bab ii bisnis sektor riil dan pemasaran dalam islam …digilib.uinsby.ac.id/735/5/bab 2.pdfbab ii...

68
25 BAB II BISNIS SEKTOR RIIL DAN PEMASARAN DALAM ISLAM A. Bisnis dalam Sektor Riil Bisnis sektor riil merupakan perdagangan komoditas dan produk industri. Bisnis secara umum merupakan kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan dengan industri. Aktivitas bisnis berusaha menggunakan sumber daya manusia, material, waktu, dan mengelola risiko. Pihak yang menjalankan kegiatan bisnis disebut wirausaha (enterpreneur). Untuk menjalankan kegiatan bisnis, enterpreneur harus mampu mengombinasikan berbagai macam sumber daya, diantaranya human, material, financial, teknologi dan informasi dengan sasaran produksi, distribusi, dan konsumsi. 1 Mengkaji tentang bisnis, tidak dapat lepas dari kajian ekonomi, karena bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Secara spesifik masuk dalam kajian ekonomi mikro. Ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang menjatuhkan pilihan yang tepat, untuk memanfaatkan sumber daya produktif (tanah, tenaga kerja, barang, modal, mesin, pengetahuan teknik dan wirausaha) yang langka dan terbatas jumlahnya untuk menghasilkan berbagai barang, serta mendistribusikannya kepada pelbagai anggota masyarakat untuk mereka pakai atau dikonsumsi. 2 1 Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam, Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 4, Nalar Bisnis, (Jakarta: VIV Press, 2012), 1. 2 Ibid., 2.

Upload: phungthuy

Post on 09-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

25

BAB II

BISNIS SEKTOR RIIL DAN PEMASARAN DALAM ISLAM

A. Bisnis dalam Sektor Riil

Bisnis sektor riil merupakan perdagangan komoditas dan produk industri.

Bisnis secara umum merupakan kegiatan dalam masyarakat yang berkaitan

dengan industri. Aktivitas bisnis berusaha menggunakan sumber daya manusia,

material, waktu, dan mengelola risiko. Pihak yang menjalankan kegiatan bisnis

disebut wirausaha (enterpreneur). Untuk menjalankan kegiatan bisnis,

enterpreneur harus mampu mengombinasikan berbagai macam sumber daya,

diantaranya human, material, financial, teknologi dan informasi dengan sasaran

produksi, distribusi, dan konsumsi.1

Mengkaji tentang bisnis, tidak dapat lepas dari kajian ekonomi, karena

bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi. Secara spesifik masuk dalam

kajian ekonomi mikro. Ekonomi adalah suatu studi mengenai bagaimana orang

menjatuhkan pilihan yang tepat, untuk memanfaatkan sumber daya produktif

(tanah, tenaga kerja, barang, modal, mesin, pengetahuan teknik dan wirausaha)

yang langka dan terbatas jumlahnya untuk menghasilkan berbagai barang, serta

mendistribusikannya kepada pelbagai anggota masyarakat untuk mereka pakai

atau dikonsumsi.2

1 Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam, Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 4, Nalar Bisnis, (Jakarta: VIV Press, 2012), 1. 2 Ibid., 2.

26

Masalah ekonomi, secara singkat dapat dikatakan sebagai fenomena

masyarakat yang berusaha untuk mencapai kebutuhan dan kemakmuran. Manusia

dalam mencapai kemakmuran tersebut, dapat menempuh melalui bisnis. Melalui

bisnis, kebutuhan dan kepuasan manusia secara material dan ekonomis akan

terpenuhi. Hal ini dapat dikatakan bahwa bisnis merupakan unit ekonomi atau

kesatuan organisasi ekonomi.

Peristilahan bisnis berasal dari bahasa Inggris, business yang berarti usaha,

dagang dan bekerja. Dalam Kamus Ekonomi Bisnis (business)3 adalah suatu

kegiatan yang bersifat mencari keuntungan, suatu kegiatan komersial atau

kegiatan yang menggunakan modal tertentu untuk memperoleh laba. Sedangkan

bisnis secara konseptual dalam berbagai literatur, beberapa penulis menyebutkan

antara lain menurut Boone dan Kurtz4 bisnis merupakan aktivitas yang bertujuan

mencari laba, perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan

oleh sebuah sistem ekonomi. Sebagian bisnis menghasilkan barang-barang

berwujud, seperti mobil, sereal untuk makan pagi, dan chip-chip komputer.

Sebagian lainnya memproduksi jasa asuransi, konser musik, penyewaan mobil,

dan penginapan.

Sementara Hughes dan Kapoor dalam Alma5 menyatakan: “Business is the

organized effort on individuals to produce and sell for a profit, the goods and

services that satisfy society's needs. The general term business referes to all such 3 Henricus Ismantono, Kamus Istilah Ekonomi dan Bisnis, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), 2. 4 Boone dan Kurtz, Contemporary Business, (Jakarta : Salemba Empat, 2010), 8. 5 Buchari Alma dan Donni Juni, Priansa, Manajemen Bisnis Syariah, (Bandung: Alfabeta 2009), 21.

27

within a society or within an industry”, bisnis adalah suatu kegiatan usaha

individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna

mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara umum

kegiatan ini ada di dalam masyarakat dan industri. Jadi, orang yang berusaha

menggunakan uang dan waktunya dengan menanggung dan mengelola risiko

dalam menjalankan kegiatan bisnis disebut wirusaha (entrepreneur).

Dalam kegiatan bisnis, seorang enterpreneur setidaknya perlu mengetahui

hal-hal sebagai berikut6, yaitu:

1. Menentukan tujuan. Dalam pengelolaan bisnis, manajemen harus

mengetahui arah ke mana bisnis akan dibawa.

2. Mengetahui lingkungan bisnis. Lingkungan bisnis dibedakan atas 2 (dua),

yakni lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal terdiri atas

skill manajemen, pemegang saham, modal dan peralatan fisik, serta

informasi. Sementara lingkungan eksternal terdiri dari dua komponen, yakni

lingkungan khusus dan umum.

3. Mengetahui lingkungan khusus di mana kegiatan bisnis itu dilakukan. Hal

ini berkaitan dengan keadaan konsumen, pemasok, pesaing, dan kelompok

kepentingan (pressure group).

4. Mengetahui lingkungan umum, meliputi berbagai faktor, antara lain kondisi

ekonomi, politik dan hukum, sosial budaya, demografi, serta teknologi dan

kondisi global.

6 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 161.

28

Pendapat lain dikemukakan oleh Skiner, sebagaimana yang dikutip oleh

Ismail Nawawi7 bahwa bisnis adalah pertukaran barang dan jasa atau uang yang

saling menguntungkan atau memberikan manfaat. Sedangkan pengertian dasar

bisnis adalah suatu pelayanan melalui jual beli suatu barang (the buying and

selling of goods and service). Mahchfud8 mengemukakan bahwa bisnis adalah

usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekolompok orang yang terorganisasi

untuk mendapat laba dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan konsumen.

Dalam aktivitas bisnis proses ekonomi perlu dilaksanakan. Proses tersebut

terdiri atas produksi, distribusi dan konsumsi. Oleh karena aktivitas bisnis

dititikberatkan pada produksi dan distribusi, sedangkan konsumsi dilakukan oleh

konsumen bagi businessman. Akhirnya dapat dikemukakan arti dari bisnis yang

masing-masing menunjukkan hubungannya dengan ekonomi, sebagai berikut :

1. Bisnis adalah kegiatan untuk menghasilkan dan mendistribusikan

barang-barang dan jasa-jasa untuk kepentingan bersama atau masyarakat

baik untuk kepentingan produsen dan konsumen atau penjual dan pembeli.

2. Bisnis merupakan aktivitas untuk mendapatkan gambaran perihal laba yang

dicapai oleh seorang pengusaha dalam aktivitas ekonomi.

3. Laba merupakan selisih antara penghasilan terhadap biaya-biaya yang

dibebankan dalam proses ekonomi (produksi dan distribusi).

7 Ibid., 45.

8 Machfudz, Mas’ud dan Mahmud, Kewirausahaan, Suatu Pendekatan Kontemporer, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2010), 73.

29

Dalam dunia usaha, peristilahan yang dekat dengan bisnis seringkali

membingungkan orang. Istilah tersebut adalah perusahaan, industri dan ekonomi.

Perusahaan atau korporasi merupakan suatu organisasi produksi, yang

menggunakan dan mengkoordinasikan sumber-sumber ekonomi untuk

memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan. Sedangkan industri

merupakan suatu kelompok perusahaan yang memproduksi barang yang sama

untuk pasar yang sama.

Dari pengertian ekonomi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

ekonomi berkaitan dengan (a) sumber daya, (b) barang dan jasa, (c) alokasi

sumber daya, dan barang. Sumber daya dibedakan menjadi tiga, yaitu alam, modal

dan tenaga kerja. Sedangkan yang dimaksud dengan alokasi sumber daya dan

barang merupakan proses pemilihan bagaimana sumber daya yang digunakan

dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen.

Dalam berbagai literature ekonomi, bisnis sering disandingkan dengan

ekonomi, sehingga muncul istilah ekonomi bisnis. Pengertian ekonomi bisnis

adalah aktivitas yang menggambarkan cara bisnis dan unit ekonomi atau kesatuan

organisasi ekonomi dalam melaksanakan proses ekonomi yang terdiri atas

produksi, distribusi dan konsumsi dalam mencapai kebutuhan dan kesejahteraan

masyarakat.9 Menurut Nimpoena10 sebagaimana yang dikutip Abu Ahmadi,

ekonomi bisnis merupakan bisnis dalam arti yang luas yaitu terkait dengan

ekonomi dan politik yang merupakan suatu hubungan yang saling tergantung dan

9 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 5. 10 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineke Cipta, 2003),75.

30

turut mencerminkan efektifitas dan efisiensi suatu masyarakat, dengan gerak

usahanya dalam mencari keuntungan. Bisnis dalam arti sempit adalah

perdagangan atau jual beli.

Ekonomi menggambarkan adanya fungsi sosial pada masyarakat yang

tertuju pada tercapainya kondisi kesejahteraan fisik, yaitu dengan memanfaatkan

sumber daya dan fasilitas yang ada pada masyarakat. Fungsi ini juga dirumuskan

sebagai “the untilization of resources and facilities for systems adaptive

purposes”.11 (pemanfaatan sumber daya dan fasilitas untuk keperluan sistem

adaptif). Jadi, masyarakat sebagai sistem sosial menunjukkan salah satu fungsi

mendasar guna mengatur keselarasan masyarakat dengan lingkungannya, yang

dilakukan antara lain dengan cara memanfaatkan berbagai sumber daya dan

sarana yang dikuasainya.

Beberapa aspek esensial dapat diangkat dari perumusan ini, yaitu12 :

1. Cara pemanfaatan merupakan kegiatan yang amat diwarnai oleh kebudayaan

masyarakat yang berkepentingan.

2. Sumber daya adalah semua potensi yang ada pada masyarakat yang

berkepentingan. Salah satu sumber daya yang amat penting ialah sumber

daya manusia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

3. Sarana adalah semua institusi yang telah dimiliki masyarakat dan

lingkungan sudah menunjukkan efektivitas dalam fungsi-fungsinya.

11 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 6. 12 Ibid., 6-7.

31

Bila dikaitkan dengan dunia bisnis, maka dunia ekonomi berperan dalam

menentukan:

1. Budaya ekonomi ataupun gaya bertindak sebagai manusia ekonomi.

2. Corak ragam sumber daya manusia yang berkecimpung dalam dunia bisnis

berikut pengembangan manusia dan hambatannya.

3. Kondisi teknologi dan manajemen pada umumnya, rekonsistensi dan

inkosistensinya dengan laju pembangunan.

