bab ii geomorfologi dbs
TRANSCRIPT
BAB II
GEOMORFOLOGI
2. 1 Geomorfologi Regional
Tinjauan geologi regional daerah penelitian didasarkan pada peta Geologi
Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai meliputi Kabupaten Maros, Gowa,
Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone dan Selayar yang
semuanya termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Lembar peta ini
berbatasan dengan Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat di utara,
Selat Makassar di bagian barat dan Teluk Bone di bagian timur dan Laut Flores di
selatan.
Bentuk morfologi yang menonjol di daerah lembar ini adalah kerucut
gunungapi Lompobatang, yang menjulang mencapai ketinggian 2876 m di atas
muka air laut. Kerucut gunungapi ini dari kejauhan masih memperlihatkan bentuk
aslinya, dan menempati lebih kurang 1/3 daerah lembar. Kerucut gunungapi
Lompobatang ini tersusun oleh batuan gunungapi berumur Plistosen.
Dua buah bentuk kerucut tererosi yang lebih sempit sebarannya terdapat di
sebelah barat dan sebelah utara G. Lompobatang. Di sebelah barat terdapat G.
Baturape, mencapai ketinggian 1124 m dan di sebelah utara terdapat G. Cindako
mencapai ketinggian 1500 m. Kedua bentuk kerucut tererosi ini disusun oleh
batuan gunungapi berumur Pliosen.
Di bagian utara lembar terdapat 2 daerah yang dicirikan oleh topografi
karst, yang dibentuk oleh batugamping Formasi Tonasa. Kedua daerah topografi
12
karst ini dipisahkan oleh pegunungan yang tersusun oleh batuan gunungapi
berumur Miosen sampai Pliosen.
Daerah sebelah barat Gunung Cindako dan sebelah utara Gunung Baturape
merupakan daerah berbukit kasar di bagian timur dan halus di bagaian barat.
Bagian timur mencapai ketinggian kira-kira 500 m, sedangkan bagian barat
kurang dari 50 m di atas muka air laut dan hampir merupakan suatu dataran.
Bentuk morfologi ini disusun oleh batuan klastik gunungapi berumur Miosen.
Bukit-bukit memanjang yang tersebar di daerah ini mengarah ke Gunung Cindako
dan Gunung Baturape berupa retas-retas basal.
Pesisir barat merupakan dataran rendah yang sebagian besar terdiri dari
daerah rawa dan daerah pasang-surut. Beberapa sungai besar membentuk daerah
banjir di dataran ini. Bagian timurnya terdapat bukit-bukit terisolir yang tersusun
oleh batuan klastika gunugapi berumurMiosen dan Pliosen.
Pesisir baratdaya ditempati oleh morfologi berbukit memanjang rendah
dengan arah umum kira-kira baratlaut-tenggara. Pantainya berliku-liku
membentuk beberapa teluk, yang mudah dibedakan dari pantai di daerah lain di
lembar ini. Daerah ini disusun oleh batuan karbonat dari Formasi Tonasa.
Secara Fisiografi pesisir timur merupakan penghubung antara Lembah
Walanae di utara, dan Pulau Selayar di Selatan. Di bagian utara, daerah berbukit
rendah dari Lembah Walanae menjadi lebih sempit dibanding yang di utara
(Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat), dan menerus di sepanjang
pesisir timur Lembar Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai. Pegunungan sebelah
13
timur dari Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat berakhir di bagian
utara pesisir timur lembar ini.
Bagian selatan pesisir timur membentuk suatu tanjung yang ditempati
sebagian besar oleh daerah berbukit kerucut dan sedikit topografi karst. Bentuk
morfologi semacam ini ditemukan pula di bagian barat laut P. Selayar. Teras
pantai dapat diamati di daerah ini sejumlah 3 dan 5 buah. Bentuk morfologi ini
disusun oleh batugamping berumur Miosen Akhir – Pliosen.
Gambar 2.1 Peta Geomorfologi Lengan Selatan Pulau Sulawesi (Wilson, 1995)
14
Pulau Selayar mempunyai bentuk memanjang utara –selatan, yang secara
fisiografi merupakan lanjutan dari pegunungan sebelah timur di Lembar
Pangkajene dan Watampone bagian Barat. Bagian timur rata-rata berdongak lebih
tinggi dengan puncak tertinggi 608 meter, dan bagian barat lebih rendah. Pantai
timur rata-rata terjal dan pantai barat landai; secara garis besar membentuk
morfologi lereng – miring ke arah barat. (Sukamto dan Supriatna, 1982).
