliki lima variasi
model yang telah dikembangkan dan diteliti secara ekstensif. Tiga
model yang dapat diterapkan pada sebagian besar mata pelajaran
14
yaitu: Student Team Achievement Division (STAD), Team Games
Tournament (TGT), dan Jigsaw. Dua yang lain adalah model
kooperatif yang digunakan untuk mata pelajaran tertentu, seperti
Cooperative Integrated Reading Compotition (CIRC) untuk
keterampilan mengarang dan membaca dalam mata pelajaran bahasa
dan Team Assisted Individualization (TAI) untuk matematika
(Slavin, 2005: 11).
Pendapat lain mengemukakan bahwa di dalam cooperative
learning terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran di kelas diantaranya: (a) Student Team
Achievment Division (STAD), (b) Jigsaw, (c) Group Investigation
(GI), (d) Rotating Trio Exchange, dan (e) Group resume
(Isjoni, 2007: 51).
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, dapat diketahui
bahwa model cooperative learning memiliki banyak jenis yang dapat
digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Untuk mata
pelajaran matematika dapat menggunakan model cooperative
learning tipe team assisted individualization, karena model ini dapat
mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran secara berkelompok
sehingga aktivitas dan hasil belajar siswa meningkat.
15
2.2. Model Cooperative Learning Tipe Team Assisted Individualization (TAI)
2.2.1. Pengertian Model Cooperative Learning Tipe TAI
Model cooperative learning tipe TAI dirancang untuk mengatasi
kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan
pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah.
Model cooperative learning tipe TAI, para siswa memasuki sekuen
individual berdasarkan tes penempatan dan kemudian melanjutkannya
dengan tingkat kemampuan mereka sendiri (Slavin, 2005: 15).
Menurut Huda (2012: 125) menyatakan bahwa model cooperative learning tipe TAI merupakan model pembelajaran dimana siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuannya yang beragam yang tiap kelompok terdiri dari 4 sampai 5 siswa dan ditugaskan untuk menyelesaikan materi pembelajaran atau PR tertentu. Pada awalnya model ini dirancang khusus untuk mengajarkan matematika atau keterampilan menghitung kepada siswa SD kelas 3 sampai 6, tetapi pada perkembangan berikutnya model ini mulai diterapkan pada materi pelajaran yang berbeda.
Berbeda halnya dengan pendapat tersebut, pendapat lain
mengemukakan bahwa di dalam model cooperative learning tipe TAI,
siswa belajar secara individu dan menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan dalam jumlah tertentu. Selanjutnya siswa yang memiliki
kemampuan unggul diminta untuk memeriksa jawaban yang dibuat
anggota lainnya disertai memberikan layanan anggota kelompoknya
apabila menemui kesulitan, sehingga soal-soal yang diberikan dapat
terjawab semuanya (Suwangsih, dkk 2006: 164).
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa model cooperative learning tipe TAI
merupakan model pembelajaran yang diterapkan guru dalam proses
16
pembelajaran dengan pembentukan kelompok yang terdiri dari 4
sampai 5 anggota setiap kelompoknya untuk mengerjakan tugas yang
diberikan guru dengan menekankan cara kerja individu siswa di dalam
kelompoknya. Setiap siswa akan mengerjakan soal tersebut di masing-
masing lembar jawaban, kemudian setelah selesai mengerjakan,
semua anggota kelompok bersama-sama membahas soal yang telah
dikerjakan untuk mendapatkan jawaban yang paling tepat.
2.2.2. Ciri-ciri Model Cooperative Learning tipe TAI
Setiap model pembelajaran memiliki ciri-ciri yang membedakan
antara model satu dengan model yang lainnya. Begitu pula dengan
model cooperative learning tipe TAI.
Menurut Huda (2012: 126) ada delapan ciri-ciri model cooperative learning tipe TAI antara lain: (a) belajar bersama dengan teman, (b) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (c) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok, (d) belajar dari teman sendiri dalam kelompok, (e) belajar dalam kelompok kecil produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (f) keputusan tergantung pada siswa sendiri, (g) siswa aktif, dan (h) setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru.
Pendapat lain mengemukakan bahwa ciri khas model cooperative
learning tipe TAI antara lain: (a) setiap siswa secara individual
mempelajari materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru,
(b) hasil belajar individual dibawa ke kelompok untuk didiskusikan
dan dibahas oleh anggota kelompok, (c) semua anggota kelompok
bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab
bersama, dan (d) menitikberatkan keaktifan siswa
(Kireyinha.blogsot.com, 2011).
