bab ii hasil penelitian dan analisa 2.1. tinjauan …
TRANSCRIPT
13
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengertian Ambiguitas
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), ambiguitas adalah sifat
atau hal yang bermakna dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian;
ketidaktentuan; ke-tidakjelasan; kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang
lebih jelas dari satu atas suatu karya sastra; kemungkinan adanya makna lebih dari
satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat; ketaksaan.
Ambiguitas merupakan hal yang bermakna ganda dan kemungkinan
mempunyai dua pengertian atau lebih. Kalimat ambigu ialah kalimat sebagai
bermakna ganda. Karena bermakna ganda, kalimat, atau frasa ambigu dapat
membingungkan orang yang membacanya atau mendengarnya. Penyebab
ambiguitas kalimat pada umumnya adanya keterangan atau atribut yang lebih
dari satu.12
Maka dalam hal tersebut pengertian ambiguitas yang dimaksud dalam
penelitian tersebut adalah timbul adanya ketidakjelasan atau adanya ha yang
bermakna dua dalam status hukum BUMDes tersebut.
2.1.2. Aspek Hukum Teori Badan Hukum
2.1.2.1. Pengertian Badan Hukum
Menurut Molengraff, badan hukum pada hakikatnya merupakan hak
dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama, dan didalamnya
terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap
anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing
bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga
sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap
12 Suwandi dan Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008,
hlm. 117.
14
pribadi anggotanya adalah juga pemilik harta kekayaan yang
terorganisasikan dalam badan hukum itu.13
Menurut Chidir Ali,14 pengertian badan hukum sebagai subyek hukum itu
mencakup hal berikut, yaitu:
- Perkumpulan orang (organisasi);
- Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam
hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);
- Mempunyai harta kekayaan tersendiri;
- Mempunyai pengurus;
- Mempunyai hak dan kewajiban;
- Dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan
dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat
dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:15
- Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah
dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu. Teganya
ada pemisah kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para
sekutu;
- Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;
- Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.
Ketiga usur tersebut merupakan unsur material bagi suatu badan hukum.
Persyaratan kedua yang perlu di tuntaskan oleh suatu badan hukum yaitu syarat
yang bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu
badan telah memiliki status badan hukum.
2.1.2.2. Teori Badan Hukum
Dasar hukum bahwa badan hukum itu sebagai subjek hukum (pendukung
atau pembawa hak dan kewajiban di dalam hukum) ada beberapa teori tentang
badan hukum, yaitu:
13 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refomasi,
Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Cetakan Kedua, 2006, hlm. 69. 14 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 21. 15 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Jakarta:
Djambatan, 1982, hlm. 63.
15
a) Teori Fiksi (Frederich Carl von Savigny)
Teori ini hanya mengakui bahwa yang menjadi subjek hukum adalah
manusia, tetapi orang menghidupkannya, menciptakannya dalam
bayangan dimana badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan
sama dengan manusia. Untuk dapat mengemban fungsi subjek hukum,
yaitu melakukan perbuatan hukum, diserahkan kepada manusia
sebagai wakil-wakilnya.16
b) Teori Organ (Otto von Gierke)
Badan hukum bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi benar-benar ada,
badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek,
tetapi suatu organisme riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia.17
c) Teori Harta Kekayaan dalam Jabatan (Holder dan Binder)
Untuk badan hukum yang memiliki kehendak adalah pengurus. Pada
badan hukum semua hak tersebut diliputi oleh pengurus. Dalam
jabatannya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu
disebut ambtelijk vermogen (harta kekayaan dalam jabatan).18
d) Teori Kekayaan Bersama (Rudolf von Jhering)
Badan hukum sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum
adalah kepentingan dari seluruh anggota secara bersama-sama. Mereka
bertanggung jawab secara bersama-sama, harta kekayaan badan hukum
itu adalah milik (eigndom) bersama selluruh anggota. Para anggota
yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang disebut badan hukum. Oleh karenanya, badan hukum hanyalah
suatu konstruksi hukum belaka, dan hakikatnya merupakan sesuatu
yang abstrak.19
e) Teori Kekayaan Bertujuan (A. Brinz)
16 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan: Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 61-62. 17 Ibid., hlm. 62. 18 Ibid., hlm. 63. 19 Ibid., hlm. 63.
16
Apa yang disebut hak-hak badan hukum sebenarnya adalah hak-hak
tanpa subjek hukum, oleh karena itu sebagai penggantinya adalah
kekayaan yang terkait pada suatu tujuan.20
f) Teori Kenyataan Yuridis (E. M. Meijers, Paul Scholten)
Badan hukum itu adalah suatu realita, konkret, riil walaupun tidak
dapat diraba, bukan khayal, tapi kenyataan yuridis hendaknya dalam
mempersamakan badan hukum dengan manusia hanya terbatas pada
bidang hukum saja.21
Status badan hukum biasanya digunakan dalam badan usaha dan badan
usaha tersebut di klasifikasikan menjadi dua yaitu badan usaha yang tidak
berbadan hukum dan badan usaha yang berbadan hukum. Dari berbagai teori
tersebut merupakan suatu konsep yang dimana membuat kerucut. Yang dimaksud
kerucut dalam hal tersebut adalah setiap badan hukum harus memenuhi unsur-
unsur yang ada dalam teori-teori badan hukum. Hal ini harus dilakukan guna tidak
ada lagi kesesatan dalam penafsiran atau penggolongan dari badan hukum itu
sendiri dan tidak berbenturan dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum.
2.1.3. Sejarah BUMN
Secara historis, keberadaan BUMN di Indonesia telah dikenal sebagai
salah satu perwujudan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Indonesia
yang sudah berdiri cukup lama. Pada tahun 1602, berdirinya BUMN meskipun
bukan milik pemerintah Indonesia pada tahun itu dikenal sebagai Vereenigde
Oost-Indische Compragnie (VOC) dibentuk dan dimiliki oleh Pemerintah Hindia-
20 Ibid., hlm. 64. 21 FX Suhardana, et al., Hukum Perdata I, Jakarta: Prenhalindo, 1987, hlm. 58-59.
17
Belanda. Namun hal tersebut dapat dianggap cukup meningkatkan perekonomian
Indonesia.
Perkembangan BUMN ini diawali oleh sejarah politik ekonomi Indonesia.
Sebagian BUMN pada awalnya merupakan perusahaan-perusahaan Belanda yang
dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Nasionalisasi besar-besaran terjadi
ketika demokrasi parlementer memasuki babak akhir dalam sejarah Indonesia di
tahun 1950-an. Di masa itu desakan melakukan nasionalisasi semakin besar
karena didasarkan pada keinginan agar sistem perekonomian lebih kokoh dan bisa
dikontrol secara lebih baik oleh pemerintah.22
Hal tersebut dilatar belakangi dengan peristiwa pada tahun 1957 dengan
tindakan Presiden Soekarno yang mengumumkan penyatuan Irian Barat dengan
Indonesia, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mengeluarkan
resolusi yang mengimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk
masalah Irian Barat. Hal tersebut menjadi titik awal terjadinya nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang didirikan di Indonesia.
Nasionalisasi dalam hal tersebut adalah proses dimana Negara mengambil
alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Apabila suatu
perusahaan dinasionalisasi, negara yang bertindak sebagai pembuat keputusan.
Selain itu para pegaiwainya menjadi pegawai negeri. Apabila kegiatan yang
dilakukan adalah sebaliknya yaitu disebut dengan privatisasi.
Pada tahun 1950-an, pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan yang mengelola fasilitas publik hal tersebut berkaitan dengan
22 Muchayat, Badan Usaha Milik Negara: Retrorika, Dinamika dan Realita (Menuju
BUMN yang Berdaya Saing), PT. Gagas Bisnis, Jakarta, 2010, hlm. 15.
