bab ii di luar bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian bali,...

38
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Studi tentang seni kakebyaran di luar Bali secara khusus belum banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga referensi yang mengkaji tentang topik tersebut masih sangat terbatas. Untuk itu, dilakukan penelitian awal melalui penelitian Hibah Bersaing yang berhasil dimenangkan pada tahun 2010 dan 2011. Hasil penelitian yang berjudul “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang Industri Pariwisata di Lombok Barat” oleh I Gede Yudarta dengan Ni Wayan Ardini, merupakan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan dilanjutkan pelaksanaan tahap II pada tahun 2011. Pada tahun pertama dari pelaksanaan penelitian ini secara khusus dilakukan pemetaan terhadap keberadaan kesenian Bali khususnya seni pertunjukan terkait dengan potensi yang dimiliki dalam pemanfaatannya sebagai salah satu penunjang dalam pengembangan industri pariwisata di Kota Mataram. Dari penelitian tersebut diperoleh data-data tentang keberadaan 68 sanggar dan sekaa kesenian dan keberadaan seni kakebyaran yang terdapat di beberapa sanggar seni di Kota Mataram. Hasil penelitian ini memberikan manfaat yang signifikan, karena dari pemetaan tersebut diketahui keberadaan seni kakebyaran di Kota Mataram. Data yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai bahan studi terkait dengan reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun kedua dari penelitian hibah ini

Upload: others

Post on 21-Sep-2019

19 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Studi tentang seni kakebyaran di luar Bali secara khusus belum banyak

dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga referensi yang mengkaji tentang

topik tersebut masih sangat terbatas. Untuk itu, dilakukan penelitian awal melalui

penelitian Hibah Bersaing yang berhasil dimenangkan pada tahun 2010 dan 2011.

Hasil penelitian yang berjudul “Potensi Seni Pertunjukan Bali Sebagai Penunjang

Industri Pariwisata di Lombok Barat” oleh I Gede Yudarta dengan Ni Wayan

Ardini, merupakan penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan dilanjutkan

pelaksanaan tahap II pada tahun 2011. Pada tahun pertama dari pelaksanaan

penelitian ini secara khusus dilakukan pemetaan terhadap keberadaan kesenian Bali

khususnya seni pertunjukan terkait dengan potensi yang dimiliki dalam

pemanfaatannya sebagai salah satu penunjang dalam pengembangan industri

pariwisata di Kota Mataram. Dari penelitian tersebut diperoleh data-data tentang

keberadaan 68 sanggar dan sekaa kesenian dan keberadaan seni kakebyaran yang

terdapat di beberapa sanggar seni di Kota Mataram. Hasil penelitian ini

memberikan manfaat yang signifikan, karena dari pemetaan tersebut diketahui

keberadaan seni kakebyaran di Kota Mataram. Data yang diperoleh dapat

dimanfaatkan sebagai bahan studi terkait dengan reproduksi seni kakebyaran di

Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pada tahun kedua dari penelitian hibah ini

Page 2: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

15

dicoba untuk merumuskan sebuah konsep seni pertunjukan yang mencerminkan

pluralitas budaya masyarakat di Kota Mataram dengan meramu sebuah paket seni

pertunjukan multikultur yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kesenian

diantaranya seni pertunjukan Bali di samping kesenian dari budaya masyarakat

setempat. Memperhatikan perkembangan seni kekebyaran di Kota Mataram dan di

Lombok pada umumnya, potensi yang dimiliki cukup besar bila dimanfaatkan

sebagai salah satu atraksi budaya untuk wisatawan.

Gamelan Gong kebyar memiliki fleksibelitas yang tinggi dapat dimainkan

untuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian

Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang acapkali disajikan sebagai tarian

penutup. Dilematisnya, dari wawancara yang dilakukan kepada para seniman,

tokoh masyarakat, dan beberapa orang tokoh yang terlibat langsung di bidang

kepariwisataan, terdapat sebuah anjuran mengutamakan seni tradisi lokal Sasak dan

tidak mempergunakan seni pertunjukan Bali dalam pagelaran atraksi wisata di

hotel-hotel. Anjuran ini secara nyata telah memarjinalkan seni pertunjukan Bali dan

dalam pengembangan industri pariwisata terjadi diskriminasi budaya terhadap salah

satu potensi budaya yang ada dan berdampak tidak termanfaatkannya potensi

budaya tersebut secara optimal. Dari kedua pelaksanaan penelitian ini banyak

informasi dan data yang diperoleh untuk dijadikan referensi guna mendukung

pelaksanaan studi ini. Terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap seni

pertunjukan Bali, salah satu fenomena yang cukup menarik sebagai salah satu studi

dengan perspektif kajian budaya (cultural studies).

Page 3: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

16

Di samping dari hasil penelitian hibah bersaing yang berhasil dimenangkan

dalam 2 (dua) periode (2010 dan 2011), penulis juga berhasil mendapatkan hibah

penelitian Disertasi Doktor pada tahun 2013 dimana hasil penelitian tersebut

dijadikan penelitian awal dari penelitian disertasi ini. Dari penelitian yang

mengambil judul “Eksistensi Seni Kakebyaran dalam Kehidupan Masyarakat di

Kota Mataram” berhasil ditemukan beberapa hal penting yang terkait dengan

sejarah perkembangan seni kakebyaran, bentuk seni kakebyaran, eksistensi dan

fungsinya dalam kehidupan masyarakat di Kota Mataram. Data-data yang berhasil

diungkap dalam penelitian tersebut tentunya sangat bermanfaat bagi penelitian ini

dan beberapa temuan yang dihasilkan dijadikan sebagai bagian dari disertasi ini.

Penulis merasa sangat beruntung ketika berjumpa dan berdiskusi dengan

David D. Harnis seorang ethnomusicologys dari Bowling Green State University

(USA) yang telah melakukan penelitian tentang kesenian di Lombok pada tahun

1980. Dari diskusi diperoleh beberapa artikel di antaranya: Defining Ethnicity,

(Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among

The Balinese of Lombok yang telah dipublikasikan dalam Journal of Musicological

Research 24:265-286 tahun 2005; ‘‘Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’:

Constructing Balinese Music Culture in Lombok yang diterbitkan pada

Ethnomusicology Forum vol. 14, no 1 tahun 2005.

Dari kedua artikel tersebut diperoleh banyak informasi penting yang sangat

diperlukan untuk melengkapi penelitian ini. Di samping mengungkap keberadaan

seni pertunjukan secara umum, di dalam artikel itu diuraikan juga tentang

keberadaan seni kakebyaran di Lombok khususnya di Kota Mataram. Dalam artikel

Page 4: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

17

Defining Ethnicity, (Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation

and Innovation among The Balinese of Lombok halaman 280 diuraikan:

”Although it is unknown when kebyar initially came to Lombok, the firstregistered gamelan gong kebyar was the still existing Rena Sari in 1939,although the style likely precedes this date on the island. Other clubs soonmaterialized. The next boom in new performing arts was in the late 1950s,after superstar Balinese dancer Ni Madé Darmi married a local Balinese,Wayan Kartawirya, came to Lombok, and worked with local musicians anddancers such as Ida Wayan Pasha”.

Terjemahan:Tidak diketahui kapan tepatnya gong kebyar merambah Lombok, namungong kebyar yang terdaftar pertama kali adalah pada tahun 1939 dan masiheksis hingga saat ini yakni Rena Sari, namun gaya kebyar ini kembalibermunculan saat ini di pulau ini. Terobosan baru seni pertunjukan di eratahun 1950-an, setelah pernikahan penari Bali terkenal Ni Made Darmi yangmenikah dengan seorang pemuda Bali setempat, Wayan Kartawirya,kemudian menetap di Lombok dan bekerjasama dengan para musisi danpenari setempat seperti Ida Wayan Pasha

Dari kutipan di atas dikatakan bahwa pada tahun 1939 telah ada sekaa gong

kebyar yang bernama “Rene Sari” dan perkembangan seni kakebyaran semakin

semarak terjadi pada tahun 1950an setelah salah satu “super star” penari Bali Ni

Made Darmi menikah dengan I Wayan Kertawirya seorang musisi di Lombok serta

bekerjasama dengan Ida Wayan Pasha. Informasi ini sangat penting terkait dengan

latar belakang sejarah perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram.