17
2.2.3. Kelebihan dan Kelemahan Model Cooperative Learning Tipe TAI
Bagi guru setiap menerapkan model pembelajaran pasti memiliki
kelebihan dan kelemahannya. Hal inilah yang nantinya akan
memberikan dampak bagi guru maupun siswa setelah menggunakan
model di dalam pembelajaran. Kelebihan model cooperative learning
tipe TAI menurut Slavin (2005: 190-195) antara lain:
a. Dapat meminimalisir keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan
pengelolaan rutin.
b. Guru setidaknya akan menghabiskan separuh dari waktunya
untuk mengajar kelompok-kelompok kecil.
c. Operasional program tersebut akan sedemikian sederhanya
sehingga para siswa di kelas 3 ke atas dapat melakukannya.
d. Para siswa akan termotivasi untuk mempelajari materi-materi
dengan cepat, mudah dipahami dan dapat mengerjakan tugas
secara individu tanpa bantuan dari temannya.
e. Tersedianya banyak cara pengecekan penguasaan terhadap materi
yang disampaikan.
f. Siswa dapat melakukan pengecekan satu sama lain sekalipun bila
siswa yang mengecek kemampuannya di bawah siswa yang dicek.
g. Programnya mudah dipelajari baik oleh guru maupun siswa, tidak
mahal, fleksibel, dan tidak membutuhkan guru tambahan ataupun
tim guru.
18
h. Dengan membuat siswa bekerja dalam kelompok dengan status
yang sejajar, akan membangun kondisi untuk terbentuknya sikap-
sikap positif.
Adapun kelemahan model cooperative learning tipe TAI menurut
Fhykrie.blogspot.com, (2012) antara lain:
a) Tidak semua mata pelajaran cocok diajarkan dengan model cooperative learning tipe TAI.
b) Apabila model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran yang baru diketahui, kemungkinan sejumlah peserta didik bingung, sebagian kehilangan rasa percaya diri dan sebagian mengganggu antar peserta didik lain.
2.2.4. Langkah-langkah Pembelajaran Model Cooperative Learning Tipe
TAI
Setiap model pembelajaran yang diterapkan, memiliki langkah-
langkah yang harus dipahami oleh guru. Jika langkah-langkah tersebut
dilaksanakan secara tepat, akan memberikan perubahan cara belajar
siswa. Slavin (2005: 195-199) mengungkapkan bahwa
langkah-langkah penerapan model cooperative learning tipe TAI
sebagai berikut.
a. Guru memberikan bahan ajar kepada siswa untuk dipahami dalam
menyelesaikan LKS yang akan dikerjakan.
b. Siswa membentuk beberapa kelompok secara heterogen. Setiap
kelompok beranggotakan 5 orang siswa.
c. Guru membagikan LKS kepada setiap siswa. Tiap siswa
mengerjakan soal jenis pertama dalam lembar jawabannya, yang
selanjutnya jawaban dikoreksi oleh anggota kelompok.
19
d. Apabila LKS yang dikerjakan benar, siswa mengerjakan soal
berikutnya. Jika ada yang salah, mereka harus mengerjakan
kembali sampai soal tersebut terjawab dengan benar melalui
bantuan dari anggotanya.
e. Setelah selesai berdiskusi, setiap kelompok mempresentasikan
hasil jawaban dari hasil diskusi kelompok.
f. Pemberian penghargaan kepada anggota kelompok yang
mendapatkan skor nilai tertinggi.
g. Siswa mengerjakan soal tes formatif.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Huda (2011: 125-126)
mengungkapkan bahwa pada model TAI, setiap kelompok diberi
serangkaian tugas tertentu untuk dikerjakan bersama-sama. Poin-poin
dalam tugas dibagikan secara berurutan kepada setiap anggota. Semua
anggota harus saling mengecek jawaban teman-teman satu
kelompoknya dan saling memberi bantuan jika memang dibutuhkan.
Setelah itu, masing-masing anggota diberi tes individu tanpa bantuan
dari anggota yang lain. Selama mengerjakan tes ini, guru harus
memerhatikan setiap siswa. Lalu, guru menjumlahkan berapa banyak
soal yang bisa dijawab oleh masing-masing kelompok. Kemudian,
guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang mampu
menjawab soal-soal dengan benar.
