bab ii kajian pustakaetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 bab 2.pdf · undang nomor 48 tahun...

25
23 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengadilan Agama di Indonesia 1. Kajian Umum Pengadilan Agama Pengadilan agama adalah salah satu lembaga peradilan pada tingkat pertama, tepatnya adalah lembaga peradilan agama. 11 Dalam literature lain disebutkan bahwa Peradilan agama adalah sebutan resmi yang diperuntukkan salah satu badan peradilan yang ada di Indonesia. 12 Peradilan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”, sedangkan kata pengadilan diartikan 11 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita) , (Malang: UIN- Malang Press, 2009), h. 7 12 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 7

Upload: others

Post on 06-Dec-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengadilan Agama di Indonesia

1. Kajian Umum Pengadilan Agama

Pengadilan agama adalah salah satu lembaga peradilan pada

tingkat pertama, tepatnya adalah lembaga peradilan agama.11

Dalam

literature lain disebutkan bahwa Peradilan agama adalah sebutan resmi

yang diperuntukkan salah satu badan peradilan yang ada di Indonesia.12

Peradilan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “segala sesuatu

mengenai perkara pengadilan”, sedangkan kata pengadilan diartikan

11

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), (Malang: UIN-

Malang Press, 2009), h. 7 12

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 7

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

24

sebagai “dewan atau majelis yang mengadili perkara”, atau “mahkamah”,

“proses mengadili”, “keputusan hakim”, “sidang hakim ketika mengadili

perkara”, “rumah (bangunan) tempat mengadili perkara”.13

Lebih khusus

lagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan definisi atas

pengadilan agama, yaitu “badan peradilan khusus untuk orang yang

beragama Islam yang memeriksa dan memutus perkara perdata tertentu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.14

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, peradilan agama adalah peradilan bagi orang-

orang yang beragama Islam.15

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengadilan

agama adalah salah satu lembaga peradilan di Indonesia yang memiliki

kewenangan relative serta kewenangan absolut yang berasaskan

personalita keislaman.

Kewenangan relative merupakan cara memandang atau

menentukan kewenangan setiap pengadilan didasarkan pada wilayah

hukum atau wilayah yurisdiksi. Penentuan wilayah yurisdiksi tersebut

dapat didasarkan pada kotamadya atau kabupaten tempat pengadilan

agama tersebut berada. Selain berdasarkan wilayah kotamadya atau

kabupaten, penentuan wilayah yurisdiksi tersebut dapat ditentukan secara

13

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2000), h. 2 14

Kamus Besar Bahasa Indonesia 15

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

25

khusus.16

Kewenangan absolut pengadilan agama lebih luas diatur di

dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo Pasal 118

HIR/pasal 142 RBg, serta pengecualian-pengecualian yang ada di dalam

undang-undang.

Selain memiliki kewenangan relative, pengadilan agama juga

memiliki kewenangan absolut. Kewenangan absolut pengadilan agama

merupakan kewenangan dalam hal jenis perkara yang dapat disidangkan di

pengadilan agama.17

Kewenangan absolut pengadilan agama diatur di

dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berdasarkan perubahan tersebut,

pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa bidang-

bidang perkara sebagai berikut:

1) perkawinan,

2) waris,

3) wasiat,

4) hibah,

5) wakaf,

6) zakat,

7) infaq,

8) shadaqah, dan

9) ekonomi syari'ah.18

16

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.

25-26. 17

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 27 18

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

26

2. Prinsip dan Asas

Erfaniah mengungkapkan bahwa ada enam prinsip di pengadilan

agama, antara lain adalah sebagai berikut:19

a. Prinsip Personalitas Keislaman

Sebagai salah satu lembaga peradilan di Indonesia, pengadilan

agama memiliki kewenangan absolut agar tidak terjadi kebingungan

social terkait penentuan lembaga mana yang berhak memeriksa suatu

perkara. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 telah jelas

mengatur bahwa pengadilan agama berhak memeriksa setiap perkara

perdata orang-orang Islam yang telah menjadi kewenangan absolut

pengadilan agama.

Sebagai indikator kewenangan tersebut adalah dapat dilihat dari

agama orang-orang yang beperkara, atau orang yang memiliki sangkut

paut dengan perkara tersebut. Sebagai contoh adalah perkara waris.

