bab ii diakonia adalah tugas gereja -...
TRANSCRIPT
BAB II
Diakonia adalah Tugas Gereja
2.1. Gereja
Gereja hidup ditengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orang percaya
kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus membawa
keselamatan sebagai anugerah kepada seluruh manusia. Allah yang menyatakan diri-Nya melalui
Yesus Kristus membebaskan manusia dari dosa, dengan tawaran anugerah keselamatan.
Keselamatan itu akan menjadi realita yang benar-benar menyelamatkan apabila manusia
memberikan tanggapan dengan beriman kepada Allah. Manusia yang menerima tawaran
anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus berkumpul membentuk sebuah
persekutuan yang disebut gereja.
Ada beberapa pendapat mengenai gereja, di antaranya gereja merupakan kehidupan
bersama manusia yang secara konkret telah mengalami keselamatan sesuai dengan
keberadaannya didunia. Ada juga yang berpendapat bahwa gereja ialah kehidupan bersama
orang-orang percaya yang mempunyai tugas untuk mengungkapkan dan menjalani kehidupan
selama mereka hidup bergereja dan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberadaan gereja dan orang Kristen yang hidup ditengah-tengah masyarakat dan
sebagai anggota masyarakat tidaklah terlepas dari masalah kemiskinan yang menyebabkan
ketimpangan nilai-nilai atau norma-norma kesejahteraan tersebut. Dalam keterlibatannya
mengatasi masalah kemiskinan, gereja dan orang Kristen tidaklah cukup hanya memahami apa
arti kemiskinan dan siapa yang miskin (orang miskin) saja, tetapi gereja dan orang Kristen harus
merangkul mereka dan mengangkat hakekat dan martabat mereka yang berada dalam kondisi
hidup miskin. Dengan kata lain kesadaran etis gereja dan orang kristen terhadap masalah
kemiskinan harus disertai dengan tindakan konkret atau tanggung jawab etis terhadap orang
miskin, atau membantu meringankan beban berat yang membuat mereka menderita.1
Secara etimologi, kata gereja berasal dari bahasa Yunani “Ekklesia” yang artinya
mereka yang dipanggil keluar. Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung
dalam persekutuan ini adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari
lingkungannya yang gelap. Tetapi pada saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar
tersebut kembali diutus ke dalam dunia, kedalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang
(Mat. 5:13-14). Itu berarti Allah memanggil umat pilihanNya bukan untuk dijadikan umat
simpanan-Nya atau menjadi suatu umat yang diisolirkan dari lingkungan masyarakat
sekitarnya (eksklusif). Pemanggilan Allah atas umat-Nya ini untuk dijadikan garam dan terang
bagi kegelapan dan ketawaran yang masih ada di sekitarnya.2 Oleh sebab itu, adanya
pemberitaan Firman Allah yang benar; penyelenggaraan sakramen yang kudus dan
penegakan disiplin, tetapi juga harus menjadi gereja bagi orang lain. Garam dan terang tidak
berfungsi bagi dirinya sendiri, garam dan terang selalu berfungsi bagi yang lain. Bagaimana
gereja dapat menjadi gereja bagi orang lain? Melalui pemenuhan tugas pelayanan yang telah
Allah mandatkan kepada gereja.
Mandat ini merupakan Missio Dei dari pada Allah. Missio Dei memberitakan kabar
baik bahwa Allah adalah Allah untuk semua manusia, ini jangan dipersempit menjadi bahwa
Allah hanya untuk orang kristen. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang menanggapi atau
menjawab panggilan Allah dalam iman untuk ikut mengambil bagian dalam karya
1 Yonky Karman, Diakonia Transformatif Gereja Sebagai Struktur Mediasi, Civis Volume 02 No. 01 Februari 2010 2 Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan OrangKristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), hl. 139
penyelamatan Allah melalui Kristus. Gereja kemudian menjadi persekutuan orang-orang yang
mengikut Yesus; persekutuan murid-murid Yesus. Sebagai persekutuan pengikut Yesus, gereja
sering digambarkan sebagai tubuh Kristus. Gambaran itu mengandung arti bahwa Tuhan
Yesus sebagai Kepala Gereja. Kepala dari tubuh itu, ingin menggunakan gereja untuk
menyatakan dirinya serta merta.
Bersama dengan Koinonia dan Marturia, Diakonia adalah Tri-tugas gereja yang
menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelayanan gereja ini harus
dilaksanakan secara terpadu dan bersamaan sehingga menjadi pelayanan gereja yang holistik.