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka yang
dimaksud dengan model cooperative learning tipe TAI adalah model
pembelajaran dengan pembentukan kelompok yang terdiri dari 5
20
anggota. Adapun indikator pada penelitian ini mengenai model
cooperative learning tipe TAI antara lain: (a) guru menjelaskan materi
kepada siswa, (b) guru membentuk siswa yang terdiri 5 orang kedalam
6 kelompok secara heterogen, (c) setiap siswa mendapatkan LKS
untuk dikerjakan secara individu dengan cara mengerjakan soal jenis
pertama dalam lembar jawabannya, yang selanjutnya jawaban
dikoreksi oleh anggota kelompok, (d) apabila soal yang dikerjakan
benar, siswa mengerjakan soal berikutnya sampai LKS terjawab
dengan benar semua, (e) setelah selesai diskusi siswa
mempresentasikan hasil jawabannya, (f) guru memberikan
penghargaan kepada anggota kelompok yang mendapatkan skor nilai
tertinggi, dan (g) siswa mengerjakan soal tes formatif.
2.3. Media Pembelajaran
2.3.1. Pengertian Media Pembelajaran
Ketika guru mengajar, terkadang menampilkan media
pembelajaran untuk memudahkan dalam penyampaian materi. Media
yang ditampilkan diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi
siswa. Menurut Anderson dalam (Musfiqon, 2012: 27)
mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah media yang
memungkinkan terwujudnya hubungan langsung antara karya
seseorang pengembang mata pelajaran dengan siswa. Sedangkan
menurut Arsyad (2002: 4) bahwa media pembelajaran secara umum
adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung
21
materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang
siswa untuk belajar.
Media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang
dapat menyampaikan atau menyalurkan pesan dari suatu sumber
secara terencana, sehingga terjadi lingkungan belajar yang kondusif
dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien
dan efektif. Dapat dikatakan bahwa media pembelajaran merupakan
bahan, alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi
antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan
berdayaguna (Asyhar, 2012: 8).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat merangsang
pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa. Media yang disampaikan
merupakan proses interaksi komunikasi edukasi antara guru (atau
pembuat media) dan siswa (penerima pesan) dapat berlangsung secara
tepat guna dan berdayaguna.
2.3.2. Fungsi Media Pembelajaran
Setiap media pembelajaran pasti memiliki fungsi tersendiri untuk
menciptakan proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan
diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru untuk siswa.
Menurut Levie & Letz dalam (Arsyad, 2007: 16) mengemukakan
bahwa fungsi media pembelajaran antara lain:
22
a. fungsi afektif, terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa,
b. fungsi kognitif, terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar, dan
c. fungsi kompensatoris, memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengoganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali.
Lain halnya dengan pendapat tersebut, Syukur (2012: 33)
mengemukakan media pembelajaran berfungsi sebagai berikut.
a. Membantu memudahkan belajar bagi siswa dan juga memudahkan proses pembelajaran bagi guru.
b. Memberikan pengalaman lebih nyata (abstrak menjadi konkret).
c. Menarik perhatian siswa lebih besar (jalannya pelajaran tidak membosankan).
d. Semua indera siswa dapat diaktifkan. e. Dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.
Pemakaian media dalam proses pembelajaran akan dapat
membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi
dan rangsangan kegiatan belajar, serta membawa pengaruh psikologis
terhadap siswa. Media juga dapat berguna untuk membangkitkan
gairah belajar, memungkinkan siswa untuk belajar mandiri sesuai
dengan minat dan kemampuannya (Musfiqon, 2012: 33).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa fungsi media pembelajaran adalah memudahkan guru dalam
proses pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses
pengalaman belajar pada diri siswa dengan menggerakkan segala
sumber belajar dan cara belajar yang efektif dan efisien. Media yang
23
ditampilkan diharapkan membuat siswa merasa tertarik mengenai
materi yang diajarkan, sehingga tidak membosankan.
2.3.3. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Jenis media pembelajaran cukup banyak, baik yang fisik maupun
non fisik. Masing-masing media pembelajaran juga memiliki
karakteristik yang melekat pada setiap jenis media tersebut. Ada
empat jenis media pembelajaran, antara lain sebagai berikut.
a. Media visual, yaitu jenis media yang digunakan hanya
mengandalkan indera penglihatan semata-mata dari peserta didik.