Sebagaimana diungkap dalam artikel “Isn’t This Nice? It’s just like being in Bali’’:

Constructing Balinese Music Culture in Lombok halaman 10 ada diuraikan:

“Lombok Balinese music styles can be seen as being one of three types: 1)those with antecedents in Bali, 2) those with antecedents from the Sasakmajority of Lombok and 3) those co-created with the Sasak. The first typecomprises the majority of traditions, including the most popular gamelan inboth Bali and Lombok, the gamelan gong kebyar. Gong kebyar exploded onthe artistic scene in Bali in the 1920s and 1930s; it had a similar impact inLombok during the 1950s. This form has linked Lombok Balinese to Baliand inspired people to greater artistic involvement on both islands. The vast

Page 5: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

18

majority of 20th-century dance and theatre innovations employ gong kebyarand form part of the kebyar movement”Terjemahan:

Gaya musik Bali Lombok dapat dilihat dalam tiga bentuk: 1) gaya yangmasih erat kaitannya dengan Bali; 2) gaya musik yang erat kaitannya denganSasak Lombok dan 3) gaya musik yang merupakan perpaduan antara Balidan Lombok. Gamelan gong kebyar sebagai salah satu gaya musik darikatagori yang pertama merupakan salah satu gamelan yang populer dalammasyarakat Bali dan Lombok. Semaraknya perkembangan gong kebyar diBali pada tahun 1920-1930 turut memengaruhi perkembangan senikakebyaran di Lombok pada tahun 1950. Bentuk ini telah menginspirasiketerlibatan para seniman di kedua pulau dan sebagian besar tari-tarian diabad ke 20 serta pengembangan teater tradisional menggunakan gamelangong kebyar dan ini merupakan pergerakan seni kakebyaran di Lombok.

Kedua artikel di atas memberikan informasi tentang keberadaan serta

perkembangan seni kakebyaran di Lombok pada masa yang lalu. Walaupun

demikian situasi tersebut tentunya sangat berbeda dengan situasi dalam beberapa

tahun belakangan ini. Banyak perubahan yang telah terjadi di masyarakat yang

berdampak terhadap perubahan kesenian Bali yang terdapat di Lombok, khususnya

di Kota Mataram. Walaupun sekilas tampak ada persamaan dengan kajian seperti

yang diuraikan di atas, namun dengan mempergunakan pendekatan dan paradigma

kajian budaya (culture studies) akan terdapat perbedaan yang signifikan. Apabila

dalam penelitian sebelumnya pembahasan tentang seni kakebyaran lebih bersifat

umum, dalam studi ini seni kakebyaran lebih difokuskan sebagai salah satu objek

kajian dalam upaya orang-orang Bali mempertahankan identitas, tradisi budaya dan

agamanya serta upaya integratif agar tradisi tersebut bisa diterima dalam kehidupan

yang lebih luas.

Page 6: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

19

Di samping beberapa artikel di atas, dirujuk juga beberapa referensi dan

hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Adapun referensi tersebut

diuraikan di bawah ini.

Music In Bali: A study in Form and Instrumental Organization in Balinese

Orchestral Music, karya Colin McPhee yang diterbitkan pada tahun 1966 oleh New

Haven and London, Yale University Press. Sebuah buku yang di dalamnya

menguraikan tentang keberadaan musik (tradisional) Bali dengan berbagai jenis

gamelan, bentuk musik, serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Bali.

Berkaitan dengan penelitian ini secara khusus Colin McPhee membahas tentang

musik kebyar pada chapter 19 sebagaimana diuraikan pada halaman 328.

“It was probably in the early years of the present century that musicians incertain village of north Bali, the territory of many innovations, began totransform the traditional gamelan gong gede into the modernized formknown today as tha gamelan gong kebyar”Terjemahan,(diperkirakan pada tahun-tahun awal abad ini (XIX) para musisi dari desa-desa tertentu di wilayah Bali Utara mulai mengubah alat musik tradisionalgamelan gong gede dimodernisasi menjadi gamelan gong kebyarsebagaimana kita ketahui saat ini).

Uraian ini memberikan informasi bahwa telah terjadi modernisasi dalam musik Bali

yang dilakukan oleh para seniman di wilayah Bali Utara dengan mengubah gamelan

gong gede menjadi gamelan gong kebyar. Dengan perampingan (pengurangan)

beberapa instrumen dihadirkan sebuah musik kebyar bergaya perkusif yang penuh

semangat (exuberant). Informasi yang terdapat di dalam buku ini sangat penting

karena di dalamnya terdapat konsep kebyar dan keberadaan beberapa gamelan dan

gaya musik yang berkembang di Kota Mataram berasal dari daerah Bali Utara.

Page 7: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

20

Gong kebyar Buleleng: Perubahan dan Keberlanjutan Tradisi Gong

kebyar, karya Pande Made Sukerta tahun 2009. Buku yang merupakan hasil editing

dari disertasinya yang berjudul “Perubahan dan Keberlanjutan Dalam Tradisi Gong

kebyar: Studi Tentang Gong kebyar Buleleng” (2004), adalah salah satu referensi

penting tentang perkembangan, perubahan, dan keberlanjutan seni kakebyaran.

Buku ini memberikan pengetahuan dalam berbagai aspek, terutama yang berkaitan

dengan sejarah kelahiran gamelan Gong kebyar, hingga penyebarannya dari Daerah

Bali Utara ke Bali Selatan ke seluruh wilayah di Bali, di beberapa daerah di

Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Sebagaimana diuraikan oleh Pande Sukerta

(2009:9), terjadinya penyebaran barungan Gong kebyar dapat dikatakan bahwa

barungan gamelan gong kebyar bersifat mengglobal; artinya pada awalnya lahir di

Kabupaten Buleleng kemudian berkembang ke seluruh Bali, ke beberapa wilayah

di Indonesia dan di beberapa negara di dunia.

Di samping penyebaran berungan gong kebyar, terdapat beberapa informasi

dalam buku ini yang menarik dan penting untuk dipergunakan sumber kajian.

Dilihat dari bentuknya secara fisik, sebagian besar tungguhan barungan gamelan

gong kebyar di Lombok berupa tungguhan atau pelawah bakiakan yang

menyerupai bentuk tungguhan barungan gong kebyar yang ada di Bali Utara.

Demikian pula dengan bentuk-bentuk komposisi gong kebyar di mana di Lombok

yang rata-rata memiliki komposisi tabuh sekatian, tabuh pelawasan yang sama

dengan yang ada di Bali Utara. Persamaan bentuk tungguhan tersebut sangat

menarik untuk dikaji kemungkinan terjadinya penyebaran secara langsung dari Bali

Page 8: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

21

Utara ke wilayah Lombok. Hal ini belum terungkap dalam buku yang disusun oleh

Pande Sukerta.

Seni kakebyaran, merupakan sebuah “bunga rampai” beberapa tulisan yang

dieditori oleh I Wayan Dibia (2008). Di dalamnya memuat berbagai tulisan dari

beberapa pakar seni kakebyaran. Beberapa tulisan yang menarik untuk disimak di

antaranya adalah sajian dari I Wayan Rai yang berjudul “Seni Kakebyaran Dewasa

Ini”. Sebagaimana dalam uraiannya, berpijak dari kata dasar “kebyar” yang berarti

letupan atau sinar memancar dengan tiba-tiba sehingga dapat membuat kita terkejut.

Kata ini kemudian dilengkapi dengan awalan “ke” dan akhiran “an”, kakebyaran

dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau jenis kesenian yang termasuk bidang seni

pertunjukan yang memiliki ciri dan sifat ngebyar (dalam Dibia, 2008:6)

Uraian tentang seni kakebyaran dalam buku ini, memberikan kontribusi

yang sangat signifikan dalam memperluas wawasan serta pemahaman tentang seni

kakebyaran. Sebagaimana dikatakan Dibia dalam sambutannya, terdapat

pandangan baru terhadap seni kakebyaran. Pada awalnya seni kebyar cenderung

untuk dibatasi hanya pada bentuk kesenian yang diiringi oleh musik gong kebyar,

kini seni kakebyaran telah mencakup wilayah estetik yang begitu luas dan telah

melampaui batas gong kebyar (Dibia, 2008:iii). Dalam studi tentang reproduksi seni

kakebyaran di Kota Mataram, nampak jelas adanya pengaruh yang kuat dari seni

kakebyaran itu sendiri. Kegandrungan masyarakat terhadap fenomena kakebyaran

juga terjadi di kalangan seniman dan masyarakat di Kota Mataram sehingga hal ini

mendorong munculnya beberapa bentuk kesenian yang bernafaskan kebyar baik di

dalam seni pertunjukan Bali maupun seni pertunjukan Sasak.