Karena itu membahas diakonia tidak dapat dipisahkan dari pelayanan gereja yang sering
kita kenal sebagai tugas panggilan gereja. Itu berarti diakonia gereja adalah bagian integral dari
pelayanan utuh atau menyeluruh gereja Tuhan di dalam dunia ini.
Pelayanan yang utuh pada hakekatnya menghubungkan secara tepat dan benar tiga
sisi tugas panggilan gereja yaitu Koinonia (Persekutuan), Marturia (Kesaksian) dan Diakonia
(Pelayanan). Dalam Mark. 3:14-15, hal itu nyata, dimana Yesus menetapkan 12 murid (bentuk
persekutuan) untuk menyertai Yesus dan diutus memberitakan Injil (Marturia) dan diberi-Nya
kuasa untuk mengusir setan (Diakonia). Ketiga tugas panggilan ini harus saling terkait, karena
persekutuan gereja harus terarah keluar yaitu Persekutuan yang bersaksi dan melayani. Oleh
karena itu pelayanan utuh dari Gereja dapat dirumuskan sebagai berikut: “Gereja yang
seutuhnya memberitakan Injil yang seutuhnya tentang Kristus yang seutuhnya bagi manusia dan
dunia seutuhnya”. Gereja seutuhnya artinya tidak terlepas satu dengan yang lain, dan selalu
dalam kebersamaan dengan pihak lain. Injil seutuhnya artinya Injil bukan hanya tentang
keselamatan jiwa tetapi juga tentang keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan.
2.2. Diakonia dalam Gereja
Pada dasarnya pelayanan adalah membagikan hak yang disediakan Tuhan bagi setiap
orang baik lahir maupun batin.3 Pelayanan didasari oleh satu kesadaran bahwa oleh Tuhan setiap
insan yang lahir dan hidup di dunia ini diberi hak dan bekal untuk hidup, serta kewajiban dan
tanggung jawab yang sama dengan yang lain. Pada dasarnya kehidupan manusia tidak lepas dari
keterbatasan dan ketergantungan, sehingga di dalam kehidupan manusia tersebut terjadilah
interaksi timbal-balik antar manusia, yang saling menopang dan mengatasi keterbatasannya.
Menurut pemahaman kristiani, pelayanan merupakan aktivitas untuk merefleksi dan
melanjutkan akta Allah dalam Yesus Kristus untuk mengasihi dunia ini, dan pelayanan adalah
konsekuensi dari pelayanan dan keselamatan Kristus kepada umatNya (bnd Mat 25:31-40).
Dalam kenyataan yang lebih konkret, pelayanan merupakan suatu kesadaran etis dari manusia
yaitu bahwa dirinya secara langsung maupun tidak langsung hidup dari orang lain, dengan orang
lain dan untuk orang lain. Oleh sebab itu dalam pelayanan tersebut terkandung rasa tanggung
jawab dan perhatian terhadap keberadaan dan kesejahteraan hidup orang lain.
Secara harafiah kata “diakonia” berarti “memberi pertolongan atau pelayanan”. Kata ini
berasal dari kata Yunani diakonia (pelayanan), diakonien (melayani), dan diakonos (pelayanan).
Dalam Perjanjian Baru di samping kata-kata ini terdapat lima kata lain untuk “melayani”,
masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab
kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata “melayani”.
Di samping diakonien dalam PB ditemukan kata-kata berikut ini:
Douleuein: melayani sebagai budak kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari
orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi
3 A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal 2-4.
manusia jika ia dalam keadaan bebas. PB mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai
dengan keadaan masyarakat pada waktu itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat arti religius.
Latreuein: melayani untuk uang. Kata benda latreia (pelayan yang diupah) juga dipakai dalam
pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dari PL, yaitu Septuaginta (LXX), kata ini
kurang lebih terdapat 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan khususnya untuk
pelayan persembahan.
Leitourgein: dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayan umum bagi kesejahteraan rakyat
dan negara. Dalam LXX arti sosial-politik ini terutama dipakai di lingkungan kuil-kuil. Dalam
PB (khususnya surat Ibrani) kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam Besar Yesus Kristus.
Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Korintus 9:12 kata ini dipakai untuk kolekte dari orang
Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah
berasal kata “liturgi”, yaitu suatu tata ibadah dalam pertemuan jemaat.
Therapeuein: menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin.