18
kebutuhan masyarakat sehari-hari. Perusahaan tersebut meliputi perusahaan
listrik, transportasi kereta api, pos dan giro, Perumtel (kini menjadi Telkom),
Bank Tabungan Negara (BTN), Jawatan pegadaian (kini menjadi perum
Pegadaian), serta jawatan angkutan motor (kini menjadi Damri). Seiring adanya
perkembangan ekonomi serta politik yang lebih kondusif, pemerintah mendirikan
perusahaan baru seperti PT Garuda Indonesia yang bergerak dibidang transportasi
udara, PT Pelni yang bergerak dibidang transportasi laut, Djakarta Lyod bergerak
dibidang transportasi laut antar samudra atau internasional, serta dibidang
perbankan yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) dan De Javanesche Bank yang saat
ini menjadi Bank Indonesia (BI). Hasil nasionalisasi yang berasal dari perusahaan
Belanda tersebut kemudian menjadi BUMN, hal tersebut merupakan hasil dari
perkembangan ekonomi Indonesia di awal masa Orde Baru.
Pada tahun 1960, mulanya BUMN tesebut didasarkan dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Dalam UU No. 19
tahun 1960 tersebut menjelaskan bahwa perusahaan negara tersebut dapat
bergerak dibidang jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, memupuk
pendapatan. Dari UU tersebut dapat kita pahami bahwa mulanya BUMN tersebut
disebut dengan Perusahaan Negara (PN).
Perusahaan Negara dalam UU No. 19/1960 ini dalam Pasal 3 menjelaskan
bahwa Perusahaan Negara yang didirikan dengaan Peraturan Pemerintah tersebut
adalah badan hukum yang kedudukannya sebagai badan hukum yang diperoleh
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut. Perusahaan Negara ini bersifat
memberi jasa; menyelenggarakan kemanfaatan umum; memupuk pendapatan
didirikan dengan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan; atau
19
dengan semua alat likuid disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Perusahaan Negara tersebut dapat berkerja sama dengan Perusahaan Daerah
Swatantra dan Swasta.
Namun saat memasuki tahun 1969 pemerintah dianggap lebih serius
dengan upaya meningkatkan kinerja BUMN hal tersebut dapat dilihat dalam
diwujudkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha
Mililk Negara (BUMN).
Dalam UU No. 9/1969 ini menjelaskan bahwa usaha-usaha Negara
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a) Perusahaan Umum (yang disingkat Perum), merupakan salah satu
kegiatan usaha yang memiliki tujuan memberika pelayanan umum
namun tetap diperbolehkan mencari keuntungan. Perum dalam hal
tersebut merupakan perusahaan Negara yang didirikan dan diatur
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1960.
b) Perusahaan Persero (yang disingkat Persero), merupakan kegiatan
usaha yang mendirikan suatu persero dengan tujuan mencari
keuntungan.
c) Perusahaan Jawatan (yang disingkat Perjan), merupakan kegiatan
usaha sebagai perusahaan yang murni mengusahakan dan memberikan
pelayanan umum.
Dengan diterbitkannya UU No. 9/1969 ini landasan yuridis mengenai
BUMN tersebut tata cara pendirian BUMN tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan
20
Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum),
Perusahaan Perseroan (Persero).
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
740/KMK.00/1989 menjelaskan bahwa BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh
modalnya dimiliki Negara atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki
Negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN. Dari pengertian tersebut dapat
kita simpulkan bahwa adanya 3 (tiga) jenis pendirian BUMN, yaitu:
1) BUMN yang didirikan dengan modal dari 2 (dua) pihak, yaitu antara
pemerintah dengan pemerintah daerah.
2) BUMN yang didirikan dengan modal dari 2 (dua) pihak, yaitu antara
pemerintah dengan BUMN lainnya.
3) BUMN yang merupakan badan-badan usaha, yang mendirikan
bersama dengan swasta baik nasional maupun asing, dimana Negara
memiliki saham mayoritas minimal 51%.
Sampai dengan paruh kedua tahun 1990-an, sokongan pemerintah terhadap
BUMN masih terasa kuat sehingga BUMN masih terasa kuat sehingga BUMN
masih menguasai sektor-sektor stategis seperti telekomunikasi, minyak dan gas,
perkebunan dan kehutanan serta perbankan.23
Pada bulan Juli 1997 merupakan terjadinya krisis moneter yang
mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan untuk meakukan
pembayaran utang-utangnya kedapa para kreditur.
23 Indah Fitriani, Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara Sebuah Potret Singkat,
Material, Manajerial, Vol. 10, No. 19, 2011, hlm. 54-55.
21
Krisis moneter tersebut diawali dengan melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat, yang mengakibatkan
utang-utang para pengusaha Indonesia dalam bentuk valuta asing, baik
kepada kreditur dalam maupun luar negeri menjadi membengkak luar
biasa sehingga debitur tidak mampu membayar utang-utangnya. Kondisi
ini terus berlangsung yang pada akhirnya secara keseluruhan berakibat
pada krisis ekonomi.24
Dengan terjadinya krisis ekonomi yang yang menerpa dunia tersebut
tentunya kegiatan usaha yang dimiliki oleh BUMN terkena imbasnya pula. Baik
dari sisi ekonomi dan politik Indonesia turut terkena imbasnya. Dalam hal tersebut
tentunya pemerintah lebih mengedepankan peranan BUMN guna meningkatkan
kembali keuangan negara. Setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 tersebut
BUMN mulai mendapat perhatian dan pemerintah mengharapkan BUMN tersebut
dapat membantu meningkatkan ekonomi Indonesia.
Menurut Muchayat, perlu upaya revitalisasi BUMN agar berdaya
saing tinggi, perlunya analisis terhadap potensi pasar, jenis usaha, ukuran
usaha, dan upaya penyandingan dengan badan usaha swasta nasional dan
swasta asing sejenisnya. BUMN harus dipilah antara BUMN yang masih
mempunyai daya saing dan BUMN yang masih perlu ditinggatkan atau
dikembangkan daya saingnya.25
Namun disamping itu setelah terjadi pasang surutnya BUMN tersebut
hingga saat ini BUMN tersebut dianggap telah cukup berhasil membantu
pemerintah Dalam hal meningkatkan ekonomi Indonesia. Dasar hukum BUMN
hingga saat ini berlaku Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN). Dalam UU BUMN
tersebut menjelaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berbeda dengan UU No.
9/1969, UU No. 19/2003 saat ini hanya memiliki 2 (dua) kegiatan usaha yaitu:
24 Bank Indonesia, Mengurangi Benang Kusut BLBI, Edisi II, Satgas BLBI Bank
Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 3. 25 Muchayat, op. cit, hlm. 45.
22
a. Perusahaan Perseroan (disebut dengan Persero);
b. Perusahaan Umum (disebut dengan Perum).
Diterbitkannya UU No. 19/2003 tentang BUMN yang berlaku hingga saat
ini dapat kita pahami bahwa adanya keseriusan dari Pemerintah dalam
menggerakkan roda perekonomian Indonesia di tingkat pusat ini. Dalam UU
BUMN ini menjelaskan bahwa maksud dan tujuan dari pendirian BUMN adalah:
a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional
pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
b. mengejar keuntungan;
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak;
d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Pengaturan mengenai modal BUMN dalam UU No. 19/2003 ini juga
diatur lebih jelas, yaitu:
a. Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
b. Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada
BUMN bersumber dari:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
23
- Kapitalisasi cadangan;
- sumber lainnya.
c. Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau
perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BUMN adalah sebuah entitas ekonomi yang menjadi simbol kontrol warga
negara Indonesia atas sumberdaya dan sektor-sektor strategis ekonomi nasional.26
Dengan adanya BUMN sebagai pola ekonomi ditingkat teratas yaitu di tingkat
pusat tersebut BUMN mampu meraup keuntungan baik dari dalam negeri maupun
luar negeri.
