bab ii kajian pustaka 2.1 dermatitis atopik 2.1.1 definisi
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Dermatitis Atopik
2.1.1 Definisi dermatitis atopik
Dermatitis atopik merupakan suatu peradangan kulit kronis, berulang,
disertai rasa gatal yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak
(Leung, 2011). Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema
dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis (Santosa, 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Kejadian dermatitis atopik terus meningkat dan merupakan masalah besar
di masyarakat. Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita
dermatitis atopik. Angka prevalensi dermatitis atopik yang pernah dilaporkan
adalah 6,3-9,5% di Malaysia, 22,7% di Singapura dan 6,8-9,5% di Thailand
(Chan, 2006). Data kejadian dermatitis atopik di indonesia masih belum diketahui
secara pasti. Data unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo
didapatkan penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006
sebanyak 116 orang (8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan
tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009). Kejadian
dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar pada tahun 2012 didapatkan sekitar
10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau
kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013).
7
8
Pada bayi dengan riwayat atopi, 2 tahun pertama kehidupannya
diperkirakan menderita dermatitis atopik sebesar 50%, menjadi 60% saat berusia
5 tahun dan jarang terjadi setelah usia 45 tahun (Moreno, 2000). Berdasarkan
faktor prediktor perinatal terhadap kejadian dermatitis atopik pada 6 bulan
pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko
lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, sedangkan ibu dengan riwayat atopi
memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan bapak dengan riwayat atopi.
Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih
banyak pada ibu, sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Moore, 2004).
2.1.3 Etiologi
Etiologi maupun mekanisme yang pasti dermatitis atopik belum semuanya
diketahui, diduga disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan
(multifaktoral). Berbagai faktor bisa menjadi pencetus terjadinya dermatitis
atopik, antara lain :
1. Makanan
Kejadian reaksi alergi terhadap makanan cenderung meningkat pada anak
dengan dermatitis atopik. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijunpai pada bayi,
menurun pada usia anak dan semakin berkurang pada usia dewasa (Wood, 2003).
Pada hampir 40% bayi dan anak usia muda yang menderita dermatitis atopik
sedang ataupun berat dijumpai alergi makanan sebagai faktor pencetus.
Walaupun semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, tetapi
beberapa makanan lebih bersifat alergenik dari pada yang lainnya. Alergen
9
makanan yang sering menyebabkan dermatitis atopik pada bayi adalah susu, telur,
kacang-kacangan, makanan laut, kedelai dan gandum (Novak, 2003; Siregar,
2004).
2. Infeksi kulit
Mikroorganisme yang berperan sebagai pencetus dermatitis atopik pada
bayi dan anak adalah Staphylococcus aureus, jamur dan virus. Staphylococcus
dapat ditemukan pada 90% lesi penderita dermatitis atopik dan jumlah koloni bisa
mencapai 107
koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman
Staphylococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai
superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya
melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik dan disertai
infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman Staphylococcus dan
steroid topikal (Santosa, 2010).
3. Alergen hirup
Alergen hirup dibagi atas alergen hirup dalam rumah dan luar rumah. Di
daerah tropis seperti di Indonesia alergen hirup dalam rumah lebih berpengaruh,
yang sebagian besar adalah Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides
farinae dan tungau debu rumah. Kedua alergen tersebut banyak terdapat di kamar
tidur, termasuk di bantal, kasur, selimut bulu, karpet bulu, mainan anak yang
berbulu dan gorden. Alergen lainnya antara lain adalah Candida albicans, kecoa,
serpihan kulit binatang peliharaan kucing, anjing, kelinci dan burung (Eigenmann,
1997; Siregar, 2004). Perlu juga diperhatikan bahwa dermatitis atopik juga bisa
diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur
10
atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Santosa, 2010). Kejadian
dermatitis atopik pada bayi dan anak < 1 tahun yang tersensitisasi alergen hirup
dan telur dilaporkan akan meningkatkan risiko sampai 10 kali lipat untuk
mendapatkan alregi saluran napas di kemudian hari (Siregar, 2004).
2.1.4 Faktor risiko
Dermatitis atopik merupakan suatu sindrom multifaktorial dimana
berbagai faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati
berbagai faktor risiko, yaitu :
1. Genetik
Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen
spesifik yang terlibat dalam atopi dan dermatitis atopik. Terdapat dua kromosom
yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik yaitu kromosom 1q21 dan kromosom
17q25, meski paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang
sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut
tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya (Leung dkk, 2004; Soebaryo, 2009).
Pada suatu penelitian diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit
atopi diturunkan secara autosomal dominan dimana 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orangtuanya mempunyai riwayat alergi, sedangkan 50% anak
akan mengalami alergi bila 1 orangtuanya mempunyai riwayat alergi. Meskipun
demikian, faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas perkembangan
penyakit (Soebaryo, 2004).
11
2. Cara persalinan
Bayi yang lahir melalui seksio sesaria, tidak akan mengalami kontak
dengan vagina dan perineum ibunya dimana pada persalinan per vagina, kedua
daerah tersebut merupakan sumber utama bakteri-bakteri yang kemudian masuk
dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi. Hasil serangkaian
penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang masuk dan membentuk koloni di
dalam saluran pencernaan bayi dapat berupa bakteri komensal, bakteri oportunis
(bakteri yang dalam jumlah cukup tidak berbahaya namun jika jumlahnya
meningkat akan menimbulkan penyakit), dan bakteri patogen. Bakteri komensal
seperti Lactobacilli dan Bifidobacterium berperan penting stimulasi daya tahan
tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi.
Sedangkan keberadaan bakteri patogen seperti Staphylaococcus merupakan
mekanisme yang dibutuhkan bayi untuk mengenali “serangan” dan menstimulasi
kekebalan tubuh agar bisa memberi respons yang tepat (Morelli, 2008). Pada bayi
yang dilahirkan secara seksio cesaria mengalami pajanan antigen mikroba yang
kurang dibandingkan bayi yang lahir per vaginam sehingga respon imun Th1
tidak dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi Th2 pada neonatus. Jika hal
ini terus berlangsung maka akan menyebabkan penyakit alergi (Gondokaryono,
2009).
3. Laktasi
Bayi yang mendapat ASI mempunyai perbedaan dengan yang tidak
mendapatkan ASI terhadap kejadian dermatitis atopik. Makin panjang waktu
mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik
12
(Soebaryo, 2004). Hal tersebut perlu dicermati karena dalam ASI terdapat bakteri
komensal yang berfungsi untuk menstimulasi daya tahan tubuh, membantu
pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Lactobacillus dan
beberapa tipe Bifidobacterium adalah contoh bakteri komensal yang ditemukan
pada ASI (Lara, 2007).