2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian
Pembahasan mengenai geomorfologi daerah penelitian meliputi penjelasan
pembagian satuan geomorfologi, uraian tentang sungai pada daerah penelitian
termasuk jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi sungai, tipe genetik dan
stadia sungai, yang pada akhirnya akan dihasilkan suatu kesimpulan tentang
stadia daerah penelitian.
2.2.1 Satuan Geomorfologi
Geomorfologi banyak didefinisikan oleh para ahli geomorfologi dalam
bukunya. Menurut Lobeck (1939), geomorfologi didefinisikan sebagai studi
tentang bentuk lahan. Geomofologi juga di definisikan sebagai ilmu tentang
bentuk lahan (Thornburry,1969). Sedangkan menurut van Zuidam (1985),
geomorfologi didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan
proses serta mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan
keruangannya. Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat di simpulkan
bahwa Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsi secara genetis bentuk lahan
15
dan proses – proses yang dipengaruhi oleh batuannya dan mencari korelasi
hubungan antara bentuk – bentuk lahan tersebut dengan proses – proses dalam
susunan keruangannya yang membentuk bentang alam tersebut. Pembentukan
bentangalam dari suatu daerah merupakan hasil akhir dari proses geomorfologi
yang disebabkan oleh gaya endogen dan eksogen. Bentangalam tersebut
mempunyai bentuk yang bervariasi dan dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor-
faktor tertentu antara lain proses, stadia, jenis litologi penyusun serta pengaruh
struktur geologi atau tektonik yang bekerja (Verstappen dan van Zuidam, 1985).
Pengelompokkan bentangalam menjadi satuan-satuan geomorfologi
berdasarkan beberapa faktor melalui tiga pendekatan yaitu :
Pendekatan morfometri
Pendekatan morfografi
Pendekatan morfogenesa
Pendekatan morfometri yaitu didasarkan pada beberapa parameter
geomorfologi yang bisa diukur. Unsur tersebut terdiri atas ketinggian, luas, relief,
sudut lereng, beda tinggi , kerapatan sungai, tingkat erosi dan sebagainya.
Pendekatan morfografi, yaitu pendekatan yang didasarkan pada bentuk
permukaan bumi yang dijumpai di lapangan yakni berupa topografi pedataran,
perbukitan dan pegunungan. Aspek bentukan ini perlu memperhatikan parameter
dari setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk lereng, dan bentuk lembah
yang dijumpai dilapangan.
Pendekatan morfometri yang digunakan untuk penentuan satuan bentang
alam, yaitu persentase kemiringan lereng dan beda tinggi. Klasifikasi kemiringan
16
lereng yang digunakan yaitu berdasar pada klasifikasi van Zuidam (1985).
Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut dibawah ini.
Tabel 2.1. Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam ,1985)
Satuan Relief Sudut Lereng (%) Beda Tinggi (m)
Datar atau hampir datar 0 – 2 < 5
Bergelombang/ miring landai 3 – 7 5 – 50
Bergelombang/ miring 8 – 13 51 – 75
Berbukit bergelombang/ miring 14 – 20 76 – 200
Berbukit tersayat tajam/ terjal 21 – 55 200 – 500
Pegunungan tersayat tajam 55 – 140 500 – 1000
Pegunungan sangat curam > 140 > 1000
Sedangkan Pendekatan morfogenesa (genetik) yaitu berdasarkan asal usul
pembentukan atau proses yang membentuk bentangalam di permukaan bumi,
dengan proses pembentukan yang dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen
serta proses ekstra terrestrial (van Zuidam, 1985). Pendekatan ini dapat berupa
proses denudasional yaitu proses penelanjangan/pengelupasan yang meliputi
pelapukan serta tingkatannya, erosi dan mass wasting (gerakan tanah), gejala –
gejala karst, kontrol struktur, Fluvial, marine, aeolian, vulkanik dan glasial.
Klasifikasi satuan bentangalam berdasarkan genetik dikemukakan oleh van
Zuidam (1985), yaitu dengan menggunakan sistem klasifikasi ITC (International
Terrain Classification). Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2.
