bab ii ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia …eprints.umm.ac.id/43530/3/bab...

26
4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Ergonomi Ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. Ergonomi berasal dari kata Yunani ergon yang artinya kerja dan nomos yang berarti aturan dapat didefinisikan suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman (Sutalaksana 1979). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pusat dari ergonomi adalah manusia. Tujuan dari ergonomi ialah usaha untuk mencegah cedera, meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kenyamanan dibutuhkan penyesuaian antara lingkungan kerja, pekerjaan, dan manusia yang terlibat dengan pekerjaan tersebut. Purnomo, dkk. (2012) melakukan penelitian sistem kerja dengan pendekatan ergonomi total pada pekerja industri gerabah di Kasongan. Hasil dari penelitian dapat menurunkan keluhan MSDs pada pekerja sebesar 87,8%, menurunkan kelelahan pekerja sebesar 77,5%, menurunkan resiko cidera di tempat kerja sebesar 10,65%, meningkatkan produktivitas pekerja sebesar 59,49%, dan meningkatkan pendapatan pekerja sebesar 23,81%, serta meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 76,19%. Ada beberapa cabang ilmu yang mendasari adanya ergonomi yaitu psikologi, antropologi, fisiologi, biologi, sosiologi, perencanaan kerja, dan fisika. Masing-masing berfungsi sebagai pemberi informasi. Dalam hal ini para ahli teknik, bertugas untuk meramu masing-masing informasi di atas, dan menggunakannya sebagai pengetahuan untuk merancang fasilitas kerja sehingga mencapai kegunaan yang optimal.

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 4

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1 Ergonomi

    Ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya

    dengan pekerjaan mereka. Ergonomi berasal dari kata Yunani ergon yang artinya

    kerja dan nomos yang berarti aturan dapat didefinisikan suatu cabang ilmu yang

    sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan

    dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat

    hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang

    diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman (Sutalaksana

    1979). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pusat dari

    ergonomi adalah manusia. Tujuan dari ergonomi ialah usaha untuk mencegah

    cedera, meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kenyamanan dibutuhkan

    penyesuaian antara lingkungan kerja, pekerjaan, dan manusia yang terlibat dengan

    pekerjaan tersebut.

    Purnomo, dkk. (2012) melakukan penelitian sistem kerja dengan

    pendekatan ergonomi total pada pekerja industri gerabah di Kasongan. Hasil dari

    penelitian dapat menurunkan keluhan MSDs pada pekerja sebesar 87,8%,

    menurunkan kelelahan pekerja sebesar 77,5%, menurunkan resiko cidera di tempat

    kerja sebesar 10,65%, meningkatkan produktivitas pekerja sebesar 59,49%, dan

    meningkatkan pendapatan pekerja sebesar 23,81%, serta meningkatkan pendapatan

    perusahaan sebesar 76,19%.

    Ada beberapa cabang ilmu yang mendasari adanya ergonomi yaitu

    psikologi, antropologi, fisiologi, biologi, sosiologi, perencanaan kerja, dan

    fisika. Masing-masing berfungsi sebagai pemberi informasi. Dalam hal ini para

    ahli teknik, bertugas untuk meramu masing-masing informasi di atas, dan

    menggunakannya sebagai pengetahuan untuk merancang fasilitas kerja sehingga

    mencapai kegunaan yang optimal.

  • 5

    Ada beberapa prinsip dasar dalam ergonomi yaitu:

    1. Meningkatkan faktor kenyamanan.

    Yaitu dengan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman, membuat agar

    display dan contoh mudah dimengerti supaya para pekerja dalam melaksanakan

    tugasnya dapat bekerja dengan nyaman.

    Contohnya dalam penelitian tentang pengaruh suara sebesar 6,952% dan

    pencahayaan sebesar -0,17% di ruang kerja komputer terhadap kenyaman pengguna

    (Puspita, 2007).

    2. Meningkatkan keselamatan kerja.

    Yaitu dengan membuat standar operasional produksi (SOP) yang

    mengutamakan keselamatan para pekerja dalam bekerja dengan memperhatikan

    jarak ruang, menempatkan peralatan agar selalu berada dalam jangkauan,

    mengurangi beban berlebih, dan bekerja sesuai dengan ketinggian dimensi tubuh

    pekerja.

    Contoh aplikasi ergonomi dalam meningkatkan keselamatan kerja salah

    satunya adalah melakukan perancangan ulang layout ruang kerja, perancangan

    gawangan menjadi meja, perancangan ulang kursi pekerja untuk pengrajin batik

    tulis untuk mencegah factor resiko ergonomic seperti tangan mengalami pinch dan

    power grip, siku tangan mengalami full extention, leher terputar, postur

    membungkuk, dll. (Nungki Agusti, 2012).

    3. Memperhatikan kesehatan kerja.

    Yaitu dengan menciptakan suasana bekerja yang sehat dengan cara bekerja

    dalam posisi atau postur normal, mengurangi gerakan berulang dan berlebihan,

    melakukan gerakan, olahraga, dan peregangan saat bekerja.

