bab ii kajian pustaka 2.1 dermatitis atopik 2.1.1 definisi

47
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi dermatitis atopik Dermatitis atopik merupakan suatu peradangan kulit kronis, berulang, disertai rasa gatal yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak (Leung, 2011). Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis (Santosa, 2010). 2.1.2 Epidemiologi Kejadian dermatitis atopik terus meningkat dan merupakan masalah besar di masyarakat. Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita dermatitis atopik. Angka prevalensi dermatitis atopik yang pernah dilaporkan adalah 6,3-9,5% di Malaysia, 22,7% di Singapura dan 6,8-9,5% di Thailand (Chan, 2006). Data kejadian dermatitis atopik di indonesia masih belum diketahui secara pasti. Data unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo didapatkan penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006 sebanyak 116 orang (8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009). Kejadian dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar pada tahun 2012 didapatkan sekitar 10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013). 7

Upload: others

Post on 14-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi dermatitis atopik

Dermatitis atopik merupakan suatu peradangan kulit kronis, berulang,

disertai rasa gatal yang umumnya sering terjadi selama bayi dan anak-anak

(Leung, 2011). Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema

dermatitis, prurigo besnier, atau neurodermatitis (Santosa, 2010).

2.1.2 Epidemiologi

Kejadian dermatitis atopik terus meningkat dan merupakan masalah besar

di masyarakat. Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita

dermatitis atopik. Angka prevalensi dermatitis atopik yang pernah dilaporkan

adalah 6,3-9,5% di Malaysia, 22,7% di Singapura dan 6,8-9,5% di Thailand

(Chan, 2006). Data kejadian dermatitis atopik di indonesia masih belum diketahui

secara pasti. Data unit rawat jalan Penyakit Kulit Anak di RSU Dr. Soetomo

didapatkan penderita dermatitis atopik baru yang berkunjung tahun 2006

sebanyak 116 orang (8,14%), pada tahun 2007 sebanyak 148 orang (11,05%) dan

tahun 2008 sebanyak 230 orang (17,65%) (Zulkaranain, 2009). Kejadian

dermatitis atopik di RSUP Sanglah, Denpasar pada tahun 2012 didapatkan sekitar

10,98% dan meningkat kejadiannya menjadi 45,7% pada bayi yang salah satu atau

kedua orangtuanya memiliki riwayat atopi (Anggreni dkk., 2013).

7

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

8

Pada bayi dengan riwayat atopi, 2 tahun pertama kehidupannya

diperkirakan menderita dermatitis atopik sebesar 50%, menjadi 60% saat berusia

5 tahun dan jarang terjadi setelah usia 45 tahun (Moreno, 2000). Berdasarkan

faktor prediktor perinatal terhadap kejadian dermatitis atopik pada 6 bulan

pertama kehidupan, didapatkan bahwa riwayat keluarga atopi memiliki risiko

lebih besar untuk terjadinya dermatitis atopik, sedangkan ibu dengan riwayat atopi

memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan bapak dengan riwayat atopi.

Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih

banyak pada ibu, sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Moore, 2004).

2.1.3 Etiologi

Etiologi maupun mekanisme yang pasti dermatitis atopik belum semuanya

diketahui, diduga disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan

(multifaktoral). Berbagai faktor bisa menjadi pencetus terjadinya dermatitis

atopik, antara lain :

1. Makanan

Kejadian reaksi alergi terhadap makanan cenderung meningkat pada anak

dengan dermatitis atopik. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijunpai pada bayi,

menurun pada usia anak dan semakin berkurang pada usia dewasa (Wood, 2003).

Pada hampir 40% bayi dan anak usia muda yang menderita dermatitis atopik

sedang ataupun berat dijumpai alergi makanan sebagai faktor pencetus.

Walaupun semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, tetapi

beberapa makanan lebih bersifat alergenik dari pada yang lainnya. Alergen

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

9

makanan yang sering menyebabkan dermatitis atopik pada bayi adalah susu, telur,

kacang-kacangan, makanan laut, kedelai dan gandum (Novak, 2003; Siregar,

2004).

2. Infeksi kulit

Mikroorganisme yang berperan sebagai pencetus dermatitis atopik pada

bayi dan anak adalah Staphylococcus aureus, jamur dan virus. Staphylococcus

dapat ditemukan pada 90% lesi penderita dermatitis atopik dan jumlah koloni bisa

mencapai 107

koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman

Staphylococcus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai

superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya

melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita dermatitis atopik dan disertai

infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman Staphylococcus dan

steroid topikal (Santosa, 2010).

3. Alergen hirup

Alergen hirup dibagi atas alergen hirup dalam rumah dan luar rumah. Di

daerah tropis seperti di Indonesia alergen hirup dalam rumah lebih berpengaruh,

yang sebagian besar adalah Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides

farinae dan tungau debu rumah. Kedua alergen tersebut banyak terdapat di kamar

tidur, termasuk di bantal, kasur, selimut bulu, karpet bulu, mainan anak yang

berbulu dan gorden. Alergen lainnya antara lain adalah Candida albicans, kecoa,

serpihan kulit binatang peliharaan kucing, anjing, kelinci dan burung (Eigenmann,

1997; Siregar, 2004). Perlu juga diperhatikan bahwa dermatitis atopik juga bisa

diakibatkan oleh alergen hirup lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

10

atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim (Santosa, 2010). Kejadian

dermatitis atopik pada bayi dan anak < 1 tahun yang tersensitisasi alergen hirup

dan telur dilaporkan akan meningkatkan risiko sampai 10 kali lipat untuk

mendapatkan alregi saluran napas di kemudian hari (Siregar, 2004).

2.1.4 Faktor risiko

Dermatitis atopik merupakan suatu sindrom multifaktorial dimana

berbagai faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati

berbagai faktor risiko, yaitu :

1. Genetik

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen

spesifik yang terlibat dalam atopi dan dermatitis atopik. Terdapat dua kromosom

yang berkaitan erat dengan dermatitis atopik yaitu kromosom 1q21 dan kromosom

17q25, meski paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom yang

sama walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut

tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya (Leung dkk, 2004; Soebaryo, 2009).

Pada suatu penelitian diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit

atopi diturunkan secara autosomal dominan dimana 75% anak akan mengalami

alergi bila kedua orangtuanya mempunyai riwayat alergi, sedangkan 50% anak

akan mengalami alergi bila 1 orangtuanya mempunyai riwayat alergi. Meskipun

demikian, faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas perkembangan

penyakit (Soebaryo, 2004).

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

11

2. Cara persalinan

Bayi yang lahir melalui seksio sesaria, tidak akan mengalami kontak

dengan vagina dan perineum ibunya dimana pada persalinan per vagina, kedua

daerah tersebut merupakan sumber utama bakteri-bakteri yang kemudian masuk

dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan bayi. Hasil serangkaian

penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang masuk dan membentuk koloni di

dalam saluran pencernaan bayi dapat berupa bakteri komensal, bakteri oportunis

(bakteri yang dalam jumlah cukup tidak berbahaya namun jika jumlahnya

meningkat akan menimbulkan penyakit), dan bakteri patogen. Bakteri komensal

seperti Lactobacilli dan Bifidobacterium berperan penting stimulasi daya tahan

tubuh, membantu pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi.

Sedangkan keberadaan bakteri patogen seperti Staphylaococcus merupakan

mekanisme yang dibutuhkan bayi untuk mengenali “serangan” dan menstimulasi

kekebalan tubuh agar bisa memberi respons yang tepat (Morelli, 2008). Pada bayi

yang dilahirkan secara seksio cesaria mengalami pajanan antigen mikroba yang

kurang dibandingkan bayi yang lahir per vaginam sehingga respon imun Th1

tidak dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi Th2 pada neonatus. Jika hal

ini terus berlangsung maka akan menyebabkan penyakit alergi (Gondokaryono,

2009).