17
No. Bentuk Warna
1. Struktural Ungu
2. Vulkanik Merah
3. Denudasional Coklat
4. Marine Hijau
5. Fluvial Biiru Tua
6. Glasial Biru Muda
7. Karst Orange
8. Eolian Kuning
Dasar penamaan satuan bentangalam daerah penelitian didasarkan pada
pendekatan morfometri, morfografi dan morfogenesa. Total luas area penelitian
40,75 km2 Berdasarkan hal tersebut, daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2
satuan bentangalam, yaitu:
1. Satuan bentangalam bergelombang Karst
2. Satuan bentangalam Pedataran Marine
2.2.1.1 Satuan Bentangalam Bergelombang Karst
Karst adalah sebuah daerah dengan karakteristik khusus terutama bangun
relief dan drainase dari kelarutan batuan di dalam air alam dengan tingkat yang
lebih tinggi dibandingkan tempat lain yang ditemukan (Jennings,1971 dalam van
Zuidam, 1985).
Dasar penamaan satuan bentangalam ini menggunakan pendekatan
genetik atau proses geomorfologi yang mengontrol daerah penelitian, pendekatan
morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitian melalui pengamatan
Tabel 2.2. Klasifikasi satuan bentangalam berdasarkan genetik pada sistem ITC (van Zuidam, 1985)
18
langsung dilapangan dan pendekatan morfometri dengan melakukan analisis relief
dan beda tinggi pada peta topografi skala 1 : 25.000 daerah penelitian.
Satuan ini menempati 30,35 km2 atau 74,42 % dari luas keseluruhan
daerah penelitian. Dengan daerah penyebaran menempati bagian Utara hingga
bagian Tenggara daerah penelitian, mulai dari daerah Doajang, sebagian daerah
Tanah Beru, Tarampang, Tabolloang hingga daerah Sapo.
Berdasarkan pendekatan morfometri, satuan bentangalam ini memiliki
kemiringan lereng rata – rata 20 - 40 , dengan persentase sudut lereng sekitar 3 –
7%, dan beda tinggi sekitar 5 - 50 meter diatas permukaan laut. Sehingga
berdasarkan klasifikasi van Zuidam (1985) daerah ini termasuk tipe morfologi
bergelombang.
Berdasarkan pendekatan morfografi yaitu melalui pengamatan secara
langsung dilapangan daerah – daerah ini memiliki lereng yang relatif miring-
landai dengan tipe morfologi bergelombang.. Berdasarkan hasil pengolahan data
morfometri dan morfografi serta uraian karakteristik daerah ini, maka reliefnya
bergelombang (foto 2.2).
Analisis morfogenesa daerah penelitian merupakan analisis terhadap
karakteristik bentukan alam hasil dari proses-proses yang merubah bentuk muka
bumi, antara lain proses pelapukan, erosi, dan bentukan – bentukan morfologi
batugamping.
Umumnya daerah ini tersusun oleh batuan yang mudah larut seperti
batugamping. Tetapi tidak berarti bahwa pada setiap tempat dimana terdapat
batugamping akan terbentuk topografi karst. Karst tidak hanya terjadi di daerah
19
berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan lain yang mudah larut dan
mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar intensif), seperti batuan gipsum
dan batu garam.
Karakteristik khusus karst yang berbeda dari bentuk lahan lainnya
mempunyai
ciri – ciri bentuk lahan karst yaitu sebagai berikut :
1. Terdapatnya sejumlah cekungan atau lubang dengan bentuk dan ukuran yang
bervariasi, cekungan tersebut dikenangi air ataupun tidak digenangi,
mempunyai kedalaman dengan jarak berbeda – beda.(gambar 2.3)
2. Bukit – bukit kecil dalam jumlah yang banyak sisa – sisa erosi akibat
pelapukan kimia pada batugamping (conicall hill).
3. Terdapat sungai bawah tanah, ponor dan mata air karst.
4. Terdapat gua – gua batugamping serta adanya stalaktit dan stalagmit.
Perkembangan bentuk lahan karst sangat bervariasi dari satu tempat
ke tempat lain.Variasi tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang mengontrol
perkembangannya, seperti batuan, struktur geologi, vegetasi, dan iklim. Faktor-
faktor tersebut secara bersama-sama menentukan intensitas dan kecepatan
karstifikasi. Hasil dari proses karstifikasi tersebut adalah bentuk lahan karst.
Morfologi karst makro di suatu wilayah dapat meliputi beberapa
kombinasi dari bentukan negatif berupa dolina, uvala, polje, atau ponor; dan
bentukan positif berupa kegel, mogote, atau pinacle (van Zuidam,1985).
