bab ii hubungan manusia dan alam a. manusia 1....
TRANSCRIPT
15
BAB II
HUBUNGAN MANUSIA DAN ALAM
A. MANUSIA
1. Pengertian Manusia
Secara etimologi kata manusia adalah “mens”, yang artinya:
“sesuatu yang berfikir”. Dalam bahasa Yunani berarti “antropos” yang
pada mulanya mempunyai arti “seseorang yang melihat ke atas”, tapi
kemudian berarti wajah seorang manusia. Manusia disebut juga dengan
istilah “homo”, dalam bahasa latin sesuatu yang hadir di muka bumi.1
Arti kata “homo” di sini memberi dua dimensi tentang manusia.
Pertama, manusia itu makhluk ciptaan yang berarti sama dengan makhluk
ciptaan yang lain. Kedua, manusia lebih utama dari makhluk yang lain,
yakni manusia mempunyai tingkat kehidupan yang lebih tinggi, yaitu
kehidupan spiritual dan intelektual.
Secara terminologi pengertian manusia diberikan oleh Adi
Nugroho, sebagaimana yang dikutip Abu Bakar Muhammad yaitu alam
kecil, sebagian alam besar yang ada di muka Bumi, sebagian dari makhluk
yang bernyawa, sebagian dari bangsa antropomorphen, binatang yang
menyusui dan juga makhluk yang mengerti kealamannya, mengetahui dan
menguasai kekuatan-kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya.2
Selanjutnya Ahmad Daudy, menjelaskan bahwa manusia itu pada
hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur jasad,
akan tetapi roh yang ada dalam dirinya dan selalu mempergunakan jasad
dalam melaksanakan tugasnya.3 Kesatuan itu bisa disebut dengan kesatuan
ruhani, penyatuan antara jasmani dan ruhani yang dimiliki oleh manusia.
1 Save M. Dugun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 7 2 Abu Bakar Muhammad, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut Al-Qur’an,
(Surabaya: Al Ikhlas, tth), hlm. 21 3 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam konsep syekh Nuruddin ar Rariny, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), hlm. 120
16
Itulah yang membedakan dengan makhluk-makhluk lain. Manusia dapat
berbuat dan atau melakukan sesuatu melalui kedua kekuatan tersebut.
Oleh karena manusia mempunyai kelebihan dari makhluk-makhluk
lain, baik dalam aspek jasmani, lebih-lebih dari aspek ruhaniahnya maka
keberadaan manusia begitu kompleks. Sehingga manusia dianggap sebagai
makhluk “multi dimensi”. Dalam arti manusia adalah: homo sapiens,
homo religious, homo ekonomicus, dan lain sebagainya.4
Allah menciptakan manusia dalam keadaan yang paling sempurna
dibandingkan makhluk lainnya, hanya manusialah yang diberikan
kemampuan untuk mengetahui nama-nama benda, juga diberikan ilmu
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh para malaikat. Karena itu Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi.
Secara filsafat, manusia merupakan bagian integral dari sistem
filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau essensi manusia.
Sebagai bagian dari sistem filsafat, secara metodis manusia mempunyai
kedudukan yang kurang lebih setara dengan cabang-cabang filsafat
lainnya, seperti etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika.
Tetapi secara ontologi, manusia mempunyai kedudukan yang relatif lebih
penting karena semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara
pada persoalan asasi mengenai essensi manusia, yang tidak lain
merupakan persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat
manusia.5
Filsafat, memahami manusia sesuai dengan sudut pandang tertentu.
Sebagai contoh berbagai tesis menyebutkan bahwa manusia adalah homo
mechanicus, homo erectus, homo indens yang menitikberatkan kodrat
kejasmaniahannya. Ada juga tesis yang menitikberatkan kodrat
kejiwaannya, homo sapiens, animal rasional, animal sumbolicum. Ada
juga yang menitikberatkan aspek rasa dan karya-karyanya, yaitu homo
4 Syahmin Zaini, Mengenal Manusia Lewat al Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1977),
hlm. 5 5 Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2000), hlm. 3
17
recentis dan homo volens. Tesis-tesis kehewanan ini kemudian menyatu
sebagai homo mensura (makhluk penilai).
Selain kodrat kejasmanian dan kejiwaan, manusia juga merupakan
makhluk sosial, homo economicus dan homo socius. Masih ada beberapa
konsep lainnya yang berhubungan dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk Tuhan dan pribadi mandiri, seperti homo viator dan homo
religious, dan semua tesis tersebut menyatu sebagai homo concers, yaitu
makhluk transformatif dan adatif.6
Pandangan yang beragam semacam ini menandakan bahwa
pembicaraan manusia akan terkait dengan kondisi dimana sang pemberi
definisi tersebut hidup. Dan pembicaraan mengenai manusia tersebut akan
terus berjalan dengan evolusi manusia. Hal ini secara tidak langsung juga
mengisyaratkan bahwa mengadakan penelitian tentang filsafat manusia
bukan suatu pekerjaan yang mudah. Kendati demikian tidak menutup
kemungkinan terhadap upaya-upaya yang terus dilakukan mengenai
manusia sebagai makhluk yang memiliki substansi dan karakter tersendiri.
Manusia tetap merupakan makhluk yang misterius yang secepatnya harus
dikenal sebelum mengenal makhluk lainnya. Pengenalan seperti itu pada
dasarnya adalah pengenalan terhadap kehidupan.7
Jelaslah bahwa manusia itu adalah makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna dan istimewa. Memandang manusia hendaknya dari
beberapa segi yaitu jasmani dan rohani, jiwa dan roh, akal dan pikiran,
sejarah Antropologi , dan sosial kemasyarakatan. Sebab manusia sebagai
salah satunya makhluk yang mampu mengantisipasi suatu perkembangan
beberapa kelebihan yang ada pada diri manusia menjadikannya sebagai
makhluk yang sempurna dan serba lengkap dari segala makhluk lainnya.
6 Muhammad Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan KH. A. Azhar Basyir, MA,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 77 7 Ali Syariati, Humanisme Islam dan Madzhab Barat, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992),
hlm. 38
18
Manusia merupakan makhluk yang berakal budi.8 Sedangkan
menurut istilah yang lain, manusia mempunyai beberapa pengertian,
sebagai contoh para tokoh telah memberikan definisi tentang manusia
antara lain:
1. Hegel (1770-1831) M: manusia pada hakikatnya merupakan
penjelmaan roh (idea mutlak). Hidup adalah merupakan sintesis, yaitu
persatuan antara “lahir” dan “mati “, Manusia berawal dari Ide Mutlak
dan akhirnya akan kembali pada Ide Mutlak.9
2. Feurbach (1804-1872) M: manusia pada hakikatnya adalah benda
(materi) belaka. Kata-kata sinis Feurbach: “Der Menscht. ”Was er Ist”
artinya: “manusia pada inti hakikatnya ditentukan oleh maknanya”
(jadi bukan oleh pikirannya). Hidup bertujuan untuk mempertahankan
kehidupan dengan pemenuhan-pemenuhan yang bersifat material.