3. Laktasi

Bayi yang mendapat ASI mempunyai perbedaan dengan yang tidak

mendapatkan ASI terhadap kejadian dermatitis atopik. Makin panjang waktu

mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

12

(Soebaryo, 2004). Hal tersebut perlu dicermati karena dalam ASI terdapat bakteri

komensal yang berfungsi untuk menstimulasi daya tahan tubuh, membantu

pematangan imunitas, serta melindungi tubuh dari infeksi. Lactobacillus dan

beberapa tipe Bifidobacterium adalah contoh bakteri komensal yang ditemukan

pada ASI (Lara, 2007).

Sebuah penelitian menyimpulkan adanya perbedaan pada jumlah bakteri

probiotik jenis Bifidobacteria antara bayi yang diberi ASI dan bayi yang diberi

susu formula. Pada bayi yang diberi ASI, jumlah Bifidobacteria mendominasi

hingga 70% dari total mikroflora saluran cerna saat bayi berusia 20 hari,

sementara bayi yang diberi asupan susu formula hanya punya porsi Bifidobacteria

sebanyak 30%. Jadi, saluran cerna bayi yang diberi ASI akan di dominasi oleh

bakteri komensal (Harmsen dkk., 2000). Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada

kelompok ASI eksklusif disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus

untuk Bifodobacteria (bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung

kappa casein yang terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses

proteolisis dari komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah

faktor pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik

lainnya yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono oligosakarida, fruktosa

dan karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang

lebih spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus

bayi yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta

konsentrasi laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab

terhadap penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

13

pertumbuhan Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari

lumen usus dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Arimbawa dkk., 2007).

Sebagian peneliti lain masih berpendapat bahwa keberadaan bakteri di

dalam ASI merupakan kontaminasi dari lingkungan sekitar saat ASI berpindah

dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Terakhir, sebuah penelitian menyimpulkan adanya

bakteri alami pada ASI yang berpindah dari usus ibu ke payudara. Proses

translokasi bakteri dari saluran cerna ke kelenjar limpa atau ke payudara itu

merupakan proses fisiologis unik yang terjadi pada akhir kehamilan dan saat

menyusui (Perez dkk., 2007).

4. Pengenalan makanan padat terlalu dini

Pengenalan makanan padat yang terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan

meningkatkan kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya

terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan

gandum (Ferguson, 1990; Soebaryo, 2004).

5. Jumlah anggota keluarga

Kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah

anggota keluarga. Hal tersebut juga dapat diterangkan dengan teori higiene yaitu

terjadinya infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota

kelurga yang lebih tua (Soerbaryo, 2004).

6. Sosioekonomi

Pada status sosial yang tinggi akan didapatkan prevalensi dermatitis atopik

yang lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal

tersebut dapat diterangkan semakin tinggi status sosialnya, pajanan terhadap

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

14

antigen mikroba akan berkurang sehingga stimulasi sistem imun juga akan

berkurang (Flohr, 2005; Gondokaryono, 2009).

7. Polusi lingkungan

Pada daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian

pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban

udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada

kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang

tidak dibilas dengan sempurna (Soebaryo, 2004).

2.1.5 Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan dalam patogenesis dermatitis atopik.

Luasnya spektrum tampilan klinis dermatitis atopik tidak dapat diterangkan hanya

dengan abnormalitas imunologik saja, perlu juga peran faktor lainnya, misalnya

disfungsi sawar kulit. Terdapat kaitan antara dua faktor tersebut dalam manifestasi

dermatitis atopik (Soebaryo, 2004).

1. Disfungsi sawar kulit

Pada penderita dermatitis atopik terjadi defek permeabilitas sawar kulit

dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Derajat defek

tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit (akut, subakut, kronik) dan derajat

inflamasi di kulit. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan

terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah.

Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas

sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

15

proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit.

Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian

yang penting pada patogenesis dermatitis atopik (Leung dkk., 2004; Soebaryo,

2004; Baratawidjaja, 2009).

2. Imunopatologi

Faktor imunologik merupakan salah satu faktor yang berperan pada

dermatitis atopik. Di dalam kompartemen dermo-epidermal kulit dapat

berlangsung respon imun yang melibatkan sel langerhans (SL) epidermis,

limfosit, eosinofil dan sel mast. Bila suatu antigen (bisa berupa alergen hirup,

alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen) terpajan ke kulit individu

dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh antibodi

IgE yang ada pada permukaan sel mast atau Ig E yang ada di membran SL

epidermis (Baratawidjaja, 2009).

Sel langerhans epidermis dan sel dendritik dermis sebagai antigen

presenting cell (APC) pada dermatitis atopik dapat mengaktifkan sel T alergen

spesifik melalui antibodi Ig E alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcεRI,

FcεRII dan IgE-binding protein. Antigen yang ditangkap IgE pada SL bermigrasi

melalui dermis ke saluran limfe dan kelenjar getah bening regional (regio

parakortikal). Antigen tersebut diproses bekerjasama dengan major

histocompatibility complex (MHC) II akan dipresentasikan untuk mengaktifkan

sel Tnaive yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap sel T di kulit

dan akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang menentukan

perkembangan sel T ke arah Th1 atau Th2. Peningkatan jumlah limfosit T terlihat

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

16

pada semua individu atopik bila dibandingkan dengan individu non atopik.

Dengan adanya glikoprotein permukaan, sel T akan terekspresi secara berbeda

pada proses pematangan dan menentukan fenotip sel T. Terdapat dua fenotip yaitu

sel T helper/regulatory CD4+ dan sel T cytotoxic/ supressor CD8

+. Infiltrat

mononuklear pada lesi dermatitis atopik terutama terdiri atas sel T CD4+ dan

sedikit sel T CD8+ (Moreno, 2000; Leung, 2004)

Pada saat pajanan alergen, lingkungan sitokin berperan penting pada

perubahan Sel T helper menjadi sel Th1 atau Th2. Sel Th 1 dipicu oleh interleukin

(IL)-12 yang diproduksi oleh makrofage dan sel dendritik. Perkembangan sel T

menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG) E. Sel Th1 akan

mengeluarkan sitokin interferon (IFN)-γ, Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-2 dan

IL-17, sedangkan sel Th2 memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13.

Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level Ig E dan eosinofil

serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi

kulit (Moreno, 2000; Endaryanto dkk, 2007).

Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di

jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada usia lesi

kulit. Pada kulit non lesi atau lesi akut dermatitis atopik, sel T mengekspresikan

peningkatan jumlah IL-4, IL-5, dan IL-13, namun sedikit INF-γ. Interleukin-4

menghambat produksi INF-γ dan menekan diferensiasi ke arah sel Th1 sehingga

lingkungan tersebut cenderung memicu perkembangan ke arah sel Th2 (Moreno,

2000; Soebaryo, 2009). Pada dermatitis atopik akut ini akan mengeluarkan sitokin

Th2 yang akan menginduksi respon lokal Ig E untuk menarik sel-sel inflamasi

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

17

(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan

pengeluaran dari molekul adhesi. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin.

Pada dermatitis atopik yang kronis akan terjadi peningkatan kadar INF-γ, IL-12,

IL-5, dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GM-CSF). Interferon-γ

yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar IL-5

dan IL-13 masih tetap tinggi. Interferon- dan IL-12 akan memicu terjadinya

infiltrasi dari limfosit dan makrofag. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia

epidermis. Interferon-γ dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk

berproliferasi menghasilkan pertumbuhan keratinosit epidermis (Beiber, 2008).