20
Gambar 2.2 Kenampakan satuan bentangalam bergelombang karst di foto kearah N 250oE pada stasiun 164
Gambar 2.3 Cekungan atau lubang dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi sebagai salah satu penciri Karst
21
Adapun morfologi karst pada daerah penelitian ini dibuktikan dengan
adanya sungai bawah tanah (drainase bawah tanah) yang digunakan oleh
penduduk setempat sebagai sumber air tawar (gambar 2.4).
Penciri satuan bentang alam Karst lainnya yang terdapat pada daerah
penelitian ini yaitu tidak dijumpainya sungai (sistem drainase) di permukaan. Hal
ini disebabkan karena massa air pada batugamping akan meresap turun melalui
celah atau kekar pada batuan tersebut.
Jenis pelapukan pada satuan bentangalam ini, berupa pelapukan fisika
biologi dan kimia. Pelapukan biologi ditandai dengan adanya akar tumbuhan yang
menerobos masuk di antara rekahan pada batuan (gambar 2.5). Sementara
Gambar 2.4 Indikasi sungai bawah tanah (drainase bawah tanah) sebagai salah satu penciri Karst yang digunakan oleh penduduk setempat sebagai sumber air tawar d foto ke arah N120o E
22
pelapukan kimia ditandai dengan adanya mengalami pelarutan yang ditunjukkan
oleh adanya kenampakan dari permukaan batugamping yang tajam –tajam dan
berlubang - lubang. Proses geomorfologi pada daerah penelitian dikontrol oleh
proses pelarutan yang berlangsung aktif, hal ini mengakibatkan daerah penelitian
mempunyai sifat kelarutan yang tinggi utamanya terhadap air hujan sehingga
mudah membentuk rekahan dan lubang pada batugamping. Apabila proses ini
berlangsung secara intensif dalam jangka waktu yang lama, sebagian dari rekahan
dan lubang tersebut akan saling berhubungan membentuk alur – alur air dan pada
stadia selanjutnya akan membentuk sungan bawah tanah, dan sebagian dari
rekahan dan lubang yang saling berhubungan tersebut dapat pula membentuk gua
bawah tanah.
Gambar 2.5 Pelapukan biologi yang disebabkan oleh pertumbuhan akar tumbuhan pada batugamping yang di foto kearah N160oE pada stasiun 13
23
Pada morfologi Karst terdapat pula pelapukan fisika. Efek pelapukan
pada permukaan batuan memberikan beberapa morfologi yang khas berupa
Mushroom yaitu tonjolan berbentuk cendawan yang terbentuk sebagai hasil abrasi
pantai. Tonjolan pada bagian atas batuan menunjukkan abrasi yang bekerja pada
bagian ini kurang efektif (gambar 2.6).
Pelapukan kimia menghasilkan soil yaitu hasil pelapukan dari
batugamping dengan ketebalan 1 – 2 meter, berwarna kehitaman, jenis soil secara
umum berupa residual soil. Selain itu dijumpai pelapukan berupa pelarutan yang
terjadi pada batugamping karena terkontaminasi dengan air. Berdasarkan
ketebalan soil yang dijumpai maka dapat diketahui bahwa tingkat pelapukan yang
terjadi pada satuan bentangalam pedataran adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat pada
tabel hubungan tebal soil dengan tingkat pelapukan menurut van Zuidam (1985).
Gambar 2.5 Pelapukan fisika yang disebabkan oleh proses abrasi di foto kearah N150oE pada stasiun 17
24
Tabel 2.3 Hubungan tebal soil dengan tingkat pelapukan (van Zuidam, 1985)
± 2 m
Pada satuan bentang alam ini juga terlihat perbedaan warna soil hasil
pelapukan kimia batugamping (gambar 2.7). Pada bagian Utara - Timur daerah
penelitian soil yang dijumpai berwarna kemerahan sedangkan pada bagian
Baratlaut – Tenggara berwarna hitam. Hal ini disebabkan karena pada daerah
Utara – Timur kaya akan kandungan unsur seperti Fe2+ , Mg2+ yang mengalami
oksidasi karena bersentuhan dengan air, oksigen, dan karbon dioksida yang
terdapat dalam atmosfer dan akan menghasilkan soil berwarna kemerahan,
sedangkan pada bagian barat laut – tenggara CaCO3 akan terurai melepaskan
unsur karbon yang menghasilkan soil berwarna hitam.
