bab ii daftar pustaka a. tinjauan umum tentang ...eprints.umm.ac.id/67230/3/bab...

28
15 BAB II DAFTAR PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Syari’ah 1 1. Pengertian Ekonomi Syariah Ekonomi Syariah adalah Syariat Islam dalam aspek ekonomi yang menyangkut cara bagaimana kebutuhan hidup material manusia dapat terpenuhi. 2. Secara konseptual etika ekonomi Islam dapat dijabarkan atas beberapa butir yaitu: a. Semua aktifitas kehidupan diorientasikan untuk ibadah Sebagaimana tersebut dalam QS. Adz-Dzariyat:56, bahwa penciptaan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Hidup dalam rangka ibadah artinya taat, tunduk dan patuh atas dasar cinta kepada Allah SWT dengan memetuhi semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah aktivitas ekonomi juga diorientasikan untuk beribadah mencari ridha Allah SWT. b. Kerja merupakan aktivitas yang mulia dan wajib hukumnya Tidak sedikitnya ayat-ayat Al-Qur’an yang tersebar pada beberapa surat yang menyebutkan iman dan sekaligus diikuti 1 Imamudin Yuliadi, SE, M.Si. 2001, Ekonomi Islam, Jogjya Jarta. Penerbit Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Hal 15 - 21

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Ekonomi Syari’ah1

    1. Pengertian Ekonomi Syariah

    Ekonomi Syariah adalah Syariat Islam dalam aspek ekonomi

    yang menyangkut cara bagaimana kebutuhan hidup material manusia

    dapat terpenuhi.

    2. Secara konseptual etika ekonomi Islam dapat dijabarkan atas beberapa

    butir yaitu:

    a. Semua aktifitas kehidupan diorientasikan untuk ibadah

    Sebagaimana tersebut dalam QS. Adz-Dzariyat:56, bahwa

    penciptaan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepada

    Allah SWT. Hidup dalam rangka ibadah artinya taat, tunduk dan

    patuh atas dasar cinta kepada Allah SWT dengan memetuhi

    semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

    Termasuk dalam hal ini adalah aktivitas ekonomi juga

    diorientasikan untuk beribadah mencari ridha Allah SWT.

    b. Kerja merupakan aktivitas yang mulia dan wajib hukumnya

    Tidak sedikitnya ayat-ayat Al-Qur’an yang tersebar pada

    beberapa surat yang menyebutkan iman dan sekaligus diikuti

    1 Imamudin Yuliadi, SE, M.Si. 2001, Ekonomi Islam, Jogjya Jarta. Penerbit Lembaga

    Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Hal 15 - 21

  • 16

    dengan amal sholeh yang dapat diartikan dengan bekerja (QS Al-

    ‘Ashr). Amal sholeh merupakan satu bentuk manifestasi dari

    nilai-nilai keimanan pada diri seseorang. Termasuk dalam

    kategori amal sholeh adalah upaya untuk menciptakan lapangan

    kerja untuk memperoleh manfaat atau gunabagi diri sendiri,

    keluarga maupun masyarakat.

    c. Membina nilai-nilai persaudaraan di antara manusia

    Islam mengisyaratkan pentingnya persaudaraan di antara

    manusia, karena manusia diciptakan Allah SWT dari satu

    keturunan yaitu Adam dan Hawa (QS. Al-Hujurat: 13). Aktivitas

    ekonomi juga dijalankan dengan semangat persaudaraan di antara

    pelaku-pelaku ekonomi, sehingga tercipta kerja sama yang saling

    menguntungkan.

    d. Menarik mashlahat dan menghindarkan madharat

    Islam diturunkan kepada manusia untuk membawa pada

    kehidupan yang diwarnai dengan nilai-nilai kebaikan (mashlahat)

    baik untuk diri sendiri maupun lingkungan. Dan pada sisi lain

    juga mencegah timbulnya praktek-praktek kehidupan yang dapat

    mencelakakan eksistensi manusia. Kegiatan ekonomi juga

    diarahkan dalam upaya mencapai kondisi tersebut.

    e. Hak kepemilikan pada hakekatnya adalah amanah Allah SWT

    Islam mengajarkan kepada manusia bagaimana mangatur

    dan mengelola alam semesta ini agar dapat membawa pada

  • 17

    kemashlahatan kehidupam manusia. Dengan menyadari bahwa

    harta adalah milik Allah, maka manusia harus mengikuti aturan-

    aturan dari Allah dalam penggunaan maupun cara memperoleh

    harta tersebut.