Kelainan imunologi yang utama pada dermatitis atopik berupa

pembentukan Ig E yang berlebihan. Antigen yang terikat dengan Ig E yang

terdapat pada permukaan sel mast akan menyebabkan pelepasan beberapa

mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan

kulit. Pelepasan mediator tersebut terjadi 15-60 menit setelah pajanan dan sering

disebut reaksi fase cepat (early phase reaction). Tiga sampai empat jam setelah

reaksi fase awal akan terjadi reaksi fase lambat (late phase reaction). Reaksi ini

terjadi ekspresi adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti

tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang. Mekanisme ini terjadi

karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13,

GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk

IgE dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak

terjadi peningkatan Th1 (Gambar 2.1) (Soebaryo, 2009).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

18

Gambar 2.1 Patogenesis dermatitis atopik (Spergel and Schneider, 1999)

2.1.6 Manifestasi klinis

Manifetasi klinis dermatitis atopik berbeda pada setiap tahapan atau fase

kehidupan, mulai saat bayi sampai saat dewasa. Pada setiap anak didapatkan

derajat keparahan yang bervariasi, tetapi secara umum mereka mengalami pola

distribusi lesi yang serupa. Umumnya gejala dermatitis atopik timbul sebelum

bayi berusia 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik

dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan

meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan

makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan

dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit

dermatitis atopik sukar diramalkan. Dermatitis atopik dapat dibagi dalam tiga fase

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

19

berdasarkan usia penderita dan gambaran klinisnya, yaitu (Hurwitz, 1983; Jacoeb,

2004; Baratawidjaja, 2009; Santosa, 2010) :

1. Fase bayi (infantile type)

Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan

yaitu pada bulan kedua, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, dan simetris.

Pada bayi yang belum dapat merangkak, lesi biasanya ditemukan pada wajah

(dahi-pipi), kulit kepala dan permukaan ekstensor ekstremitas. Umumnya diawali

oleh plak eritema, papul, vesikel yang sangat gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi

dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai. Rasa gatal yang timbul sangat

mengganggu sehingga anak menjadi gelisah, susah tidur, dan sering menangis.

Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut. Karena garukan

terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Pada

sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Tipe ini

cenderung kronis dan residif. Sebagian besar penderita sembuh setelah dua tahun

dan sebagian lagi berlanjut ke fase anak (Gambar 2.2).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

20

Gambar 2.2 Plak eritematosa difus dan kering pada pipi, fossa poplitea

dan pada betis tampak plak eritematosa difus dan eksudatif

(Daili, 2005)

2. Fase anak (childhood type)

Dapat merupakan lanjutan bentuk dermatitis atopik infantil ataupun timbul

sendiri (de novo). Timbul pada masa kanak-kanak (2–12 tahun). Predileksi

mendominasi daerah antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang leher.

Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi

memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau baru timbul

pertama kali. Sering ditemukan lipatan Denni Morgan yaitu lipatan kulit dibawah

kelopak mata. Dermatitis atopik berat yang lebih dari 50% permukaan tubuh dapat

mengganggu pertumbuhan (Gambar 2.3).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

21

Gambar 2.3 Plakat eritematosa, erosi, ekskoriasi dan krusta pada fossa

cubiti yang meluas ke badan (Daili, 2005)

2. Fase dewasa (adult type)

Bentuk lesi ini biasanya timbul pada usia lebih dari 12 tahun dan hampir

serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak. Gejala utama adalah pruritus,

kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara

klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang,

dahi serta daerah sekitar mata. Manifetasi lain berupa kulit kering dan sukar

berkeringat, gatal terutama jika berkeringat. Dermatitis atopik remaja cenderung

berlangsung lama kemudian menurun dan membaik setelah usia 30 tahun, jarang

sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua (Gambar

2.4).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

22

Gambar 2.4 Tampak hiperkeratosis dan likenifikasi (Daili, 2005)

Tanda yang dipakai untuk menentukan seseorang dalam keadaan atopi

adalah yang disebut “stigmata atopi”. Bila stigmata tersebut terdapat dalam kulit

disebut sebagai atopic diathesis kulit. Stigmata ini secara signifikan lebih sering

ditemukan pada pasien dermatitis atopik dibandingkan dengan individu sehat dan

dapat digunakan sebagai petunjuk untuk penegakan diagnosis dermatitis atopik.

Kelainan yang biasa ditemukan pada dermatitis atopik, yaitu (Hurwitz, 1983;

Jacoeb, 2009; Santosa 2010):

1. ‘White dermatographism’ merupakan goresan pada kulit penderita dermatitis

atopik akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan

vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15

menit berikutnya. Walaupun peristiwa ini tidak patognomonik untuk dermatitis

atopik, tetapi kadang-kadang dapat digunakan sebagai diagnosis dermatitis

atopik.

2. Reaksi vaskular paradoksal merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu

pada penderita dermatitis atopik. Apabila ekstremitas penderita dermatitis

atopik mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

23

perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal. Hal ini diduga

karena adanya pelebaran dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang

mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat di jaringan sekelilingnya.

3. Lipatan telapak tangan/palmar hiperlinearlity of palms or soles yaitu

terdapatnya pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal

tersebut bukan merupakan tanda khas untuk dermatitis atopik.

4. Garis Morgan atau Dennie merupakan kelainan berupa cekungan yang

menyolok dan simetris, namun dapat ditemukan satu atau dua cekungan di

bawah kelopak mata bagian bawah. Kelainan tersebut dapat ditemukan pada

50%-60% pasien dermatitis atopik dengan berbagai variasi etnis. Keadaan ini

muncul pada saat lahir, atau segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup,

nampak seperti edema dari kelopak mata bagian bawah.

5. Sindrom ‘buffed-nail’ merupakan kuku yang terlihat mengkilat karena selalu

menggaruk akibat rasa sangal gatal.

6. ‘Allergic shiner’, sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena

gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat

perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin.

7. Hiperpigmentasi, biasanya terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan

terus menerus.

8. Kulit kering. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, bersisik,

pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis

pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

24

pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim

panas.

9. ‘Delayed blanch’. Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan

keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema

ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau

peningkatan permeabilitas kapiler.

10. Keringat berlebihan. Penderita dermatitis atopik cenderung berkeringat

banyak sehingga pruritus bertambah.

11. Gatal dan garukan berlebihan. Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin)

pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada

penderita dermatitis atopik gatal dapat bertahan selama 45 menit.

2.1.7 Diagnosis

Dermatitis atopik di diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka

yang menggunakan kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis dermatitis

atopik. Kriteria mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus dermatitis atopik,

sedangkan kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol.

Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik dermatitis atopik harus

terdapat tiga atau lebih kriteria mayor (Moreno, 2000; Baratawidjaja, 2009;

Leung, 2011) :

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

25

1. Pruritus

2. Morfologi dan regio yang khas, likenifikasi fleksural pada orang dewasa,

lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak.

3. Perlangsungan kronik dan residif.

4. Riwayat atopi (asma, rhinitis alergi atau dermatitis atopik) pada diri

sendiri atau keluarga.

Kriteria minor terdapat tiga atau lebih :

1. Xerosis, iktiosis atau hyperkeratosis palmaris atau keratosis pilaris.

2. Reaktifitas kulit tipe cepat.

3. Peningkatan Ig E serum.

4. Dermatitis di daerah palmo-plantar.

5. Kheilitis.

6. Dermatitis di daerah kepala.

7. Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simpleks.

8. Papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi hiperpigmentasi.

9. Pitiriasis Alba.

10. Dermatitis di puting susu.

11. White Dermographism.

12. Katarak dan keratokonus.

13. Garis Dennie Morgan.

14. Kemerahan atau kepucatan di wajah.

15. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

26

2.1.8 Diagnosis banding

Rasa gatal merupakan gejala utama dari penyakit dermatitis atopik.