Page 9: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

22

Tradisi Bali Lombok, Sebuah Catatan Budaya, oleh Wayan Suyadnya

(2006). Secara ringkas dalam buku ini dibahas tentang keberadaan serta kehidupan

masyarakat Bali yang berada di Lombok dengan budaya dan adat-istiadat yang

dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa aspek kehidupan sosial,

agama, adat isitiadat dan kesenian, walaupun disajikan secara ringkas namun cukup

memberi gambaran situasi yang ada di Lombok. Sebagai sebuah catatan budaya,

informasi dalam buku ini sangat relevan dipergunakan sebagai referensi untuk

mendapatkan gambaran awal tentang keberadaan seni pertunjukan di Kota

Mataram. Sebagaimana dikatakan Suyadnya (2006:9),

“bila bertandang pada kampung-kampung tua pada sore menjelang malam.Pada beberapa banjar yang memiliki perangkat gamelan, sayup-sayup akanterdengar suara gamelan yang dimilikinya dimainkan warga setempat, baikgong, angklung maupun rindik. Begitu juga di sejumlah bale banjar, bisadilihat adanya sekelompok teruna-teruni yang sedang belajar menari”.

Walaupun secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus tentang keberadaan seni

kakebyaran, namun dari beberapa uraian yang terdapat di dalamnya dapat diketahui

bahwa salah satu aktivitas berkesenian yang dilakukan oleh masyarakat adalah di

bidang seni pertunjukan (seni karawitan dan seni tari) yang menjadi kajian dari studi

ini.

Kupu-Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok, Lintasan Sejarah

Kerajaan Karangasem (1661-1950), karya Anak Agung Ketut Agung tahun 1991.

Literatur ini banyak mengungkap tentang sejarah kedatangan orang-orang Bali di

wilayah Lombok pada masa pemerintahan raja-raja di Bali. Gelombang kedatangan

orang-orang Bali di Lombok dimulai pada abad ke-12, pada masa pemerintahan

Raja Anak Wungsu di Bali. Pada saat itu Pulau Lombok dapat ditaklukkan oleh

Page 10: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

23

Bali. Selanjutnya pada tahun 1530 M, sebagaimana terdapat dalam Babad

Sangupati, diungkapkan kedatangan Dang Hyang Nirarta (Pangeran Sangupati)

yang merupakan utusan dari Kerajaan Gelgel dalam penyebaran agama Hindu di

wilayah tersebut. Gelombang ketiga terjadi pada masa pemerintahan Raja Tri

Tunggal I (I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah

Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem) tahun 1692 pada saat

pengembangan wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh kerajaan Karangasem ke

wilayah Lombok.

Berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut di atas,

merupakan salah satu penyebab terjadinya desiminasi budaya di mana bala tentara

serta orang-orang yang terlibat pada berbagai peristiwa tersebut banyak di

antaranya menetap secara permanen dan melanjutkan kehidupan mereka dengan

tradisi, budaya sebagaimana dilakukan di Bali. Buku ini memberikan gambaran

historis yang sangat bermanfaat dalam mengungkap keberadaan seni pertunjukan

Bali. Walaupun penelitian ini bukan merupakan kajian historis, namun berbagai

informasi dalam buku ini memberikan gambaran yang terjadi pada masa lalu dan

hal itu tentunya sangat berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini. Kuatnya

kedudukan dan pengaruh Kerajaan Karangasem pada masa lalu berdampak pada

kuatnya pengaruh kebudayaan Bali terhadap kebudayaan masyarakat setempat.

Salah satunya adalah di bidang seni pertunjukan di mana pengaruh unsur-unsur

kesenian Bali senantiasa tampak jelas dalam beberapa seni pertunjukan Sasak.

Keberadaan barungan gamelan gong kebyar dan gending-gending kakebyaran di

Page 11: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

24

kalangan masyarakat Sasak menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kesenian Bali

terhadap kesenian masyarakat setempat.

Buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan karya Irwan Abdullah.

Refrensi ini memberikan kontribusi yang sangat besar untuk dimanfaatkan di dalam

membahas dan menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Berbagai

penjelasan dalam buku ini memberikan inspirasi, pemahaman tentang gejala, proses

reproduksi budaya serta penanganan-penanganan terhadap konflik yang terjadi

untuk dapat diaplikasikan dalam penelitian ini. Terkait dengan penyebaran unsur-

unsur kebudayaan Bali, Abdullah (2006:3) secara khusus mencermati perubahan

masyarakat yang menunjukkan kecenderungan lain dalam pendefinisian suatu

praktik yakni proses mencairnya batas-batas ruang (fisik). Mobilitas fisik telah

dilengkapi dengan mobilitas sosial dan intelektual yang jauh lebih padat dan

intensif. Sebagai dampak dari perkembangan media komunikasi yang mampu

mengintegrasikan masyarakat dari yang bersifat lokal ke global, unsur-unsur

kebudayaan Bali pun kemudian bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga

dengan mudah dapat ditemukan di berbagai tempat, di luar batas-batas geografis

kebudayaan Bali. Uraian tersebut tentunya sangat sesuai dengan topik dalam

penelitian ini dan menjadi tinjauan teoretis untuk mengungkap terjadinya

reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Selain buku-buku di atas, sumber lain yang juga dipergunakan adalah tesis

karya Gusti Ayu Ketut Suandewi yang berjudul ”Tari Batek Baris dalam Upacara

Perang Topat di Pura Lingsar Lombok Barat (2001). Tesis ini memberikan

gambaran tentang bentuk, fungsi dan makna tari Batek Baris dalam kebersamaan

Page 12: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

25

hidup antara dua umat yang berbeda yaitu Hindu dan Islam yang menghasilkan

harmoni estetika yang sarat dengan unsur akulturasi budaya. Informasi yang

terdapat dalam tesis ini dijadikan salah satu acuan tentang terjadinya akulturasi

antara budaya Hindu dengan Islam dalam bentuk seni pertunjukan. Ternyata

budaya masyarakat Hindu sangat fleksibel mampu beradaptasi dengan lingkungan

di sekitarnya serta unsur-unsur budaya lokal yang mempengaruhi.

2.2 Konsep

Terkait dengan judul penelitian ini, ada beberapa konsep yang perlu

dijelaskan. Adapun konsep tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

2.2.1 Reproduksi

Secara konseptual, reproduksi dapat dilihat dari dua bentuk yaitu pertama,

sebagai kata benda yang berarti pengembangbiakan, tiruan dan hasil pencetakan

ulang, dan kedua sebagai kata kerja reproduksi berarti melakukan reproduksi,

menghasilkan ulang dan menghasilkan kembali (Anwar, 2001:366). Istilah

reproduksi digunakan di dalam berbagai bidang ilmu seperti ilmu kedokteran, ilmu

seni (seni lukis, fotografi, kriya), ilmu sosial dan budaya. Di dalam ilmu kedokteran,

konsep reproduksi berkaitan dengan sistem reproduksi dan organ-organ vital yang

merupakan instrumen reproduksi. Reproduksi merupakan proses biologis suatu

individu organisme. Reproduksi merupakan cara dasar mempertahankan diri

dengan berkembangbiak yang dilakukan oleh semua bentuk kehidupan dan untuk

menghasilkan generasi selanjutnya. Di dalam seni, reproduksi sering digunakan

Page 13: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

26

dalam upaya memperbanyak, atau pembuatan salinan atau tiruan dari sebuah

lukisan, patung, fotografi dan benda-benda seni lainnya.

Reproduksi dalam konteks budaya, sebagaimana dikatakan oleh Irwan

Abdullah (2006:45) adalah proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh

pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Dalam

wacana yang lebih luas, reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang

menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan

adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Adapun penegasan yang dimaksud adalah penegasan kembali identitas kebudayaan

asalnya. Sebagai sebuah proses aktif, reproduksi budaya bisa menghasilkan bentuk

yang sama dan bisa juga terjadi perubahan yang dipengaruhi oleh lingkungan

tempat terjadinya reproduksi.

2.2.2 Seni Kakebyaran

Seni kakebyaran merupakan produk budaya masyarakat yang telah menjadi

salah satu ikon budaya Bali. Di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya yang sangat

kuat dan merupakan cerminan identitas budaya masyarakat Bali yang dinamis.

Kakebyaran itu sendiri berasal dari kata kebyar yang mendapat awalan ka dan

akhiran -an. Adanya imbuhan awalan dan akhiran tersebut, kakebyaran berarti

sesuatu yang berhubungan dengan kebyar. Dalam kamus bahasa Bali yang disusun

oleh panitia penyusunan kamus Bali Indonesia (1978:274), kata kebyar ditulis

dengan kata kebiar atau makebiar yang berarti menyala dengan tiba-tiba.