Contoh: seorang pelayan kandang kuda melayani kuda, dalam arti ini mengurusnya. Therapeuein
di tempat lain juga dipakai sebagai sinonim dari “menyembuhkan”
Hupéretein: menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa
pekerjaan itu dilakukan. Hupéretés berarti sipelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja.
Menurut Matius 5:25, kata ini berarti “pelayan hukum”. Menurut Lukas 4:16 dst, artinya adalah
seorang fungsionaris di rumah ibadah sebagai pembantu kepala rumah ibadah. Lukas 1:2
menunjukkan bahwa para saksi mata dari penampilan Yesus bersedia menyebarluaskan berita
tentang Dia.
Kata pelayanan dalam bahasa Inggris: Ministry, Service; dalam Bahasa Yunani
διακονεω. Kata ini muncul 36 kali dalam Perjanjian Baru (21 kali dalam Injil Sinoptik; 3 kali
dalam Yohanes; 8 kali dalam tulisan Paulus; 1 kali dalam Ibrani; 3 kali dalam 1 Petrus) dengan
arti:
a) Pelayanan (Mrk. 1:31, Luk.17:8, Kis. 6:1-2).4 Ketika jumlah murid gereja mula-mula
semakin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang Yahudi yang
berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani dikarenakan pembagian kepada janda-
janda mereka diabaikan di dalam pelayanan sehari-hari, sehingga kedua belas rasul
itu memanggil semua murid berkumpul dan mengatakan bahwa mereka tidak
merasa puas karena mereka melalaikan Firman Allah untuk melayani meja.
Menurut para rasul bahwa melalaikan pelayanan meja sama artinya melalaikan
Firman Allah. Pelayanan meja merupakan bagian Firman Allah yang harus dikerjakan
dan menjadi tanggung jawab gereja (Kis. 4:35; 11:28-29; 1 Tim. 3:3-16). Gereja mula-
mula memperhatikan dua macam pelayanan, yaitu: pelayanan spiritual yaitu pelayanan
Firman Allah dan doa (Kis. 6:4) dan pelayanan material yaitu pelayanan meja (Kis. 6:1-
2).
b) Arti yang lebih luas yaitu muncul dalam Matius 25:44; Markus 1:13; 15:41; Lukas 8:3.
Ketiga, Pelayanan proklamasi Injil (Kis. 6:4; 20:24; 2 Kor. 4:1; 6:3; 11:8). Kecuali arti di
atas, di dalam Perjanjian Baru kata pelayanan juga berhubungan dengan pelayanan
proklamasi Injil. Kisah Para Rasul 6:4 “Dan supaya kami sendiri dapat memusatkan
pikiran dalam doa dan pelayanan firman.” Lebih jelas Paulus berkata “Tetapi aku tidak
menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan
4 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2007), 195
menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus untuk memberi kesaksian
tentang Injil kasih karunia Allah (Kis. 20:24 dan 2 Kor. 4:1).
Istilah diakonia dipopulerkan dalam era Perjanjian Baru. Dua kata yang berhubungan erat
dengan diakonia yaitu diakoneim dan diakonos. Diakoniem berarti melayani; dan diakonos
berarti pelayan. Pada mulanya diakonia bermakna pelayanan secara terbatas pada pelayanan
firman. Dalam perkembangannya, keduanya sering digunakan dalam berbagai konteks, misalnya
a. Dalam 2 Korintus 5:18-19 ; diakonia digunakan dalam konteks pelayanan perdamaian
yaitu pelayanan yang dilakukan oleh Allah di dalam dan melalui diri Yesus Kristus untuk
mendamaikan diri-Nya dengan manusia. Jadi Yesus Kristus adalah diakonos perdamaian.
b. Dalam Wahyu 2:19 ; diakonia digunakan dalam konteks tugas atau pekerjaan yang harus
dikerjakan oleh orang-orang percaya. Pelaksanaan tugas tersebut dikaitkan dengan
kesabaran, iman, dan ketekunan.