    3. Nilai dasar ekonomi Islam merupakan implikasi dari filsafat tawhid

    yaitu:

    a. Kepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam adalah:

    1) Hakekat kepemilikan manusia terletak pada memiliki

    kemanfaatannya dan bukan menguasai secara meutlak sumber-

    sumber ekonomi.

    2) Kepemilikan terbatas pada sepanjang usia hidupnya di dunia,

    dan bila orang itu meninggal maka hak pemilikan atas suatu

    barang akan beralih kepada ahli warisnya menurut ketentuan

    Islam (QS: 2. 180).

    3) Pemilikan perorangan diperolehkan terhadap sumber-sumber

    ekonomi yag menyangkut kepentingan umum atau

    menyangkut hajat hidup oaring banyak.

    b. Keseimbangan (equilibrium) yang secara operasional terlihat dalam

    perilaku ekonomi seseorang yaitu moderation (kesederhanaan),

    hemat (parsimony) dan menjauhi pemborosan (extravagance).

    c. Keadilan (justice) suatu kosa kata yang paling banyak disebut

    dalam Al-Qur’an yang neyiratkan tentang betapa pentingnya nilai-

  • 18

    nilai keadilan bagi eksistensi kehidupan manusia. Keadilan dalam

    terminology Islam mengandung makna:

    d. Kebebasan bersyarat dan dilandasi oleh akhlak Islam;

    e. Keadilan harus dioperasikan pada semua fase ekonomi.

    4. Kebijakan dasar yang menjadi acuan dalam system ekonomi Islam

    menurut Choudhury (1986) adalah sebagai berikut:2

    a. Pelanggaran atas riba (abolition of riba) dalam perekomonian.

    b. Penerapan mudharabah dalam perekonomian.

    c. Pelarangan atas israf atau konsumsi yang berlebihan atau mubazir.

    d. Kehadiran institusi zakat sebagai suatu mekanisme dalam mengatur

    distribusi kekayaan di kalangan masyarakat.

    5. Secara umum, nilai-nilai Islam yang menjadi filosofi ekonomi Islam

    dapat dijumpai dalam asas yang mendasari perekonomian Islam yang

    diambil dari serangankaian doktrin ajaran Islam. Asas-asas tersebut

    adalah (Abdullah, 2002) sebagai berikut:

    a. Asas suka sama suka, yaitu kerelaan yang sebenarnya, bukan

    kerelaan yang bersifat semu dan seketika.

    b. Asas keadilan. Keadilan dapat didefinisikan sebagai keseimbangan

    atau kesetaraan antarindividu atau komonitas.

    c. Asas saling menguntungkan. Dalam ekonomi Islam dilarang

    transaksi maysir, gharar, dan riba sebab dalam transaksi tersebut

    pasti aka nada pihak yang dirugikan.

    2H. M. Amin Suma, S.H., M.A., M.M. 2017, Pengantar Ekonomi Syariah, Penerbit

    PUSTAKA SETIA bandung, Hal 23 - 25

  • 19

    d. Asas tolong-menolong dan dilarang untuk adanya pemerasaan dan

    eksplotasi. System ekonomi kapitalis ditentang karena adanya

    unsure eksploitasi dari pemilik modal kepada kelompok

    masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap modal dan

    pasar.

    6. Sumber Hukum Ekonomi Syariah3

    Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam

    Islam, yang secara garis besar disepakati oleh seluruh ulama dan yang

    masih menjadi perbedaan pendapat, yang secara khusus dipelajari

    dalam disiplin ilmu ushl fiqih. Akan tetapi, bab ini hanya akan

    menjelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh

    seluruh ulama, yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadis dan sunnah, ijma’,

    dan qiyas.

    a. Al-Qur’an

    Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci

    Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang

    disampaikan Allah melalui perantara Nabi Muhammad SAW.

    untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal,

    abadi, dan fundamental. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah

    SWT. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

    3 Ibid, Hal 47 - 59

  • 20

    Contoh penarikan sumber hukum ekonomi Islam yang

    berasal dari Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

    1. Kedudukan harta dalam Al-Qur’an adalah

    sebagai periasan kehidupan

    اِلَحاُت خَ ندَ اْلَماُل َواْلبَنُوَن ِزينَةُ اْلَحيَاةِ الدُّْنيَا َواْلبَاقِيَاُت الصَّ ِِ ٌ ْي

    ٌ أََملً َرب َِك ثََوابًا َوَخْي

    ‘’Harta dan anak-anak adalah erhiasan kehidupan dunia

    tetapi amal kebijakan yang terus-menerus saleh adalah lebih

    baik padahal di sisi Tuhanmu serta labih baik untuk menjadi

    harapan.’’

