bab ii kajian pustaka 2.1 experiential marketing...sense marketing merupakan tipe experience yang...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Experiential Marketing
Experiential marketing merupakan cara untuk membuat pelanggan
menciptakan pengalaman melalui panca indera (sense), menciptakan
pengalaman afektif (feel), menciptakan pengalaman berpikir secara kreatif
(think), menciptakan pengalaman pelanggan yang berhubungan dengan tubuh
secara fisik, dengan perilaku dan gaya hidup, serta dengan pengalaman-
pengalaman sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain (act), juga
menciptakan pengalaman yang terhubung dengan keadaan sosial, gaya hidup,
dan budaya yang dapat merefleksikan merek tersebut yang merupakan
pengembangan dari sensations, feelings, cognitions, dan actions (relate)
(Schmitt, 1999). Experiential Marketing juga dapat didefinisikan sebagai suatu
konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan-pelanggan yang
loyal dengan menyentuh emosi mereka (konsumen), dan memberikan suatu
feeling yang positif terhadap produk dan service (Kertajaya, 2005).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka experiential marketing
adalah sebuah konsep pemasaran untuk menyentuh emosi pelanggan dalam
usaha meningkatkan sikap positif pelanggan terhadap suatu produk yang
dipasarkan dalam usaha untuk membangun loyalitas konsumen.
2.1.1 Pengukuran Experiential Marketing
Experiential marketing dapat diukur dengan menggunakan lima aspek,
yaitu sebagai berikut: (Schmitt, 1999)
1. Sense (Pengalaman Panca Indera)
Sense marketing merupakan tipe experience yang muncul untuk
menciptakan pengalaman panca indra melalui mata, mulut, kulit, lidah,
7
hidung (Schmitt, 1999), atau salah satu cara yang digunakan untuk
menyentuh emosi pelanggan dengan memberikan pengalaman yang dapat
diperoleh konsumen melalui panca indra yang mereka miliki melalui
produk dan service (Kertajaya, 2005).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut secara sederhana sense dapat
didefinisikan sebagai salah satu metode dalam experiential marketing yang
bertujuan memberikan pengalaman pelanggan terhadap suatu produk atau
service yang ditawarkan melalui pancaindera.
Terdapat tiga kunci strategi yang dapat digunakan untuk
menstimulasi sense marketing, yaitu : (Kertajaya, 2005)
a. Sense as Differentiator (Pembeda)
Pengalaman yang diperoleh melalui sense (panca indera) mungkin
melekat pada konsumen karena tampil dengan cara yang unik dan
spesial. Cara yang dilakukan untuk menarik konsumen melebihi batas
normal sehingga produk dan jasa tersebut sudah memiliki ciri khusus
yang sudah ada dibenak konsumen.
b. Sense as Motivator (Pemberi Motivasi)
Sebagai motivator, pengalaman indera bertujuan untuk memberi
motivasi kepada konsumen untuk mencoba produk dan membelinya.
Dalam hal ini, pengalaman indera dapat diterapkan melalui tiga cara,
yaitu:
1) Across modalities, dimana pengalaman indera disajikan dengan
menggunakan multimedia, dengan mengkombinasikan penampilan,
pendengaran, penciuman dalam menyampaikan informasi.
2) Across express, dimana pengalaman indera disajikan menerapkan
image (kesan tertentu) pada produk atau jasa (service). Hal ini
berhubungan dengan tingkat konsistensi elemen yang berkaitan
dengan panca indra.
8
3) Across space and time, dimana pengalaman indera disajikan melalui
gaya, tema, slogan, warna, orang yang digunakan dalam iklan,
pencahayaan dan struktur organisasi.
c. Sense as value provider (Memberi Nilai)
Sense sebagai nilai tambah dapat memberikan nilai yang unik kepada
konsumen, sense dipengaruhi oleh panca indera melalui panca indera
tersebut konsumen dapat menentukan nilai suatu produk.
2. Feel (Pengalaman Afektif)
Feel marketing merupakan tipe experience yang muncul untuk
menyentuh perasaan terdalam dan emosi pelanggan dengan tujuan
menciptakan pengalaman yang efektif (Schmitt, 1999). Feel marketing
adalah bagian yang sangat penting dalam strategi experiential marketing.