c. Dalam Kolose 4:17; diakonia digunakan dalam konteks tugas pelayanan yang diterima
dari Tuhan. Berdasarkan konteks-konteks yang dikemukakan di atas, perlu dilakukan
pembatasan pemahaman. Pembatasan ini berfungsi sebagai titik tolak pembahasan
selanjutnya dan sekaligus menyatukan pemahaman bersama. Dilihat dari pemakaian
awal dan pemakaian dalam beberapa konteks di atas dapat dikatakan bahwa diakonia
adalah tugas pelayanan dari Allah untuk kesejahteraan manusia. Sekalipun tidak
menggunakan kata diakonia, melalui peristiwa pembagian roti kepada lima ribu orang
(Yoh. 6:1-15; Mat. 14:13-21), Yesus Kristus memperlihatkan aspek kesejahteraan fisik
dari pelayanan yang dilakukanNya. Hal ini mengindikasikan bahwa kecukupan pangan
merupakan tugas yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh murid-murid. Kata
Yesus, “Tidak perlu mereka pergi kamu harus memberikan mereka makan. Penggunaan
kata harus menggambarkan sikap Yesus terhadap pelayanan kesejahteraan
(Diakonia). Orang-orang yang datang kepada-Nya tidak cukup dilayani dengan khotbah
yang menyenangkan secara spiritual tetapi juga perlu dikenyangkan secara material.
Karl Marx salah seorang Filsuf Jerman mengelompokkan masyarakat dalam dua
golongan yang berdasarkan kemiskinan dan kekayaan, yaitu proletar dan borjuis. Kaum proletar
ialah para buruh yang bekerja di pabrik-pabrik, dan kaum borjuis ialah kaum pemilik modal
yang merupakan tuan-tuan dari kaum proletar. Pikiran Marx berangkat dari konsep ekonomi
tentang pemilik modal dan pekerjanya.5 Ditambah dengan pembagian kerja yang bersifat mental
dan manual, ada kemungkinan besar bahwa para anggota kelas pekerja yang mayoritas akan
mengalami sejenis alienasi dari pekerjaan mereka, dan dengan demikian menciptakan
dehumanisasi (pengabaian hak asasi manusia) dan kegelisahan. Tetapi mereka yang memiliki
alat-alat produksi tidak bisa menanggung kehilangan kontrol terhadap situasi mereka yang lebih
unggul dan mengguntungkan, kelas yang dominan harus merekonstruksi system-sistem
kepercayaan mengenai masalah-masalah yang paling penting (Tuhan, alam semesta,
kemanusiaan, moralitas, dsb) dan mengkomunikasikannya kepada massa agar mereka tetap dapat
dikuasai.6
Jika dibandingkan dengan perspektif Alkitab, maka Stott mengatakan bahwa: sejumlah
studi penelitian terhadap materi Alkitab telah dilakukan dan dipublikasikan. Studi ini difokuskan
pada Perjanjian Lama, di mana serangkaian kata untuk kemiskinan, yang datangnya dari akar
kata Ibrani, muncul lebih dari 200 kali. Cara mengelompokkannya bisa bermacam-macam. Tapi
perbedaan prinsip yang terkandung dalam masing-masing kata itu ada 3. Pertama, ditinjau dari
5 Frans Magniz-Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama (Jakarta; 203), 265-266 6 David K. Naugle, Wawasan Dunia-Sejarah Sebuah konsep (Sebuah Pandangan Kristen), Penerbit Momentum (Surabaya:2010), 286-287
segi ekonomi, ada orang yang miskin karena ketiadaan materi mereka yang terkucil sama sekali
dari segala kebutuhan hidup primer. Kedua, ditinjau dari segi sosial, ada orang yang miskin
akibat penindasan, yang merupakan korban ketidakadilan, dan tidak berdaya. Ketiga, ditinjau
dari segi spiritual, ada orang miskin yang rendah hati, yang sadar akan ketidakberdayaannya dan
mengharapkan pertolongan dari Allah semata-mata. Dalam masing-masing kasus ini Allah
tampil sebagai yang datang menjumpai mereka untuk membela mereka, sesuai dengan sifat unik-
Nya, bahwa ‘Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu’.7
Ketika analisa dilakukan bardasarkan apa yang diungkapkan dalam Perjanjian Baru,
maka Verne H. Fletcher mengemukakan bahwa: salah satu unsur yang mengesankan dalam
penginjilan adalah ketekunan-Nya untuk mendahulukan kaum miskin dan telantar. Walaupun,
seperti yang ditekankan, Yesus sangat bersifat terbuka terhadap setiap orang yang di jumpai-
Nya, namun tidak dapat di sangkal bahwa Ia memusatkan kepedulian-Nya khususnya kepada
golongan rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa ia memihak kepada rakyat jelata.8 Verne H.