Selanjutnya diuraikan juga bahwa kata kebyar merupakan nama tabuh-tabuhan

Page 14: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

27

dalam gamelan Bali dengan suara keras mengejutkan sebagai letupan atau seperti

menyala-nyala yang memancar dengan tiba-tiba saat mulainya. Sebagaimana

terungkap dalam hasil penelitian Tim Survei ASTI Denpasar (1980:4), dalam Notes

on The Balinese Gamelan Music Panji mengatakan bahwa byar berarti suatu bunyi

yang timbul dari akibat pukulan alat-alat gamelan secara keseluruhan dan bersama-

sama.

Terkait dengan kata kebyar, McPhee (1966:326) dalam penjelasannya

mengatakan,

”The word kebyar is hard to difine. It applies to the new style and to themusic itself, to the dance, and to the modernized gamelan gong. It refers inparticular to the cymbals and their metallic class, and to the explosiveunison attack of the gamelan with wich the music begins. It has beenexplained to me as meaning a sudden outburst, ”like the bursting open of aflower”, as one informant engagingly by opening a tightly closed hand”.Terjemahan,Kata kebyar sangat sulit untuk diartikan. Kata ini diterapkan dalam duniamusik gaya baru dan musik itu sendiri, untuk tarian, dan gamelan gong yangdimodernisasi. Hal ini mengacu terutama untuk simbal dan kelompoklogam, dan untuk suara bunyi yang serempak dan bergemuruh dari gamelanketika musiknya dimulai. Beberapa penjelasan yang saya dapatkan berartiriuh rendah seperti bunga yang mekar secara tiba-tiba, informasi yangsangat menarik dari informan adalah membuka tangan yang tertutup rapat”

Dari pernyataan tersebut, kebyar secara konseptual diartikan sebagai musik gaya

baru dari modernisasi gamelan gong (gong gede). Kebyar merupakan bunyi atau

suara yang ditimbulkan dari kelompok instrumen simbal dan logam yang

dimainkan secara serempak dan bergemuruh di awal musik. Kebyar juga

diandaikan seperti kuncup bunga yang mekar secara tiba-tiba atau seperti tiba-tiba

membuka tangan yang tertutup rapat.

Page 15: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

28

Musik kebyar dari awal munculnya memang tidak dapat dipisahkan dari

keberadaan gamelan gong kebyar. Terkait dengan prihal lahirnya, Dibia (2003:39)

menguraikan dua fase penting yaitu: munculnya teknik menabuh dengan pola

”ngebyar”, yaitu memukul alat-alat gamelan secara bersama-sama sehingga

menimbulkan suara keras yang menggelegar, dan terbentuknya barungan gamelan

baru yang kemudian diberi nama gong kebyar. Hal ini menunjukkan bahwa

penciptaan dan munculnya gamelan gong kebyar berawal dari munculnya ide

musikal yang kemudian diikuti dengan penciptaan barungan alat gamelan untuk

mewadahi dan sebagai media ungkap dari ide musikal tersebut. Hal yang sama juga

ditegaskan oleh Sukerta (2009:6), bahwa sebelum barungan gamelan gong kebyar

terwujud, terlebih dahulu muncul gending-gending yang menggunakan teknik-

teknik kakebyaran yang disajikan pada jenis barungan gemalen tertentu yang

menggunakan laras pelog.

Dari kedua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kakebyaran

merupakan sebuah konsep dan pola musikal yang diterapkan dalam gamelan Bali.

Walaupun kemudian dipopulerkan lewat gamelan gong kebyar, namun sebelumnya

konsep musikal ini terlebih dahulu disajikan dalam beberapa jenis gamelan lainnya.

Di wilayah kelahirannya yaitu di Bali Utara pola musikal yang ngebyar lazim

dimainkan dalam tabuh-tabuh lalonggoran yang sering disajikan untuk mengiringi

berbagai upacara keagamaan. Lalonggoran merupakan salah satu gending sakral

yang dikeramatkan yang dalam penyajiannya senantiasa didahului dan dilengkapi

dengan sesajen. Musikalitas tabuh lelonggoran ini disajikan dalam tempo yang

cepat, dinamis (keras) dan penyajiannya senantiasa digunakan untuk mengawali

Page 16: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

29

sajian dari tabuh-tabuh yang lainnya dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

Musikalitas yang cepat dan keras inilah yang sering diidentikkan dengan konsep

ngebyar.

Seiring dengan munculnya seni kakebyaran dalam bentuk seni karawitan

instrumental, muncul pula bentuk seni kakebyaran yang lain yakni tari kakebyaran.

Arini (2004:3) mengatakan tari kakebyaran adalah tari-tarian yang diiringi dengan

gamelan gong kebyar, pada umumnya memakai pukulan makebyar ketika memulai

tabuh iringan tarinya. Sebagaimana munculnya seni tabuh kakebyaran di wilayah

Bali Utara, kakebyaran dalam bentuk seni tari juga diperkirakan awalnya muncul

di wilayah tersebut. Hal ini dapat dicermati dengan adanya istilah kebyar

bulelengan, yakni sebuah istilah yang berarti sebuah tarian yang ditampilkan

dengan iringan tetabuhan kebyar (Buleleng) (Dibia, 2003:43). Istilah ini digunakan

untuk menyebutkan salah satu tari kebyar yang saat ini dikenal dengan tari Kebyar

Legong. Semaraknya perkembangan seni kakebyaran di Buleleng di awal dekade

abad XX juga diikuti dengan munculnya beberapa tarian yang terinspirasi dari tari

Kebyar Legong tersebut. Beberapa di antaranya yang populer di kalangan

masyarakat adalah tari Palawakya dan tari Teruna Jaya yang diciptakan oleh

seniman-seniman Buleleng.

Dalam perkembangan selanjutnya, seni kakebyaran tidak saja berkembang

di wilayah Bali Utara, namun mulai merambah beberapa wilayah di daerah Bali

Selatan dan ke beberapa wilayah di Bali hingga ke wilayah Lombok. Popularitas

seni kakebyaranpun semakin menguat di masyarakat. Indah dan dinamisnya seni

tari kakebyaran yang diciptakan oleh seniman-seniman Buleleng memicu

Page 17: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

30

kreativitas para seniman lainnya di wilayah Bali Selatan untuk menciptakan tari-

tari kakebyaran. I Mario pada tahun 1920an menciptakan sebuah tarian yang

disebut dengan tari Kebyar Duduk dan selanjutnya melahirkan pula tari Kebyar

Terompong, Oleg Tamulilingan dan beberapa tari lainnya. Selain Mario, maestro

tari kakebyaran lainnya adalah I Nyoman Kaler yang melahirkan banyak karya tari

kakebyaran dengan berbagai karakter seperti tari perempuan/feminim dan tari

babancihan. Sebagaimana diuraikan oleh Arini, beberapa kakebyaran yang

diciptakan oleh I Nyoman Kaler di antaranya yang tergolong tari feminim yakni:

tari Candra Metu, tari Puspawarna, tari Bayan Nginte, tari Kupu-Kupu Tarum dan

tari Pengaksama. Sedangkan yang tergolong tari babancihan adalah tari Mergapati,

tari Wiranata, tari Panji Semirang, tari Demang Miring (Arini 2004:16-19).

Semaraknya perkembangan gambelan gong kebyar menyebabkan gamelan

ini semakin populer di kalangan masyarakat seni pertunjukan di Bali. Dalam

penyajiannya tidak saja menyajikan tabuh-tabuh instrumental namun juga

mengiringi tari-tarian lain di samping tari-tari kakebyaran yang menjadi bagian dari

seni kakebyaran tersebut. Beberapa jenis tarian klasik yang nota bene merupakan

repertoar dari gamelan palegongan seperti Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog,

Candrakanta, Semarandana dan sebagainya mulai diringi dengan gamelan gong

kebyar. Hal ini terjadi seiring dengan semakin berkurangnya keberadaan gamelan

palegongan di masyarakat. Demikian pula tari-tarian repertoar dari gamelan

babarongan, gong gede dan yang lainnya mulai merambah ke wilayah penyajian

gamelan gong kebyar. Guna menghindari kerancuan dalam pembahasannya,

beberapa repertoar sebagaimana disebutkan di atas yang nota bene bukan berasal

Page 18: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

31

dari wilayah seni kakebyaran tidak akan dibahas lebih dalam lagi. Walaupun saat

ini sering disajikan lewat media gamelan gong kebyar tari-tarian palegongan dan

yang lainnya, hal itu bukanlah merupakan bagian dari bentuk seni kakebyaran.