    Contoh aplikasi dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Firdaus

    pada pekerja sablon dengan menbuat alat bantu berupa penjemuran dengan rel yang

    bias digeser sehingga mengurangi gerakan berulang dan berlebihan pada pekerja

    (Firdaus, 2013).

  • 6

    2.2 Tujuan dan Pentingnya Ergonomi

    Maksud dan tujuan dari disiplin ilmu ergonomi adalah mendapatkan suatu

    pengetahuan yang utuh tentang permasalahan-permasalahan interaksi

    manusia, teknologi dan produk-produknya, sehingga dimungkinkan adanya suatu

    rancangan sistem manusia-mesin (teknologi) yang optimal. Human Engineering

    atau sering juga disebut sebagai ergonomi didefinisikan sebagai perancangan

    “man-machine interface”, sehingga pekerja dan mesin/produk lainnya bisa

    berfungsi lebih efektif dan efisien sebagai sistem manusia-mesin yang terpadu.

    (Wignjosoebroto, 2003).

    Sasaran dari ilmu ergonomi ini adalah untuk meningkatkan prestasi kerja

    yang tinggi dalam kondisi aman, sehat, aman dan tenteram. Aplikasi ilmu ergonomi

    digunakan untuk perancangan produk, meningkatkan kesehatan dan keselamatan

    kerja serta meningkatkan produktivitas kerja. Dengan mempelajari tentang

    ergonomi maka kita dapat mengurangi resiko cidera, kecelakaan terhadap pekerja,

    meminimalkan biaya kesehatan, nyaman saat bekerja dan meningkatkan

    produktivitas dan kinerja serta memperoleh banyak keuntungan. Oleh karena itu,

    menurut Sulistiadi (2003) penerapan prinsip ergonomi di tempat kerja diharapkan

    dapat menghasilkan beberapa manfaat sebagai berikut:

    1. Mengerti tentang pengaruh dari suatu jenis pekerjaan pada diri pekerja dan

    kinerja pekerja.

    2. Memprediksi potensi pengaruh pekerjaan pada tubuh pekerja.

    3. Mengevaluasi kesesuaian tempat kerja, peralatan kerja dengan pekerja saat

    bekerja.

    4. Meningkatkan produktivitas dan upaya untuk menciptakan kesesuaian antara

    kemampuan pekerja dan persyaratan kerja.

    5. Membangun pengetahuan dasar guna mendorong pekerja untuk meningkatkan

    produktivitas.

    6. Mencegah dan mengurangi resiko timbulnya penyakit akibat kerja.

    7. Meningkatkan keselamatan kerja.

    8. Meningkatkan keuntungan, pendapatan, kesehatan dan kesejahteraan untuk

    individu dan institusi.

  • 7

    Peran ergonomi sangat besar dalam menciptakan lingkungan kerja yang

    aman dan sehat. Pendekatan khusus yang ada pada disiplin ilmu ergonomi adalah

    aplikasi yang statis dari segala informasi yang relevan yang berkaitan dengan

    karakteristik dan perilaku manusia didalam perancangan peralatan, fasilitas, dan

    lingkungan kerja yang dipakai. Menurut Wignjosoebroto (2003) analisis dan

    penelitian ergonomi akan meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:

    1. Anatomi (struktur), fisiologi (pekerjaan), dan antropometri (ukuran) tubuh

    manusia.

    2. Psikologi dan fisiologis mengenai berfungsinya otak dan sistem syaraf yang

    berperan dalam tingkah laku manusia.

    3. Kondisi-kondisi kerja yang dapat mencederai baik dalam waktu yang pendek

    maupun panjang, ataupun membuat celaka manusia.

    Dengan memperlihatkan hal-hal tersebut, maka penelitian dan

    pengembangan ergonomi akan memerlukan dukungan dari berbagai disiplin ilmu

    seperti psikologi, antropometri, faal/anatomi, dan teknologi (Wignjosoebroto,

    2003).

    Menurut Wisanggeni (2010) ilmu-ilmu ini akan memberikan modal dasar

    untuk mengatasi masalah posisi kerja dan pergerakan manusia ditempat kerja. Hal

    ini dimaksudkan untuk:

    1. Memperbaiki kenyamanan manusia dalam bekerja.

    2. Memperbaiki performasi kerja (menambah kecepatan kerja, keakuratan kerja,

    keselamatan dan kesehatan kerja).

    3. Memperbaiki penggunaan pemberdayagunaan sumber daya manusia melalui

    peningkatan keterampilan yang digunakan.

    4. Mengurangi waktu dan biaya pelatihan.

    5. Mengurangi waktu yang terbuang sia-sia, serta meminimasi kerusakan peralatan

    yang disebabkan oleh human error.

  • 8

    2.3 Postur Kerja

    Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu diperhatikan performansi

    pekerjanya. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah postur dan sikap tubuh

    pada saat melakukan aktivitas tersebut. Hal tersebut sangat penting untuk

    diperhatikan karena hasil produksi sangat dipengaruhi oleh apa yang dilakukan

    pekerja. Bila postur kerja yang digunakan pekerja salah atau tidak ergonomis,

    pekerja akan cepat lelah sehingga konsentrasi dan tingkat ketelitiannya menurun.