Hal tersebut juga melihat dari sejarah BUMN yang telah ada sejak
lama, peran BUMN sebagai instrument strategis kebijakan Industrialisasi
Subtitusi Impor yang berlangsung hingga menjelang akhir paruh pertama
tahun 1980-an telah menempatkan BUMN pada posisi puncak komando
ekonomi Indonesia.27
Selain itu, faktor yang dapat menjadikan BUMN tersebut mendominan
pergerakan roda perekonomian Indonesia tersebut dapat kita lihat dari filosofi
BUMN yaitu dalam Seminar Peranan BUMN dalam Pelita IV di Jakarta pada
tanggal 14 Maret 1984 mengemukakan bahwa BUMN diharapkan berperan
terutama dibidang-bidang:
1) Sebagai sumber penerimaan Negara dalam bentuk berbagai pajak serta
balas jasa kepada Negara selaku pemilik.
26 Indah Fitriani, op. cit, hlm. 60. 27 Ibid., hlm. 59.
24
2) Untuk memproduksi berbagai barang dan jasa kebutuhan masyarakat
sesuai dengan rencana-rencana yang tertuang dalam Pelita IV, seperti
listrik, jasa telekomunikasi dan perhubungan, perumahan rakyat.
3) Sebagai sumber pendapatan devisa bagi Negara, seperti perusahaan
perkebunan dan pertambangan.
4) Pembukaan lapangan kerja, terutama pada sektor-sektor yang padat
karya, seperti perusahaan perkebunan dan industri.
5) Usaha-usaha untuk membantu golongan ekonomi lemah dan koperasi.
6) Pengembangan willayah diluar jawa dengan berbagai proyek dibidang
perkebunan dan industry.
7) Hal-hal lain seperti misalnya alih teknologi.
Dengan adanya hal tersebut, peran BUMN lebih dikenal sebagai Wahana
Pembangunan (Agent of Development) dari pada perannya yang sebagai
Perusahaan (bussines entity). Ada beberapa sebab mengapa BUMN lebih banyak
berperan sebagai wahana pembangunan, yaitu:28
1) BUMN efektif untuk melaksanakan pembangunan nasional.
2) Pemerintah selaku pemilik BUMN mempunyai wewenang untuk
memberikan penugasan apapun juga kepada BUMN.
3) Dalam pelaksanaan pembangunan seringkali dirasakan perlu untuk
melaksanakan proyek-proyek tertentu yang tidak terdapat dalam
rencana pembangunan.
28 Totok Dwinur Haryanto, Eksistensi BUMN tidak Mengarah pada Etatisme, Wacana
Hukum, Vol. VII, No. 1, 2008, hlm. 49.
25
Maka dalam hal tersebut beberapa perbedaan serta perkembangan dari
landasan yuridis tentang BUMN ini secara umum dapat di simpulkan dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 1.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN
UU No. 19/1960 tentang
Perusahaan Negara.
1. Perusahaan Negara adalah badan hukum yang
kedudukannya diperoleh dengan berlakunya
Peraturan Pemerintah.
2. Perusahaan Negara bersifat memberi jasa;
menyelenggarakan kemanfaatan umum;
memupuk pendapatan.
3. Bertujuan untuk turut membangun ekonomi
nasional sesuai dengan mengutamakan kebutuhan
rakyat.
4. Modal Perusahaan Negara terdiri dari kekayaan
negara yang dipisahkan; tidak terbagi atas saham-
saham; semua alat likuid disimpan dalam bank
yang ditunjuk oleh Pemerintah.
UU No. 9/1969 tentang
Bentuk-Bentuk Usaha
Negara.
Menjelaskan bahwa usaha-usaha Negara dibedakan
dalam 3 (tiga) kegiatan usaha, yaitu:
a) Perusahaan Jawatan (Perjan)
b) Perusahaan Umum (Perum)
c) Perusahaan Perseroan (Persero)
UU No. 23/2014 tentang 1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah
26
Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Menjelaskan bahwa BUMN dapat mendirikan:
a) Perusahaan Perseroan, berbentuk Perseroan
Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham
yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima
puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh
negara dengan tujuan utama mengejar
keuntungan.
b) Perusahaan Umum, yang seluruh modalnya
dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham,
yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa
dengan tujuan mengejar keuntungan
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan
perusahaan.
3. Pendirian BUMN memiliki maksud dan tujuan:
a) Memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan
penerimaan negara pada khususnya;
b) Mengejar keuntungan;
c) Menyelenggaraka kemanfaatan umum berupa
27
penyediaan barang dan/atau jasa yang
bermutu tunggi dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak;
d) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha
yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
swasta dan koperasi;
e) Turut aktif memberikan bimbingan dan
bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyarakat.
2.1.4. Sejarah BUMD
Disamping menempatkan pemerintahan pusat, terdapat pula pemerintahan
provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota (selanjutnya disebut pemerintahan
daerah) yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat baik dalam aspek
politik maupun ekonomi. Pemerintahan Daerah dalam hal tersebut memiliki tugas
dan kewajibannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Sebelum adanya terbentuknya, BUMD tersebut disebut dengan Perusahaan
Daerah dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah. Namun keseriusan pemerintah dalam hal mendukung adanya
BUMD tersebut ditandai dengan terbitnya Peraturan Dalam Negeri No. 3 Tahun
1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Lahirnya BUMD tersebut tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
terkait BUMN. Dengan adanya Undang-Undang Perusahaan Indonesia yang
28
diatur dengan Staatsblad29 Tahun 1927 Nomor 419 yang menjelaskan bahwa
perusahaan-perusahaan negara baik yang berbentuk badan-badan berdasarkan
hukum perdata maupun yang berbentuk badan hukum berdasarkan hukum publik,
merupakan latar belakang suatu peraturan yang menjadikan BUMN terus
berkembang dari tahun ke tahun hingga melahirkan suatu BUMD yang berperan
besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di tingkat daerah.
Istilah BUMD tersebut dikenal setelah diterbitkannya Permendagri No. 3
Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum BUMD yang kemudian tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dirubah
menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang berlaku hingga saat ini. Namun dengan adanya beberapa kali perubahan
Undang-Undang yang mengatur mengenai BUMD tersebut, peraturan yang
berlaku hingga saat ini dilatarbelakangi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
Tahun 1950-an, bersamaan dengan peningkatan BUMN Pemerintah Pusat
juga mendorong Pemerintah Swatantra Tk I dan Tk II (saat ini disebut dengan
setingkat Provinsi dan Kabupaten) untuk mendirikan perusahaan milik Daerah
guna membantu pergerakan roda ekonomi Indonesia yang saat itu masyarakat
sangat butuhkan baik dalam hal produksi barang maupun jasa.
Dengan adanya perusahaan daerah tersebut, pada saat itu perusahaan milik
daerah tersebut pada umumnya tidak mengutamakan tujuan mencari keuntungan
29 Staatsblad adalah istilah Lembaran Negara Republik Indonesia pada masa periode
kolonial.
29
semata. Namun dalam hal tersebut perusahaan daerah tersebut lebih
mengutamakan tujuan terwujudnya fungsi sosial dari perusahaan terhadap daerah,
yaitu dalam bentuk percepatan produksi dan penyaluran barang dan jasa serta
pembukaan lapangan kerja.
Dengan berjalannya perusahaan daerah tersebut, memasuki tahun 1960-an
Pemerintah Pusat menganggap perlu adanya dasar hukum mengenai perusahaan
daerah tersebut karena minimnya kontribusi terhadap pembangunan nasional.
Maka dalam hal tersebut terbit Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) No. I/MPRS/1960. Ketetapan tersebut terbit dalam rangka
pemberian otonomi yang riil dan luas kepada daerah-daerah dengan mengingat
kemampuan daerah masing-masing.