    2. Hal ini disampaikan melalui fieman-Nya

    dalam Surat Al-Baqarah,2:275, 275, 278. Dalam ayat 275

    Allah menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan

    riba. Dalam ayat 276 Allah menyatakan memusnahkan riba:

    ُ ََل يُِحبُّ ُكلَّ َكفَّاٍر أَثِيمٍ دَقَاِت ۗ َواَّللَّ بِي الصَّ ٌْ بَا َويُ ِ ٌ ُ ال يَْمَحُق اَّللَّ

    ‘’Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan

    Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam

    kekafiran, dan selalu berbuat dosa’’.

    Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri

    melainkan seperti berdiri orang yang kemsukan setan karena

    gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual

  • 21

    beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual

    beli dan mengaramkan riba. Barang siapa yang mendapat

    peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang

    diperolehnya dahulu dan urusannya ( terserah) kepada Allah.

    Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka,

    mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan

    menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang

    yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.

    b. Hadis dan Sunnah

    Secara harfiah, sunnah berarti cara, adat istiadat, kebiasaan

    hidup yang mengacu pada perilaku Nabi Muhammad SAW. yang

    dijadikan teladan. sunnah didasarkan pada praktik normatif

    mayarakat pada zamannya. sunnah harus dibedakan dari hadis.

    Hadis merupakan cerita singkat, yang berisi informasi mengenai

    sesuatu yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan tidak disetujui

    oleh Nabi Muhammad SAW. Atau informasi mengenai informasi

    dari sahabat-sabahatnya. Oleh karena itu, hadis bersifat teoretis.

    Adapun sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya.

    Contoh hadis sebagai sumber hukum ekonomi Islam adalah

    sebagai berikut:

    1. Hadis tentang akad titipan

    Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasullah SAW.

    Bersabda,

  • 22

    ‘’sampaikanlah (tunaikanlah) amanat epada yang berhak

    menerimanya, dan jangan membalas khianat kepada orang

    yang telah mengkhianatiu.’’ (H.R.Abu Dawud dan menurut

    Tirmidzi hadis ini hasan, sedangkan Imam Hakim

    mengategorikannya shahih).

    2. Hadis tentang mudharabah

    ‘’dari suhaib Ar-Rumi r.a bahwa Rasullah SAW. Bresabda,

    ‘’tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli

    secara tangguh, muqaradaddah (mudharabah), dan

    mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah

    bukan untuk dijual.’’ (H.R. Ibnu Majah)

    3. Ijma’

    Ijma’ sebagai sumber hukum ketiga merupakan

    consensus, baik dalam masyarakat maupun dari cendikiawan

    agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma’

    terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya

    terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada sahabat

    karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya.

    Adapun ijma’ adalah prinsip hukum baru yang timbul sebagai

    akibat dari penalaran atas setiap perubahan yang terjadi di

    masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.

    Ijma’ merupakan faktor yang paling ampuh dalam

    memecahkan kepercayaan dan praktik rumit kaum Muslim.

  • 23

    Ijma’ memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi

    setelah Al-Qur’an dan hadis serta sunnah. Karena merupakan

    hasil konsekuensi bersama para ulama yang ahli di

    bidangnya, ijma’ hanya dapat diakui sebagai suatu hukum

    apabila telah disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan

    tetapi, ada beberapa pihak yang sering meragukan hasil ijma’

    ulama dan cenderung memercayai hasil pengambilan hukum

    oleh sendiri meskipun salah. Inilah yang menimbulkan

    banyaknya pertentangan dengan prinsip syariah.

    4. Ijtihad dan Qiyas

    Secara teknik, ijtihad bererti meneruskan setiap

    usaha untuk menentukan ssedikit banyaknya kemungkinan

    suatu persolaan syariat. Pengaruh hukumnya adalah bahwa

    pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun

    mungkin juga keliru, ijtihad mempercayai sebagaian pada

    proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagain pada

    deduksi analogis dengan penalaran.

    Salah satu contoh aplikasi qiyas dalam ekonomi

    Islam adalah dengan melakukan qiyas antara riba dan bunga

    bank. Apabila dilakukan kajian literature tidak pernah

    ditemukan hukumnya bunga bank karena pada zaman

    Rasullah SAW. Belum terdapat praktik perbankan modern

    seperti saat ini. Akan tetapi, pada saat tersebut telah banyak

  • 24

    diterapkan praktik riba, yang kemudian diharamkan oleh

    Allah SWT. Apabila mengikuti tukun qiyas, asal ialah riba,

    kemudian fara’ ialah bunga bank, hukm al-asal, yaitu

    hukumnya riba ialah haram maka illat bagi bunga bank ialah

    haram.

