bab ii kajian kepustakaan -...

20
8 BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN Sebuah respon emosional yang dialami manusia pada umunya atas sebuah kematian ialah dukacita. Dimana saja diseluruh dunia, manusia tidak terlepas dari adanya realitas hidup yang dinamakan kematian, dan manusia juga tidak dapat memisahkan diri dari kebudayaan yang memiliki aspek budaya yaitu diantaranya adalah adat dan ritual berkabung. Istilah dukacita sendiri telah banyak dipaparkan oleh beberapa ahli yang melakukan penelitian indigenous pada budaya tertentu atau suatu kelompok manusia. Bagian ini merupakan pemaparan deskripsi umum mengenai beberapa konsep yang menjadi acuan dalam penelitian yang dilakukan, diantaranya ialah pengertian dukacita, faktor yang penyebab kedukaan, proses dukacita, ritual niki paleg, serta aspek-aspek ritual niki paleg. A. PENGERTIAN DUKACITA Kematian dipandang sebagai akhir dari keberadaan manusia dalam dunia dan merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang tidak dapat dipecahkan dengan cara apapun serta tidak dapat dihindarkan dan merupakan refleksi dari keterbatasan manusia (Koesworo dalam Yudistiani, 2007). Demikian juga sama halnya seperti yang disampaikan oleh Attig (dalam Leming & Dickinson, 2006) bahwa dukacita adalah kekuatan emosi yang sangat besar yang sering dipicu oleh kematian, terlebih khusus kematian orang yang dicintai. Sebabnya Santrock (2002), dikatakan bahwa tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seorang yang kita cintai dan sayangi seperti orang tua, saudara kandung, dan pasangan hidup. Sementara itu menurut Kamus Besar Indonesia, menjelaskan dukacita (baca: kedukaan) sebagai ‘‘susah hati, sedih hati” dan konsep mengenai kehilangan dan berduka (dukacita) telah secara luas dipublikasikan di berbagai buku-buku teks maupun jurnal sejak 50 tahun yang lalu berangkat dari pemikiran klasik Bowlby tentang perasaan cinta dan kehilangan sampai dengan penjelasan mengenai kepedihan (Bowlby, 1980). Dukacita merupakan sebuah pengalaman universal dalam diri manusia, oleh karenanya perlu

Upload: vuongtuyen

Post on 07-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

8

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Sebuah respon emosional yang dialami manusia pada umunya atas sebuah

kematian ialah dukacita. Dimana saja diseluruh dunia, manusia tidak terlepas dari adanya

realitas hidup yang dinamakan kematian, dan manusia juga tidak dapat memisahkan diri

dari kebudayaan yang memiliki aspek budaya yaitu diantaranya adalah adat dan ritual

berkabung.

Istilah dukacita sendiri telah banyak dipaparkan oleh beberapa ahli yang

melakukan penelitian indigenous pada budaya tertentu atau suatu kelompok manusia.

Bagian ini merupakan pemaparan deskripsi umum mengenai beberapa konsep yang

menjadi acuan dalam penelitian yang dilakukan, diantaranya ialah pengertian dukacita,

faktor yang penyebab kedukaan, proses dukacita, ritual niki paleg, serta aspek-aspek

ritual niki paleg.

A. PENGERTIAN DUKACITA

Kematian dipandang sebagai akhir dari keberadaan manusia dalam dunia dan

merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang tidak dapat dipecahkan

dengan cara apapun serta tidak dapat dihindarkan dan merupakan refleksi dari

keterbatasan manusia (Koesworo dalam Yudistiani, 2007). Demikian juga sama halnya

seperti yang disampaikan oleh Attig (dalam Leming & Dickinson, 2006) bahwa dukacita

adalah kekuatan emosi yang sangat besar yang sering dipicu oleh kematian, terlebih

khusus kematian orang yang dicintai. Sebabnya Santrock (2002), dikatakan bahwa tidak

ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seorang yang kita cintai dan sayangi

seperti orang tua, saudara kandung, dan pasangan hidup.

Sementara itu menurut Kamus Besar Indonesia, menjelaskan dukacita (baca:

kedukaan) sebagai ‘‘susah hati, sedih hati” dan konsep mengenai kehilangan dan berduka

(dukacita) telah secara luas dipublikasikan di berbagai buku-buku teks maupun jurnal

sejak 50 tahun yang lalu berangkat dari pemikiran klasik Bowlby tentang perasaan cinta

dan kehilangan sampai dengan penjelasan mengenai kepedihan (Bowlby, 1980). Dukacita

merupakan sebuah pengalaman universal dalam diri manusia, oleh karenanya perlu

Page 2: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

9

dilakukan pengkajian mengenai struktur pengalaman dukacita yang dialami oleh individu

dan pengkajian tentang kompleksitas emosi dan perilaku mereka yang terkait dengan

pengalaman dukacita agar kita dapat memahami proses dukacita tersebut dan

menyusunnya dalam terminologi yang terukur. Studi ini berupaya untuk menyajikan

konsep dukacita berdasarkan pendekatan psikologis. Dukacita dapat dimaknai dengan

kesedihan yang mendalam disebabkan karena kehilangan seseorang yang dicintainya

(misalnya kematian).

Apabila kita membuka Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, kata “grief

(kedukaan)” mendapat penjelasan yang jauh lebih lengkap, yaitu penderitaan batin yang

sangat dalam suatu peristiwa kehilangan. Dalam Wiryasaputra (2003), ia menyatakan

bahwa kedukaan merupakan reaksi terhadap suatu peristiwa kehilangan. Sementara itu,

Cowles dan Rodgers (2000), dukacita dapat digambarkan sebagai “suatu keadaan yang

dinamis dan selalu berubah-ubah dan tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi,

pikiran maupun perilaku seseorang” (h.103). Hal ini dibuktikan Stroebe dan Gergen

(2005), bahwa umat muslim di Bali yang didorong untuk menekan kesedihan dengan

tawa dan kegembiraan (dalam Papalia & Fieldman).