Hasil Perusahaan Daerah adalah salah satu pendapatan pokok di Daerah.
Berhubung dengan itu, maka selain perusahaan yang mengutamakan kemanfaatan
umum, dapat pula didirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk
menambah penghasilan Daerah, sekaligus untuk mempertinggi produksi.30
Di samping itu, untuk kepentingan pembangunan Daerah, segala
dana dan sumberdaya (funds and forces) masyarakat juga dimobilisasi dan,
oleh karena itu, koperasi dan swasta harus diikutsertakan secara aktif
dalam pendirian Perusahaan Daerah. Namun, pengikutsertaan swasta
tersebut tetap dengan pokok pikiran bahwa Perusahaan Daerah adalah
perusahaan yang modalnya untuk seluruhnya terdiri dari kekayaan Daerah
yang dipisahkan. Artinya, Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang
sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah Daerah.31
Pembentukan perusahaan daerah harus memiliki motivasi yang
jelas, karena pada prinsipnya pemerintah daerah adalah bukan pelaku
usaha melainkan memiliki tanggung jawab yang utama yaitu melakukan
30 Gunawan Sumodiningrat, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Bina
Rena Periwara, Jakarta, 2007, hlm. 8. 31 Riris Prasetyo, Sejarah BUMD, https://asetdaerah.wordpress.com/2011/07/15/sejarah-
bumd/, diakses tanggal 14 Maret 2019, pukul 13:25.
30
pembangunan dan pelayanan bagi bagi masyarakat. Sementara diketahui
pelaksanaan pembangunan seperti diketahui memerlukan modal dalam
jumlah yang cukup besar dan tersedia pada waktu yang tepat.32
BUMD didirikan dengan tujuan untuk turut serta melaksanakan
pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya
untuk memenuhi kebutuhan rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.33
Sesuai dengan uraian tersebut, BUMD tersebut dapat diartikan sebagai
perpanjangan tangan dari BUMN yang lebih mengutamakan pergerakan roda
ekonomi di tingkat daerah.
Untuk memenuhi tanggung jawab daerah kepada masyarakat, guna
meningkatkan kesejahteraan, maka pemerintah daerah memerlukan
keuangan daerah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom
mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah.
Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.34
Hal tersebut merupakan tuntutan dari pemerintahan pusat kepada
pemerintahan daerah untuk dapat meningkatkan kemandirian daerah dalam hal
meningkatkan ekonomi Indonesia.
Selanjutnya, landasan yuridis mengenai BUMD yang berlaku hingga saat
ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 angka 40 UU No. 23/2014 ini menjellaskan
bahwa BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh daerah yang pendiriannya ditetapkan dengan Perarutan Daerah
32 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004,
hlm. 1. 33 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 34 Adrian Sutedi, Implikasi Hukum atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka
Otonomi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 160.
31
(disebut Perda). Pengaturan mengenai BUMD dalam UU No. 23/2014 ini dimulai
dari Pasal 331. Dalam Pasal 331 dapat kita pahami bahwa Pemerintah Daerah
tidak harus memiliki BUMD, namun BUMD dapat menjadi pertimbangan bagi
daerah untuk menjadi sarana dalam rangka memberikan pelayanan bagi
masyarakat.
Dalam UU No.23/2014 ini menjelaskan bahwa BUMD terbagi menjadi 2
(dua) jenis kegiatan usaha, yaitu:
1) Perusahaan Umum Daerah (disebut dengan Perumda), diatur dalam
Pasal 334 s/d Pasal 338:
a) Permodalan
Perumda adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu
daerah dan tidak terbagi atas saham. Dalam hal Perumda akan
dimiliki oleh lebih dari satu daerah, perumda tersebut harus
merubah bentuk hukum menjadi Perseroda. Perumda juga dapat
membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada
perusahaan lain.
b) Organ
Perumda terdiri atas:
(1) Kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal;
(2) Direksi; dan
(3) Dewan pengawas.
c) Laba
Laba Perumda ditetapkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah.
Laba yang menjadi hak daerah disetor ke kas daerah setelah
32
disahkan oleh kepala daerah sebagai pemilik modal. Laba tersebut
dapat ditahan atas persetujuan kepala daerah, dengan tujuan
reinvestment berupa penambahan, peningkatan, dan perluasan
prasarana dan sarana pelayanan fisik dan nonfisik serta untuk
peningkatan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pelayanan umum,
pelayanan dasar, dan usaha perintisan.
d) Restrukturisasi
Perumda dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan
perusahaan umum Daerah agar dapat beroperasi secara efisien,
akuntabel, transparan, dan profesional.
e) Pembubaran Perumda
Pembubaran Perumda ditetapkan dengan Perda. Kekayaan
perumda yang dibubarkan menjadi hak daerah dan dikembalikan
kepada daerah.
2) Perusahaan Perseroan Daerah (disebut dengan Perseroda), diatur dalam
Pasal 339 s/d Pasal 342:
a) Permodalan
Perseroda adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit
51% sahamnya dimiliki oleh satu daerah. Setelah pendiriannya
ditetapkan dengan Perda, Selanjutnya pembentukan badan
hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai perseroan terbatas.
33
Modal Perseroda terdiri dari saham-saham, dalam hal pemegang
saham perusahaan perseroan daerah terdiri atas beberapa daerah
dan bukan daerah, salah satu daerah merupakan pemegang saham
mayoritas. Perseroda dapat membentuk anak perusahaan dan/atau
memiliki saham pada perusahaan lain. Pembentukan anak
perusahaan tersebut didasarkan atas analisa kelayakan investasi
oleh analis investasi yang profesional dan independen.
b) Organ
Perseroda terdiri atas:
(1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
(2) Direksi; dan
(3) Komisaris.
c) Pembubaran Perseroda dapat dibubarkan dan kekayaan Perseroda
yang dibubarkan menjadi hak daerah dan dikembalikan kepada
daerah. UU No. 23 Tahun 2014 juga memaparkan unsur-unsur
yang harus diatur pada ketentuan lebih lanjut terkait pengelolaan
BUMD setidaknya harus memuat:
(4) tata cara penyertaan modal;
(5) organ dan kepegawaian;
(6) tata cara evaluasi;
(7) tata kelola perusahaan yang baik;
(8) perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan;
(9) kerjasama;
(10) penggunaan laba;
34
(11) penugasan Pemerintah Daerah;
(12) pinjaman;
(13) satuan pengawas intern, komite audit dan komite lainnya;
(14) penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi;
(15) perubahan bentuk hukum;
(16) kepailitan; dan
(17) penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
Pendirian BUMD sesuai dalam UU No. 23/2014 ini memiliki tujuan yaitu
untuk:
1) Memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada
umumnya;
2) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat
sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi daerah yang bersangkutan
berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; serta
3) Memperoleh laba dan/atau keuntungan.
Dalam hal modal pendirian BUMD tersebut terdiri dari penyertaan modal
daerah, pinjaman, hibah, dan sumber modal lainnya yang terdiri dari kapitalisasi
cadangan, keuntungan revaluasi aset, dan agio saham. Penyertaan modal ini harus
ditetapkan dalam Perda.
Dengan adanya uraian diatas mengenai peraturan yang mengatur tentang
lahirnya BUMD ini maka dapat disimpulkan dalam tabel sebagai berikut:
35
Tabel 2.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMD
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1962
1. Perusahaan Daerah merupakan badan hukum
yang didirikan dengan Peraturan Daerah yang
mulai berlaku setelah disahkan instansi atasan.
Permendagri Nomor 3
Tahun 1998 tentang
Bentuk Hukum Badan
Usaha Milik Daerah
1. Telah ditetapkan yang mulanya Perusahaan
Daerah kini menjadi Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
2. Dapat mendirikan Perseroan Terbatas dan
Perusahaan Daerah.