Sebuah penelitian menyimpulkan adanya perbedaan pada jumlah bakteri
probiotik jenis Bifidobacteria antara bayi yang diberi ASI dan bayi yang diberi
susu formula. Pada bayi yang diberi ASI, jumlah Bifidobacteria mendominasi
hingga 70% dari total mikroflora saluran cerna saat bayi berusia 20 hari,
sementara bayi yang diberi asupan susu formula hanya punya porsi Bifidobacteria
sebanyak 30%. Jadi, saluran cerna bayi yang diberi ASI akan di dominasi oleh
bakteri komensal (Harmsen dkk., 2000). Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada
kelompok ASI eksklusif disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus
untuk Bifodobacteria (bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung
kappa casein yang terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses
proteolisis dari komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah
faktor pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik
lainnya yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono oligosakarida, fruktosa
dan karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang
lebih spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus
bayi yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta
konsentrasi laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab
terhadap penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan
13
pertumbuhan Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari
lumen usus dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Arimbawa dkk., 2007).
Sebagian peneliti lain masih berpendapat bahwa keberadaan bakteri di
dalam ASI merupakan kontaminasi dari lingkungan sekitar saat ASI berpindah
dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Terakhir, sebuah penelitian menyimpulkan adanya
bakteri alami pada ASI yang berpindah dari usus ibu ke payudara. Proses
translokasi bakteri dari saluran cerna ke kelenjar limpa atau ke payudara itu
merupakan proses fisiologis unik yang terjadi pada akhir kehamilan dan saat
menyusui (Perez dkk., 2007).
4. Pengenalan makanan padat terlalu dini
Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya
terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan
gandum (Ferguson, 1990; Soebaryo, 2004).
5. Jumlah anggota keluarga
Kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah
anggota keluarga. Hal tersebut juga dapat diterangkan dengan teori higiene yaitu
terjadinya infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota
kelurga yang lebih tua (Soerbaryo, 2004).
6. Sosioekonomi
Pada status sosial yang tinggi akan didapatkan prevalensi dermatitis atopik
yang lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal
tersebut dapat diterangkan semakin tinggi status sosialnya, pajanan terhadap
14
antigen mikroba akan berkurang sehingga stimulasi sistem imun juga akan
berkurang (Flohr, 2005; Gondokaryono, 2009).
7. Polusi lingkungan
Pada daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian
pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada
kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang
tidak dibilas dengan sempurna (Soebaryo, 2004).
2.1.5 Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan dalam patogenesis dermatitis atopik.
Luasnya spektrum tampilan klinis dermatitis atopik tidak dapat diterangkan hanya
dengan abnormalitas imunologik saja, perlu juga peran faktor lainnya, misalnya
disfungsi sawar kulit. Terdapat kaitan antara dua faktor tersebut dalam manifestasi
dermatitis atopik (Soebaryo, 2004).
1. Disfungsi sawar kulit
Pada penderita dermatitis atopik terjadi defek permeabilitas sawar kulit
dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Derajat defek
tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit (akut, subakut, kronik) dan derajat
inflamasi di kulit. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan
terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah.
Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas
sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan
15
proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit.
Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian
yang penting pada patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2004; Soebaryo,
2004; Baratawidjaja, 2009).
2. Imunopatologi
Faktor imunologik merupakan salah satu faktor yang berperan pada
dermatitis atopik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal kulit dapat
berlangsung respon imun yang melibatkan sel langerhans (SL) epidermis,
limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup,
alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu
dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi
IgE yang ada pada permukaan sel mast atau Ig E yang ada di membran SL
epidermis (Baratawidjaja, 2009).
Sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis sebagai antigen
presenting cell (APC) pada dermatitis atopik dapat mengaktifkan sel T alergen
spesifik melalui antibodi Ig E alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcεRI,
FcεRII dan IgE-binding protein. Antigen yang ditangkap IgE pada SL bermigrasi
melalui dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio
parakortikal). Antigen tersebut diproses bekerjasama dengan major
histocompatibility complex (MHC) II akan dipresentasikan untuk mengaktifkan
sel Tnaive yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit
dan akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan
perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat
16
pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu non atopik.
Dengan adanya glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda
pada proses pematangan dan menentukan fenotip sel T. Terdapat dua fenotip yaitu
sel T helper/regulatory CD4+ dan sel T cytotoxic/ supressor CD8
+. Infiltrat
mononuklear pada lesi dermatitis atopik terutama terdiri atas sel T CD4+ dan
sedikit sel T CD8+ (Moreno, 2000; Leung, 2004)
Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada
perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th 1 dipicu oleh interleukin
(IL)-12 yang diproduksi oleh makrofage dan sel dendritik. Perkembangan sel T
menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 akan
mengeluarkan sitokin interferon (IFN)-γ, Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-2 dan
IL-17, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13.
Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil
serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi
kulit (Moreno, 2000; Endaryanto dkk, 2007).
Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di
jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada usia lesi
kulit. Pada kulit non lesi atau lesi akut dermatitis atopik, sel T mengekspresikan
peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF-γ. Interleukin-4
menghambat produksi INF-γ dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga
lingkungan tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 (Moreno,
2000; Soebaryo, 2009). Pada dermatitis atopik akut ini akan mengeluarkan sitokin
Th2 yang akan menginduksi respon lokal Ig E untuk menarik sel-sel inflamasi
17
(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan
pengeluaran dari molekul adhesi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin.
Pada dermatitis atopik yang kronis akan terjadi peningkatan kadar INF-γ, IL-12,
IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). Interferon-γ
yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5
dan IL-13 masih tetap tinggi. Interferon- dan IL-12 akan memicu terjadinya
infiltrasi dari limfosit dan makrofag. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia
epidermis. Interferon-γ dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk
berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis (Beiber, 2008).
Kelainan imunologi yang utama pada dermatitis atopik berupa
pembentukan Ig E yang berlebihan. Antigen yang terikat dengan Ig E yang
terdapat pada permukaan sel mast akan menyebabkan pelepasan beberapa
mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan
kulit. Pelepasan mediator tersebut terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan sering
disebut reaksi fase cepat (early phase reaction). Tiga sampai empat jam setelah
reaksi fase awal akan terjadi reaksi fase lambat (late phase reaction). Reaksi ini
terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti
tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang. Mekanisme ini terjadi
karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13,
GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk
IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak
terjadi peningkatan Th1 (Gambar 2.1) (Soebaryo, 2009).
18
Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Spergel and Schneider, 1999)
2.1.6 Manifestasi klinis
Manifetasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase
kehidupan, mulai saat bayi sampai saat dewasa. Pada setiap anak didapatkan
derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum mereka mengalami pola
distribusi lesi yang serupa. Umumnya gejala dermatitis atopik timbul sebelum
bayi berusia 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik
dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan
meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan
makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan
dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit
dermatitis atopik sukar diramalkan. Dermatitis atopik dapat dibagi dalam tiga fase
19
berdasarkan usia penderita dan gambaran klinisnya, yaitu (Hurwitz, 1983; Jacoeb,
2004; Baratawidjaja, 2009; Santosa, 2010) :
1. Fase bayi (infantile type)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan
yaitu pada bulan kedua, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, dan simetris.