Pengalaman dukacita terdiri dari berbagai tahap yang dihubungkan dengan situasi

ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah

dialaminya oleh sebabnya dukacita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.

Keadaan yang hampir sama terjadi dalam ritual Rambu Solo’, tradisi yang dimiliki suku

Toraja, yaitu dimana keluarga dilarang meratap sampai tiba waktunya Rambu Solo’

dilaksanakan, dan hal ini dapat mengakibatkan kedukaan yang tidak penuh, karena

keluarga harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan rasa dukanya (Lawole, 2012).

Dalam hal ini berarti pengalaman dukacita bersifat individualistis dan dipengaruhi oleh

banyak faktor dan aspek kehidupan lainnya. Demikian juga seperti yang dikatakan

Papalia dan Fieldman (2007) bahwa meskipun grief adalah pengalaman yang universal,

namun juga dipengaruhi konteks budaya, sehingga apapun bentuk dan proses dari sebuah

perilakunya akan dipengaruhi oleh kebudayaan setempat.

Westberg (1971) dalam Wiryasaputra (2003) menambahkan dalam bukunya

‘Good Grief’ bahwa “kedukaan adalah nafas hidup kita” (h.11-12). Sementara itu secara

Page 3: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

10

klinis “kedukaan itu adalah sebuah reaksi normal terhadap suatu peristiwa kehilangan

atas sesuatu yang berharga” (Tomb, 1981: 77-78). Sekali lagi dapat dikatakan bahwa

dukacita merupakan sebuah upaya untuk mempertahankan diri secara holistik dalam

menghadapi kehilangan sesuatu yang bernilai, berharga atau penting. Tanggapan secara

holistik berarti menyagkut seluruh aspek kehidupan manusia, yaitu keadaan fisik, mental,

spritual, dan sosial. Dari berbagai pengertian di atas, kita dapat menarik kesimpulan

bahwa kedukaan selalu berkaitan secara langsung dengan kehilangan sesuatu atau

seseorang yang dianggap berharga atau bernilai. Kedukaan itu sendiri merupakan reaksi

manusiawi untuk mempertahankan diri ketika sedang menghadapi peristiwa kehilangan.

B. SIFAT UTAMA DUKACITA

1. Dukacita bersifat Unik

Sekali lagi, setiap proses dukacita sesungguhnya merupakan sebuah pengalaman

yang bersifat unik, khas, dan sangat pribadi (Wiryasaputra, 2003). Pengalaman dukacita

yang dialami oleh seseorang kemungkinan besar tidak sama dengan pengalaman orang

lain, walaupun pada hakikatnya kehilangan objek yang sama, dan bahkan terjadi pada

waktu yang bersamaan pula. Tidak ada kedukaan yang sama. Proses dukacita bukan

merupakan sebuah proses garis lurus, melainkan seperti seutas tali yang melingkar-

lingkar (Wiryasaputra, 2003).

Selanjutnya, dukacita dapat terjadi pada orang yang sama mengalami peristiwa

kehilangan yang sama, namun kedalaman dukacitanya yang berbeda. Perbedaan

kedalaman itu mungkin disebabkan oleh waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda. Itulah

sebabnya dukacita dianggap sangat personal, situasional, dan, kontekstual. Waktu,

situasi, dan kondisi yang berbeda dapat membuat penghayatan dan kedalaman kedakatan

juga berbeda.

2. Dukacita bersifat holistik

Selain bersifat unik, khas, personal, situasional, dan kontekstual, dukacita juga

merupakan pengalaman yag bersifat holistik. Dalam pandangan holistik keemapat aspek

utama kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh secara sinergistik. Keempat

aspek tersebut memang dapat dibedakan satu dengan yang lainya, namun tidak dapat

dipisahkan.

Page 4: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

11

Keempat aspek tersebut, yaitu: fisik, mental, spiritual, dan sosial, saling

melengkapi dan mempengaruhi. Wiryasaputra (2003) menjelaskan juga bahwa aspek

fisik (biologis) dapat mempengaruhi kondisi aspek lainnya dan pengaruh tersebut dapat

bersifat positif atau pun negatif.

Aspek fisik berkaitan dengan tubuh kita yang dapat dilihat dan diraba atau

disentuh. Inilah aspek somatis, biologis dan medis hidup manusia. Aspek ini sangat

berhubungan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, kebersihan tubuh, keutuhan

anggota tubuh, lingkungan alam, dan metabolisme tubuh kita. Sementara, aspek mental

juga mengacu pada hubungan manusia dengan ketidaktampakan dirinya. Dengan aspek

mentalnya manusia dapat menghidupkan, memberadakan, dan membedakan dirinya.

Dalam aspek ini manusia menjadi pribadi yang otonom, serta memiliki identitas diri.

Aspek mental dikaitkan dengan pikiran, emosi (perasaan positif dan negatif), motivasi,

harga diri, integritas, dan kreatifitas diri. Sedangkan aspek spritual memungkin menusia

memiliki visi, misi, dan harapan yang jelas dalam hidup. Aspek ini memampukan

manusia tetap memberadakan dirinya sebagai manusia dengan nilai-nilai leluhurnya

(Wiryasaputra, 2003). Dengan adanya aspek ini maka manusia dengan dunia metafisik

dan transenden (Tuhan) yang mengatasi dirinya. Yang terakhir adalah aspek sosial, aspek

yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan manusia lainnya serta

mengacu penuh pada kebersamaan hidup manusia dalam kelompok bermasyarakat.

Dalam hubungan dengan dukacita, lewat keempat aspek inilah manusia dikatakan

manusia sinergik, yaitu manusia mampu bertumbuh melalui pengalaman kehilangan atas

kematian. Maksudnya ialah ia tidak mampu menghindar dari pengalaman dukanya,

melainkan ia harus masuk dan merangkul pengalamannya dengan jiwa yang terbuka.