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
1. BUMD diatur dalam Pasal 331 s/d Pasal 343
UU No. 23/2014.
2. BUMD ditetapkan dengan Perda.
3. BUMD dapat mendirikan Perusahaan Umum
Daerah (Perumda) dan Perusahaan Perseroan
Daerah (Perseroda).
4. Ketentuan pendirian BUMD diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
2.2. Hasil Penelitian dan Analisa
2.2.1. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
H.A.W. Widjaja menyatakan bahwa desa adalah sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-
36
usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai
Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.35
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa sebagai dasar hukum pertama yang mengatur mengenai desa
tersebut menjelaskan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian pada tahun 1999 dasar hukum mengenai desa tersebut kembali
diperbaharui dengan disah-kannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat
yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten.
Tidak berhenti pada tahun tersebut, setelah beberapa tahun akhirnya
pemerintah menanggapi serius dalam hal dasar hukum pengaturan mengenai desa
tersebut, pada tahun 2014 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa yang berlaku hingga saat ini. Dalam UU Desa tersebut
menjelaskan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
35 H.A.W. Widjaja, Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 3.
37
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka dalam hal tersebut desa adalah masyarakat hukum yang memiliki
wilayah sediri dan memiliki pemerintahan desa sendiri yang memiliki hak
tradisional serta hak asal usul yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Indonesia.
Dengan diterbitkannya UU Desa No. 6/2014 yang mengandung asas
rekognisi-subsidaritas ini menuntut desa untuk dapat mengurus rumah tangganya
sendiri. Hal tersebut menunjukkan pada Pemerintah Desa berwenang untuk
mendirikan BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong-
royong yang dapat bergerak di bidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa
maupun pelayanan umum lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Namun dalam hal tersebut BUMDes ini tidak hanya mengejar keuntungan
keuangannya saja. BUMDes ini juga mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa. Sumber pendanaan BUMDes ini juga dibantu oleh Pemerintah,
Pemerintah daerah provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
desa. Pemerintah mendorong BUMDes dengan memberikan hibah dan atau akses
permodalan, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar, dan
memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.
Selain itu kewenangan desa yang diatur dalam UU Desa No. 6/2014
meliputi:
38
b. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
c. Kewenangan lokal berkala desa;
d. Kewenangan yang ditugaskan pemerintah daerah provinsi, pemerintah
kota/kabupaten kota;
e. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah Kabupaten/Kota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendirian BUMDes yang didasarkan oleh tujuan utama BUMDes sesuai
dengan UU Desa, yaitu:
1. Meningkatkan perekonomian desa.
2. Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa.
3. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi
desa.
4. Menembangkan rencana kerjasama usaha antar desa dan/atau dengan
pihak ketiga.
5. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan
layanan umum warga.
6. Membuka lapangan kerja.
7. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan
umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.
8. Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.
Chabib Soleh menjelaskan bahwa pendirian BUMDes memiliki beberapa
asas yang perlu dipenuhi, yaitu:36
36 Chabib Soleh, Dialektika Pembangunan dengan Pemberdayaan, Fokus Media,
Bandung, 2014, hlm. 83-84.
39
a) Asas Kesukarelaan, maksudnya keterlibatan seseorang dalam kegiatan
pemberdayaan melalui kegiatan BUMDes yang harus dilakukan tanpa
adanya paksaan, tetapi atas dasar keinginannya sendiri yang didorong
oleh kebutuhan untuk memperbaiki dan memecahkan masalah
kehidupan yang dirasakannya.
b) Asas Kesetaraan, maksudnya semua pihak pemangku kekuasaan yang
berkecimpung di BUMDes memiliki kedudukan dan posisi yang
setara, tidak ada yang tinggikan dan tidak ada yang direndahkan.
c) Asas Musyawarah, maksudnya semua pihak diberikan hak untuk
mengemukakan gagasan atau pendapatnya dan saling menghargai
perbedaan pendapat. Dalam pengambilan keputusan harus dilakukan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
d) Asas Keterbukaan, dalam hal ini semua yang dilakukan dalam kegiatan
BUMDes dilakukan secara terbuka, sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan, dan menumpuk rasa saling percaya, sikap jujur dan saling
peduli satu sama lain.
Pendirian BUMDes tersebut yang merujuk pada Permendesa No. 4 Tahun
2015 ini menjelaskan bahwa sifat usaha dari BUMDes tersebut adalah Badan
Usaha yang mekanisme pembentukkannya berdasarkan musyawarah desa, yang
dapat membentuk kegiatan usaha yaitu Perseroan Terbatas dan Lembaga
Keuangan Mikro.
Maka dalam hal tersebut terdapat beberapa aspek yang dapat
dipertimbangkan dalam mendirikan BUMDes, yaitu:
1. Inisiatif Pemerintah Desa dan/atau masyarakat Desa;
2. Potensi usaha ekonomi desa;
3. Sumberdaya alam desa;
4. Sumberdaya manusia yang mampu mengelola BUM Desa;
5. Penyertaan modal dari Pemerintah Desa dalam bentuk pembiayaan dan
kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari
usaha BUM Desa.
Inisiatif Pemerintah Desa yang dimaksud dalam hal tersebut merupakan
sosialisasi kepada masyarakat desa yang dilakukan oleh Pemerintah Desa, BPD
40
(Badan Permusyawaratan Desa), KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa)
baik secara langsung maupun bekerja sama dengan berbagai pihak misalnya,
pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan/kabupaten ataupun dengan
pihak ketiga (LSM atau organisasi kemasyarakatan). Hal tersebut merupakan
langkah awal yang bertujuan agar masyarakat desa mengerti dan memahami
mengenai BUMDes tersebut.
Tata cara pendirian BUMDes yang dibuka dengan musyawarah desa
tersebut harus memuat beberapa aspek, yaitu:
1. Pendirian BUM Desa sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial
budaya masyarakat;
2. Organisasi pengelola BUM Desa;
3. Modal usaha BUM Desa;
4. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga BUM Desa.
Kemudian setelah diterbitkannya hasil musyawarah desa tersebut, perlu
adanya menetapkan peraturan desa tentang pendirian BUMDes tersebut yang
kemudian lahirlah sebuah BUMDes sesuai dengan peraturan yang berlaku
tersebut.
Dari pendirian BUMDes tersebut sesuai dengan Permendesa No. 4/2015
menjelaskan beberapa tipe atau klasifikasi jenis usaha BUMDes, yaitu:
1) Bisnis Sosial (social business) dan Pelayanan Umum (serving)
Yaitu suatu tipe yang melakukan pelayanan kepada warga sehingga
warga desa mendapaatkan manfaat sosial yang besar. Contoh pada tipe
tersebut adalah seperti usaha air minum desa, usaha listrik desa,
pengolahan sampah, dsb.
41
2) Bisnis Penyewaan (renting)
Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha penyewaan guna untuk
memudahkan warga mendapatkan berbagai kebutuhan peralatan
maupun perlengkapan yang dibutuhkan. Contoh dari tipe tersebut
adalah seperti alat transportasi, gedung, rumah atau toko, tanah milik
BUMDes, dsb.
3) Usaha Perantara (brokering)
Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha menghubungkan
komoditas pertanian dengan pasar atau agar para petani tidak kesulitan
menjual produk mereka ke pasar. Contoh dari tipe usaha ini adalah
seperti jasa pembayaran listrik, desa mendirikan pasar desa untuk
memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat, dsb.
4) Perdagangan (trading)
Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha penjualan barang atau
jasa yang dibutuhkan masyaakat yang selama ini tidak bias dilakukan
warga secara perorangan. Contoh dari tipe usaha ini adalah seperti
pabrik es, hasil pertanian, sarana produksi pertanian, pom bensin bagi
para nelayan, dsb.