Diharapkan dengan media ini, pengalaman belajar yang dialami
peserta didik sangat tergantung pada kemampuan penglihatannya.
Beberapa contoh media visual antara lain: (a) media grafis berupa
gambar, grafik, diagram, peta dan poster, (b) model dan prototipe
seperti globe bumi, dan (c) media realitas alam sekitar.
b. Media audio, yaitu jenis media yang digunakan dalam proses
pembelajaran dengan hanya melibatkan indera pendengaran
peserta didik. Contoh media audio antara lain: tape recorder,
radio, dan CD.
c. Media audio-visual, yaitu jenis media yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran dengan melibatkan pendengaran dan
penglihatan sekaligus dalam satu proses atau kegiatan. Pesan
yang disampaikan dapat berupa pesan verbal maupun non verbal.
Contoh media audio-visual adalah film, video, dan program TV.
24
d. Multimedia, yaitu media yang melibatkan beberapa jenis media
dan peralatan secara terintegrasi dalam suatu proses atau kegiatan
pembelajaran. Contoh dari multimedia yaitu TV, presentasi
powerpoint berupa teks, gambar dan bersuara (Asyhar, 2012: 44).
Berbeda dengan pendapat di atas, media visual dibedakan menjadi
tiga yaitu gambar visual, garis (grafis), dan simbol verbal. Media
berbasis visual memegang peran yang sangat penting dalam proses
pembelajaran. Agar menjadi efektif, visual sebaiknya ditempatkan
pada konteks yang bermakna dan siswa harus berinteraksi dengan
visual itu untuk menyakinkan terjadinya proses informasi (Yamin,
2007: 204).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa jenis media sangat beragam yang dapat
digunakan oleh guru ketika menyampaikan materi dalam proses
pembelajaran. Salah satu jenis media yang sering digunakan guru
ialah media visual, yaitu media yang menekankan indera penglihatan
dan mudah cara mendapatkannya serta dalam pemakaiannya.
2.3.4. Media Grafis
Seorang guru dapat memilih jenis media yang cocok untuk materi
yang akan diajarkan. Media yang dipilih hendaknya disesuaikan
dengan bahan ajar dan kemampuan siswa untuk memahaminya. Media
grafis termasuk ke dalam media visual. Media grafis ini berfungsi
untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Untuk
menerima pesan yang disampaikan, seseorang hanya dapat
25
menggunakan indera penglihatan saja karena bentuknya yang berupa
tulisan maupun gambar sehingga dapat merangsang cara berpikir
siswa untuk belajar (Sadiman, 2006: 28).
Media grafis adalah suatu penyajian secara visual yang
menggunakan titik-titik, garis-garis, gambar-gambar, tulisan-tulisan,
atau simbol visual yang lain dengan maksud untuk mengihtisarkan,
menggambarkan, dan merangkum suatu ide, data atau kejadian. Media
grafis ini dapat disebut juga dengan media dua dimensi, sebutan
umum untuk alat peraga yang hanya memiliki ukuran panjang dan
lebar yang berada pada satu bidang datar (Daryanto, 2012: 19).
Media grafis merupakan pesan yang akan disampaikan
dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual (menyangkut
indera penglihatan). Media grafis ini meliputi: gambar atau foto,
sketsa, diagram, bagan, grafik, kartun, poster, globe atau peta, papan
flanel, dan papan buletin (Angkowo, 2012: 73).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, peneliti menyimpulkan
bahwa media grafis adalah media pembelajaran yang termasuk dalam
media visual. Media ini menyampaikan maksud dari pesan yang
disampaikan berupa simbol, tulisan atau gambar yang menitikberatkan
pada indera penglihatan siswa. Media ini cukup efektif dan mudah
digunakan dalam pembelajaran.
26
2.3.5. Fungsi Media Grafis
Setiap media yang digunakan guru memiliki fungsi tersendiri
yang disesuaikan dengan materi yang disampaikan. Fungsi dari media
grafis adalah menarik perhatian, memperjelas sajian pelajaran, dan
mengilustrasikan suatu fakta atau konsep yang mudah terlupakan
apabila hanya dilakukan melalui penjelasan verbal. Sehingga dengan
menampilkan media grafis dalam proses pembelajaran sangat
membantu guru untuk menjelaskan materi yang mudah dilupakan
siswa jika penyajiannya tidak menggunakan simbol maupun lambang
(Asyhar, 2012: 57).
