bab ii gambaran umum tentang kota denpasar … ii.pdf · akomodasi dan di kota denpasar tercatat 20...
TRANSCRIPT
37
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA DENPASAR DAN PERATURAN
DAERAH NOMOR 27 TAHUN 2011
TERKAIT RUANG BAGI PEJALAN KAKI
2.1 Gambaran Umum Kota Denpasar
Kota Denpasar selain sebagai Ibukota Daerah Tingkat II, juga merupakan
Ibukota Propinsi Bali sekaligus sebagai pusat pemerintahan, pendidikan,
pelayanan kesehatan dan sentral kegiatan perekonomian.
Batas wilayah Kota Denpasar di sebelah utara dan barat berbatasan dengan
Kabupaten Badung, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan di
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Badung dan Selat Badung.
Luas wilayah Kota Denpasar 127,98 km2 (seratus dua puluh tujuh koma
sembilan puluh delapan kilometer persegi) yang merupakan tambahan dari
reklamasi Pantai Serangan seluas 380 Ha (tiga ratus delapan puluh hektar), atau
2,27% (dua koma dua puluh tujuh persen) dari seluruh luas daratan Provinsi Bali.1
Wilayah Kota Denpasar terbagi di 4 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara serta
terdiri dari 43 desa/kelurahan.
1 Kota Denpasar, http://www.denpasarkota.go.id/index.php/selayang-pandang/2/Kondisi-
Geografi, Diakses 12 Mei 2015
38
2.1.1 Demografi Kota Denpasar
Data dari Badan Pusat Statistik Kota Denpasar jumlah penduduk Kota
Denpasar mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat di tahun 2013 saja
jumlah penduduk Kota Denpasar adalah sebanyak 846.200 jiwa. Pertambahan
penduduk di kota besar seperti Denpasar tidak hanya karena pertumbuhan alami
penduduk namun juga dipengaruhi faktor pesatnya perkembangan perekonomian
Kota Denpasar yang menjadi magnet terhadap arus migrasi masyarakat ke Kota
Denpasar yang berdampak juga pada semakin tingginya tingkat kepadatan
penduduk di Kota Denpasar.
Terkait dengan jumlah penduduk dan perkembangan perekonomian tersebut
sebanyak 38,98% (tiga puluh delapan koma sembilan puluh delapan persen)
tenaga kerja di Denpasar bekerja pada sektor perdagangan, rumah makan dan jasa
akomodasi dan di Kota Denpasar tercatat 20 rumah sakit yang tersebar di 4
wilayah kecamatan.
Berikut gambaran umum 4 kecamatan yang ada :
1. Kecamatan Denpasar Barat, memiliki luas wilayah 24,13km2. Lapangan
pekerjaan sebagian besar penduduk Kecamatan Denpasar Barat selama tiga
tahun terakhir adalah sektor tersier yang meliputi perdagangan/hotel dan
restoran, angkutan, keuangan dan jasa-jasa hal ini tidak terlepas dari letak
Kecamatan Denpasar Barat yang dekat dengan salah satu pusat kegiatan
industri pariwisata.2
2 Statistik Kecamatan Denpasar Barat, 2015,
http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-
Denpasar-Barat-2014.pdf, Diakses 12 Mei 2015
39
2. Kecamatan Denpasar Timur, dengan luas wilayah 22.31 km2 terdiri atas 15
desa/kelurahan dengan jumlah penduduk mencapai 146.510 jiwa. Mata
pencaharian masyarakatnya didominasi oleh kegiatan berdagang, disusul di
bidang pemerintahan, perbankan atau lembaga keuangan, pertanian dan
industri. Banyaknya penduduk yang berusaha di bidang angkutan menurut
jenis angkutan di darat sebanyak 470 unit dengan jumlah kendaraan bermotor
56.562 unit, dimana pengguna terbanyak adalah sepeda motor.
Sarana pendidikan yang tersedia di kecamatan ini, gedung sekolah
tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi sebanyak 166
bangunan. Banyaknya sarana kesehatan 213 bangunan sedangkan untuk
tenaga kerja masyarakat di wilayah ini banyak bekerja di hotel/pariwisata,
industri, dan perbankan.3
3. Kecamatan Denpasar Selatan, memiliki luas wilayah yang lebih luas dari
kecamatan lainnya yaitu 49,99 km2 dengan 10 desa/kelurahan. Jumlah
penduduk 266.420 dengan mayoritas lapangan pekerjaan penduduknya adalah
dibidang jasa, perdagangan, dan industri. Hal ini didukung dengan jumlah
tempat pemasaran/pasar mencapai 218 tempat. Selain itu banyaknya
penduduk yang berusaha di bidang angkutan sebanyak 1162 dan untuk
penggunaan kendaraan bermotor mencapai 90.313 unit. Sarana pendidikan
3 Statistik Kecamatan Denpasar Timur, 2015,
http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kecamatan-
Denpasar-Timur-2014-.pdf, Diakses 12 Mei 2015
40
dan fasilitas/sarana kesahatan Denpasar Selatan memiliki lebih banyak
daripada kecamatan lain.4
4. Kecamatan Denpasar Utara, memiliki luas wilayah 22.31 km2 yang terbagi
dalam 15 desa/kelurahan. Jumlah penduduknya 146.510 jiwa. Kegiatan
perekonomian masyarakat didukung dengan banyaknya tempat
pemasaran/pasar yang berjumlah 67 tempat dan jumlah bangunan toko 3.192
unit. Sarana pendidikan jumlah bangunan sekolah dan perguruan tinggi
memiliki 166 bangunan. Tersedianya sarana kesehatan sebanyak 213 unit.
Jenis pekerjaan yang paling banyak di bidang perdagangan disusul
pemerintahan dan di bidang jasa. Selain itu usaha lain dari penduduk di
kecamatan ini adalah di bidang angkutan 470 dan untuk transportasi
masyarakat banyak yang menggunakan kendaraan bermotor 56.562 unit.5
2.1.2 Ruang Bagi Pejalan Kaki Atau Trotoar
Kota Denpasar sebagai sentral berbagai kegiatan sekaligus sebagai
penghubung dengan kabupaten lain maka ketersediaan jaringan jalan sangatlah
penting. Kebijaksanaan pembangunan di sektor perhubungan khususnya darat
diarahkan pada usaha peningkatan prasarana jalan, jembatan, trotoar, rambu-
rambu jalan dan terminal.
4 Statistik Kecamatan Denpasar Selatan, 2015,
http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/website/pdf_publikasi/-Statistik-Daerah-Kecamatan-
Denpasar-Selatan-2014-.pdf, Diakses 12 Mei 2015
5 Statistik Kecamatan Denpasar Selatan, 2015,
http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/website/pdf_publikasi/Kecamatan-Denpasar-Utara-Dalam-
Angka-2014.pdf, Diakses 12 Mei 2015
41
Panjang jaringan jalan di Kota Denpasar mencapai 664,321 km2 dengan lebar
jalan 21,50 – 74,00 m2 sedangkan jumlah kendaraan yang ada di Denpasar
mencapai hampir 1.654.313 unit.6 Dari jumlah kendaraan yang ada, penggunaan
sepeda motor di Denpasar lebih tinggi dari jenis kendaraan lain.