Gambar 2.6 Kenampakan residual soil yeng merupakan hasil pelapukan dari batugamping pada stasiun 24, difoto ke arah N 150oE
25
Tebal Soil (cm) Tingkat Pelapukan> 150 Tinggi
50 – 150 Tinggi - Sedang< 50 Rendah
Tidak ada soil -
a b
2.2.1.2. Satuan Bentangalam Pedataran Marine
Satuan bentang alam ini menempati sekitar 10,45 km2 (25,57%) dari luas
keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan ini menempati bagian selatan
hingga pada bagian barat laut yang berada pada sepanjang pesisir Teluk
Birangkeke.
Hasil analisis morfometri terhadap peta topografi atau peta dasar pada
satuan bentang alam ini memiliki kemiringan lereng rata-rata 0º-2º, dengan
persentase lereng sekitar 0-2 % dengan titik ketinggian berkisar antara 1 - 2 meter
dari permukaan laut.
Relief dari satuan bentangalam ini adalah pedataran dan berdasarkan
tinjauan di lapangan tidak dijumpai adanya bentuk lembah yang berarti serta
bentuk lereng seperti terlihat dalam gambar 2.8, sehingga berdasarkan klasifikasi
van Zuidam (1985), daerah ini termasuk tipe morfologi pedataran.
Gambar 2.7 Kenampakan soil hasil pelapukan kimia batugamping berwarna hitam (a) yang difoto kearah N1000E pada stasiun 33, berwarna kemerahan (b) yang difoto ke arah N 230oE pada stasiun 39
26
Analisa morfogenesa daerah penelitian merupakan analisa terhadap
karakteristik bentukan alam hasil proses - proses yang merubah bentuk muka
bumi tersebut. Proses tersebut antara lain adalah proses erosi dan sedimentasi
yang dapat bekerja secara bersama-sama.
Proses sedimentasi material asal laut mendominasi satuan bentang alam
ini. Bentuk geomorfologi yang dihasilkan berupa hamparan pedataran yang terdiri
endapan pantai seperti hamparan pasir, cangkang – cangkang organisme berada di
sepanjang pesisir Teluk Birangkeke. (gambar 2.9) Satuan ini dikontrol oleh
aktifitas ombak dan arus yang bekerja pada daerah penelitian.
Gambar 2.8 Kenampakan satuan morfologi pedataran marine difoto kearah N 250oE pada stasiun 15
27
Proses erosi permukaan yang terdapat pada daerah penelitian yaitu berupa
erosi oleh ombak (abrasi) yang menyebabkan terjadinya rekahan-rekahan pada
karang yang terdapat pada pinggir pantai yang lama-kelamaan mengikis batuan
tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui pengendapan tersebut di
dominasi oleh endapan asal laut .
Satuan bentangalam ini dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai
pemukiman, pelabuhan nelayan, dan sebagian masih berupa semak belukar.
2.2.2. Pantai
Pantai adalah daerah ditepi laut yang merupakan batas antara surut
terendah dan pasang tertinggi. Pembahasan mengenai pantai pada daerah
penelitian meliputi uraian tentang tipe – tipe pantai dan klasifikasi pantai.
Gambar 2.9 Endapan pantai seperti hamparan pasir, cangkang- cangkang organisme dominan menyusun satuan pedataran difoto kearah N 124oE pada stasiun 15
28
Daerah pantai yang masih mendapat pengaruh air laut dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu :
1. Beach (daerah pantai). Yaitu daerah yang langsung mendapat pengaruh air laut
dan selalu dapat dicapai oleh pasang naik dan pasang turun.
2. Shore line (garis pantai). Jalur pemisah yang relatif berbentuk baris dan
merupakan batas antara daerah yang dicapai air laut dan yang tidak bisa dicapai.
3. Coast (pantai). Daerah yang berdekatan dengan laut dan masih mendapat
pengaruh air laut. Antara pantai yang satu dengan garis pantai yang lainnya
mempunyai perbedaan. Perbedaan dari masing-masing jenis pantai tersebut
umumnya disebabkan oleh kegiatan gelombang dan arus laut
2.2.2.1 Tipe Pantai
Secara sederhana, pantai dapat diklasifikasikan berdasarkan material
penyusunnya, yaitu menjadi:
1. Pantai Batu (rocky shore), yaitu pantai yang tersusun oleh batuan induk
yang keras seperti batuan beku atau sedimen yang keras.