Berbeda dengan pendapat di atas, Daryanto (2012: 19)
menyatakan fungsi media grafis secara umum untuk menyalurkan
pesan dari sumber ke penerima pesan. Sedangkan menurut Musfiqon
(2012: 73) fungsi media grafis secara khusus berfungsi untuk menarik
perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi
fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak
digrafiskan yaitu berupa simbol, tulisan maupun gambar.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, peneliti menyimpulkan
bahwa fungsi media grafis yaitu menyajikan suatu informasi atau
pesan pembelajaran yang bertujuan untuk menarik perhatian siswa,
memberikan pesan mengenai materi yang diajarkan, serta membantu
siswa yang mengalami kesulitan jika dalam proses pembelajaran
hanya disampaikan secara verbal oleh guru, dan memberikan
pengalaman yang konkrit kepada siswa.
27
2.3.6. Kelebihan dan Kelemahan Media Grafis
Ketika guru menggunakan media di dalam pembelajaran pasti
memiliki kelebihan dan kelemahan. Begitu pula dengan media grafis.
Menurut Uin-alauddin.ac.id (2012) mengungkapkan kelebihan dan
kelemahan dari media grafis.
a. Kelebihan Media Grafis a) Dapat menerjemahkan ide-ide yang abstrak ke dalam bentuk
yang lebih realistik. b) Dapat ditemukan dalam buku-buku pelajaran, majalah, surat
kabar, kalender dan perpustakaan. c) Mudah menggunakannya. d) Dapat digunakan pada semua jenis dan jenjang pedidikan. e) Menghemat waktu dan tenaga dan juga menarik perhatian
siswa. f) Harganya relatif lebih murah daripada jenis-jenis media
pengajaran lainnya. g) Dapat mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. h) Sifatnya konkret dan lebih realistis.
b. Kekurangan Media Grafis
a) Terkadang ukurannya terlalu kecil untuk digunakan pada kelompok siswa yang cukup besar.
b) Pada umumnya hanya dua dimensi yang tampak, sedangkan dimensi yang lainnya tidak jelas.
c) Tidak dapat memperlihatkan suatu pola gerakan secara utuh. d) Tanggapan bisa berbeda-beda terhadap gambar yang sama.
2.3.7. Pemilihan Media Grafis dalam Proses Pembelajaran
Pemilihan media atau alat-alat modern di dalam pembelajaran
bukanlah berarti mengganti cara mengajar yang baik, melainkan untuk
melengkapi dan membantu para guru dalam menyampaikan materi
atau informasi kepada siswa. Setelah pemilihan tersebut, media yang
akan digunakan diharapkan memunculkan terjadinya komunikasi yang
komunikatif, siswa mudah memahami maksud dari materi yang
disampaikan guru di depan kelas (Sadiman, 2007 : 18).
28
Pemilihan media grafis harus mempertimbangkan:
a. Tujuan / indikator yang hendak dicapai.
b. Kesesuaian media dengan materi yang dibahas.
c. Tersedia sarana dan prasarana penunjang.
d. Karakteristik (kematangan) siswa.
e. Kesesuaian batas kemampuan biaya.
f. Penggunaan alat peraga disertai kelanjutannya seperti dengan
diskusi, analisis dan evaluasi (Yamin, 2007: 209).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dalam penggunaan
dan pemilihan media khsususnya media grafis harus
mempertimbangkan kebutuhan siswa. Pada penelitian ini peneliti
membuat indikator dalam penilaian guru dalam penggunaan media
grafis antara lain: (a) menunjukkan keterampilan dalam penggunaan
media grafis, (b) melibatkan siswa dalam pemanfaatan media grafis,
(c) menggunakan media grafis secara efektif dan efisien, dan (d)
memberikan kesan dan pesan yang menarik dari media yang
digunakan.
2.4. Pengertian Belajar
Setiap individu pasti mempunyai tingkah laku yang berbeda. Mereka
memaknai hal tersebut dengan cara belajar yang secara terus-menerus
melalui pengalaman. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman. Belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan
bukan hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih
29
luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan
hasil latihan, melainkan perubahan tingkah laku (Hamalik, 2011: 36).