Dari uraian di atas, dapat dijelaskan kembali bahwa kakebyaran merupakan

sebuah konsep musikal dan bentuk barungan gamelan sebagai media penyajiannya,

kakebyaran tidak terbatas hanya pada gamelan gong kebyar saja namun juga

gamelan lain yang memiliki repertoar dengan ciri-ciri serta identitas sebagaimana

telah diuraikan di atas. Penjelasan konsep kakebyaran di bidang seni tari mengacu

kepada konsep seni tari kakebyaran yaitu tari-tarian yang diiringi dengan musik

atau tabuh kakebyaran. Tidak terbatas pada penggunaan media gamelan gong

kebyar namun juga gamelan lainnya. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa kakebyaran memiliki cakupan pengertian yang sangat luas, tidak saja

terbatas pada konsep musikal dan alat musik (gamelan), akan tetapi sudah

merambah pada bidang seni tari. Jadi seni kakebyaran sudah berkembang menjadi

sebuah konsep estetika seni pertunjukan Bali dalam musik dan tari.

Dari penjelasan kedua konsep di atas, reproduksi seni kakebyaran

merupakan kombinasi dari konsep reproduksi dan seni kakebyaran. Seni

kakebyaran sebagai objek material merupakan subunsur budaya di bidang kesenian

yang menjadi salah satu ikon budaya masyarakat Bali. Di dalamnya terdapat

berbagai nilai yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya Bali. Keberadaan seni

kakabyaran di Kota Mataram adalah hasil proses reproduksi yang dilakukan oleh

masyarakat etnis Bali di dalam upaya menegaskan identitasnya sebagai orang Bali.

Page 19: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

32

Seni kakebyaran merupakan salah satu bentuk dari berbagai aspek sosial, budaya

yang dibangun oleh masyarakat Bali yang ada di Kota Mataram.

Reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, NTB merupakan upaya yang

dilakukan oleh orang-orang Bali di Kota Mataram dalam membangun dan

mengembangbiakkan seni kakebyaran dalam rangka memperkuat dan menegaskan

identitas mereka sebagai orang-orang Bali. Reproduksi seni kakebyaran di Kota

Mataram di samping memiliki kesamaan unsur-unsur dengan di daerah asalnya,

juga menghasilkan berbagai perubahan bentuk yang disebabkan adanya perbedaan

lingkungan dan kultur di daerah asalnya (Bali) dengan di wilayahnya yang baru

(Mataram). Perubahan terjadi karena reproduksi adalah proses aktif yang

menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan

adanya adaptasi bagi kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang

kebudayaan yang berbeda. Di dalam beradaptasi sangat memungkinkan terjadinya

perubahan karena adanya perbedaan beberapa faktor seperti lingkungan, kebiasaan-

kebiasaan serta budaya yang berbeda.

Studi tentang reproduksi seni kakebyaran dalam konteks kajian budaya atau

lebih di kenal dengan cultural studies merupakan sebuah studi yang berdasarkan

pada pendekatan multi dan postdisipliner. Sebagaimana dikatakan Hall (dalam

Barker, 2001:6), yang diperbincangkan adalah hubungan cultural studies persoalan

kekuasaan dan politik dengan kebutuhan akan perubahan dan dengan representasi

atas dan ’bagi’ kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan khususnya kelas,

gender dan ras.

Page 20: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

33

Berkaitan dengan praktik-praktik kekuasaan, cultural studies menunjukkan

perhatian spesifik terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan yang pertama kali

karena soal kelas, ras, gender, kebangsaan kelompok umur dan sebagainya.

Keberadaan tradisi budaya Bali khususnya seni pertunjukan di Lombok

memunculkan persoalan yang sangat dilematis. Sebagai budaya dari kelompok

minoritas, eksistensi seni kakebyaran di wilayah Kota Mataram terpinggirkan

dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Keterpinggiran tersebut terlihat dari

kurangnya dukungan dari berbagai komponen masyarakat terutama institusi

pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan seni dan budaya. Di samping itu

adanya kebijakan otonomi daerah, muncul tendensi atau kecenderungan daerah-

daerah di Indonesia lebih mementingkan pengembangan budaya etnik lokal

daripada budaya para pendatang, apalagi didominasi oleh faktor agama. Kebijakan-

kebijakan yang dikeluarkan senantiasa mengacu pada agama dan budaya etnik lokal

dan kurang berpihak kepada budaya di luar agama yang dominan dalam kehidupan

masyarakat.

2.3 Landasan Teori

Sebagai sebuah penelitian dalam kajian budaya (cultural studies), dalam

penelitian tentang reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram akan dianalisis

dengan menggunakan beberapa teori secara eklektik. Sesuai dengan permasalahan

yang telah dirumuskan, penelitian ini berpijak dari pemikiran dalam ranah kajian

budaya yang secara spesifik menyoroti terjadinya reproduksi salah satu wujud

kebudayaan yaitu seni kakebyaran ketika berada di ruang atau wilayah yang baru

Page 21: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

34

dalam situasi dan atmosfir yang berbeda dengan wilayah budaya asalnya. Berbagai

persoalan muncul ketika seni kakebyaran direproduksi di wilayah budaya yang baru

yang jauh dari budaya induknya.

Sebagai identitas budaya dari etnis minoritas seni kakebyaran menjadi

terpinggirkan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Keberadaannya seperti

anak yatim dan mengambang tidak jelas siapa yang akan bertanggung jawab

terhadap eksistensi dan keberlanjutanya serta bagimana konsep pelestarian dan

pengembangannya di masa yang akan datang. Reproduksi seni kakebyaran sebagai

salah satu upaya membangun serta penguatan identitas budaya masyarakat Bali

memunculkan upaya-upaya resistensi dari budaya mayoritas dengan cara mengikis

atau menghilangkan elemen budaya Bali pada budaya Sasak sebagai upaya

pemurnian identitas Sasak. Ketika muncul perlawanan tersebut terjadi pula hal-hal

yang bersifat dekonstruktif dari para seniman Bali dengan mengadakan beberapa

perubahan agar nantinya dapat diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat

setempat. Dari berbagai persoalan tersebut, untuk mengkaji dan menganalisis

persoalan reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat,

digunakan beberapa teori sebagai perangkat analisis sebagaimana dipaparkan

berikiut ini.

2.3.1 Teori Reproduksi Budaya

Kajian tentang reproduksi kebudayaan pernah dikemukakan oleh Pierre F.

Bourdiou melalui konsep habitus dan arena serta hubungan dialektis antara

keduanya. Menurut Bourdieu (1989), habitus adalah struktur mental atau kognitif

Page 22: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

35

yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali

serangkian skema atau pola yang diinternalisasikan yang nereka gunakan untuk

merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola

itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika,

habitus adalah”produk internalisasi struktur” dunia sosial (dalam Ritzer, 2003:522).

Habitus dipahami sebagai seperangkat nilai, praktik dan kecenderungan

bathin yang distrukturkan” maupun “menstrukturkan”. Habitus merupakan sesuatu

yang bersifat generatif yang akan selalu berkembang, artinya, habitus terdiri atas

penguasaan praktis sejumlah kecakapan (skill), rutinitas, kemampuan dan asumsi

yang masih bisa dimodifikasi dan digunakan sebagai dasar improvisasi. Meskipun

dibentuk dalam suatu wilayah atau ranah tertentu, disposisi-disposisi habitus bisa

ditransfer dari satu ranah ke ranah yang lain (Barker, 2014:115).

Nilai-nilai budaya Bali dengan berbagai praktik budayanya merupakan

merupakan kebiasaan-kebiasaan yang senantiasa melekat pada diri orang Bali.

Secara nyata meskipun nilai-nilai serta berbagai praktik budaya tersebut lahir dan

dibentuk di Bali, habitus ini bisa perpindah ke ranah yang lain mengikuti alur

perpindahan orang Bali. Berpindahnya orang-orang Bali dan selanjutnya menetap

di Kota Mataram, diikuti dengan dipreproduksinya berbagai kebiasaan, khususnya

dalam aktivitas budaya, seni, tradisi, agama dan berbagai aspek kehidupan sosial.