Fletcher menjelaskan bahwa: dalam melukiskan gambaran Yesus, kita jangan lupa ia bukan
hanya menyamakan diri dengan orang rendahan dan terbuang, tetapi Ia juga berlaku sebagai
pelayan mereka.
Khusus tentang relasi antara pemberitaan Injil dan kepedulian terhadap kehidupan sosial,
menurut John Stott bahwa, umat Kristen tidak hanya diajarkan untuk menaikkan doa syafaat bagi
situasi sosial, namun harus mendemonstrasikan kuasa Injil, malalui aksi sosial. Sebab baik
7 Ibid, 307-308 8 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2007), 271
pemberitaan Injil dan aksi sosial merupakan dua mata rantai yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya.9
Kasih kita kepada sesama harus diwujudkan dalam suatu keprihatinan yang terpadu
terhadap keseluruhan kebutuhan rohani dan sosial. Itulah sebabnya pelayanan Yesus selalu
diungkapkan oleh dua perkataan yang diapit dalam tanda kurung yaitu perkataan dan perbuatan.
Pemberitaan Injil dan perbuatan sosial adalah ibarat sepasang sayap burung atau mata gunting,
yang mustahil bisa berfungsi kalau hanya terdiri dari satu. Tapi, pemberitaan Injil selaku
pendahuluan aksi sosial harus kita lihat dari dua segi. Pertama, Injil itu mengubah manusia setiap
orang Kristen harus mampu menggemakan ucapan Paulus: “Sebab aku mempunyai keyakinan
yang kokoh dalam Injil, dan Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang
percaya” (Roma 1:16). Buktinya kita lihat dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan
orang lain. Karena dosa pada dasarnya pumpunan pada diri sendiri, maka salah satu unsur hakiki
penyelamatan ialah pentransformasikan ‘diri sendiri’ menjadi ‘bukan diri sendiri’.
Iman membawa kepada kasih dan kasih membawa kepada pelayanan. Jadi aksi
sosial,sebagai pelayanan kasih terhadap orang-orang yang menderita kekurangan, harus
meupakan hasil yang tidak pelak lagi dari iman yang menyelamatkan, meskipun harus kita akui
bahwa ini tidak selamanya begitu. Dengan demikian, kita tetap berpendapat bahwa pemberitaan
Injil merupakan peranti utama bagi terjadinya perubahan sosial. Sebab Injil mengubah manusia,
dan manusia yang sudah berubah dapat mengubah masyarakat.10
Konsep yang dikemukakan diatas berlatar belakang situasi yang terjadi ketika masyarakat
Palestina, khususnya ketika dikuasai oleh Raja Herodes dan Pilatus, yakni selama masa
9 Ibid, 292 10 David Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2005), 147
pelayanan Yesus dimana situasi Bangsa Yahudi penuh ketegangan sosial, sebab Raja Herodes
yang disebut Agung selama pemerintahannya ia terkenal bengis yang memerintah melalui
pembunuhan, penipuan, dan kecurangan. Ia seorang yang haus akan kemasyuran dan kejayaan,
dengan cara memeras penduduk negerinya dengan perpajakan yang berat. Di samping itu,
Herodes menggusur dan merampas area tanah yang sangat luas – sebagian menjadi milik pribadi,
sebagian dijual kepada para tuan tanah yang kaya.
Yang mengesankan yakni melalui dia pemulihan Bait Allah yang megah di Yerusalem
diwujudkan. Itulah sebabnya ia meninggal maka muncullah kerusuhan dan pemberontakan yang
dipimpin oleh Yudas dari Galilea, namun kemudia pemberontakan itu dikalahkan dan kemudian
dua ribu pembangkang disalibkan sepanjang jalan raya. Peristiwa itu tidak jauh dari Nasaret,
tempat Yesus dibesarkan. Usia-Nya pada saat itu diperkirakan menjelang sepuluh tahun,
sehingga tentunya Yesus mendengar berita tersebut dan kemudian menyaksikan barisan salib
itu.11
Itulah sebabnya Fletcher mengungkapkan bahwa: analisa sosial atas masyarakat Palestina
pada awal abad pertama menunjukkan bahwa, di samping golongan kaya dan golongan sedang
yang keduanya relatif kecil, kebanyakan penduduk sedang mengalami keadaan buruk. Tentang
mayoritas yang miskin itu, dapat dibedakan antara sebagian yang dapat menyambung hidupnya
saja, dan bagian yang lain yang sama sekali melarat, yaitu yang tidak punya apa-apa. Kedua
kategori orang miskin tersebut digambarkan dalam parable Yesus tentang “Bendahara yang tidak
jujur” yang ketika akan dipecat jabatannya mempertimbangkan kedua pilihan yang tersedia:
“Apakah yang aku perbuat? Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu” (Luk. 16:3).