Feel dapat dilakukan dengan service yang baik, seperti: keramahan dan
kesopanan karyawan. Pelayanan yang menarik akan menciptakan feel good
bagi konsumen.
Beranjak dari penjelasan di atas, maka feel secara sederhana dapat
dipahami sebagai suatu metode dalam experiential marketing yang
bertujuan untuk menyentuh emosi terdalam pelanggan melalui service yang
diberikan.
Pengalaman afektif merupakan pengalaman yang tercipta sedikit
demi sedikit, yaitu perasaan yang berubah-ubah, jarak antara mood yang
positif atau negatif kepada emosi yang kuat. Adapun hal-hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan pengalaman afektif adalah:
a. Suasana hati (moods)
Moods merupakan pernyataan affective yang tidak spesifik. Suasana hati
dapat dibangkitkan dengan cara memberi stimuli yang spesifik. Suasana
hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat
konsumen dan merek apa yang akan mereka pilih. Keadaan suasana hati
9
dapat dipengaruhi oleh apa yang terjadi selama konsumsi produk dan
keadaaan hati untuk tercipta selama proses konsumsi. Pada gilirannya
dapat mempengaruhi evaluasi menyeluruh konsumen atas produk.
b. Emosi (emotion)
Emosi lebih kuat dibandingkan dengan suasana hati dan merupakan
pernyataan affective dari stimulus yang spesifik. Emosi-emosi tersebut
disebabkan oleh sesuatu/seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk
atau komunikasi). Emosi dasar merupakan komponen-komponen dasar
dari kehidupan konsumen. Emosi positif seperti: senang dan cinta,
sementara emosi negatif, seperti: marah dan iri hati.
3. Think (Pengalaman Kognitif Kreatif)
Think marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk
menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk
berfikir kreatif (Schmitt, 1999). Think marketing adalah salah satu cara
yang dilakukan perusahaan untuk mengubah komoditi menjadi pengalaman
(experience) dengan melakukan customization secara terus menerus
(Kertajaya, 2005).
Berkaitan dengan hal tersebut, perusahaan harus selalu tanggap
dengan kebutuhan dan keluhan konsumennya, terutama dengan persaingan
bisnis yang semakin ketat, perusahaan dituntut untuk selalu berpikir kreatif.
Salah satunya mengadakan program yang melibatkan pelanggan, misalnya
memberikan harga khusus bagi pelanggan korporat. Dengan memberikan
sesuatu hal yang menyenangkan pelanggan, maka akan membuat pelanggan
merasa puas dan kembali di kemudian hari.
Penjelasan tersebut di atas menunjukkan, bahwa think dapat
dipahami sebagai suatu metode dalam experiential marketing yang
bertujuan untuk mengajak pelanggan untuk berpikir kreatif terhadap suatu
produk ataupun service yang ditawarkan perusahaan.
10
4. Act (Pengalaman Fisik dan Gaya Hidup)
Act marketing berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup
seseorang. Hal ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat
sesuatu dan mengekspresikan gaya hidupnya. Di mana gaya hidup sendiri
merupakan pola perilaku individu dalam hidup yang direfleksikan dalam
tindakan, minat, dan pendapat (Schmitt, 1999).
Tujuan penciptaan pengalaman fisik dan gaya hidup adalah untuk
memberikan kesan terhadap pola perilaku dan gaya hidup, serta
memperkaya pola interaksi sosial melalui strategi yang dilakukan.
Penciptaan pengalaman keseluruhan gaya hidup dapat diterapkan dengan
menggunakan trend yang sedang berlangsung, atau dengan mendorong
terciptanya trend budaya baru (Schmitt, 1999).
5. Relate (Pengalaman dan Identitas Sosial)
Relate marketing merupakan tipe experience yang digunakan untuk
mempengaruhi konsumen dan menggabungkan seluruh aspek sense, feel,
think, dan act serta menitikberatkan pada persepsi positif di mata
konsumen. Pada prinsipnya relate marketing menghubungkan individu
dengan sosial budaya yang lebih luas meliputi : self improvement, status
socio-economic, dan image (Schmitt, 1999).