Dunia bisnis sendiri memiliki kendala-kendala tertentu dan juga

menunjukkan karakteristik yang khas. Kenyataan ini sebenarnya sudah cukup

untuk membuat orang harus memikirkan kembali mengenai usaha dan langkah-

langkah yang sampai sekarang cenderung dilakukan dalam dunia bisnis. Fungsi

masyarakat yang berkaitan dengan dunia bisnis ialah fungsi politik, terutama

bersangkutan dengan proses-proses sosial untuk mencapai tujuan-tujuan

masyarakat atau yang dikenal juga dengan goal-attainmentprocesses. Dalam

dunia politik, proses tersebut berkaitan dengan proses pengambilan keputusan

oleh masyarakat itu. Selain itu berfungsi juga sebagai proses distribusi nilai-nilai

tertentu. Jelas bahwa secara khusus pada fungsi politik ini, adalah aspek

kebudayaan memegang peranan penting dalam proses-proses tadi. Jadi dapat

diperhatikan bahwa:

1. Proses pengambilan keputusan oleh masyarakat banyak dipengaruhi oleh

struktur hirarki, yang berlaku secara formal maupun tidak formal.

2. Proses distribusi nilai-nilai juga diwarnai oleh kebudayaan yang berlaku.

32

Dalam bisnis, pada korporasi terdapat empat aktivitas sosial yang perlu

diperhatikan sebagai inti pelaku bisnis, yaitu pemilik, manajer, konsumen dan

pekerja 13 :

1. Pemilik bisnis merupakan orang yang menanamkan uangnya dalam bisnis

tertentu. Ia mengharapkan pendapatan dalam bentuk keuntungan dari usaha

tersebut.

2. Manajer adalah orang yang menjalankan bisnis tersebut dan bertanggung

jawab terhadap pemilik modal bisnis atau perusahaan. Manajer yang dicari

oleh pemilik modal ialah manajer yang profesional yang mampu berdaya

saing atau kompetitif untuk menghasilkan keuntungan,

menumbuhkembangkan perusahaan dan mempertahankan hidup perusahaan

pemilik modal.

3. Pemilik bisnis yang merangkap sebagai manajer disebut dengan wirausaha

(entrepreneur). Ia merupakan orang yang mampu memanfaatkan peluang

bisnis, memperhitungkan berbagai resiko dengan mengorganisasi dan

mengelola bisnis serta menerima pendapatan dengan bentuk uang atau

dengan bentuk lainnya.

4. Perhatian pebisnis (entreprenuer) terhadap konsumen dewasa ini makin

besar. Hal ini disebabkan persaingan dalam bisnis semakin ketat dan adanya

anggapan bahwa konsumen adalah segala-galanya atau disebut dengan raja

dan harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

13 Ibid., 8.

33

5. Perhatian pebisnis (entreprenuer) terhadap pekerja merupakan tanggung

jawab sosial dari bisnis perusahaan pekerja, sebagai asset yang tidak dapat

digantikan, harus diberdayakan sehingga menjadi sumber daya yang

petensial dan produktif. Keberhasilan bisnis banyak ditentukan oleh

aktivitas manusia sebagai sumber daya yang professional dan berdaya saing

kompetitif dalam mempertahankan bisnis untuk mencapai tujuan yang

diharapkan usahawan (entreprenuership).

Dalam aktivitas bisnis, seringkali dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang

dianut suatu negara. Aktivitas bisnis adalah suatu aktivitas mikro ekonomi, karena

mempelajari interaksi rumah tangga perusahaan dengan pasar, konsumen,

permintaan, penawaran, produsen, dan lingkungan usaha lainnya. Sementara

sistem ekonomi berkaitan dengan sistem kebijakan ekonomi makro yang dianut

suatu negara. Dalam kaitan itu, aktivitas bisnis juga sangat tergantung dari

lingkungan kebijakan ekonomi yang berlaku di suatu negara.14

Selanjutnya dikemukakan oleh Widiyono dan Mukhaer Pakan15 bahwa

aktivitas bisnis menyediakan barang atau jasa untuk mendapatkan profit.

Sementara profit adalah perbedaan antara pendapatan suatu bisnis dan beban-

bebannya. Pada negara-negara yang menganut sistem ekonomi terpimpin (planned

economy), persentase profit dari hasil suatu usaha jelas mempertimbangkan

seberapa besar alokasi profit bisnis diperuntukan bagi negara. Karena negara

14 Widiyono dan Mukhaer Pakan, Pengantar Bisnis, Respons Terhadap Dinamika Global, (Jakarta: Mitra Wacana Medika, 2011), 47. 15 Ibid., 49.

34

adalah sentral kekuasaan ekonomi, tentu negara berhak memperoleh lebih banyak

hasil profit bisnis.

Sistem ekonomi adalah sistem suatu negara untuk mengalokasikan sumber

dayanya di antara warga negaranya baik individu maupun organisasi. Ada 3 jenis

sistem ekonomi yang sejak dulu kita kenal, yakni planned economy (ekonomi

terpimpin), market economy (ekonomi pasar) dan mixed economy (ekonomi

campuran).16 Pada sistem ekonomi terpimpin, terutama pada masyarakat komunis,

manusia dibebaskan dari keterikatannya kepada milik pribadi, di masyarakat tidak

ada eksploitasi, penindasan dan paksaan. Sistem ekonomi ini berpandangan

bahwa negara tidak lain hanyalah mesin yang dipakai satu kelas untuk menindas

kelas lain. Untuk itu, negara hanya merupakan suatu lembaga transisi yang

dipakai dalam perjuangan untuk menindas lawan-lawan dengan kekerasan.

Negara akhirnya akan lenyap pada saat komunisme tercapai karena tidak ada lagi

yang tertindas.

Ada 4 (empat) tingkat kompetisi di dalam ekonomi pasar17, yaitu pure

competition (kompetisi murni), kompetisi monopolistik, oligopoli, dan monopoli.

Pada pasar persaingan murni, struktur pasar di mana industri terdapat banyak

penjual dan pembeli, dan setiap penjual terpimpin (planned economy). Untuk

ekonomi pasar, asas pokok yang berlaku adalah bekerjanya tangan-tangan yang

tidak terlihat (the invisible hand), yang digerakkan oleh cinta diri sebagaimana

16 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis,11. 17 Ibid., 77.

35

yang dikemukakan Adam Smith18. Asas ini dibangun di atas paham kebebasan.

Tangan yang tidak terlihat akan menggerakkan kegiatan ekonomi yaitu, dengan

adanya keinginan seseorang atau sekelompok orang yang memberikan sebuah

barang dan atau jasa untuk mendapatkan barang lainnya (pertukaran). Dalam

sistem ekonomi pasar, aktivitas bisnis sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme

pasar. Intervensi negara (pemerintah) ke wilayah bisnis menjadi minimal, karena

hanya membuat regulasi, pengawasan, dan infrastruktur publik.

B. Spiritual Bisnis Islam

Kajian tentang spiritualitas berakar pada filsafat spiritualisme, yakni

aliran yang menyatakan bahwa pokok dari realitas (foundation of reality) adalah

spirit jiwa. Dunia yang meliputi alam semesta dalam segala tingkatan aktivitasnya

sebagai penyebab dari aktivitasnya; perintah dan bimbingan (petunjuk); dan

bertindak sebagai penjelasan yang lengkap dan rasional.19 Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT dalam surat Al-A’ra>f ayat 56 :

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak

18 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (The Wealth of Nations), ( New York : The Modern Library, 2000), 48. 19 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis,(Jakarta: VIVpress, 2011), 18.

36

akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.20 Firman Allah SWT dalam surat Al-Qas}as} ayat 77 :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.21

Dari kedua ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan untuk mendasari pada

spiritual bisnis dan kecerdasan spiritual bisnis transendental. Selanjutnya dapat

dijelaskan kecerdasan spiritual bisnis menurut beberapa pendapat para pakar yang

dikemukakan oleh Ismail Nawawi22, yakni Schreurs mendefinisikan spiritualitas

sebagai hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden. Spiritualitas

mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan

pengharapannya terhadap Yang Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana

individu nengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tcrsebut dalam

kehidupan sehari-harinya. Elkins menunjuk spiritualitas sebagai cara individu

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Indah Press, 2002), 154. 21 Ibid., 166. 22 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis, 18.

37

memahami keberadaan maupun pengalaman dirinya. Bagaimana individu

memahami keberadaan maupun pengalamannya dimulai dari kesadarannya

mengenai adanya realitas transenden (berupa kepercayaan kepada Tuhan atau

apapun yang dipersepsikan individu sebagai sosok transenden) dalam kehidupan

dan dicirikan oleh nilai-nilai yang dipegangnya.

Berkaitan dengan hal tersebut spiritualitas bisnis adalah kepercayaan

akan adanya kekuatan bisnis nonfisik yang lebih besar dari kekuatan dirinya.

Suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau

apapun yang diarahkan sebagai keberadaan manusia dalam aktivitas bisnis.

Spiritualitas bisnis adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan

rasa memiliki oleh pebisnis, dan ia lebih merupakan bentuk pengalaman psikis

yang meninggalkan kesan dan makna bisnis yang mendalam. Spiritualitas bisnis

sebagai sebuah tahapan kualisasi diri, di mana seseorang berlimpah dengan

kreativitas, intuisi, cerminan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendahatian,

serta memiliki tujuan hidup yang jelas.

Dengan demikian, spiritualitas bisnis adalah kesadaran manusia akan

adanya relasi manusia dengan Tuhan, atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai

sosok transenden. Spiritualitas bisnis mancakup inner life individu, idealisme,

sikap, pemikiran, perasaan, dan pengharapannya terhadap Yang Mutlak.

Spiritualitas bisnis juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan

hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

38

Sebagai sesuatu yang transpersonal, menurut Burkhardt sebagaimana

yang dikutip Abdul Jalil23 bahwa konten spiritualitas biasanya terdiri dari hal-hal

sebagai berikut :

1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau tidak pasti.

2. Bertujuan menemukan arti dan tujuan kehidupan.

3. Menyadari kemampuan bisnis untuk menggunakan sumber dan kekuatan

dari dalam diri sendiri.

4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang

Maha Tinggi.

Dimensi spiritualitas, sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat24 adalah

noos, yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginan untuk

memberi makna, visi, orientasi, tujuan, kreativitas, imajinasi, intuisi, dan atau

keimanan, kemampuan untuk mencintai di luar kecintaan yang visio-psikologis,

dan kemampuan mendengarkan hati nurani diluar kendali egoisme. Di

dalamnya juga terkandung transendensi diri, pembebasan diri, kemampuan

melangkah ke luar untuk memandang diri, dan kemampuan untuk mengerjakan

tujuan yang diyakini. Dalam dunia spirit bisnis, kita tidak dipandu tetapi kita

adalah pemandu yang akan mengambil urusan berbisnis.

Medan spiritualitas bisnis bisa muncul dalam aspek kognitif, eksistensial,

dan aspek relasional. Dalam aspek kognitif, seseorang mencoba untuk menjadi

lebih respektif terhadap realitas bisnis transenden. Biasanya dilakukan lengan cara 23Abdul Jalil, Spiritual Enterpreneurship, Transformasi Spritualitas Kewirausahaan, (Yogyakarta: LKiS, 2013), 25. 24 Jalaludin Rahmat, Psikologi Komunikasi, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 42.

39

menelaah literatur atau melakukan refleksi atas bacaan spiritual tertentu, ia

melatih kemampuan untuk konsentrasi dan melepas pola pikir kategorikal yang

telah terbentuk sebelumnya. Disebut aspek kognitif, karena aktivitas yang

dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.25

Dalam aspek eksistensial, seseorang belajar untuk mematikan bagian

dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas bisnis yang dilakukan

seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self) dalam

berbisnis. Sedangkan Ismail Nawawi mengemukakan bahwa dimensi spiritualitas

bisnis Islam berkaitan dengan norma syariah, norma etika, norma transaksi dan

norma kreativitas.26

Dalam aspek relasional, seseorang merasa bersatu dengan Tuhan dan/atau

bersatu dengan cinta-Nya. Pada aspek ini, seorang pembangun bisnis,

mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan ketentuan

shari>’ah. Dengan kata lain, spiritualitas bisnis dapat muncul dan berelasi secara

intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang

lain dengan lingkungan), dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat),

yaitu suatu hubungan dengan ketentuan Allah yang merupakan kekuatan

tertinggi.27

Ada berbagai teknik untuk mengungkap spritualitas makna bisnis, tetapi

ada lima situasi yang menyebabkan makna tersebut terbesit ke luar dan mengubah

25 Abdul Jalil, Spiritual Enterpreneurship,25. 26 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis, 34. 27 Abdul Jalil, Spiritual Enterpreneurship, 26.