11 Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia – Suatu pendekatan pada Etika Kristen Dasar, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2007), 273
Penderitaan seperti yang dilukiskan di atas bergandeng dengan harapan akan
penyelamatan Ilahi. Suasana yang terjadi terungkap dalam beberapa ucapan pada Injil Lukas:
“orang banyak sedang menanti dan berharap” (3:15) dan “orang-orang menyangka bahwa
Kerajaan Allah segera tampak” (19:11). Tentunya bukan hanya rakyat jelata yang berharap,
tetapi seluruh bangsa dan pengharapan itu sejak beberapa abad, mulai dalam masa pembuangan.
Peristiwa semacam itu lazimnya dinantilan sebagai hari pembalasan Allah terhadap musuh-
musuh kaum Yahudi.
Selain kemerdekaan politik juga tercakup harapan akan kesejahteraan sosial: utang
piutang ditiadakan, perkebunan besar dibagi-bagikan dan para budak di bebaskan. Harapan itu
berkisar pada Sang Mesias, seorang pahlawan yang sama seperti Raja Daud, yang akan bertindak
sebagai wakil Allah dan membimbing bangsa Yahudi menuju hari kemenangan. Oleh karena
harapan mesias, tidak mengagetkan kalau kuasa Romawi menganggap setiap pengaku Mesias
sebagai musuh politik yang dicurigai merancang pemberontakan, dan oleh karena itu perlu
disalibkan.12 Itulah sebabnya, tidak heran jika David J. Bosch memberikan judul dalam sub-sub
bukunya tentang Injil Lukas dengan “Injil bagi Kaum Miskin dan Orang Kaya”.13 Menurut
Bosch, Lukas sebagai penginjil bagi kaum kaya, sebab Lukas berbicara tentang bagaimana si
kaya harus bersikap terhadap si miskin.14
Melihat kondisi yang ada di dalam sejarah orang Yahudi dan sikap Yesus terhadap dua
golongan kemiskinan, gereja harus memproklamirkan kabar baik tentang Kerajaan itu kepada
orang-orang miskin secara materi, menyambut mereka dalam persekutuannya, dan mengambil
bagian dalam problema-problema mereka. Memang, keprihatinan oleh para penulis Alkitab, dan
12 Ibid, 239-240 13 David Bosch, Transformasi Misi Kristen, BPK Gunung Mulia (Jakarta:2005),153 14 Ibid, 158
lebih khusus lagi oleh Yesus sendiri, telah membuat beberapa pemikir kontemporer berbicara
tentang “kecondongan” Allah memihak kepada mereka.15
Gereja harus memusatkan misinya pada pangkal kemiskinan itu, dan harus memusatkan
misinya pada pangkal kemelaratan itu, dan dari situ bergerak “menuju ke pinggiran”, kepada
mereka “terhadap setiap orang berdosa”, dengan kata-kata lain kepada orang-orang miskin dan
tertindas.16 Lagi pula gereja tidak boleh mentolerir kemiskinan material di antara umat-Nya. Jika
Yesus mengatakan, “orang-orang miskin selalu ada padamu” (Mrk 14:7), maka Ia sekali-kali
bukannya menyetujui adanya kemiskinan secara permanen. Dalam ucapan itu menggema
Perjanjian Lama, “orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negri itu” (Ul 15:11).
Namun ini maksudnya bukan sebagai alasan berpuas diri, melainkan sebagai dorongan untuk
bermurah hati, sehingga menghasilkan “maka tidak akan ada orang miskin di antaramu” (Ul
15:4).