Pertumbuhan kendaraan yang sangat pesat tidak sebanding dengan
pertambahan ruas jalan baru sehingga melebihi daya tampung kapasitas jalan.
Pertambahan kendaraan per tahun mencapai 14% sedangkan panjang jalan hanya
3,6% per tahun.7 Hal ini berpengaruh pula pada keberadaan fasilitas bagi perjalan
kaki salah satunya adalah trotoar dan pemanfaatannya di masyarakat.
Trotoar atau dalam Bahasa Belanda trottoir yaitu ketinggian di pinggir jalan
raya untuk berjalan kaki.8 Trotoar merupakan salah satu perlengkapan lalu lintas.
Fasilitas trotoar dapat dipahami sebagai pemisah antara pengendara kendaraan
dengan pejalan kaki ketika berada di jalan, yang tujuannya untuk menjamin
keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi pejalan kaki itu sendiri.
Pejalan kaki sering disebut juga dengan istilah pedestarian. Pedestarian
berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Pedos yang memiliki arti kaki.9 Dalam
bahasa inggris, pedestarian berarti pejalan kaki10
sehingga, tentu penting diberikan
ruang bagi pejalan kaki atau jalur bagi pedestarian berupa trotoar.
6Statistik Kota Denpasar, 2015,
http://denpasarkota.bps.go.id/web2015/website/pdf_publikasi/Buku-Saku-Statistik-denpasar-2014.pdf, Diakses 12 Mei 2015.
7 Kota Denpasar, http://www.denpasarkota.go.id/index.php/selayang-pandang/4/Kondisi-
Kemasyarakatan, Diakses 12 Mei 2015
8 Kamus Bahasa Belanda
9 Rinaldi Mirsa, op.cit., h.63
10 Kamus Inggris-Indonesia, 2005, John M Echols dan Hassan Shadily, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
42
Trotoar merupakan salah satu fasilitas pelengkap jalan. Dalam Pasal 45 ayat
(1) UU No.22/2009 diatur terkait fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan, antara lain:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan pejalan kaki
d. halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut
Fungsi trotoar dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ditujukan bagi
pejalan kaki. Pada bunyi ketentuan Pasal 34 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor
34 Tahun 2006 tentang Jalan tersirat bahwa fungsi trotoar hanya diperuntukkan
bagi lalu lintas pejalan kaki.
Selain UU No.22/2009 dan UU No.38/2004, adapun peraturan perundang-
undangan lain yang juga mengatur trotoar sebagai fasilitas di jalan, yaitu :
1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 65 Tahun 1993 Tentang
Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (disingkat
Kepmen Perhub No:KM 65 Tahun 1993) , pada Pasal 1 angka 7, Trotoar
adalah “bagian dari badan jalan yang khusus disediakan untuk pejalan kaki”.
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 19/Prt/M/2011 Tentang
Persyaratan Teknis Jalan Dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan (disingkat
Permen PU No: 19/Prt/M/2011) yaitu:
Pasal 25 : Bangunan pelengkap jalan sebagai fasilitas lalu lintas dan fasilitas
pendukung pengguna jalan meliputi:
a. jembatan penyeberangan pejalan kaki;
b. terowongan penyeberangan pejalan kaki;
c. pulau jalan;
d. trotoar;
43
e. tempat parkir dibadan jalan; dan
f. teluk bus yang dilengkapi halte.
Lebih lanjut pada Pasal 29 :
(1) Trotoar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d merupakan
bangunan yang ditinggikan sepanjang tepi jalan yang diperuntukkan bagi
lalu lintas pejalan kaki.
(2) Trotoar harus dirancang dengan memperhatikan :
a. aksesibilitas bagi penyandang cacat;
b. adanya kebutuhan untuk pejalan kaki; dan
c. unsur estetika yang memadai.
(3) Trotoar harus dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah dalam
pemeliharaan.
(4) Bagian atas trotoar harus lebih tinggi dari jalur lalu lintas.
(5) Bagian sisi dalam trotoar harus diberi kerb.
(6) Trotoar ditempatkan dalam Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) atau dalam
Ruang Milik Jalan (Rumija), tergantung dari ruang yang tersedia.
(7) Pada akses ke persil, ketinggian/kelandaian trotoar bagian tengah tidak
boleh diturunkan. Kelandaian boleh dilakukan kearah melintang trotoar
searah kendaraan masuk pada awal akses atau akhir akses.
Pasal 33, yang berbunyi :
(1) Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf a meliputi:
a. perlengkapan jalan wajib; dan
b. perlengkapan jalan tidak wajib.
(2) Perlengkapan jalan wajib meliputi:
a. aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan rambu jalan,
marka Jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas;
b. petunjuk dan peringatan yang dinyatakan dengan rambu dan
tanda,tanda lain; dan/atau
c. fasilitas pejalan kaki di jalan yang telah ditentukan.
Dalam Petunjuk Perencanaan Trotoar Nomor 007/T/BNKT/1990 Direktorat
Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota, dimuat mengenai fungsi
dari trotoar, yaitu “trotoar adalah jalur pejalan kaki yang juga berfungsi
memperlancar lalu lintas jalan raya karena tidak terganggu atau terpengaruh oleh
lalu lintas pejalan kaki”.
44
Trotoar dapat dipasang dengan ketentuan sebagai berikut:11
1. Trotoar hendaknya ditempatkan pada sisi luar bahu jalan atau sisi luar jalur
lalu lintas. Trotoar hendaknya dibuat sejajar dengan jalan, akan tetapi trotoar
dapat tidak sejajar dengan jalan bila keadaan topografi atau keadaan
setempat yang tidak memungkinkan.
2. Trotoar hendaknya ditempatkan pada sisi dalam saluran drainase terbuka
atau di atas saluran drainase yang telah ditutup dengan plat beton yang
memenuhi syarat. Trotoar pada pemberhentian bus harus ditempatkan
berdampingan /sejajar dengan jalur bus. Trotoar dapat ditempatkan di depan
atau dibelakang halte.
Secara teknis, trotoar harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:12
1. Trotoar dapat direncanakan pada ruas jalan yang terdapat volume pejalan
kaki lebih dari 300 orang per 12 jam (jam 6.00 – jam 18.00) dan volume lalu
lintas lebih dan 1000 kendaraan per 12 jam (jam 6.00 -jam 18.00).
2. Ruang bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 meter dan kedalaman bebas tidak
kurang dari satu meter dan permukaan trotoar. Kebebasan samping tidak
kurang dan 0,3 meter. Perencanaan pemasangan utilitas selain harus
memenuhi ruang bebas trotoar juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan
dalam buku petunjuk pelaksanaan pemasangan utilitas.
3. Lebar trotoar harus dapat melayani volume pejalan kaki yang ada. Lebar
minimum trotoar sesuai dengan klasifikasi jalan.