40

jalan hidup kita dengan menyusun kembali hidup berdasarkan etika yang mapan,

yaitu28:

1. Makna bisnis kita temukan ketika menemukan diri kita (self-discovery).

2. Makna bisnis muncul ketika kita menentukan pilihan.

3. Makna bisnis ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik dan tak

tergantikan oleh orang lain.

4. Makna bisnis terbesit dalam tanggung jawab.

5. Makna bisnis mencuat dalam situasi transendensi.

Ekonomi bisnis tidak dapat lepas dari kreatifitas, lebih khusus lagi dalam

hal bisnis. Dengan kreativitas diperlukan suatu penelitian. Dalam hal ini hasil

penelitian Patricia dalam Megatrends 2010 mengungkap bahwa pencarian atas

spiritualitas adalah megatrend terbesar di masa sekarang ini. Patricia yakin bahwa

trend spiritualitas yang kini marak akan menjadi megatrend dalam beberapa

tahun ini dan mendatang. Bahkan transformasinya tidak hanya pada tingkat

individu, namun sudah mencapai tingkat institusi atau korporasi.29

Sebelum era kesadaran spiritual bisnis datang, dunia bisnis cenderung

nengesampingkan nilai-nilai transpersonal. Perusahaan tanpa disadari telah

bergerak dari sekadar mencetak uang (money making) dan menjadi pengeruk uang

(money grubbing). Bisnis difahami sebagai sebuah organisasi profit oriented yang

seluruh aspek kegiatannya berburu keuntungan. Aksi Good Corporate

28 Ibid. 29 Patricia Aburdene, Megatrends 2010: Bangkitnya Kesadasaran Kapitalisme, Terj. Arfan Achyar, (Jakarta: TransMedia, 2006), 24.

41

Governance (GCG) atau aksi sosial lain hanyalah upaya untuk meningkatkan

brand image, yang berujung pada pengerukan keuntungan.30

Semua itu terjadi karena pengusaha tidak membayangkan bisa

menggabungkan kata “spiritualitas” dengan kata “bisnis”. Dua kata ini sangat

berseberangan dan klise. Bisnis identik dengan rasionalitas yang memiliki

parameter yang terukur. Sebaliknya, spiritualitas kerapkali dinilai sebagai sesuatu

yang irrasional dan nilai kebenarannya pun sangat relatif. Oleh karena itu,

menggabungkan dua kata di atas terkesan sangat utopis, mengada-ada, dan tidak

rasional. Akan tetapi, dunia bisnis akhirnya sampai pada titik spiritualitas

manakala berhadapan dengan problem kerja. Problem kerja ini dalam garis

besarnya terbagi menjadi 3, yakni31 :

1. Beban secara tradisional, yakni beratnya pekerjaan itu sendiri, sementara

hasilnya tidak seberapa. Hal inilah yang seringkali menjadikan orang

bekerja hanya untuk kebutuhan marjinal.

2. P roblem ketika seseorang bekerja di bawah pemilik usaha yang rakus dan

mengutamakan keuntungan semata, sehingga pekerjaan mereka tidak

memberikan daya tawar yang baik.

3. Problem kerja yang seringkali dialami oleh kalangan kerah putih. Mereka

menjadikan pekerjaan sebagai satu-satunya tujuan hidup. Hidup adalah

kerja, kerja, dan kerja. Kondisi ini akhirnya menggiring mereka pada

30 Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai kehidupan, (Jakarta: Mizan, 2002), 34. 31 Jansen H. Sinamo, 8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses, (Jakarta: Darma Mahardika, 2005), 112.

42

kondisi kecanduan kerja (work aholic). Kerja telah menjadi belenggu baru,

di mana manusia pekerja mengalami proses dehumanisasi.

Nilai spiritualitas semakin terangkat ketika tahun 200632 Muhammad

Yunus menerima hadiah nobel perdamaian yang membuat sontak dunia.

Muhammad Yunus bukan seorang politisi, negarawan, atau seorang aktivis

perdamaian yang vokal mengkampanyekan hak asasi manusia. Ia hanya seorang

guru besar ekonomi dari sebuah negara miskin yang bernama Bangladesh. Ia

berhasil merebut perhatian dunia melalui bank yang didirikannya pada tahun

1976, Grameen Bank (Bank Desa). Dengan alasan kehati-hatian dan kalkulasi

bisnis, bank mengambil posisi. Muhammad Yunus berperilaku sebaliknya.

Gramen Bank memiliki 226 cabang di 71.371 desa, mayoritas nasabahnya adalah

kaum hawa, dan 4% modalnya dipegang oleh kaum miskin. Dengan

spiritualitasnya, Muhammad Yunus akhirnya mendapatkan hadiah Nobel.

Spiritualitas bisnis dengan demikian, merupakan proses transendensi untuk

membentuk lembaga bisnis melampaui pengertian bisnis sendiri, seperti yang

selama ini difahami.

Spiritualitas bisnis tidak hanya berbicara tentang profit, transaksi,

manajemen, akunting, dan strategi, namun juga mempersoalkan pelayanan,

pengembangan, tanggung jawab sosial, lingkungan hidup dan keadilan.

Spiritualitas tidak lagi terkungkung oleh atuan-aturan formal yang telah memberi

32 Muhammad Yunus “The Autobiography of Muhammad Yunus, Founder of Grameen Bank” dalam “http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yunus , (16 Agustus 2013).

43

peluang untuk berbuat curang, namun bermain dengan aturan-aturan moral, etika,

dan kemanusian yang bermuara pada keadilan dan kejujuran. Dengan naungan

spiritualitas, bisnis difahami sebagai sistem, bukan medan perang; perusahaan

adalah komunitas, bukan desain; manajemen adalah pelayanan, bukan kontrol.

manajer adalah bukan mandor, karyawan adalah sejawat, bukan pembantu.

Aktivas datang dari visi, bukan rasa takut, dan perubahan adalah pertumbuhan,

bukan penderitaan. Apa yang diimpikan spiritualitas di atas mirip dengan tujuan

agama. Namun secara teoritik spiritualitas bukanlah agama. Keduanya memiliki

perbedaan. Agama dikarakteristikkan dengan sebuah kepercayaan, praktik

institusi. Sementara spiritualitas hanyalah keterhubungan perasaan orang dengan

Tuhan, atau apapun yang dianggap transenden.

Dalam berbagai agama terutama Islam, sebagaimana diyakini oleh Ibn Al-

Arabi33, bahwa spiritualitas seseorang mengarah pada kesatuan antara manusia,

alam, dan Tuhan. Al-Qur'a>n mengungkapkan worldview-nya, bahwa alam tidak

bisa dipahami hanya sebagai kumpulan dunia material, melainkan juga dunia

spiritual, yakni hubungan-hubungan analogis dan alegorisnya, serta peran manusia

dalam keseluruhan sistem yang mengaturnya. Sistem hubungan ini berada dalam

pola piramida yang terdiri dari makrokosmos (al-'ala>m al-kabi>r), Mikrokosmos

(al-‘ala>m al saghi>r) dan metakosmos. Makrokosmos adalah dalam semesta pada

umumnya, mikrokosmos adalah manusia, dan letak kosmos adalah Allah SWT.

33 Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought (USA: 1992), Terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah: The Tow of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung: Mizan, 1998), 71.

44

Spiritualitas manusia akan tercapai, dan dia berhak menjadi khalifah,

manakala ia mampu memahami, menerjemahkan, dan menyatukan ketiganya

dalam diri. Penyatuan diri dengan alam dan Tuhan bisa dilakukan karena manusia

adalah makhluk serba mencakup (al-kawn al-ja>mi’), sehingga berpotensi menjadi

manusia sempurna (al-insa>n al-ka>mil), baik secara al-haqqiyyah dan al-

khalqiyyah)..34

Paradigma modernisasi bisnis global yang mengusung teori develop-

mentalisme disinyalir telah melahirkan persoalan-persoalan bisnis baru. Lebih

khusus lagi, hubungan agama dengan sektor usaha dan bisnis, kesatuan kedua

sektor ini dengan spiritual sebenarnya cukup jelas. Hal itu telah dicontohkan

Rasulullah Saw dan para shahabat, mereka tidak memisahkan antara bisnis dan

nilai-nilai spiritual, mereka juga tidak mendikotomi antara masjid dan pasar.

Oleh karena itu, perintah bekerja berada satu atap dengan shalat dan dzikir.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Jumu>’ah ayat 10 ;

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.35

Firman Allah SWT dalam Surat Hu>d ayat 3 :

34 Ibid. 35Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 125.

45

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. Jika kamu mengerjakan yang demikian, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.36

Sebaliknya, aktivitas spiritual destruktif akan menghambat rezeki, tidak

sulit memahami hubungan tersebut, karena logikanya, Allah SWT yang

menciptakan alam, yang menyuruh bekerja, dan yang mengarahkan ketika

bekerja, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-An'a>m ayat 152 :

36 Ibid., 266.

46

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang

lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.37

Allah SWT memberi peringatan bagi orang yang curang dalam bekerja,

sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mut}affifi>n ayat 1 sampai 3 :

Kecelakaan besarlah bagi orang orang-orang yang curang (yaitu), orang- orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.38

Manusia wajib bekerja dan berusaha, selanjutnya bertawakkal kepada

Allah SWT, karena Allah SWT pulalah yang menentukan hasilnya, sebagaimana

firman-Nya dalam surat Al-Isra>' ayat 30 :

37 Ibid., 214. 38 Ibid., 1035.

47

Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia

kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.39

Dengan memperhatikan aspek normatif, setidaknya ada tiga peran penting

spiritual dalam sosial dan bisnis40; pertama, daya kreatifitas. Manusia adalah

makhluk spiritual yang berdimensi fisik. Aspek spiritual membuat manusia

mampu memahami pesan Ilahi, dan fisik mewujudkannya dalam tataran material.

Spiritual yang menyimpan semangat idealisme akan memberi kekuatan untuk

mengadakan dan menciptakan semua sarana dan materi untuk mewujudkan

idealismenya. Inilah kemudian yang mendorong pribadi untuk menjadi wirausaha

kreatif dan produktif.

Ke dua, fungsi kontrol, yaitu kesadaran spiritual akan menghindarkan

manusia dari jebakan kesalahan yang dapat menghalanginya dari rezeki. Saat

materi berlimpah, spiritualitas bisnis akan mencegah pelakunya dari arogansi diri,

karena keberhasilan bisnis yang ia lakukan bukanlah karena kesungguhan dirinya,

melainkan karena rahmat Allah SWT. Rezeki yang di tangan adalah titipan Allah

semata, yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban, maka ia akan berhati-hati

dengan cara memperoleh dan membelanjakannya. Kekuatan spiritual membuat 39 Ibid., 428. 40 Abdul Jalil, Spiritual Enterpreneurship, 35.

48

bisnis berjalan penuh moral, karena spiritual mengutamakan keberkahan dari pada

keuntungan, dan mengutamakan kemuliaan dari pada kemenangan. Bahkan

rendahnya nilai moral dalam dunia bisnis, lambat laun akan menjadi bumerang

bagi bisnis itu sendiri, hal itu disebabkan karena hilangnya kepercayaan.

Ke tiga, stabilisator. Spiritualitas bisnis menyadarkan pelakunya untuk

melibatkan kehadiran Allah SWT mulai dari permulaan bisnis, proses, dan

hasilnya. Dengan kata lain menanamkan bahwa motif bisnis adalah karena Allah

SWT dan dalam prosesnya harus sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, dan segala

hasilnya mesti disyukuri, dievaluasi untuk perbaikan masa mendatang, maka tak

ada kata rugi dalam kaca mata spiritual bisnis, karena semuanya menjadi

bermakna ibadah. Keterpisahan bisnis dengan spiritual justru akan menyeret

manusia pada kegersangan hidup yang membuat dirinya bersikap arogan. Ia akan

kehilangan jati dirinya, dan perjuangannya akan menciptakan disharmonisasi

irama kehidupan. Bagi seseorang yang menggunakan kecerdasan spiritual sebagai

pedoman hidup, akan bersikap bahwa harta, profesi, dan jabatan hanyalah amanah

Allah yang kelak harus dipertanggung jawabkan. Dengan spiritual yang tinggi

seseorang akan melihat persoalan dengan lebih jernih dan subsantif.