Adapun gejala-gejala dukacita secara holistik dilihat dari keempat aspek ini

(Wiryasaputra, 2003), yaitu:

a. Aspek Fisik

Secara fisik, biasanya muncul gejala-gejala seperti menangis, mata

menerawang, mati rasa, kesemutan, tubuh gemetaran, kalau berjalan seperti melayang,

tidak tenang, tubuh lemah, tenggorokan terasa kering, dada sesak, kejang-kejang, nafas

pendek, pusing, kadang terasa gatal-gatal, bisulan, perut nyeri atau mulas. diare, ingin

Page 5: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

12

kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan pulas, ngilu dipersendian, nafsu

makan menurun atau bertambah, dan nafsu seks juga menurun.

b. Aspek Mental

Dalam aspek mental biasanya muncul gejala-gejala seperti tidak dapat

menerima kenyataan (menyangkal, menolak), terkejut, sedih, bingung, gelisah, pikiran

kacau tidak teratur, tidak dapat berkonsentrasi, acuh tak acuh, selalu berpikir dan

merindukan yang hilang, mudah tersinggung, benci, marah, kecewa, rasa putus asa, batin

tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak

berarti lagi, merasa sendiri atau kesepian, dan kadang muncul keinginan untuk bunuh

diri.

c. Aspek Spritual

Dalam aspek ini gejala yang namapak adalah gejala seperti rasa berdosa,

mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat berkonsentrasi (misalkan

berdoa, membaca kitab suci, mendengarkan kotbah rohani), tidak berminat mengikuti

kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok keagamaannya, kadang muncul

tawar-menawar dengan Tuhan.

d. Aspek Sosial

Yang terakhir adalah aspek sosial, gejala kedukaannya adalah suka

menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan tentang sesuatu atau

orang yang hilang secara berlebihan, suka mengunjungi makan atau tempat-tempat yang

berhiubungan dengan orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan orang lain,

membenci atau marah pada orang lain juga, bersikap kasar atau berlebihan dalam

berbagai hal. Sering peristiwa kehilangan menimbulkan perselisihan antara anggota

keluarga. Selanjutnya persoalan sosial seperti ketagihan, bergosip, merokok, melacur,

terlibat dalam penggunaan obat terlarang dan minuman keras mungkin saja berakar pada

sebuah peristiwa kedukaan.

C. TAHAP DUKACITA

Grestberg dalam Wiryasaputra (2003) menyebutkan dalam bukunya ‘good grief’

membagi proses dukacita dalam sepuluh tahap, yaitu: kaget (1), mencurahkan perasaan

(2), muncul tanda-tanda fisik (menangis, mati rasa, dll) (3), sedih (4), panik (5), perasaan

Page 6: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

13

bersalah (6), marah (7), diam (8), berpengharapan (9), pasrah menerima kenyataan (10).

Ada juga pandangan lain dari seorang psikolog klinis di Amerika Serikat mengenai

tahapan dukacita yang ia dapatkan dari kliennya adalah terkejut (1), tanpa tujuan (2),

emosi berubah-ubah dengan cepat (3), perasaan bersalah (4), kesepian (5), merasa lega

(6) dan pulih kembali (7). Di samping itu menurut pandangan seorang psikiater sosial,

pandangannya didasarkan observasi dan wawancara dengan ribuan pasien yang

ditanganinya, ia mebuat kesimpulan dalam lima tahap dukacita, yaitu: penolakan (1),

marah (2), tawar-menawar (3), depresi (4), dan penerimaan (5).

Dari seluruh pandangan-pandangan para psikolog dan psikiater yang memandang

dari bidangnya, Wiryasaputra (2003) menyimpulkannya kedalam gejala utama proses

dukacita, yaitu seperti dibawah ini: air mata dan kepedihan hati (1), stress (2), penolakan

(3), marah (4), depresi (5), muram, tertekan batinya (6), putus asa (7), rasa bersalah (8),

serta menerima kenyataan (9).

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DUKACITA

Dukacita dipengaruhi oleh beberapa variabel (Wiryasaputra, 2003), antara lain:

a. Intensitas Hubungan dengan ‘yang hilang’

Intensitas hubungan dengan orang yang hilang mewarnai kedalaman guncangan

emosi. Jika pribadi yang mati tidak memainkan peranan yang urgen, maka respon duka

tidak mendalam. Sebaliknya, jika peran orang yang hilang sangat signifikan, maka respon

kedukaan menjadi lebih mendalam dan kompleks.

b. Struktur Kepribadian Penduka

Struktur kepribadian orang yang kehilangan mewarnai respon kedukaan. Jika penduka

adalah tipe orang tergantung kepada orang yang hilang, atau mengidolakannya, maka

duka yang muncul akan sangat dalam bahkan mampu melumpuhkannya. Individu yang

tergantung pada orang yang hilang sering mengalami ketidakberdayaan. Sebaliknya, jika

orang yang berduka adalah sosok yang mandiri dan kuat, sekalipun yang hilang adalah

oknum yang sangat penting, kedukaan yang mucul tidak merusak kepribadiannya.

Page 7: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

14

Simptom dan proses emosi dukacita juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, cara

pandang, dan struktur nilai. Tidak semua orang yang berduka mengalami depresi. Orang

yang memandang kematian sebagai hal yang wajar, akan mampu mengelola guncangan

akibat realitas kematian. Disisi lain, pribadi yang melihat kematian sebagai maut

cenderung terpuruk dan merasa dunia berakhir ketika ditinggalkan oleh yang dikasihinya.