Ranah (field) adalah sejenis lingkungan kompetitif yang di dalamnya

terdapat berbagai jenis modal (sosial, ekonomi, budaya, dan simbolis) yang

digunakan dan dimanfaatkan. Ada sejumlah arena semi otonom di dunia sosial

misalnya artistik, religious, dan perguruan tinggi yang semuanya memiliki logika

Page 23: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

36

spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan para aktor

tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan di suatu arena. Pada rumusan yang lain,

Bourdieu (1990a: 123-129) memakai field sebagai dunia sosial yang terus menerus

berada dalam proses diferensiasi progresif serta jumlah kendala struktural

anggotanya. Field adalah arena perjuangan anggotanya untuk mendapatkan

berbagai sumber daya material ataupun kekuatan simbolis. Tujuan utamanya adalah

memastikan “perbedaan” yang akan menjamin status aktor sosial yang dapat

berfungsi sebagai sumber kekuasaan simbolis yang kemudian digunakan untuk

mencapai keberhasilan lebih lanjut (dalam Lubis, 2014:108).

Mengacu pada rumusan tersebut, wilayah Kota Mataram merupakan arena

perjuangan bagi masyarakat etnis Bali untuk mendapatkan berbagai sumber daya

material dan kekuatan simbolis. Dengan mereproduksi kebudayaan, khususnya

kesenian, hal ini dijadikan sumber daya atau modal budaya untuk meraih materi

dan sebagai kekuatan simbolis yang kemudian digunakan untuk mencapai

keberhasilan lebih lanjut.

Hubungan dialektis di antara habitus dan arena sebagaimana diungkap

Bourdieu (1984a) menunjukkan bahwa habitus dan arena saling menentukan satu

sama lainnya. Secara tegas dikatakan,

“ habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi, dan hanya sahdalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitusitu sendiri adalah “ lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu.Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilaiyang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yangberbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama (dalamRitzer, 2003:528).

Page 24: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

37

Secara sederhana, dapat dipahami bahwa suatu tindakan yang sama dapat

memperoleh sesuatu makna yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika

dilakukan di arena yang berbeda. Terkait dengan pernyataan tersebut, habitus

sangat berpengaruh ketika memasuki arena yang berbeda. Terjadinya perbedaan

makna berimplikasi terhadap beberapa aspek kehidupan di antaranya aspek sosial

dan budaya. Fenomena ini searah dengan pandangan Kingsley Davis yang

menyatakan perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah dua bidang yang

saling berkaitan. Perubahan sosial adalah bagian dari perubahan kebudayaan

mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya (dalam

Soekanto, 2001:342).

Irwan Abdullah dalam bukunya Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan

(2007) menguraikan bahwa reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan

identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan

keberadaan kebudayaan asalnya. Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar

sebagai frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai

praktik sosial, tetapi lebih sebagai “barang” atau materi yang berguna dalam proses

identifikasi diri dan kelompok. Kebudayaan sebagai simbol menunjuk pada

bagaimana suatu budaya dimanfaatkan untuk menegaskan batas-batas kelompok.

Pembentukan identitas kelompok migran di berbagai tempat cenderung

terperangkap ke dalam kerinduan masa lalu. Dasar reproduksi kebudayaan lebih

disebabkan oleh usaha menghadirkan masa lalu ke masa kini dan beban sejarah

yang dipikul oleh setiap kelompok yang meninggalkan wilayah kebudayaannya,

yakni untuk mewujudkan cita-cita dan identitas (Abdullah, 2007:51-52).

Page 25: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

38

Berpindahnya orang Bali dan memasuki wilayah budaya berbeda terkadang

sulit melepaskan diri dari identitas budaya asal yang sudah melekat dan cenderung

masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi sebagai kelompok

minoritas, untuk dapat diterima dan menjadi bagian dari sistem yang lebih luas

harus mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri sehingga sering menimbulkan

perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya. Teori konfigurasi menjelaskan,

bahwa terjadi tiga proses sosial ketika ada perubahan sebagai akibat dari

penyesuaian tersebut di antaranya: pertama terjadi pengelompokan baru dengan

orang-orang yang berbeda berarti adanya pembentukan hubungan sosial baru.

Kedua, terjadi redefinisi sejarah kehidupan karena adanya fase kehidupan baru.

Ketiga, terjadi proses pemberian makna baru bagi diri seseorang, yang

menyebabkan ia mendefinisikan kembali kultural dirinya dan asal usulnya

(Abdullah, 2007:44)

Berpindahnya orang-orang Bali dan menempati wilayah dan lingkungan

sosial yang baru di Lombok secara tidak langsung menimbulkan pengelompokan

baru dan membentuk hubungan sosial yang baru baik sesama orang Bali maupun

masyarakat setempat. Muncul fase baru dalam kehidupan masyarakat dan fase

tersebut menjadi tonggak sejarah di wilayah yang baru. Keberadaan orang-orang

Bali dan menetap di Lombok memberikan pandangan baru terhadap identitas

pribadi, kelompok dan identitas kesukubangsaan. Bagi orang Bali sendiri,

keberadaan mereka di Lombok senantiasa bangga menyebutkan diri sebagai orang

Bali walaupun mereka lahir dan dibesarkan di Lombok dan mungkin mereka tidak

mengetahui daerah asalnya di Bali. Dari sudut pandang yang lain, bagi masyarakat

Page 26: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

39

Lombok, mereka juga masih dianggap sebagai orang Bali. Walaupun demikian bagi

orang Bali yang mempunyai sanak saudara di Bali, oleh sanak saudaranya mereka

sudah dianggap sebagai nyame Sasak (orang Lombok).

Sebagaimana fenomena yang terjadi pada wilayah yang lebih besar, dalam

wilayah yang lebih spesifik yakni di bidang seni pertunjukan juga terjadi beberapa

perubahan yang cukup signifikan. Perubahan-perubahan yang terjadi menyesuaikan

dengan etika dan norma-norma kesopanan, di mana tari-tarian yang disajikan

dengan kostum yang agak terbuka diharuskan mengubah konsep pakaian agar

bagian-bagian yang terbuka tertutupi. Sebagaimana diketahui beberapa tarian Bali

disajikan dengan konsep kostum yang agak terbuka pada bagian lengan dan bahu.

Untuk dapat ditampilkan dihadapan masyarakat atau pejabat pemerintahan bagian-

bagian tersebut ditutupi dengan baju. Perubahan juga terjadi pada bentuk seni

pertunjukan lainnya. Agar kesenian tersebut diterima oleh semua kalangan

termasuk masyarakat setempat, beberapa elemen budaya sasak dimasukkan ke

dalam seni pertunjukan seperti digunakannya bahasa tradisional sasak.

Berada di wilayah etnik yang berbeda menyebabkan orang-orang Bali

menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlaku secara umum yang tentunya

berbeda dengan situasi dan kondisi yang terdapat di Bali. Perubahan budaya dalam

konteks reproduksi tidak dapat dihindari karena ruang atau wilayah budaya yang

baru memiliki kosmologi dan atmosfir yang berbeda dengan di daerah asalnya.

Atmosfir masyarakat di Kota Mataram khususnya berbeda dengan atmosfir

masyarakat di Bali. Ketika masih dikuasai oleh keturunan Raja Karangasem, Kota

Mataram memiliki armosfir kehidupan budaya seperti di Bali di mana nuansa

Page 27: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

40

kehidupan masyarakatnya hampir sama dengan yang ada di Bali. Seni, dan tradisi

budaya masyarakat di Kota Mataram masih kuat dengan nuansa budaya Bali.

Namun setelah terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan dan pola

kepemimpinan yang cenderung agamis, lambat laun atmosfir kehidupan

masyarakatnya mengalami perubahan. Keberadaan tradisi, dan budaya masyarakat

termasuk di antaranya juga seni budaya Bali semakin memudar, bahkan banyak di

antaranya yang mengalami kepunahan.

Semakin menguatnya kehidupan keagamaan di wilayah Lombok, justru

semakin memperlemah posisi keberadaan kebudayaan asli masyarakat terutama

seni tradisi yang ada termasuk seni pertunjukan Bali. Segala bentuk kesenian yang

dianggap bertentangan dengan nilai-nilai atau norma keagamaan akan ditinggalkan

dalam kehidupan yang lebih luas. Ninuk Kleden (2004) pernah mencatat bahwa

pada era tahun 1990-an gendang beleq salah satu seni tradisional masyarakat Sasak

menurun popularitasnya dan dikalahkan dengan Kecimol. Hal ini terjadi karena

keberadaannya ditolak oleh kelompok Islam karena kelompok ini tidak

membenarkan adanya peralatan yang tebuat dari perunggu dan besi. Namun seiring

dengan terjadinya perubahan pandangan pada kelompok-kelompok tersebut, pada

tahun 2000an peralatan tersebut populer kembali hingga dijadikan ikon budaya

Sasak. Diterimanya Gendang Beleq dalam wacana Islam bukannya tidak bersyarat.