    B. Tinjauan Umum Tentang Pinjam Meminjan

    1. Tinjauan umum tentang pinjam meminjam Menurut Hukum

    Islam

    a. Pengertian Akad

    Istilah yang berkaitan dengan akad dalam Al-Qur’an

    terdapat dua istilah, yaitu kata akad (al- ‘aqadu) dan kata ‘ahd (al-

    ‘ahdu). Kata al-aqadu dalam surat Al-Maidah ayat 1 diartikan

    perikatan atau perjanjian. Sedangka kata al-‘ahdu dalam surat An-

    Nahl ayat 91 dan Al-Isra’ ayat 34 berarti masa, pesan,

    penyempurnaan dan janji atau perjanjian.4

    Pengertian akad juga terdapat dalam Pasal 20 Peraturan

    Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008

    tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Menurut

    KHES, akad adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih

    dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Secara Etimologi,

    akad merupakan ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara

    nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua

    4Abdul Ghafur Anshori, 2007, Perbankan Syariah Di Indonesia, yogyakarta: Gadjah

    Mada University Press, hlm. 51

  • 25

    segi. Pengertian akad dalam arti khusus adalah perikatan yang

    ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang

    berdampak pada objeknya.5

    Akad transaksi dalam fiqih didenifisikan dengan pertalian

    ijab dan qabul menurut cara-cara yang disyariatkan yang

    berpengaruh terhadap objeknya.Ijab adalah permulaan penjelasan

    yang keluar dari salah satu pihak yang berakad sebagai gambaran

    kehendaknya dalam mengadakan akad.Qabul yaitu perkataan

    yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah

    adanya akad.6

    b. Pengertian Pinjam Meminjam (Qardh)

    Uatang piutang sama dengan pinjam meminjam, di islam

    dikenal dengan qardh arau rahn yang disertai dengan jaminan.

    Qardh secara etomologis adalah member harta kepada orang

    dengan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya

    dikemudian hari berdeda dengan rahn secara etimologis adalah

    menjadikan harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu

    dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat

    mengembalikannya.

    Al-qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada

    muqtarid yang membutuhkan dana dan/uang. Qard secara

    5 Ahmadi Miru, 2012, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: PT Raja

    Grafindo Persada, hlm. 5

    6Dwi Suwiknyo, 2010, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam Buku Referensi

    Rogram Sudi Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 62

  • 26

    etimologis merupakan bentuk mashdar dari qaradah asy-syai-

    yaqridhu yang berarti ia memutusnya dikatakan qardtu asy-syai‟a

    bil-miqradh aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-qarhd

    adalah suatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Secara

    terminologis qard adalah memberikan harta kepada orang yang

    akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di

    kemudian hari.

    Qardh secara bahasa, berarti Al-Qath‟u: pemotongan.

    Harta yang disodorkan kepada orang yang berutang disebut

    Qardh, karena merupakan „potongan‟ dari harta orang yang

    memberikan utang. Ini termasuk penggunaan isim mashdar

    (gerund = non verbal) untuk menggantikan ism maf ul. Secara

    syar‟i, menurut Hanafi, adalah harta yang memiliki kesepadanan

    yang anda berikan untuk anda tagih kembali, atau dengan kata

    lain: suatu transaksi yang dimaksud untuk memberikan harta yang

    memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan

    yang sepadan dengan itu.7

    Dasar Hukum Qardh :

    QS. Al-Hadiid: 11

    ُٱِىاَّلٱَاذنَّم ِرْق ُٱ لٱ ِْر ُٱ ِْر ًٱ َح َٱَ ًر ُيَفٱ َيَعٱ ٱ ِا لٱ َُۥُهٱ َر ًرِلَا رََُُرج ٌُُرٱ

    Terjemah:

    77 Wahbah Zulhili, Al-Fiqhu Al Islam wa Adillatuhu., h. 2/11

  • 27

    Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang

    baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu

    untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.

    QS. An-Naml; 89

    ٌٱنِم َاٱم ُٱاَم ىٱ َٱ ٱ ُِ ِرم ََِ اَّم فٱۥٱ ًِ ٌٱ َ هٱ ُِ ٌَ نِم ٌَنِم لٱمر مَرَم فٱعٱزَم ٌٱ ِٱم ذٱِذ ذ ُر ٌَ َ

    Terjemah:

    Barangsiapa yang membawa kebaikan, Maka ia memperoleh

    (balasan) yang lebih baik dari padanya, sedang mereka itu

    adalah orang-orang yang aman tenteram dari pada kejutan yang

    dahsyat pada hari itu.