Relate Marketing mengembangkan suatu experience diluar sensasi
personal, perasaan, logika dan tindakan dengan menghubungkan individu
pada konteks sosial budaya yang lebih luas dalam merefleksikan suatu
merek, seperti dapat menjadi tempat berkumpul dengan teman, dapat
menjadi tempat berkumpul dengan keluarga, dapat menunjukkan bagian
dari keluarga perusahaan, dan sarana silaturrahmi (Hamzah, 2007).
Relate marketing merupakan salah satu cara untuk membentuk atau
menciptakan komunitas pelanggan dengan komunikasi (Kertajaya, 2005).
Relate marketing menggabungkan aspek sense, feel, think, dan act dengan
11
maksud mengaitkan individu dengan apa yang ada di luar dirinya dan
mengimplementasikan hubungan antara other people dan other social
group sehingga mereka merasa bangga dan diterima dikomunitasnya.
Dari penjelasan di atas maka sederhana tujuan dari penciptaan
pengalaman identitas sosial adalah untuk menghubungkan konsumen
dengan budaya dan lingkungan sosial yang dicerminkan oleh produk atau
jasa. Maksudnya bahwa inti dari Relate Marketing adalah mengajak orang
untuk mengaitkan diri dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan untuk
berada dalam suatu kelompok dan memperoleh apa yang disebut sebagai
identitas sosial. Sehingga ketika relate mampu membuat konsumen masuk
dalam komunitas serta merasa bangga dan diterima, maka akan
memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan konsumen. Begitu pula
sebaliknya, ketika relate tidak berhasil meningkatkan individu dengan apa
yang ada di luar dirinya, maka konsumen tersebut tidak akan mungkin puas
dan memberikan dampak yang negatif.
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Experiential Marketing
Berbicara tentang experiental marketing berarti berbicara mengenai
strategi yang digunakan oleh perusahaan atau institusi dalam membentuk brand
image dalam memasarkan produk atau jasa yang dihasilkannya. Kata “strategi”
menurut Abdul Halim Usman berarti sesuatu yang dirancang dan disisasti secara
cermat agar memberi hasil atau keuntungan. Dalam organisasi perusahaan,
strategi selalu memberikan hasil yang lebih baik, sehingga jika proses
manajemen pada perusahaan tidak memberikan hasil yang lebih baik maka
proses manajemen tersebut tidak dapat disebut manajemen strategis (Usman,
2015). Demikian pula menurut Basu Swastha dan Irawan, strategi adalah suatu
rencana yang diutamakan untuk mencapai tujuan tersebut. Beberapa perusahaan
mungkin mempunyai tujuan yang sama, tetapi strategi yang dipakai untuk
12
mencapai tujuan tersebut dapat berbeda. Jadi, strategi ini dibuat berdasarkan
suatu tujuan (Swastha dan Irawan, 2009).
Dalam merumuskan suatu strategi, manajemen puncak harus
memperhatikan berbagai faktor yang sifatnya kritikal. Pertama, strategi berarti
menentukan misi pokok suatu organisasi karena manajemen puncak menyatakan
secara garis besar apa yang menjadi pembenaran keberadaan organisasi, filosofi
yang bagaimana yang akan digunakan untuk menjamin keberadaan organisasi
tersebut dan sasaran apa yang ingin dicapai. Yang jelas menonjol dalam faktor
pertama ini ialah bahwa strategi merupakan keputusan dasar yang dinyatakan
secara garis besar (Siagian, 2008).
Kedua dalam merumuskan dan menetapkan strategi, manajemen puncak
mengembangkan profil tertentu bagi organisasi. Profil dimaksud harus
menggambarkan kemampuan yang dimiliki dan kondisi internal yang dihadapi
oleh organisasi yang bersangkutan. Ketiga, pengenalan tentang lingkungan
dengan mana organisasi akan berinteraksi, terutama situasi yang membawa
suasana persaingan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh organisasi apabila
organisasi yang bersangkutan ingin tidak hanya mampu melanjutkan
eksistensinya, akan tetapi juga meningkatkan efektivitas dan produktivitas
kerjanya.