Pada bayi yang belum dapat merangkak, lesi biasanya ditemukan pada wajah
(dahi-pipi), kulit kepala dan permukaan ekstensor ekstremitas. Umumnya diawali
oleh plak eritema, papul, vesikel yang sangat gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi
dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai. Rasa gatal yang timbul sangat
mengganggu sehingga anak menjadi gelisah, susah tidur, dan sering menangis.
Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut. Karena garukan
terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Pada
sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Tipe ini
cenderung kronis dan residif. Sebagian besar penderita sembuh setelah dua tahun
dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak (Gambar 2.2).
20
Gambar 2.2 Plak eritematosa difus dan kering pada pipi, fossa poplitea
dan pada betis tampak plak eritematosa difus dan eksudatif
(Daili, 2005)
2. Fase anak (childhood type)
Dapat merupakan lanjutan bentuk dermatitis atopik infantil ataupun timbul
sendiri (de novo). Timbul pada masa kanak-kanak (2–12 tahun). Predileksi
mendominasi daerah antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang leher.
Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi
memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau baru timbul
pertama kali. Sering ditemukan lipatan Denni Morgan yaitu lipatan kulit dibawah
kelopak mata. Dermatitis atopik berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat
mengganggu pertumbuhan (Gambar 2.3).
21
Gambar 2.3 Plakat eritematosa, erosi, ekskoriasi dan krusta pada fossa
cubiti yang meluas ke badan (Daili, 2005)
2. Fase dewasa (adult type)
Bentuk lesi ini biasanya timbul pada usia lebih dari 12 tahun dan hampir
serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak. Gejala utama adalah pruritus,
kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara
klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang,
dahi serta daerah sekitar mata. Manifetasi lain berupa kulit kering dan sukar
berkeringat, gatal terutama jika berkeringat. Dermatitis atopik remaja cenderung
berlangsung lama kemudian menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang
sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Gambar
2.4).
22
Gambar 2.4 Tampak hiperkeratosis dan likenifikasi (Daili, 2005)
Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi
adalah yang disebut “stigmata atopi”. Bila stigmata tersebut terdapat dalam kulit
disebut sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering
ditemukan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan dengan individu sehat dan
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik.
Kelainan yang biasa ditemukan pada dermatitis atopik, yaitu (Hurwitz, 1983;
Jacoeb, 2009; Santosa 2010):
1. ‘White dermatographism’ merupakan goresan pada kulit penderita dermatitis
atopik akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan
vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15
menit berikutnya. Walaupun peristiwa ini tidak patognomonik untuk dermatitis
atopik, tetapi kadang-kadang dapat digunakan sebagai diagnosis dermatitis
atopik.
2. Reaksi vaskular paradoksal merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu
pada penderita dermatitis atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis
atopik mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan
23
perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diduga
karena adanya pelebaran dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat di jaringan sekelilingnya.
3. Lipatan telapak tangan/palmar hiperlinearlity of palms or soles yaitu
terdapatnya pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal
tersebut bukan merupakan tanda khas untuk dermatitis atopik.
4. Garis Morgan atau Dennie merupakan kelainan berupa cekungan yang
menyolok dan simetris, namun dapat ditemukan satu atau dua cekungan di
bawah kelopak mata bagian bawah. Kelainan tersebut dapat ditemukan pada
50%-60% pasien dermatitis atopik dengan berbagai variasi etnis. Keadaan ini
muncul pada saat lahir, atau segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup,
nampak seperti edema dari kelopak mata bagian bawah.
5. Sindrom ‘buffed-nail’ merupakan kuku yang terlihat mengkilat karena selalu
menggaruk akibat rasa sangal gatal.
6. ‘Allergic shiner’, sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena
gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat
perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
7. Hiperpigmentasi, biasanya terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan
terus menerus.
8. Kulit kering. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik,
pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis
pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan
24
pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim
panas.
9. ‘Delayed blanch’. Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan
keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema
ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
10. Keringat berlebihan. Penderita dermatitis atopik cenderung berkeringat
banyak sehingga pruritus bertambah.
11. Gatal dan garukan berlebihan. Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin)
pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada
penderita dermatitis atopik gatal dapat bertahan selama 45 menit.
2.1.7 Diagnosis
Dermatitis atopik di diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka
yang menggunakan kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis dermatitis
atopik. Kriteria mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus dermatitis atopik,
sedangkan kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol.
Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik dermatitis atopik harus
terdapat tiga atau lebih kriteria mayor (Moreno, 2000; Baratawidjaja, 2009;
Leung, 2011) :
25
1. Pruritus
2. Morfologi dan regio yang khas, likenifikasi fleksural pada orang dewasa,
lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak.
3. Perlangsungan kronik dan residif.
4. Riwayat atopi (asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopik) pada diri
sendiri atau keluarga.
Kriteria minor terdapat tiga atau lebih :
1. Xerosis, iktiosis atau hyperkeratosis palmaris atau keratosis pilaris.
2. Reaktifitas kulit tipe cepat.
3. Peningkatan Ig E serum.
4. Dermatitis di daerah palmo-plantar.
5. Kheilitis.
6. Dermatitis di daerah kepala.
7. Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simpleks.
8. Papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi hiperpigmentasi.
9. Pitiriasis Alba.
10. Dermatitis di puting susu.
11. White Dermographism.
12. Katarak dan keratokonus.
13. Garis Dennie Morgan.
14. Kemerahan atau kepucatan di wajah.
15. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi.
26
2.1.8 Diagnosis banding
Rasa gatal merupakan gejala utama dari penyakit dermatitis atopik.
Distribusi dan bentuk lesi dari dermatitis atopik berbeda menurut usia dan
biasanya bersifat kronis residif. Walaupun banyak kondisi kulit dapat menyerupai
dermatitis atopik, karakteristik tertentu dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis banding, antara lain :
1. Dermatitis kontak
Tempat erupsi pada dermatitis ini tegantung dari bahan penyebabnya,
biasanya terlihat pada pipi dan dagu (berhubungan dengan sekresi ludah dan
gesekan pada daerah yang terkena), sisi ekstensor eksteremitas (akibat pemakaian
sabun yang keras, deterjen dan sprei yang kasar), dan diaper area (akibat pajanan
terhadap tinja, air seni, sabu, deterjen dan preparat bedak kasar). Erupsi ini
biasanya akan mengalami involusi secara spontan bila penyebabnya dihilangkan
(Baratawidjaja, 2006; Zulkarnain, 2009).