Manusia berasal dari benda melalui proses kimiawi dan akhirnya juga
akan kembali pada benda yang dikatakan roh (penggerak kehidupan
pada hakikatnya adalah akibat dari proses kimiawi yang terjadi dalam
organ tubuh manusia seperti paru-paru, jantung, darah dan lain-lain.
Masing-masing berfungsi secara normal, maka timbullah gejala
kehidupan).10
3. Plotinus (204-280) M: manusia adalah hasil dari pancaran The One, To
Hen (Yang Esa). Menurut Plotinus tujuan hidup manusia adalah untuk
mencapai persatuan dengan To Hen. Manusia berasal dari To Hen dan
akhirnya juga akan kembali pada To Hen.11
8 W.J.S. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
hlm. 632 9 Franz Dahler, Yulius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia, (Yogyakarta: Kanisius,
1976), hlm. 31 10 Ibid, hlm. 32 11 Mayer, Frederick, A History of Ancient at Medieval Philosophy, (New York: American
Book Company, 1950), hlm. 332.
19
4. Ernst Cassirer (1874-1945): manusia dimaklumi sebagai makhluk yang
terus-menerus mencari dirinya, makhluk yang setiap saat harus
menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya.12
5. Dilihat dari segi manusia materialis, menurut Whitehead, manusia
dalam arti tertentu merupakan bagian alam, unsur-unsur alami terdapat
dalam diri manusia. Hukum alam dalam arti tertentu juga berlaku
untuk manusia.13
Dalam abad-abad pertama sejarah filsafat nampak adanya
perbedaan faham teori yang paling memotong dalam masalah tersebut,
namun setidak-tidaknya terdapat suatu orientasi yang mampu
mengkaitkan setiap faham itu. Seperti kita ketahui bagi Plato misalnya,
manusia adalah suatu makhluk Ilahi. Plato menganggap manusia hidup
dalam suatu dunia yang abadi, di “awang-awang”, sebelum jatuh ke dalam
suatu badan yang mati. Akan tetapi bagi Epicurus dan Lukritius
sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa manusia adalah makhluk hidup
yang berumur pendek, lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa.
Lain halnya Descartes, ia menggambarkan manusia terbentuk dari
bahan yang terpisah, yaitu jiwa dan badan. Descartes juga berfikir bahwa
kebebasan manusia dalam beberapa segi sama dengan kebebasan Tuhan.
Spinoza beranggapan lain bahwa manusia hanyalah suatu cara atau
bayangan saja, tanpa konsistensi pribadi dari substansi Ilahi.
Menurut Voltaire manusia pada hakikatnya tidak berbeda dengan
binatang-binatang yang berkembang dalam disiplin ilmu hayat. Berbeda
dengan Hobes yang hidup dalam pergolakan zaman, ia berpendapat,
dilihat dsari gerak-geriknya manusia itu bersifat agresif dan jahat. Sedang
Rousseau menganggap manusia adalah makhluk yang baik menurut
kodratnya.14
12 Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai tentang Manusia,
diterjemahkan oleh Aloes A. Nugroho, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 10 13J. Sudasrminta, Filsafat Proses A.N. Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 60 14 Louis Leahy, op. cit., hlm. 3
20
Begitu juga pendapat yang dikemukakan Darwin dalam bukunya
“The Descent of Man” (asal-usul manusia), ia menerapkan teorinya dalam
perkembangan binatang-binatang menuju manusia. Binatang-binatang
yang paling maju, yaitu kera, dengan mengalami proses Struggle of Life,
sedikit demi sedikit berubah, dan dalam yang paling sempurna mengarah
menuju wujud kemanusiaan.15
Dalam hal ini ilmu Mantiq menyimpulkan: manusia adalah hewan
yang berpikir. Seperti apa yang disimpulkan oleh Darling bahwa manusia
adalah hewan tukang bertanya.16 Dengan demikian hubungan antara tanya
dan fikir itu sangat erat sekali sebagaimana orang yang sedang menikmati
keindahan alam yang diciptakan Tuhan. Lantaran ia berpikir tentang
manusia dan pada hakikatnya dia sedang bertanya sesuatu, hanya saja
yang bertanya dan yang ditanya adalah satu yaitu dirinya sendiri
2. Proses Penciptaan Manusia
Dalam kitabnya al-Madhnûn al-Shaghîr dan Mi’râjus Sâlikhîn
yang dikutip oleh Abidin Ibn Rusn, al-Ghazali menjelaskan pertemuan
antara dua unsur pembentuk manusia-sebagai proses kejadiannya- yaitu
nafs dan nuthfah (sel benih). Menurutnya, nafs atau jiwa diciptakan
ketika sel benih (nuthfah) telah memenuhi persyaratan untuk
menerimanya. Kata nuthfah disini bukanlah sel benih pada sperma laki-
laki saja, melainkan sel benih yang telah menyatu dengan sel telur wanita
pada rahimnya. Pada saat tertentu, nuthfah mempunyai kesiapan untuk
menerima jiwa, dan kondisi memenuhi syarat untuk menerima jiwa ini
disebutnya al istiwa’. Proses ini sesuai dengan firman Allah sebagai
berikut:
15 Franz Dahler, Yulia Chandra, op. cit., hlm 23 16 H. Endang Saifuddin Anshori, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979),
hlm. 15
21
ن وونسإ ممح ال منلصص ا منرشب القى خلائكة إنللم كبإذقال ر) 29(له ساجدين فإذاسويته ونفخت من روحي فقعوا) 28( )29- 28:أحلجر(
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepaada paara malaikat, sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya ddan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. Al Hijr: 28-29).17
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pandangan al Ghazali
mengenai terciptanya manusia, ia terbentuk dari dua unsur yang sifatnya
berbeda yakni: bentuk luar yang disebut jasad dan wujud dalam yang
disebut hati atau ruh.
Akan tetapi, walaupun kedua unsur tersebut mempunyai sifat yang
berbeda, dalam membentuk makhluk sempurna, manusia, keduanya
berhubungan erat, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan, dan hubungan itu bersifat khusûsi. Artinya, satu unsur tidak
berada di jasad juga tidak diluarnya, tidak terpisah dan juga tidak
menyatu, tetapi keduanya saling membutuhkan. Hal ini dijelaskan al
Ghazali sebagaimana yang telah dikutip oleh Abadin Ibn Rusn adalah
sebagai berikut:
“Maka hatilah yang mengetahui Allah. Dialah yang mendekati Allah. Dialah yang bekerja karena Allah. Dialah yang berjalan karena Allah. Dan dialah yaang membuka apa yang disisi Allah dan yang ada padaNya. Dan sesungguhnya anggota badan itu adalah pengikut, pelayan dan alat yang dipergunakan oleh hati dan yang dipakainya. Laksana pemilik memakai budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya dan pekerja bagi perkakasnya.”18
Mengenai hubungan antara kedua unsur manusia itu akan menjadi
lebih jelas lagi kalau kita membaca uraian al Ghazali tentang Junûdul
17 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1976), hlm. 393 18 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran al Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 34.