Individu yang memiliki sejarah kedukaan akut rentan terpuruk menghadapi kematian

orang yang dicintainya.

c. Sosio-Budaya Penduka

Dukacita tidak hanya dipengaruhi oleh struktur kepribadian tetapi juga berakar pada

sistem sosial. Jika lingkungan sosial mengerti seluk-beluk kedukaan dan menyediakan

sarana pendukung kesembuhan pribadi secara internal, maka penduka dapat segera pulih

dengan cara-cara yang lebih manusiawi. Sebaliknya, jika iklim sosial (masyarakat adat

dan masyarakat umum) tidak bersahabat dan memandang dukacita sebagai hal negatif,

maka kedukaan dapat mejadi patologis. Untuk memahami kedukaan seseorang sangat

penting untuk mengerti iklim sosialnya.

d. Nilai Pribadi yang Hilang

Nilai orang yang hilang memberi kontribusi dalam proses kedukaan. Dukacita tidak

langsung disebabkan oleh individu yang hilang, melainkan karena nilai yang diberikan

kepadanya. Sebagai contoh, orang yang memberi nilai tinggi kepada sosok ibu akan

mengalami duka yang dalam jika ditinggal mati oleh ibunya. Semakin berharganya orang

yang hilang, semakin dalam duka ditimbulkannya. Nilai individu berkaitan dengan sistem

budaya dan kekluargaan yang dianut. Volkart (dalam Wirysaputra, 2003) menambahkan

bahwa sistem kekeluargaan dan persaudaraan mempengaruhi reaksi kedukaan. Ketika

seorang amerika meninggal, yang berduka adalah orang tua, saudara kandung, pasangan

dan anak-anaknya, sebab merekalah keluarga inti pribadi yang hilang. Orang dari

kepulauan Trobriand (Trobriand Islanders), yang menekankan garis ibu (bilinial) sangat

berduka jika kehilangan saudara dari garis ibu. Ironisnya, mereka lebih berduka jika

kehilangan sepupu dari pasangan sendiri.

Page 8: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

15

e. Tingkat hubungan emosional

Tingkat hubungan antara orang yang kehilangan dengan sesuatu atau seseorang

yang hilang merupakan faktor yang cukup memengaruhi dukacita sesorang. Makin tinggi

nilai yang diberikan pada sesuatu atau seseorang maka dalam pula hubungan yang

diciptakan. Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan emosional,

oleh sebabnya semakin dalam hubungan emosional sesorang dengan objek yang hilang

maka semakin kompleks dan berkepanjangan dukacita itu datang. Sebaliknya, semakin

dangkal atau renggang hubungan emosional seseorang dengan sesuatu atau seseorang

yang hilang, maka semakin ringan dan sederhana kedukaannya.

f. Kebudayaan dan adat istiadat

Faktor terakhir yang cukup mempengaruhi dukacita ialah kebudayaan dan adat

istiadat. Dalam hal ini termasuk pola pikir dan hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang

berduka dalam relasinya di lingkungannya. Sampai batas-batas tertentu, termasuk pola

penduka menghadapi kedukaanya. Hal ini mempengaruhi cara mereka memproses

dukacitanya.

Pada dasarnya, setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk menolong

masyarakatnya dalam masa duka, namun persoalanya bahwa perangkat dan

kebijaksanaan budaya biasanya hanya terfokus pada kehilangan karena meninggal, dan

belum merambah pada masalah lain seperti kehilangan akan sesuatu (harta, keperawanan,

dan sebagainya).

E. PENGARUH DUKACITA PADA PSIKOLOGIS

Menurut Martono (1997) dalam Darmojo (2004: 40), beberapa masalah

psikologis pada individu dalam menghadapi kematian antara lain:

a. Kesepian, yang dialami oleh individu pada saat meninggalnya pasangan

hidup.

b. Dukacita, dimana pada periode dukacita ini merupakan periode yang sangat

rawan bagi individu. meninggalnya pasangan hidup, temen dekat, atau bahkan

Page 9: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

16

hewan kesayangan bisa meruntuhkan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari

seorang, yang selanjutnya memicu terjadinya gangguan fisik dan kesehatannya.

Adanya perasaan kosong kemudian diikuti dengan ingin menangis dan

kemudian suatu periode depresi.

c. Depresi, pada individu yang mengalami dukacita stress lingkungan sering

menimbulkan depresi dan kemampuan beradaptasi yang semakin menurun.

d. Gangguan cemas, terbagi dalam beberapa golongan yaitu fobia, gangguan

panik, gangguan cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan ganggua

obsesif-kompulsif.

e. Syndrome diagnose, merupakan suatu keadaan dimana indivdiu menunjukkan

penampilan perilaku yang sangat mengganggu dalam menanggapi keadaan

dukanya.

F. KONSEP DAN KOMPLEKSITAS DUKACITA

1. Konsep Dukacita menurut Model Sistem Neuman

Model Sistem Neuman (1982) dapat digunakan untuk menjelaskan kerangka

konsep dukacita. Variabel yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem klien, yaitu:

fisiologis, psikologis, rohani, perkembangan, dan sosial budaya, dapat digunakan untuk

menguraikan atribut dari dukacita. Kehilangan di masa lalu dapat dijelaskan sebagai

sebuah stresor, dan akibat dari dukacita diartikan sebagai suatu proses yang serupa

dengan konsep Neuman yaitu rekonstitusi. Intervensi untuk membantu klien dalam

menghadapi pengalaman dukacita dapat dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer,

sekunder, dan tersier (Reed, 2003). Penggunaan terminologi dari teori Neuman untuk

menguraikan konsep dukacita dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi

permasalahan-permasalahan yang muncul sebelumnya. Dalam terminologi Neuman ini,

kejadian di masa lalu yang merupakan stressor adalah perasaan kehilangan. Perasaan

kehilangan mungkin bersifat intra-personal (misalnya: kehilangan salah satu anggota

badan, kehilangan peran atau fungsi), interpersonal (misalnya: berpisah dengan

Page 10: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

17

pasangannya, anak, atau orang tua), atau ekstra-personal (misalnya: hilangnya pekerjaan,

rumah, atau hilangnya lingkungan yang dikenal).