2. Dermatitis numularis
Lesi penyakit ini berbentuk koin dengan ukuran 1 cm atau lebih, timbul
pada kulit yang kering. Lesi numular berupa papul kecil dan vesikel yang meluas,
diskret, bulat atau oval, eritematosa, kadang-kadang linkenifikasi dan plak
hiperpigmentasi dengan ukuran bervariasi dari 1 cm atau lebih disertai dengan
rasa gatal. Kelainan ini terjadi pada permukaan ekstensor tangan, lengan dan kaki,
wajah dan badan (Baratawidjaja, 2006; Zulkarnain, 2009).
27
3. Sindrom Wiskott-Aldrich
Merupakan penyakit x-linked yang jarang ditemukan dan hanya ditemukan
pada anak laki-laki muda. Awitan sindrom ini adala sejak usia 4 bulan. Lesinya
dapat berupa petikie, dermatitis purpurik atau episode berdarah yang biasanya
pada 6-12 bulan pertama kehidupan, dan erupsi eksematoid yang menyerupai
dermatitis atopik dan timbul pada kulit kepala, wajah, bokong, antekubital dan
fosa poplitea. Juga disertai dengan splenomegali, hepatomegali dan servikal
adenopati serta bayi menjadi peka terhadap infeksi bakteri, jamur dan virus serta
paling sering ditemukan otitis media (Hurwitz, 1983; Zulkarnain, 2009).
4. Skabies
Pada bayi gejala klinis dermatitis atopik terutama mulai dari pipi dan tidak
mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan
papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak
tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau
dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi
respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida
(Zulkarnain, 2009; Santosa, 2010).
5. Dermatitis seboroik infantil
Penyakit ini dibedakan dari dermatitis atopik dengan: (1) pruritus ringan,
(2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis
seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu
28
penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi dermatitis atopik
saat berusia 5-13 tahun (Santosa, 2010).
6. Psoriasis
Secara keseluruhan lesi psoriasis berwarna kemerahan dan skuamanya
berwarna seperti perak micaceous (seperti mika). Predileksinya biasanya pada
permukaan ekstensor, terutama siku dan lutut, kulit kepala dan daerah genital.
Suatu tanda penting untuk diagnosis psoriasis adalah adanya kerusakan kuku
(Zulkarnain, 2009).
2.1.9 Komplikasi
Pada anak penderita dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi
lain di kemudian hari. Penderita dermatitis atopik mempunyai kecenderungan
untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia, molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan
oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema
vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada
pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi herpes
simplek terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel
pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi
penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita dermatitis atopik, mempunyai
kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus (Moreno,
2000; Santosa, 2010).
29
2.1.10 Pengobatan
Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya
usia. Langkah yang penting adalah menjalin hubungan baik dengan orang tua
penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara rinci, termasuk
perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinsip penatalaksanaan
(Santosa, 2010).
2.1.10.1 Penatalaksanaan umum
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus dermatitis atopik dan tidak sama
untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai
faktor tersebut, antara lain (Moreno, 2000):
1. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen,
pemutih, dan lain-lain).
2. Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.
3. Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.
4. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan
dermatitis atopik.
5. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti
menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.
6. Menghindarkan stres emosi.
7. Mengobati rasa gatal.
30
2.1.10.2 Pengobatan
2.1.10.2.1 Pengobatan topikal
2.1.10.2.1.1 Hidrasi kulit
Hidrasi adalah terapi dermatitis atopik yang esensial. Dasar hidrasi yang
adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi selama
15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas, sabun dengan
moisturizers dan tidak menambahkan minyak karena mempengaruhi penetrasi air
serta menerapkan sawar hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Dengan
melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak
menggaruk dan lebih inpermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan.
Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%,
pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%.
Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi (Sugito, 2004; Santosa
2010; Leung 2011).
2.1.10.2.1.2 Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek anti inflamasi, antipruritus, dan
efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid
topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan
penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari. Walaupun steroid topikal sering diberi
pada pengobatan dermatitis atopik, tetapi harus berhati-hati karena efek
sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi,
daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat
diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol,
31
kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu bila perlu
dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi (Moreno, 2000; Sugito 2004;
Leung, 2011).
2.1.10.2.1.3 Imunomodulator topikal
Imunomodulator topikal yang dipakai dalam pengobatan dermatitis atopik
adalah takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus bekerja sebagai penghambat
calcineurin, sediaan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2–15 tahun dan
dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek
samping kecuali rasa terbakar setempat (Moreno, 2000; Sugito, 2004).
Pimekrolimus merupakan senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator
golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus.
Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai
pada kulit sensitif 2 kali sehari (Sugito, 2004).
2.1.10.2.1.4 Preparat ter
Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam
bentuk salep hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5%-10%
atau crude coaltar 1%-5% (Leung, 2011).
2.1.10.2.1.5 Antihistamin
Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada dermatitis atopik karena
berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5%
dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi
pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif (Sugito, 2004;
Leung, 2011).
32
2.1.10.2.2 Pengobatan sistemik
2.1.10.2.2.1 Kortikosteroid
Hanya dipakai untuk mengendalikan dermatitis atopik eksaserbasi akut.
Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis
diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek
samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen.
Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan
diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam
waktu 4 hari (Moreno, 2000; Leung, 2011).
2.1.10.2.2.2 Antihistamin
Pemberian antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti
histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik,
aktifitas penderita dll. Antihistamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak
diberikan pada penderita dengan aktifitas di siang hari (seperti supir) . Pada kasus
sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral dan diberikan 2 kali sehari
yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2
(Baratawidjaja, 2006; Leung 2011).
2.1.10.2.2.3 Antibiotika
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi dermatitis
atopik yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah
eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai
bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. Staphylococcus
aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila
33
diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan
sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi
pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin,
teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten
adalah klindamisin. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap
Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin,
14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin. Bila
ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 kali 400 mg selama 10 hari atau 4 kali
200 mg untuk 10 hari (Baratawidjaja, 2006; Sugito, 2009) .
2.1.10.2.2.4 Interferon
Interferon γ bekerja menekan respons Ig E dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel Th1. Pengobatan IFN-γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis
karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi (Moreno 2000;
Leung 2011).
2.1.10.2.2.5 Siklosporin
Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat
dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin
sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu
singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek
sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan
fungsi ginjal dan hipertensi (Sugito, 2009; Leung, 2011).
34
2.1.10.2.2.6 Terapi sinar (phototherapy)
Dipakai untuk dermatitis atopik yang berat. Terapi menggunakan ultra
violet β atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih
baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada sel langerhans dan
eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara
memblokade fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin keratinosit
(Sugito, 2009; Leung, 2011).
2.1.10.2.2.7 Probiotik
Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus GG perinatal akan
menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak di usia 2 tahun pertama. Hasil
pengobatan ini bisa dilihat dari uji tusuk kulit dan kadar IgE dalam darah (Leung,
2011).