22
Qalbi (pasukan hati). Menurutnya, bahwa hati mempunyai dua macam
pasukan. Pertama, pasukan yang tampak, yang meliputi: tangan, kaki,
mata, dan seluruh organ tubuh. Semuanya itu mengabdi dan tunduk
kepada perintah hati. Inilah yang disebut sebagai pengetahuan. Kedua,
pasukan yang ada kaitannya dengan yang dapat menentukan perbedaan
antara manusia dan binatang, karena mempunyai dasar yang lebih halus,
terutama beberapa bagian dari pasukannya seperti syaraf dan otak. Inilah
yang disebut kemauan. Kedua pasukan hati yakni (pengetahuan dan
kemauan) inilah yang tidak hanya membedakan manusia dari binatang
tetapi juga membedakan antara orang dewasa dan anak-anak.19
Selain itu, fenomena penciptaan itu terjadi sesuai dengan uraian
yang ada dalam al Qur’an dan akan membawa arti sangat penting bagi
orang-orang yang berakal.20
Menurut Harun Yahya dalam penciptaan manusia terkandung
berbagai informasi bagi mereka yang ‘arif dan berakal sehat, yang
menunjukkan kepada mereka bagaimana “mereka diciptakan” dan
keajaiban penciptaan ini.
Kisah penciptaan manusia berawal di dua tempat yang saling
berjauhan. Manusia menapaki kehidupan melalui pertemuan dua zat
terpisah di dalam tubuh lelaki dan perempuan, yang diciptakan saling
terpisah namun sangat selaras. Jelas, sperma di dalam tubuh lelaki tidak
dihasilkan atas kehendak dan kendali lelaki tersebut, sebagaimana sel telur
di dalam tubuh perempuan tidak terbentuk atas kehendak dan kendali
perempuan tersebut. Sesungguhnya, mereka bahkan tidak menyadari
pembentukan sel-sel ini.
ءأنتم )58(أفرءيتم ما تمنون ) 57(نحن خلقنا كم فلولاتصدقون ) 59- 57: ألواقعة) (59(تخلقونه أم نحن الخالقون
19 Ibid. 20 Harun Yahya, Menyingkap Rahasia Alam Semesta, (Bandung: Dzikra, 2004), hlm. 46
23
“Kami telah ciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit) maka terangkanlah kapadaku tentang nuthfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya. (QS, Al Waqi’ah, 56: 57-59).21
Jelaslah bahwa kedua zat tersebut, yang berasal dari lelaki dan
perempuan, diciptakan sangat bersesuaian. Penciptaan kedua zat ini,
pertemuan antara keduanya, dan perubahannya menjadi manusia
sungguhlah suatu keajaiban besar.22
Seluruh kosmos sering kali dilukiskan sebagai lingkaran yang
terdiri atau dua busur (qaws), Busur Turun dan Busur Naik. Puncak
lingkaran itu sama dengan akal pertama, sementara dasarnya sesuai
dengan tubuh lahiriah manusia. Manusia sebagai manusia mulai naik dari
titik dasar lingkaran jika mereka sampai pada akhir perjalanan mereka,
mereka bergabung dengan Akal Aktif, yang identik dengan akal
pertama.23
Ada dua perbedaan mendasar antara manusia dengan semua
makhluk lainnya. Yang pertama adalah bahwa manusia merupakan
totalitas, sementara makhluk-makhluk lainnya adalah bagian dari totalitas.
Manusia memanifestasikan seluruh sifat makrokosmos, sementara
makhluk-makhluk lainnya memanifestasikan sebagian sifat dengan
mengesampingkan yang lainnya. Manusia diciptakan dalam citra Allah,
sementara makhluk-makhluk lainnya hanyalah sebagian bentuk dan
konfigurasi kualitas-kualitas Allah.24
Hakikat utama manusia tidak diketahui. Mereka harus mengalami
proses yang bisa membantu mereka menjadi apa yang seharusnya. Pada
mulanya, semua manusia memiliki potensialitas tak terbatas yang sama
karena mereka adalah bentuk bentuk Ilahi. Nasib utama dari setiap
21Soenarjo dkk, op. cit., hlm. 895 22 Ibid. 23 Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 66
24 Ibid. hlm. 71
24
manusia “dibatasi“ hanya oleh sumber bentuk Ilahi, yakni bahwa manusia
didefinisikan oleh fakta bahwa mereka terbuka lebar-lebar menuju Zat
Maha Tak Terbatas.25
Kemudian Allah mulai menciptakan seorang khalifah atau wakil
bagi diriNya dari tanah liat kering. Dan kemudian ia tiupkan sebagian dari
ruh-Nya sendiri pada acuan tanah liat itu dan kemudian lahirlah manusia.
Manusia tersebut lahir dari dua hakikat yang berbeda; tanah bumi dan ruh
suci dalam bahasa manusia, simbol kerendahan dan kenistaan dan
kekotoran adalah lumpur. Dan tidak ada suatu apapun di dalam alam yang
lebih rendah dan hina dari pada lumpur, dari mana manusia telah
diciptakan.26
Evolusi manusia memang berbeda daripada evolusi hewan atau
organisme-organisme lain yang lebih rendah. Kalau sebelum manusia
evolusi itu bersifat biologis atau genetis, maka dalam perkembangan
manusia medan evolusi yang utama adalah mental dan sosial, atau kulturil.
Sejak munculnya manusia-manusia Cro Magnon, kira-kira 30.000 tahun
yang lalu, dapatlah dikatakan bahwa bentuk dasar tubuh manusia tidak
banyak mengalami perubahan lagi. Misalnya dalam hal isi otak, volume
sekitar 1500 cm³ kurang lebih tetap dipertahankan hingga sekarang.27
Demikianlah, yang menjadikan manusia makhluk dominan di bumi
ini bukanlah sifat-sifat jasmaninya, melainkan penemuannya dan
penggarapannyia terhadap suatu evolusi yag lain dari yang ditempuh
hewan. Manusia mampu menyesuaikan lingkungannya, yaitu alam, demi
mendukung hidupnya.28
Begitulah Adam beserta anak cucunya yang dilebihkan oleh Allah
dari kebanyakan makhluk-makhluk cipataan-Nya, akan tetapi
keberadaannya di dunia penuh rintangan dan ujian dalam menghadapi
25 ibid. 26Ali Syariati, Tugas Cendikiawan Muslim, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994),
hlm. 7 27 Franz Dahler, Julius Chandra, op. cit. hlm. 87 28 Ibid.
25
kemelut perkembangan duniawi yang semakin menggelitik nafsu dan hati,
disebarluaskan oleh Syaithân di setiap pelosok penjuru dunia.29
Penciptaan langsung dari tidak ada tidak akan menimbulkan akibat
perubahan pada dzat Allah karena irâdah Allah yang kadim memang
menghendaki adanya penciptaan yang seperti itu. Dengan irâdah yang
qadîm itu, demikian pernyataan Imam al Ghazali, Allah dapat menentukan
waktu dimana Allah akan menjadikan atau tidak menjadikan alam ini, dan
sesuai dengan ketentuan itu, alam ini ada atau tidak ada.30
3. Unsur-unsur Pengetahuan Manusia
Di dalam filsafat, pembahasan tentang pengetahuan manusia tidak
kurang pentingnya dari pada pembahasan tentang perbuatan manusia.