Adapun ketentuan terkait lebar trotoar yang diatur dalam Permen PU No:
19/Prt/M/2011, yaitu:
Pasal 16 ayat (3) “Di kedua sisi jalur lalu lintas harus disediakan trotoar sebagai
fasilitas bagi pejalan kaki dan petugas pemelihara dengan lebar paling
sedikit 0,5 (nol koma lima) meter”
Pasal 18 ayat (5) “Lebar trotoar paling kecil yang harus disediakan di kedua sisi
badan jalan untuk pejalan kaki dalam keadaan darurat dan untuk akses
bagi petugas pemeliharaan adalah 0,5 (nol koma lima) meter”
Dalam Pasal 3 ayat (2) Kepmen Perhub No: KM 65 Tahun 1993 berbunyi
Trotoar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, harus memenuhi
persyaratan:
11
Chairil Nizar, http://www.ilmusipil.com/pemisah-luar-lalu-lintas-dan-trotoar, diakses 23
Februari 2015
12 Ibid
45
a. lebar sesuai dengan kondisi lokasi atau jumlah pejalan kaki yang melalui
atau menggunakan trotoar tersebut, sebagaimana dalam lampiran keputusan
ini;
b. memiliki ruang bebas diatasnya sekurang- kurangnya 2,50 meter dari
permukaan trotoar.
Adapun ketentuan lebar jaringan pejalan kaki sesuai Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 03/PRT/M/2014 Tentang Pedoman Perencanaan,
Penyediaan, Dan Pemanfaatan Prasarana Dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki Di
Kawasan Perkotaan (selanjutnya disingkat Permen PU No: 03/PRT/M/2014) yaitu
sebagai berikut :
Tabel 1.
Lebar Jaringan Pejalan Kaki Sesuai dengan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan Lebar minimum
(m)
Lebar yang dianjurkan
(m)
Perumahan 1,6 2,75
Perkantoran 2,0 3
Industri 2,0 3
Sekolah 2,0 3
Terminal/Stop Bus 2,0 3
Pertokoan /Perbelanjaan 2,0 4
Jembatan/Terowongan 1,0 1
Pada bagian trotoar ditemukan pula fasilitas umum lain seperti tempat
sampah, pot-pot bunga, pohon, tiang reklame, atau telepon umum. Hal demikian
tentu mengganggu atau mencuri hak pejalan kaki untuk mendapatkan kenyamanan
saat berjalan kaki. Dengan demikian diperlukan penambahan lebar trotoar
46
khususnya untuk lokasi-lokasi tertentu. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 03/PRT/M/2014, ditentukan pula lebar tambahan pada
trotoar, yaitu:
Tabel 2.
Lebar Tambahan Pada Trotoar
N (meter) Keadaan
1,5 Jalan di daerah pasar
1,0 Jalan di daerah perbelanjaan bukan pasar
0,5 Jalan di daerah lain
Kota Denpasar dalam pembangunannya yang dapat dikatakan pesat apalagi
jika dipandang dari sisi pariwisata dan perekonomian tentu harus menyediakan
infrastruktur kota yang dapat menunjang kegiatan masyarakatnya, khususnya
dalam hal ini adalah sarana dan prasarana jalan .
Infrastruktur kota dalam ketentuan Pasal 13 ayat (3) huruf c angka 5
“penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan jalan pejalan kaki”;
dan angka 7 “penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana perkotaan
lainnya”.
Dalam Perda No.27/2011, Pemkot Denpasar dalam rencana tata ruang
wilayahnya juga memberikan perlindungan hukum bagi pejalan kaki. Seperti
yang tertuang dalam ketentuan:
1) Pasal 8 ayat (5) huruf e bahwa “Pemerintah Kota (Pemkot) menyediakan
sistem jaringan jalan bagi pejalan kaki (pedestrian)”, dan
2) Pasal 35 huruf c yang berbunyi “penyediaan jalur-jalur untuk penyandang
cacat dan kaum disable”
47
Penyediaan sistem jaringan jalan bagi pejalan kaki dan jalur-jalur bagi kaum
disable tersebut tidak dapat dilepaskan dari apa yang tersirat pada ketentuan Pasal
20 ayat (2) huruf b yang berbunyi pemberian prioritas keselamatan dan
kenyamanan bagi pengguna jalan khususnya pejalan kaki dan pengendara sepeda
melalui penyediaan jalur khusus. Pemberian prioritas tersebut dilakukan melalui
manajemen dan rekayasa lalu lintas. Manajemen dan rekayasa lalu lintas menurut
ketentuan Pasal 20 ayat (1), dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan
jaringan jalan dan pergerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.
Lebih lanjut untuk menjamin perlindungan bagi pedestarian (pejalan kaki)
yang dilakukan dengan sistem jaringan jalan bagi pejalan kaki penyediaan dan
pemanfaatan prasarana dan sarana bagi pejalan kaki diatur dalam Pasal 33, yaitu:
a. ruang pejalan kaki di sisi jalan berupa trotoar;
b. ruang pejalan kaki di sisi saluran air berupa jalan inspeksi;
c. ruang pejalan kaki di sisi pantai sepanjang Pantai Desa Kesiman Kertalangu,
Pantai Desa Kesiman Petilan, Pantai Padanggalak, Pantai Sanur dan
Serangan;
d. ruang pejalan kaki dalam bentuk plasa di kawasan perdagangan dan jasa,
kawasan perkantoran, kawasan pendidikan dan kawasan lainnya;
e. ruang kawasan pedestrian khusus dikembangkan di Jalan Gajah Mada, jalan
Sugianyar, Jalan Kamboja, Jalan Sudirman, Kawasan Niti Mandala, Kawasan
Niti Praja Lumintang, Kawasan sekitar Sanglah, Kawasan Pengembangan
Ubung Kaja, dan Kawasan Pengembangan Margaya;
f. ruang pejalan kaki di RTH sekaligus berfungsi sebagai lintasan lari (jogging
track);
g. ruang pejalan kaki di kawasan permukiman tertentu;
h. ruang pejalan kaki di kawasan tempat suci dan kawasan suci;
i. ruang pejalan kaki di kawasan rekreasi; dan
j. ruang pejalan kaki di bawah tanah.
Dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Perda terkait dengan trotoar
yang dipaparkan di atas, tentu mempunyai sanksi hukum apabila terjadi
48
pelanggaran. Hukum dipandang sebagai sesuatu yang bersifat memaksa dan
mengikat, sehingga dinilai bahwa sanksi dari suatu pelanggaran juga memaksa.
Sanksi tidak hanya dikenakan kepada masyarakat yang melanggar namun
juga kepada pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah yang tidak menegakan
hukum sebagaimana tujuan aturan tersebut dibuat dan diterbitkan. Sanksi menurut
Utrecht adalah akibat dari suatu perubahan atau reaksi dari pihak lain atas suatu
perbuatan.13
Pihak yang dimaksudkan adalah manusia atau organisasi.
Pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang termasuk fungsi dari trotoar juga
diatur dalam Perda No.27/2011, yaitu:
1. Pada ketentuan Pasal 114 yang mengatur sanksi administrasi,yaitu:
(1) Sanksi administrasi dikenakan atas pelanggaran rencana tata ruang, atas
hasil dari kegiatan pengawasan yang berakibat pada terhambatnya
pelaksanaan program pemanfaatan ruang, baik yang dilakukan oleh
penerima izin maupun pemberi izin;
(2) Jenis sanksi administrasi bagi pelanggaran rencana tata ruang bagi
masyarakat, terdiri dari:
a. peringatan dan atau teguran;
b. penghentian sementara pelayanan administratif;
c. penghentian sementara kegiatan pembangunan dan atau pemanfaatan
ruang;
d. pencabutan izin yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang;
e. pemulihan fungsi atau rehabilitasi fungsi ruang;
f. pembongkaran bagi bangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang;
g. pelengkapan/pemutihan perizinan
h. pengenaan denda.
(3) Jenis pelanggaran rencana tata ruang yang dilakukan oleh aparat
Pemerintah Daerah terdiri atas penerbitan perizinan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang, dan atau tidak sesuai dengan prosedur
administratif perubahan pemanfaatan ruang yang ditetapkan; dan
(4) Aparat Pemerintah Daerah yang melakukan pelanggaran rencana tata
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenakan sanksi administrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketentuan Pidana diatur pada Pasal 116
13 Chainur Arrasjid, op.,cit, h.23.
49
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dalam Pasal 111 ayat
(2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan
pelanggaran; dan
(3) Selain ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat juga
dipidana dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan adanya sanksi-sanksi tersebut dalam penerapannya oleh
aparat/petugas di masyarakat dapat mewujudkan rasa aman dan nyaman bagi para
pejalan kaki yaitu dengan menertibkan segala kegiatan yang menggunakan fungsi
trotoar di luar dari fungsinya sebagai ruang bagi pejalan kaki.
2.2 Eksistensi Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011
2.2.1 Asas Pembentukan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011
Setiap pembentukan kebijakan atau pembuatan produk hukum oleh
penyelenggara pemerintahan harus berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan. Hal ini terkait dengan asas legalitas dalam negara hukum bahwa semua
ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang,
seperti yang dirumuskan dalam ungkapan “het beginsel van wetmatigheid van
bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.
Pembuatan suatu produk hukum merupakan suatu sarana penyatuan dari apa
yang menjadi keinginan norma hukum dengan memperhatikan asas hukum.
Menurut Chainur Arrasjid, asas hukum adalah cita-cita ideal yang
melatarbelakangi pembentukan norma, yang bersifat umum dan konkret agar
berlaku dalam praktek.14
Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo seperti yang
ditulis oleh Hamzah Halim dan Kemal Redino Syahrul Putera dalam buku Cara
14 Chainur Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.37.
50
Praktis Menyusun Dan Merancang Peraturan Daerah, asas hukum merupakan
jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan
etis masyarakatnya.15
Dapat ditarik maksud dari pendapat ini adalah suatu
peraturan hukum perlu memperhatikan harapan dari sisi sosial dan tanggapan
masyarakat umum terhadap apa yang diatur di dalamnya sehingga peraturan
hukum tersebut tidak kaku ketika berusaha diterapkan di masyarakat.
Menarik garis besar dari pendapat Sudikno Mertokusumo terkait pengertian
norma hukum adalah kaidah hukum sebagai peraturan hidup yang menentukan
bagaimana manusia seharusnya berprilaku dan bersikap di dalam masyarakat, agar
kepentingan semua pihak terlindungi dan kaidah hukum itu sendiri terwujud
secara konkret dalam bentuk peraturan.16
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No.12/2011, Peraturan Perundang-
undangan adalah “peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan”.
Hierarki peraturan perundang-undangan diatur pada Pasal 7 ayat (1), yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945 (disingkat UUD 1945). UUD 1945 merupakan
hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
15 Hamzah Halim dan Kemal Redino Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual):Konsepsi
Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana, Jakarta, h.13
16 Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.21-22.
51
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat Tap MPR).
Ketetapan dipahami sebagai tindakan menetapkan yang dapat berwujud
undang-undang. Ketetapan dapat dimengerti sebagai keluaran dari tindakan
menetapkan.17
Ketetapan MPR yaitu putusan Majelis yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam Majelis.18
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(disingkat Perpu). Perpu adalah suatu peraturan yang dibentuk oleh Presiden
dalam hal ini ikhwal kegentingan yang memaksa. Pembentukannya yaitu
dengan alasan-alasan tertentu, yaitu keadaan mendesak atau kegentingan
yang memerlukan penanggulangan yang segera.19
4. Peraturan Pemerintah (disingkat PP). PP hanya berisi ketentuan lebih lanjut
dari ketentuan-ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang, artinya
materi muatan dalam PP adalah dari materi muatan undang-undang.
5. Peraturan Presiden (disingkat Perpres). Perpres adalah peraturan yang dibuat
oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
6. Peraturan Daerah Provinsi (disingkat Perda). Perda yang berlaku di Aceh
disebut Qanun , serta Perda Khusus atau Perdasus dan Perda Provinsi atau
Perdasi, yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Termasuk di dalamnya adalah Qanun
yaitu Perda Kabupaten/Kota yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi
Aceh.
17 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, 2011, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-
undangan, Nusa Media, Bandung, h.66.
18 Ibid.,h.66.
19 Ibid.,h.100.
52
Pemahaman hierarki atau urutan kedudukan suatu peraturan dalam peraturan
perundang-undangan mengenal 3 (tiga) asas yaitu peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dikenal dengan istilah lex superior derogat legi inferior. Selain itu dikenal
pula istilah lex specialis derogat legi generalis yaitu peraturan yang khusus
mengenyampingkan peraturan yang umum,dan lex posterior derogat legi priori
yaitu peraturan yang lama dibatalkan oleh peraturan yang baru.
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan pembentukannya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dan diatur dalam
hierarki perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, sebagaimana tercantum pada Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(disingkat UU No.12/2011) pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,
yaitu:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Dari asas-asas tersebut salah satu asas yang menjadi perhatian adalah Asas
dapat dilaksanakan. Dalam penjelasan asas tersebut, dijelaskan bahwa yang setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut dalam masyarakat baik secara filosofis,
53
sosiologis, maupun yuridis20
yang dapat dipahami bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak hanya menjadi produk hukum di awang-awang namun
dapat diterima dan diterapkan di masyarakat serta tujuan dari peraturan tersebut
dapat terwujud.
Materi muatan dalam suatu peraturan perundang-undangan juga harus
mencerminkan beberapa asas yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) UU
No.12/2011, yaitu:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka tunggal ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Asas dalam Pasal 6 ayat(1) huruf i “Ketertiban dan Kepastian Hukum”
memberikan penjelasan bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum. Selanjutnya diperkuat dengan Pasal 6 ayat(1) huruf j yaitu asas
Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan, di mana penjelasan dari asas ini
adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan
individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
20 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
54
Pada ketentuan Pasal 2 Perda No.27/2011, rencana tata ruang wilayah Kota
Denpasar didasarkan atas azas:
a. Tri Hita Karana;
b. Keterpaduan;
c. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan;
d. Keberlanjutan;
e. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
f. Keterbukaan;
g. Kebersamaan dan kemitraan;
h. Perlindungan kepentingan umum;
i. Kepastian hukum dan keadilan; dan
j. Akuntabilitas.