2. Beach, yaitu pantai yang tersusun oleh material lepas. Pantai tipe ini dapat
dibedakan menjadi:
a. Sandy beach (pantai pasir), yaitu bila pantai tersusun oleh endapan
pasir.
b. Gravely beach (pantai gravel, pantai berbatu), yaitu bila pantai
tersusun oleh gravel atau batuan lepas. Seperti pantai kerakal.
29
3. Pantai bervegetasi, yaitu pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi pantai. Di
daerah tropis, vegetasi pantai yang dijumpai tumbuh di sepanjang garis
pantai adalah mangrove, sehingga dapat disebut Pantai Mangrove.
Bila tipe-tipe pantai dilihat dari sudut pandang proses yang bekerja
membentuknya, maka pantai dapat dibedakan menjadi:
1. Pantai hasil proses erosi, yaitu pantai yang terbentuk terutama melalui
proses erosi yang bekerja di pantai. Termasuk dalam kategori ini adalah
pantai batu (rocky shore).
2. Pantai hasil proses sedimentasi, yaitu pantai yang terbentuk terutama
kerena proses sedimentasi yang bekerja di pantai. Termasuk kategori ini
adalah beach. Baik sandy beach maupun gravely beach.
3. Pantai hasil aktifitas organisme, yaitu pantai yang terbentuk karena
aktifitas organisme tumbuhan yang tumbuh di pantai. Termasuk kategori
ini adalah pantai mangrove.
Pantai dapat dibedakan menjadi 3 bagian bila dilihat dari tipe sedimen
pantainya. Sedimen pantai adalah material sedimen yang diendapkan di pantai.
Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen pantai dapat berkisar dari sedimen
berukuran butir lempung sampai gravel. Kemudian, berdasarkan pada tipe
sedimennya, pantai dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Pantai gravel, bila pantai tersusun oleh endapan sedimen berukuran gravel
(diameter butir > 2 mm).
30
2. Pantai pasir, bila pantai tersusun oleh endapan sedimen berukuran pasir (0,5 –
2 mm).
3. Pantai lumpur, bila pantai tersusun oleh endapan lumpur (material berukuran
lempung sampai lanau, diameter < 0,5 mm).
Berdasarkan hal tersebut maka di tinjau dari material penyusunnya,
pantai pada daerah penelitian dapat dikategorikan sebagai pantai pasir (Sandy
beach) oleh karena material yang menyusun pantai pada daerah penelitian
dominan pasir. Sdangkan berdasarkan proses yang bekerja, maka pantai pada
daerah penelitian merupakan pantai hasil proses sedimentasi yang ditinjau dari
sedimen pantai berupa pasir putih yang menunjukkan bahwa sedimen tersebut
berasal dari laut.
Klasifikasi tipe-tipe pantai berdasarkan pada sedimen penyusunnya itu
juga mencerminkan tingkat energi (gelombang dan atau arus) yang ada di
lingkungan pantai tersebut. Pantai gravel mencerminkan pantai dengan energi
tinggi, sedang pantai lumpur mencerminkan lingkungan berenergi rendah atau
sangat rendah. Pantai pasir menggambarkan kondisi energi menengah.
2.2.2.2 Klasifikasi Pantai
Bentang alam pantai dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam
berdasarkan :
1. Genesa (Johnson, 1919)
2. Faktor-faktor pembentukannya (Shepard, 1948)
31
Adapun keterangannya berdasarkan pembagiannya bentang alam
sebagai berikut:
1. Klasifikasi pantai menurut Johnson 1919 (Thornbury, 1964)
Berdasarkan genesa dibagi menjadi 4 macam pantai yaitu:
a. Pantai tenggelam (submergence coast), pantai tenggelam (submergence
coast) ini terjadi karena tenggelamnya daratan atau naiknya muka air
laut. Contoh : Pantai Ria (terjadi akibat erosi fluvial), Pantai Fjord (terjadi
akibat glasiasi)
b. Pantai naik (emergence coast), pantai ini terjadi akibat majunya garis
pantai atau turunnya muka air laut.
c. Pantai netral, adalah pantai yang tidak mengalami penenggelaman atau
penurunan
d. Pantai campuran (compound).