Sejalan dengan pernyataan di atas, menurut Sutikno dalam
(Fathurrohman, 2010: 5) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi, belajar
tersebut menghasilkan perubahan tingkah laku seseorang.
Salah satu pertanda bahwa seseorang itu telah belajar adalah adanya
perubahan tingkah laku pada diri seseorang, yang disebabkan telah terjadi
perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan, atau sikap karena
adanya interaksi antara seseorang dan lingkungan sekitarnya. Dengan kata
lain, belajar merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap orang
sepanjang hidupnya (Musfiqon, 2012: 2).
Menurut beberapa pendapat ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu secara
menyeluruh. Belajar di dapat melalui pengalamannya sendiri maupun
interaksi dengan lingkungannya yang diperolehnya dari pendidikan formal
maupun informal.
2.5. Pengertian Aktivitas Belajar
Selain belajar, di dalam proses pembelajaran siswa ditekankan untuk
lebih aktif. Hal tersebut menandakan bahwa siswa juga harus memiliki
aktivitas belajar. Menurut Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan
bahwa “aktivitas belajar adalah kegiatan mengolah pengalaman dan atau
30
praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan,
merefleksikan rangsangan, dan memecahkan masalah”.
Aktivitas belajar merupakan segala perilaku yang dilakukan siswa
selama proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas belajar dialami oleh
siswa sebagai suatu proses, yaitu proses belajar sesuatu yang merupakan
kegiatan mental mengolah bahan belajar atau pengalaman lain (Dimyati dan
Mudjiono, 2006: 236-238).
Sedangkan menurut Kunandar (2010: 277) aktivitas belajar siswa
adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan
aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses
belajar mengajar dalam memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Semakin banyak aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa, diharapkan
siswa memahami dan menguasai materi pelajaran yang disampaikan.
Menurut beberapa pendapat ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa aktivitas belajar adalah segala kegiatan yang melibatkan kegiatan
jasmani maupun rohani dalam hal kegiatan belajar mengajar yang diperoleh
melalui pengalaman sendiri maupun lingkungannya untuk memperoleh
informasi atau pengetahuan baru, sehingga mengakibatkan perubahan
tingkah laku siswa. Adapun indikator pada penelitian ini aktivitas siswa
dilihat dari, (a) memperhatikan penjelasan guru, (b) merespon aktif
pertanyaan lisan guru, (c) aktif mengajukan pertanyaan, (d) kerja sama
dalam kelompok, dan (e) mengerjakan tugas dari guru.
31
2.6. Pengertian Hasil Belajar
Setiap perbuatan pasti membuahkan hasil. Begitu pula dengan cara
belajar siswa, yang pada akhirnya membuahkan hasil belajar. Hasil belajar
tersebut yang akan diketahui guru apakah siswa tersebut sudah mampu
belajar dengan cara yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2005: 391) yang mengungkapkan hasil
belajar adalah sesuatu yang diadakan oleh adanya usaha belajar.
Hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan
yang telah dilakukan berulang-ulang. Serta akan tersimpan dalam jangka
waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya, karena hasil
belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin
mencapai hasil yang lebih baik lagi, sehingga akan merubah cara berpikir
serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik (Munawar.blogspot.com,
2011).
Hasil belajar merupakan proses kegiatan secara berkelanjutan dalam
rangka perubahan perilaku peserta didik secara konstruktif. Hasil belajar
tersebut mencakup tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah
psikomotor. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual siswa
yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
penilaian. Ranah afektif berkaitan dengan perilaku siswa dalam hal
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
Sedangkan ranah psikomotor mencakup dengan hasil belajar keterampilan
dan kemampuan bertindak seperti gerakan refleks, keterampilan gerakan
dasar, kemampuan perseptual, kemampuan di bidang fisik (kekuatan,
32
keharmonisan, dan ketepatan), gerakan-gerakan skill, dan kemampuan yang
berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan
interpretative (Bloom dalam Sudjana, 2011: 22-31).
Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu hasil penilaian akhir dari
proses pembelajaran yang dilakukan siswa secara berulang-ulang untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Pada penelitian ini peneliti membuat
indikator yang tertuju pada tiga ranah, antara lain:
1) kognitif, yaitu hasil yang didapat oleh siswa selama mengikuti proses
pembelajaran dengan indikator pengetahuan, pemahaman dan penerapan.