Menurut I Gusti Ketut Kaler, Tri Hita Karana secara harafiah adalah:21
a. Tri artinya tiga;
b. Hita artinya baik, lestari, senang;
c. Karana artinya sebab-musabab atau sumber sebab.
Tri Hita Karana mengajarkan pola hubungan yang seimbang, keharmonisan
hubungan yaitu:22
1. Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan
2. Hubungan harmonis antara manusia dengan alam
3. Hubungan harmonis antara manusia dengan manusia
Melalui Perda No.27/2011, penyelenggara pemerintahan daerah memberikan
perlindungan hukum bagi pejalan kaki dimana dengan kegiatan masyarakat Kota
Denpasar yang semakin padat. Penataan Ruang tidak hanya dipahami dengan
proses perencanaan berbasis pada fisik tetapi juga pada pengaturan dan
penegakannya. Materi muatan dalam Perda selain memberikan kepastian hukum,
21 I Made Suasthawa Dharmayudha dan I Wayan Koti Ҫantika, 1991, Filsafat Adat Bali,
Upada Sastra, Denpasar, h.6.
22 Ibid.,h.8.
55
juga penting memberikan keadilan dan kemanfaatan sesuai dengan tujuan dari
hukum dan perwujudan sebagai negara hukum.
2.2.2 Efektivitas Sebagai Eksistensi Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011
Terkait eksistensi dari pembentukan Perda No.27/2011 haruslah dapat
dirumuskan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat agar efektif berlaku
dan tidak sia-sia. Berkaitan dengan efektivitas yang tercantum dalam penjelasan
Pasal 5 UU.12/2011, menurut Blacks Law Dictionary, effective adalah:
performing within the range of normal and expected standarts
(e.counsel)(Productive;achieving a result (e.cause)23 – yang dapat diartikan
efektif adalah hasil dari rentang normal dan standar yang diharapkan- secara garis
besar efektif berarti ukuran dari suatu kegiatan atau usaha yang normal atau lebih
dari standar yang diharapkan .
Pengertian efektivitas lainnya terkait dengan pembentukan suatu peraturan
agar tetap berlaku di masyarakat adalah ketepatgunaan, hasil guna, menunjang
tujuan.24
Dari arti tersebut dapat dipahami bahwa efektivitas berkaitan dengan
dapat tercapainya tujuan atau dapat berhasil guna dari suatu usaha atau kegiatan.
Dari arti efektivitas menurut Black Law dan Kamus tersebut di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa efektivitas yang berasal dari kata efektif ukuran atau standar
dari hasil suatu usaha atau kegiatan apakah telah sesuai dengan harapan atau
belum tercapai atau tidak tercapai harapan tersebut.
23 Blacks Law Dictionary, Ninth Edition, Bryan a Garner,United State of America.
24 Kamus Populer Ilmiah Internasional, Alumni Surabaya, Surabaya.
56
Pendapat Bagir Manan terkait efektivitas hukum bahwa dalam pembentukan
suatu peraturan dapat berlandaskan pada: pertama, landasan yuridis (juridische
gelding); kedua, landasan sosiologis (sociologische gelding); dan ketiga, landasan
filosofis. Dengan berlandaskan pada ketiga landasan tersebut maka
pembentukannya dapat menghasilkan suatu peraturan yang tangguh dan
berkualitas, memiliki kaidah yang sah secara hukum, dan mampu berlaku efektif
karena dapat diterima serta berlaku di masyarakat.25
Adapun pendapat lain terkait indikator mutu suatu peraturan jika berbicara
mengenai efektivitas hukum menurut Gert-Jan Veerman dalam penelitian
Maastricht University, yaitu:26
Tabel 3.
Indikator Mutu dan Spesifikasi Suatu Peraturan Atau Undang-Undang
Quality Specifications Remarks
Effectivity - Formulate clear goals
- Determine the relation between
goals and means
- Determine target groups
- Determine the social playing
field of the intended regulation
- Do not forget feasibility and
enforceability
- Involve experts
- A shared definition of the
problem and an adequate theory
on the approach are crucial, at
least in an instrumental concept
of law and effectivity (but often
impossible)
- A relation is supposed to exist
between effectivity and
legitimacy
Dari tabel tersebut dirumuskan bahwa suatu peraturan atau undang-undang
yang efektif apabila memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a) Mempunyai formulasi dengan tujuan yang jelas
25 Yuliandri, op.cit.,h.29
26 Yuliandri, op.,cit., h.120
57
b) Menentukan hubungan antara tujuan dan arti
c) Menentukan target
d) Menentukan wilayah atau ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut
e) Jangan lupa akan kemungkinan dan pelaksanaannya
f) Melibatkan ahli-ahli
Dari spesifikasi tersebut, efektif ditandai dengan:
a) Persamaan definisi tentang masalah dan teori yang mampu atau tepat
dalam pendekatan yang krusial, setidaknya dalam pembuatan konsep dari
hukum dan efektivitas (walaupun selalu tidak mungkin)
b) Harus ada hubungan antara efektivitas dan keabsahan peraturan atau
pembenaran berdasarkan hukum.
Dari efektif tersebut eksistensi suatu Perda akan tetap dihargai keberadaannya dan
berlaku di masyarakat.
Suatu produk hukum harus didasari oleh 3 (tiga) dasar pemikiran atau
landasan, yaitu:27
1) Dasar filosofis
Filosofis atau pandangan akan hakekat atau dasar dari sesuatu. Setiap
masyarakat tentu memiliki pandangan akan suatu hukum yang dapat
memberikan keadilan, ketertiban maupun kesejahteraan sehingga memberikan
nilai yang baik bagi tingkah laku masyarakat. Kaidah hukum berlaku secara
27 Hamzah Halim dan Kemal Redino Syahrul Putera, op.cit., h.12-25
58
filosofis yaitu bahwa sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi.28
Dasar filsafat bagi bangsa Indonesia yang secara eksplisit dirumuskan
dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Pancasila, yang selanjutnya menjadi
dasar dalam menuangkan dasar pemikiran ke dalam suatu rancangan peraturan
perundang-undangan. Jika suatu produk hukum tersebut pada kenyataannya
bertentangan dengan dasar filsafat ini maka pada prinsipnya produk hukum
tersebut tidak sah.
2) Dasar yuridis
Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum untuk suatu perancangan suatu
peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis ditempatkan pada bagian
konsideran “Mengingat”, yaitu berisi Undang-Undang atau peraturan
perundang-undangan lain yang dalam hierarki peraturan perundang-undangan
berada di atas Perda.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum sebagaimana ketentuan Pasal
1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan,” Negara Indonesia adalah Negara
Hukum ”, maka sudah menjadi suatu kewajiban bahwa dalam merumuskan,
negara Indonesia berupaya dan menjalankan segala kepentingan bangsa
termasuk pembentukan produk hukum berdasarkan atas ketentuan hukum.
Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan disebutkan
dalam syarat-syarat berikut, yaitu:29
a. Adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
28 Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta (Selanjutnya disebut
Zainuddin Ali II), h.94 29 Ibid., h.5
59
b. Kesesuaian jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang
diatur.
c. Harus sesuai dengan tata cara tertentu yang sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
d. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya
khususnya yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam UUD.
3) Dasar sosiologis
Norma-norma yang tercermin dalam suatu peraturan haruslah
mencerminkan tuntutan kebutuhan kesadaran hukum masyarakat. Dasar
berlakunya suatu peraturan adalah dengan adanya kepatuhan dari masyarakat
yang diaturnya yang terlihat secara empiris. Keberlakuan tersebut dapat terjadi
karena adanya paksaan dari penguasa atau pemerintah dan dapat terjadi pula
karena adanya pengakuan dari masyarakat itu sendiri terhadap peraturan
tersebut.
Secara empiris dari usaha penerapan suatu peraturan dapat mendorong
perubahan dari masyarakat yang menuntut adanya pemenuhan kebutuhan yang
tidak dipenuhi dalam suatu produk hukum. Indonesia sebagai negara hukum
juga tidak dapat mengabaikan atau menyimpang dari keadaan Indonesia pada
umumnya dengan menggunakan pandangan bernegara bangsa Indonesia.
Dari ketiga hal tersebut di atas, dasar filosofis; yuridis; dan sosiologis,
menjadi poin penting dalam pembuatan produk hukum agar tidak menjadi sia-sia
dalam masyarakat ketika pada kenyataan hukum tidak dapat menampung
kebutuhan dalam masyarakat dan tujuan hukum tidak terwujud.
60
2.2.3 Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Denpasar
Berbicara mengenai Perda yang kedudukannya diatur pula dalam hierarki
peraturan perundang-undangan, maka perlulah diketahui apa yang dimaksudkan
dengan Perda.
Perda menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 UU No.12/2011 adalah “peraturan
daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah
Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota”. Lebih lanjut Perda menurut UU
No.12/2011 pada Pasal 236 menjelaskan bahwa Perda dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat DPRD) dengan persetujuan Kepala Daerah
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan. Kepala daerah
yang dimaksud oleh UU No.12/2011 adalah Gubernur dan Bupati/Wali Kota.
Kedudukan Perda dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No.12/2011 menyiratkan bahwa Perda
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih
tinggi.
Dalam Perda sendiri terdiri atas:
1. Peraturan Daerah Provinsi, yang wilayah berlakunya adalah di provinsi
tersebut. Perda Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur.
61
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota
tersebut. Perda Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota
dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Hal-hal yang dimuat dalam Perda adalah seluruh materi penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta penjabaran lebih lanjut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, materi dalam Perda
juga dapat memuat materi muatan lokal yang dapat dipahami bahwa Perda dapat
menampung kondisi atau ciri khas dari suatu daerah dan tidak bertentangan
dengan kepentingan umum. Hal penting dalam materi muatan Perda adalah
berpedoman pada ketentuan peraturan perundangan-undangan dan asas hukum
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Proses pembentukan Perda menurut ketentuan Pasal 237 ayat (2) UU
No.12/2011 mencakup beberapa tahapan yang berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. Perencanaan;
2. Penyusunan;
3. Pembahasan;
4. Penetapan;dan
5. Pengundangan
Perencanaan penyusunan Perda disusun bersama oleh DPRD dan kepala
daerah. Penyusunan Rancangan Perda atau Raperda, dapat berasal dari DPRD
atau kepala daerah, artinya bahwa Raperda yang disiapkan oleh DPRD
disampaikan kepada kepala daerah, begitu pula apabila Raperda yang disiapkan
adalah berasal dari kepala daerah maka kemudian disampaikan kepada DPRD.
62
Raperda yang telah melewati tahap pembicaraan untuk mendapat persetujuan
bersama antara DPRD dan kepala daerah selanjutnya diajukan oleh DPRD kepada
kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Dari pengajuan tersebut maka
Perda akan diberi nomor register Perda oleh Menteri apabila Perda tersebut adalah
Perda Provinsi atau Perda Kabupaten/Kota akan diberi nomor register oleh
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pemberian nomor register tersebut
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak rancangan Perda
diterima.
Perda yang telah mendapat nomor register dapat dinyatakan sah apabila
dinyatakan dengan kalimat pengesahan yang berbunyi “Peraturan Daerah ini
dinyatakan sah”, dengan atau tanpa tanda tangan dari kepala daerah.
Perda mulai diberlakukan sejak tanggal diundangkan dalam lembaran daerah
dan dinyatakan dicabut atau tidak berlaku lagi ketika telah diterbitkan Perda baru
sebagai penggantinya, sesuai dengan asas dalam peraturan perundang-undangan
yaitu lex posterior derogat lege priori.
Fungsi dibentuknya Perda tidak terlepas dari otonomi yang diberikan kepada
daerah. Otonomi daerah dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 menggambarkan otonomi lebih kepada suatu kewajiban, di mana
kewajiban daerah untuk melancarkan jalannya pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat, dan dalam ketentuan UU No.12/2011 pada Pasal 1 angka 6,
yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
63
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Hak yang dapat dipahami di sini adalah hak diberikan bagi suatu daerah
untuk kepala daerah, DPRD dan masyarakatnya dapat mengatur daerahnya
masing-masing sesuai dengan kondisi dan kearifan lokal daerah tersebut, yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Wewenang dalam ini bukan sebagai wujud pengertian dari kekuasaan, tetapi
dapat dijabarkan sebagai suatu hak dan kewajiban dalam mengatur suatu daerah
oleh Kepala Daerah. Namun tidak dapat dipisahkan bahwa wewenang hadir
karena adanya kekuasaan. Kekuasaan di sini berkaitan dengan ajaran Trias
Political yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power)oleh Montesquieu,
yaitu : legislatif, eksekutif, dan yudikatif.30
Dalam pemerintahan terdapat 3 (tiga) cara untuk memperoleh wewenang:31
a. Attributie atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegatie atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari
satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandaat atau mandat adalah pemberian izin kewenangan yang dimiliki
organ pemerintahan untuk dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Pemahaman lain terkait wewenang ini adalah pelimpahan atau pemberian
wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Daerah berasaskan kesamaan, yang
berarti bahwa tidak ada perbedaan antara satu Daerah dengan Daerah yang lain
30 Pataniari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca
Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta Pusat, h.29.
31 Ridwan HR, op.cit, h.102.
64
yang menjadi kewenangan Pusat.32
Berikutnya adalah kewajiban yang dipahami
sebagai tanggung jawab dari daerah untuk dapat memajukan kesejahteraan
rakyatnya dengan memperhatikan kearifan lokal daerah dan menghindari
diskriminasi sehingga pada dasarnya kebijakan yang diputuskan bersama tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Keberadaan Perda No.27/2011, perlu dipahami dahulu apa yang dimaksud
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (disingkat RTRW) Kota. Ruang bagi
pejalan kaki sebelumnya telah diketahui menurut ketentuan UU No.26/2007 pada
ketentuan umum angka 1 adalah “wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya”
Ruang darat adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan
daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah.