Ketika pewaris beragama Islam, maka perkara waris tersebut menjadi

kewenangan pengadilan agama meskipun ahli warisnya ada yang tidak

beragama Islam. Selain itu, dapat juga hal tersebut didasarkan pada

hukum yang digunakan ketika terjadinya suatu hubungan hukum.

Sebagai contoh adalah perkawinan yang dilakukan dengan

menggunakan hukum Islam, maka ketika terjadi perceraian harus

19

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 248-252

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

27

dilakukan di hadapan sidang pengadilan agama meskipun salah satu

pihaknya telah berpindah pada agama lain.20

b. Prinsip Persidangan Terbuka untuk Umum

Berdasarkan amanat yang diberikan dalam Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa

setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk pengadilan agama

harus dilaksanakan secara terbuka untuk umum kecuali undang-

undang menentukan yang lain.21

Hal itu diatur sedemikian rupa agar

ada control social dari masyarakat atas kinerja penegak hukum. Selain

itu, secara tidak langsung masyarakat dapat belajar dari setiap

peristiwa yang ada.

Berbeda dengan sidang pada umumnya, dalam lingkungan

pengadilan agama, khusus sidang yang memeriksa perkara yang

berhubungan dengan perkawinan dilaksanakan secara tertutup.

Tujuannya adalah agar para pihak tidak terbebani untuk

mengungkapkan fakta-fakta yang ada di lapangan. Hal itu telah diatur

di dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan serta Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 80 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.22

20

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Kencana, 2006), h. 195-196 21

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 22

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 197-198.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

28

c. Prinsip Persamaan Hak dan Kedudukan dalam Persidangan

Pengadilan agama melalui hakim dalam memeriksa perkara

yang ditanganinya harus berdasarkan keadilan. Berdsarkan Pasal 4

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman mengamanatkan bahwa “pengadilan mengadili menurut

hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.23

Hal itu mempertegas

bahwa hakim harus memperhatikan hak dan kedudukan para pihak dan

berupaya agar tidak subjektif dalam menilai para pihak. Selain dasar

hukum di atas, ketentuan ini juga diatur di dalam Pasal 58 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Ketentuan ini dalam hukum acara perdata sering dikenal dengan

istilah audiet alteram partern. Maksud dari istilah tersebut adalah

bahwa para pihak harus diperlakukan sama adil dan diberikan

kesempatan yang sama. Selain istilah di atas, dikenal juga istilah

equality before the law, yaitu persamaan di mata hukum. Artinya tidak

ada manusia yang kebal hukum atau mendapatkan perlakuan

“istimewa” atas hukum.24

d. Prinsip Hakim Aktif Memberikan Bantuan

Berdasarkan Pasal 119 HIR dan Pasal 143 R.Bg yang berbunyi

“Ketua pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan pertolongan

23

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 24

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h. 352

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

29

kepada penggugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan

surat gugatnya”, maka hakim dapat membantu para pihak yang tidak

mengetahui hukum agar para pihak mengerti tentang hukum yang

dihadapi.25

Selain berdasarkan Pasal 119 HIR, ketentuan bahwa hakim

memiliki prinsip berperan aktif untuk memberikan bantuan kepada

para pihak didasarkan pada Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 4 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

berbunyi “pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha

sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”26

e. Prinsip Setiap Perkara Dikenai Biaya

Setiap perkara yang disidangkan di pengadilan agama sudah

pasti dikenai biaya perkara. Berdasarkan Pasal 121 ayat (4) HIR dan

Pasal 145 ayat (4) R.Bg, maka setiap pencari keadilan yang

mendaftarkan perkaranya harus membayar uang muka (vorschot) atau

biasa disebut dengan panjar biaya perkara. Biaya yang dibayarkan

tersebut terdiri dari biaya kepaniteraan yang harus disetorkan kepada

kas negara serta biaya proses yang digunakan oleh pengadilan untuk

memproses penyelesaian perkara.27

25

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 250 26

Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 4

ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 27

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 251

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

30

Ketentuan bahwa setiap pendaftar perkara wajib untuk

membayar panjar biaya perkara tidak menutup kemungkinan bagi

pemohon atau penggugat yang tidak mampu untuk tetap bisa

mendaftarkan perkaranya dengan tanpa mengeluarkan biaya sama

sekali, namun dibantu oleh negara. Fenomena tersebut biasa dikenal

dengan istilah perkara dengan prodeo, yaitu perkara yang biayanya

dibantu oleh negara. Salah satu instrumen hukum yang mengaturnya

adalah Pasal 60B ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Negara menanggung biaya

perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu”.28

f. Prinsip Persidangan Harus Majelis

Jumlah hakim dalam suatu sidang secara umum ditentukan

harus majelis dengan jumlah minimal 3 (tiga) orang hakim dalam

setiap majelisnya. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 11 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman yang berbunyi “pengadilan memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga)

orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain”.29

Tujuan dari

ketentuan tersebut adalah agar dalam pemeriksaan perkara dapat lebih

menjamin keobjektifitasan putusan. Dengan kata lain, hal itu untuk

28

Pasal 60B ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 29

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

31

menghindari adanya perlakuan hakim yang subjektif dan

menguntungkan salah satu pihak.30

Selain enam prinsip di atas, pengadilan agama juga mendasar pada

asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini telah diatur di dalam Pasal

2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Peradilan dilakukan dengan

sederhana, cepat, dan biaya ringan”.31

Asas “sederhana” yang dimaksud dalam asas pengadilan di atas

adalah bahwa pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan harus

dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Sebelumnya telah

dijelaskan bahwa di pengadilan agama berlaku prinsip setiap perkara

dikenai biaya. Namun berdasarkan asas “biaya ringan” maka biaya

perkara yang dibebankan kepada pencari keadilan harus diperkirakan

hingga besarannya tidak membebani pencari keadilan itu sendiri. Untuk

itulah maka diberlakukan asas biaya ringan tersebut. Asas sederhana,

cepat, dan biaya ringan yang diberlakukan di pengadilan agama tidak

berarti bahwa hal tersebut memberikan kesempatan kepada hakim untuk

bersantai serta tidak cermat dan tidak teliti dalam memeriksa perkara.

Kecermatan dan ketelitian hakim dalam memeriksa perkara mutlak harus

30

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 354 31

Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan

Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

32

terpenuhi juga.32

Begitu juga dalam menerapkan asas “cepat”, seorang

hakim harus bertindak secara moderat. Maksud dari hakim harus bertindak

moderat adalah bahwa hakim dalam memeriksa perkara tidak boleh

tergesa-gesa, juga tidak boleh dengan sengaja memperlambat

pemeriksaannya.33

3. Hakim

Hakim yang menyidangkan perkara-perkara orang islam bukanlah

sembarang orang. Ada syarat-syarat tertentu untuk bisa menjadi hakim

bagi orang-orang islam. Berikut syarat-syarat untuk menjadi hakim

berdasarkan hukum islam klasik:34

1) Beragama Islam

2) Laki-laki

3) Baligh dan Berakal

4) Kredibelitas Individu

5) Sempurna Pancaindra

6) Berwawasan Luas

7) Bukan Budak (Merdeka)

32

Penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. 33

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009), h. 51 34

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 22

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

33

Namun pada era sekarang, syarat-syarat untuk menjadi hakim di

pengadilan agama telah diatur sedemikian rupa di dalam Pasal 13 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:35

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang

harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) warga negara Indonesia;

b) beragama Islam;

c) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d) setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

e) sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam;

f) lulus pendidikan hakim;

g) mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kewajiban;

h) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;

i) berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi

40 (empat puluh) tahun; dan

j) tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Menurut Abdul Manan di dalam bukunya yang berjudul “Etika

Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan Islam”, seorang hakim di pengadilan agama harus harus

memiliki 4 (empat) karakter berikut:36

1) Intelektualitas

Seorang hakim di pengadilan agama harus memiliki kadar ilmu

pengetahuan yang tinggi. Ilmu pengetahuan yang dimaksud tidak

terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga ilmu umum yang relefan

dengan bidang-bidang perkara yang mungkin saja ditanganinya. Tidak

35

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 36

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 192

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

34

dipungkiri bahwa ilmu hukum bisa saja berkaitan dengan ilmu-ilmuy

yang lain, seperti ekonomi, sejarah, politik, sosiologi, dan ilmu

pengetahuan yang lain.