Pembahasan demikian disebut epistemologi. Membahas pengetahuan
menjadi penting karena, pengetahuan adalah hasil aktivitas substansi
esensial manusia. Pengetahuan juga penting karena, ia merupakan
keharusan yang mengawali perbuatan. Perbuatan tidak dapat dibayangkan
terwujud tanpa didahului oleh pengetahuan, baik pengetahuan dipandang
sebagai sebab maupun sebagai kondisi.31
Kalau menurut al Ghazali di dalam Ma’ârij al Quds menjelaskan
arti mengetahui (al Idrâk) sebagai menangkap contoh (misal) realitas
objektif. Bukan realitas objektifnya yang ditangkap, karena realitas
objektif tidak mungkin berpindah ke dalam daya tangkap manusia.
Kalaupun dikatakan yang ditangkap itu realitas, ia harus dibedakan dari
realitas objektif; ia adalah subjektif. Karena itu, yang dinamakan al
mahsûs (hasil tangkapan indera manusia) bukanlah objek yang ada di luar
manusia, melainkan gambar objek itu. Demikian juga yang di sebut al
ma’qûl (hasil tangkapan akal) bukan objek di luar akal, melainkan hakikat
29 Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), hlm. 7 30 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsep Syekh Nuruddin ar Rariny, (Jakarta:
Rajawali Press, 1983), hlm. 120 31 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut al Ghazali, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999), hlm. 135
26
objek itu setelah diabstraksi dari segala aksidens dan atribut-atribut
tambahan lainnya. Hasil tangkapan indera lebih sederhana dari pada hasil
tangkapan akal. Ini berarti bahwa pengetahuan tentang sesuatu bukanlah
sesuatu yang diketahui itu. Kegiatan mengetahui melibatkan tiga hal,
yaitu: subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan pengetahuan
(realitas subjektif).
Kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu objek dalam
wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens dan atribut-atribut
tambahan yang menyelubungi hakikatnya. Ketika subjek berhubungan
dengan objek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran
(qadar), cara ( kayf), tempat dan situasi.32
Dengan adanya al-dzauq, akal tidaklah hilang dari sarana
pengetahuan. Kedudukan akal dibatasi pada kegiatan menangkap
pengetahuan dengan jalan berpikir dan kelihatannya, objeknya dibatasi
pada pengetahuan yang berkaitan dengan fenomena.33
Menurut Ibn Sina (w. 1037), sebagaimana dikutip oleh Mehdi
Ha’iri Yazdi, bahwa dalam analisisnya yang terkenal mengenai “emanasi”
(Qâ’idah al –Wâhid), adalah sementara Akal Aktif tetap berada dalam
tatanan wujud yaag terpisah-transenden, tak berubah, dan mutlak tak
terusakkan- ia memunculkan dalam pikiran manusia semua bentuk
pengetahuan dari potensialitas total menjadi aktualitas gradual. Dalam
komentarnya mengenai Surat an-Nur dalam al Qur’an, dan analisisnya
mengenai simbolisme ayat ini, Ibnu Sina menyatakan sebagaimana yang
telah dikutip oleh Mehdi Ha’iri Yazdi:
“Diantara kemampuan-kemampuan (intelektual) jiwa menyangkut kebutuhan(nya) untuk mentransendensi substansinya (dari akal potensial) ke akal aktual adalah (sebagai berikut): pertama, kemampuan reseptivitas (Quwwat al isti’dâdiyyah) ke arah hal-hal bisa terpahami yang disebut oleh sebagian filosof sebagai akal ketika wujud-wujud terpahami yang disebut oleh sebagian filosof sebagai akal material. Ini adalah ceruk (misykât) (cahaya-cahaya).
32 Ibid, hlm. 136 , Dan untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam kitab Ma’âriju al Quds fi
Madâriji al Ma’rifat al Nafs karya al Ghazali, (Kairo: Maktabat al Jundi, 1968) 33 Ibid hlm. 160
27
Selanjutnya adalah kemampuan lain yang diperoleh oleh akal ketika wujud-wujud terpahami primer muncul di dalamnya. Munculnya wujud-wujud primer ini merupakan landasan yang di atasnya wujud-wujud sekunder bisa didapatkan (proses pemerolehan ini) dimunculkan entah melalui kontemplasi, yang disebut pohon zaitun, jika pikiran tidak cukup tajam, atau dengan dugaan yang disebut bahan bakar (minyak dari pohon zaitun), jika pikiran benar-benar cerdik (dalam hal yang manapun) kemampuan yang disebut akal habitual ini sama transparannya dengan kaca. Kemuliaan tertinggi dari kemampuan ini adalah kemampuan Ilahi yang minyaknya seolah-olah menyala sendiri tanpa disentuh api. Kemudian, datanglah kepada akal itu suatu kekuatan dan kesempurna: kesempurnaan ini sangat penting bagi kemampuan untuk mencerap hal-hal yang terpahami dalam suatu aksi yang sedemikian rupa sehingga pikiran bisa mencerap mereka selagi tergambar dalam pikiran. Ini adalah cahaya diatas cahaya.
Dalam analisis ini, sebagaimana yang dinyatakan dengan jelas,
fokus penafsirannya adalah membebaskan pikiran manusia sepenuhnya
dari pemilikan aktivitas inisial jenis apa pun dengan menisbatkan semua
operasi intelektual kepada Akal Aktif yang terpisah itu. Ibnu Sina, dalam
mengutip ungkapan Al-Quran menyebut akal yang terpisah ini sebagai
“api” (nar).34
Menurut Fritjof Capra, dalam paradigma lama deskripsi-deskripsi
ilmiah mengenai epistemologi atau sumber ilmu pengetahuan dipercayai
bersifat objektif, yakni bebas dari pengamatnya dan dari proses
mengetahui. Dalam paradigma baru dipercayai bahwa epistemologi,
pemahaman atas proses pengetahuan, harus tercakup secara eksplisit
dalam pemaparan fenomena alamiah.35
Sedangkan fenomelogi merupakan tuntutan terhadap pengetahuan
subjektif untuk menetapkan kondisi dan posisi pengetahuan manusia ke
arah pengetahuan yang objektif.36 Salah satu tokoh filsafat Jerman,
34 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri: Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, tth), hlm. 35-36 35Frithjof Capra, Menyatu dengan Semesta; Menyingkap Batas antara Sains dan
Spriualitas, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 1999) 36 Elan Priatna, Emansipasi Intelektual menurut Jurgen Habermas, (Bandung: Katarsis,
2003), hlm. 50
28
Habermas, menilai bahwa fenomenologi lebih mengukuhkan dasar yang
kuat bagi terciptanya emansipasi intelektual manusia. Karena
fenemenologi lebih memandang dunia (labenswelt) sebagai objek yag
harus dipahami dan harus terlibat menjadi stimulus yang mempengaruhi
setiap keputusan manusia. Artinya, secara mendasar suatu kemampuan
‘mengetahui’ yang dilakukan manusia (capable before trusting), pastilah
diperoleh melalui kesadaran akan keterlibatan dunianya. Dia menegaskan,
“hanya menurut dasar kriteria yang dapat dipercaya, kesahihan keputusan
kita dapat ditentukan; apakah kita yakin dengan pengetahuan kita? jika
‘kritik tersebut dengan sendirinya harus mengklaim diri menjadi sebuah
pengetahuan-yang semata-mata- transenden, sejauh manakah kemampuan
kognitif itu dapat dikatakan kritis?”