    Pekerja menjadi lambat, akibatnya kualitas dan kuantitas hasil produksi menurun

    yang pada akhirnya menyebabkan turunnya produktivitas.

    Dengan demikian, bahwa postur kerja sangatlah erat kaitannya dengan

    keilmuan ergonomi dimana pada keilmuan ergonomi dipelajari untuk bagaimana

    meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera

    akibat postur kerja yang salah dan penyakit akibat kerja serta menurunkan beban

    kerja fisik dan mental, oleh karena itu perlu dipelajari tentang bagaimana suatu

    postur kerja yang efektif dan efisien. Untuk mendapatkan postur kerja yang baik

    diperlukan pengetahuan tentang ilmu ergonomi dengan tujuan dapat menganalisis

    postur kerja yang salah lalu memberikan saran postur kerja yang baik agar tidak

    menyebabkan keluhan terhadap para pekerja. Dengan postur kerja yang salah serta

    dilakukan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan operator akan

    mengalami beberapa gangguan-gangguan otot (Musculoskeletal Disorders) dan

    gangguan-gangguan lainnya sehingga dapat mengakibatkan jalannya proses

    produksi tidak optimal.

    Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisa keefektifan dari

    suatu pekerjaan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh operator sudah baik dan

    ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang diperoleh oleh operator tersebut akan

    baik. Akan tetapi bila postur kerja operator tersebut salah atau tidak ergonomis

    maka operator tersebut akan mudah kelelahan dan terjadinya kelainan pada bentuk

    tulang operator tersebut. Apabila operator mudah mengalami kelelahan maka hasil

    pekerjaan yang dilakukan operator terebut juga akan mengalami penurunan dan

    tidak sesuai dengan yang diharapkan.

  • 9

    Contohnya dalam penelitian Septina (2010) tentang postur kerja MMH

    pada area produksi di perusahaan pengolahan air minum PT. Tirta Investama di

    Klaten, Jawa tengah, hasil dari penelitian ditemukan bahwa pekerja memiliki rata-

    rata 7 pada tabel penilaian grand score dengan kategori action level 4 yang

    menunjukkan perbaikan dibutuhkan sesegera mungkin atau mendesak. Serta

    penggunaan tenaga yaitu beban yang diangkat oleh pekerja berkisar 20 kg dengan

    pengangkatan yang berulang/statis yang menyebabkan nilai menjadi lebih tinggi saat

    penjumlahan dalam Skor A dan Skor B. Jadi dalam penilaian grand score 100% sampel

    penelitian diperlukan perbaikan segera yaitu baik metode, sikap dan postur tubuh saat

    bekerja.

    2.3.1 Kerja Otot Statis dan Dimanis

    Kerja otot statis adalah kerja otot yang tidak bergerak atau dengan kata lain

    otot hanya diam. Biasanya kerja otot statis akan lebih cepat mengalami kelelahan

    dibandingkan dengan kerja otot dinamis. Walaupun demikian kerja otot stasis tidak

    bisa dihilangkan dalam melakukan suatu pekerjaan. Sesuatu hal yang tidak

    mungkin dalam melakukan pekerjaan semua bagian tubuh operator mengalami

    kerja otot statis. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diadakan penelitian

    tentang perbandingan berapa lama waktu kerja otot statis dilakukan dibandingkan

    dengan kerja otot dinamis. Sebagai contoh seorang satpam yang harus menjaga

    pintu selama beberapa jam tanpa bisa duduk. Tentu otot kakinya akan merasa

    kelelahan dengan kerja otot statis seperti itu. Untuk mengatasinya perlu dibuat

    jadwal dimana satpam tersebut bisa berkeliling sehingga otot kakinya yang tadinya

    statis bisa kembali rileks. Dan untuk kerja otot dinamis, perlu dilakukan juga

    penelitian terhadap otot yang terus bergerak tanpa henti.

  • 10

    (Sumber: ILO Encyclopedia)

    Gambar 2.1 Kerja Otot Dinamis

    (Sumber: ILO Encyclopedia)

    Gambar 2.2 Kerja Otot Statis

    2.3.2 Efek Kerja Otot Statis dan Dinamis

    Efek kerja otot statis adalah otot yang digunakan dalam keadaan diam

    sehingga akan terjadi penumpukan asam laktat lebih cepat dibandingkan dengan

    kerja otot dinamis, sehingga pekerja akan lebih cepat mengalami kelelahan. Ketika

    pekerja cepat merasa lelah meka pekerjaan atau produktivitasnya akan mengalami

    penurunan. Sebagai contoh seorang tukang cat yang sedang melakukan pekerjaanya

    pada saat berdiri, akan mengalami kelelahan pada kedua otot kakinya.

  • 11

    Efek kerja otot dinamis sebenarnya sangat baik karena tidak menyebabkan

    kelelehan pada saat bekerja. Tidak seperti kerja otot statis yang menyebabkan

    kelelahan pada pekerja saat bekerja, kerja otot dinamis sangat dianjurkan dalam

    melakukan setiap gerakan dan postur kerja. Karena pada saat bekerja, otot pekerja

    akan mengalami relaksasi, sehingga menyebabkan pekerja tidak cepat merasakan

    kelelahan pada saat bekerja dan produktivitasnya tidak akan mengalami penurunan.