2.1.10.2.2.8 Chinese herbal medications
Chinese herbal medications mengurangi penyakit dan pruritus secara
signifikan tetapi hanya bersifat temporer (Moreno, 2000; Leung, 2011).
2.1.11 Prognosis
Prognosis dermatitis atopik sangat sulit diramalkan karena adanya peran
multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :
1. Dermatitis atopik yang luas pada anak.
2. Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.
3. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudaranya.
4. Awitan (onset) dermatitis atopik pada usia muda.
35
5. Anak tunggal.
6. Kadar Ig E serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30-35% penderita dermatitis atopik infantil akan
berkembang menjadi asma bronkiale atau hay fever. Penderita dermatitis atopik
mempunyai risiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di
tangan (Moreno, 2000; Leung, 2011).
2.2 Probiotik
2.2.1 Definisi probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup atau bakteri
campuran yang memilki efek menguntungkan pada saluran cerna dan saluran
napas host melalui kemampuannya memperbaiki keseimbangan mikroflora usus.
Lebih dari itu, peneliti lain mendefinisikan probiotik lebih luas lagi, yaitu bahwa
probiotik adalah mikroorganisme yang bekerja mempertahankan kesehatan host
(Subijanto dkk., 2005). Bakteri dalam usus manusia dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok bakteri yang berguna (useful) dan dan kelompok
bakteri yang berbahaya (harmful). Tidak semua mikroorganisme dapat menjadi
probiotik. Kriteria yang perlu dipenuhi agar dapat disebut probiotik adalah
sebagai berikut (Subijanto dkk., 2005; Arimbawa, 2007) :
1. Resisten terhadap asam dan empedu
2. Dapat berikatan dan bermultiplikasi di saluran cerna dan saluran urogenital
3. Dapat tetap aktif bermetabolisme sewaktu mencapai saluran cerna
4. Dapat membunuh bakteri patogen
36
5. Dapat menyeimbangkan pH kolon
6. Aman, tak invasif, non karsinogenik, dan non patogenik
Probiotik dikategorikan berdasarkan genus, spesies, dan beberapa
berdasarkan strain masing-masing. Bakteri probiotik yang banyak dikenal adalah
Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus. Bakteri ini biasanya bersifat
fermentatif, obligat, dan fakultatif anaerob. Bakteri ini tidak bisa bergerak aktif
(nonmotil) dan masuk dalam kategori Bakteri Asam Laktat (BAL) (Thomas dkk.,
2010). Ini berarti bahwa bakteri tersebut mempunyai kemampuan mengubah gula
menjadi asam laktat sehingga lingkungan di saluran cerna menjadi asam. Dalam
suasana asam, bakteri probiotik dapat hidup dengan subur sedangkan bakteri
patogen tidak dapat hidup (Gondokaryono, 2009). Secara biologis bakteri
probiotik berbeda dari bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif biasanya
bergerak aktif (motil) dan tidak bisa memproduksi asam laktat seperti Klebsiella,
Pseudomonas, Serratia, dan Proteus, yang mungkin juga merupakan mikroflora
yang menonjol pada sistem pencernaan manusia. Bakteri ini berpotensi bahaya
jika mengalami translokasi di epitel usus dan dapat mengakibatkan penyakit pada
host (Thomas, 2010). Terdapat lebih dari sepuluh jenis spesies Lactobacillus dan
enam jenis spesies Bifidobacterium dan Streptococcus thermophilus yang paling
sering dipakai sebagai bahan makanan. Sedangkan dari kelompok jamur yang
sering dipakai sebagai probiotik adalah Saccharomyces boulardii (Subijanto,
2005; Thomas 2010).
37
2.2.2 Peran probiotik terhadap alergi
Peran probiotik terhadap kesehatan mulai banyak diteliti. Sejumlah
mekanisme kegunaan probiotik bagi kesehatan telah banyak pula diajukan antara
lain memperbaiki sawar epitel melalui peningkatan produksi musin mukosa usus
sehingga epitel hospes lebih tahan terhadap organisme patogen. Probiotik
menghasilkan ion hidrogen yang akan menurunkan pH usus dengan memproduksi
asam laktat sehingga menciptakan suasana yang tidak menguntungkan untuk
pertumbuhan bakteri patogen (Gondokaryono, 2009).
Bukti-bukti klinis adanya peran probiotik dalam menurunkan reaksi alergi
mulai banyak diajukan oleh beberapa peneliti walaupun mekanisme kerja
probiotik tersebut belum banyak diketahui. Sejauh ini beberapa penelitian
biomolekuler mengenai probiotik yang berusaha mengetahui mekanisme kerja
probiotik menunjukkan bahwa terdapat kemampuan probiotik cukup beragam
dalam memodulasi respon imun, namun sayang karena problem etik, banyak
penelitian yang hanya dapat dilaksanakan pada hewan coba (Endaryanto dkk.,
2007).
Bakteri probiotik seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus telah
dibuktikan dapat mensupresi secara langsung ikatan dan pertumbuhan bakteri
patogen di saluran cerna. Bakteri ini mempunyai efek imunoregulator melalui
pengenalan oleh sel imun tubuh atau adanya signalling dari bakteri ini kepada sel
hospes (Gondokaryono, 2009). Produk mikrobiota usus yang mempunyai sifat
imunomodulator antara lain lipopolisakarida (LPS), peptidoglikan dan
Lipoteichoic Acid (LTA). Lipoteichoic Acid yang dimiliki oleh Bifidobakteria
38
mempunyai afinitas pengikatan yang tinggi terhadap membran sel epitel mukosa.
Kemudian LTA dari Bifidibcterium ini dapat bertindak sebagai pembawa antigen
serta mengikatkan ke jaringan target sehingga dapat mengaktivasi makrofag untuk
membangkitkan respon imun (Arimbawa dkk., 2007). Sumber stimulasi antigenik
yang penting setelah lahir dilakukan oleh bakteri yang cepat mengkolonisasi
saluran cerna neonatus. Saat lahir kolon masih dalam keadaan steril dan adanya
kolonisasi bakteri berasal dari lingkungan sekitarnya terutama yang di dapat dari
ibunya. Adanya kolonisasi bakteri ini di kolon, tidak hanya membentuk ”sawar
hidup” untuk melindungi diri dari invasi kuman patogen, tetapi juga berperan
dalam stimulasi respon imun di awal kehidupan. Diduga bahwa komposisi
kolonisasi organisme tersebut sangat menentukan dalam pembentukan
keseimbangan imun respon yang tepat (Furrie, 2005; Gondokaryono, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kallimoki dan Isolauri (2003),
didapatkan mikroflora usus bayi yang alergi dan non alergik berbeda secara
bermakna. Keterlambatan perkembangan komposisi Bifidobacterium dan
Lactobacillus dalam mikroflora usus merupakan penemuan yang umum pada anak
yang alergi. Pada penelitian selanjutnya, pemberian Lactobacillus perinatal
ternyata mengurangi 50% kejadian dermatitis atopik dalam 2 tahun kehidupan.