5) Bisnis Keuangan (financial business)
Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha yang dapat membangun
lembaga keuangan untuk membantu warga mendapatkan akses modal
dengan cara yang mudah dengan bunga yang kecil.
6) Usaha Bersama (holding)
42
Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha dimana BUMDes sebagai
induk dari unit-unit usaha yang ada didesa, dimana masing-masing unit
yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh
BUMDes agar tumbuh usaha bersama. Contoh dari tipe usaha ini
adalah seperti “desa wisata” yang mengorganisir berbagai jenis usaha
dari kelompok masyarakat seperti makanan, kerajinan, sajian wisata,
kesenian, dsb.
Selanjutnya, dalam Permendesa No. 4/2015 menjelaskan bahwa BUMDes
dapat membentuk unit usaha, yaitu:
1) Perseroan Terbatas, yaitu sebagai persekutuan modal, dibentuk
berdasarkan perjanjian, dan melalukan kegiatan usaha dengan modal
yang sebagian besar dimiliki oleh BUMDes, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas (Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).
2) Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dengan andil BUMDes sebesar
60% sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga
keuangan mikro (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro).
Disisi lain dalam hal pengelolaan BUMDes memiliki beberapa prinsip,
yaitu:37
1) Kooperatif, yaitu semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes
harus mampu melakukan kerjasama yang baik demi pengembangan
dan kelangsungan hidup usahanya.
37 Departemen Pendidikan Nasional, Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha Milik
Desa, Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan, Universitas Brawijaya, 2007, hlm. 13.
43
2) Partisipatif, yaitu semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes
harus bersedia secara sukarela atau diminta memberikan dukungan dan
kontribusi yang dapat mendorong kemajuan usaha BUMDes.
3) Emansipatif, yaitu semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes
harus diperlakukan sama tanpa memandang golongan, suku, dan
agama.
4) Transparan, yaitu aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan
masyarakat umum harus dapat diketahui oleh segenap lapisan
masyarakat dengan mudah dan terbuka.
5) Akuntabel, yaitu seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggung
jawabkan secara teknis maupun administratif.
6) Sustainabel, yaitu kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan
dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDes.
Dalam hal modal pendirian BUMDes tersebut diatur dalam Permendesa
No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurursan dan Pengelolaan, dan
Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Dalam Permendesa No. 4/2015 tersebut
menjelaskan bahwa modal awal BUMDes tersebut dapat bersumber dari APB
Desa. Kemudian modal BUMDes tersebut terdiri atas:
a) Penyertaan Modal Desa
Penyertaan modal desa yang dimaksud dalam hal merupakan kekayaan
desa yang dipisahkan yang berasal dari APB Desa yaitu neraca dan
pertanggungjawaban pengurusan BUMDes dipisahkan dari neraca dan
pertanggungjawaban pemeritah desa. Kemudian, penyertaan modal
desa ini adalah dapat terdiri atas hibah dari pihak swasta, lembaga
sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau lembaga donor yang
disalurkan melalui mekanisme APB Desa; bantuan Pemerintah,
Pemerintah DaerahProvinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
yang dialurkan melalui mekanisme APB Desa; kerjasama usaha dari
pihak swasta, lembaga sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau
lembaga donor yang dipastikan sebagai kekayaan kolektif desa dan
disaurkan melalui mekanisme APB Desa; aset desa yang diserahkan
44
kepada APB Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang aset desa.
b) Penyertaan Modal Masyarakat Desa
Penyertaan modal masyarakat desa yang dimaksud dalam hal tersebut
adalah berasal dari tabungan masyarakat dan atau simpanan
masyarakat.
Sesuai dengan Permendesa No. 4/2015 tersebut menjelaskan struktural
organisasi BUMDes berserta dengan tugas dan wewenangnya, yaitu:
1) Penasihat
Dalam hal tersebut penasihat dijabat secara ex officio oleh Kepala
Desa yang bersangkutan. Penasihat tersebut memiliki kewajiban untuk
memberikat nasihat kepada Pelaksana Operasional dalam
melaksanakan pengelolaan BUMDes; memberikan saran dan pendapat
mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BUMDes;
serta mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUMDes.
Penasihat dalam hal tersebut juga berwenang untuk meminta
penjelasan dari Pelaksana Operasional mengenai persoalan yang
menyangkut pengelolaan usaha desa serta melindungi usaha desa
terhadap hal-hal yang dapat menurunkan kinerja BUMDes.
2) Pelaksana Operasional
Tugas dari pelaksana operasional ini adalah mengurus dan
mengelola BUMDes sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga ataupun pelaksana operasional dapat menunjuk
anggota pengurus sesuai dengan kapasitas bidang usaha, khususnya
45
dalam mengurus pencatatan dan administrasi usaha dan fungsi
operasional bidang usaha. Pelaksana operasional tersebut memiliki
kewajiban untuk melaksanakan dan mengembangkan BUMDes agar
menjadi lembaga yang melayani kebutuhan ekonomi dan/atau
pelayanan umum masyarakat desa; menggali dan memanfaatkan
potensi usaha ekonomi desa untuk meningkatkan pendapatan asli desa;
serta melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga perekonomian
desa lainnya.
Disamping itu, pelaksana operasional tersebut berwenang untuk
membuat laporan keuangan seluruh unit-unit usaha BUMDes setiap
bulan; membuat laporan perkembangan kegiatan unit-unti usaha
BUMDes setiap bulan; serta memberikan laporan perkembangan unit-
unit usaha BUMDes kepada masyarakat desa melalui musyawarah
desa sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
3) Pengawas
Pengawas dalam hal tersebut mewakili kepentingan masyarakat
yang mempunyai kewwajiban untuk menyelenggarakan Rapat Umum
untuk membahas kinerja BUMDes sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
sekali.
Pegawas dalam hal tersebut memiliki susunan sebagai berikut:
a) Ketua;
b) Wakil ketua merangkap anggota;
c) Sekertaris merangkap anggota;
d) Anggota.
46
Disamping itu, pengawas berwenang untuk menyelenggarakan
Rapat Umum Pengawas untuk pemilihan dan pengangkatan
pengurus; penetapan kebijakan pengembangan kegiatan usaha dari
BUMDes; serta pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap
kinerja pelaksana operasional.
2.2.2. Status Hukum BUMDes
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pada dasarnya pola kegiatan
ekonomi yang beraku di Indonesia perlu memiliki status badan hukum guna
kelancaran berjalannya kegiatan usaha tersebut serta mendapatkan perlindungan
hukum yang konsisten. Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh suatu
negara bangsa dewasa ini harus dilihat sebagai upaya terencana, terprogram,
sistematik, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mutu
hidup seluruh warga masyarakat.38
Lahirnya BUMDesa yang didasarkan sesuai dengan Pasal 213 Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang menjelaskan
bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang kemudian dalam penjelasan Pasal 213
tersebut menjelaskan bahwa BUMDes adalah badan hukum. Dalam hal tersebut
dapat kita pahami bahwa perlu adanya peraturan hukum yang konkrit yang
mengatur mengenai status hukum BUMDes.
Maka dalam hal tersebut adanya beberapa landasan yuridis mengenai
status hukum BUMDes tersebut. Pertama, dalam UU Desa Pasal 87 menjelaskan
38 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya,
Cet.4, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm. 77.