Neuman (1995) menyatakan bahwa “dampak dari stressor dapat didasarkan

pada dua hal yaitu kekuatan stressor dan banyaknya stressor” (h.147). Modifikasi

terhadap respon dukacita diidentifikasi sebagai kombinasi dari beberapa pengalaman

yang bersifat individual dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari hubungan

antara orang yang berduka dengan obyek yang hilang, sifat alami dari kehilangan, dan

kehadiran sistem pendukung. Faktor-faktor lain memiliki efek yang kuat pada perasaan

dukacita, seperti pengalaman individu yang sama sebelumnya, kepercayaan spiritual dan

budaya yang dianut. Penjelasan mengenai modifikasi respon dukacita sama halnya

dengan gagasan Neuman mengenai interaksi antar variabel (fisik, psikologis, sosial

budaya, perkembangan, dan rohani). Kombinasi beberapa variabel yang unik pada diri

seseorang (pengalaman sebelumnya dengan dukacita, nilai-nilai, kepercayaan spiritual,

status fisiologis, batasan sosial budaya, dan yang lainnya) dapat dibandingkan dengan

variabel-variabel yang menyusun garis pertahanan normal dan garis perlawanan. Masing-

masing garis pertahanan dan garis perlawanan memodifikasi pada tingkatan tertentu

dimana stressor mempunyai efek yang negatif pada diri seseorang. Garis pertahanan

normal membantu sistem klien untuk menyesuaikan dengan stres akibat kehilangan,

sementara garis perlawanan bertindak sebagai kekuatan untuk membantu klien kembali

ke kondisi yang stabil. Faktor yang lain, seperti pengalaman individu sebelumnya dengan

perasaan kehilangan dan dukacita, budaya, dan kepercayaan religius menjadi bagian dari

struktur dasar individu. Garis pertahanan dan perlawanan melindungi struktur dasar dari

gangguan stres yang menimpa individu (Reed, 1993).

Cowles dan Rodgers (1993: 78) sebelumnya telah mendefinisikan “kondisi

respon seseorang yang normal terhadap perasaan dukacita”. Namun, penjelasan mengenai

batasan normal dan batas waktu proses dukacita tersebut sebagian besar didasarkan pada

pandangan dan pengetahuan perawat bukan berasal dari klien yang sedang mengalaminya

sendiri. Reed (2003) mencoba untuk mendeskripsikannya tidak hanya sebatas pada

respon normal saja, namun sampai pada cakupan respon itu sendiri. Serupa dengan

Neuman (1995) yang telah menggunakan teori rentang sehat-sakit (wellness-illness

Page 11: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

18

continium) untuk mendefinisikan batasan sehat, kondisi kesehatan seseorang yang

optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien

disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal

itu dilihat sebagai batasan normal.

Respon terhadap perasaan dukacita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek

kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas

klien. Berbagai macam tingkatan reaksi dukacita dapat diamati, tergantung pada

kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien

(Reed, 2003). Hal yang serupa sesuai dengan gagasan Neuman (dalam Reed, 2003)

mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada

kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja dukacita,

penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk

mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya

untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan

mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal (sehat). Sebuah

penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap

perasaan kehilangan pada masa prenatal (Adler & Boxley, 1985 & Gilbert, 1989), maka

respon terhadap pengalaman dukacita bagi masing-masing orang tidak akan sama,

termasuk rentang waktu pemulihannyapun berbeda.

2. Kompleksitas Kedukaan

Setiap manusia dihampiri oleh dukacita, namun tidak semua mampu

menyelesaikannya. Duka dapat diekspresikan, direpresi, atau disupresi. Orang yang

ekspresif akan mampu menyelesaikan dukanya, namun yang menolak dan menekan

perasaan menjadi korban kedukaan. Kompleksitas kedukaan ditentukan oleh sikap

terhadap kehilangan. Duka yang diekspresikan akan selesai, tetapi duka yang direpresi

atau disupresi akan menjadi duka yang tidak terselesaikan. Menurut Wirysaputra (2003)

kompleksitas kedukaan antara lain:

Page 12: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

19

a. Duka yang diselesaikan

Kondisi ini dukacita ini adalah pada saat penduka menyadari bahwa ia sedang

berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia mengekspresikan

perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima realitas adalah pintu masuk ke dalam

proses penyembuhan.

b. Duka yang belum diselesaikan

Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi pilihan penduka. Ketika

menekan perasaannya, ia akan mengalami duka yang tidak terselesaikan.

Unfinished grief terdiri dari 3 kategori, yaitu:

a. Duka yang Berkepanjangan

Duka yang berkepanjangan ini terjadi karena orang yang berduka

membawa dukanya terus menerus dari waktu ke waktu. Dia mengakui sedang berduka

namun dalam waktu yang lama tetap tidak mampu menerima kenyataan kehilangan. Ia

tetap mengenang keistimewaan individu yang hilang. Hal ini merupakan dampak proses

idealisasi. Duka yang berkepanjangan dapat muncul dalam bentuk duka warisan. Cerita

konflik yang diteruskan kepada generasi selanjutnya turut mewariskan kedukaan kepada

orang yang lebih muda.

b. Duka yang Ditunda

Duka yang ditunda muncul sebagai hasil internalisasi orang yang

berduka. Penduka bisa menunda kedukaan karena tujuan tersendiri. Ia memerintah diri

sendiri agar tidak merasakan duka. Menunda kedukaan bermanfaat jika berlangsung

dalam waktu singkat sebab penundaan yang lama atau permanen mengakibatkan duka

patologis. Yang menjadi masalah adalah manusia cenderung terlena dalam penundaan

dan menganggap hal tersebut sebagai tanda kemampuan untuk menghadapi kedukaan.

c. Duka yang Tidak Penuh

Page 13: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

20

Sedikit berbeda dengan kedukaan yang ditunda. Kedukaan yang tidak penuh

timbul karena pengaruh eksternal seperti contohnya penghiburan yang terburu-buru

menjadikan duka tidak penuh.