2) Profesionalisme

Hakim merupakan salah satu profesi di Indonesia, oleh sebab

itu seseorang yang menjadi hakim harus profesional. Abdul Manan

yang mengutip dari Suhwardi K. Lubis menyampaikan beberapa

kriteria umum profesionalitas, khususnya kaitannya dengan profesi

hakim. Berikut kriteria-kriterianya:

a) mempunyai keterampilan tinggi dalam suatu bidang pekerjaan,

mahir dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan

dalam pelaksanaan tugas;

b) mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup, pengalaman yang

memadai dan kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah, peka

dalam membaca situasi, cepat dan cermat dalam mengambil

keputusan terbaik;

c) mempunyai sikap berorientasi ke hari depan, sehingga punya

kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang

terbentang di hadapannya;

d) punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan

pribadi serta terbuka untuk menyimak dan menghargai pendapat

orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi

perkembangan pribadinya.37

Selain empat kriteria di atas, Abdul Manan juga menetapkan

kriteria lain atas profesionalisme seorang hakim. Kriteria tersebut

adalah bahwa seorang hakim di pengadilan agama harus mempunyai

etika profesi dengan menetapkan pelayanan kepada pencari keadilan

dan dengan cara mengacu kepada nilai-nilai hukum yang telah ada.

37

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 194

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

35

Hakim harus bersaing secara sehat untuk mendapatkan pangkat yang

lebih baik. Oleh sebab itu, setiap hakim harus selalu berpedoman

kepada kode etik hakim Indonesia.

3) Integritas Moral

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama menyebutkan bahwa salah satu syarat seorang hakim

adalah berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Kesimpulan yang dapat diambil dari substansi ketentuan tersebut

adalah bahwa seorang hakim harus bermoral. Menurut Abdul Manan,

integritas adalah keutuhan pribadi dalam bentuk kejujuran dan

kepribadian yang baik.

Hakim pengadilan agama yang secara tidak langsung menjabat

sebagai pemuka agama harus selalu berdasar pada prinsip iman, islam,

dan ihsan. Ketiga unsur tersebut tidak adalah satu kesatuan yang akan

membentuk moral seorang hakim. Integritas moral hakim juga telah

termaktub di dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh

Ahmad Arba’ah dan disahkan oleh Ibnu Khusaimah dan Ibnu Hibban.

Berdasarkan hadis tersebut, hakim yang akan masuk ke dalam surga

adalah hakim yang memenuhi persyaratan intelektualitas,

profesionalitas, dan integrasi moral yang baik serta memberikan

putusan yang baik dan benar.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

36

4) Berkemampuan

Hakim adalah salah satu penegak hukum yang ada di Indonesia.

Nasib dari para pemohon dan termohon, serta penggugat dan tergugat

akan ditentukan berdasarkan keputusan hakim. Oleh sebab itu, hakim

harus melaksanakan tugasnya dengan baik, mampu secara rohani dan

jasmani, serta mampu melepaskan dari dari segala tekanan dan

pengaruh dari pihak lain agar putusannya tidak subjektif.

Selain itu, dalam etika profesi hukum, seorang hakim harus

memiliki kemampuan individu berupa:

a) kemampuan untuk kesadaran etis yang merupakan landasan dasar

watak, kepribadian, dan tingkah laku para profesi hukum;

b) kemampuan untuk berpikir etis dalam hal yang berkaitan dengan

alat-alat dan kerangka-kerangka yang dianggap merupakan

keseluruhan pendidikan etika profesi hukum;

c) kemampuan untuk bertindak secara etis yang merupakan

manifestasi hati yang tulus; dan

d) kemampuan untuk memimpin secara eits yang mempunyai

keterkaitan dengan tingkatan ketulusan hati dalam bertindak dan

bertingkah laku.38

4. Proses Beracara

Pada prinsipnya, hukum acara yang berlaku di pengadilan agama

adalah hukum yang juga berlaku berlaku di pengadilan umum atau biasa

disebut pengadilan negeri. Hal ini mendasar pada ketentuan yang ada di

dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Namun jika ada hal yang diatur lebih khusus, maka aturan yang