Distribusi dan bentuk lesi dari dermatitis atopik berbeda menurut usia dan

biasanya bersifat kronis residif. Walaupun banyak kondisi kulit dapat menyerupai

dermatitis atopik, karakteristik tertentu dapat membantu untuk menegakkan

diagnosis banding, antara lain :

1. Dermatitis kontak

Tempat erupsi pada dermatitis ini tegantung dari bahan penyebabnya,

biasanya terlihat pada pipi dan dagu (berhubungan dengan sekresi ludah dan

gesekan pada daerah yang terkena), sisi ekstensor eksteremitas (akibat pemakaian

sabun yang keras, deterjen dan sprei yang kasar), dan diaper area (akibat pajanan

terhadap tinja, air seni, sabu, deterjen dan preparat bedak kasar). Erupsi ini

biasanya akan mengalami involusi secara spontan bila penyebabnya dihilangkan

(Baratawidjaja, 2006; Zulkarnain, 2009).

2. Dermatitis numularis

Lesi penyakit ini berbentuk koin dengan ukuran 1 cm atau lebih, timbul

pada kulit yang kering. Lesi numular berupa papul kecil dan vesikel yang meluas,

diskret, bulat atau oval, eritematosa, kadang-kadang linkenifikasi dan plak

hiperpigmentasi dengan ukuran bervariasi dari 1 cm atau lebih disertai dengan

rasa gatal. Kelainan ini terjadi pada permukaan ekstensor tangan, lengan dan kaki,

wajah dan badan (Baratawidjaja, 2006; Zulkarnain, 2009).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

27

3. Sindrom Wiskott-Aldrich

Merupakan penyakit x-linked yang jarang ditemukan dan hanya ditemukan

pada anak laki-laki muda. Awitan sindrom ini adala sejak usia 4 bulan. Lesinya

dapat berupa petikie, dermatitis purpurik atau episode berdarah yang biasanya

pada 6-12 bulan pertama kehidupan, dan erupsi eksematoid yang menyerupai

dermatitis atopik dan timbul pada kulit kepala, wajah, bokong, antekubital dan

fosa poplitea. Juga disertai dengan splenomegali, hepatomegali dan servikal

adenopati serta bayi menjadi peka terhadap infeksi bakteri, jamur dan virus serta

paling sering ditemukan otitis media (Hurwitz, 1983; Zulkarnain, 2009).

4. Skabies

Pada bayi gejala klinis dermatitis atopik terutama mulai dari pipi dan tidak

mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan

papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak

tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau

dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi

respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida

(Zulkarnain, 2009; Santosa, 2010).

5. Dermatitis seboroik infantil

Penyakit ini dibedakan dari dermatitis atopik dengan: (1) pruritus ringan,

(2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah

terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis

seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

28

penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi dermatitis atopik

saat berusia 5-13 tahun (Santosa, 2010).

6. Psoriasis

Secara keseluruhan lesi psoriasis berwarna kemerahan dan skuamanya

berwarna seperti perak micaceous (seperti mika). Predileksinya biasanya pada

permukaan ekstensor, terutama siku dan lutut, kulit kepala dan daerah genital.

Suatu tanda penting untuk diagnosis psoriasis adalah adanya kerusakan kuku

(Zulkarnain, 2009).

2.1.9 Komplikasi

Pada anak penderita dermatitis atopik, 75% akan disertai penyakit alergi

lain di kemudian hari. Penderita dermatitis atopik mempunyai kecenderungan

untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,

vaksinia, molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan

oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema

vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada

pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi herpes

simplek terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel

pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi

penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita dermatitis atopik, mempunyai

kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus (Moreno,

2000; Santosa, 2010).

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

29

2.1.10 Pengobatan

Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat

dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya

usia. Langkah yang penting adalah menjalin hubungan baik dengan orang tua

penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara rinci, termasuk

perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinsip penatalaksanaan

(Santosa, 2010).

2.1.10.1 Penatalaksanaan umum

Berbagai faktor dapat menjadi pencetus dermatitis atopik dan tidak sama

untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai

faktor tersebut, antara lain (Moreno, 2000):

1. Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen,

pemutih, dan lain-lain).

2. Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi.

3. Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat.

4. Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan

dermatitis atopik.

5. Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti

menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu.

6. Menghindarkan stres emosi.

7. Mengobati rasa gatal.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

30

2.1.10.2 Pengobatan

2.1.10.2.1 Pengobatan topikal

2.1.10.2.1.1 Hidrasi kulit

Hidrasi adalah terapi dermatitis atopik yang esensial. Dasar hidrasi yang

adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi selama

15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas, sabun dengan

moisturizers dan tidak menambahkan minyak karena mempengaruhi penetrasi air

serta menerapkan sawar hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Dengan

melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak

menggaruk dan lebih inpermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan.

Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%,

pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%.

Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi (Sugito, 2004; Santosa

2010; Leung 2011).

2.1.10.2.1.2 Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal mempunyai efek anti inflamasi, antipruritus, dan

efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid

topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan

penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari. Walaupun steroid topikal sering diberi

pada pengobatan dermatitis atopik, tetapi harus berhati-hati karena efek

sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi,

daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat

diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol,

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

31

kortikosteroid diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu bila perlu

dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi (Moreno, 2000; Sugito 2004;

Leung, 2011).

2.1.10.2.1.3 Imunomodulator topikal

Imunomodulator topikal yang dipakai dalam pengobatan dermatitis atopik

adalah takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus bekerja sebagai penghambat

calcineurin, sediaan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2–15 tahun dan

dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek

samping kecuali rasa terbakar setempat (Moreno, 2000; Sugito, 2004).

Pimekrolimus merupakan senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator

golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus.

Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai

pada kulit sensitif 2 kali sehari (Sugito, 2004).

2.1.10.2.1.4 Preparat ter

Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam

bentuk salep hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5%-10%

atau crude coaltar 1%-5% (Leung, 2011).

2.1.10.2.1.5 Antihistamin

Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada dermatitis atopik karena

berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5%

dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi

pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif (Sugito, 2004;

Leung, 2011).

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

32

2.1.10.2.2 Pengobatan sistemik

2.1.10.2.2.1 Kortikosteroid

Hanya dipakai untuk mengendalikan dermatitis atopik eksaserbasi akut.

Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis

diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek

samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen.

Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan

diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam

waktu 4 hari (Moreno, 2000; Leung, 2011).

2.1.10.2.2.2 Antihistamin

Pemberian antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti

histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik,

aktifitas penderita dll. Antihistamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak

diberikan pada penderita dengan aktifitas di siang hari (seperti supir) . Pada kasus

sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral dan diberikan 2 kali sehari

yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histamin H1 dan H2

(Baratawidjaja, 2006; Leung 2011).

2.1.10.2.2.3 Antibiotika

Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi dermatitis

atopik yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah

eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai

bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. Staphylococcus

aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

33

diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan

sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi

pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin,

teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten

adalah klindamisin. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap

Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin,

14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin. Bila

ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 kali 400 mg selama 10 hari atau 4 kali

200 mg untuk 10 hari (Baratawidjaja, 2006; Sugito, 2009) .

2.1.10.2.2.4 Interferon

Interferon γ bekerja menekan respons Ig E dan menurunkan fungsi dan

proliferasi sel Th1. Pengobatan IFN-γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis

karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi (Moreno 2000;

Leung 2011).

2.1.10.2.2.5 Siklosporin

Adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat

dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin

sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu

singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek

sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan

fungsi ginjal dan hipertensi (Sugito, 2009; Leung, 2011).