Ketua Sanggar Bedede dari Dasan Agung, Gapuk menunjukkan telapak tangan

dengan kelima jarinya terlentang, yang diartikan sebagai lima waktu shalat dan

katanya seni itu letaknya di sela-sela jari tangan. Ini berarti kegiatan kesenian

Page 28: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

41

seharusnya dilaksanakan di antara waktu sembahyang, misalnya di antara Lohor

dan Azhar atau di antara Azhar dan Mahgrib (Kleden, 2004:2009).

Fakta di atas menunjukkan bahwa keberadaan dan berbagai aktivitas

kesenian dalam masyarakat untuk bisa tetap eksis dalam kondisi masyarakat seperti

itu mesti dilakukan perubahan dan penyesuaian dengan kondisi serta norma-norma

yang ada dan berlaku secara mayoritas. Terjadinya perubahan dan penyesuaian

tersebut tidak saja pada kesenian lokal, namun juga kesenian-kesenian lainnya yang

terdapat di Lombok termasuk kesenian Bali. Untuk mendukung teori reproduksi

budaya digunakan juga teori konfigurasi sebagai pisau analisis atas permasalahan

pertama yaitu yang terkait dengan bentuk reproduksi seni kakebyaran Bali di Kota

Mataram. Bahwa dalam proses reproduksi seni kakebyaran tersebut di samping

mereproduksi bentuk seni pertunjukan yang hampir sama dengan di daerah asalnya

(Bali), terjadi juga beberapa perubahan yang bersifat konfiguratif dalam

perkembangan seni kakebyaran di Kota Mataram. Beberapa bentuk komposisi

kakebyaran ditata kembali dan dimodifikasi untuk digunakan mengiringi tari-tarian

Sasak dan tembang pesasakan dan dramatari.

2.3.2 Teori Identitas

Kota Mataram merupakan wilayah yang multikultur. Masyarakatnya sangat

plural dengan berbagai bentuk budaya etnis. Sebagaimana dikatakan Jorn K

Braman, jika di sana hadir situasi multibudaya maka di sana pulalah kita

memerlukan identitas budaya (dalam Liliweri, 2007:69). Dari pernyataan tersebut,

identitas menjadi objek yang sangat penting untuk dibahas mengingat pluralitas

Page 29: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

42

budaya masyarakat di Kota Mataram telah menimbulkan berbagai persoalan seperti

diskriminasi, primodialisme, etnosentris, logosentris, melebarnya dikotomi

mayoritas dan minoritas di dalam kehidupan masyarakat.

Kata “identitas” secara etimologi berasal dari kata “identity” bermakna

berikut ini.

1) Kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang

mirip satu sama lainnya

2) Kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau

dua benda

3) Kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara

dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda.

4) Untuk menyatakan dan memahami kata identitas dengan kata identik,

misalnya menyatakan bahwa sesuatu itu mirip satu dengan yang lainnya

(Liliweri, 2002:69).

Lebih lanjut, kata “identitas” seringkali digunakan untuk menunjukkan

sesuatu yang berkaitan dengan ciri-ciri, data diri atau catatan pribadi seseorang,

identitas sosial, identitas kelompok dan identitas budaya. Pengertian identitas dalam

konteks budaya dapat dipahami sebagai rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah

kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya

tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain.

Kenneth Burke (dalam Liliweri, 2002:72) menjelaskan bahwa untuk menentukan

identitas budaya itu sangat tergantung pada “bahasa” (bahasa sebagai unsur

kebudayaan non-material), bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah

Page 30: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

43

kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian dibandingkan. Bahasa diakui

sebagai refleksi dari sebuah kenyataan hidup manusia tetapi di saat yang sama dia

membuat seleksi atas kenyataan dan bahkan membelokkan kenyataan itu sendiri.

Dalam konteks sejarah, Jonathan Rutherford (dalam Pilliang, 2004:280)

menjelaskan identitas merupakan sebuah mata rantai yang menghubungkan nilai-

nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Identitas merupakan ikhtiar

dari masa lalu, yang membentuk masa kini dan mungkin juga masa mendatang.

Sedangkan dalam konteks sosial, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki secara

bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, yang

sekaligus membedakan mereka dari komunitas atau kelompok lainnya. Masyarakat

etnis Bali merupakan salah satu dari kelompok etnis dari berbagai etnis yang ada di

Kota Mataram. Terdapat berbagai aspek kehidupan yang menjadi ciri identitasnya

seperti dalam kehidupan sosial, tradisi budaya, agama serta beberapa aspek lainnya.

Berbagai ciri identitas tersebut menjadi pembeda dengan kelompok masyarakat

etnis lainnya.

Terdapat fenomena yang menarik ketika etnis Bali mengalami kebingungan

menentukan identitas baik itu identitas pribadi maupun identitas budaya mereka.

Dari kebingungan tersebut akhirnya muncul pertanyaan “apakah saya orang Bali ?”

atau “apakah saya orang Lombok ?” Lamanya keberadaan etnis Bali tinggal di

Lombok atau di Kota Mataram khususnya sering kali menimbulkan pertanyaan

sebagaimana tertulis di atas terkait dengan identitas diri mereka, karena ada

beberapa di antaranya sudah tidak mengetahui asal-usulnya di Bali. Adanya

kebingungan dalam menentukan identitas merupakan sebuah pertanda terjadinya

Page 31: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

44

krisis identitas di kalangan masyarakat etnis Bali. Jean Boudrillard (1989) (dalam

Abdilah, 2002:28) mengatakan kondisi masyarakat yang plural dan majemuk sering

menyebabkan suatu subjek kehilangan identitasnya “in the desert one loose one’s

identity”

Walaupun personalitas, tradisi, budaya dan berbagai aspek kehidupan

lainnya masih sama dengan tradisi dan budaya Bali namun masyarakat etnis Bali di

Kota Mataram tidak pernah dianggap sebagai etnik Bali ketika mereka berkunjung

ke Bali. Demikian pula sebaliknya di Lombok, dengan berbagai atribut dan prilaku

budaya yang dilakoni dalam kehidupan mereka, di Lombok mereka tetap dianggap

sebagai etnik Bali. Dari fenomena tersebut akhirnya muncul identitas baru atas diri

mereka dengan istilah “balok” yang diartikan sebagai identitas etnis Bali yang ada

di Lombok. Giddens (dalam Barker, 2000:171) menyebut identitas diri sebagai

proyek. Maksudnya adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan,

seuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju ketimbang sesuatu yang datang

kemudian. Proyek identitas membangun apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini

dari sudut situasi masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita pikir,

kita inginkan lintasan harapan kita ke depan.

Terjadinya perubahan atas identitas tersebut searah dengan pandangan

Stuart Hall yang mengatakan bahwa identitas tidak pernah stabil, tidak pernah

sempurna, ia selalu di dalam proses menjadi (becoming), ia selalu dibangun dari

dalam. Identitas bersifat historis, dan segala sesuatu yang bersifat historis pada

hakekatnya akan mengalami perubahan yang terus menerus, sesuai dengan

perubahan yang terjadi pada tingkat wacana sosial (dalam Pilliang, 2004:280).

Page 32: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

45

Berbagai atribut yang disandang serta berbudaya Bali, menunjukkan bahwa

masyarakat tersebut masih sangat setia, mencintai dan menghormati para leluhur

yang telah menggenerasikan mereka di Lombok. Makanya berbagai atribut budaya

serta tradisi tersebut masih dipertahankan dan berkembang pada saat ini untuk

memperkuat identitas mereka sebagai orang Bali. Salah satu tradisi yang

dipertahankan untuk menguatkan identitas mereka adalah dengan berkesenian.

Berbagai bentuk kesenian dibangun untuk diaplikasikan dalam berbagai aspek

kehidupan. Dari berbagai bentuk kesenian yang paling populer saat ini adalah seni

kakebyaran.

Seni kakebyaran merupakan salah satu ikon seni dan budaya Bali.

Reproduksi seni kakebyaran berarti memroduksi kembali ikon seni yang

beridentitas seni budaya Bali. Direproduksinya seni kakebyaran oleh orang-orang

Bali ketika berada di luar wilayah Bali semata-mata adalah sebagai upaya untuk

tetap melestarikan dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam seni

budaya, melanjutkan tradisi yang diwarisi oleh para pendahulunya dari masa yang

lalu ketika berada di Bali dan saat berada di wilayah yang baru, dan selanjutnya

mengembangkannya di masa yang akan datang. Tegasnya, reproduksi seni

kakebyaran merupakan upaya untuk mempertahankan identitas budaya Bali ketika

berada di wilayah dan komunitas masyarakat yang secara mayoritas memiliki

budaya yang berbeda.