G. PENDEKATAN PSIKOLOGI INDIGENOUS

Mengapa Indigenous Psychology?, pertanyaan ini kelak akan menjadi tanda

tanya yang cukup mengganggu para psikolog atau kita yang mendalami teori-teori

psikologi. Di bidang sains, berbagai teori, prinsip, dan hukum harus diverifikasikan

secara teoritik empirik daripada diasumsikan secara a priori. Psikologi umum telah

berusaha mengembangkan teori-teori yang objektif dan universal tentang perilau-perilaku

manusia dengan mengeluarkan aspek-aspek subjektif fungsi manusia. Sementara itu

Indigenous Psychology menganjurkan untuk menelaah pengetahuan, ketrampilan dan

keyakinan yang dimiliki orang tentang dirinya dan bagaimana mereka menjalankan

fungsinya dalam konteks keluarga, soisal, kultural dan ekologis mereka. Dalam studi ini,

penulis menggunakan pendekatan psikologi indigenous sebagai tolak ukur dalam kajian

psikologisnya. Konsep pendekatan psikologi indigenus ini muncul pertama kali di

kawasan Asia oleh Hwang (2004). Seperti yang diungkapkannya “kajian ilmiah tentang

perilaku atau pikiran manusia yang native (asli), yang tidak ditransportasikan dari

wilayah lain, dan yang dirancang untuk masyarakatnya” (h.8). Menurut Matsumoto

dalam Kim & Berry (1996) “Budaya tidak dapat terlihat oleh kasat mata atau dirasakan

didengar atau diuji. Apa yang nyata serta dapat diamati satu demi satu dari perbedaan

dalam perilaku didalam tindakan, pikiran, ritual, tradisi, dan kegemaran. Kita dapat

melihat maifestasi dari budaya namun kita tidak dapat melihat budaya itu sendiri (h.14).

Peneliti menganggap apa yang disampaikannya adalah benar, bahwa

kebudayaan ialah sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang tidak sekedar dilihat, didengar,

dirasakan, ataupun dikecap berdasarkan pemahaman kita sendiri. Manifestasinya nampak

dalam perilaku manusianya, sehingga lewat perilaku itulah sebuah kebudayaan dapat

dipahami lebih dalam sesuai konteksnya. Pernyataan ini mendukung studi indigenous

yang peneliti lakukan, yaitu memahami budaya dari suku Dani dalam perilaku potong jari

atau niki paleg.

Page 14: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

21

Disamping itu Kim, Hwang dan Yung (2011) dalam beberapa pernyataannya

diantaranya: “Indigenous psychology represents an approach in which the content (i.e.,

meaning, values, and beliefs) context (i.e., family, social, cultural, and ecological) are

explicitly incorporated into research design” (h.3). “It is an involving system of

psychological knowldege based on scientific research that it sufficiently compatable with

the studied phenomena and their ecological, economic, social, cultural, and historical

context” (h.245) .

Maka dari definisi yang ada Kim, Yang, dan Hwang (2010) mengidentifikasi

sepuluh karakteristik psikologi indigenous yang dapat diidentifikasi, yaitu:

1. Indigenous psychology menekankan menelaah fenomena psikologis dalam

konteks keluarga.

2. Indigenous psychology dibutuhkan oleh semua kelompok-kelompok kultural,

pribumi, dan etnik, termasuk negara-negara yang sedang berkembang dan

negara-negara maju.

3. Indigenous psychology merupakan bagian dari tradisi ilmu pengetahuan yang salah

satu aspek pentingnya ialah menemukan metode-metode yang tepat untuk

fenomena yang sedang diinvestigasi, oleh karenanya dianjurkan untuk

menggunakan berbagai metodologi.

4. Diasumsikan bahwa hanya orang pribumi atau orang dalam di sebuah budaya

yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural dan bahwa orang luar hanya

bisa memiliki pemahaman terbatas.

5. Dalam indigenous psychology peran para penelitilah yang mampu

menerjemahkan pengetahuan episodik menjadi bentuk-bentuk analitik agar dapa diuji dan

diverifikasi.

6. Indigenous psychology adalah bagian dari tradisi ilmiah yang berusaha

menemukan pengetahuan psikologis yang berakar pada konteks budaya.

Page 15: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

22

7. Banyak pakar indigenous psychology yang mencari buku filsafat untuk

menjelaskan fenomena indigenous. Namun analisis-analisis tersebut adalah filsafat

spekulatif dan mereka masih harus didukung oleh bukti-bukti empiris. Meskipun mereka

telah memberi informasi yang kaya dan basis bagi pengembangan bagi teori-teori formal,

masih perlu diuji dan divalidasi secara empiris.

8. Indigenous psychology diidentifikasikan sebagai bagian tradisi ilmu budaya,

dimana orang tidak sekedar bereaksi atau beradaptasi dengan lingkungan, tetapi merkea

mampu memahami dan mengubah lingkungan, orang lain, dan dirinya.

9. Indigenous psychology menganjurkan pengaitan antara humanitas (misalkan

sejarah yang difokuskan pada pengalaman manusia) dengan ilmu-ilmu sosial (yang

difukuskan pada pengetahuan analitis, analitis empirik, dan verifikasi) sehingga dapat

memberikan pengetahuan dan insight yang berharga.

10.Dua titik awal penelitian dalan indigenous psychology ialah indigenization from

without (melibatkan teori, konsep yang sudah ada dan memodifikasi mereka agar cocok

dengan budaya lokal) dan indigenization from within (teori, konsep dan metode

dikembangkan secara internal, dan informasi indigenous dianggap sebagai sumber utama

pengetahuan).

Disamping itu Heels dan Lock (1981) dalam Kim, Hwang dan Yang (2010)

mendefinisikan indigenous psychology sebagai pandangan, teori, dugaan, klasifikasi,a

sumsi, da metafora kultural bersama gagasan-gagasan yang melekat pada intitusi-institusi

sosial yang menyangkut topik-topik psikologis, dimana pendekatannya menekankan pada

isu0isu psikologis dan dialektika mutualisitis dengan budaya.