Strain yang spesifik dari mikrobiota usus yang sehat dibuktikan dapat
menginduksi produksi IL-10 dan TGF-β yang mempunyai peran regulasi yang
penting dalam perkembangan imun respon alergik. Probiotik juga memperkuat
sawar pertahanan usus dan mengurangi antigen load dalam usus (Kallimoki dkk.,
2007). Gambar 2.5 menunjukkan beberapa efek menguntungkan dari probiotik.
39
Gambar 2.5 Beberapa efek menguntungkan dari konsumsi probiotik
(Perves dkk., 2006)
2.2.3 Probiotik dan dermatitis atopik
Pemberian probitik dalam pencegahan alergi juga merupakan upaya
perbaikan homoestasis sistem biologis penderita yang ditujukan pada
imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2.
Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya memerlukan
pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang (Endaryanto dkk.,
2007). Respon Th1 dan Th2 bersifat counter-regulative, artinya sitokin yang
dihasilkan oleh sel Th1 menghambat fungsi sel Th2 dan sebaliknya. Dasar
imunologis alergi berawal dari over expression sel Th2 yang mensekresikan IL-4,
40
IL-5, dan IL-13 sehingga mengakibatkan terjadinya peradangan alergik pada
organ yang terlibat (Kallimoki dkk., 2003).
Beberapa mekanisme kerja antigen mikroba pascanatal mengawali respon
imun Th1 yang telah dianggap dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi
sitokin Th2 pada neonatus. Bila pajanan dini mikroba tidak memadai, maka
produksi Th2 akan terus berlangsung sehingga dapat menimbulkan penyakit alergi
(Gondokaryono, 2009).
Beberapa mekanisme kerja probiotik yang diajukan dalam pencegahan
dermatitis atopik adalah sebagai berikut :
1. Mengubah pola respon imun Th2 ke arah respon imun Th1
Probiotik mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi sistem imun innate
(bawaan) yang kuat. Hal ini disebabkan karena probiotik mempunyai molekul
yang spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik
tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs).
PAMPs nantinya akan dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern
recognition receptors, PRRs) yang ada pada membran sel epitel mukosa. Molekul
LTA dan peptidoglycan merupakan salah satu PAMPs yang ada pada probiotik.
Molekul LTA yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri
gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi
sitokin) yang sama dengan LPS. Molekul biologis aktif peptidoglycan dan
teichoic acid ini akan dikenali oleh PRRs dalam hal ini TLR2 dan TLR4. TLRs
adalah PRRs mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan
41
dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali bakteri patogen serta
melakukan inisiasi kaskade sinyal (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Hubungan antara probiotik dengan TLR dan stimulasi respons
imun (Endaryato, 2007)
Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter
menyalurkan sinyal melalui NF-κB, AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari
beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein MyD88 yang
berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.
MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk
42
membentuk kompleks reseptor. IL-1R associated kinase berhubungan dengan
molekul adapter TNF receptor associated factor 6 (TRAF 6). Tumor Necrosis
Factor receptor associated factor 6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family
member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor
kinase (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera
translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai. Pada tingkat
molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-B, yang
mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin
proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba (Endaryanto, 2007; Hart
dkk., 2008) (Gambar 2.7).
Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas innate ke
sistem adaptif, TLR mampu menginduksi respons imun baik ke arah Th1 maupun
Treg. Toll Like Receptor-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam
polarisasi respons imun oleh paparan mikroba. Jadi konsep probiotik pada
pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang
dimulai dari sistem imun innate dan mengarah pada pengembalian host pada
kondisi “Th1-Th2” yang seimbang (Endaryanto, 2007; Hart dkk., 2008).
2. Induksi toleransi
Perkembangan respon sel-T sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain : jenis antigen, rute masuknya antigen, dan jumlah antigen yang
masuk. Terciptanya toleransi terhadap antigen oral juga tergantung pada usia
inang dan waktu terjadinya aktivasi. Setelah paparan antigen, sel-sel kekebalan
tubuh merespon dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang kemudian memicu
43
respon imun (Isoulauri dkk., 2001). Toleransi oral merupakan hiporespon
terhadap pemberian soluble protein antigen secara oral. Toleransi imunologis
terhadap antigen makanan dan juga mikroflora komensal dapat bermanifestasi
sebagai mekanisme aktif subpopulasi limfosit. Penelitian menggunakan
transgenic mice menunjukkan bahwa mikroflora normal di usus berperan penting
dalam respon makrofag melalui prostaglandin E2 (diinduksi oleh IL-10 dan TGF-
B) sehingga menyebabkan toleransi oral. Dalam penelitian murine lainnya,
peneliti dari Jepang membuktikan bahwa toleransi oral menjadi sangat lemah bila
stimulasi mikroflora komensal berkurang pada saat bayi (Isolauri, 2001;
Gondokaryono 2009).
Gambar 2.7 Peran TLR 2 dan TLR4 dalam menjembatani sistem
imunitas innate ke sistem imunitas adaptif (Hart dkk., 2008)
44
3. Privilege of early colonization
Pemberian probiotik secara dini diperkirakan dapat mencapai efek yang
dapat dipertahankan karena sebagai kolonisasi bakteri pertama di usus
mempunyai kelebihan dan dapat membangun tempat yang permanen. Selanjutnya
telah diajukan bahwa probiotik berperan dalam menormalisasi peningkatan
permeabilitas usus pada bayi yang allergy-prone. Sebagian efek ini juga
diakibatkan karena sinergi antara flora maternal dengan bayi bila probiotik
diberikan selama trisemester terakhir kehamilan (Gondokaryono, 2009).
4. Maturasi sistem imun mukosa usus
Keberhasilan maturasi sistem imun mukosa usus sebagai bagian yang
penting dari sistem imun adaptif memerlukan stimulasi mikroba yang cepat dan
kontinu dari mikroba usus. Pada studi eksperimental, kurangnya stimulasi tersebut
menyebabkan perubahan ensim mukosa, gangguan sawar usus, berkurangnya
respon inflamasi, defek sistem Ig A mukosa, serta berkurangnya toleransi oral.
Rekonstitusi mikroflora usus dengan bifidobacteria selama periode neonatus
(tidak pada usia lebih dewasa), menghasilkan toleransi dan pentingnya waktu
stimulus diberikan. Perubahan perkembangan komposisi mikroflora usus pada
bayi sehat berhubungan dengan terlambatnya maturasi mekanisme pertahanan
sistem imun humoral, terutama Ig A, dalam sirkulasi dan sel yang mensekresi Ig
M (Gondokaryono, 2009).