C. Pemasaran dan Ekspektasi dalam Bisnis

Pemasaran secara konseptual adalah kegiatan manusia yang diarahkan

untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen melalui proses pertukaran.

Konsep tersebut selaras dengan pendapat Kotler41 bahwa pemasaran merupakan

41 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jilid I, (Jakarta: PT. Indeks Kelompok Media, 2005), 20.

49

suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya terdapat individu dan

kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dengan menciptakan,

menawarkan dengan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Peter F. Drucker dalam Kotler42 mengemukakan bahwa pemasaran bukan

sekedar perluasan dari penjualan. Pemasaran sama sekali bukan aktivitas khusus.

Pemasaran meliputi keseluruhan bisnis yang dilihat dari sudut pandang hasil akhir

yang dicapai, yakni sudut pandang customer. Ducker juga mengungkapkan bahwa

pemasaran adalah fungsi yang berbeda dan merupakan fungsi yang unik dari suatu

bisnis. Kemudian Ducker juga menyebutkan bahwa dalam setiap bisnis hanya

pemasaran dan inovasi yang menghasilkan pendapatan.

Dalam pelaksanaan pemasaran dalam bisnis agar sesuai dengan tujuannya,

harus dimanajemeni sesuai dengan dinamika pasar dan tuntutan lingkungan bisnis

yang ada sekarang ini. Dalam memanajemeni pemasaran perlu adanya analisis,

perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian atas program yang dirancang untuk

menciptakan, membentuk, dan mempertahankan pertukaran yang menguntungkan

pembeli sasaran (target buyers) dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan

organisasi.

Bisnis merupakan sistem penjualan industri dan jasa yang kegiatan

operasionalnya membeli atau menjual jasa-jasa industri. Jasa adalah setiap

kegiatan atau manfaat yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya

42 Peter F. Drucker, Pengantar Manajemen, ( Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo, 1982), 42.

50

yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat pemilikan sesuatu

dan produksinya dapat atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik.

Untuk memasarkan produk sebuah perusahaan diperlukan konsep

pemasaran dan ide untuk mengidentifikasikan kebutuhan konsumen sebelum

memproduksi barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Konsep

pemasaran berorientasi menciptakan rasa senang pada pihak konsumen dengan

menawarkan nilai produk, barang atau jasa, yang mereka butuhkan.

Konsep pemasaran diaplikasikan oleh perusahaan, khususnya oleh bagian

pemasaran. Karena bagian ini yang berfungsi untuk menaksir jumlah permintaan

produk perusahaan, meningkatkan permintaan, dan melayaninya. Konsep

pemasaran harus berorientasi pada kebutuhan konsumen. Misalnya, menawarkan

pemanas ruangan di negara tropis merupakan konsep pemasaran yang tidak tepat.

Produk tersebut seharusnya ditawarkan di negara berudara dingin. Karena itu,

sebelum memproduksi suatu produk perusahaan perlu terlebih dahulu

mengidentifikasikan orang-orang yang paling mungkin untuk membeli produk

yang ditawarkan. Selain berorientasi pada kebutuhan konsumen, konsep

pemasaran berorientasi pada pencapaian laba yang ditargetkan sebagai tujuan

perusahaan.

Sekelompok konsumen atau lembaga yang memerlukan dan mampu serta

berwenang untuk membeli suatu produk disebut pasar. Pasar diklasifikasikan

dalam dua kelompok, pasar konsumen dan pasar industri. Orang-orang yang

membeli suatu produk untuk konsumsi disebut pasar konsumen, dan konsumen

51

yang membeli suatu produk untuk diproses menjadi produk tertentu dengan tujuan

mendapatkan laba disebut pasar industri.

Pemasaran yang efektif didasarkan atas strategi pemasaran yang

merupakan cara mencapai tujuan dan sasaran, yang dituangkan dalam kebijakan

program kegiatan yang akan dilakukan setiap tahun dalam kurun waktu, misalnya

lima tahun. Strategi akan memperjelas makna dan hakikat suatu rencana strategis

khususnya sasaran tahunan dengan identifikasi rincian yang sifatnya spesifik

tentang bagaimana para pimpinan harus mengelolanya. Agar strategi dapat

diterapkan dengan baik perlu diminta komitmen pimpinan puncak, terutama

dalam menentukan kebijakan organisasi yang mengacu pada visi, misi, tujuan dan

sasaran yang telah ditetapkan.43

Menurut Ismail Nawawi44 bahwa ekspektasi pemasaran berkaitan dengan

beberapa determinan variabel, yaitu (1) membangun jejaring bisnis, (2)

membangun profesionalisme pemasaran, (3) membangun analisis segmen dan

peluang pasar, (4) penggunaan komunikasi bisnis, (5) pemanfaatan teknologi

komunikasi bisnis.

Pendapat lain dikemukakan oleh Warren J. Keegan45 bahwa ekspektasi

pemasaran berkaitan dengan salah satu area fungsional dari sebuah bisnis, berbeda

dari keuangan dan operasi, hal ini berkaitan dengan : (1) koordinasi efektif dari

pemasaran, (2) area fungsional atau segmentasi pasar, (3) aktivitas yang terlibat

43 Ismail Nawawi, Manajemen Strategik Sektor Publik, (Surabaya : Putra Media Nusantara , 2010), 91. 44 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, 47. 45 Warren J. Keegan, Manajemen Pemasaran Global, (Jakarta: Indeks, 2003), 61.

52

dalam desain produk, manufaktur, pemasaran, (4) pelayanan bisnis proses dan

purna jual dan (5) mengkompromikan sebuah value-chain.

Karakteristik pemasaran yang berkaitan dengan jasa adalah sebagai

berikut46:

1. Tidak berwujud, maksudnya tidak tampak, tidak dapat dicicipi sebelum

dikonsumsikan. Karena itu pihak pembeli harus mempunyai keyakinan penuh

kepada penjual jasa.

2. Tidak dapat dipisahkan atau tidak dapat diwakilkan, maksudnya jasa akan

selalu melekat pada sumbernya atau pada penjualnya.

3. Tidak tahan lama, maksudnya jasa tidak dapat disimpan untuk persediaan

seperti halnya produk fisik. Jasa akan mempunyai nilai pada saat pembeli

jasa membutuhkan pelayanan.

4. Keanekaragaman iklan, maksudnya jasa memiliki sifat keanekaragaman

iklan, yakni tergantung siapa yang menyediakannya, kapan waktu

pelayanannya dan di mana tempat memberikan layanan jasa tersebut.

Pelaku bisnis dalam pengambilan keputusan pada setiap tingkat dari

konsepsi ide dan strategi sampai dukungan setelah penjualan, harus dinilai dalam

kemampuan mereka untuk menciptakan value bagi customer. Hal itu bertujuan

untuk menjamin para pemasar terlibat dalam pengambilan keputusan desain

46 Irwan Sahaja, “Karakteristik Jasa dan Strategi Pemasaran Jasa”, dalam http://irwansahaja.blogspot.com/2013/05/pengertian-jasa-karakteristik-jasa-dan.html. (20 Februari 2014).

53

manufaktur sejak awal. Beberapa organisasi menerapkan konsep yang dikenal

dengan pemasaran tanpa batas. Komoditas dan jasa merupakan aktivitas atau

manfaat yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lainnya (dari produsen

kepada konsumen) dan tidak mengakibatkan perpindahan kepemilikan. Jasa tidak

berwujud, tidak dapat dipisahkan, berubah-ubah, dan tidak tahan lama. Setiap

karakteristik mempunyai masalah dan memerlukan strategi. Pada pemasaran jasa,

pendekatan strategis diarahkan pada kemampuan pemasar menemukan cara untuk

mewujudkan yang tidak berwujud, meningkatkan produktivitas penyedia yang

tidak terpisahkan dari produk itu, membuat standar kualitas sehubungan dengan

adanya variabilitas, dan mempengaruhi gerakan permintaan dan pemasok

kapasitas mengingat jasa tidak tahan lama.

Pemasaran dalam bidang komoditas dan jasa menghasilkan kepuasan

konsumen serta kesejahteraan konsumen dan stakeholder. Dalam mewujudkan

kepuasan konsumen serta kesejahteraan konsumen, dapat ditempuh melalui

bauran pemasaran (marketing mix) yang berkaitan dengan (1) produksi

(production), (2) tempat atau lokasi pelayanan (place/service location) (3) harga

(price), (4) promosi (promotion). Pendapat lain dikemukakan oleh Zeithaml dan

Bitner47, ia mengemukakan bauran pemasaran dengan kajian yang lebih luas,

bauran pemasaran jasa terdiri dari 7 P yaitu: (1) produksi, (2 ) tempat atau lokasi

47 Zeithaml dan Mery J. Bitner, Services Marketing, (McGraw-Hill, Int’lEdition, 1997), 28.

54

pelayanan (place/service location), (3) harga atau tarif, (4) promosi, (5)

orang/partisipan (people), (6) sarana fisik, (7) proses.

Secara umum strategi pemasaran komoditas dan pemasaran (marketing

mix) diterapkan dalam konteks bisnis barang dan jasa secara keseluruhan, tidak

hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tapi juga pemasaran internal untuk

memotivasi konsumen atau karyawan administrasi dan pemasaran interaktif

untuk menciptakan keahlian penyedia barang dan jasa.

Tabel 2.1 Kompilasi Teori dan Variabel Bauran dan Ekspektasi Pemasaran

Nomor Teori Variabel

1. Kotler (2000:7)

1. Produksi (production)

2. Tempat atau lokasi pelayanan (place/service

location)

3. Harga (price)

4. Promosi (promotion)

2. Zeithaml dan Bitner

(2000:19)

1. Produksi

2. Tempat atau lokasi pelayanan (place/service

location)

3. Harga atau tarif

4. Promosi

5. Orang/partisipan (people)

6. Sarana fisik,

7. Proses.

55

3

Ismail Nawawi

(2012)

Ekspektasi

pemasaran bisnis

.

1. Membangun jejaring bisnis

2. Membangun profesionalisme pemasaran.

3. Membangun analisis segmen dan peluang pasar.

4. Penggunaan komunikasi bisnis

5. Pemanfaatan teknologi informasi.

4 Sula (2004)

Ekspektasi

pemasaran bisnis

1. Koordinasi efektifiktas dari pemasaran.

2. Area fungsional atau sementasi pasar.

3. Aktivitas yang terlibat dalam desain produk,

manufaktur, pemasaran.

4. Pelayanan bisnis proses dan purna jual.

5. Mengkompromikan sebuah value-chain.

D. Worldview, Konstruk dan Model Sarana Pembangunan Teori

Paradigma Ekonomi Islam merupakan implikasi Islamic worldview.

Pandangan dunia (worldview) keilmuan yang hidup dalam sistem sosial tertentu

memainkan peran penting dengan segala implikasi dan ramifikasinya. Di bidang

ilmu pengetahuan, worldview, berfungsi sebagai media kognitif yang menjelaskan

posisi ontologis, aturan-aturan metodologis, kerangka nilai, dan sebagainya.48

Oleh karena itu, bergantung pada setiap pandangan dunia yang dimiliki

masyarakat ilmiah tertentu. Konstruksi ilmu pengetahuan pun pada akhirnya

membangun dirinya di atas dasar masing-masing pandangan dunia tersebut.

48 Zubeir Hasan, “Islamization of Knowledge in Economics : Issues and Agenda”, IIUM Journal of Economics and Management, Volume 6, No. 2, 1998.