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

34

2.1.10.2.2.6 Terapi sinar (phototherapy)

Dipakai untuk dermatitis atopik yang berat. Terapi menggunakan ultra

violet β atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih

baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada sel langerhans dan

eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara

memblokade fungsi sel langerhans dan mengubah produksi sitokin keratinosit

(Sugito, 2009; Leung, 2011).

2.1.10.2.2.7 Probiotik

Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus GG perinatal akan

menurunkan risiko dermatitis atopik pada anak di usia 2 tahun pertama. Hasil

pengobatan ini bisa dilihat dari uji tusuk kulit dan kadar IgE dalam darah (Leung,

2011).

2.1.10.2.2.8 Chinese herbal medications

Chinese herbal medications mengurangi penyakit dan pruritus secara

signifikan tetapi hanya bersifat temporer (Moreno, 2000; Leung, 2011).

2.1.11 Prognosis

Prognosis dermatitis atopik sangat sulit diramalkan karena adanya peran

multifaktorial. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik, adalah :

1. Dermatitis atopik yang luas pada anak.

2. Menderita rinitis alergika dan asma bronkiale.

3. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudaranya.

4. Awitan (onset) dermatitis atopik pada usia muda.

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

35

5. Anak tunggal.

6. Kadar Ig E serum sangat tinggi.

Diperkirakan 30-35% penderita dermatitis atopik infantil akan

berkembang menjadi asma bronkiale atau hay fever. Penderita dermatitis atopik

mempunyai risiko tinggi untuk mendapat dermatitis kontak iritan akibat kerja di

tangan (Moreno, 2000; Leung, 2011).

2.2 Probiotik

2.2.1 Definisi probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup atau bakteri

campuran yang memilki efek menguntungkan pada saluran cerna dan saluran

napas host melalui kemampuannya memperbaiki keseimbangan mikroflora usus.

Lebih dari itu, peneliti lain mendefinisikan probiotik lebih luas lagi, yaitu bahwa

probiotik adalah mikroorganisme yang bekerja mempertahankan kesehatan host

(Subijanto dkk., 2005). Bakteri dalam usus manusia dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok bakteri yang berguna (useful) dan dan kelompok

bakteri yang berbahaya (harmful). Tidak semua mikroorganisme dapat menjadi

probiotik. Kriteria yang perlu dipenuhi agar dapat disebut probiotik adalah

sebagai berikut (Subijanto dkk., 2005; Arimbawa, 2007) :

1. Resisten terhadap asam dan empedu

2. Dapat berikatan dan bermultiplikasi di saluran cerna dan saluran urogenital

3. Dapat tetap aktif bermetabolisme sewaktu mencapai saluran cerna

4. Dapat membunuh bakteri patogen

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

36

5. Dapat menyeimbangkan pH kolon

6. Aman, tak invasif, non karsinogenik, dan non patogenik

Probiotik dikategorikan berdasarkan genus, spesies, dan beberapa

berdasarkan strain masing-masing. Bakteri probiotik yang banyak dikenal adalah

Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streptococcus. Bakteri ini biasanya bersifat

fermentatif, obligat, dan fakultatif anaerob. Bakteri ini tidak bisa bergerak aktif

(nonmotil) dan masuk dalam kategori Bakteri Asam Laktat (BAL) (Thomas dkk.,

2010). Ini berarti bahwa bakteri tersebut mempunyai kemampuan mengubah gula

menjadi asam laktat sehingga lingkungan di saluran cerna menjadi asam. Dalam

suasana asam, bakteri probiotik dapat hidup dengan subur sedangkan bakteri

patogen tidak dapat hidup (Gondokaryono, 2009). Secara biologis bakteri

probiotik berbeda dari bakteri gram negatif. Bakteri gram negatif biasanya

bergerak aktif (motil) dan tidak bisa memproduksi asam laktat seperti Klebsiella,

Pseudomonas, Serratia, dan Proteus, yang mungkin juga merupakan mikroflora

yang menonjol pada sistem pencernaan manusia. Bakteri ini berpotensi bahaya

jika mengalami translokasi di epitel usus dan dapat mengakibatkan penyakit pada

host (Thomas, 2010). Terdapat lebih dari sepuluh jenis spesies Lactobacillus dan

enam jenis spesies Bifidobacterium dan Streptococcus thermophilus yang paling

sering dipakai sebagai bahan makanan. Sedangkan dari kelompok jamur yang

sering dipakai sebagai probiotik adalah Saccharomyces boulardii (Subijanto,

2005; Thomas 2010).

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

37

2.2.2 Peran probiotik terhadap alergi

Peran probiotik terhadap kesehatan mulai banyak diteliti. Sejumlah

mekanisme kegunaan probiotik bagi kesehatan telah banyak pula diajukan antara

lain memperbaiki sawar epitel melalui peningkatan produksi musin mukosa usus

sehingga epitel hospes lebih tahan terhadap organisme patogen. Probiotik

menghasilkan ion hidrogen yang akan menurunkan pH usus dengan memproduksi

asam laktat sehingga menciptakan suasana yang tidak menguntungkan untuk

pertumbuhan bakteri patogen (Gondokaryono, 2009).

Bukti-bukti klinis adanya peran probiotik dalam menurunkan reaksi alergi

mulai banyak diajukan oleh beberapa peneliti walaupun mekanisme kerja

probiotik tersebut belum banyak diketahui. Sejauh ini beberapa penelitian

biomolekuler mengenai probiotik yang berusaha mengetahui mekanisme kerja

probiotik menunjukkan bahwa terdapat kemampuan probiotik cukup beragam

dalam memodulasi respon imun, namun sayang karena problem etik, banyak

penelitian yang hanya dapat dilaksanakan pada hewan coba (Endaryanto dkk.,

2007).

Bakteri probiotik seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus telah

dibuktikan dapat mensupresi secara langsung ikatan dan pertumbuhan bakteri

patogen di saluran cerna. Bakteri ini mempunyai efek imunoregulator melalui

pengenalan oleh sel imun tubuh atau adanya signalling dari bakteri ini kepada sel

hospes (Gondokaryono, 2009). Produk mikrobiota usus yang mempunyai sifat

imunomodulator antara lain lipopolisakarida (LPS), peptidoglikan dan

Lipoteichoic Acid (LTA). Lipoteichoic Acid yang dimiliki oleh Bifidobakteria

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

38

mempunyai afinitas pengikatan yang tinggi terhadap membran sel epitel mukosa.

Kemudian LTA dari Bifidibcterium ini dapat bertindak sebagai pembawa antigen

serta mengikatkan ke jaringan target sehingga dapat mengaktivasi makrofag untuk

membangkitkan respon imun (Arimbawa dkk., 2007). Sumber stimulasi antigenik

yang penting setelah lahir dilakukan oleh bakteri yang cepat mengkolonisasi

saluran cerna neonatus. Saat lahir kolon masih dalam keadaan steril dan adanya

kolonisasi bakteri berasal dari lingkungan sekitarnya terutama yang di dapat dari

ibunya. Adanya kolonisasi bakteri ini di kolon, tidak hanya membentuk ”sawar

hidup” untuk melindungi diri dari invasi kuman patogen, tetapi juga berperan

dalam stimulasi respon imun di awal kehidupan. Diduga bahwa komposisi

kolonisasi organisme tersebut sangat menentukan dalam pembentukan

keseimbangan imun respon yang tepat (Furrie, 2005; Gondokaryono, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kallimoki dan Isolauri (2003),

didapatkan mikroflora usus bayi yang alergi dan non alergik berbeda secara

bermakna. Keterlambatan perkembangan komposisi Bifidobacterium dan

Lactobacillus dalam mikroflora usus merupakan penemuan yang umum pada anak

yang alergi. Pada penelitian selanjutnya, pemberian Lactobacillus perinatal

ternyata mengurangi 50% kejadian dermatitis atopik dalam 2 tahun kehidupan.