Keempat, suatu strategi harus merupakan analisis yang tepat tentang
kekuatan yang dimiliki oleh organisasi, kelemahan yang mungkin melekat pada
dirinya, berbagai peluang yang mungkin timbul dan harus dimanfaatkan serta
ancaman yang diperkirakan akan dihadapi. Dengan analisis yang tepat berbagai
alternatif yang dapat ditempuh akan terlihat. Kelima, mengidentifikasikan
beberapa pilihan yang wajar ditelaah lebih lanjut dari berbagai alternatif yang
tersedia dikaitkan dengan keseluruhan upaya yang akan dilakukan dalam rangka
pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
13
Keenam, menjatuhkan pilihan pada satu alternatif yang dipandang paling
tepat dikaitkan sasaran jangka panjang yang dianggap mempunyai nilai yang
paling stratejik dan diperhitungkan dapat dicapai karena didukung oleh
kemampuan dan kondisi internal organisasi. Ketujuh, suatu sasaran jangka
panjang pada umumnya mempunyai paling sedikit empat ciri yang menonjol,
yaitu: a) sifatnya yang idealistik, b) jangkauan waktunya jauh ke masa depan, c)
hanya bisa dinyatakan secara kualitatif, dan d) masih abstrak. Dengan ciri-ciri
seperti itu, suatu strategi perlu memberikan arah tentang rincian yang perlu
dilakukan. Artinya, perlu ditetapkan sasaran antara dengan ciri-ciri: a) jangkauan
waktu ke depan spesifik, b) praktis dalam arti diperkirakan mungkin dicapai, c)
dinyatakan secara kuantitatif, dan d) bersifat konkret.
Kedelapan, memperhatikan pentingnya operasionalisasi keputusan dasar
yang dibuat dengan memperhitungkan kemampuan organisasi di bidang
anggaran, sarana, prasarana dan waktu. Kesembilan, mempersiapkan tenaga
kerja yang memenuhi berbagai persyaratan bukan hanya dalam arti kualifikasi
teknis, akan tetapi juga keperilakuan serta mempersiapkan sistem manajemen
sumber daya manusia yang berfokus pada pengakuan dan penghargaan harkat
dan martabat manusia dalam organisasi.
Kesepuluh, teknologi yang akan dimanfaatkan yang karena peningkatan
kecanggihannya memerlukan seleksi yang tepat. Kesebelas, bentuk, tipe dan
struktur organisasi yang akan digunakan pun sudah harus turut diperhitungkan,
misalnya apakah akan mengikuti pola tradisional dalam arti menggunakan
struktur yang hierarkikal dan piramidal, ataukah akan menggunakan struktur
yang lebih datar dan mungkin berbentuk matriks. Keduabelas, menciptakan
suatu sistem pengawasan sedemikian rupa sehingga daya inovasi, kreativitas dan
diskresi para pelaksana kegiatan operasional tidak "dipadamkan".
Ketigabelas, sistem penilaian tentang keberhasilan atau ketidakberhasilan
pelaksanaan strategi yang dilakukan berdasarkan serangkaian kriteria yang
14
rasional dan objektif. Keempatbelas, menciptakan suatu sistem umpan balik
sebagai instrumen yang ampuh bagi semua pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan strategi yang telah ditentukan itu untuk mengetahui apakah sasaran
terlampaui, hanya sekedar tercapai atau mungkin bahkan tidak tercapai.
Kesemuanya itu diperlukan sebagai bahan dan dasar untuk mengambil
keputusan di masa depan.
Berpijak dari pembahasan di atas kiranya jelas bahwa pada dasarnya yang
dimaksud dengan strategi bagi manajemen organisasi pada umumnya dan
manajemen organisasi bisnis khususnya ialah rencana berskala besar yang
berorientasi jangkauan masa depan yang jauh serta ditetapkan sedemikian rupa
sehingga memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif dengan
lingkungannya dalam kondisi persaingan yang kesemuanya diarahkan pada
optimalisasi pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang
bersangkutan (Siagian, 2008).
Selain itu dari pembahasan tersebut di atas juga dikemukakan, bahwa
pada dasarnya dalam membangun sebuah strategi dibutuhkan faktor-faktor yang
memberikan dukungan agar strategi yang dijalankan dapat berjalan dengan baik,
seperti:
1. Menentukan filosofi dan sasaran yang ingin dicapai organisasi.
2. Mengembangkan profil organisasi.
3. Menentukan bentuk, tipe dan struktur organisasi yang akan digunakan.
4. Pengenalan tentang lingkungan dengan mana organisasi akan berinteraksi.
5. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, serta kelemahan yang mungkin
melekat pada dirinya.