    (Sumber : Widjasena, 2010)

    Gambar 2.3 Efek kerja Otot Statis, Dinamis, dan Pada Saat Diam

    2.3.3 Musculoskeletal Disorders

    Musculoskeletal Disorders adalah risiko kerja mengenai gangguan otot

    yang disebabkan oleh kesalahan postur kerja dalam melakukan suatu aktivitas kerja.

    Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang

    dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit.

    Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama,

    akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan

    tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan

    keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem

    muskuloskeletal.

    Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

  • 12

    1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

    menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang

    apabila pembebanan dihentikan.

    2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.

    Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih

    terus berlanjut.

    (Sumber: Merulalia, 2010)

    Gambar 2.4 Keluhan Otot yang Sering Terjadi Ketika Bekerja

    Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang

    berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi

    pembebanan yang panjang. Sebaliknya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi

    apabila kontraksi otot hanya berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum.

    Namun apabila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot

    berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang

    diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat

    terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang

    menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot.

    Nyeri

    punggung

    Sakit leher

    Low back

    pain Tennis

    Elbow De Qiervains

    Tenosyrovitis Corpal

    Tunnel

    Syndrome Sakit paha

    Sakit lutut Pergelangan

    kaki

  • 13

    2.3.4 Faktor Penyebab Primer

    Peter Vi (2001) dalam Normarinda (2013) menjelaskan bahwa terdapat

    beberapa faktor primer yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal,

    diantaranya yaitu:

    1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion).

    Pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktifitas kerjanya

    menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktifitas mengangkat, mendorong,

    menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi

    karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot.

    Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya

    keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.

    2. Aktifitas berulang.

    Yaitu pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan

    mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut dan sebagainya. Keluhan otot

    terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa

    memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

    3. Sikap kerja tidak alamiah

    Yaitu sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak

    menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu

    membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh

    dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot

    skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan

    tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan

    pekerja.

  • 14

    (Sumber : Susan Stock, 2005)

    Gambar 2.5 Contoh Postur Kerja yang Tidak Alamiah

    2.3.5 Faktor Penyebab Sekunder

    Beberapa faktor sekunder yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan

    otot skeletal antara lain:

    1. Tekanan, terjadi langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada

    saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan

    menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi,

    dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.

    2. Getaran, dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah.

    Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan

    asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot

    3. Mikroklimat, paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan

    kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang

    disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara

    yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar

    menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh

    tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak

    diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan

    suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai

    oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi

    penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.

  • 15

    Tabel 2.1 Pengaruh Suhu Terhadap Tubuh Manusia Ketika Bekerja Temperature Pengaruh Terhadap Manusia

    Kurang lebih 49ºC Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh di atas tingkat kemampuan fisik dan mental. Lebih kurang 30ºC aktivitas mental dan daya tanggap cenderung membuat kesalahan dalam pekerjaan. Timbul kelelahan fisik dan sebagainya

    Kurang dari 30ºC Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan dan menimbulkan kelelahan fisik

    Kurang lebih 24ºC Yaitu kondisi optimum (normal) bagi manusia Kurang dari 24ºC Kondisi ekstrim mulai muncul seperti otot

    menggigil, kesemutan, radang dll. (Sumber: Sritomo Wignjosoebroto, 1989)

    2.3.6 Faktor Penyebab Kombinasi

    1. Umur

    Keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun.

    Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan

    terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada

    umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga resiko

    terjadinya keluhan otot meningkat.

    2. Jenis kelamin

    Secara fisiologis kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada

    pria. Kekuatan otot wanita hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria.

    Khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki.

    3. Kebiasaan merokok

    Tingginya frekuensi merokok menyebabkan tingginya keluhan otot yang

    dirasakan. Hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan

    otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot .

    4. Kesegaran jasmani

    Bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan

    pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup

    untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadinya keluhan otot. Tingkat

    kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot.

    Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktifitas fisik.

  • 16

    5. Kekuatan fisik

    Adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang

    melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja.

    Namun untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan pengerahan tenaga,

    maka faktor kekuatan fisik kurang relevan terhadap resiko keluhan otot skeletal.

    6. Ukuran tubuh (antropometri)

    Keluhan otot skeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan

    oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban.

    Tabel 2.2 Faktor Penyebab Low Back Pain pada Pekerja LBP NON LBP N (%) N (%) Umur 45 tahun 10 23,26% 6 10,5%

    Total 43 100% 57 100% Kebiasaan Merokok

    Bukan perokok 12

    27,9%

    24

    42,1%

    Perokok ringan

    26

    60,5%

    29

    50,9%

    Perokok berat 5 11,6% 4 7,0% Total 43 100% 57 100%

    Overweight Overweight Non

    22

    51,2%

    15

    26,3%

    overweight 21 48,8% 42 73,7% Total 43 100% 57 100%

    Sikap dan Posisi Kerja

    > 45° 32 74,4% 22 38,6% ≤ 45° 11 25,6% 35 61,4%

    Total 43 100% 57 100% (Sumber: Mario Widjaya, 2014)

    2.4 Rappid Upper Limb Assesment (RULA)

    Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode

    penelitian untuk menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas.