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa tidak mungkin
pengetahuan manusia diperoleh hanya melalui berbagai pengetahuan
pikiran. Lebih dari itu, pengalaman pengetahuan manusia juga diperoleh
melalui penilaian terhadap dunia dan lingkungan sosialnya. Pada posisi
ini, Habermas mengkritik keterbatasan epistemologi Kant.37
Secara umum, pengetahuan manusia, menurut Bouyer, bermula
dari suatu kebangkitan kognisi yang diterima secara luas dan umum, yang
dapat disebut sebagai “pengetahuan awal mengenai realitas kosmis” (the
initial knowledge of cosmic reality). Pengetahuan ini mengalami
perkembangan dalam beberapa tahap. Tahap pertama pengetahuan ini
adalah pengetahuan mitis yang berkembang dari akar pengalaman
individual dan dan kolektif akan dunia (atau lebih tepatnya, dari
pengalaman individual dalam komunitas manusia). Pengetahuan mitis ini
kemudian disaring oleh logos lewat penalaran diskursif. Selanjutnya lewat
pergeseran misterius yang mencakup baik mitos maupun logos, muncul
pengetahuan atas dasar pewahyuan.38
37 Ibid hlm. 52 38Thomas Hidya Tjaya, Kosmos: Tanda Keagungan Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),
hlm. 29
29
Menurut Bouyer, meskipun pengetahuan wahyu dan sains
berkembang secara terpisah dari penngetahuan mitis, keduanya selalu
melekat pada yang terakhir ini. Atas dasar mitoslah pengetahuan sains dan
wahyu membuka diri, masing-masing melalui akal budi kritis dan inspirasi
misterius. Keduanya mengubah kesadaran kita akan dunia dan sekaligus
kesadaran kita sebagai pengada-pengada di dunia. Akan tetapi, tidak
satupun dari keduanya yang dapat secara total mengabaikan kesadaran
mitis tanpa mengalami perpecahan (disintegrasi).39
Semua pengetahuan manusia mengenai realitas, baik yang berupa
mitos, sains, maupun wahyu, menurut Bouyer, memiliki beberapa sifat.
Pertama, pengetahuan manusia, selain bersifat individual, juga bersifat
sosial yang dinyatakan dalam bentuk tradisi. Kedua, pengetahuan di
peroleh manusia lewat kerja sinergis indra-indra dan akal budinya. Ketiga,
pengetahuan manusia mengalami proses sintetis terus-menerus sehingga
manusia semakin memahami dunia sebagai satu kesatuan yang utuh.
Keempat, pengetahuan manusia pada dasarnya bersifat simbolis, dalam
arti bahwa pengetahuan itu memusatkan diri pada salah satu aspek dari
realitas yang menarik perhatian manusia.40
B. ALAM
1. Pengertian Alam
Kosmos dalam bahasa Yunani adalah mengungkapkan gagasan
tentang keteraturan harmoni dan keadilan sebagai lawan chaos.
Pengkajian kosmos adalah tentang keteraturan dan keselerasan alam
semesta dengan segala isinya termasuk tata surya galaksi antara satu dan
lainnya. Kosmos kemudian menjadi cabang ilmu bernama kosmologi yang
memandang alam semesta sebagai keseluruhan yang integral. Ilmu ini
berupaya membuat hipotesis mengenai asal, ciri khas dan perkembangan
alam secara fisik berdasarkan pengamatan dan metode ilmiah. Secara
39 Ibid. 40 Ibid.
30
umum pembicaraan yang dikembangkan dalam kosmologi adalah
mempelajari sifat, asal muasal dan evolusi alam semesta. Menurut
Poedjawijatna, kosmologi juga termasuk bagian filsafat alam yang di
dalamnya membicarakan inti alam, isi alam, hubungan satu-sama lain dan
keberadaannya dengan yang “ada Mutlak”.
Sebelum nama ‘kosmologi’ muncul, Aristoteles (384-322)
menyebutnya dengan “fisika”. Filsafat skolastik memakainya dengan
nama ‘filsafat alam’ (philosophia naturalis). Untuk pertama kalinya
‘kosmologi’ digunakan oleh Christian Wolff (1679-1754) pada tahun
1731. Ia mendefinisikan ‘kosmologi’ sebagai ilmu tentang dunia atau alam
semesta pada umumnya yang berbeda dan ontologi, teologi atau psikologi.
Akhir-akhir ini nama kosmologi dipergunakan dalam rangka ilmu-ilmu
empiris, untuk menunjukkan ilmu mengenai evolusi kosmis.
Dalam bahasa Indonesia istilah alam merupakan unsur serapan
dari bahasa Arab, ‘âlam. Kata alam dalam al Qur’an hanya datang dalam
bentuk jamak ‘âlamin, yang disebut sebanyak 26 kali dalam 17 surat. Kata
‘âlamin dari makhluk Tuhan yang berakal atau yang memiliki sifat-sifat
makhluk yang berada. Karena itu dikenal alam malaikat, alam manusia,
alam jin, alam tumbuhan dan sebagainya. Sebaliknya tidak dikenal istilah
alam batu dan alam tanah, karena tidak memenuhi kriteria tersebut.
Sementara kata ‘âlam dalam arti dunia atau kosmos didefinisikan sebagai
“segala sesuatu selain Allah”.
Istilah alam semesta sendiri direkam dalam al Qur’an dengan
sebutan al Samâwât wa al Ardl wa mâ bainahumâ (langit dan bumi dan
segala isinya). Istilah ini ditemukan dalam al Qur’an sebanyak 18 kali
yang tergelar dalam 15 surat.
Seperti dinyatakan dalam al Qur’an bahwa Allah sebagai pencipta
segala sesuatu sedang bagaimana dia menciptakan tidak banyak
diterangkan kecuali pokoknya saja. Bagaimana Allah menciptakan adalah
tugas manusia untuk meneliti dengan akalnya. Manusia dengan segenap
kemampuan diberi kebebasan melakukan penyelidikan dengan panca
31
indera dan kecerdikan akalnya. Sehubungan dengan keharusan manusia
mengenal alam dengan baik, maka Allah SWT memerintahkan dalam ayat
101 Surat Yunus:
قل انظرواماذافي السموات والأرض وماتغني األيت والنذرعن قوم )101:يونس(لايؤ منون
Artinya: “Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa'at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".41
Ilmu tentang alam adalah ilmu kuantitatif, seperti halnya sains
pada umumnya. Seluruh kenyataan diterangkan secara materialistik.
Selain observasi dan pengamatan unsur penting dalam fisika adalah
analisis dari berbagai pengukuran besaran fisis yang dilakukan dengan
proses pemikiran kritis untuk mencapai hasil rasional.
Dengan mengasumsikan bahwa asal-mula alam fisik adalah sebuah
“ledakan” kosmologis, berarti tidak ada kesulitan juga untuk
mengasumsikan bahwa tempat supernatural ledakan tersebut tetap menjadi
pusat ruang. Selanjutnya alam raya akan memiliki bentuk tempurung
spiral yaang terletak diantara dua kekosongan, yang satu “interior” dan
yang “eksterior”.