2) afektif, yaitu menyangkut perilaku siswa selama mengikuti proses
pembelajaran dengan indikator mengikuti proses pembelajaran dengan
baik, menghargai pendapat orang lain, melakukan diskusi kelompok
dengan baik, menanggapi jawaban dari teman, menunjukkan komitmen
pada tugas yang diberikan, dan disiplin waktu dalam mengerjakan tugas.
3) psikomotor, yaitu keterampilan yang diperoleh siswa selama mengikui
proses pembelajaran dengan indikator menunjukkan bagian-bagian
pecahan dan menunjukkan keterampilan dalam memanfaatkan media
grafis untuk menyatakan nilai pecahan.
2.7. Pengertian Matematika
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari
oleh siswa sekolah dasar. Menurut James dan James dalam (Suwangsih, dkk
2006: 4) mengemukakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika,
mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan
33
satu dengan yang lainnya. Sedangkan Sajaka, dkk (2006: 2)
mengungkapkan bahwa matematika merupakan salah satu bidang studi yang
diajarkan di sekolah dasar. Matematika merupakan ilmu dasar yang menjadi
tolak ukur bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Kata Matematika berasal dari perkataan latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar), (Suwangsih, dkk 2006: 3).
Ruseffendi dalam Heruman (2007: 1) mengemukakan bahwa
matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima
pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang
terorganisasi. Sedangkan menurut Suriasumantri (dalam Adjie dan Maulana,
2006: 34) bahwa matematika adalah salah satu alat berpikir, selain bahasa,
logika, dan statistika.
Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 mata pelajaran Matematika
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
34
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa matematika adalah salah satu bidang studi yang
diberlakukan di setiap sekolah khususnya Sekolah Dasar mencakup ruang
lingkup, yaitu aritmetika, aljabar, dan geometri dimana siswa harus
memecahkan masalah yang berkaitan dengan ketiga ruang lingkup tersebut
dengan penggunaan angka-angka. Matematika merupakan ilmu dasar yang
mempengaruhi perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2.8. Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran matematika di sekolah dasar harus disesuaikan dengan
tujuan yang diharapkan, karena berbeda dengan pembelajaran yang ada di
sekolah menengah maupun lanjutan. Pembelajaran matematika harus
terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan
konsep yang akan diajarkan. Sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran
matematika di sekolah dasar sebagai berikut.
Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Metode ini
melambangkan adanya keterkaitan antar materi satu dengan yang lainnya.
a. Pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap. Materi
pembelajaran yang diajarkan dimulai dari konsep-konsep yang
sederhana, menuju konsep yang lebih kompleks.
b. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif, sedangkan
matematika merupakan ilmu deduktif. Namun, karena sesuai tahap
35
perkembangan siswa maka pembelajaran matematika di SD digunakan
pendekatan induktif.
c. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
d. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna. Konsep matematika
tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya siswalah yang
harus mengonstruksi konsep tersebut (Suwangsih, dkk. 2006: 25-26).
Berbeda dengan pendapat di atas, Aisyah (2007: 9.20) mengungkapkan bahwa konsep matematika tidak dipandang sebagai barang jadi yang hanya menjadi bahan informasi untuk siswa. Dengan demikian, guru perlu merancang pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk berperan aktif dalam membangun konsep secara mandiri atau bersama-sama. Pembelajaran matematika yang demikian, akan dapat menimbulkan rasa bangga pada diri siswa, menumbuhkan minat, rasa percaya diri, memupuk dan mengembangkan imajinasi dan daya cipta (kreativitas) siswa.
Berdasarkan beberapa pengertian dari ahli, peneliti menyimpulkan
bahwa pembelajaran matematika di SD harus disesuaikan dengan
pengalaman belajar siswa yang bersifat konkret. Pembelajaran matematika
memberikan kesempatan siswa berperan aktif dalam membangun konsep
baik secara individu maupun bersama-sama.
2.9. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka di atas dirumuskan hipotesis penelitian
tindakan kelas sebagai berikut: Apabila dalam pembelajaran Matematika
menerapkan model cooperative learning tipe TAI dengan media grafis
dengan memperhatikan langkah-langkahnya secara tepat, maka akan
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
matematika kelas IV SD Negeri 2 Tempuran tahun pelajaran 2012/2013.