6. Mengidentifikasikan beberapa pilihan yang wajar ditelaah lebih lanjut dari
berbagai alternatif.
15
7. Memperhitungkan kemampuan organisasi di bidang anggaran, sarana,
prasarana dan waktu.
8. Mempersiapkan tenaga kerja yang memenuhi berbagai persyaratan.
9. Mempersiapkan sistem manajemen sumber daya manusia yang berfokus
pada pengakuan dan penghargaan harkat dan martabat manusia dalam
organisasi, seperti: menciptakan sistem pengawasan, sistem penilaian,
ataupun menciptakan sistem umpan balik sebagai instrumen yang ampuh
bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan strategi yang telah
ditentukan itu untuk mengetahui apakah sasaran terlampaui, hanya sekedar
tercapai atau mungkin bahkan tidak tercapai.
10. Mempersiapkan dan memilih teknologi yang akan dimanfaatkan yang
karena peningkatan kecanggihannya memerlukan seleksi yang tepat.
Jika dihubungkan dengan experiental marketing sebagai sebuah strategi
dalam pemasaran, maka keberhasilan experiental marketing juga tidak akan
terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan tersebut di atas.
2.2 Ekuitas Merek (Brand Equity)
2.2.1 Definisi Ekuitas Merek (Brand Equity)
Menurut Aaker dalam Rangkuti (2009), ekuitas merek adalah seperangkat
aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan
simbolnya yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh
sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau kepada pelanggan perusahaan.
Menurut Simamora (2001), brand equity adalah kekuatan merek atau kesaktian
merek yang memberikan nilai kepada konsumen.
Menurut Kotler dan Keller (2009), ekuitas merek (brand equity) adalah
nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa yang dapat tercermin dalam
cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak dalam hubungannya dengan
merek, dan juga harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang diberikan merek
16
bagi perusahaan. Dijelaskan juga bahwa Brand Equity sangat berkaitan dengan
seberapa banyak pelanggan suatu merek merasa puas dan merasa rugi bila
berganti merek (brand switching), menghargai merek dan menganggapnya
sebagai teman, dan merasa terikat kepada merek tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, maka ekuitas merek adalah
seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama,
dan simbolnya yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan
oleh sebuah produk dan jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan.
Dengan demikian ekuitas merek merupakan nilai tambah yang diberikan nama
merek atas suatu produk dan jasa sehingga akhirnya konsumen akan merasa
mendapatkan kepuasan yang lebih bila dibanding menggunakan produk dan jasa
lainnya.
2.2.2 Elemen-Elemen Ekuitas Merek (Brand Equity)
Menurut Aaker dalam Durianto, dkk (2004) brand equity dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori yaitu:
1. Kesadaran merek (brand awareness)
Kesadaran merek (brand awareness), yaitu kesanggupan seorang
pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari kategori atau produk tertentu.
Kesadaran merek membutuhkan jangkauan kontinum (Continum
Ranging) dari perasaan yang tak pasti bahwa merek tertentu dikenal
menjadi keyakinan bahwa produk tersebut merupakan satu-satunya dalam
kelas produk bersangkutan, kontinum ini dapat diwakili oleh tingkat
kesadaran merek yang berbeda.
Jangkauan kontinum ini diwakili oleh 4 (empat) tingkatan
kesadaran merek, yaitu: a) Tidak Menyadari Merek (Unaware of Brand).
Merupakan tingkatan merek yang paling rendah dimana konsumen tidak
17
menyadari akan eksistensi suatu merek, b) Pengenalan Merek (Brand
Recognition). Merupakan tingkat minimal dari kesadaran merek yang
merupakan pengenalan merek dengan bantuan, misalnya dengan bantuan
daftar merek, daftar gambar, atau cap merek. Merek yang masuk dalam
ingatan konsumen disebut brand recognition, c) Pengingatan Kembali
Merek (Brand Recall). Mencerminkan merek-merek apa saja yang diingat
konsumen setelah menyebutkan merek yang pertama kali disebut. Dimana
merek-merek yang disebutkan kedua, ketiga dan seterusnya merupakan
merek yang menempati brand recall dalam benak konsumen, d) Puncak
Pikiran (Top of Mind). Puncak Pikiran (Top of Mind) yaitu merek produk
yang pertama kali disebutkan oleh konsumen secara spontan atau yang
pertama kali muncul dalam benak konsumen. Dengan kata lain merek
tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada dalam
benak konsumen.