    Hukum dalam akad qardh yang harus di penuhi dalam

    transaksi ada beberapa yaitu:

    1. Pelaku akad, yaitu muqtarik (peminjam) dan mukrid

    (pemberi pinjaman) :

    a) Objek akad yaitu dana,

    b) Tujuan yaitu „iwad atau countervalue berupa pinjaman

    tanpa imbalan ,

    c) Shighaah yaitu ijab dan qabul.

    2. Sedangkan syarat dari akad qardh yang harus di penuhi

    dalam transaksi yaitu:

    a) Kerelaan kedua belah pihak ,

    b) Dana digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dan

    halal.

  • 28

    Qardh (utang piutng) adalah transaksi yang berkekuatan

    hukum mengikat (aqd lazim) dari pihak pemberi utang setelah

    penghutang menerima utang darinya.Namun bagi pihak

    penghutang transaksi qardh (utang piutang) adalah boleh (aqd

    Ja‟iz). Ketika pemberi utang memberikan hartanya untuk di

    utang, maka ia tidak boleh menariknya kembali karena transaksi

    utang piutang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

    Adapun bagi penghutang, maka ia boleh mengembalikan atau

    membayar utangnya kapanpun ia mau maksimal pada saat jatuh

    tempo yang telah di sepakati jika telah mampu membayarnya.

    Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak sah

    mensyaratkan adanya tempo dalam utang piutang dan tidak

    mengharuskan hal itu. Hal ini karena qardh merupakan utang

    piutang secara kondisional, sedangkan kondisi tidak dapat

    dibatasi waktu sehingga syarat adanya tempo tidak sah dan tidak

    harus dilakukan jika mensyaratkan adanya tempo.Pendapat yang

    shahih adalah boleh mensyaratkan tempo dalam utang piutang,

    demikian ini merupakan pendapat malik dan pendapat yang di

    pilih oleh syhaikul Islam ibnu taimiyyah, ibnu alqayyim, syekh

    Muhammad al-utsaimin, dan syaikh shalih al-fauzan.

    Hukum Syar’i Dan Dasar Hukum Qaradh

    1) Dasar dari alquran adalah allah SWT dalam Qs. al-baqarah

    ayat 245

  • 29

    ً ة ٌَ ِ ي ث ا كَ ً اف عَ َْض ُ أ ه َ ل ُ ه َ ف ِِ ا يُضَ َ ا ف ً ن سَ ا َح ضً ٌْ َ َ ق ُض اَّللَّ ٌِ قْ ُ ي ي ِذ َّ ل ا ا َ ْن ذ َم

    عُونَ َج ٌْ ُ هِ ت يْ َ ل ِ إ طُ َو سُ بْ َ ي ُض َو بِ قْ َ ُ ي اَّللَّ َو

    ‘’Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,

    pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah),

    Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran

    kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah

    menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah

    kamu dikembalikan’’.

    Ayat di atas menjelaskan bahwa berjuang dijalan allah

    memerlukan harta, maka korbankanlah harta kalian. Siapa yang

    tidak ingin mengorbankan hartanya, sementara allah telah berjanji

    akan membalasnya dengan balasan berlipat ganda rezeki ada

    ditangan allah. Dia mempersempit dan memperluas rezeki

    seseorang yang dikehendaki sesuai dengan kemaslahatan. Hanya

    kepadanyalah kalian akan diberikan, lalu dibuat perhitungan atas

    pegorbanan kalian. Meskipun rezeki itu karunia allah dan hanya

    dialah yang bias memberi atau menolak, seseorang yang berinfak

    disebut sebagai pemberi pinjaman kepada allah. Hal itu berarti

    sebuah dorongan untuk gemar berinfak dan penegas atas balasan

    berlipat ganda yang telah dijanjikan di dunia dan akhirat.

    Dasar dari hadist adalah riwayat imam muslim yang

    bersumber dari abu rafi ra yang artinya:

  • 30

    „sesungguhnya rasulullah berutang seekor unta muda kepada

    seorang laki laki kemudian diberikan kepada beliau seekor unta

    sadakah beliau memerintahkan abu rafi untuk membayarkan unta

    muda laki-laki itu. Abu rafi kembali kepada beliau dan berkata

    saya tidak menemukan diantara unta-unta tersebut kecuali unta

    yang usianya yang menginjak usianya tujuh tahun beliau

    menjawab berikan unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang

    adalah orang yang paling baik dalam membayar utang‟

    Dasar dari ijma adalah bahwa semua kaum muslimin telah

    sepakat di bolehkannya utang piutang.