“Momen” ilahi terjadi seperti kristalisasi langsung larutan kimia
super jenuh, mengikuti kecenderungan wujud untuk mengada dengan
“meluber”. Dan hanya setelah perintah penciptaan “jadilah” (kun: dalam
bahasa al Qur’an) muncul penciptaan secara “inkarnasi”, dalam
gelombang yang susul-menyusul, sekaligus melalui “emanasi” dan
penciptaan ex nihilo, bukan dari substansi yang sudah ada sebelumnya.42
Para ahli astronomi menggunakan istilah alam semesta dalam
pengertian tentang ruang angkasa dan benda benda langit yag ada di
41 Soenarjo dkk, op. cit. hlm. 322 42 Frithjof Schuon, “Roots of The Human Condition”, (Terj.) Ahmad Norma Permata,
Hakikat Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 35
32
dalamnya. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal budi dan
sebagai penghuni alam semesta selalu tergoda oleh rasa ingin tahunya
untuk mencari penjelasan tentang makna dari hal hal yang diamati.43
2. Proses Penciptaan Alam
Pandangan tentang proses jagad raya adalah menjadi topik sentral
yang dikemukakan oleh para kosmolog sejak masa klasik hingga modern.
Berbagai pendapat tersebut hingga kini terbagi menjadi beberapa poros
berbeda. Pertama, dari kaum Stoa yang menyatakan bahwa di dalam
wujud ini yang ada hanyalah materi. Tiap-tiap wujud tersusun dari dua
unsur, pasif dan aktif. Unsur aktif adalah kekuatan yang memberi gerak
dan semua bentuk pada materi. Kekuatan tersebut adalah api, lalu api
bergerak dan sebagian berubah jadi udara, sebagian berubah jadi air dan
sebagian lagi berubah jadi debu. Segala sesuatu akan kembali menjadi api
dan kembali lagi seperti semula. Tuhan adalah alam itu sendiri dan alam
ini adalah jasad Tuhan.44
Kedua, para ahli kosmos kuno menganggap bahwa alam bagaikan
bulatan (bola) raksasa. Berpusat di bumi dan sekitarnya hingga ke orbit
bulan sebagai batas alam bumi. Sedang apa yang berada di atas bulan
sampai kebulatan langit. Pertama adalah alam langit. Pandangan ini
dikemukakan aoleh Aristoteles (384-322 SM)45. Bola raksasa sebagai
tempat menempelnya bintang-bintang disebut langit dengan putarannya
selama 24 jam.46
Pendapat lain(ketiga) bahwa alam ini diciptakan Tuhan baru
muncul pada aliran Neo-Platonisme yang menggambarkan alam sebagai
limpahan Dzat-Nya. yang pertama keluar ialah akal yag menarik dua
fungsi yakni memikirkan Tuhan dan dirinya. Dari akal tersebut keluarlah
jiwa alam dan memunculkan jiwa-jiwa manusia dan tabiat. Jiwa alam ini
43 Heri Purnama, Ilmu Alamiah Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm 129 44 Syekh Nadim, Para Pencari Tuhan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 49 45 Achmad Fuad al Ahwani, Filsafat Islam, (terj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm.
146 46 Ahmad Baiquni, Al Quran dan Ilmu pengetahuan Kealaman, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 79
33
termasuk dalam alam ruhani dan dekat dengan alam inderawi. Ia mejadi
perantara antara alam inderawi dan akal.47
Keempat, pandangan yang menyatakan bahwa alam semesta
dimanapun dan bagaimanapun selalu sama. Berdasarkan prinsip tersebut,
alam semesta terjadi pada suatu saat tertentu yang telah lalu dan segala
sesuatu selalu tetap sama, walaupun galaksi saling bergerak menjauhi satu
sama lain. Teori ini ditunjang oleh kenyataan bahwa galaksi baru
mempunyai jumlah yang sebanding dengan galaksi lama. Dengan
demikian teori ini secara ringkas menyatakan bahwa tiap-tiap galaksi lahir,
tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati.48
Kelima, pada abad 17, Isaac Newton (1642-1727) berpendirian
bahwa keadaan alam semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga
tuanya (tanpa awal dan tanpa akhir). Disebut tidak terbatas dan besarnya
tak terhingga, sebab kalau ia terbatas, bintang dan galaksi yang ada di tepi
akan merasakan gaya tarik grafitasi dari satu sisi saja, yaitu ke arah pusat
alam semesta, sehingga lama kelamaan benda-benda langit tersebut akan
mengumpul pada satu titik. Namun kecenderungan semacam itu tidak
pernah nampak pada pengamatan.49
Pendapat terakhir (keenam) muncul kemudian pada tahun 1927,
George Lemaitre (1894-1966) untuk pertama kalinya merumuskan teori
“big bang” (BB) yang kemudian didukung George Gamao (1904-1968)
dengan dasar pembuktian nyata pada tahun 1948.50 teori ini menjadi
pegangan penting menjelaskan asal usul universum. Bahwa unversum lahir
dari suatu ledakan dahsyat 150 milyar tahun lalu yang berasal dari materi
dalam keadaan superkerapatan dan superpanas.
Sampai sekarang dalam menjelaskan kejadian alam semesta, para
kosmolog masih berpegangan pada teori “BB”. Pecahan inilah yang akan
47 Syekh Nadim, op cit, hlm. 52 48 Heri Purnama, op cit, hlm. 130 49 Ahmad Baiquni, op cit, hlm. 207 50 Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al Qur’an,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 145
34
menjadi bintang-bintang dan galaksi. Karena pemuaian alam, galaksi
bergerrak saling menjauhi dan akan terus bergerak. Pandngan ini diperkuat
oleh observasi radio-astronomi Arno Penzias (L. 1933) pemenang nobel
1978 dan Robert Wilson (L 1936) pada tahun 1964 mengungkapakan
adanya gelombang mikro yang meluncur ke bumi dari segala penjuru alam
yang tersisa dari peristiwa “BB” pada saat yang sama Bob Dicke (L 1916)
menemukan gelombang radiasi serupa kilatan peninggalan era “BB” yang
terdeteksi melalui radiasi gelombang mikro bersuhu -2700 C yang sampai
saat ini membanjiri kosmos.51
Sedangkan dalam al Qur’an, berkenaan dengan sains sekarang ini,
yang mana telah dikaji oleh para ilmuan, mereka telah dapat
mengidentifikasi enam tahap proses alam semeta sebagaimana
diillustrasikan oleh al Qur’an sendiri, yaitu:
Tahap pertama, sejak penciptaan sampai suhu kosmos menjadi
seratus juta-juta-juta-juta-juta derajat. Dalam tahap ini seluruh kosmos
yang terdiri dari ruang, materi, dan radiasi telah ditentukan interaksinya,
sifat serta kelakuannya.
Tahap kedua, sejak berakhirnya tahap pertama sampai suhu
kosmos turun hingga mencapai seratus ribu juta derajat. Kerapatan materi
dalam alam semesta adalah empat juga ton tiap liter. Dalam tahap ini
bahan penyusun nuklir yaitu penyusun inti-inti atom telah tertentu
jumlahnya.