Ruang laut adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut
dimulai dari sisi laut dari garis laut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi
di bawahnya sedangkan ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang
daratan dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara.
32 Suriansyah Murhani, 2008, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, h.8
65
Ruang menurut D.A Tisnaamidjaja adalah “wujud fisik wilayah dalam
dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam
melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam kualitas hidup yang layak”.33
Tata ruang menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No.26/2007, yaitu “wujud
struktur ruang dan pola ruang”.
Pengertian tata ruang menurut Sugandi dan Murtopo, yaitu “Pengaturan
susunan ruang suatu wilayah sehingga bermanfaat dari segi ekonomi, sosial
budaya, dan politik, yang memberi keuntungan bagi perkembangan di wilayah
tersebut”.34
Kegiataan penataan ruang juga harus memperhatikan beberapa prinsip dasar
yaitu:35
a) Pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan
b) Suatu penetapan pengalihan sumber daya
c) Suatu penetapan dan usaha pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan
d) Suatu pencapaian keadaan yang lebih baik di masa yang akan datang,
yaitu:
a. Dapat membuat perkiraan yang baik sesuai dengan kebutuhan dan
sumber daya yang mendukung
b. Pelaksanaan pentahapan disusun dalam urutan kegiatan yang logis,
rasional dan tertata secara bertahap, berurutan.
Menurut ketentuan Pasal 3 UU No.26/2007, tujuan dari penataan ruang pada
terdiri atas :
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
33 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, op.cit., h.23
34 Rahardjo Adisasmita, 2010, Pembangunan Kawasan Dan Tata Ruang, Graha Ilmu,
Yogyakarta, h.255.
35 Rinaldi Mirsa, 2012, Elemen Tata ruang Kota, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.40
66
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dari rumusan pasal tersebut dapat disebutkan beberapa hal yang menjadi
tujuan penataan ruang, yaitu :
1. Menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dalam hal ekonomi sehingga
meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan lingkungan alam dan
buatan secara berdampingan.
2. Menciptakan lingkungan yang tetap menjaga kelestarian sumber daya alam
yang telah ada agar tetap berkelanjutan.
3. Menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan nyaman, yaitu bahwa
masyarakat terhindar dari pemanfaatan ruang yang tidak terkendali yang
dapat menimbulkan bencana atau kerugian bagi masyarakat itu sendiri.
Penataan ruang menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 dalam undang-undang
yang sama adalah “suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang”.
1) Perencanaan tata ruang
Proses perencanaan merupakan unsur penting dalam membuat suatu
kebijakan yang mana mengarahkan kebijakan tersebut dalam melakukan
suatu perubahan dalam suatu lingkungan. Perencanaan dapat dikaitkan pula
dengan persiapan pemecahan masalah akan resiko-resiko yang diprediksi
akan muncul di masa depan serta mempunyai alternatif ketika sesuatu yang
menjadi tujuan tersebut tidak terwujud.
Perencanaan penataan ruang dimaksudkan agar dalam memanfaatkan
lahan atau ruang dapat dilakukan dengan mengarahkan lokasi dan hubungan
67
fungsionalnya dapat berjalan dengan seimbang, optimal, dan efisien,
sehingga dapat mewujudkan pembangunan yang membawa kesejahteraan
bagi masyarakat dengan tetap menjaga kualitas lingkungan secara
berkelanjutan.
Dalam perencanaan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah
daerah juga melibatkan masyarakat, demikian yang termuat dalam ketentuan
Pasal 65 UU No.26/2007, yaitu partisipasi dalam penyusunan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
2) Pemanfaatan ruang
Pemanfaatan ruang merupakan kegiatan yang memanfaatkan ruang
menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Dalam ketentuan Pasal 61 UU No.26/2007, setiap orang dalam
pemanfaatan ruang wajib memperhatikan hal-hal berikut :
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
3) Pengendalian pemanfaatan ruang
Kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang ini dilakukan dengan
pengawasan. Kegiatan pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemda sesuai dengan kewenangannya, yang terdiri atas tindakan
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pengawasan dapat dilakukan dengan
melibatkan peran masyarakat, yang dilakukan dengan cara menyampaikan
68
laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
Selanjutnya kegiatan pemantauan dan evaluasi, dilakukan dengan
mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan
ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain dengan pengawasan, kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang
juga dilakukan dengan penertiban pemanfaatan ruang. Kegiatan penertiban
pemanfaatan ruang dapat dilakukan dengan penetapan peraturan
zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta melalui proses
pemeriksaan dan penyelidikan untuk pengenaan sanksi.
Penataan ruang penting dilakukan pula dengan pembinaan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (disingkat PP No.15/2010), yaitu pada Pasal 9
yang mengatur bentuk pembinaan penataan ruang meliputi:
a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang penataan
ruang;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan
ruang;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;
g. penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
Pada Pasal 11 PP No.15/2010 yang sama dijelaskan mengenai sosialisasi, yaitu :
(1) sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang penataan
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan upaya
penyampaian secara interaktif substansi peraturan perundang-undangan dan
pedoman bidang penataan ruang.
(2) sosialisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman bidang penataan
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. media tatap muka; dan
69
b. media elektronik.
Terkait dengan ketentuan Pasal 33 huruf a dalam Perda No.27/2011 yang
mengatur ruang bagi pejalan kaki, pengaturan tata ruang tentu sangat diperlukan
sehingga pemanfaatan ruang tidak tumpang tindih dan sebagai perwujudan asas
legalitas bagi tindakan pemerintah dalam menjamin perlindungan hak-hak rakyat
khususnya terjaminnya perlindungan hukum bagi pejalan kaki yang diberikan oleh
Daerah.
Dalam ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
17/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota (disingkat Permen PU No.17/PRT/M/2009), RTRW Kota adalah :
rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang merupakan
penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi
penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang wilayah kota, rencana
pola ruang wilayah kota, penetapan kawasan strategis kota, arahan
pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kota.
Dalam Permen PU No.17/PRT/M/2009 diatur pula tujuan penataan ruang
wilayah kota, adalah :
tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kota yang merupakan arahan
perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kota pada aspek
keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri ini diatur pula terkait fungsi dan
manfaat RTRW Kota, yaitu sebagai berikut :
a. Fungsi RTRW Kota
Fungsi RTRW kota adalah sebagai:
70
1) Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
2) Acuan dalam pemanfaatan ruang/pengembangan wilayah kota;
3) Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah
kota;
4) Acuan lokasi investasi dalam wilayah kota yang dilakukan pemerintah,
masyarakat, dan swasta;
5) Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kota;
6) Dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/ pengembangan
wilayah kota yang meliputi penetapan peraturan zonasi, perijinan,
pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; dan
7) Acuan dalam administrasi pertanahan.
b. Manfaat RTRW Kota
Manfaat RTRW kota adalah untuk:
1) Mewujudkan keterpaduan pembangunan dalam wilayah kota;
2) Mewujudkan keserasian pembangunan wilayah kota dengan wilayah
sekitarnya; dan
3) Menjamin terwujudnya tata ruang wilayah kota yang berkualitas.