    Hukum qardh mengikuti hukum taklifi terkadang boleh,

    terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua

    itu sesuai dengan cara mempraktikkannya karena hukum wasilah

    itu mengikuti hukum tujuan. Jika orang yang berutang

    mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang

    di hutangi orang yang kaya maka orang yang kaya itu hukumnya

    wajib memberi utang tapi jika pemberi utang mengetahui bahwa

    pengutang akan menggukan uangnya untuk berbuat maksiat atau

    perbuatan yang makruh maka hukum memberi utang juga haram

    atau makruh sesuai dengan kondisinya.

    Dan jika seorang yang berutang bukan karena adanya

    kebutuhan yang mendesak tetapi untuk menambah modal

    perdangagannya karena berambisi untuk mendapat keuntungan

  • 31

    yang besar maka hukum memberi utang kepadanya adalah

    mubah atau boleh. Allah SWT berfirman dalam surah an-nisa ayat

    29 sebagai berikut:

    َ ْن أ َلَّ ِ ِل إ اِط َ ب لْ ا ِ مْ ب كُ َ ن يْ َ مْ ب كُ َ ل ا َو َْم أ وا ُ ل ْكُ أ َ ُوا ََل ت ن آَم يَن ذِ َّ ل ا ا هَ ُّ َي أ ا َ ي

    مْ ِ كُ اَن ب َ كَ نَّ اَّللَّ ِ مْ إ كُ ُسَ ف نْ َ أ وا ُ ُل ت قْ َ ََل ت مْ َو كُ نْ اٍض ِم ٌَ َ ْن ت َِ ً ة َر ا َج ِ ت وَن َكُ ت

    ا يًم ِح َر

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

    harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

    perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

    dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah

    adalah Maha Penyayang kepadamu”.

    Ada dua macam penambahan pada qardh (utang

    piutang), yaitu sebagai berikut ini.

    a. Penambahan yang disyaratkan. Demikian ini dilarang

    berdasarkan ijma, begitu juga manfaat yang disyaratkan,

    seperti perkataan: “Aku memberi utang kepada mu dengan

    syarat kamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku

    untukmenempati rumah mu,” atau syarat manfaat lainnya.

    Demikian ini termasuk rekayasa terhadap riba berdasarkan

    sabda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam yang artinya:

    “Setiap utang piutang yang menarik manfaat adalah riba.”

    b. Jika penambahan diberikan kepada ketika membayar utang

    tanpa syarat, maka yang demikian ini boleh dan termasuk

  • 32

    pembayaran yang baik berdasarkan hadits yang telah

    dikemukakan di pasal dasar al-qardh (utang piutang).

    3. Rukun dan Srayiah Qardh

    a. Rukun qardh

    1) Pelaku yang terdiri dari pemberi (muqridh) dan

    penerima pinjaman (muqtaridh).

    2) Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan.

    3) Ijab kabul atau serah terima

    b. Ketentuan syariah

    1) Pelaku harus cakap hukum dan baligh.

    2) Objek akad

    c. Jelas nilai pinjamanya dan waktu pelunasanya.

    d. Peminjam diwajibkan membayar pokok pinjaman pada

    waktu yang telah disepakati, tidak boleh diperjanjikan

    akan ada penambahan atas pokok pinjamanya. Namun

    peminjam diperbolehkan memberikan sumbangan secara

    sukarela.

    e. Apabila memang peminjam mengalami kesulitan keuangan

    maka waktu peminjaman dapat diperpanjang atau

    menghapuskan sebagian atau seluruh kewajibanya. Namun

    jika peminjam lalai maka dapat dikenakan denda.

    f. Ijab qabul adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha/rela

  • 33

    g. diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara

    verbal atau tertulis.8

    c. Pengertian Bunga, Riba, Denda

    1) Bunga

    Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam

    transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok

    pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan pokok

    tersebut berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara

    pasti di muka dan pada umumnya berdasarkan persentase

    (Antonio, 2011: 90).

    Ada beberapa pengertian lain dari bunga, diantaranya yaitu:

    a) Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang

    berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang

    membeli atau menjual produknya.

    b) Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang

    memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh

    nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh

    pinjaman) (Muhammad, 2001).

    c) Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas

    simpanan atau yang di ambil oleh bank atas hutang

    (Sumitro, 2004: 32).