38

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 199

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

37

umum dikesampingkan.39

Dalam tulisannya, Erfaniah Zuhriah yang

merujuk kepada Bagir Manan menyebutkan ada 3 (tiga) jenis acara

persidangan yang berlaku di pengadilan agama, yaitu acara biasa,

contradictoir, dan verstek.40

Berikut uraian lebih lanjut tentang tiga jenis

atau model acara perdata di pengadilan agama tersebut:

a. Proses Beracara Biasa

Acara perdata dengan model proses beracara biasa dapat

dilakukan jika pihak penggugat dan tergugat, atau pemohon dan

termohon sama-sama menghadiri persidangan dari awal sidang sampai

proses pemeriksaan perkara telah selesai dengan adanya pembacaan

putusan oleh hakim. Jika salah satu pihak tidak menghadiri sidang,

namun pihak tersebut mengirimkan surat kepada hakim melalui

pengadilan bahwa keitdakhaidrannya disebabkan oleh alasan atau

alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum maka hakim dapat

memberikan kesempatakn kepada pihak tersebut dengan cara menunda

persidangan.41

Pada sidang pertama perkara perdata di pengadilan agama,

hakim akan memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi

terlebih dahulu. Jika proses mediasi tidak dilakukan, maka putusan

hakim akan batal demi hukum. Ketentuan tersebut telah dilegalkan

39

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Perkasa, 2012), h. 1 40

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 253 41

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 253

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

38

dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengdilan.42

Jika menilik kepada Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka

hanya perkara perdata yang mengandung unsur sengketa saja yang

diwajibkan melalui tahapan mediasi. Namun berdasarkan

kekhususannya, pengadilan agama juga mewajibkan mediasi kepada

para pihak dalam perkara perdata berjenis permohonan yang notabene

tidak mengandung unsur sengketa. Salah satu contoh perkara yang

masuk ke dalam jenis perkara perdata permohonan yang

mengharuskan pihak pemohon dan termohon untuk melaksanakan

mediasi adalah perkara permohonan izin poligami. Pihak pemohon dan

termohon dalam perkara permohonan izin poligami harus menjalani

tahapan mediasi terlebih dahulu sebelum melaksanakan tahapan

pemeriksaan dalam persidangan.43

Jika proses perdamaian melalui mediasi tidak berhasil, maka

perkara akan berlanjut diperiksa dalam sidang pengadilan. Proses awal

pemeriksaan persidangan adalah pembacaan atau penyampaian

gugatan atau permohonan oleh pihak penggugat atau pemohon. Tahap

selanjutnya adalah pembacaan atau penyampaian jawaban dari pihak

tergugat atau pemohon. Setelah tergugat atau pemohon (dalam kasus-

42

Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan. 43

Berdasarkan Observasi yang dilakukan oleh peneliti selama melaksanakan Praktik Kerja

Lapangan Integratif di Pengadilan Agama Pasuruan dari tanggal 2 Juli 2014 sampai dengan

tanggal 31 Juli 2014.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

39

kasus tertentu) memberikan jawabannya, maka penggugat dapat

mengajukan replik yang nantinya akan dijawab dengan proses duplik

jika dikehendaki oleh pihak tergugat. Setelah proses tersebut, tahap

selanjutnya adalah proses pembuktian. Setelah proses pembuktian,

hakim akan memperilakan kepada para pihak untuk memberikan

kesimpulan masing-masing atas gugatana atau gugatan-gugatan dalam

perkara yang sedang dihadapi dalam persidangan. Proses dilanjutkan

dengan musyawarah hakim serta diakhiri dengan pembacaan putusan

hakim. 44

b. Contradictoir

Pada prinsipnya, beracara dengan cara contradictoir sama

dengan beracara dengan cara biasa. Namun yang membedakan adalah

pihak tergugat atau kuasanya tidak hadir ketika proses jawaban

dan/atau ketika putusan dibacakan oleh hakim dalam persidangan

dengan tanpa disertai surat yang menerangkan bahwa pihak tergugat

tidak dapat hadir dengan alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan

menurut hukum.45

c. Verstek

Acara perdata dengan jenis verstek adalah jika pihak tergugat

atau kuasanya tidak menghadiri sidang dari awal hingga proses akhir

44

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 253-255 45

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 255-256

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

40

persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut.