    Metode ini dirancang oleh Lynn Mc Atamney dan Nigel Corlett (1993) yang

    menyediakan sebuah perhitungan tingkatan beban musculoskeletal didalam sebuah

    pekerjaan yang memiliki Risiko pada bagian tubuh dari perut hingga leher atau

    anggota badan bagian atas.

  • 17

    Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan

    penilaian postur leher, punggung, dan lengan atas. Setiap pergerakan diberi skor

    yang telah ditetapkan. RULA dikembangkan sebagai suatu metode untuk

    mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor resiko. Metode didesain untuk

    menilai para pekerja dan mengetahui beban musculoskletal yang kemungkinan

    menimbulkan gangguan pada anggota badan atas.

    Menurut Martiana dan Nuryaningtyas (2013) metode ini menggunakan

    diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam menetapkan evaluasi faktor

    resiko. Faktor resiko yang telah diinvestigasi sebagai faktor beban eksternal yaitu:

    1. Jumlah pergerakan.

    2. Kerja otot statik.

    3. Tenaga/kekuatan.

    4. Penentuan postur kerja oleh peralatan.

    5. Waktu kerja tanpa istirahat.

    Dalam usaha untuk penilaian 4 faktor beban eksternal (jumlah gerakan,

    kerja otot statis, tenaga kekuatan dan postur), RULA dikembangkan untuk: (Mc

    Atamney dan Corlett, 1993).

    1. Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja dengan kerja

    bersiko yang menyebabkan gangguan pada anggota badan bagian atas.

    2. Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja, penggunaan

    tenaga dan kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan kelelahan otot.

    3. Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian

    ergonomi yaitu epidomiologi, fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.

    Pengembangan dari RULA terdiri atas tiga tahapan yaitu :

    1. Mengidentifikasi postur kerja

    2. Sistem pemberian skor

    3. Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat resiko

    yang ada dan dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang melebihi detail

    berkaitan dengan analisis yang didapat.

    Ada empat hal yang menjadi aplikasi utama dari RULA, yaitu untuk:

    1. Mengukur Risiko musculoskeletal, biasanya sebagai bagian dari perbaikan yang

  • 18

    lebih luas dari ergonomi.

    2. Membandingkan beban musculuskeletal antara rancangan stasiun kerja yang

    sekarang dengan yang telah dimodifikasi.

    3. Mengevaluasi keluaran misalnya produktivitas atau kesesuaian penggunaan

    peralatan.

    4. Melatih pekerja tentang beban musculuskeletal yang diakibatkan perbedaan

    postur kerja.

    Dalam mempermudah penilaian postur tubuh, maka tubuh dibagi menjadi

    2 segmen grup yaitu grup A dan grup B.

    Tabel 2.3 Re-Design Postur Kerja Berdasarkan Analisa

    Menggunakan Metode RULA No. Kegiatan Kondisi Awal Metode Perbaikan

    1 Pengangkatan saat di konveyer.

    Contoh: Gb. A, B, C, D, dan E

    Ketinggian konveyer sekitar 55-90 cm dari lantai. Pekerja mengambil galon dari konveyer dengan memutarkan tubuh dengan sudut putaran 45 derajat dan galon ditopang dengan kedua tangan pada posisi galon horisontal/miring.

    Ketinggian konveyer dikurangi/diatur ulang sesuai dengan antropometri semua pekerja dan perubahan posisi antara konveyer dengan pekerja diusahakan lebih dekat agar mudah dalam pengangkatan serta sudut lebih kecil.

    2 Pengangkatan galon ke dasar dari palet.

    Contoh: Gb. F, G, H, I, dan J

    Galon dari konveyer diturunkan ke pallet, dengan punggung membungkuk dan ketinggian palet di bawah ketinggian lutut. Pemutaran beban pada tempat paling ujung. Dengan sikap condong ke samping tubuh.

    Penambahan tinggi pada palet dengan tujuan untuk mengurangi posisi tubuh saat membungkuk. Mengurangi deretan galon agar badan tidak terlalu menekuk.

    3 Pengangkatan galon pada tingkat ke dua.

    Contoh: Gb. K, L, M, N, dan O.

    Memindahkan galon dari konveyer pada ketinggian sama atau kurang lebih sehingga tidak perlu ada kegiatan membungkuk atau meraih.

    Untuk mempermudah pekerja antara konveyer dengan palet agar lebih dekat.

    4 Pengangkatan galon pada tingkat ke tiga.

    Contoh: Gb. P, Q, R, S, dan T.

    Mengangkat galon dari konveyer ke tingkat tiga dengan adanya paksaan pada lengan dan bahu untuk meraih ke atas. Pemutaran beban pada tempat paling ujung.

    Mengurangi ketinggian pada beban atau jumlah tumpukan agar lengan tubuh atau bahu tidak terlalu memaksakan untuk menaikkan galon.