56

Menurut Alparslan49 worldview adalah kombinasi berkesinambungan dari

pengetahuan apriori dan kemampuan memperoleh pengetahuan aphosteriori yang

secara gradual membentuk kerangka pemikiran. Kerangka pikir inilah yang

kemudian berfungsi sebagai lingkungan tempat akal bekerja. elemen yang penting

dalam sejarah perkembangan teori ekonomi kontemporer. Bahkan daya hidup

visi-visi ini pun tetap berperan dalam memengaruhi berbagai macam madhhab

ekonomi modern yang datang silih berganti. “Scientific worldview”

mengemudikan seluruh ide atau gagasan yang bersifat transenden ke cara pandang

ilmiah, termasuk pula dalam ilmu bisnis. Melalui cara pandang ini, ilmu

pengetahuan dibangun secara analitis (what is), dan tidak didasarkan kepada

penjelasan normatif (what ought to be). Hanya jika terdapat alasan dan tujuan

yang logis sajalah, ilmu pengetahuan (ekonomi) boleh mengakomodasi aspek-

aspek normatif itu.50

Sedangkan dalam pandangan dunia Islam (Islamic worldview), adalah

sebuah visi yang menyatukan kebenaran wahyu dan ilmu pengetahuan secara

seimbang dan intregasi.51 Worldview Islamic tidak kontekstual seperti pemahaman

Barat, tetapi didasarkan kepada wahyu Ilahi (al-Qur’a>n dan al-Hadi>th) bersifat

fleksibel, namun tidak dapat digantikan. Pandangan dunia ini dibangun oleh tiga

keyakinan pokok, yaitu tauhid (keesaan Allah SWT), kesatuan penciptaan yang

49 Alparslan Acikgence, “The Framework for A History of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol. I, (ISTAC : 1996). 50 Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam, Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 1, Nalar Filsafat”, (Jakarta: VIV Press, 2012), 299. 51 Ibid., 300.

57

menekankan hubungan manusia dengan Allah SWT juga hubungan manusia

dengan alam semesta (kekhalifahan), dan prinsip keadilan.52

Konstruk adalah suatu konsep pemikiran yang secara khusus diciptakan

bagi suatu penelitian dan/atau untuk tujuan membangun teori. Konstruk dibangun

dengan mengombinasikan konsep sederhana, khususnya bilamana pemikiran atau

bayangan yang ingin dikomunikasikan tidak secara langsung dapat diamati53.

Selanjutnya dikemukakan oleh Ismail Nawawi54, konstruk adalah sesuatu yang

paling sulit diamati dan paling rumit untuk diukur. Ia cenderung terdiri dari

banyak konsep dan sangat abstrak. Para peneliti kadang-kadang merujuk

kesatuan-kesatuan ini sebagai konstruk hipotesis karena hanya dapat disimpulkan

melalui data, maka dianggap ada, tetapi perlu diuji lebih lanjut.

Pada akhirnya, jika peneliti membuktikan bahwa konsep-konsep dan

konstruk-konstruk dalam contoh ini saling berkaitan dan jika proposisi-proposisi

yang merinci hubungan ini dapat didukung, maka peneliti telah mempunyai awal

dari suatu skema konseptual untuk menggambarkan hubungan antara pengetahuan

dan persyaratan keterampilan yang akan menjelaskan upaya desain ulang

pekerjaan. Model55 dikonsepsikan sebagai suatu cerminan fenomena melalui

analogi. Suatu model dirumuskan sebagai cerminan suatu sistem yang dibuat

untuk mempelajari salah satu aspek dari sistem atau dari sistem sebagai

52 Ibid. 53 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Paradigma Positifistik Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: VIV Press, 2010 ), 175. 54 Ibid., 176. 55 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Kualitatif (Teori dan Aplikasi Interdisipliner untuk Ilmu Sosial, Ekonomi/Ekonomi Islam,Agama, Manajemen),(Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 26.

58

keseluruhan. Model dapat digunakan untuk tujuan-tujuan terapan atau teori-teori

yang sangat teoretis. Model digunakan untuk menjelaskan, menegaskan, dan

menstimulasi. Suatu model bukan merupakan penjelasan, ia hanyalah merupakan

struktur dan/atau fungsi dari suatu objek atau proses kedua. Sebuah model adalah

hasil dari penggunaan struktur atau fungsi dari suatu objek atau proses sebagai

model bagi objek atau proses yang kedua. Bilamana substansi apakah secara fisik

atau secara konseptual dari objek atau proses yang kedua diproyeksikan kepada

objek atau proses yang pertama, maka terbentuklah suatu model.

Beberapa pengertian model menurut pakar dan ahli dikonsepsikan sebagai

berikut, yaitu56 menurut Bill dan Hardgrave, model adalah sebagai suatu

gambaran teoritis yang disederhanakan dari dunia nyata; merupakan suatu

bangunan isomorphic dari realitas atau mendahului kenyataan. A.R.

Mustopadidjaja57 berpendapat bahwa model adalah teori dasar atau cara pandang

yang fundamental dilandasi nilai-nilai tertentu dan berisikan teori pokok, konsep,

asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dipergunakan para praktisi dalam

menanggapi suatu permasalahan tertentu. Pendapat lain oleh Gass, Roger I Sisson

eds, dan Willian Dunn, yang dikutip oleh Ismail Nawawi58 mengemukakan

pendapat bahwa model kebijakan (policy model) adalah representatif sederhana

mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu konsesi masalah yang disusun

untuk kondisi tertentu.

56 Ibid. 57 AR. Mustopadidjaja, Manajemen Kebijakan Publik, (Jakarta: LAN, 2000), 56. 58 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Paradigma Positifistik Ekonomi Islam dan Konvensional, 176.

59

Selanjutnya dikemukakan Ismail Nawawi59 bahwa model penelitian

merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan

spesifikasi elemen-elemen kondisi masalah penelitian. Model merupakan

rekonstruksi artificial dari realitas dalam masalah, merentang dari energi dan

lingkungan sampai masalah dalam topik penelitian, misalnya kemiskinan,

kesejahteraan manusia, berbagai kejahatan dalam masyarakat. Model penelitian

dapat dinyatakan sebagai konsep, diagram, grafik, atau persamaan matematika.

H. Aksioma Dasar Rancang Bangun Spritual Bisnis Islam

Konstruk dan model spiritual bisnis Islam dibangun dengan aksioma dasar

dari determinan norma shari>’ah, norma etika, norma transaksi, dan norma kreatif.

Masing-masing determinan tersebut berkolaborasi, membangun sebuah sistem

dalam spiritual bisnis, secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut60:

1. Norma Shari>’ah

Norma shari>’ah secara praktis merupakan rules shari>’ah yang tersedia

dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang

didapatkan sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang

akan diperoleh oleh masing-masing partisipan. Sementara itu dalam jangka waktu

tertentu, pencapaian ekonomi yang diperoleh partisipannya akan menentukan

pandangan terhadap rules yang digunakan saat ini.

59 Ibid., 189. 60 Penjelasan masing-masing determinan norma tersebut terdapat pada Ismail Nawawi, Isu-Isu Ekonomi Islam,Kompilasi Pemikiran dan Teori Menuju Praktik di Tengah Arus Ekonomi Global, Buku 4, Nalar Bisnis”, (Jakarta: VIV Press, 2012), pada Bab 1 s.d Bab 4.

60

Meminjam dari kerangka pemikiran tersebut, aturan main berinteraksi

dalam perekonomian yang mendasari dari ekonomi kelembagaan shari>’ah adalah

bersumber dari al-Qur’a>n, al-Hadi>th, dan ijma’ para ulama. Istilah shari>’ah

disebutkan dalam al-Qur'a>n surat Al-Ja>shiyah ayat 18, yaitu :

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu shari>'at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari>'at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.61 Dalam surah Al-H{ashr ayat 7 Allah SWT berfirman :

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.62

Cara melaksanakan shari>'at adalah mencontoh keteladanan Rasulullah

Saw, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ahza>b ayat 21 :

61 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 122. 62 Ibid., 916.

61

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.63

Secara operasional norma shari’ah dalam bisnis mencakup kondisi

normatif yang harus dipenuhi atau kewajiban dan secara kondisi normatif yang

harus ditinggalkan atau larangan dalam sistem bisnis.

Ada lima kondisi yang harus ditinggal dalam pelaksanaan bisnis64, yaitu:

a. Terbebas dari unsur riba.

Peristilahan riba dari segi bahasa (lughatan) artinya tambah (al-ziya>dah),

karena salah satu perbuatan riba meminta tambahan dari sesuatu yang

dihutangkan. Ada pendapat lain yang mengatakan berbunga (al-namu>), karena

salah satu perbuatan riba adalah membuat harta uang atau yang lainnya yang

dipinjamkan kepada orang lain. Arti lainnya adalah berlebihan atau

menggelembung (ihtiza>b wa raba>t).65 Pendapat lain dikemukakan oleh Syaikh

Muhammad Abduh, sebagaimana yang dikutip oleh Ismail Nawawi bahwa riba

ialah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta

kepada orang yang memimjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji

pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.66

63 Ibid., 667. 64 Ismail Nawawi, Isu-isu Ekonomi Islam, Nalar Bisnis, (Jakarta; VIV Press, 2012), 161. 65 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani, 2001), Hal. 37. 66 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, (Surabaya: PMN, 2010), 116.

62

Dalam kegiatan ekonomi bisnis dan investasi, Allah SWT dan Rasul-Nya

memberikan petunjuk (dali>l) dan rambu-rambu pokok yang harus ditinggalkan

oleh setiap muslim yang beriman. Di antara rambu-rambu menurut Ismail

Nawawi67 tersebut adalah riba yang tidak ada padanan pengganti (‘iwad{) yang

tidak dibenarkan shari>’ah yang disyaratkan oleh salah satu dari dua orang yang

berakad. Imam Badrudin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qa>ri mendefinisikan

“Riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”.

Definisi secara komprehensif dituangkan oleh Taqiyyudin Abi Bakr68 dalam

kitabnya Kifa>yah al-Akhya>r ”riba adalah setiap nilai tambah (value added) dari

setiap pertukaran emas dan perak (uang) serta seluruh bahan makanan pokok

tanpa adanya pengganti (‘iwadh) yang sepadan dan dibenarkan oleh shari>’ah.

Riba hukumnya adalah haram, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-

Baqarah ayat 275 :

...

... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ...69

Riba dibedakan menjadi tiga macam, yaitu riba nasi>’ah, riba fad}l dan riba

jahiliyah yang definisinya sebagai berikut70 :

1). Riba nasi>’ah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang

yang meminjamkan. 67 Ibid. 68 Taqiyyuddi>n Abu> Bakr ibn Muhammad al-Husaini al-Hushni , Kifa>yah al-Akhya>r fi> Ha>l al-Gha>yah al-Ikhtisha>r, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2001), 112. 69 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 69. 70 Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, 119.

63

2). Riba fad}l ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis,

tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan

mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi

dengan padi.

3) Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok

pinjaman, karena pemimjam tidak mampu mengembalikan dana

pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan.

Tabel 2.2

Tipe, Penyebab dan Cara Menghilangkan Faktor Penyebab

Tipe

Faktor Penyebab Cara Menghilangkan Faktor

Penyebab

Riba Fad}l Gharar

(uncertain to both parties)

Kedua belah pihak harus

memastikan faktor-faktor :

1. Kuantitas

2. Kualitas

3. Harga

4. Waktu Penyerahan

Riba Nasi>’ah Al-ghunmu bi la> ghurmi,

al-kharaj bi la> dhaman

(return tanpa risiko,

pendapatan tanpa biaya)

Kedua belah pihak membuat

kontrak yang merinci hak dan

kewajiban masing-masing untuk

menjamin tidak adanya pihak

manapun yang mendapatkan return

tanpa menanggung risiko, atau

menikmati pendapatan tanpa

menanggung biaya.

64

Riba

Jahiliyah

Kullu qardin jarra

manfa’atan fahuwa riba

(memberi pinjaman

sukarela secara komersial,

karena setiap pinjaman

yang mengambil manfaat

adalah riba)

1. Jangan mengambil manfaat apa

pun dari akad/transaksi

kebaikan (tabarru).