Ketidakhadiran pihak tergugat tersebut juga tidak disertai dengan surat

yang menjelaskan alasan atau alasan-alasan pihak tergugat tidak

menghadiri persidangan. Dasar dari acara perdata verstek adalah Pasal

125-129 HIR dan Pasal 149-153 R.Bg.46

B. Perkara Permohonan

Permohonan adalah suatu surat yang berisi tuntutan hak perdata yang

tidak mengandung unsur sengketa oleh pihak yang berkepentingan. Karena

disebut tidak mengandung sengketa, maka proses pemeriksaannya dianggap

sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.47

Secara global, dasar

penerimaan perkara permohonan terdapat di dalam Pasal 2 dan penjelasan

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.48

Pasal 2 Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

berbunyi:

1) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1

diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan

Undang-Undang, dengan tugas pokok untuk menerima,

memeriksa dan mengadili serta memyelesaikan setiap perkara

yang diajukan kepadanya.

2) Tugas lain dari pada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan

kepadanya berdasarkan peraturan perundangan.

Meskipun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman tersebut telah diganti dengan undang-undang yang terbaru yaitu

46

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, h. 256-257 47

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, h. 80 48

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 29

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

41

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

namun dasar tersebut masih dirasa relevan. Andaipun regulasi tersebut sudah

tidak digunakan, namun kandungan dari pasal tersebut masih relevan dengan

isi dari Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

Tata cara pengajuan perkara permohonan tidak berbeda dengan tata

cara pengajuan perkara gugatan. Dalam perkara permohonan, pemohon

ataupun kuasa hukumnya mengajukan permohonannya kepada ketua

pengadilan agama secara tertulis dan ditandatangani. Bagi pemohon yang tidak

bisa baca tulis, dapat mengajukan permohonannya secara lisan di depan ketua

pengadilan agama. Ketua pengadilan agama yang mendengar permohonan

pemohon secara lisan dengan segera mencatat permohonan tersebut, namun

dapat juga hal itu dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan

agama. Hal tersebut berdasar pada Pasal 120 HiR atau Pasal 144 RBg.

Setelah permohonan tersebut diajukan, pemohon membayar biaya

panjar perkara agar permohonan tersebut dapat berlanjut ke proses setelahnya,

yaitu pemberian nomor register perkara dan pencatatan di buku register

perkara. Ketentuan tersebut berdasar pada Pasal 121 ayat (4) HiR atau Pasal

145 ayat (4) RBg.49

Proses pemeriksaan perkara perdata permohonan lebih sederhana jika

dibandingkan dengan proses pemeriksaan perkara perdata gugatan

(contentiosa). Hal itu tidak lain karena dalam perkara permohonan, hakim

49

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II

(Edisi Revisi), 2013, h. 61

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

42

hanya mendengarkan permohonan dari pemohon, tanpa adanya lawan. Oleh

sebab itu proses persidangannya lebih sederhana karena tidak terdapat proses

jawab, replik, duplik, serta kesimpulan.50

Namun pada beberapa kasus, perkara

yang masuk ke dalam kategori perkara perdata permohoanan, menghendaki

agar pemohon memberikan jawaban dari permohonan pemohon. Sebagai

contoh adalah permohonan izin poligami. Dalam permohonan izin poligami,

maka pihak pemohon yaitu istri yang telah dikawini suami secara sah

didudukkan sebagai pemohon dan akan dimintai jawaban oleh hakim atas

permohonan pemohon.

Produk hukum dari perkara permohonan berbeda dengan produk

hukum perkara gugatan. Hasil final dari perkara gugatan adalah putusan,

sedangkan hasil dari perkara permohonan adalah penetapan. Selain itu, para

pihak dari perkara gugatan adalah penggugat dan tergugat, sedangkan di dalam

perkara permohonan para pihaknya adalah pemohon dan termohon.51

Berikut adalah contoh-contoh perkara permohonan yang menjadi

kewenangan absolut pengadilan agama:

1. permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum berusia 18 tahun

atau belum pernah melangsungkan pernikahan yang tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua;

2. permohonan pengangkatan wali bagi orang dewasa yang kurang

ingatannya atau orang yang tidak mampu mengurus hartanya;

50

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, h. 81 51

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas, h. 61

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

43

3. permohonan dispensasi kawin bagi calon mempelai pria yang belum

mencapai usia 19 tahun dan calon mempelai wanita yang belum mencapai

usia 16 tahun;

4. permohonan izin kawin bagi calon mempelai yang belum mencapai usia

21 tahun yang tidak diizinkan oleh orang tua masing-masing calon

mempelai;

5. permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh suami istri;

6. permohonan pengangkatan anak;

7. permohonan sita atas harta sengketa dan/atau harta bersama;

8. permohonan penetapan ahli waris.52

C. Small Claim Procedure

Hukum di Indonesia belum terlalu mengenal istilah small claim

procedure. Mahkamah Agung melalui websitenya memberikan istilah yang

sama dengan small claim procedure dalam Bahasa Indonesia dengan

menggunakan istilah “Pengadilan Rakyat” jika merujuk pada pengadilan yang

menggunakan sistem small claim procedure, serta dapat juga diartikan dengan

“pengadilan konsiliasi bagi masyarakat yang sangat membutuhkan suatu

lembaga penyelesaian sengketa yang tidak memerlukan biaya tinggi dan

dilakukan dengan proses yang cepat”.53

Salah satu peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang

sekaligus menjadi tim ahli pembentukan regulasi small claim procedure yang

52

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas, h. 62 53

https://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=3963 diakses tanggal 28 Okt 2014 jam 8:43

WIB

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

44

dibentuk oleh Mahkamah Agung, Eva Laela Fakhriah memberikan devinisi

small claim procedure sebagai berikut:

Suatu mekanisme pengadilan yang bersifat informal (di

dalam pengadilan tetapi mekanismenya di luar mekanisme

pengadilan pada umumnya) dengan pemeriksaan perkara yang

cepat untuk mengambil keputusan atas tuntutan ganti kerugian atau

utang piutang yang nilai gugatannya kecil.54

Small claim procedure telah diberlakukan di beberapa negara, seperti

Amerika Serikat, Australia, Australia, Irlandia, Inggris, Norwegia, dan lain

sebagainya.55

Sistem serupa juga telah berlaku di Indonesia, namun hanya

untuk perkara pidana yang biasa disebut sebagai acara pemeriksaan cepat yang

hanya digunakan untuk memeriksa tindak pidana ringan (tipiring). Sidang

yang menggunakan sistem acara pemeriksaan cepat hanya menggunakan satu

hakim, prosesnya sederhana sehingga tidak membutuhkan waktu yang begitu

lama.56

Pemeriksaan perkara perdata dengan menggunakan sistem small claim

prcedure merupakan pemeriksaan perkara dengan cara litigasi namun

memiliki perbedaan dengan sistem pemeriksaan pada umumnya. Perbedaan

yang paling menonjol adalah kesederhanaannya. Sistem small claim prcedure

menghendaki pemeriksaan perkara perdata dengan cara yang sangat

sederhana.57

54

Disampaikan di Focus Group Discussion (FGD) Introduksi dan Penerapan Sistem Peradilan

Perdata Sederhana (Small Claim Procedure) pada Sistem peradilan Indonesia di Hotel Novotel,

Jakarta, Kamis, 3 April 2014 55

Efa Laela Fakhriah, Mekanisme Small Claim Court dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan

Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan, (Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 2, Juni 2013), h. 265 56

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52a4ec8d18092/ma-bakal-terbitkan-perma-ismall-

claim-court-i diakses tanggal 8 Oktober 2014, jam 8:51 WIB 57

https://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=3963 diakses tanggal 28 Okt 2014 jam 8:43

WIB

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

45

Jika proses pemeriksaan dilakukan sesederhana mungkin dengan

catatan bahwa hakim harus tetap jeli dalam memeriksa, maka proses

pemeriksaan akan berjalan dengan cepat, sehingga biaya proses pemeriksaan

akan lebih murah. Hal tersebut yang ditawarkan oleh small claim prcedure.58

Sengketa bisnis yang memiliki nilai gugatan kecil seringkali

diselesaikan menggunakan kesepakatan-kesempatan yang diperoleh melalui

proses non litigasi. Oleh karena bersifat kesepakatan dan dilakukan di luar

pengadilan, maka hasil dari kesepakatan itu tidak mengikat. Namun

penyelesaian sengketa perdata yang bernilai kecil melalui jalur litigasi juga

tidak dapat menyelesaikan masalah. Hal itu desebabkan karena penyelesaian

sengketa melalui jalur litigasi membutuhkan proses yang panjang sehingga

menyebabkan pembengkakan biaya pemeriksaan pula. Selain itu, kegiatan

pemeriksaan perkara dengan cara litigasi juga dapat mengakibatkan bisnis

menjadi terhambat.59

Beberapa negara yang telah menggunakan sistem ini memiliki beberpa

konsep, termasuk tentang pengaturan penggunaan pengacara ketika beracara.