    (Sumber : Septina, 2010)

  • 19

    2.4.1 Penilaian Postur Tubuh Grup A

    Postur tubuh grup A terdiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah

    (lower arm), pergelangan tangan (wrist), dan putaran pergelangan tangan (wrist

    twist).

    A. Lengan Atas (Upper Arm)

    Penilaian terhadap lengan atas (upper arm) adalah penilaian dilakukan

    terhadap sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja.

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Gambar 2.6 Postur Lengan Atas (Upper Arm)

    Skor penilaian untuk postur tubuh bagian lengan atas (upper arm) dapat

    dilihat pada tabel 2.4

    Tabel 2.4 Skor Lengan Atas (Upper Arm) Gerakan Skor

    Lengan atas membentuk sudut 20° 1

    Lengan atas membentuk sudut 20° - 45° 2

    Lengan atas membentuk sudut 45° - 90° 3

    Lengan atas membentuk sudut lebih dari 90° 4 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Jika bahu terangkat dan lengan bawah mendapat tekanan maka skor

    ditambah 1, dan bila posisi operator bersandar dan lengan ditopang maka skor

    dikurangi 1.

    B. Lengan Bawah (Lower Arm)

    Penilaian terhadap lengan bawah (lower arm) adalah penilaian yang

    dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan bawah pada saat melakukan

    aktivitas kerja.

  • 20

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Gambar 2.7 Postur Tubuh Lengan Bawah (Lower Arm)

    Skor penilaian untuk postur tubuh bagian lengan atas (upper arm) dapat

    dilihat pada tabel 2.5

    Tabel 2.5 Skor Lengan Bawah (Lower Arm) Gerakan Skor

    Lengan bawah membentuk sudut 0° - 90° 1

    Lengan bawah membentuk sudut lebih dari 90° 2 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Jika lengan bawah bekerja menyilang di depan tubuh atau berada di

    samping tubuh maka skor ditambah 1.

    C. Pergelangan Tangan (wrist)

    Penilaian terhadap pergelangan tangan (wrist) adalah penilaian yang

    dilakukan terhadap sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan pada saat

    melakukan aktivitas kerja.

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993) Gambar 2.8 Postur Tubuh Pergelangan Tangan (Wrist)

    Skor penilaian untuk postur tubuh bagian pergelangan tangan (wrist)

    dapat dilihat pada tabel 2.6

  • 21

    Tabel 2.6 Skor Pergelangan Tangan (Wrist) Gerakan Skor

    Jika telapak tangan berada dalam posisi netral 1

    Jika telapak tangan tertekuk dengan sudut 0°- 15° 2

    Jika telapak tangan tertekuk dengan sudut lebih dari 15° 3 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah maka skor

    ditambahkan 1.

    D. Putaran Pergelangan Tangan (wrist twist)

    Tabel 2.7 Skor Putaran Pergelangan Tangan (Wrist Twist) Gerakan Skor

    Bila telapak tangan yang tertekuk berputar pada posisi tengah 1 Bila telapak tangan tertekuk didekat atau diakhir dari putaran 2

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    2.4.2 Penilaian Postur Tubuh grup B

    Postur tubuh grup B terdiri dari leher (neck), batang tubuh (trunk), dan

    kaki (legs).

    A. Leher (neck)

    Penilaian terhadap leher (neck) adalah penilaian yang dilakukan terhadap

    posisi leher pada saat melakukan aktivitas kerja.

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993) Gambar 2.9 Postur Tubuh bagian Leher (Neck)

    Skor penilaian untuk postur tubuh bagian leher (neck) dapat dilihat pada

    tabel 2.8.

  • 22

    Tabel 2.8 Skor Bagian Leher (Neck) Gerakan Skor

    Jika leher membentuk sudut 0°- 10° 1

    Jika leher membentuk sudut 10° - 20° 2

    Jika leher membentuk sudut lebih dari 20° 3

    Jika leher melakukan dalam posisi ekstensi keatas 4 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Jika leher operator banyak menoleh kesamping kiri atau kanan dan

    tertekuk kesamping kiri dan kanan maka skor ditambah 1.

    B. Batang Tubuh (trunk)

    Penilaian terhadap batang tubuh (trunk) merupakan penilaian terhadap

    sudut yang dibentuk tulang belakang saat melakukan aktivitas kerja dengan sudut

    yang telah ditentukan.

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993) Gambar 2.10 Postur Tubuh Batang Tubuh (Trunk)

    Skor penilaian untuk postur tubuh bagian batang tubuh (trunk) dapat

    dilihat pada tabel 2.9

    Tabel 2.9 Skor pada Bagian Batang Tubuh (Trunk) Gerakan Skor

    Jika duduk atau disangga dengan baik oleh batang tubuh yang membentuk sudut 90° atau lebih

    1

    jika punggung membentuk sudut 0° - 20° 2

    jika punggung membentuk sudut 20° -60° 3

    jika punggung membentuk sudut lebih 60° 4

    (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

  • 23

    C. Kaki (legs)

    Penilaian terhadap kaki (legs) adalah penilaian yang dilakukan terhadap

    posisi kaki pada saat melakukan aktivitas kerja apakah operator bekerja dengan

    posisi normal atau bertumpu. Skor penilaian untuk postur tubuh bagian batang

    tubuh (trunk) dapat dilihat pada tabel 2.10

    Tabel 2.10 Skor pada Bagian Kaki (Legs) Gerakan Skor

    Jika paha dan kaki mendukung dan seimbang 1 Jika paha dan kaki tidak mendukung dan tidak seimbang 2

    Sumber: McAtamney & Corlett, 1993

    Dibutuhkan nilai tunggal dari grup A dan grup B yang mewakili tingkatan

    atau pembobotan postur dari sistem musculoskeletal yang terdapat dalam kombinasi

    postur bagian tubuh.