2. Asosiasi merek (brand association)
Menurut Aaker asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan
dengan ingatan mengenai merek. Terdapat lima keuntungan asosiasi merek,
yaitu: a) Membantu proses penyusunan informasi yang dapat meringkaskan
sekumpulan fakta yang dapat dengan mudah dikenal konsumen; b)
Perbedaan, yang mempunyai peran penting dalam menilai keberadaan atau
fungsi suatu merek dibandingkan lainnya; c) Alasan untuk membeli, yang
sangat membantu konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli
produk atau tidak; d) Perasaan positif yang merangsang tumbuhnya
perasaan positif terhadap produk; e) Menjadi landasan untuk perluasan
merek yang dinilai kuat.
Konsumen yang terbiasa menggunakan merek tertentu cenderung
memiliki konsistensi terhadap citra merek (brand image) yang disebut juga
18
dengan kepribadian merek (brand personality) yang kemudian dapat
membentuk kesetiaan konsumen terhadap merek tertentu (brand loyalty).
3. Persepsi kualitas (perceived quality)
Menurut Aaker kesan atau persepsi kualitas merupakan persepsi
konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau
jasa layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya. Secara umum
nilai-nilai atau atribut dari kesan konsumen, meliputi: a) Alasan membeli.
Kesan kualitas sebuah merek memberikan alasan yang penting untuk
membeli. Hal ini mempengaruhi merek-merek mana yang harus
dipertimbangkan, dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan
dipilih, b) Diferensiasi/posisi. Diferensiasi mempunyai didefinisikan
sebagai suatu karakteristik penting dari merek, apakah merek tersebut
bernilai atau ekonomis juga berkenaan dengan persepsi apakah merek
tersebut terbaik atau sekadar kompetitif terhadap merek-merek lain, c)
Harga optimum. Keuntungan ini memberikan pilihan-pilihan dalam
menetapkan harga optimum yang bisa meningkatkan laba atau memberikan
sumber daya untuk reinvestasi pada merek tersebut, d) Minat Saluran
distribusi. Keuntungan ini yaitu meningkatkan minat para distributor
dikarenakan dapat menawarkan suatu produk yang memiliki persepsi
kualitas tinggi dengan harga yang menarik dan menguasai lalu lintas
distribusi tersebut untuk menyalurkan merek-merek yang diminati
konsumen, e) Perluasan Merek. Kesan kualitas dapat dieksploitasi dengan
cara mengenalkan berbagai perluasan merek, yaitu dengan menggunakan
merek tertentu untuk masuk kedalam kategori produk baru
4. Loyalitas merek (brand loyalty)
Loyalitas merek (brand loyalty), yaitu merupakan ukuran kedekatan
pelanggan pada sebuah merek. Loyalitas merek merupakan inti dari brand
equity yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, karena hal ini
19
merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek.
Apabila loyalitas merek meningkat maka kerentaan kelompok pelanggan
dari serangan kompetitor dapat dikurangi. Hal ini merupakan suatu
indikator dari brand equity yang berkaitan dengan perolehan laba dimasa
yang akan datang karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan
sebagai penjualan di masa depan.
Terdapat 5 (lima) tingkatan loyalitas, yaitu: a) Tingkat loyalitas
yang paling dasar adalah pembeli yang tidak tertarik pada merek-merek
apapun yang ditawarkan. Konsumen seperti ini suka berpindah-pindah
merek atau disebut tipe konsumen switcher atau price buyer (konsumen
yang lebih memperhatikan harga di dalam melakukan pembelian), b)
Tingkat kedua adalah para pembeli yang merasa puas dengan produk yang
digunakan, atau minimal tidak mengalami kekecewaan. Pada dasarnya tidak
terdapat dimensi ketidak puasan yang dapat menjadikan sumber perubahan,
apalagi bila perpindahan ke merek yang lain itu ada penambahan biaya.