    8Ahmad Wardi Muslich, 2010, Fiqh Mualamah, Jakarta AMZAH, Hal. 273-274

  • 34

    Macam-macam Bunga

    Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga

    yang diberikan kepada nasabahnya yaitu:

    1) Bunga Simpanan

    Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai

    rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang

    menyimpan uangnya di bank.Bunga simpanan

    merupakan harga yang harus dibayar bank kepada

    nasabahnya.Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan

    dan bunga deposito.

    2) Bunga Pinjaman

    Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada

    para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh

    nasabah peminjam kepada bank.Sebagai cotoh bunga

    kredit.

    Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama

    faktor biaya dan pendapatan bagi bank konvensional. Bunga

    simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan

    kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan

    pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan

    maupun bunga pinjaman masing-masing saling

    mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh seandainya

  • 35

    bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman

    juga terpengaruh ikut naik dan demikian pula sebaliknya.

    2) (Riba)

    Dalam kehidupan seperti sekarang ini, umat Islam

    hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan

    bank konvensional yang memakai sistem bunga dalam segala

    aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya terutama

    dalam kehidupan ekonomi. Juga tidak bisa dipungkiri bahwa

    negara Indonesia belum bisa lepas dari bank-bank

    konvensional yang berorientasi pada bank-bank internasional

    dan tentunya menggunakan suku bunga dalam berbagai

    transaksi, dan hingga saat ini pula masih banyak terjadi

    perbedaan pendapat dikalangan para ulama muslim tentang

    keharaman serta kehalalan riba itu sendiri. Riba merupakan

    sebagian dari kegiatan ekonomi yang telah berkembang sejak

    zaman jahiliyah hingga sekarang.Kehidupan masyarakat telah

    terbelenggu oleh sistem perkonomian yang membiarkan

    praktek bunga berbunga. Sistem pinjam meminjam yang

    berlandaskan bunga ini sangat menguntungkan kaum pemilik

    modal dan disisi lain telah menjerumuskan kaum dhufa pada

    kemelaratan, hal ini secara keras ditentang atau dilarang oleh

    ajaran Islam yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

  • 36

    Pengertian riba adalah tambahan tanpa iwad yang

    dipungut secara dzulm (aniaya, tidak adil). Dengan beralih

    dari illat jali, yakni tambahan, kepada illat khafi, yakni

    tambahan yang berssfat zhulm, maka metode istihsan yang

    mereka pegangi menghasilkan keputusan bahwa bunga tidak

    haram, karena bunga dipungut tidak secara dzulm, melainkan

    secara sukarela berdasarkan akad yang disepakati kedua belah

    pihak. Pendapat hukum bunga haram berdasar metode qiyas

    sangat simple, jelas dan tegas, karena illat tambahan pada

    bunga adalah fakta yang tidak bisa dimaknai lain,.Hal ini

    berbeda dengan unsur zhulm yang menjadi illat khafi dalam

    metode istihsan.Sifat kedzaliman ini interpretable dan bisa

    dipandang dari berbagai sudut yang berbeda.Berdasarkan

    metode penalaran istihsan, kahalalan dan keharaman hukum

    bunga tidak inherent dan tidak pula permanen.Sepanjang

    unsur keadilan ditegakkan, bunga halal.Sebaliknya, bilamana

    unsur zhulm (ketidakadilan atau kedzaliman) yang terjadi

    dalam prakteknya maka bunga haram hukumnya. Berdasarkan

    pertimbangan ini maka dianggap penting melakukan

    penelitian bunga dari perspektif keadilan, bukan dari

    perspektif bukum .9

    9 Ghufron Ajib, “BUNGA PINJAMAN DALAM PERSPEKTIF KEADILAN” Studi Kasus Bunga Pinjaman di KPRI Nusantara IAIN Walisongo, Vol IV, Edisi 1, Mei 2013, hal. 2

  • 37

    Dampak akibat praktek riba ini juga dirasakan oleh

    masyarakat secara umum, baik dampak secara psikologi sosial

    kemasyarakatan maupun sosial ekonomi, seperti;

    a) Riba berdampak inflatoir yang mengakibatkan

    semakin tinggi suku bunga, maka semakin tinggi harga

    yang akan ditetapkan pada suatu barang,

    b) Riba akan mendorong terjadinya penimbunan

    akumulasi kekayaandan menghambat investasi

    perdagangan, karena kekayaan hanya akan

    berputarputardi segelintir orang kaya saja

    c) Riba menimbulkan rasa tamak, kikir,mementingkan

    diri sendiri, keras hati, dan men-Tuhan-kan uang,

    d) Ribamenimbulkan kebencian dan permusuhan di

    antara masyarakat, karena dalamdirinya tidak terdapat

    rasa kebersamaan untuk saling tolong-menolong

    e) Ribamerupakan kegiatan ekonomi yang menyimpang

    dari asas kemanusiaan dankeadilan, dan

    f) Riba merupakan perjanjian berat sepihak, secara

    psikologi telahmemaksa satu pihak lain untuk

    menerima perjanjian yang sebenarnya tidakdisadari

    kerelaannya.