    Nilai dari postur tubuh lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower

    arm), pergelangan tanga (wrist) dan perputaran pergelangan tangan (wrist twist)

    dimasukkan kedalam tabel postur tubuh grup A untuk memperoleh skor.

    Tabel 2.11 Skor Postur Tubuh Grup A

    TABEL A

    Pergelangan Tangan

    1 2 3 4

    Pergelangan Pergelangan Pergelangan Pergelangan

    Tangan Tangan Tangan Tangan

    Lengan Lengan Menekuk Menekuk Menekuk Menekuk

    Atas Bawah 1 2 1 2 1 2 1 2

    1 1 2 2 2 2 3 3 3

    1 2 2 2 2 2 3 3 3 3

    3 2 3 2 3 3 3 4 4

    1 2 2 2 3 3 3 4 4

    2 2 2 2 2 3 3 3 4 4

    3 2 3 3 3 3 4 4 5

    1 2 3 3 3 4 4 5 5

    3 2 2 3 3 3 4 4 5 5

    3 2 3 3 4 4 4 5 5

    1 3 4 4 4 4 4 5 5

    4 2 3 4 4 4 4 4 5 5

  • 24

    3 3 4 4 5 5 5 6 6

    1 5 5 5 5 5 6 6 7

    5 2 5 6 6 6 6 7 7 7

    3 6 6 6 7 7 7 7 8

    1 7 7 7 7 7 8 8 9

    6 2 7 8 8 8 8 9 9 9

    3 9 9 9 9 9 9 9 9 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Cara penggunaannya adalah setelah menemukan semua skor untuk lengan

    atas dan lainnya masukkan kedalam tabel sesuai dengan skor dari tabel sebelumnya

    sampai menemukan nilai akhir dari Tabel A.

    Contoh tabel postur tubuh grup A (Fadillah, 2015):

    Tabel 2.12 Contoh Skor Postur Tubuh Grup A

    TABEL A

    Pergelangan Tangan

    1 2 3 4

    Putaran Putaran Putaran Putaran

    Pergelangan Pergelangan Pergelangan Pergelangan

    Lengan Lengan Tangan Tangan Tangan Tangan

    Atas Bawah 1 2 1 2 1 2 1 2

    1 1 2 2 2 2 3 3 3

    1 2 2 2 2 2 3 3 3 3

    3 2 3 2 3 3 3 4 4

    1 2 2 2 3 3 3 4 4

    2 2 2 2 2 3 3 3 4 4

    3 2 3 3 3 3 4 4 5

    1 2 3 3 3 4 4 5 5

    3 2 2 3 3 3 4 4 5 5

    3 2 3 3 4 4 4 5 5

    1 3 4 4 4 4 4 5 5

    4 2 3 4 4 4 4 4 5 5

  • 25

    3 3 4 4 5 5 5 6 6

    1 5 5 5 5 5 6 6 7

    5 2 5 6 6 6 6 7 7 7

    3 6 6 6 7 7 7 7 8

    1 7 7 7 7 7 8 8 9

    6 2 7 8 8 8 8 9 9 9

    3 9 9 9 9 9 9 9 9

    (Sumber: Fadillah, 2015)

    Nilai dari postur tubuh leher(neck), batang tubuh (trunk),dan kaki(legs)

    dimasukkan kedalam tabel postur tubuh grup B untuk memperoleh skor.

    Tabel 2.13 Skor Postur Tubuh Grup B Tabel Batang Tubuh

    B 1 2 3 4 5 6

    Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki

    Leher 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

    1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7

    2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7

    3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7

    4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8

    5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8

    6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Cara penggunaannya adalah setelah menemukan semua skor untuk lengan

    atas dan lainnya masukkan kedalam tabel sesuai dengan skor dari tabel sebelumnya

    sampai menemukan nilai akhir dari Tabel B.