Strain yang spesifik dari mikrobiota usus yang sehat dibuktikan dapat

menginduksi produksi IL-10 dan TGF-β yang mempunyai peran regulasi yang

penting dalam perkembangan imun respon alergik. Probiotik juga memperkuat

sawar pertahanan usus dan mengurangi antigen load dalam usus (Kallimoki dkk.,

2007). Gambar 2.5 menunjukkan beberapa efek menguntungkan dari probiotik.

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

39

Gambar 2.5 Beberapa efek menguntungkan dari konsumsi probiotik

(Perves dkk., 2006)

2.2.3 Probiotik dan dermatitis atopik

Pemberian probitik dalam pencegahan alergi juga merupakan upaya

perbaikan homoestasis sistem biologis penderita yang ditujukan pada

imunomodulasi respon imun dengan menyeimbangkan respon imun Th1 dan Th2.

Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya memerlukan

pengembalian host pada kondisi “Th1-Th2” yang seimbang (Endaryanto dkk.,

2007). Respon Th1 dan Th2 bersifat counter-regulative, artinya sitokin yang

dihasilkan oleh sel Th1 menghambat fungsi sel Th2 dan sebaliknya. Dasar

imunologis alergi berawal dari over expression sel Th2 yang mensekresikan IL-4,

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

40

IL-5, dan IL-13 sehingga mengakibatkan terjadinya peradangan alergik pada

organ yang terlibat (Kallimoki dkk., 2003).

Beberapa mekanisme kerja antigen mikroba pascanatal mengawali respon

imun Th1 yang telah dianggap dapat menyeimbangkan kecendrungan produksi

sitokin Th2 pada neonatus. Bila pajanan dini mikroba tidak memadai, maka

produksi Th2 akan terus berlangsung sehingga dapat menimbulkan penyakit alergi

(Gondokaryono, 2009).

Beberapa mekanisme kerja probiotik yang diajukan dalam pencegahan

dermatitis atopik adalah sebagai berikut :

1. Mengubah pola respon imun Th2 ke arah respon imun Th1

Probiotik mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi sistem imun innate

(bawaan) yang kuat. Hal ini disebabkan karena probiotik mempunyai molekul

yang spesifik pada dinding selnya. Dalam mikrobiologi, molekul-molekul spesifik

tersebut dikenal sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMPs).

PAMPs nantinya akan dikenali oleh reseptor-reseptor spesifik (specific pattern

recognition receptors, PRRs) yang ada pada membran sel epitel mukosa. Molekul

LTA dan peptidoglycan merupakan salah satu PAMPs yang ada pada probiotik.

Molekul LTA yang secara biologis aktif, merupakan karakteristik dari bakteri

gram positif dan mempunyai dampak biologis (misalnya dalam induksi produksi

sitokin) yang sama dengan LPS. Molekul biologis aktif peptidoglycan dan

teichoic acid ini akan dikenali oleh PRRs dalam hal ini TLR2 dan TLR4. TLRs

adalah PRRs mamalia yang berfungsi sebagai sinyal transducer yang berhubungan

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

41

dengan CD-14 untuk membantu sel host mengenali bakteri patogen serta

melakukan inisiasi kaskade sinyal (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Hubungan antara probiotik dengan TLR dan stimulasi respons

imun (Endaryato, 2007)

Semua TLRs mempunyai struktur yang sama dan mempunyai karakter

menyalurkan sinyal melalui NF-κB, AP-1, dan MAP kinases. Efektor hilir dari

beberapa TLR, misalnya TLR2 dan TLR4, adalah adapter protein MyD88 yang

berinteraksi dengan reseptor transmembran melalui domain C-terminal TIR.

MyD88 merekrut Ser/Thr kinase IRAK (IL-1R associated kinase) untuk

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

42

membentuk kompleks reseptor. IL-1R associated kinase berhubungan dengan

molekul adapter TNF receptor associated factor 6 (TRAF 6). Tumor Necrosis

Factor receptor associated factor 6 selanjutnya mengaktivasi MAP3K family

member NIK (NF-kB-inducing kinase) yang akan mengaktivasi NF-kB inhibitor

kinase (IKKs). Degradasi NF-kB inhibitor I-kB melepaskan NF-kB yang segera

translokasi ke nukleus untuk menginduksi ekspresi gen yang sesuai. Pada tingkat

molekul, sistem imun innate dipusatkan pada aktivasi dari NF-B, yang

mempunyai kemampuan menginduksi transkripsi dari beberapa sitokin

proinflamasi dalam merespon stimulasi oleh mikroba (Endaryanto, 2007; Hart

dkk., 2008) (Gambar 2.7).

Dalam perannya membantu menjembatani sistem imunitas innate ke

sistem adaptif, TLR mampu menginduksi respons imun baik ke arah Th1 maupun

Treg. Toll Like Receptor-2 dan TLR-4 diketahui mempunyai peran penting dalam

polarisasi respons imun oleh paparan mikroba. Jadi konsep probiotik pada

pencegahan alergi didasari pada induksi aktif dari respon imunologik yang

dimulai dari sistem imun innate dan mengarah pada pengembalian host pada

kondisi “Th1-Th2” yang seimbang (Endaryanto, 2007; Hart dkk., 2008).

2. Induksi toleransi

Perkembangan respon sel-T sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain : jenis antigen, rute masuknya antigen, dan jumlah antigen yang

masuk. Terciptanya toleransi terhadap antigen oral juga tergantung pada usia

inang dan waktu terjadinya aktivasi. Setelah paparan antigen, sel-sel kekebalan

tubuh merespon dengan mengeluarkan sejumlah sitokin yang kemudian memicu

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

43

respon imun (Isoulauri dkk., 2001). Toleransi oral merupakan hiporespon

terhadap pemberian soluble protein antigen secara oral. Toleransi imunologis

terhadap antigen makanan dan juga mikroflora komensal dapat bermanifestasi

sebagai mekanisme aktif subpopulasi limfosit. Penelitian menggunakan

transgenic mice menunjukkan bahwa mikroflora normal di usus berperan penting

dalam respon makrofag melalui prostaglandin E2 (diinduksi oleh IL-10 dan TGF-

B) sehingga menyebabkan toleransi oral. Dalam penelitian murine lainnya,

peneliti dari Jepang membuktikan bahwa toleransi oral menjadi sangat lemah bila

stimulasi mikroflora komensal berkurang pada saat bayi (Isolauri, 2001;

Gondokaryono 2009).

Gambar 2.7 Peran TLR 2 dan TLR4 dalam menjembatani sistem

imunitas innate ke sistem imunitas adaptif (Hart dkk., 2008)

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

44

3. Privilege of early colonization

Pemberian probiotik secara dini diperkirakan dapat mencapai efek yang

dapat dipertahankan karena sebagai kolonisasi bakteri pertama di usus

mempunyai kelebihan dan dapat membangun tempat yang permanen. Selanjutnya

telah diajukan bahwa probiotik berperan dalam menormalisasi peningkatan

permeabilitas usus pada bayi yang allergy-prone. Sebagian efek ini juga

diakibatkan karena sinergi antara flora maternal dengan bayi bila probiotik

diberikan selama trisemester terakhir kehamilan (Gondokaryono, 2009).

4. Maturasi sistem imun mukosa usus

Keberhasilan maturasi sistem imun mukosa usus sebagai bagian yang

penting dari sistem imun adaptif memerlukan stimulasi mikroba yang cepat dan

kontinu dari mikroba usus. Pada studi eksperimental, kurangnya stimulasi tersebut

menyebabkan perubahan ensim mukosa, gangguan sawar usus, berkurangnya

respon inflamasi, defek sistem Ig A mukosa, serta berkurangnya toleransi oral.