Teori-teori psikologi yang telah ada dianggap tidak universal karena mereka

mengeliminasi kualitas-kualitas yang memungkinkan orang untuk memahami,

memprediksi, dan mengontrol lingkungannya. Bandura (dalam Kim, Yung, & Hwang,

2011) menyatakan bahwa ironis bahwa ilmu tentang fungsi manusia harus menanggalkan

kapabilitas-kapabilitas orang yang membuat mereka unik dalam kekuatannya untuk

membentuk lingkaran dan menentukan takdirnya” (hal.49). Sementara itu Hwang (dalam

Page 16: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

23

Kim & Yang, 2011) mereviu berbagai definisi yang pada dasarnya mengeskpresikan

tujuan dasar yang sama, yaitu mengembangkan sistem pengetahuan ilmiah yang secara

efektif merefleksikan, menjelaskan, atau memahami aktifitas-aktifitas psikologis dan

perilaku pada konteks aslinya dalam kaitannya dengan kerangka acuan yang relevan

secara kultural” (h.8). Dengan adanya indigenous psychology, ilmu yang memahami

orang dalam konteksnya merupakan suatu terobosan baru dalam dunia psikologi. Hal ini

juga sebagai bukti bahwa setiap perilaku manusia itu akan selalu dan pasti dipengaruhi

oleh sistem nilai masyarakat setempat. Dan seperti yang sudah dikatakan diawal, bahwa

lewat pendekatan indigenous psikologi dalam studi ini, analisis deskriptif menjadi titik

awal pada penelitian ini, tetapi tidak boleh menjadi menajdi titik akhirnya. Seperti yang

diungkapkan oleh Kim, Huang dan Yung (2011) “The descriptive analysis is a starting

point of research in indigenous psychology, but they can not be the end point”(h.8).

Seperti yang telah disebutkan diawal, bahwa indigenous psychology

merupakan suatu pendekatan psikologi yang menganalisis hubungan dengan keluarga dan

nilai-nilainya, maka penelitian pada suku Dani ini merpresentasikan pendekatan

indigenous. Analisis-analisis budayanya memperlihatkan nilai-nilai keluarga dalam

budayanya, dan pola-pola universal nilai keluarga yang mengkarakterisasikan keluarga

dalam klaster budaya yang berbeda. Satu paradigma “cultures like no other culture”

sangat mendukung penelitian ini. Metodologi yang disuguhkan lewat pendekatan ini

dapat mengukur fenomena psikologis di tiga tingkat hirarkis yang berbeda: universal,

klaster budaya: dan spesifik budaya. Oleh sebabnya, alasan pentingnya indigenous

psychology adalah mendorong para pakar psikologi untuk mengkaji secara kreatif

berbagai konsep psikologis yang mungkin penting bagi budaya mereka. Akan tetapi,

sebuah poin kritis dalam metodologi akan muncul jika dikatakan bahwa variabel atau

fenomena psikologis itu unik dalam budaya itu saja.

Page 17: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

24

H. SUKU DANI

1. Kepribadian Orang Dani

Kepribadian orang Dani dilihat dalam kehidupan kelompok etniknya

merupakan suatu keseluruhan yang kompleks meliputi sifat karakteristik rohani yang

imanen, intelegensi yang prakmatis, berketarampilan sederhana, memiliki sifat batin dan

mentalitas yang menyatu dengan alam, dengan tata kelakuan yang bersifat simbolis

berdasarkan keyakinan dan pendirian kelompok etniknya. Sunario (1994)

mengungkapkan bahwa “dengan sikap mental yang menyatu dengan alam lingkungan

orang Dani mempunyai ikatan batiniah yang erat dengan sesama manusia “ (h.21).

Orang Dani mempunyai relasi perkawanan dan persaudaraan dengan sikap

saling mencintai, memahami, persaudaraan, kebersamaan, kekeluargaan, solidaritas dan

saling ketergantungannya (Sunario, 1994). Mereka memiliki hubungan batiniah yang erat

sekali dengan alam sekitarnya, seperti tempat sakral, pohon khusus, telaga, kali, serta

hewan.

2. Tatanan Nilai Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Dani

a. Nilai-Nilai Leluhur

Hidup ideal bagi orang Dani adalah hidup baik, yaitu hidup dalam jalinan relasi yang

berharmoni dengan sesama manusia, alam sekitar serta leluhur. Orang Dani menekankan

pengalaman masa lalu yang dirangkaikan dengan masa depan. Namun masa depan tidak

terlalu jauh dari masa kini. Jadi, masa depan yang dekat akan ditentukan oleh masa silam

yang jauh (pengalaman leluhur) dan pengalaman dekat (Sunario, 1994). Realisasi nilai-

nilai batin orang Dani tampak dalam pola aktifitas yakni dalam bentuk relasi,

kekerabatan, kebersamaan, kerja, kesehatan, kesuburan, harga diri, damai, kebebasan,

popularitas, kelugasan, kesenian dan perang (Sunario, 1994). Orang Dani menghayati

para leluhurnya sebagai bagian hakiki dari keberadaan manusia yang hidup. Para leluhur

baik historis maupun mitologis mempunyai tempat dan peranan dalam sistem sosial

orang Dani. Mereka turut mempengaruhi dan menentukan keputusan-keputusan yang

akan dibuat. Orang Dani tidak hidup terasing sebagai individu. Kehidupan identitas dan

cara bertindaknya memancar keluar dari warisan yang telah diterima melalui generasi

leluhur sebelumnya (Sunaryo, 1994).

Page 18: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

25

b. Nilai Relasi

Hidup baik dalam penghayatan orang Dani selalu dan dimana-mana terkait dengan relasi.