    Contoh tabel postur tubuh grup B (Fadillah, 2015):

  • 26

    Tabel 2.14 Contoh Skor Postur Tubuh Grup B

    Tabel Batang Tubuh

    B 1 2 3 4 5 6

    Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki Kaki

    Leher 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

    1 1 3 2 3 3 4 5 5 6 6 7 7

    2 2 3 2 3 4 5 5 5 6 7 7 7

    3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 7 7

    4 5 5 5 6 6 7 7 7 7 7 8 8

    5 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 8 8

    6 8 8 8 8 8 8 8 9 9 9 9 9

    (Sumber: Fadillah, 2015)

    2.4.3 Pengembangan Sistem Skor untuk Penggolongan Bagian Tubuh Sebuah nilai tunggal dibutuhkan dari grup A dan Grup B yang mana

    mewakili tingkatan atau pembobotan postur dari sistem musculoskeletal yang

    terdapat dalam kombinasi postur bagian tubuh. Kemudian langkah selanjutnya

    adalah menetapkan skor penggunaan otot (muscle use score) dan skor untuk gaya

    atau pembebanan (force/load score), dengan ketentuan sebagai berikut :

    Untuk muscle use score ketentuan adalah bila postur tubuh tetap dalam

    jangka waktu yang lama (memegang dalam waktu lebih dari 1 menit) atau

    melakukan pengulangan gerakan kira-kira 4 kali dalam waktu 1 menit maka skor

    bertambah menjadi 1.Untuk force/load score dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

    Tabel 2.15 Penggunaan Otot

    Gerakan Otot Skor Sebagian besar statis, misalnya memegang lebih dari 10 menit 1

    Gerakan yang mengulang lebih dari 4 kali per menit 1 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

  • 27

    Tabel 2.16 Gaya atau Pembebanan Gerakan Skor

    Bila beban kurang dari 2 kg 0

    Bila beban antara 2kg – 10 kg 1

    Bila beban antara 2kg – 10kg 2

    Bila beban lebih dari 10 kg 3 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

    Setelah hal di atas dilakukan maka langkah selanjutnya adalah membuat

    tabel untuk postur tubuh baik dari grup A dan grup B yang nantinya bersama dengan

    force/load score dan muscle use score digunakan untuk menemukan score akhir

    dan daftar aksi perbaikan.

    2.4.4 Pengembangan Skor Akhir

    Setelah melakukan pencarian nilai untuk grup A dan grup B maka

    dilakukan pencarian skor akhir untuk mengetahui apakah postur tubuh dari operator

    tersebut mengandung tingkat bahaya atau tidak, dengan penggabungan dari muscle

    use score dan force/load score. Dapat diformulasikan dengan rumus sebagai

    berikut:

    Score A + muscle use score dan force/load score grup A = Score C

    Score B + muscle use score dan force/load score grup B = Score D

    Tabel 2.17 Nilai Akhir (Grand Total Score)

    Skor C*

    Nilai Akhir (Grand Total Score)

    Skor D = Skor dari Tabel B + Muscle Use Score + Force

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    1 1 2 3 3 4 5 5 5 5

    2 2 2 3 4 4 5 5 5 5

    3 3 3 3 4 4 5 6 6 6

    4 3 3 3 4 5 6 6 6 6

    5 4 4 4 5 6 7 7 7 7

    6 4 4 5 6 6 7 7 7 7

    7 5 5 6 6 7 7 7 7 7

    8 5 5 6 7 7 7 7 7 7

    9 5 5 6 7 7 7 7 7 7 (Sumber: McAtamney & Corlett, 1993)

  • 28

    Contoh tabel grand total score (Fadillah, 2015) :

    Tabel 2.18 Contoh Nilai Akhir (Grand Total Score)

    Skor C*

    Nilai Akhir (Grand Total Score)

    Skor D = Skor dari Tabel B + Muscle Use Score + Force

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    1 1 2 3 3 4 5 5 5 5

    2 2 2 3 4 4 5 5 5 5

    3 3 3 3 4 4 5 6 6 6

    4 3 3 3 4 5 6 6 6 6

    5 4 4 4 5 6 7 7 7 7

    6 4 4 5 6 6 7 7 7 7

    7 5 5 6 6 7 7 7 7 7

    8 5 5 6 7 7 7 7 7 7

    9 5 5 6 7 7 7 7 7 7

    (Sumber: Fadillah, 2015)

    Hasil skor dari tabel 2.17 tersebut diklasifikasikan kedalam beberapa

    kategori level resiko pada tabel 2.19

    Tabel 2.19 Kategori Tindakan RULA Kategori Tindakan Level Skor Tindakan

    1-2 Minimum Aman

    3-4 Kecil Diperlukan beberapa waktu kedepan

    5-6 Sedang Tindakan dalam waktu dekat

    7 Tinggi Tindakan sekarang juga Sumber: McAtamney & Corlett, 1993

    Contoh tabel kategori tindakan RULA (Fadillah, 2015) :

  • 29

    Tabel 2.20 Contoh Rekapitulasi Hasil Perhitungan Postur Kerja

    No Aktivitas Kerja Skor

    Akhir Level

    Resiko Tindakan

    1 Melapisi mobil bagian kanan 7 Tinggi Tindakan sekarang juga

    2 Melapisi mobil bagian kiri 4 Kecil Diperlukan beberapa waktu kedepan

    3 Melapisi mobil bagian belakang 6 Sedang Tindakan dalam waktu dekat

    4 Pengecatan body mobil 6 Sedang Tindakan dalam waktu dekat

    5 Clearing body mobil 7 Tinggi Tindakan sekarang juga

    6 Pasca oven 4 Kecil Diperlukan beberapa waktu kedepan