47
bahwa desa dapat mendirikan BUMDes yang dikelola dengan semangat
kekeuargaan dan kegotongroyongan serta dapat menjalankan usaha dibidang
ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya dalam UU Desa tersebut menjelaskan bahwa pendirian
BUMDes tersebut lebih lanjut di atur dalam Peraturan Desa. Hal ini diharapkan
bahwa adanya peraturan yang lebih konkrit dalam Peraturan Desa. Kedua, dalam
PP No. 43 Tahun 2014 pada dasarnya dalam peraturan tersebut menjelaskan lebih
banyak mengenai BUMDes dalam Pasal 132 s/d Pasal 142. Namun peraturan
mengenai status hukum BUMDes dalam Pasal 142 menjelaskan bahwa pendirian,
pengurusan dan pengelolaan serta pembubaran BUMDes diatur dalam Peraturan
Menteri. Tidak hanya berhenti pada PP No. 43/2014, adanya perubahan peraturan
yaitu dalam PP No. 47 Tahun 2015 yang kemudian kembali adanya perubahan
peraturan dalam PP No. 11 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan atas UU
Desa. Namun dengan adanya beberapa perubahan tersebut mengenai pendirian
BUMDes serta status hukum BUMDes kembali tidak dijelaskan secara konkrit.
Peraturan mengenai status hukum serta pendirian BUMDes tersebut tetap
menjelaskan bahwa peraturan pendirian BUMDes tersebut mengacu pada
Peraturan Menteri. Ketiga, dalam Permendesa No. 4 Tahun 2015 yang mengatur
tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha
Milik Desa, menjelaskan mengenai tata cara pendirian BUMDes seperti yang
telah diuraikan dalam kajian sebelumnya. Dalam Permendesa No. 4/2015 ini
dalam Pasal 7 menjelaskan bahwa BUMDes dapat terdiri dari unit-unit usaha yang
berbadan hukum. Unit-unit usaha tersebut meliputi Perseroan Terbatas dan
Lembaga Keuangan Mikro. Yang kemudian pengaturan mengenai status hukum
48
BUMDes tersebut dalam Permendesa No. 4/2015 menjelaskan bahwa selanjutnya
pedoman pendirian BUMDes diatur dalam Peraturan Desa.
Maka dalam hal tersebut penulis akan menguraikan mengenai status
hukum BUMDes dalam 2 (dua) pandangan. Pertama, berdasarkan Teori
Penetapan Dasar Hukum Pendiriannya yaitu status badan hukum secara otomatis
ada sejak dasar hukum pendirian suatu badan hukum diberlakukan. Dalam hal
tersebut BUMDes memperoleh status badan hukum dengan adanya diterbitkan
Peraturan Desa yang mengatur mengenai pendirian BUMDes tersebut. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 88 UU No.6/2014 jo Pasal 132 PP No.43/2014 yang
menjelaskan bahwa BUMDes memperoleh status badan hukum ketika disahkan-
nya Peraturan Desa tentang pendirian BUMDes tersebut. Dengan adanya
Peraturan Desa tersebut akan menjelaskan mengenai pendirian BUMDes serta
diharapkan akan mengatur mengenai status hukum BUMDes tersebut. Kedua,
berdasarkan dengan Teori Persetujuan (Approval Theory) dalam tulisan yang
berjudul “The Mediational Approval Theory of Law in American Legal Realism”
yang ditulis oleh F. S. C. Northrop menuliskan bahwa:39
“by the approval theory of will be meant any theory of law which
rests upon the approval theory of ethics. The approval theory of ethics
may be defined as follows: The sentences “x is good” and “p approves of
x” are mutually substitutable the one for the other. The dependence of
Anglo-American legal positivism upon the approval theory of ethics has
been generally recognized.”
Dari teori persetujuan ini menjelaskan bahwa dari teori persetujuan dalam
lingkup ilmu hukum akan bertumpu pada etika teori persetujuan. Dalam uraian
diatas mengibaratkan dalam kata “x adalah baik” yang kemudian “p menyetujui
39
https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/valr44&div=38&id=&page=&t=1
556127240, diakses pada tgl. 25 April 2019, pukul 21:33.
49
x”. Ketergantungan positivisme hukum Anglo-American atas teori persetujuan ini
pada umumnya telah diakui. Teori ini mengacu pada pentingnya persetujuan dari
Pemerintah berserta dengan Kementerian yang berwenang dalam pengesahan
status hukum tersebut.
Maka dalam hal tersebut penulis menganggap bahwa status hukum
BUMDes ini semestinya mengacu pada Teori Persetujuan. Sesuai dengan teori
persetujuan ini badan hukum lahir sejak proses pendiriannya disetujui oleh
Pemerintah atau negara, seperti yang sudah berlaku saat ini yaitu untuk PT,
Koperasi, Yayasan, Perusahaan Perseroan/Persero, Perusahaan Perseroan
Daerah/Persero Daerah. Karna pada dasarnya BUMDes ini diharapkan dapat
berjalan dengan optimal sehingga pengelolaan BUMDes ini dapat setara
kinerjanya dengan BUMN serta BUMD. Karna dalam hal tersebut BUMN
maupun BUMD disahkan dengan adanya Peraturan Pemerintah dan pengesahan
dari Kementerian Hukum & HAM (selanjutnya disebut Kemenkumham). Hal ini
membuktikan bahwa dengan adanya persetujuan dari Kemenkumham ini akan
menjadi dasar hukum. Maka dalam hal tersebut sesuai dengan teori persetujuan ini
menunjukkan bahwa pentingnya adanya persetujuan antara kedua belah pihak.
Apabila teori ini tidak diterapkan pada pendirian BUMDes maka pendiriannya
tidak dapat dikatakan sah. Memang pada dasarnya dengan adanya UU Desa ini
menuntut desa untuk dapat mengurus rumah tangga sendiri namun dalam hal
pendirian BUMDes, layaknya seperti BUMN dan BUMD penting adanya
pengakuan serta persetujuan sahnya BUMDes dari pihak Pemerintah maupun
Kemenkumham berdasarkan teori persetujuan tersebut. Maka apabila adanya
peraturan yang menjadi dasar hukum bahwa BUMDes ini merupakan badan
50
hukum yang akan disahkan oleh Kemenkumham layaknya BUMN dan BUMD ini
maka BUMDes pada dasarnya dapat disebut sebagai badan hukum. Disamping itu
pentingnya penerapan teori persetujuan ini dalam pengesahan status hukum
BUMDes ini memiliki peran penting pula pada teori badan hukum yaitu badan
hukum merupakan rechtperson yang memiliki wewenang untuk mewakili suatu
badan usaha baik diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Selanjutnya
pentingnya status badan hukum ini dapat kita lihat dalam KUHPerdata yang
mengenal adanya 2 (dua) macam subjek hukum, yaitu:
a) Dalam Pasal 1329 KUHPer yang menjelaskan bahwa tiap orang
berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak
cakap untuk hal itu. Hal tersebut dapat disebut dengan Natuurlijke
Persoon (natural person) yaitu manusia pribadi.
b) Dalam Pasal 1654 KUHPer menjelaskan bahwa semua badan hukum
yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa
untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi
perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya
atau menundukkanya kepada tata cara tertentu. Hal tersebut dapat
disebut dengan Rechtpersoon (legal entity) yaitu badan atau
perkumpulan yang didirikan dengan sah yang dapat melakukan
perbuatan-perbuatan perdata.
Apabila status hukum BUMDes ini menerapkan pada pandangan bahwa
status hukum BUMDes diatur dalam Peraturan Desa dengan mengesampingkan
dan tidak menerapkan teori persetujuan maka dalam hal tersebut BUMDes ini
tidak dapat disebut bahwa BUMDes merupakan badan hukum. Karna pada
51
dasarnya BUMDes ini merupakan salah satu bagian dari pola ekonomi yang
berlaku di Indonesia guna menggerakkan perekonomian Indonesia yang
seharusnya setara atau dalam hal lain sama dengan BUMN dan BUMD maka
seharusnya peraturan yang berlaku serta status hukumnya diatur sedemikian rupa
sama dengan BUMN dan BUMD pula. Dengan adanya perbedaan dalam hal
peraturan status hukum BUMDes ini apabila status hukum BUMDes diatur
dengan diterbitkannya Peraturan Desa yang kemudian tidak berkekuatan hukum
dalam hal sahnya menjadi badan hukum, maka teori badan hukum tidak dapat
diterapkan dalam BUMDes ini karena apabila ditinjau dari teori badan hukum
BUMDes ini tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang kemudian dalam hal
tersebut BUMDes ini tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas dan LKM. Karna
BUMDes ini bukanlah suatu subjek hukum maka tidak dapat pula menjadi subjek
hukum yang mewakili badan usaha yang dapat melakukan perbuatan hukum baik
diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Hal ini tidak memenuhi salah
satu unsur teori badan hukum dalam hal adanya pengesahan dari negara. yang
kemudian unsur teori badan hukum itu harus memenuhi beberapa unsur yaitu:
a) Adanya harta kekayaan;
b) Adanya tujuan;
c) Adanya kepentingan sendiri (dalam hal badan usaha);
d) Punya pengurus/organ;
e) Adanya pengesahan dari negara.