  • 38

    Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi

    dua.Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual

    beli.

    Riba utang-piutang terbagi menjadi dua, yaitu:

    1) Riba Qardh

    Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang

    disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).

    2) Riba Jahiliyah

    Yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si

    peminjam tidak mampu membayar utangnya pada

    waktu yang ditetapkan.

    Sedangkan riba jual-beli terbagi menjadi dua pula,

    yaitu:

    a. Riba Fadhl

    Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar

    atau takaran yang berbeda, sedangkan barang

    yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis

    barang ribawi.

    b. Riba Nasi’ah

    Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis

    barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis

    barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah

  • 39

    Konsep bunga dan riba dalam perspektif Islam terdapat

    persamaan, yaitu bahwa bunga merupakan tambahan yang

    dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang

    diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa

    mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut

    berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti

    di muka, dan pada umumnya berdasarkan

    persentase.Sedangkan riba yaitu pengambilan tambahan,

    baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam

    secara batil yang bertentangan dengan prinsip muamalat

    dalam Islam.10

    3) Denda (ta’zir)

    Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman

    ta’zir.Ta’zir menurutbahasa adalah ta’dib, artinya memberi

    pelajaran.Ta’zir juga diartikan denganAr-Raddu Wal Man’u,

    yang artinya menolak dan mencegah11

    Dari definisi diatas, jelaslah bahwa ta’ziradalah suatu

    istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang

    hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dari definisi

    tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas

    perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman

    had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian inti dari jarimah

    10 Abdul Rahim, Konsep Bunga dan Prinsip Ekonomi Islam, Human Falah:Vol II, 2 Juli 11 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. Xii

  • 40

    ta’zir adalah perbuatan maksiat.Adapun yang dimaksud

    maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan

    melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para

    fuqaha memberikan contoh meninggalkankewajiban seperti

    menolak membayar zakat, meninggalkan shalat fardhu,enggan

    membayar hutang padahal ia mampu, mengkhianati amanat,

    sepertimenggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim,

    hasil waqaf dan lainsebagainya.

    Denda keterlambatan ini termasuk hukuman ta’zir

    yang berkaitan dengan harta. Para ulama berbeda

    pendapattentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara

    mengambil harta. MenurutAbu Hanifah, hukuman ta’zir

    dengan cara mengambil harta tidak dibolehkan.Pendapat ini

    diikuti oleh muridnya, yaitu Muhammad Ibn Hasan,

    tetapimuridnya yang lain yaitu Imam Abu Yusuf

    membolehkannya apabiladipandang membawa

    maslahat.Pendapat ini diikuti oleh Imam Malik, ImamSyafi’i,

    dan Imam Ahmad Ibn Hanbal.Denda keterlambatan

    merupakansalah satu bentuk dari hukuman ta’zir yang

    berkaitan dengan harta.

    Denda keterlambatan ini dimaksudkan sebagai sanksi

    atau hukuman,supaya tidak mengulangi perbuatan maksiat

    kembali. Dalam KompilasiHukum Ekonomi Syariah, sanksi

  • 41

    dapat diberikan kepada orang yang inkarjanji, dan ketentuan

    seseorang disebut ingkar janji dijelaskan dalam Pasal 36,yang

    menyebutkan bahwa:

    “Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila

    karenakesalahannya:

    a. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk

    melakukannya.

    b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak

    sebagaimanadijanjikan.

    c. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi

    terlambat.

    d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

    boleh

    dilakukan”.

    Sedangkan mengenai jenis sanksinya disebutkan

    dalam Pasal 38, yaitu:

    “Pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji dapat

    dijatuhi sanksi:

    a. Membayar ganti rugi

    b. Pembatalan akad

    c. Peralihan resiko

    d. Denda, dan/atau

  • 42

    e. Membayar biaya perkara”12

    12Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bandung:Fokusmedia,

    2008, hlm. 22-23.