2. Kalaupun ingin mengambil

manfaat, maka gunakanlah

akad bisnis (tija>rah), bukan

akad kebaikan (tabarru).

b. Terhindar dari unsur gharar

Para pakar dan ahli fiqh mengemukakan konsepsi gharar dengan berbagai

macam formulasi definisi, di antaranya disebutkan gharar merupakan sesuatu

yang bersifat tidak pasti (uncertainty). Jual beli gharar berarti sebuah jual beli

yang mengandung unsur ketidaktahuan atau ketidakpastian (jaha>lah) antara dua

pihak yang bertransaksi, atau jual beli sesuatu yang objek akad tidak diyakini

dapat diserahkan.71 Sayyid Sa>biq72 mendefinisikan bahwa gharar adalah “setiap

jual beli yang mengandung sebuah ketidakpastian (jaha>lah), atau mengandung

unsur risiko atau perjudian”.

Wahbah al-Zuhaili>73 mengutip beberapa pengertian gharar yang

dikemukakan oleh para fuqaha yang maknanya hampir sama:

1). Al-Sharkasi dari madhhab Hanafi berpendapat, al-gharar ma> yaku>n masnu>r al-

‘aqi>bah, artinya: “sesuatu yang tersembunyi akibatnya”.

71 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 4, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), 161. 72 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 12, terj., Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), 53. 73 Wahbah al-Zuhaili>, Al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuhu, Juz IV, (Damascus, Syria: Da>r al-Fikr, t.t), 435-437.

65

2). Al-Qarafi dari Madhhab Maliki berpendapat, bahwa gharar adalah sesuatu

yang tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak seperti burung di

udara, dan ikan di air.

3). Al-Shirazi dari madhhab Syafi`i berpendapat, bahwa gharar artinya sesuatu

yang urusannya tidak diketahui dan tersembunyi akibatnya.

4). Ibn Taimiyah, berpendapat gharar ialah tidak diketahui akibatnya.

5). Ibn Qoyyim berpendapat gharar ialah yang tidak bisa diukur penerimaanya,

baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan

diri dan unta yang liar meskipun ada.

6). Ibn Hazm berpendapat, gharar itu ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli,

atau penjual tidak tahu apa yang ia jual.

Secara garis besar gharar dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok,74 yaitu :

a). Gharar dalam s}ighat akad, yang meliputi :

(1). Bai’ataini fi>> bai’ah, merupakan jual beli di mana dalam satu akad

ada dua harga yang dalam praktiknya tidak ada kejelasan akad (jaha>lah)

atau harga mana yang akan diputuskan. Bai’ataini fi>> bai’ah juga berlaku

jika dalam satu transaksi ada dua akad yang bercampur tanpa adanya

pemisahan terlebih dahulu.

(2). Bai’ al-kha>shah, yakni transaksi di mana penjual dan pembeli bersepakat

atas jual beli suatu barang dengan harga tertentu, dengan lemparan batu

74 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Al-Dhahir, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, terj., Saptono Budi Satryo dan Fauziah R., (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), 142-145.

66

kecil yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada yang lain dan

dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya akad, atau juga dengan

meletakkan batu kecil tersebut di atas barang, dan juga jatuhnya batu di

pihak mana pun yang mengharuskan orang tersebut melakukan transaksi.

(3). Bai’ al-mula>masah, yaitu adanya mekanisme tawar menawar antara dua

pihak atas suatu barang, dan apabila calon pembeli menyentuh barang

tersebut, maka dia harus membelinya, baik sang pemilik barang ridha

atau tidak, atau seorang penjual berkata kepada pembeli: “jika anda

menyentuh baju ini, maka itu berarti anda harus membelinya dengan

harga sekian, sehingga mereka menjadikan sentuhan terhadap objek akad

sebagai alasan untuk berlangsungnya transaksi jual beli.”

(4). Bai’ al-muna>badhah, adalah seorang penjual berkata kepada calon

pembeli : “jika saya lemparkan sesuatu kepada anda, maka transaksi jual

beli harus berlangsung di antara kita. Atau juga pihak penjual dan

pembeli melakukan tawar-menawar barang dan apabila penjual

melempar sesuatu kepada pembeli, maka ia harus membeli barang

tersebut. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima transaksi

tersebut. Transaksi jenis ini diartikan juga dengan gambaran seorang

penjual berkata kepada calon pembeli : “jika saya melemparkan barang

ini kepada anda, maka itu berarti saya jual barang ini kepada anda dengan

harga sekian.”

67

(5). Bai’ mu’allaq, yaitu transaksi jual beli di mana jadi tidaknya transaksi

tersebut tergantung pada transaksi lainnya, mekanisme transaksi terjadi

dengan instrumen-instrumen pernyataan (ta’li>q).

(6). Bai’ al-muza>banah, yakni jual beli buah kurma yang masih berada di

pohon dengan beberapa wasaq buah kurma yang telah dipanen.

(7). Bai’ al-mukha>dharah ; menjual buah yang masih hijau (belum masak)

yang masih berada di pohon sebelum layak panen.

(8). Bai’ h{abl al-h}aba>lah, adalah jual beli janin yang masih berada dalam

kandungan induknya.

(9). D{arbah al-ghawa>sh ; melakukan akad transaksi jual beli untuk barang

temuan yang akan ditemukan di kedalaman laut, sedangkan barang

belum diketahui dapat atau tidaknya barang diserahkan kepada pembeli.

(10). Bai’ al-muh{a>qalah ; melakukan transaksi jual beli tanaman tertentu

(bahan makanan pokok), seperti padi dengan sejumlah takaran makanan

tertentu.

(11). Bai’ al-nita>j ; transaksi jual beli sesuatu yang dihasilkan dari binatang

ternak sebelum dituai, seperti menjual susu sapi yang masih berada

dalam kantungnya, yang belum diketahui seberapa besar atau banyak

jumlahnya.

(12). Bai’ al-mud{a>f ; kesepakatan untuk melakukan akad jual beli untuk

waktu yang akan datang, gambaran dari transaksi ini adalah perkataan

seseorang kepada yang lain: “saya jual rumahku kepada anda dengan

68

harga sekian pada awal tahun depan, kemudian orang itu menjawab:

“saya terima”.

b). Gharar dalam objek akad75, yang meliputi :

(1). Ketidaktahuan (jahl) dalam sifat objek akad, yakni ketidak jelasan sifat

dari dari objek akad yang akan ditransaksikan. Para fuqaha berselisih

pendapat dalam mensyaratkan penyebutan sifat dari objek akad, agar

sebuah transaksi jual beli menjadi sah, akan tetapi mayoritas fuqaha

mensyaratkannya. Madhhab Hanafi melihat bahwa jika objek akadnya

melihat dalam transaksi, baik itu barang ataupun uang, maka tidak perlu

untuk mengetahui sifat dan karakternya. Madhab Maliki mensyaratkan

penyebutan sifat, bentuk, karakter karakter barang sebagai syarat sahnya

jual beli. Karena dalam transaksi jual beli jika sifat dan karakter barang

tidak disebutkan akan mengandung unsur gharar. Madhhab Syafi’i

mempunyai tiga perincian pendapat dalam pensyaratan atas penyebutan

sifat dan karakter objek akad agar transaksi tersebut menjadi sah, yakni :

(a) Tidak sah suatu jual beli sehingga disebutkan seluruh sifat dan

karakternya sebagaimana barang yang dipesan dalam sistem saham.

(b) Tidak sah suatu jual beli sehingga disebutkan sifat dan karakter

barang yang dikehendaki.

(c) Sah jual beli dengan tanpa penyebutan dari sifat dan karakter barang,

karena mekanisme khiya>r ru’yah masih berlaku bagi pembeli, maka

75 Ibid., 146.

69

sandaran berlaku atas ru’yah ini dan tidak perlu akan penyebutan

sifat dan karakternya.

Madhhab Hambali membolehkan jual beli yang objek akadnya tidak jelas

sifat dan karakternya. Jumhu>r fuqa>ha> membolehkan jual beli atas sesuatu yang

gaib dengan menyandarkan pada ru’yah yang pernah dilakukan, yaitu berdasarkan

pantauan pembeli sebelum waktu akad tiba, dengan adanya persyaratan tertentu

menurut sebagian mereka. Kemudian jika pembeli menemukan barangnya sesuai

dengan pantauan awal, maka jual beli menjadi keharusan, dan jika tidak sesuai,

maka pembeli memiliki khiya>r.76

Gharar dibagi secara kuantitas yang melekat pada sebuah akad. Ulama

membaginya menjadi 2 (dua) bagian, pertama gharar yang berkuantitas ringan

(yasi>r), dan yang kedua gharar berkuantitas banyak (kathi>r). Untuk jenis pertama

para fuqaha> sepakat tidak dapat dihindari, oleh karenanya mubah hukumnya,

sedangkan untuk jenis kedua para fuqaha bersepakat akan keharamannya.

Unsur gharar hanya dapat berpengaruh (menentukan sah tidaknya) dalam

akad mu’a>wadhah ma>liyah. Adapun dalam akad yang bersifat derma (tabarru’),

maka hal tersebut tidak berpengaruh dalam sah tidaknya sebuah akad. Madhhab

Maliki memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh madhhab lainnya dalam

permasalahan dimaksud, karena dalam madhab ini ada sebuah kaidah umum

tentang gharar dalam akad-akad tabarru’.Kaidah tersebut adalah “seluruh akad

76 Ibid.

70

tabarru’ tidak dapat dipengaruhi oleh unsur gharar dalam menentukan sah

tidaknya suatu akad.”77

Alasan pelarangan jual beli gharar menurut Syaikh al-Isla>m Ibnu

Taimiyyah selain karena memakan harta orang lain dengan cara yang batil, juga

merupakan transaksi yang mengandung unsur judi atau maysir (spekulasi).78

Gambar 2.2

Alur Gharar

c. Terhindar dari unsur judi

Judi (maysir) merupakan bentuk objek yang diartikan sebagai tempat

untuk memudahkan sesuatu. Dikatakan memudahkan sesuatu karena seseorang

yang seharusnya menempuh jalan yang susah payah akan tetapi mencari jalan

pintas, dengan harapan dapat mencapai apa yang dikehendaki, walaupun jalan

pintas tersebut bertentangan dengan nilai serta aturan shari>’ah.

Dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasi>t79 {, lafal maysir di-muradif-kan dengan

kata qimar. Sedangkan lafal qimar diartikan sebagai setiap bentuk permainan

77 Ibid. 78 Ibnu Taimiyyah, Mukhtas}ar al Fata>wa al Mis}riyyah, tah}qi>q: Abdul Majid Sulaim, (Kairo: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), 342.

Uncertain (tidak pasti)

Certain (pasti) Taghrir

71

yang mengandung unsur pertaruhan (judi). Dijelaskan pula dalam kitab tersebut

bahwa “maysir” adalah salah satu bentuk perjudian orang Arab pada masa

jahiliyah, dengan menggunakan azla>m, atau sebuah permainan yang

menggunakan aqidah dalam segala sesuatu.

Menurut Muhammad Ali> Al-S}a>bu>ni> dalam kitab tafsirnya Rawa>’i’ al-

Baya>n fi> Tafsi>r Ayat al-Ahka>m, judi adalah setiap permainan yang menimbulkan

keuntungan (ribh) bagi satu pihak dan kerugian bagi pihak lainnya.80 Senada

dengan ini, Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa judi adalah setiap permainan

yang mengandung untung atau rugi bagi pelakunya.81 Asy-Syaukani menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan maysir adalah setiap permainan yang pemainnya

tidak sunyi dari menang atau kalah.82 Dalam kitab Fath{ al-Ba>ry83 yang

dikemukakan oleh Ibrahim Husen yang disebut judi adalah apabila masing-

masing kedua pihak mengeluarkan taruhan, siapa yang menang akan mengambil

benda-benda yang dijadikan taruhan tersebut.

Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga dapat

disimpulkan sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala

permainan yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dan pihak pihak yang

menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah. Dengan demikian, dalam

79 Must{afa Ibrahi>m Ah{mad Hasan al-Zayya>t Hami>d Abdul Qodi>r Muhammad Ali an-Najja>r, Al-Mu’jam al-Wasi>t{, (Istambul: al-Maktabah al-Isla>miyyah, 1960), 236. 80 Muhammad Ali> Al-Sa>bu>ni>, Tafsi>r Aya>t Ahka>m Al-Sa>bu>ni (Rawa>i’ al-Baya>n fi Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m min al-Qura>n), Jilid 1. Terj. Mu`ammal Hamidy & Imron A. Manan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), 279. 81 Yusuf al-Qard}a>wi> , Al-Hala>l wa al-Hara>m fi> al-Isla>m, Terj. Muammal Hamidy, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990), 417. 82 Adib Bisri Mustafa, Terjemahan Nail al-Aut{a>r Jilid V, (Semarang: CV Asy- Syifa, 1994), 258. 83 Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath{ al-Ba>ry, (Beirut: Da>r al-Fikr, Juz, V), 413.

72

judi terdapat tiga unsur : (1) adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua

pihak yang berjudi), (2) ada suatu permainan, yang digunakan untuk menentukan

pihak yang menang dan yang kalah, dan (3) pihak yang menang mengambil harta

(sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi taruhan, sedang pihak yang kalah

akan kehilangan hartanya.

Allah SWT telah melarang segala jenis perjudian, sebagaimana dinyatakan

dalam al-Qur’a>n surat Al-Maidah ayat 90 :

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.84

Dalam ayat di atas tidak disebutkan ’illat-nya, tetapi dikemukakan

sebuah perbuatan yang kotor dan perbuatan setan, dan pernyataan tersebut tidak

dapat dijadikan ’illat. Hakikat judi menurut bahasa Arab adalah permainan yang

mengandung unsur taruhan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara

langsung atau berhadap-hadapan di dalam suatu majelis.85

Sifat yang dijadikan ’illat harus sebagai berikut 86:

1). Merupakan sifat yang jelas (kongkrit) yang dapat dicerna panca indera. 84 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 189. 85 Must{afa Ibrahi>m Ah{mad Hasan al-Zayya>t Hami>d Abdul Qodi>r Muhammad Ali an-Najja>r, Al-Mu’jam al-Wasi>t{, 237. 86 Ibid.

73

2). Merupakan sifat yang mund{abit artinya yang tetap karena situasi dan

kondisi.

3). Sifat muna>sif (relevan), artinya sifat yang dijadikan ’illat tadi

mengandung hikmah.

4). Sifat itu harus dibawa/dikembangkan pada kasus-kasus yang timbul

kemudian, ini dilakukan untuk diqiyaskan.

Ibn Taymiyyah87 menjelaskan bahwa ada dua mafsadah yang terdapat di

dalam judi, yaitu mafsadah yang berhubungan dengan harta dan mafsadah yang

berhubungan dengan perbuatan judi itu sendiri. Mafsadah yang berhubungan

dengan harta adalah penguasaan harta orang lain dengan cara yang batil. Sedang

mafsadah yang berhubungan dengan perbuatan, selain tindakan penguasaan itu

sendiri, adalah mafsadah yang bersifat efek samping yang ditimbulkannya

terhadap hati (jiwa) dan akal. Sementara masing-masing dari kedua mafsadah itu

memiliki larangan secara khusus.

Secara tersendiri, penguasaan terhadap harta orang lain dilarang secara

mutlak, walaupun tindakan itu dilakukan bukan dengan cara perjudian, seperti

larangan memakan riba. Oleh karena di dalam judi itu terdapat dua mafsadaħ

sekaligus, maka pengharamannya juga lebih kuat dibanding riba dan minum

khamar. Oleh karena itu jugalah pengharaman judi itu lebih dulu dibanding

pengharaman riba.884]

87 Ahmad 'Abd al-H}ali>m bin Taymiyyah al-H}ara>niy, Kutub wa Rasa>il wa Fata>wa> Ibn Taymiyyah fi >al-Fiqh, Juz 32, (t.t.: Maktabah Ibn Taymiyyah, t.th.), 237. 88 Ibid.

74

Gambar : 2.3. Maysir vs Hadiah

d. Terhindar dari unsur haram

Transaksi yang dilakukan oleh seorang muslim diharuskan terhindar dari

unsur haram. Sesuatu yang haram merupakan segala sesuatu yang dilarang oleh

Allah SWT dan Rasul-Nya. Kata ”haram” secara etimologi bermakna melarang.

Sesuatu yang haram berarti yang dilarang untuk melakukannya.89

89 Must{afa Ibrahi>m Ah{mad Hasan al-Zayya>t Hami>d Abdul Qodi>r Muhammad Ali an-Najja>r, Al-Mu’jam al-Wasit{ , 338.

Ketidak Pastian/ UNCERTAINT

Game of change

Game of skill

Natural event

Result of Game

Non-zero sum game

Zero sum game

HADIAH

MAYSIR

75

Secara garis besar sesuatu yang haram terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu

1). Haram secara zatnya seperti babi, khamr, darah, bangkai, perjudian dan

segala sesuatu yang dipersembahkan bagi selain Alah SWT.

2). Haram karena proses yang ditempuh dalam memperoleh sesuatu.

Makanan atau barang halal yang diperoleh dengan cara bat{il (mencuri,

merampok dan lainnya), menjadi tidak halal hukumnya.

3). Haram karena tidak sah akadnya, yaitu tidak terpenui rukun dan syaratnya.

Gambar 2.4

Pembagian Haram dan Unsur-unsurnya .

e. Terhindar dari unsur shubha>t

Kata shubha>t berarti mirip, serupa, semisal dan bercampur. Dalam

terminologi shari>ah, shubha>t diartikan “sesuatu perkara yang tercampur (antara

halal dan haram), akan tetapi tidak diketahui secara pasti, apakah ia sesuatu yang

halal atau haram, dan apakah ia hak ataukah batil.90

90 http://id.wikipedia.org/wiki/Syubhat#Definisi_Syubhat, (5 Desember 2013).

1. Babi 2. Khamr 3. Bangkai 4. Darah

1. Tadli>s 2. Taghri>r

(Gharar) 3. Ih{tika>r 4. Bai’ naja>sh 5. Riba

1. Tidak terpenuhinya rukun dan syarat

2. Terjadi ta’alluq 3. Terjadi “2 in 1”

HARAM

Haram selain zatnya

Tidak sahnya akad Haram zatnya

76

Rasulullah SAW bersabda :

صلى هللا علیھ : عنھما قال عن النعمان بن بشیررضي هللا سمعت رسول هللا

ول ق یر من - وسلم ی مھن كث عل ھات ال ی ینھما مشتب ین وب حرام ب ل ن ا ین وإ حالل ب ن ال إ

ھ وع دین ل ستبرأ د ا ق ات ف بھ لش قى ا من ات اس ف لن ي ا ات وقع ف بھ لش ي ا رضھ ومن وقع ف

حرام ل ال , ا ك حمى أ كل مل ن ل ال وإ یھ أ ع ف ق ن ی لحمى یوشك أ رعى حول ا اعي ی كالر

حت ص ذا صل إ جسد مضغة ل ي ا ن ف ال وإ محارمھ أ ن حمى هللا ذا وإ ھ وإ جسد كل ل ح ا ل

ب ل ق ل ال وھي ا ھ أ جسد كل ل 91)رواه مسلم( .فسدت فسد ا

Dari Abu> Nu’ma>m bin Bashi>r r.a., aku mendengar Rasulullah s}allalla>hu ‘alaihi wasallam bersabda: “yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara shubha>t (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang shubha>t berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara shubha>t, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan (larangan), dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah seluruh tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah seluh tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.

C. Norma Etika

Dalam bisnis tidak dapat dilepaskan dengan etika. Istilah yang identik

dengan etika92 adalah : (1) susila, dari bahasa Sanskerta, yang lebih berorientasi

kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su), (2) akhlak

dari bahasa Arab berarti perbuatan yang baik, (3) moral dari bahasa Latin

91 Sayyid bin Ibra>hi>m al-Huwaiti>, Sharh{ Arbai>n an-Nawa>wi>, terj. Muhammad Iskandar Shah Bin Abu Ahmid, (Jakarta: Da>rul H{a>q, 2006), 21. 92 Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, 24.

77

“Mores” yang berasal dari “mos” (tunggal) yang berarti adat kebiasaan. Dalam

bahasa Indonesia moral diartikan susila. Pengertian moral adalah sesuai dengan

ide-ide umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar sesuai

dengan ukuran-ukuran tindakan manusia yang oleh umum dapat diterima.

Dengan demikian jelas persamaan etika dengan moral, namun ada pula

perbedaannya, yaitu etika lebih banyak bersifat dengan teori, sedangkan moral

lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat etika memandang

laku perbuatan manusia secara universal, sedangkan moral secara lokal atau

terbatas. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu. Dalam bahasa

Indonesia, selain menerima perkataan ahklak dalam bahasa Arab, etika dan moral

juga dipergunakan beberapa perkataan dan tujuannya sama atau hampir sama

dengan akhlak tersebut, seperti susila, sopan santun, adat, perangai, tingkah laku,

perilaku dan kelakuan.

Etika merupakan cabang dari filsafat yang mencari kebenaran dan

keterangan akan kebenaran yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi

etika, ia mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah laku manusia, tentang apa

yang harus dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan.

1. Kebebasan berbisnis

Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan bisnis,

kebebasan ini tidaklah mutlak. Kebebasan dapat digunakan apabila tidak

bertentangan dengan shari>’at Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat

Al-Maidah ayat 1 :

78

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah ‘aqad-‘aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.93

Dalam bidang mu’a>malah, terdapat kaidah fiqih yang berisikan bahwa

“asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.94

Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Kaidah ini

berlaku untuk bidang mu’a>malat, tetapi tidak berlaku untuk bidang ibadah.

Kebolehan di bidang mu’a>malah ini terdapat dalam al-Qur’a>n pada surat ash-

Shu>ra ayat 21, sebagai berikut :

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.95

93 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<>n dan Terjemahnya, 157. 94 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 135. 95 Ibid., 783.

79

2. Persamaan atau kesetaraan dalam bisnis

Manusia dalam melakukan mu’a>malah selalu berinteraksi dengan orang

lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melandaskan persamaan dan

kesetaraan (al-musa>wah), sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nah{l

ayat 71 :

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.96

Kehidupan manusia itu tidak ada yang sempurna, masing-masing orang

mempunyai keistimewaan, sehingga satu sama lain dapat menutup kekurangan

yang lain untuk menuju kesempurnaan. Hal ini menunjukkan bahwa di antara

sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam surat

Al-Hujura>t ayat 13 Allah SWT berfirman :

96 Ibid., 402.

80

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.97

3. Asas keadilan

Manusia dalam melakukan transaksi dalam bidang bisnis harus

memberikan sesuai dengan haknya masing-masing atau berlaku secara adil (al-

‘ada>lah) yang berlandaskan pada shari>’ah Islam. Dalam asas ini, para pihak yang

melakukan perikatan dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak

dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua

kewajibannya. Dalam surat Al-Hadi>d ayat 25 disebutkan :

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi, yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan Rasul-rasul-Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.98

97 Ibid, 845. 98 Ibid., 904.

81

Dalam al-Qur’a>n surat An-Nah{l ayat 90 Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.99

3. Asas kerelaan (al-ridha>)

Dalam melakukan perjanjian bisnis, harus dilakukan dengan cara saling

suka-sama suka atas dasar kerelaan antara kedua belah pihak, sehingga tidak ada

yang merasa terpaksa.

Dalam surah An-Nisa> ayat 29 Allah SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.100

99 Ibid., 415. 100 Ibid., 122.

82

Ayat di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan suatu perdagangan

hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela. Tidak dibenarkan dalam suatu

perbuatan muamalat, perdagangan usaha dilakukan dengan pemaksaan ataupun

penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat membatalkan perbuatan tersebut. Unsur

sukarela ini menunjukkan keikhlasan dan itikad baik dari para pihak yang terlibat.