Rekonstitusi mikroflora usus dengan bifidobacteria selama periode neonatus

(tidak pada usia lebih dewasa), menghasilkan toleransi dan pentingnya waktu

stimulus diberikan. Perubahan perkembangan komposisi mikroflora usus pada

bayi sehat berhubungan dengan terlambatnya maturasi mekanisme pertahanan

sistem imun humoral, terutama Ig A, dalam sirkulasi dan sel yang mensekresi Ig

M (Gondokaryono, 2009).

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

45

2.3 Peran Probiotik dalam Pencegahan Dini Dermatitis Atopik

2.3.1 Perkembangan sistem imunitas fetus

Perkembangan sistem kekebalan pada manusia sudah dimulai saat berada

dalam kandungan (in-utero). Kehamilan baru bisa berlangsung apabila fetus dan

plasenta mampu mengatasi penolakan dari aktivitas Th1 sistem imun ibu dengan

memproduksi sitokin Th2. Konsekuensi dari aktivitas proteksi ini adalah sistem

imun fetus menjadi lebih dominan ke Th2. Jika hal ini tidak terjadi, maka akan

dapat meningkatkan risiko terjadinya aborsi (Furrie, 2005). Selain peningkatan

produksi sitokin Th2 berupa IL-4 dan IL13, juga terjadi produksi sitokin T reg

yaitu IL-10 dan TGF-β. Sitokin Th2 berada di plasenta bersama dengan IgE

maternal dan alergen yang telah mencapai cairan amnion melalui sirkulasi

maternal. Sebagai konsekuensi ditelannya amnion yang mengandung alergen itu

oleh fetus (fetal swallowing) maka terjadilah priming ini sistem imun saluran

cerna fetus yang menghasilkan sensitisasi alergi untuk pertama kalinya (Warner,

2002). Pada fetus usia 12 minggu, produk antibodi asli fetus hanyalah sejumlah

kecil Ig M (10% dari dewasa) serta sedikit Ig A, Ig D, dan Ig E. Mengenai Ig E,

diketahui bahwa sintesis Ig E sudah dapat diinduksi pada fetus melalui alergen

yang dikonsumsi ibunya. Sementara itu APC, sel T, dan sel B saluran cerna

mengalami maturitas pada 16 minggu usia fetus (Endaryato, 2007).

2.3.2 Perkembangan bakteri pada saluran pencernaan

Pada masa kehamilan, saluran pencernaan janin dalam keadaan terlindung,

lingkungan yang steril dan saat lahir merupakan organ yang bebas kuman. Proses

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

46

kolonisasi bakteri baru dimulai pada saat proses persalinan. Bakteri ini biasanya

berasal dari vagina, feses maupun lingkungan sekitarnya yang nantinya

berkembang sendiri sebagai bakteri yang khas dan terkendali dengan baik. Bakteri

aerob seperti Escherichia coli dan Streptococcus muncul pada 24 jam setelah

traktus gastrointestinal berinteraksi dengan lingkungannya. Bakteri ini terus

berkembang dan dalam dua minggu kemudian dalam feses didapatkan sekitar 108-

10 bakteri/gram feses. Bakteri aerob ini menciptakan suasana lingkungan traktus

gastrointestinal ini menjadi kurang baik sehingga memicu pertumbuhan bakteri

anaerob, seperti Bacterioides dan Clostridium. Menjelang hari kedua dalam

kehidupan, bakteri-bakteri Coliform, Lactobacilli, dan Enterococci ditemukan

jumlahnya meningkat dalam flora feses. Pada hari ketiga Bacterioides spp

muncul, bahkan keberadaannya dapat dideteksi lebih awal pada 25% bayi yang

lahir normal serta diberikan susu formula. Pada hari kelima Bifidobacterium

muncul dalam jumlah banyak dan pada akhir minggu pertama jumlahnya

didapatkan kira-kira mencapai 108-10

bakteri/gram feses. Banyak faktor yang

mempengaruhi komposisi flora bakteri di usus, antara lain usia, kerentanan

terhadap infeksi, kebutuhan nutrisi, status imunologik penjamu, pH di usus, waktu

transit, dan interaksi antara komponen usus (Ishibashi dkk., 1997) (Gambar 2.8).

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

47

Gambar 2.8 Perubahan komposisi ekosistem saluran pencernaan sesuai

dengan pertambahan usia (Ishibashi dkk, 1997)

Perkembangan jumlah bakteri dalam saluran pencernaan sangat

berhubungan dengan makanan dan seiring dengan perjalanan usia. Saat bayi

diberi makanan tambahan sampai pada masa anak-anak, populasi bakteri anaerob

Bacterioides eubacteria sangat dominan, sedangkan populasi Bifidobacterium

sedikit menurun saat mencapai usia dewasa. Pada usia lanjut, terjadi peningkatan

populasi Clostridium perfringens yaitu bakteri pembusuk, diikuti dengan

penurunan Bifidobacterium (Mitsuoka, 1996).

Pada akhir bulan pertama, ditemukan beberapa perbedaan komposisi

bakteri yang jelas diantara bayi yang dipengaruhi oleh pola pemberian nutrisi.

Ditemukan perbedaan dalam bakteri di dalam feses antara bayi yang diberi ASI

ekslusif dengan yang diberikan susu formula, dengan peningkatan dramatis dalam

populasi Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif, sementara pada kelompok

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

48

susu formula hanya sekitar 30-40% dari keseluruhan bakteri yang ditemukan.

Peningkatan jumlah Bifodobacteria pada kelompok ASI eksklusif

disebabkan karena adanya faktor pertumbuhan khusus untuk Bifodobacteria

(bifidogenic growth factor) di dalam ASI. ASI mengandung kappa casein yang

terglikosilasi dalam jumlah besar di dalam protein ASI. Proses proteolisis dari

komponen terminal C dari kappa casein merepresentasikan sebuah faktor

pertumbuhan yang spesifik untuk Bifodobacteria. Senyawa bifidogenik lainnya

yang juga ditemukan di dalam ASI adalah mono atau oligosakarida, fruktosa dan

karbohidrat lainnya disamping laktosa. Namun, faktor pertumbuhan yang lebih

spesifik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Bifidobacteria pada usus bayi

yang diberi ASI adalah kadar protein dan fosfor yang rendah serta konsentrasi

laktosa yang tinggi dalam ASI. Faktor-faktor ini bertanggungjawab terhadap

penurunan kapasitas buffer ASI ini sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan

Bifidobacteria, yang nantinya, dapat menjaga keasaman relatif dari lumen usus

dengan produksi asam asetat dan asam laktat (Langhendries, 2005).