Yang kemudian adanya perbedaan dari ketiga pola ekonomi di Indonesia
ini dapat simpulkan dalam tabel sebagai berikut:
52
Tabel 3.
Perbedaan ketiga kegiatan ekonomi di Indonesia dalam aspek yuridis.
BUMN BUMD BUMDes
Pengesahan Oleh Kementerian
Hukum & HAM.
Oleh Kementerian
Hukum & HAM.
Melalui pengesahan
terbitnya Peraturan
Desa tentang
Pendirian BUMDes
yang disahkan oleh
Menteri Dalam
Negeri oleh Ditjen
bina Pemerintahan
Desa.
Tujuan
Pendirian
Mengejar
Keuntungan.
Mengejar
Keuntungan.
Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat desa.
Kegiatan
Usaha
Perseroan Terbatas
& Perusahaan
Umum.
Perseroan Terbatas
& Perusahaan
Umum.
Perseroan Terbatas
& Lembaga
Keuangan Mikro
(LKM).
Kemudian letak ambiguitas status hukum BUMDes tersebut terletak pada
kerugian BUMDes tersebut yang diatur dalam Pasal 139 PP No. 43/2014 yang
menjelaskan bahwa kerugian yang dialami oleh BUMDes menjadi tanggung
53
jawab pelaksana operasional BUMDes. Yang kemudian dalam Pasal 132 angka 6
menjelaskan bahwa pelaskana operasional merupakan perseorangan yang diangkat
dan diberhentikan oleh kepala desa. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 1661
KUHPer yang menjelaskan bahwa para anggota badan hukum sebagai
perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian perkumpulannya.
Semua hutang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta benda
perkumpulan.
Maka dalam hal tersebut dengan adanya ambiguitas dalam status hukum
BUMDes ini maka penulis beranggapan bahwa BUMDes tidak dapat di katakan
sebagai badan hukum karena tidak memenuhinya beberapa unsur teori badan
hukum sesuai dengan uraian diatas yaitu dalam hal pengesahan oleh negara,
tujuan utama dari BUMDes itu sendiri yang merupakan mensejahterakan
masyarakat desa bukanlah mengejar keuntungan semata-mata, dan kerugian yang
BUMDes yang merupakan tanggung jawab perseorangan yang bertentangan
dengan KUHPer.
Disamping itu timbul adanya alasan mengapa BUMDes yang berlaku saat
ini diatur sedemikian yang telah diuraikan diatas tersebut yaitu dilatarbelakangi
oleh filosofi BUMDes itu sendiri yaitu pada dasarnya merupakan badan usaha
namun bukan semata-mata mencari keuntungan tetapi juga punya muatan
pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan upaya pemberdayaan masyarakat
dan menggerakkan ekonomi desa. Yang kemudian didukung kembali dalam UU
Desa yang menjelaskan bahwa BUMDes ini pada dasarnya tidak dapat disamakan
dengan badan hukum lainnya seperti Perseroan Terbatas atau CV dikarenakan
BUMDes juga mempunyai tujuan mensejahterakan masyarakat desa.
54
Maka dalam hal tersebut timbul adanya tidak bertumbuhnya BUMDes itu
sendiri. Seperti yang dilansir dalam berdesa.com, Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Juli 2018 yang
menjelaskan bahwa jumlah BUMDes di seluruh Indonesia mencapai 35 ribu dari
74.910 desa di seluruh bumi nusantara. Jumlah itu lima kali lipat dari target
Kementrian Desa yang hanya mematok 5000 BUMDes. Namun hal tersebut
masih dapat ditemukan permasalahan dalam pendirian BUMDes tersebut.
berbagai data menyebut bahwa sebagian besar BUMDes masih sebatas berdiri dan
belum memiliki aktivitas usaha yang menghasilkan. Sebagian lagi malah layu
sebelum berkembang karena masih ‘sedikitnya’ pemahaman BUMDes pada
sebagian besar kepala desa.
Ada beragam masalah yang membuat ribuan BUMDes belum tumbuh
sebagaimana harapan. Pertama, karena wacana BUMDes bagi banyak desa baru
masih seumur jagung terutama sejak disahkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014
tentang Desa. Kedua, selama bertahun-tahun desa adalah struktur pemerintahan
yang berjalan atas dasar instruksi dari lembaga di atasnya. Hampir semua yang
diurus Kepala Desa dan pasukan perangkatnya berpusat pada masalah
administrasi. Kalaupun desa mendapatkan porsi membangun, anggaran yang
mengucur boleh dikatakan sebagai ‘sisanya-sisa’. Maka lahirnya UU Desa
membuat Kepala Desa dan jajaran-nya membutuhkan waktu untuk mempelajari
Undang undang dan berbagai peran dan tanggung jawab baru berkaitan dengan
datangnya BUMDes di desanya. Pengesahan UU Desa adalah titik balik sejarah
bagi desa di Indonesia. Desa yang selama ini hidup hanya sebagai obyek dan
dianggap hanya cukup menjalankan instruksi saja, berubah total.
55
Dari fakta tersebut penulis menganggap bahwa perlunya dasar hukum
mengenai pendirian BUMDes tersebut dapat berdampak pada pengelolaan
BUMDes. Dalam fakta tersebut terhambatnya perkembangan BUMDes
dikarenakan oleh beberapa faktor namun salah satunya merupakan karena
peraturan desa yang mulanya desa merupakan struktur pemerintahan yang
berjalan atas dasar instruksi dari lembaga diatasnya, saat ini menjadi desa dituntut
untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri serta mewujudkan desa yang
mandiri membuat perangkat desa membutuhkan waktu untuk memahami
wewenang serta tanggung jawab barunya sesuai dengan berlakunya UU Desa
tersebut. Maka dalam hal tersebut perlu adanya peraturan yang mengatur
mengenai kejelasan pendirian BUMDes yang konkrit.
Maka dalam hal tersebut dengan kurangnya peraturan mengenai status
hukum BUMDes ini akan menimbulkan beberapa implikasi, yaitu:
a) Dalam hal pengelolaan, kurangnya peraturan mengenai badan hukum
BUMDes ini pada dasarnya membuat BUMDes tidak dapat
mendirikan kegiatan usaha Perseroan Terbatas dan LKM. Hal ini
didasarkan pada teori badan hukum yang tidak terpenuhi oleh
BUMDes sesuai UU BUMDes serta Permendesa No. 4/2015. Apabila
BUMDes bukanlah badan hukum maka BUMDes bukanlah suatu
subjek hukum yang dapat mewakili badan usaha dalam melakukan
perbuatan hukum.
b) Dengan adanya era persaingan pasar bebas saat ini, BUMDes dapat
dikatakan akan kalah bersaing dalam pasar bebas tersebut. Sebagai
lembaga legal yang menutut desa untuk dapat mensejahterakan
56
rakyatnya serta dapat melahirkan keunggulan lokal tersebut, baiknya
status hukum pendirian BUMDes yang sebagai fondasi lahirnya badan
usaha tersebut memiliki peraturan yang jelas.