Tahap ketiga, sejak berakhirnya tahap kedua sampai suhu kosmos
tinggal seribu juta derajat dan kerapatan materinya tinggal dua puluh kilo
gram tiiap liter. Dalam tahap ini muatan kelissstrikan di alam semesta
telah diitetapkan.
Tahap keempat, sejak berakhirnya tahap ketiga sampai suhu
kosmos beradda dibawah seeratus juta deerajat. Kerapatan materinya
tinggal sepersepuluh kilo gram tiiap liiiter. Dalam tahap ini telah dimuali
penyusunan inti-inti atom, kecuali itu, pada waktu itu kemungkinan
51 Sirajuddin Zar, Menafsirkan Kembali Kosmologi al Qur’an, op. cit. hlm. 54
35
terjadinya pengelomkpokan –pengelompokan materi, ssebagai akibat dari
adanay ketidak seragaman lokal, yag nantinya akan berevolusi menjadi
galaksi-galasksi.
Tahap kelima, sejak berakhirnya tahap keempat smapai mulainya
terbentuk atom-atom, sehingga elektron bebas dalam kosmos menjadi
sangat berkurang jumlahnya. Dalam tahap ini cahaya mengisi seluruh
ruang kosmos.
Tahap keenam, ketika kabut materi yang terdiri dari atom atom
mulai mengumpul dan membentuk bintang-bintang dan galaksi. Diantara
bintagn-bintang ini terdapat matahari yang diputari oleh bumi dan planet-
planet.52
3. Unsur-unsur dan Hukum Alam
Ide tentang atom sebagai struktur yang rijid (kaku), memenuhi
ruang, seperti yang telah kita lihat, menghadapi kesulitan segera sesudah
usaha dilakukan untuk menggambarkan proses pertubrukan, selaras
dengan hipotesis fundamental dan hukum mekanis. Daya yang diperlukan
untuk mendorong atom-atom terpisah setelah bertubrukan, tidak dapat
dideduksikan dari konsep Substansi sebagai sesuatu yang menempati
ruuang, atau dari sifatnya yang tidak tertembus.53
Segala bentuk yang tidak berubah, yang dianggap sebagai dasar
semua perubahan dalam alam-wahana yang identik dengan dirinya sendiri
dengan ciri khas yang dapat berubah dari semua badan yang dapat dicapai
oleh persepsi indera, dikenal sebagai Substansi. Kini, entitas apa yang
identik dengan dirinya sendiri, dan konsep apa yang diperlukan untuk
membentuknya? Setiap penunjukkan yang lebih dekat lagi-lagi hanyalah
pernyataan tentang atribut. Oleh karena itu, jika dikehendaki bahwa
substansi itu seharusnya bukan merupakan sesuatu yag merupakan
ketidakmampuan tampil intuitif dan yang tidak dapat dispesifikasikan
lebih jauh dan yang seharusnya tetap tidak hanya sebagai postulat, titik
52 Muh. Nur Ichwan, Tafsir ‘Ilmi: Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004), hlm. 200-201
53 Ibid, hlm. 129
36
perhentian akhir pengetahuan, namun seharusnya merupakan sarana riil
untuk menjelaskan sesuatu, maka esensial untuk menspesifikasikan unsur
fundamentalnya. Karena secara jelas, sesuatu yang unsurnya tidak
diketahui tidak dapat digunakan untuk penjelasan. Selain itu, unsur atau
atribut ini harus bersifat tidak berubah, konstan, dan identik dengan
dirinya sendiri, karena fungsinya adalah untuk mengungkapkan hakikat
Substansi.54
Kemudian apa yang tetap tidak berubah? Para filsuf Yunani,
Leucippus dan Democritus, setelah terpaksa melepaskan semua kualitas
inderawi “subjektif” seperti merah, panas, manis, dan sebagainya wajib
untuk memandang “memenuhi atau menempati ruang” sebagai satu-
satunya kualitas yang tersisa pada materi.55
Dalam kaitannya dengan alam semesta, Ward (2002) menyatakan
bahwa semesta secara keseluruhan mungkin saja terkait dengan proses
entropi, yang bergerak menuju kekacauan akhir. Apabila semesta
memiliki tujuan, maka tujuan itu tidak terletak pada titik akhir fisiknya,
melainkan pada penciptaan dan kontemplasi tahap-tahap yang berharga
dalam proses keberadaannya. Jika tahap-tahap itu ada maka sekalipun
akan melenyapkan dan hilang, dan memang akan begitu, tujuan semesta
tetap akan tercapai.
Keseimbangan dan kekuatan yang sangat persis dari gaya-gaya
gravitasi, elektromagnet, dan gaya nuklir dasar harus sedemikian
persisnya, apabila kehidupan yang sadar mau mewujud.56
Konstanta-konstanta dasar alam harus sedemikian tepatnya untuk
dapat menghasilkan kehidupan. Hal ini, menurut Atkins, “terasa seperti
mukjizat saja laiknya”. Perkataan seperti itu hanya tepat apabila Tuhan
Yang Maha Bijak memang ingin menciptakan semesta yang dapat
melahirkan kehidupan, jika segalanya memang mempunyai tujuan.