Apabila ada suatu komunitas di dunia ini, dalam nama keadilan dijamin bagi yang
tertindas, orang miskin dilepaskan dari kemiskinan dan kebutuhan material terpenuhi akibat
berbagai sumber daya, maka komunitas itu adalah masyarakat baru Yesus. Itu terjadi di
Yerusalem sesudah Pentakosta, takkala “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara
mereka”, seperti yang diutarakan Lukas kepada kita dalam Kis 4:34, dan itu dapat (dan
seharusnya) berulang lagi pada masa kini. Bagaimana kita dapat membiarkan saudara-saudara
kita sendiri dalam keluarga Allah menderita kekurangan?17
15 Ibid, 316 16 Ibid, 317 17 Ibid, 317-318
2.3. Bentuk-bentuk Diakonia Gereja
Diakonia sebagai pelayanan kasih tidak lagi menjadi monopoli kegiatan institusi gereja,
tetapi telah dilakukan oleh lembaga pelayanan Kristen dan LSM. Bentuk dan cara diakonia yang
dilakukan oleh organisasi sosial Kristen telah berkembang lebih maju dan cepat daripada
dilakukan oleh institusi gereja. Bicara tentang pelayanan gereja dalam pemberdayaan
anggotanya, bahkan sampai menyentuh kepentingan masyarakat luas, serta membangun kualitas
kehidupan manusia yang lebih baik, dapat digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan
karitatif, reformatif dan transformatif.
a) Diakonia Karitatif
Diakonia karitatif merupakan bentuk diakonia yang paling tua yang dipraktekkan oleh
gereja dan pekerja sosial. 18 Diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang
miskin, menghibur orang sakit dan perbuatan amal kebajikan lainnya. Model ini mendapat
dukungan gereja (terutama sebaelum tahun 1950), karena dapat memberi manfaat yang dapat
terlihat langsung, tidak ada resiko, sebab akan didukung oleh penguasa, memberikan penampilan
yang baik terhadap si pemberi, memusatkan perhatian pada hubungan pribadi, misalnya
merespon beasiswa/bantuan uang untuk anak, bisa digunakan untuk menarik seorang yang
dibantu untuk menjadi anggota gereja (WWC-1982), menciptakan hubungan subjek-objek
(ketergantungannya) dan status quo.
Diakonia karitatif merupakan produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa dan
Amerika Utara (abad ke-19), disebarkan oleh misi dan zending selama masa penjajahan dan
didukung oleh pemerintah penjajah namun sangat dikecam oleh golongan nasionalis dan
18 Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hal 109-112
kelomok agama lainnya di negeri jajahan. Menurut Woodward (Romanyshyn 1971:6), diakonia
karitatif cenderung mempertahankan status quo, ideologi, dan teologinya, karena kemiskinan
tidak terhindarkan, karena situasi dan ketidakmampuan yang bersangkutan, percaya bahwa
melalui kerja keras seseorang dapat memperbaiki kesejahteraannya, bukan perubahan sosial,
mendesak perlunya tanggung jawab moral dari yang kaya untuk melakukan amal demi
mengurangi kemiskinan, pembenaran penggunaan “sebagian kecil kekayaan yang terbatas”
untuk mereka yang miskin, dan menganggap harta milik mereka adalah halal dan sebagai
pemberian Allah.
Tidak dapat disangkal bahwa diakonia karitatif memiliki kelemahan. Tetapi di dalam
kehidupan sehari-hari, diakonia karitatif tidak dapat dihindari. Dalam kehidupan gereja, diakonia
karitatif masih tetap dibutuhkan oleh gereja khususnya dalam situasi darurat sebelum
memberikan pelayanan diakonia reformatif bahkan lebih lagi diakonia transformatif.
b) Diakonia Reformatif
Diakonia reformatif ini lebih menekankan pada aspek pembangunan, pendekatan yang
dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan,
penyuluhan, bimas, dan koperasi. Karakteristik diakonia ini dapat dilihat sebagai berikut,
pertama, lebih berorientasi pada pembangunan lembaga-lembaga formal, tanpa perombakan
struktur dan sistem yang ada, kedua, sudah menggunakan analisis sosial-kultural, namun tidak
menggunakan analisis struktural, dan yang ketiga, pendekatan pelayanan ini masih bersifat top-
down, dalam model ini masyarakat belum sepenuhnya menjadi pelaku sejarah yang menentukan
masa depannya sendiri.19
Diakonia karitatif sering digambarkan sebagai tindakan belas kasihan pada orang yang
lapar dengan memberi sepotong ikan, sedangkan diakonia reformatif sering digambarkan dengan
menolong orang lapar dengan memberi alat pancing dan mengajar memancing. Dari desa hingga
ibu kota, bahkan mancanegara, para pemipin mulai berbicara tentang pembangunan. Sejak tahun
1967, tidak ada kata yang lebih indah dari kata pembangunan.20
Diakonia pembangunan atau reformatif bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan
kemiskian rakyat, sebab ia hanya memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal
dan teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan.21
c) Diakonia Transformatif
Pada pembahasan sebelumnya diakonia karitatif digambarkan sebagai pelayanan
memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan diakonia reformatif atau pembangunan
adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia
transformatif atau pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta dan
memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan. Pemberian pancing dan keterampilan
memancing tidaklah berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dimonopoli oleh orang-orang
yang serakah. Rakyat kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang,
perlu dilayani, yaitu dengan menyadarkan hak-hak mereka. Mereka juga butuh dorongan dan
semangat untuk percaya pada diri sendiri.22
19Kornelis P. Patola, Diakonia Transformatif: Bentuk Kepedulian Umat Allah, Majalah LINK Jubilee School, Vol 4, 2008. 20Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2009) hal, 113 21Ibid, 114 22Ibid, 114
Bahkan kenyataannya dibeberapa negara, pembangunan yang menekankan pertumbuhan
ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara kelompok orang yang
kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk kebutuhan jangka
panjang muncul sebagai alternatif ketiga menjawab permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan
struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika Latin
mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana.