Beberapa negara membolehkan penggunaan jasa pengacara bagi para pihak

yang sedang beperkara, namun ada juga beberapa pengadilan yang

menggunakan sistem small claim procedure ini yang tidak memperbolehkan

para pihak yang sedang beperkara untuk menggunakan jasa pengacara.60

Badan hukum yang kemudian ditunjuk sebagai pengguna sistem small

claim procedure disebut sebagai small claim court. Lee P. Arbetman, Edward

58

Efa Laela Fakhriah, Mekanisme Small Claim Court, h, 260 59

Efa Laela Fakhriah, Mekanisme Small Claim Court, h. 259 60

Arbetman , Lee P. dkk, Street Law: A Course in Practicial Law, (USA: West, 1994), h. 268

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

46

T. McMahon, dan Edward L. O’Brien dalam bukunya yang berjudul Street

Law: A Course in Practicial Law menyebutkan bahwa dalam istilah lain, small

claim court disebut juga dengan istilah “People’s Court”.61

Menurut Efa Laela

yang mengutip dari Steven Weller, John C. Ruhnka, dan John A. Martin ada 5

(lima) komponen utama yang harus dimiliki oleh sistem small claim

procedure, antara lain adalah:

1. pengurangan biaya pengadilan;

2. penyederhanaan proses permohonan atau pengajuan gugatan;

3. prosedur penyelesaian sebagian besar diserahkan kepada kebijaksanaan

hakim pengadilan dengan pembuktian yang sederhana;

4. hakim dan panitera pengadilan diharapkan dapat membantu pihak yang

beperkara, baik dalam persiapan pengajuan gugatan dan pemeriksaan

perkara di pengadilan, sehingga tidak diperlukan perwakilan oleh

pengacara;

5. hakim diberi kewenangan untuk memerintahkan pembayaran secara

langsung atau mellui angsuran.62

Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa tujuan awal penerapan

small claim procedure adalah untuk menfasilitasi bagi para pihak untuk

memohonkan pemeriksaan perkaranya yang tergolong kecil di pengadilan

agama. Oleh sebab itu, ada kriteria-kriteria tertentu bagi perkara yang dapat

diperiksa melalui sistem small claim procedure, antara lain adalah:

1. nilai sengketa atau gugatannya kecil, tidak melebihi Rp. 100.000.000,-

(seratus juta rupiah);

2. permasalahannya tidak kompleks;

3. tuntutan haknya sederhana dan tidak banyak;

4. paling banyak 3 (tiga) kali sidang). 63

61

Arbetman , Lee P. dkk, Street Law: A Course in Practicial Law, h. 268 62

Efa Laela Fakhriah, Mekanisme Small Claim Court, h, 265 63

Efa Laela Fakhriah, Mekanisme Small Claim Court, h, 268

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKAetheses.uin-malang.ac.id/210/6/11210063 Bab 2.pdf · Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa setiap sidang pemeriksaan di pengadilan, termasuk

47

Small claim court di Amerika Serikat menghendaki adanya penentuan

jumlah maksimal nilai sengketa tersebut bergantung pada kebijakan peradilan

masing-masing. Sebagai contoh, jumlah maksimal nilai sengketa di

Pengadilan Distrik Kolombia dan New York adalah sebesar $5,000 atau

sekitar Rp. 55.000.000,-, di Minnesota sebesar $7,500 atau sekitar Rp.

82.500.000,-, dan di beberapa daerah ada yang menetapkan nilai gugatan

maksimalnya sebesar $15,000 atau sekitar Rp. 165.000.000,-.64

Namun

demikian, ketentuan mengenai jumlah maksimal nilai sengketa tersebut dapat

diubah dalam waktu tertentu.65

Hal itu adalah untuk menyesuaikan dengan

keadaan ekonomi sekitar.

64

Ralph Warner, Everybody’s Guide to Small Claim Court, (USA: Nolo, 2006) h. 6 65

www.jud.ct.gov/Publication/CV045.pdf , How Small Claims Court Works, diakses 25

September 2014 Pukul 13:54 WIB.