Pentingnya relasi kekerabatan bagi orang Dani, nampak dalam berbagai tindakan dan

ungkapan dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip relasi teritorial orang Dani diatur juga

melalui tempat tinggal dan lingkungan hidup seseorang. Adanya kenyataan kesamaan

minat, perhatian dan sikap dari orang-orang yang bebeda suku memungkinkan

terciptanya relasi diantara mereka. Dalam kelompok ini ide persaudaraan diperluas

melampaui saudara sekandung dan meliputi orang lain yang dapat hidup bersama seakan-

akan saudara sekandung. Suasana hidup saling memperhatikan secara timbal balik yang

diungkapkan dalam tindakan sehari-hari merupakan daya pengikat hidup mereka. “Relasi

berakar dari kedalaman hati orang Dani, dengan saling member hati secara timbal

balik” (h.46). Simbol bagi orang Dani amat penting, karena simbol merupakan gambaran

penting yang membantu manusia untuk memahami dan mengungkapkan realitas spiritual,

yakni daya relasi yang menyelamatkan.

Bagi orang Dani dengan membagi milik orang akan tetap hidup sekalipun telah

meninggal. “Hati baik tidak pernah boleh bersepi, ciptakan kesempatan bagi orang lain

untuk mengatakan engkau baik” . Nilai membagi tidak terbatas pada materi saja,

melainkan juga membagi rasa. Perasaan sedih, rindu atas kematian seseorang

diungkapkan dengan cara memotong bagian jari dan telinga. Pandangan dibalik

kebiasaan ini ialah “dia pergi membawa potongan anggota tubuhku, dan aku tinggal

dengan jari atau telinga yang terpotong. Setiap saat kami boleh saling memandang”.

Jadi tersirat pandangan bahwa jari atau telinga tidak putus atau terpotong melainkan

‘dibawa pergi’ oleh dia yang telah meninggal. Nilai solidaritas yang diungkapkan melalui

kebersamaan dan menuntut orang Dani merupakan penuntun jalan hidup baik. Seseorang

yang memisahkan diri dari kebersamaan dianggap ‘mati’, sekalipun tidak secara biologis.

Ia kehilangan pedoman arah dan menyimpang dari tujuan hidup. Maka, nilai solidaritas

sangat penting bagi orang Dani (Sunario, 1994).

Sedemikian vitalnya relasi bagi orang Dani sehingga relasi senantiasa diperbaharui dan

diteguhkan melalui ritus-ritus dan berbagai kebiasaan, antara lain: ritus inisiasi (bagi

Page 19: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

26

kaum pria: anak, remaja, pemuda), ritus tipat (memperkuat relasi), menggunakan suku

menurut garis keturunan ayah, pusat perkampungan ditempatkan dalam satu honai

(rumah pria), semua anggota suku menganut garis keturunan sama melalui garis ayah

disurutkan sampai kepada satu leluhur pria, serta saling menyapa dengan pihak yang tua

sebagai ayah atau bapak dan yang muda sebagai anak atau adik sebagaimana yang

disebutkan oleh Sunario (1993) bahwa “hubungan ini sangat kuat dalam menghadapi

berbagai peristiwa hidup” (h.45).

I. RITUAL NIKI PALEG ORANG DANI

Kebudayaan asli suku Dani ini sampai saat ini masih dijalani dengan penuh

penghayatan. Pada orang orang Dani, jenazah akan dibakar. Pada upacara pembakaran

jenazah, tubuh orang yang meninggal dihias dan didudukkan diatas suatu singgasana

(bea).

Upacara ini dilakukan disuatu lapangan di pusat perkampungan. Para kerabat

dan orang-orang yang datang untuk melayat akan duduk mengelilingi bea dan menangis

sekeras-kerasnya. Tubuh para wanita dilumuri dengan lumpur putih tanda berkabung

dengan nyanyian-nyanyian kematian dan ratapan. Dan pada siang harinya, beberapa

orang dukun (orang yang dapat berhubungan denga roh leluhur) melakukan upacara

pemotongan satu ruas jari dari tiap anggota keluarga inti orang yang meninggal dengan

menggunakan kapak batu tetapi ada juga yang menggunakan bambu. Dan luka dari

pemotongan itu akan di balut dengan sejenis daun khusus yaitu daun keladi.

Jerit tangis dari anak-anak yang menjalani pemotongan jari ini, akan

menghilang diantara orang-orang yang sedang melayat. Biasanya jari-jari yang dipotong,

bukan hanya sekali saja, tetapi tergantung berapa banyak kerabat terdekat yang

meninggal, mereka akan melakukan lagi ritual pemotongan jari. Bahkan sampai jari

mereka habis. Dan apabila jari-jari mereka telah dipotong habis, mereka akan memotong

lagi sebagian dari telinga mereka.

Setelah itu, para kerabat orang yang meninggal membakar daging babi di

dalam lubang-lubang yang mereka gali di dalam tanah dan sebagian akan disajikan untuk

roh (ame), orang yang meninggal. Sore harinya daging yang telah masak itu dimakan

bersama dan menjelang senja semua perhiasan yang dikenakan pada jenazah diambil dan

tubuh jenazah itu digosok dengan minyak babi. Setelah itu dimulai pembakaran jenazah,

Page 20: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8510/2/T2_832009008_BAB II.pdf · merupakan misteri abadi sepanjang sejarah umat manusia yang

27

yang diiringi dengan jerit tangis orang-orang yang datang melayat. Penjelasan ini ditulis

oleh Koenjaraningrat dalam Sunario (1994), dalam bukunya yang berjudul ‘Kebudayaan

Jayawijaya’, lalu kajiannya diperbaharui dalam edisi terbaru oleh penulis yang lainnya

yaitu Agus Alua (2006) dalam bukunya yang berjudul “Nilai-nilai hidup masyarakat

Hubula di Lembah Balim Papua” yang dimana dalam bukunya ia mengupas tentang

kebudayaan dan nilai-nilai hidup orang suku Dani.