2.3.3 Pengaruh bakteri terhadap saluran pencernaan dalam proses

imunomodulasi sistem imunitas

Saluran pencernaan terutama mukosa usus memegang peranan penting

dalam proses pengenalan dan eliminasi mikroorganisme serta antigen yang

berpotensi membahayakan tubuh, memodulasi sistem kekebalan tubuh sekaligus

berfungsi dalam proses penyerapan zat gizi. Maturasi dari imunitas mukosa pada

saluran pencernaan merupakan bagian terpenting dari proses imunomodulasi

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

49

sistem kekebalan tubuh adaptif, dimana proses ini membutuhkan stimulasi yang

bersifat konstan. Kurang atau tidak memadainya stimulasi tersebut akan

mengakibatkan gangguan pada maturasi imunitas mukosa saluran pencernaan

dimana akan terjadi penurunan area usus, perubahan pada enzim mukosa saluran

pencernaan, gangguan pada fungsi sawar usus, penurunan respon inflamasi,

gangguan sistem Ig A mukosa, dan penurunan toleransi oral (Langhendries,

2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor in-utero yaitu

keberadaan Ig G maternal, sCD14 (soluble CD14), dan kemampuan fetus

menghasilkan IFN-γ akan menyeimbangkan respons imun fetus dari dominasi

Th2 menjadi Th1-Th2 yang seimbang. Sebagai molekul PAMPs, sCD14 akan

dikenali oleh TLR4 di sel DC yang selanjutnya akan mengaktivasi Limfosit Th1

dan Treg (Endaryanto, 2007). Uji klinik probiotik (Lactobacillus GG) telah

dilakukan pada ibu hamil dan menyusui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pada usia 2 dan 4 tahun, bayi dari ibu yang menerima probiotik lebih sedikit yang

menderita dermatitis alergi dibandingkan dengan yang menerima plasebo, namun

kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan dalam sensitisasi alergi

yang dicerminkan oleh kadar Ig E total dan hasil uji kulit (Kalliomaki, 2001).

Penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada ibu yang

menerima probiotik, efek dini yang utama bukanlah terjadinya supresi Th1 namun

lebih mengarah pada aktivasi Treg dengan efek bukan hanya sebagai regulator

Th1 tetapi juga regulator Th2, dengan hasil tercapainya homeostasis Th1-Th2.

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

50

2.3.4 Pemberian probiotik pada ibu hamil dan menyusui dalam pencegahan

dini dermatitis atopik pada anak

Secara umum, ada tiga tahap pencegahan terjadinya penyakit alergi yaitu

pencegahan primer (sebelum terjadi sensitisasi), pencegahan sekunder (sudah

terjadi sensitisasi tetapi belum terjadi penyakit alergi) serta pencegahan tersier

(sudah terjadi penyakit alergi misalnya dermatitis, tetapi belum terjadi penyakit

alergi lain misalnya asma). Pada dermatitis atopik, pencegahan primer sudah

mulai dilakukan sejak masa fetus. Salah satunya caranya menghindari faktor

risiko penyebab alergi pada ibu hamil. Perkembangan ilmu dan teknologi

memungkinkan perubahan paradigma dari pencegahan alergi yang berupa

penghindaran dari faktor risiko ke arah induksi aktif toleransi imunologik.

Beberapa pendekatan sebagai langkah pencegahan yang saat ini tengah dievaluasi

adalah pemberian produk mikrobial melalui jalur oral maupun intranasal,

pemberian alergen melalui jalur mukosa (misalnya imunoterapi sublingual),

pemberian alergen bersama produk mikrobial dan pemberian alergen bersama anti

Ig E (Endaryanto, 2007).

Sebuah penelitian RCT dari Kalliomaki dkk menggunakan Lactobacillus

GG (ATCC 53103) untuk pencegahan primer dermatitis atopik pada bayi berisiko

tinggi. Dilakukan pada 159 ibu hamil dengan riwayat atopi positif dalam keluarga

di randomisasi mendapatkan plasebo atau dua kapsul 1010

CFU Lactobacillus GG.

Suplementasi diberikan 2-4 minggu sebelum melahirkan dengan enam bulan

sesudah lahir. Setelah diikuti selama dua tahun memperlihatkan 23% group

probiotik mengalami dermatitis atopik dibandingkan 46% group plasebo

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

51

sedangkan pemeriksaan Ig E total, uji tusuk kulit, dan RAST tidak berbeda

bermakna pada kedua group. Setelah 4 tahun, 26% group probiotik mengalami

dermatitis atopik, dibandingkan dengan 46% group plasebo. Data ini

menunjukkan adanya penurunan kejadian dermatitis atopik sebesar 50%. Dari

data eksperimental ini dan pertimbangan teoritis disimpulkan bahwa probiotik

akan bekerja secara maksimum pada sistem imun imatur dan kemungkinan juga

pada usus yang imatur (Kalliomaki, 2001).

Dari studi yang dilakukan di Finlandia, ibu yang mendapatkan probiotik

Lactobacillus rhamnosus (ATCC 53103) selama kehamilan dinilai seberapa besar

pengaruhnya terhadap perbaikan sistem imun dan risiko terjadinya dermatitis

atopik pada bayi. Sejumlah 62 pasang ibu-bayi dilibatkan dalam studi yang

bersifat acak, tersamar ganda dengan pembanding plasebo ini. Selanjutnya kadar

dari perbaikan dari sistem imun yang diwakili melalui kadar dari faktor anti-

inflamasi TGF-ß2 diukur dalam ASI dan persentase bayi yang mengalami

dermatitis atopik dievaluasi. Hasilnya terlihat bahwa ibu yang diberikan probiotik

selama kehamilan memilki kadar TGF-ß2 yang lebih tinggi dan persentase

dermatitis atopik yang lebih rendah pada bayinya. Dimana diketahui TGF-ß2

sebagai kunci imunoregulator dalam meningkatkan produksi Ig A dan induksi

toleransi oral. Selama periode postnatal awal, ketika produksi TGF-ß2 endogen di

usus kurang, pemberian ASI merupakan sumber TGF-ß2 eksogen (Rautava,

2001).

Penelitian Kim dkk (2009) menunjukkan bahwa pemberian probiotik

campuran Bifidobacterium bifidum BGN4, B. lactis AD011, and Lactobacillus

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

52

acidophilus AD031 dapat menurunkan kejadian dermatitis atopik pada bayi.

Penelitian ini dilakukan pada ibu 4-8 minggu sebelum melahirkan dan dilanjutkan

enam bulan sesudah melahirkan dan bayi diberikan ASI eksklusif selama tiga

bulan pertama. Hasilnya dilaporkan bahwa kejadian dermatitis atopik pada satu

tahun pertama kehidupan, group probiotik (28,2%) secara signifikan lebih rendah

daripada group plasebo (40,0%,) dengan P=0,048. Sedangkan serum total Ig E

didapatkan tidak ada perbedaan secara bermakna (Kim dkk., 2009).

Dari penelitian ini menunjukkan bahwa probiotik dapat diberikan secara

aman selama kehamilan dan menyusui, selain itu juga memberikan manfaat dalam

perbaikan sistem imun dan menurunkan risiko terjadinya dermatitis atopik pada

bayi.

2.3.5 Kemananan probiotik pada ibu hamil dan menyusui

Penelitian penggunaan probiotik pada ibu hamil sudah banyak dilakukan,

dan dilaporkan aman diberikan saat hamil dan menyusui. Probiotik sangat jarang

mengalami absorbsi secara sistemik sehingga jarang menyebabkan bakterimia dan

fungimia. Probiotik tidak dapat melalui plasenta sehingga tidak dapat mencapai

sirkulasi janin dan tidak membahayakan janin. Hal ini ditunjukkan dari penelitian

metaanalisis dan sistematik dari 8 RCT yang melibatkan 1.500 ibu hamil.

Penelitian ini dilakukan pada ibu dengan usia kehamilan 32-36 minggu sampai 3-

6 bulan setelah melahirkan dengan membandingkan Lactobacillus saja atau

kombinasi dengan Bifidobacerium dengan plasebo. Dilaporkan tidak adanya

peningkatan insiden malformasi, karena pemberian probiotik biasanya pada

kehamilan trimester III dan hal itu tidak mempengaruhi organogenesis (Dugoua

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis Atopik 2.1.1 Definisi

53

dkk., 2009; Elias dkk., 2010). Dilaporkan juga tidak adanya perbedaan yang

bermakna terhadap kejadian prematuritas dan berat badan lahir rendah pada bayi

yang ibunya diberikan probiotik maupun yang tidak diberikan probiotik selama

kehamilan (Lampiran 1).