Asumsi yang mendasari pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi
roti, sebab besok ia akan datang kembali untuk meminta roti (menghapus mental
ketergantungan); juga tidak cukup, hanya diberi pancing atau pacul, karena masalahnya terletak
pada pertanyaan, di mana mereka dapat mengali dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut
dikuasai kaum pemilik modal yang mempunyai kapital? Karena itu berilah dia hak hidup melalui
pendampingan dan perberdayaan bagi mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola
Community Organization (CO) dengan pendekatan pengorganisasian komunitas untuk dapat
merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri. Peran gereja selama ini dalam
mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal.
Teolog pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan
merefleksikan gereja secara kontekstual. Teologi pembebasan adalah kata majemuk yang terdiri
dari kata teologi dan pembebasan. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan
hubungannya dengan manusia serta alam, sedangkan kata pembebasan adalah reaksi dari istilah
pembangunan yang kemudian menjadi ideologi perkembangan ekonomi yang cenderung liberal
dan kapitalistik. Jadi, teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam
lingkup sosial yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah kongkrit
yang terjadi di sekitarnya. Titik berangkat teologi pembebasan ala Gutierrez adalah gereja dan
hubungannya dengan dunia di Amerika Latin. Guna memindahkannya ke dunianya, gereja
memerlukan sebuah pemahaman baru dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini
pula fungsi pembebasan gereja tampak dalam tiga tingkatan, yaitu pembebasan politik yang
mengakomodasi golongan miskin dan tertindas; pembebasan sebagai sebuah pemahaman akan
sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat masa depannya secara bertanggungjawab;
dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala kebobrokan hubungan manusia,
ketidakadilan dan penindasan.23
Secara teoritis diakonia adalah bagian dari tri tugas panggilan gereja yang harus
direncanakan dan dilaksanakan seimbang dengan tugas panggilan lainnya. Tugas panggilan
diakonia lebih cenderung melayani sesama dalam pergumulan sosialnya. Dari ketiga model
diakonia di atas, menurut saya diakonia transformatif-lah yang paling menyentuh akar
permasalahan, karena diakonia model ini tidak membuat si miskin menjadi ketergantungan atau
hanya sekedar dapat bertahan hidup, di dalam situasi dan keadaan hidup yang penuh dengan
penderitaan dan ketidakadilan.
Model ini dapat membantu gereja mengakomodir masalah kemiskinan dan ketidak
merataan yang terjadi, besar ataupun kecil dampak yang dihasilkan. Sehingga mereka yang
tertindas dan yang tidak mendapatkan keadilan dapat bangkit untuk menata kehidupan kembali
secara mandiri, dan menentang segala praktek-praktek ketidakadilan dan penindasan yang diatur
di dalam sebuah sistem.
Dalam uraian diatas, ketiga model diakonia tersebut pastinya mempunyai kekuatan
maupun juga kelemahan. Namun tidak dapat disangkal bahwa ketiga model diakonia ini masih
tetap dibutuhkan oleh gereja. Diakonia karitatif dibutuhkan dalam keadaan darurat sebelum
memberikan pelayanan yang lebih lagi seperti diakonia reformatif dan juga transformatif. Begitu 23Ibid, 361-362
juga dengan model diakonia reformatif, gereja masih tetap membutuhkan model diakonia ini
khususnya dalam membangun sumber daya manusia (SDM) jemaat.