45
2.3 Peran Probiotik dalam Pencegahan Dini Dermatitis Atopik
2.3.1 Perkembangan sistem imunitas fetus
Perkembangan sistem kekebalan pada manusia sudah dimulai saat berada
dalam kandungan (in-utero). Kehamilan baru bisa berlangsung apabila fetus dan
plasenta mampu mengatasi penolakan dari aktivitas Th1 sistem imun ibu dengan
memproduksi sitokin Th2. Konsekuensi dari aktivitas proteksi ini adalah sistem
imun fetus menjadi lebih dominan ke Th2. Jika hal ini tidak terjadi, maka akan
dapat meningkatkan risiko terjadinya aborsi (Furrie, 2005). Selain peningkatan
produksi sitokin Th2 berupa IL-4 dan IL13, juga terjadi produksi sitokin T reg
yaitu IL-10 dan TGF-β. Sitokin Th2 berada di plasenta bersama dengan IgE
maternal dan alergen yang telah mencapai cairan amnion melalui sirkulasi
maternal. Sebagai konsekuensi ditelannya amnion yang mengandung alergen itu
oleh fetus (fetal swallowing) maka terjadilah priming ini sistem imun saluran
cerna fetus yang menghasilkan sensitisasi alergi untuk pertama kalinya (Warner,
2002). Pada fetus usia 12 minggu, produk antibodi asli fetus hanyalah sejumlah
kecil Ig M (10% dari dewasa) serta sedikit Ig A, Ig D, dan Ig E. Mengenai Ig E,
diketahui bahwa sintesis Ig E sudah dapat diinduksi pada fetus melalui alergen
yang dikonsumsi ibunya. Sementara itu APC, sel T, dan sel B saluran cerna
mengalami maturitas pada 16 minggu usia fetus (Endaryato, 2007).
2.3.2 Perkembangan bakteri pada saluran pencernaan
Pada masa kehamilan, saluran pencernaan janin dalam keadaan terlindung,
lingkungan yang steril dan saat lahir merupakan organ yang bebas kuman. Proses
46
kolonisasi bakteri baru dimulai pada saat proses persalinan. Bakteri ini biasanya
berasal dari vagina, feses maupun lingkungan sekitarnya yang nantinya
berkembang sendiri sebagai bakteri yang khas dan terkendali dengan baik. Bakteri
aerob seperti Escherichia coli dan Streptococcus muncul pada 24 jam setelah
traktus gastrointestinal berinteraksi dengan lingkungannya. Bakteri ini terus
berkembang dan dalam dua minggu kemudian dalam feses didapatkan sekitar 108-
10 bakteri/gram feses. Bakteri aerob ini menciptakan suasana lingkungan traktus
gastrointestinal ini menjadi kurang baik sehingga memicu pertumbuhan bakteri
anaerob, seperti Bacterioides dan Clostridium. Menjelang hari kedua dalam
kehidupan, bakteri-bakteri Coliform, Lactobacilli, dan Enterococci ditemukan
jumlahnya meningkat dalam flora feses. Pada hari ketiga Bacterioides spp
muncul, bahkan keberadaannya dapat dideteksi lebih awal pada 25% bayi yang
lahir normal serta diberikan susu formula. Pada hari kelima Bifidobacterium
muncul dalam jumlah banyak dan pada akhir minggu pertama jumlahnya
didapatkan kira-kira mencapai 108-10
bakteri/gram feses. Banyak faktor yang
mempengaruhi komposisi flora bakteri di usus, antara lain usia, kerentanan
terhadap infeksi, kebutuhan nutrisi, status imunologik penjamu, pH di usus, waktu
transit, dan interaksi antara komponen usus (Ishibashi dkk., 1997) (Gambar 2.8).
47
Gambar 2.8 Perubahan komposisi ekosistem saluran pencernaan sesuai
dengan pertambahan usia (Ishibashi dkk, 1997)
Perkembangan jumlah bakteri dalam saluran pencernaan sangat
berhubungan dengan makanan dan seiring dengan perjalanan usia. Saat bayi
diberi makanan tambahan sampai pada masa anak-anak, populasi bakteri anaerob
Bacterioides eubacteria sangat dominan, sedangkan populasi Bifidobacterium
sedikit menurun saat mencapai usia dewasa. Pada usia lanjut, terjadi peningkatan
populasi Clostridium perfringens yaitu bakteri pembusuk, diikuti dengan
penurunan Bifidobacterium (Mitsuoka, 1996).
Pada akhir bulan pertama, ditemukan beberapa perbedaan komposisi
bakteri yang jelas diantara bayi yang dipengaruhi oleh pola pemberian nutrisi.
Ditemukan perbedaan dalam bakteri di dalam feses antara bayi yang diberi ASI
ekslusif dengan yang diberikan susu formula, dengan peningkatan dramatis dalam
populasi Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif, sementara pada kelompok
48
susu formula hanya sekitar 30-40% dari keseluruhan bakteri yang ditemukan.
Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif
disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus untuk Bifodobacteria
(bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung kappa casein yang
terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses proteolisis dari
komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah faktor
pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik lainnya
yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono atau oligosakarida, fruktosa dan
karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang lebih
spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus bayi
yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta konsentrasi
laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab terhadap
penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan
Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari lumen usus
dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Langhendries, 2005).
2.3.3 Pengaruh bakteri terhadap saluran pencernaan dalam proses
imunomodulasi sistem imunitas
Saluran pencernaan terutama mukosa usus memegang peranan penting
dalam proses pengenalan dan eliminasi mikroorganisme serta antigen yang
berpotensi membahayakan tubuh, memodulasi sistem kekebalan tubuh sekaligus
berfungsi dalam proses penyerapan zat gizi. Maturasi dari imunitas mukosa pada
saluran pencernaan merupakan bagian terpenting dari proses imunomodulasi
49
sistem kekebalan tubuh adaptif, dimana proses ini membutuhkan stimulasi yang
bersifat konstan. Kurang atau tidak memadainya stimulasi tersebut akan
mengakibatkan gangguan pada maturasi imunitas mukosa saluran pencernaan
dimana akan terjadi penurunan area usus, perubahan pada enzim mukosa saluran
pencernaan, gangguan pada fungsi sawar usus, penurunan respon inflamasi,
gangguan sistem Ig A mukosa, dan penurunan toleransi oral (Langhendries,
2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor in-utero yaitu
keberadaan Ig G maternal, sCD14 (soluble CD14), dan kemampuan fetus
menghasilkan IFN-γ akan menyeimbangkan respons imun fetus dari dominasi
Th2 menjadi Th1-Th2 yang seimbang. Sebagai molekul PAMPs, sCD14 akan
dikenali oleh TLR4 di sel DC yang selanjutnya akan mengaktivasi Limfosit Th1
dan Treg (Endaryanto, 2007). Uji klinik probiotik (Lactobacillus GG) telah
dilakukan pada ibu hamil dan menyusui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada usia 2 dan 4 tahun, bayi dari ibu yang menerima probiotik lebih sedikit yang
menderita dermatitis alergi dibandingkan dengan yang menerima plasebo, namun
kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan dalam sensitisasi alergi
yang dicerminkan oleh kadar Ig E total dan hasil uji kulit (Kalliomaki, 2001).
Penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada ibu yang
menerima probiotik, efek dini yang utama bukanlah terjadinya supresi Th1 namun
lebih mengarah pada aktivasi Treg dengan efek bukan hanya sebagai regulator
Th1 tetapi juga regulator Th2, dengan hasil tercapainya homeostasis Th1-Th2.
50
2.3.4 Pemberian probiotik pada ibu hamil dan menyusui dalam pencegahan
dini dermatitis atopik pada anak
Secara umum, ada tiga tahap pencegahan terjadinya penyakit alergi yaitu
pencegahan primer (sebelum terjadi sensitisasi), pencegahan sekunder (sudah
terjadi sensitisasi tetapi belum terjadi penyakit alergi) serta pencegahan tersier
(sudah terjadi penyakit alergi misalnya dermatitis, tetapi belum terjadi penyakit
alergi lain misalnya asma). Pada dermatitis atopik, pencegahan primer sudah
mulai dilakukan sejak masa fetus. Salah satunya caranya menghindari faktor
risiko penyebab alergi pada ibu hamil. Perkembangan ilmu dan teknologi
memungkinkan perubahan paradigma dari pencegahan alergi yang berupa
penghindaran dari faktor risiko ke arah induksi aktif toleransi imunologik.
Beberapa pendekatan sebagai langkah pencegahan yang saat ini tengah dievaluasi
adalah pemberian produk mikrobial melalui jalur oral maupun intranasal,
pemberian alergen melalui jalur mukosa (misalnya imunoterapi sublingual),
pemberian alergen bersama produk mikrobial dan pemberian alergen bersama anti
Ig E (Endaryanto, 2007).
Sebuah penelitian RCT dari Kalliomaki dkk menggunakan Lactobacillus
GG (ATCC 53103) untuk pencegahan primer dermatitis atopik pada bayi berisiko
tinggi. Dilakukan pada 159 ibu hamil dengan riwayat atopi positif dalam keluarga
di randomisasi mendapatkan plasebo atau dua kapsul 1010
CFU Lactobacillus GG.
Suplementasi diberikan 2-4 minggu sebelum melahirkan dengan enam bulan
sesudah lahir. Setelah diikuti selama dua tahun memperlihatkan 23% group
probiotik mengalami dermatitis atopik dibandingkan 46% group plasebo
51
sedangkan pemeriksaan Ig E total, uji tusuk kulit, dan RAST tidak berbeda
bermakna pada kedua group. Setelah 4 tahun, 26% group probiotik mengalami
dermatitis atopik, dibandingkan dengan 46% group plasebo. Data ini
menunjukkan adanya penurunan kejadian dermatitis atopik sebesar 50%. Dari
data eksperimental ini dan pertimbangan teoritis disimpulkan bahwa probiotik
akan bekerja secara maksimum pada sistem imun imatur dan kemungkinan juga
pada usus yang imatur (Kalliomaki, 2001).
Dari studi yang dilakukan di Finlandia, ibu yang mendapatkan probiotik
Lactobacillus rhamnosus (ATCC 53103) selama kehamilan dinilai seberapa besar
pengaruhnya terhadap perbaikan sistem imun dan risiko terjadinya dermatitis
atopik pada bayi. Sejumlah 62 pasang ibu-bayi dilibatkan dalam studi yang
bersifat acak, tersamar ganda dengan pembanding plasebo ini. Selanjutnya kadar
dari perbaikan dari sistem imun yang diwakili melalui kadar dari faktor anti-
inflamasi TGF-ß2 diukur dalam ASI dan persentase bayi yang mengalami
dermatitis atopik dievaluasi. Hasilnya terlihat bahwa ibu yang diberikan probiotik
selama kehamilan memilki kadar TGF-ß2 yang lebih tinggi dan persentase
dermatitis atopik yang lebih rendah pada bayinya. Dimana diketahui TGF-ß2
sebagai kunci imunoregulator dalam meningkatkan produksi Ig A dan induksi
toleransi oral. Selama periode postnatal awal, ketika produksi TGF-ß2 endogen di
usus kurang, pemberian ASI merupakan sumber TGF-ß2 eksogen (Rautava,
2001).
Penelitian Kim dkk (2009) menunjukkan bahwa pemberian probiotik
campuran Bifidobacterium bifidum BGN4, B. lactis AD011, and Lactobacillus
52
acidophilus AD031 dapat menurunkan kejadian dermatitis atopik pada bayi.
Penelitian ini dilakukan pada ibu 4-8 minggu sebelum melahirkan dan dilanjutkan
enam bulan sesudah melahirkan dan bayi diberikan ASI eksklusif selama tiga
bulan pertama. Hasilnya dilaporkan bahwa kejadian dermatitis atopik pada satu
tahun pertama kehidupan, group probiotik (28,2%) secara signifikan lebih rendah
daripada group plasebo (40,0%,) dengan P=0,048. Sedangkan serum total Ig E
didapatkan tidak ada perbedaan secara bermakna (Kim dkk., 2009).
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa probiotik dapat diberikan secara
aman selama kehamilan dan menyusui, selain itu juga memberikan manfaat dalam
perbaikan sistem imun dan menurunkan risiko terjadinya dermatitis atopik pada
bayi.
2.3.5 Kemananan probiotik pada ibu hamil dan menyusui
Penelitian penggunaan probiotik pada ibu hamil sudah banyak dilakukan,
dan dilaporkan aman diberikan saat hamil dan menyusui. Probiotik sangat jarang
mengalami absorbsi secara sistemik sehingga jarang menyebabkan bakterimia dan
fungimia. Probiotik tidak dapat melalui plasenta sehingga tidak dapat mencapai
sirkulasi janin dan tidak membahayakan janin. Hal ini ditunjukkan dari penelitian
metaanalisis dan sistematik dari 8 RCT yang melibatkan 1.500 ibu hamil.
Penelitian ini dilakukan pada ibu dengan usia kehamilan 32-36 minggu sampai 3-
6 bulan setelah melahirkan dengan membandingkan Lactobacillus saja atau
kombinasi dengan Bifidobacerium dengan plasebo. Dilaporkan tidak adanya
peningkatan insiden malformasi, karena pemberian probiotik biasanya pada
kehamilan trimester III dan hal itu tidak mempengaruhi organogenesis (Dugoua
53
dkk., 2009; Elias dkk., 2010). Dilaporkan juga tidak adanya perbedaan yang
bermakna terhadap kejadian prematuritas dan berat badan lahir rendah pada bayi
yang ibunya diberikan probiotik maupun yang tidak diberikan probiotik selama
kehamilan (Lampiran 1).