Namun hal itu tidak tepat jika segalanya sekedar kebetulan. Proses
54 Moritz Schlick, Filsafat Alam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 122 55 Ibid, hlm. 123 56 Yusman Wiyatmo, op.cit hlm. 132-133
37
entropi, bagaimanapun juga, adalah apa yang memberi arah temporal pada
semesta, dan memebedakan masa lampau dan masa depan. Dengan
demikian, proses itu juga memiliki tujuan yang jelas.57
Berdasarkan uraian di atas, Ward telah menolak hipotesis bahwa
semesta berasal dari kebetulan dan hipotesis bahwa semesta terbentuk
secara niscaya. Hipotesis yang terakhir adalah bahwa semesta diciptakan
melalui pilihan bebas dan cerdas. Berdasarkan hipotesis ini ada hal ketiga
yang menghubungkan antara yang abadi dan temporal, antara yang
konseptual dan yang fisik, antara yang niscaya dan yang kontingen.58
Menurut Ward, fakta bahwa unsur-unsur materi semesta tunduk
pada hukum-hukum yang umum masih merupakan misteri. Apabila
segalanya memang berlangsung acak, sekedar kebetulan murni, dapat
diperkirakan bahwa keajegan yang diperlihatkan oleh hukum-hukum
fisika suatu waktu akan berubah dan lenyap. Dalam semesta segala
sesuatu dapat terjadi, hukum-hukum dasar fisika pada suaatu waktu dapat
saja tidak berlaku lagi. Lalu, mengapa zarah-zarah materi tetap tunduk dan
patuh pada hukum akar kuadrat dari gravitasi, atau mengapa interaksi
antara zarah-zarah nuklir sepenuhnya berjalan sesuai dengan batas-batas
yang ditetapkan oleh persamaan Schrodinger? Menurut Newton, alam
bertindak sesuai dengan hukum-hukum impersonal yang dapat
diekspresikan secara matematis dan secara operasional menentukan
segalanya.59
Tampaklah bahwa alam semesta menyebabkan sesuatu dibangun
secara bertahap atau berevolusi sesuai dengan hukum-hukum yang
terdefinisikan secara baik. Hukum-hukum ini mungkin atau mungkin
tidak ditasbihkan oleh Tuhan, namun tampaknya bahwa kita akan dapat
menemukan dan memahami hukum-hukum itu. Dengan kenyataan
tersebut, apakah tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa hukum
yang sama atau serupa yang diyakini berlaku pada permulaan alam
57 Ibid. 58 Ibid.. 59 Ibid hlm. 135
38
semesta? Dalam teori relativitas umum klasik, permulaan alam semesta
harus berupa sebuah singularitas dari kerapatan yang tidak terhingga
dalam kelukan ruang waktu. Dalam kondisi tersebut, seluruh hukum fisika
yang kita ketahui akan hancur dan runtuh.60
Alam semesta dari keadaan yang rata dan teratur. Ini akan
mengantar kita pada penunjuk arah waktu Thermodinamika dan penunjuk
arah kosmik yang terdefinisikan dengan baik, sebagaimana kita amati.61
Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata
masih bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi
dan matahari; seperti satu tata surya lainnya; seperti satu universe dengan
universe yang lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik
(repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya
kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia
terkecil taadi, yaitu proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan
Tarik menjadi satu atom atau sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari
proton dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul;
sintesis molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari
adalah tata surya, sintesis dari satu tata surya dengan tata surya lainnya
serta akhirnya satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya
kita.62
C. HUBUNGAN MANUSIA DAN ALAM DALAM ISLAM
Islam sebagai agama wahyu merupakan kerangka acuan paripurna
untuk seluruh aspek kehidupan bagi setiap muslim. Pada dasarnya setiap
muslim yang memahami al Qur’an dan Sunnah dengan tetap dan benar,
meyakini bahwa kedua sumber tersebut memberikan skema kehidupan yang
sangat jelas, maka masyarakat yang harus dibangun oleh setiap muslim adalah
masyarakat yang tunduk pada kehendak Ilahi, sehingga dapat diklasifiksikan
60 Stephen W. Hawking, op. cit, hlm. 115-116 61 Ibid. hlm. 116 62 Tan Malaka, Pandangan Hidup, (Yogyakarta: Lumpen, 2000), hlm. 39
39
tentang yang baik dan yang buruk juga tentang yang benar dan yang salah,
yang boleh dan yang terlarang.63
Pada hakikatnya syari’at Islam bertujuan untuk membangun kehidupan
manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan (ma’rufat), dan membersihkannya
dari berbagai kejahatan (munkarât). Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala
kebajikan dan seluruh kebaikan yang diterima oleh nurani manusia sepanjang
masa, sedang munkarât menunjuk pada setiap kejahatan dan keburukan yang
selalu bertentangan dengan nurani manusia. Syari’at Islam bukan hanya
menunjukkan apa yang termasuk dalam ma’rufat dan apa yag tergolong
munkarat, melainkan juga menentukan skema kehidupan untuk menumbuhkan
ma’rufat dan apa yang tergolong munkarât tidak merancukan kehidupan
manusia.64
Oleh karena itu, menurut Islam, manusia merupakan makhluk sosial
dan politik, kesejahteraannya dalam segala hal terpaut dengan kesejahteraan
masyarakat. Organisasi individu yang tertinggi adalah masyarakat. Islam
mewajibkan untuk membentuk masyarakat dan mengusulkan kepada dunia
gagasan kemasyarakatan yang praktis. Dari pada itu manusia harus mengerti
tentang lingkungan sekitar dan memanfaatkan sesuai jalan syari’at yang telah
ditentukan.
Al Qur’an dan as Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi
hidupnya dengan bekerja untuk mempetahankan kehidupannya, yaitu dengan
memanfaatkan apa yang telah Allah ciptakan baginya di muka bumi ini. Dari
pandangan Islam, hanya pekerjaan baik dan amal shaleh yang akan
mendapatkan pahala.65
Disamping itu manusia sebagai makhluk yang cerdas akan mampu
melaksanaan kegiatan sehari-harinya. Tetapi kadangkala ia juga memerlukan
bantuan orang lain. Sebenarnya alam tercipta untuk dimanfaatkan oleh
63 Adnan, Islam Sosialis; Pemikrian Sistem Ekonomi Sosialis Religius Sjafruddin Prawira
negara, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2003), hlm. 34 64 Ibid, hlm 35 65 Muhammad al Buraey, Islam: Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, terj.
Ach. Nashir Budiman, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 106
40
manusia. Karena manusia adalah makhluk termulia di bumi ini, maka segala
sesuatu memang disediakan untuknya. Diantara tugas manusia, yaitu
memanfaatkan alam dan tenaga yang dikandungnya guna memenuhi
keperluan dan kebutuhannya dan juga teman-temannya.
Hubungan manusia terhadap alam adalah sebagai pemanfaat, dan
bukan sebagai saingan. Tidak seharusnya manusia mengeksploitasi alam. Al
Quran (2: 29) mengatakan “Ia yang menciptakan bagimu apa yang ada di
bumi semuanya”
Hubungan keduanya menurut ajaran al Qur’an maupun as Sunnah
merupakan hubungan yang dibingkai dengan aqidah, yakni konsep
kemakhlukan yang sama sama tunduk dan patuh kepada al Khâliq, yang diatur
dan akhirnya semua kembali kepadaNya. Dalam konsep kemakhlukan ini
manusia memperoleh konsesi dari Yang Maha Penciptanya untuk
memperlakukan alam sekitarnya dengan dua macam tujuan:
1. al Intifâ’ (pendayagunaan), baik dalam arti mengkonsumsi langsung
maupun dalam arti memproduksi.
2. al I’tibâr (mengambil pelajaran) tehadap fenomena yang terjadi dari
hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, maupun hubungan
antara alam itu sendiri (ekosistem), baik yang berakibat konstruktif
(ishlâh) maupun yan berakibat destruktif (ifsâd).
Dalam sejarah Islam, pada waktu terjadi pembebasan kota Makkah
(Fathu Makkah), kekhawatiran akan terjadinya tindakan-tindakan yang
merusak lingkungan alam di tanah haram itu dengan cepat diantisipasi oleh
Nabi SAW. Beliau melarang perburuan binatang dan mencabuti rerumputan di
tanah haram. Kebijakan ini sangat relevan dengan kondisi alam di tanah
haram yang miskin lingkungan nabati dan hewani. Bahkan sampai
sekarangpun perlindugan flora dan fauna disana masih terus berlaku, dan
dikaitkan dengan prinsip ibadah haji atau umrah. Dapat dibayangkan
seandainya tidak ada perlindungan terhadap kehidupan flora dan fauna di
tanah haram yang menjadi pusat kegiatan haji itu, kemudian setiap orang
41
jama’ah haji yang jumlahnya jutaan orang mengambil atau memotong
tanaman yang ada disana masing-masing satu potong saja dengan dalih untuk
souvenir atau obat, kemungkinan dalam satu musim haji saja sudah cukup
untuk merusak lingkungan alam, khususnya lingkungan hidup flora dan fauna
juga manusia disana. Dan hal yang demikian tidak dikehendaki oleh Islam.66
66 Afif Najih Anis, (Ed.), Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora
Press, 2005), hlm. 323-324