Para pembeli tipe ini dapat disebut pembeli tipe kebiasaan (habitual buyer),
c) Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, tetapi harus memikul biaya
peralihan (switching cost), baik dalam waktu, uang atau resiko sehubungan
dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek lain. Kelompok ini
biasanya disebut dengan konsumen loyal yang merasakan adanya suatu
pengorbanan apabila ia melakukan penggantian ke merek lain. Para pembeli
tipe ini disebut satisfied buyer, d) Tingkat keempat adalah konsumen yang
benar-benar menyukai suatu merek Pilihan mereka terhadap suatu merek
dilandasi pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman, atau
kesan kualitas yang tinggi. Konsumen jenis ini memiliki perasan emosional
dalam menyukai merek tersebut, e) Tingkat teratas adalah para pelanggan
yang setia yang merasakan kebanggaan ketika menjadi pengguna suatu
20
merek karena merek tersebut penting bagi mereka baik dari segi fungsi
maupun sebagai alat identitas diri.
5. Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets)
Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets), seperti
hak paten dan saluran distribusi, tidak berhubungan secara langsung dengan
konsumen.
Menurut Aaker, 4 (empat) elemen di luar aset-aset merek lainnya dikenal
dengan elemen-elemen utama dari ekuitas merek. Elemen ekuitas merek yang
kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas elemen utama tersebut.
Dijelaskan pula oleh Aaker, bahwa pada prakteknya, hanya 4 (empat) dari 5
(lima) elemen tersebut yang digunakan pada penelitian-penelitian mengenai
consumer-based brand equity, yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, perceived
quality dan loyalitas merek. Hal ini dikarenakan aset-aset lain yang berkaitan
dengan merek (seperti hak paten dan saluran distribusi), tidak berhubungan
secara langsung dengan konsumen. Berpijak dari penjelasan tersebut, maka
dalam penelitian ini, peneliti juga akan menggunakan 4 (empat) elemen tersebut,
yaitu: kesadaran merek, asosiasi merek, perceived quality dan loyalitas merek
dalam melakukan penilaian terhadap brand equity.
Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa ekuitas merek merupakan aset yang
dapat memberikan nilai tersendiri di mata pelanggan dan perusahaan.
21
Gambar 2.1
Konsep Ekuitas Merek
Brand Equity
(Ekuitas Merek)
Kesadaran merek
(brand awareness)
Asosiasi merek
(brand association)
Persepsi kualitas
(perceived quality)
Loyalitas merek
(brand loyalty)
Aset-aset merek lainnya
(other proprietary
brand assets)
Memberikan Nilai Kepada Perusahaan Dengan Menguatkan: Efisiensi dan efektivitas program pemasaran Loyalitas merek Harga/laba
Perluasan merek Peningkatan perdagangan dan keunggulan
kompetitif.
Memberikan Nilai Kepada Customer Dengan Menguatkan: Interpretasi dan atau proses informasi.
Rasa percaya diri dalam pembelian Pencapaian kepuasan dari pelanggan.
22
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Gambar 2.2
Model Kerangka Pemikiran
Experiential
Marketing
Brand
Equity
Sense
Feel
Think
Act
Relate
Brand Awareness Brand Association Perceived Quality Brand Loyalty Other Proprietary
Brand Assets
1. Menentukan filosofi dan sasaran yang ingin dicapai organisasi.
2. Mengembangkan profil organisasi.
3. Menentukan bentuk, tipe dan struktur organisasi yang akan digunakan.
4. Pengenalan tentang lingkungan dengan mana organisasi akan berinteraksi.
5. Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, serta kelemahan.
6. Mengidentifikasikan beberapa pilihan yang wajar ditelaah lebih lanjut dari berbagai alternatif.
7. Memperhitungkan kemampuan organisasi di bidang anggaran, sarana,
prasarana dan waktu.
8. Mempersiapkan tenaga kerja yang memenuhi berbagai persyaratan.
9. Mempersiapkan sistem manajemen sumber daya manusia.
10. Mempersiapkan dan memilih teknologi yang akan dimanfaatkan.