2. Klasifikasi pantai menurut Shepard (1948)
Dibagi berdasarkan faktor-faktor pembentuknya, berdasarkan pendekatan
secara genesa atau perbedaan bentuk-bentuk awal (initial) dan juga bentuk-
bentuk berikutnya (subquential).klasifikasi ini terdiri dari :
a.Pantai primer, stadia muda ini dihasilkan oleh proses bukan asal laut
(nonmarine agencies).
b. Pantai sekunder, dengan stadia dewasa yang dihasilkan oleh proses asal
laut (marine agencies).
32
Dengan melihat klasifikasi yang diuraikan di atas, maka berdasarkan
klasifikasi Johnson (1919) yang ditinjau dari genesanya maka pantai pada daerah
penelitian merupakan pantai naik. Pantai ini terjadi akibat majunya garis pantai
atau turunnya muka air laut. Yang dicirikan oleh garis pantai yang relatif lurus
dan dapat pula dilihat dari batuan penyusun berupa batuganping yang duunya
terbentuk d aeaw permukaan kini tersingkap di atas permukaan.
Berdasarkan klasifikasi Shepard (1948) yang ditinjau dari pendekatan
secara genesa, maka pantai pada daerah penelitian merupakan pantai sekunder
dengan stadia dewasa yang dihasilkan oleh proses asal laut (marine agencies)
dengan bentuk pantai yang lurus karena erosi gelombang dimana pantainya
dibentuk oleh sedimen – sedimen yang diendapkan arus dan ombak di sepanjang
pantai dengan ciri – ciri daerahnya berelief datar terdapat teluk dimuka pantai
yaitu teluk Birangkeke.
2.2.3 Stadia Daerah Penelitian
Penentuan stadia suatu daerah harus memperhatikan hasil kerja proses-
proses geomorfologi yang diamati pada bentuk-bentuk permukaan bumi yang
dihasilkan, dan didasarkan pada siklus erosi dan pelapukan yang bekerja pada
suatu daerah, mulai dari saat terangkatnya sampai terjadi perataan bentangalam
(Thornbury, 1969).
Pada daerah penelitian proses geologi yang telah terjadi dapat diamati
pada proses yang berlangsung secara intensif pada daerah tersebut berupa proses
pelarutan. Hal ini dapat dilihat dari dijumpainya lubang pada batuan yang saling
33
berhubungan yang nantinya akan membentuk gua bawah tanah dimana ukurannya
relatif kecil, juga dijumpai lubang hasil pelarutan yang tersingkap ke permukaan.
Pada daerah penelitian,sungai yang terbentuk berupa sungai bawah tanah
yang dibentuk oleh pelarutan yang bekerja secara intensif dengan dinding yang
relatif curam yang merupakan indikasi tingginya tingkat pelarutan pada daerah
penelitian.
Tingkat pelapukan batuan pada daerah penelitian tergolong tinggi yang
ditandai dengan ketebalan soil dengan kisaran 1 meter – 200 meter. Proses erosi
oleh air laut atau abrasi terhadap batugamping juga berlangsung secara intensif.
Dan proses sedimentasi juga masih berlanjut dimana pengendapannya dominan
dipengaruhi oleh material dari laut.
Berdasarkan pemaparan mengenai kondisi tingkat pelarutan, abrasi,
proses sedimentasi, maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah penelitian
adalah Stadia Muda Menjelang Dewasa.
Tabel 2. 3 Tabel Deskripsi satuan morfologi daerah penelitian
34
Aspek Geomorfologi
Satuan Bentangalam
Karst Marine
Luas Wilayah (km²) 4,91 (11,91%) 36,6 (88,09%)
Relief
Beda Tinggi (meter)
110-209 48-109
Relief Bergelombang PedataranBentuk Puncak
Tumpul -
Bentuk Lembah
- -
Bentuk Lereng Sangat Landai -Jenis Pelapukan Kimia, Fisika, Biologi FisikaTingkat Pelapukan Tinggi TinggiTingkat Sedimentasi Rendah TinggiBentuk Pelapukan Tanah terrarosa Pasir pantaiGerakan Tanah - -Pengendapan - -
SoilJenis Residual Soil Transported SoilTebal (meter) 0,5 –1 1– 3,5Warna Merah, hitam Putih kecoklatan
Litologi Penyusun Batugamping Endapan Pasir
Tutupan Lahan Batuan, Soil Batuan, Soil
Tata Guna LahanPerkebunan, Pemukiman
Permukiman, pelabuhan rakyat, objek wisata
Struktur Geologi - kekarStadia Daerah Muda Menjelang Dewasa
35