D. Norma Transaksi

Dalam pembahasan transaksi bisnis, transaksi merupakan kondisi yang

esensial dalam pelaksanaan bisnis. Konsep transaksi (akad) menurut Wahbah al-

Zuhaily>101, Shalah al-Sha>wi> dan Abdulla>h Mushlih102 adalah terbentuknya akad

dalam bisnis dapat dikategorikan menjadi syarat sah (s}ahih), rusak (fa>sid) dan

syarat yang batal (ba>t}il). Wahbah al-Zuhaily> menyebutkan beberapa ketentuan,

yaitu ketentuan yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat

substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat

(‘urf). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al- Maidah ayat 1

dan surat Ali Imra>n ayat 76 :

.

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...103

101 Wahbah al-Zuhaily>, Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuh, 501. 102 Shalah As-Sha>wi> dan Abdullah Mushlih, Ma> la> Yasa>’u al-Ta>jiru Jahlahu, (Riyadh KSA: Da>r al-Muslim, 2001), 401. 103 Departemen Agama RI, Al- Qur’a<n dan Terjemahnya, 56.

83

(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.104

Oleh karena itu, syarat pembentukan akad dibedakan menjadi syarat

terjadinya akad, syarat sahnya akad, syarat pelaksanaan akad dan syarat kepastian

hukum. Maksud dari syarat terjadinya akad, merupakan segala sesuatu yang

dipersyaratkan untuk terjadinya akad secara syari’at. Jika tidak memenuhi syarat

tersebut maka akadnya menjadi batal. Syarat sahnya akad dalam bisnis adalah

segala sesuatu yang disyaratkan syari’at untuk menjamin dampak keabsahan akad.

Jika tidak terpenuhi maka rusaklah akadnya.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abidin sebagaimana yang

dikutip oleh Ismail Nawawi, bahwa ada kekhususan syarat akad setiap terjadinya

akad. Ulama’ Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seorang dari enam kecacatan

dalam jual-beli, yaitu: kebodohan, keterpaksaan, pembatasan waktu, perkiraan,

ada unsur kemad{aratan dan syarat-syarat jual beli yang rusak (fa>sid).105

Berbagai unsur yang berkaitan dengan aplikasi transaksi akad menurut

Wahbah al-Zuhaily> adalah: (1) pihak-pihak yang berakad, (2) obyek akad

(ma’qu>d alaih), (3) tujuan akad (mawd}u>’ al-’aqd). (4) ijab – qabul.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ismail Nawawi106 : (1) aktor akad, (2)

obyek akad (ma’qu>d alaih), (3) substansi akad atau tujuan (maud}u>’ al-’aqd), (4)

serah terima (ijab – qabul), (5) administrasi, (6) kepastian hukum.

104 Ibid., 75. 105 Ismail Nawawi, Perbankan Syari’ah, (Surabaya: Viivpress, 2011), 48. 106 Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, Hukum Ekonomi, Bisnis dan Sosial, 36-37.

84

Penjelasan dari masing-masing pendapat tentang transaksi atau akad yang

disebutkan di atas, secara substantif, dapat dijelaskan sebagai berikut 107:

1. Aktor akad adalah penjual dan pembeli atau pihak-pihak yang bertransaksi

(a>qid). Pengertian a>qid ialah orang yang berakad, baik terdiri dari satu

orang atau lebih. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki

kecakapan dan hak (wilaya>h/a>qid as}li) dan terkadang merupakan wakil dari

yang memiliki hak (fud{u>l).

2. Obyek akad (ma’qu>d ‘alayh) adalah benda-benda yang dijadikan sebagai

obyek akad, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam

akad hibah (pemberian), dan dalam akad gadai.

3. Subtansi akad (mawd}u>’ al-‘aqd) adalah maksud dan tujuan yang ingin

dicapai dalam akad yang dilakukan. Hal tersebut menjadi penting karena

berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Berbeda akad, maka berbedalah

tujuan pokok akad.

4. Serah-terima (i>ja>b-qabu>l) adalah berbentuk i>ja>b dan qabu>l. I>ja>b adalah

permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai

gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabu>l ialah

perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah

adanya i>ja>b. Pengertian i>ja>b qabu>l dalam pengamalan dewasa ini ialah

bertukarnya sesuatu dengan yang lain, sehingga penjual dan pembeli dalam

107 Ibid., 212.

85

membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya seseorang yang

membeli tiket pesawat terbang dengan pemilik pesawat tersebut tapi hanya

membeli tiket melalui travel.

5. Administrasi. Secara rinci kegiatan admimistrasi adalah tugas pelayanan

pada konsumen dalam menunjang transaksi atau akad di sekitar keterangan

atau informasi dan kegiatan yang berwujud berupa informasi dan

dokumentasi.

6. Kepastian hukum dalam transaksi jual beli yakni terhindarnya dari

beberapa pilihan (khiya>r) dalam jual beli, seperti khiya>r sarat, khiya>r ’aib,

dan khiya>r lainnya. Jika luzu>m tampak, maka akad batal atau

dikembalikan.

Ketentuan dalam pelaksanaan transaksi atau akad yang disebut merupakan

segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua

kehendak atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan isyarat,

atau korespondensi. Menurut pendapat mayoritas atau jumhur ulama’, rukun akad

dijelaskan secara terperinci, yaitu adanya pihak-pihak yang berakad (a>qid), obyek

akad (ma’qu>d ‘alaih) dan ungkapan (sighat).

E. Norma Kreatif

Dalam bisnis, perlu ada kemampuan berpikir kreatif dan tindakan

konstruktif untuk mewujudkan berbagai pola produksi dan layanan dengan

identifikasi peluang dan jenis usaha yang akan atau sedang dikembangkan

menjadi usaha yang produktif. Orang-orang yang cerdas dan kreatif selalu

86

berusaha mencari tahu apa fenomena yang nampak, dan terus mengembangkan

nalarnya sampai dia mengungkapkan esensi dari kenyataan itu.

Kreatifitas dan kecerdasan manusia dalam memahami dan menganalisis

bisnis terbangun atau terkonstruksi dari,108 pertama IQ (Intelligence Quotient),

yakni kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio. Ke dua SQ (Spiritual

Quotient) adalah kemampuan merasakan, memahami dan kepekaan emosi sebagai

sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Ke tiga EQ

(Emotional Quotient), yaitu kecerdasan untuk menangkap makna sebuah perilaku

dalam konteks yang lebih luas dan mengarah pada perilaku yang konstruktif dan

positif. Oleh karena itu Allah SWT mengingatkan agar senantiasa menghindari

perbuatan dhalim dalam bisnis, termasuk dalam penciptaan, penawaran dan proses

perubahan nilai dalam pemasaran. Allah SWT berfirman dalan surat As{-S{a>d (38)

ayat 24 :

Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan

108 Taufik Pasiak, Revolusi IQ, EQ, SQ ; Antara Neurosains dan Al Qur’an, (Mizan: Bandung, 2002), 38.

87

sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.109

Oleh karena itu Allah SWT mengingatkan kepada pebisnis, para marketer

dan para pengusaha muslim, melalui firmanNya dalam al-Qur’a>n surat Al-Maidah

(5) ayat 1 :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.110

Dalam perkembangan ekonomi Islam dewasa ini harus mampu

mengembalikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bisnis. Dalam dunia bisnis

muncul kesadaran akan pentingnya etika, kejujuran dan prinsip-prinsip Islam

lainnya. Pelaku bisnis secara Islami tentunya meneladani bisnis Rasulullah Saw,

yang memberikan contoh kepada manusia cara berbisnis yang berpegang teguh

kepada kebenaran, kejujuran, sikap amanah serta tetap memperoleh keuntungan.

Rasulullah Saw merupakan prototipe sukses dalam melakukan spiritualisasi

marketing. Oleh karena itu contoh Rasulullah Saw dengan mengutamakan nilai-

109 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 733. 110 Ibid., 532.

88

nilai spiritual Islami merupakan tindakan yang sangat terpuji yang direkomendasikan

dengan ayat-ayat Allah SWT dalam al-Qur’a>n.

Manusia adalah makhluk yang dianugrahi oleh Allah SWT berupa naluri,

yang mendorong untuk memperoleh kemanfaatan yang disenangi, dan

menghindarkan kemad{aratan yang tidak berguna bagi manusia. Allah SWT

berfirman dalam surah Ali Imra>n ayat 14 :

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).111

Naluri merupakan fitrah sebagai sarana manusia, sebagai khalifah di muka

bumi dan sebagai upaya memakmurkan bumi dengan menggunakan potensi akal

pikiran, rasa, karsa, hati dan nafsu. Dengan ke lima potensi tersebut manusia mampu

merekayasa dan memperoleh kebutuhannya sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dalam spiritualisasi marketing dirancang berdasarkan tiga kombinasi112,

yaitu :

111 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 77. 112 Ismail Nawawi, Kewirausahaan Bisnis, (Surabaya:VIVpress, 2011), 55.

89

1. Pemasaran pada tingkat kecerdasan intelektual, fokusnya adalah strategi

program yang terkait dengan product, place, price, promotion-marketing mix,

deferesiasi marketing dan selling.

2. Pemasaran pada tingkat kecerdasan emosional/feeling/rasa, ditandai dengan

hadirnya konsep customer relationship, emotional branding dan experental

marketing. Pemasaran pada tingkat ini intinya memasukan value emosional

untuk memanjakan pelanggan dan menciptakan pengalaman baru dalam

mengkonsumsi produk.

3. Pemasaran pada kecerdasan spiritual, pemasaran yang dibimbing dengan nilai-

nilai akidah, yaitu kecerdasan (fat{a>nah), kepercayaan (ama>nah), kejururan

(s{iddi>q) dan komunikatif (tabli>qh) yang disebut dengan soul marketing yang

telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Pemasaran spiritual mendorong

marketer agar menjadikan pasar itu sebagai ibadah untuk menciptakan

kemakmuran dan dakwah fastabiq al khaira>t.

Tabel 2.5

Varibel Spiritualisasi Marketing

Spiritual Akal

Pikiran/Rasio/Logika Rasa / Emosi

Naruli/ Karsa/

Psikomotor

Soul

Marketing

Strategi Customer

Relationship Implementasi

Marketing Program Emotional

Branding

Value Experiental

90

marketing

Differensiasi

Selling

Aktivitas pemasaran dilakukan atas dasar bimbingan firman Allah SWT

dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th Rasulullah Saw, sehingga memungkinkan pemasaran

itu menjadi ibadah dalam mencari keuntungan yang memiliki nilai-nilai tinggi,

karena baik proses maupun hasilnya tidak bertentangan dengan shari>’at Islam.

Aktivitas itu akan mampu menghasilkan manfaat bagi orang banyak, menjadikan

Allah SWT sebagai backing aktivitas ekonomi yang dilakukan, sebagaimana firman

Allah SWT dalam surat Al-An’a>m ayat 162 dan 163 :

Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".113

Berikut ini disajikan tabel kompilasi norma dan variabel spiritual bisnis

Islam :

113 Departemen Agama RI, Al-Qur’a<n dan Terjemahnya, 216.

HATI VERSUS NAFSU

91

Tabel 2.6

Kompilasi Norma dan Variabel Spiritual Bisnis Islam

Nomor Norma Variabel

1. Shari>’ah 1. Terbebas dari unsur riba.

2. Gharar

3. Maysir

4. Haram

5. Shubhat

2. Etika 1. Kebebasan berbisnis

2. Persamaan dan kesetaraan

3. Kemaslahatan dan manfaat.

4. Keadilan

5. Kerelaan

3.

Transaksi

1. Aktor transaksiator.

2. Obyek transaksi

3. Subtansi bisnis

4. Kepastian hukum

5. Administrasi

6. Ijab-qabul

4. Kreatif 1. Strategi

2. Program

3. Nilai

4. Deferensiasi

5. Penjualan (Selling)

Dari tabel 2.6 tentang kompilasi norma dan variabel spiritual bisnis Islam di

atas, dapat dirumuskan proposisi sebagai berikut : “Spiritual bisnis Islam

92

dibangun dengan dukungan determinan norma shari>’ah, etika, transaksi dan

norma kreatif dalam kerangka sistemik.”