Memahami fungsi dan manfaat dari RTRW Kota, tidak dapat dilepaskan dari
materi muatan dari RTRW Kota, karena faktor substansi menjadi dasar awal
dalam mewujudkan kepastian hukum di masyarakat. Peraturan Menteri PU
demikian telah mencantumkan materi muatan untuk RTRW Kota, yaitu:
muatan RTRW Kota RTRW kota memuat tujuan, kebijakan, dan strategi
penataan ruang wilayah kota (penataan kota); rencana struktur ruang
wilayah kota; rencana pola ruang wilayah kota; penetapan kawasan strategis
kota; arahan pemanfaatan ruang wilayah kota; dan ketentuan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah kota.
Sebagai perwujudan pelaksanaan otonomi daerah, oleh Daerah diterbitkan
Perda No.27/2011 Kota Denpasar yang dibuat dengan pertimbangan sebagai
berikut :
71
a. kota denpasar memiliki peluang pengembangan wilayah yang pesat, sebagai
perwujudan denpasar kota berbudaya yang dilandasi tri hita karana,
sehingga membutuhkan kearifan dalam konsep penataan ruang kepada
peningkatan kegiatan perekonomian dengan tetap memelihara kelestarian
budaya dan lingkungan wilayah kota denpasar;
b. mengarahkan pembangunan di kota denpasar dengan memanfaatkan ruang
wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
untuk meningkatkan keseimbangan pemanfaatan ruang, diperlukan adanya
rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah kota denpasar;
c. kota denpasar merupakan ibukota provinsi Bali, Pusat Kegiatan Nasional
yang sekaligus merupakan Kota Inti dari Kawasan Perkotaan Sarbagita
sebagai Kawasan Strategis Nasional, yang membutuhkan koordinasi
penataan struktur ruang dan pola ruang wilayah Kota Denpasar yang
terintegrasi, sinergi dan saling mendukung dengan struktur ruang dan pola
ruang wilayah Nasional, wilayah Provinsi Bali dan wilayah Kabupaten
sekitar dalam kerangka Kawasan Perkotaan Sarbagita;
Pada Pasal 33 huruf a Perda No.27/2011, Pemkot Denpasar memberikan
ruang bagi pejalan kaki di sisi jalan berupa trotoar. Trotoar tersebut disediakan di
wilayah pantai, di kawasan perdagangan dan jasa, kawasan perkantoran, kawasan
pendidikan dan kawasan lainnya.
Berkaitan dengan eksistensi Perda No.27/2011 untuk dapat mewujudkan
tujuan dari Perda tersebut, diatur hak dan kewajiban Pemkot dan masyarakat.
Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 110 ayat (1) dan (2), Pasal 111 ayat (1) dan
(2), serta Pasal 112 ayat (1) dan (2).
1) Pasal 110 ayat (1) dalam rangka pelaksanaan pada tahap perencanaan tata
ruang Pemerintah Kota berkewajiban:
a. memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada
masyarakat tentang proses penyusunan dan penetapan rencana tata ruang
melalui media komunikasi yang memiliki jangkauan sesuai dengan
tingkat rencana;
b. melakukan sosialisasi mengenai perencanaan tata ruang;
c. menyelenggarakan kegiatan untuk menerima masukan dari masyarakat
terhadap perencanaan tata ruang; dan
72
d. memberikan tanggapan kepada masyarakat atas masukan mengenai
perencanaan tata ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
ayat (2) dalam penataan ruang Kota, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata
ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang;
dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
2) Pasal 111 ayat (1) dalam rangka pelaksanaan pemanfaatan ruang Pemerintah
Kota:
a. memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada
masyarakat tentang pemanfaatan ruang melalui media komunikasi;
b. melakukan sosialisasi rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
c. melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai peruntukannya yang telah
ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan
d. memberikan tanggapan kepada masyarakat atas masukan mengenai
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
ayat (2) dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
3) Pasal 112 ayat (1) dalam rangka pelaksanaan kewajiban pada tahap
pengendalian pemanfaatan ruang Pemerintah Kota berkewajiban:
a. memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada
masyarakat tentang pengendalian pemanfaatan ruang melalui media
komunikasi;
b. melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengendalian
pemanfaatan ruang;
73
c. memberikan tanggapan kepada masyarakat atas masukan mengenai
arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
d. menyediakan sarana yang memudahkan masyarakat dalam
menyampaikan pengaduan atau laporan terhadap dugaan penyimpangan
atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana
tata ruang yang telah ditetapkan.
ayat (2) dalam hal keterbukaan RTRW sebagaimana dimaksud pada Pasal
111, maka:
a. RTRW bersifat terbuka untuk umum dan ditempatkan di Kantor
Pemerintah Kota dan tempat-tempat yang mudah dilihat oleh masyarakat;
b. informasi RTRW dapat diketahui oleh masyarakat luas baik melalui hard
copy laporan maupun data elektronik yang disediakan pemerintah kota;
dan
c. masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi mengenai RTRW
secara tepat, cepat dan murah.
Eksistensi Perda juga bergantung dari aparat penegaknya yang dalam hal ini
UU No.23/2014 telah mengamanatkan penertiban atau penegakan Perda kepada
Satpol PP. Satpol PP diberikan wewenang oleh undang-undang untuk dapat
menegakkan Perda di wilayah Perda tersebut berlaku.
Pada ketentuan Pasal 255 ayat (2) UU No.23/2014, Satpol PP diberikan
kewenangan, yaitu :
a. melakukan tindakan penertiban bagi yang melakukan pelanggaran perda;
b. menindak kegiatan yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat;
c. melakukan tindakan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang diduga
melakukan pelanggaran atas perda dan/atau perkada;
d. melakukan tindakan administratif terhadap pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran Perda dan/atau Perkada;
Ketentuan lebih lanjut terkait Satpol PP diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan terkait Satpol PP saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, yang merupakan peraturan
selanjutnya dari UU Pemda Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diganti, dan saat ini
74
belum ada peraturan lain yang diterbitkan sebagai pengganti dari Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tersebut.
Namun tidak hanya Satpol PP saja yang menjadi pihak dalam penertiban
penggunaan trotoar di masyarakat. Selain Satpol PP, pihak lainnya adalah dari
Dinas Perhubungan (disingkat Dishub). Dishub sesuai Perda Nomor 7 Tahun
2008 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Denpasar, yang juga
dijabarkan dalam Keputusan Walikota Denpasar Nomor 33 Tahun 2008 tentang
Uraian Tugas Jabatan pada Organisasi Dinas Daerah Kota Denpasar, bahwa tugas
pokok Dinas Perhubungan Kota Denpasar adalah : "Melaksanakan Kewenangan
Otonomi Daerah di Bidang Perhubungan".36
Dari hal demikian dapat dipahami
bahwa Dishub dapat melaksanakan kewenangan terkait dengan bidang
perhubungan yang diatur dalam ketentuan otonomi daerah.
36 Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Perhubungan Kota Denpasar,
http://perhubungan.denpasarkota.go.id/index.php/profil/282/Tupoksi/, Diakses 26 Februari 2015