Mengamati berbagai fenomena yang terkait dengan reproduksi seni

kakebyaran di Kota Mataram, teori identitas menjadi teori yang sangat penting

karena reproduksi seni kakebyaran merupakan salah satu bentuk reproduksi

Page 33: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

46

budaya. Di dalamnya terdapat persoalan yang berkaitan dengan identitas diri,

identitas etnis dan identitas budaya. Bergayut dengan pandangan Abdullah, bahwa

reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang

dilakukan oleh pendatang yaitu orang Bali, yang berfungsi untuk menegaskan

keberadaan kebudayaan asalnya. Penegasan identitas sangat penting untuk

dilakukan tatkala berada di wilayah yang masyarakatnya plural. Adanya penegasan

tersebut adalah penting untuk menghindari terjadinya krisis identitas, mengetahui

dan memahami perbedaan identitas masing-masing etnik sehingga nantinya

terbangun sikap toleransi dan saling harga-menghargai di antara kelompok-

kelompok yang ada.

2.3.3 Teori Semiotika

Semiotika adalah teori tentang tanda yang dikembangkan dari karya ahli

bahasa berkebangsaan Swiss yaitu Ferdinand de Saussure (Barker, 2014:261).

Walaupun dikembangkan dari seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss, semiotika

berasal bahasa Yunani yaitu seme atau semeon yang berarti penafsir tanda atau

tanda. Jadi, teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan

interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan

manusia (Ratna, 2004:97).

Di dalam perkembangannya para Saussurian (pengikut Ferdinand de

Saussure) mengembangkan studi tentang tanda dan menjelaskan cara kerja tanda

dalam kehidupan sosial. Secara lebih spesifik tanda-tanda tersebut digunakan untuk

Page 34: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

47

menunjukkan suatu identitas, baik identitas pribadi, identitas nasional, identitas

pekerjaan, identitas badan hukum, identitas jenis, dan identitas keagamaan. Dalam

perkembangan selanjutnya seorang ahli semiotika Itali Umberto Eco, akhirnya

memberikan kontribusi dan pemahaman yang sangat penting mengenai hubungan

tanda dengan realitas. Umberto Eco memberikan beberapa penerapan yang

dianggap relevan dengan semiotika termasuk di antaranya bidang budaya. Lebih

lanjut ditegaskan lagi oleh Aart Van Zoest bahwa ilmu semiotika dianggap sesuai

diterapkan pada beberapa disiplin ilmu seperti arsitektur, perfileman, sandiwara,

musik, kebudayaan, interaksi sosial, psikologi dan media masa (Ratna, 2004:107).

Aart van Zoest (dalam Sujiman, 1991:96), mengatakan secara semiotik kebudayaan

merupakan reaksi dari kompetensi yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota

suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang, untuk menginterpretasi, dan

untuk menghasilkan sesuatu. Dalam batasan itu kebudayaan diejawantahkan

sebagai suatu keseluruhan dari kebiasaan-kebiasaan tingkah laku dan hasil-hasil

darinya.

Susane K. Langer (1957) (dalam Hadi, 2000:23) mengatakan kesenian

sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai “hasil ciptaan”, yaitu suatu

benda, atau produk manusia, akan tetapi dipandang sebagai simbol, lambang, yaitu

“mengatakan tentang sesuatu”, jadi kesenian berhadapan dengan makna dan pesan

untuk diresapkan. Oleh karena seni adalah simbolisasi manusia, maka prinsip

penciptaan karya seni merupakan pembentukan simbol dan pembentukan simbol

tersebut bersifat abstraksi.

Page 35: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

48

Di dalam studi tentang reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa

Tenggara Barat, terdapat beberapa topik bahasan yang berkaitan dengan

permasalahan identitas, baik identitas diri, identitas sosial, identitas budaya,

identitas etnik serta timbulnya makna-makna baru terkait dengan keberadaan seni

kakebyaran di wilayah tersebut. Kesenian khususnya musik adalah representasi

sebuah budaya yang di dalamnya terdapat simbol-simbol atau tanda. Jadi

reproduksi seni kakebyaran dapat dimaknai sebagai reproduksi tanda dalam rangka

penegasan identitas budaya Bali. Di wilayah Lombok, khususnya di Kota Mataram

seni kakebyaran direproduksi dan dipresentasikan bukan hanya di kalangan

masyarakat etnik Bali, akan tetapi juga di kalangan masyarakat Sasak. Seni

kakebyaran yang berkembang di samping seni kakebyaran seperti yang di Bali,

namun muncul pula gending-gending pesasakan dengan identitasnya masing-

masing. Direproduksinya seni kakebyaran pada dua etnis Bali dan Sasak

menandakan bahwa seni kakebyaran bersifat plastis, lentur, dan fleksibel.

Adanya berbagai fenomena sebagaimana diuraikan di atas, penggunaan

teori semiotika sangat tepat untuk membahas permasalahan dampak dan makna

reproduksi seni kakebyaran. Bahwasanya reproduksi seni kakebyaran memiliki

berbagai dampak dan makna seperti dampak kultural, dampak ekonomis dampak

sosial serta makna estetik/artistik, makna edukatif dan makna kultural. Yang

penting dampknya itu tidak saja bagi keberadaan seni kakebyaran itu sendiri namun

lebih luas terhadap keberadaan dan keberlanjutan seni pertunjukan yang merupakan

tradisi budaya Bali dan perkembangan seni budaya di Kota Mataram pada

umumnya.

Page 36: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

49

2.4 Model Penelitian

Kehadiran kesenian Bali di Kota Mataram merupakan hasil difusi

kebudayaan Bali. Di Kota Mataram, kesenian Bali hidup dan berkembang tidak saja

di kalangan masyarakat etnis Bali, namun juga berkembang di kalangan etnis Sasak.

Salah satunya yang berkembang dan populer di kalangan masyarakat adalah seni

kakebyaran. Keberadaan kesenian ini merupakan salah satu subunsur kebudayaan

yang penting karena berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat

terutama dalam aspek budaya, sebagai media komunikasi dan aspek ekonomi.

Reproduksi yang dilakukan oleh masyarakat etnis Bali merupakan salah satu upaya

mempertahankan tradisi budaya, sebagai bagian dari upacara keagamaan, sebagai

pemertahanan/penguatan identitas, sebagai media komunikasi dan sebagai sarana

ekonomis bagi orang Bali. Hal yang sama juga melandasi terjadinya reproduksi di

kalangan etnis Sasak, namun dalam konteks upacara keagamaan seni kakebyaran

hanya bersifat partisipasi serta menjaga harmoni hubungan dengan orang-orang

Bali.

Sebagai salah satu fenomena budaya, terdapat beberapa topik pembahasan

yang menjadi fokus dalam penelitian reproduksi seni kakebyaran di wilayah Kota

Mataram. Adapun topik bahasan tersebut adalah: 1) bentuk reproduksi seni

kakebyaran, 2) terjadi reproduksi seni kakebyaran, dan 3) dampak dan makna

reproduksi seni kakebyaran di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Hasil analisis yang diperoleh dengan metode kualitatif terhadap topik

bahasan di atas, diperoleh beberapa hasil temuan terkait reproduksi seni kakebyaran

Page 37: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

50

di Kota Mataram. Simpulan dan temuan hasil penelitian ini selanjutnya menjadi

sumber rekomendasi kepada berbagai pihak terkait sepeti masyarakat, seniman dan

pemerintah serta sebagai bahan pemikiran terhadap seni kakebyaran dan seni

budaya pada umumnya demi pelestarian, pengembangan dan keberlanjutan di

masyarakat. Hal tersebut penting karena terbukti kesenian khususnya seni

kakebyaran menjadi salah satu aspek yang sangat bermakna dan bernilai dalam

kehidupan sosial, budaya dan agama, menjadi media komunikasi intra dan

antaretnis, serta sebagai modal ekonomi di dalam mensejahterakan masyarakat.

Selanjutnya reproduksi seni kakebyaran sebagai bagian dari reproduksi budaya

memiliki makna yang penting di dalam mewujudkan Kota Mataram yang Maju,

Religius dan Berbudaya.

Model Penelitian

Page 38: BAB II di luar Bali secara khusus belum banyak 2.pdfuntuk mengiringi tidak saja tari-tarian Bali, akan tetapi juga beberapa jenis tarian Sasak seperti diantaranya tari Gandrung yang

51

Penjelasan Tanda

Alur hubungan 1 arah

Hubungan yang saling mempengaruhi

Muara dari aktivitas reproduksi