bab ii analisis struktur 2.pdfuntuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, aristoteles ... pada...
TRANSCRIPT
12
BAB II
ANALISIS STRUKTUR
2.1 Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah
cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara
kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi
dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan
berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal
yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap
karakter, kilasan-kilasan panangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang
menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2012:26).
Menurut Wiyatmi, (2006:36) alur adalah rangkaian peristiwa yang disusun
berdasarkan hubungan kausalitas. Alur dibagi dalam tiga bagian, yaitu: awal, tengah,
dan akhir. Oemarjati (dalam Mido, 1994:41) mengatakan bahwa alur adalah struktur
penyusunan kejadian-kejadian cerita secara logis. Perlu ditekankan bahwa rangkaian
kejadian itu saling terjalin dalam kausalitas. Tanpa hubungan kausalitas, rangkaian
kejadian peristiwa tidak dapat disebut alur.
Konflik dapat berupa konflik internal (konfllik pada diri sendiri), konflik
eksternal (konflik antartokoh cerita). Pada tahap tengah inilah klimaks ditampilkam,
13
yaitu konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi. Selanjutnya, tahap akhir disebut
juga tahap peleraian (antiklimaks) yang menampilkan adegan tertentu sebagai akibat
klimaks. Bagian antiklimaks ini berisi bagaimana kesudahan cerita, bagaimana akhir
sebuah cerita. Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles
mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap
tengah (middle), tahap akhir (end) (Abrams, 1981:138).
2.1.1 Tahap Awal
Tahap awal alur disebut sebagai perkenalan. Pada tahapan ini sedikit demi
sedikit konflik mulai dimunculkan pada tokoh Anta. Pada tahap ini peristiwa berjalan
datar. Pada tahap awal novel GLJ, digunakan alur mundur atau flashback. Hal ini
dapat dilihat pada saat Anta menceritakan dirinya ingin digugurkan oleh Ibunya.
Ibunya tidak ingin menambah beban keluarga, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Ayahku hanyalah seorang Guru, dan di tahun 1970-an gajinya tak seberapa.Ibuku tidak menginginkan kelahiran anaknya yang ke-5,karena hal itu akansemakin memperberat beban keluarga. Oleh karena itu, ketika ia tahubahwa ia hamil anaknya yang ke-5, segera ia bertanya kepada tetangga:“Apakah yang harus saya lakukan untuk menggugurkan kandungan saya?”dan seorang tetangga menyarankan agar ibuku meminum anggur botolan.Ibuku menurutinya, ia membeli satu botol anggur, sedikit demi sedikit iameminumnya. Akhirnya ia menghabiskan satu botol. Ia merasa lega, usiakandungannya yang masih satu bulan akan segera keluar fetusnya. Iamenanti dan menanti, Namun alangkah kagetnya ia, karena kandungannyaterus tumbuh (Samsara, 2012: 4).
Pada tahap awal ini diceritakan, bahwa keluarga Anta mengalami masalah
ekonomi. Ibu Anta terkejut saat mengetahui dirinya hamil anak ke-5, Kemudian ibu
14
Anta yang tidak menginginkan kelahiran Anta dan mencoba menggugurkannya.
Segala cara sudah dilakukan untuk menggugurkan kandungannya tetapi tidak
berhasil, hal ini jelas berbahaya bagi keselamatan dan juga dilarang oleh agama.
Pada tahap ini juga diceritakan, Anta memiliki teman bernama Rahmat dan
Ading. Ketika sedang asyik bermain korek api datanglah ibu Anta yang melarang
Anta bermain korek api, dan menyuruhnya untuk pulang. Anta menuruti saja
perintah ibunya. Sejak kejadian itu Anta tidak diijinkan lagi bermain dengan teman-
temannya, seperti terlihat dalam kutipan bawah ini.
Hei Anta, jangan bermain korek api! Kemarikan koreknya!” Ia merebutkorek api itu dari tanganku, lalu berkata lagi, “Ayo sekarang pulang kerumah!” aku percaya ibuku adalah seorang yang baik, dan akumenurutinya. Namun sesampainya di rumah, ayah dan ibuku memarahikuhabis-habisan karena ternyata sebagai seorang anak sekolah, aku tak tahuakan bahaya kebakaran. “Sudah mulai besok, tidak perlu lagi bermaindengan anak tetangga! Semuanya nakal-nakal!”, begitu kata ayahku(Samsara, 2012:11).
Anta adalah anak penurut, karena itu orang tuanya menyayangi dan melarang
Anta bermain korek api bersama teman-temannya. Mereka masih kecil dan tidak tahu
bahayanya bermain korek api . Sejak saat itu Anta dilarang keluar rumah, dan ia
mulai terbiasa bermain di rumah dengan imajinasinya, menganggap semua benda
mati seperti hidup. Sebaiknya orang tua tidak keras melarang anaknya bermain
bersama teman-temannya, bicarakan semua masalah dengan baik kepada anak, tidak
selalu dengan cara memarahinya. Biarkan ia bermain, beri penjelasan bahaya yang
ditimbulkan korek api.
15
Selanjutnya, diceritakan Anta mulai berimajinasi dengan benda-benda
permainannya. Perlahan-lahan Anta mulai melupakan kehidupan sosialnya dan lebih
memilih untuk mengurung diri di rumah bersama permainan imajinasinya,
sebagaimana tertera dalam kutipan berikut.
Dengan kekuatan imajinasiku, aku pun mengubah segala bentuk bendapermainanku. Sapu lidi kubuat menjadi kuda-kudaan, kasur yang sedangtak dipakai kubuat menjadi bergelung dan aku tinggal menjadi manusiagua di dalamnya. Wadah permen dari kaleng kuberi busa di dalamnya, dankubuat menjadi koper tempat penimpan benda-benda, aku membayangkandiriku adalah agen rahasia yang membawa senjata dalam koper ke manapun aku pergi. Perlahan-lahan aku mulai melupakan tetangga-tetanggaku,mereka pudar bersama waktu. Tahun demi tahun berlalu, aku menjaditerbiasa berkurung di rumah (Samsara, 2012:12).
Ketika duduk di SMU Sumedang, Anta mempunyai sahabat karib bernama
Wahyudin. Anta senang bersahabat dengan Wahyudin, karena dia mau menerima
Anta apa adanya, terutama penyakit gangguan jiwa yang dideritanya. seperti terlihat
dalam kutipan di bawah ini.
Wahyudin adalah sahabat akrab pertama yang kukenal ketika akumemasuki SMU. Ia orang yang pertama kali tahu kalau aku menderitagangguan kejiwaan. Ia tak pernah mengejekku atau menolak aku.Sebaliknya ia malah memberi aku semangat agar aku terus maju danpantang mundur, jangan putus asa (Samsara, 2012:19).
Setelah lulus SMU, Anta pergi ke rumah kakak ketiganya di Bekasi, untuk
mencari pekerjaan, namun gagal. Akhirnya, Anta memutuskan berangkat ke
Tangerang untuk menjaga anak-anak kakak pertamanya.
16
Kakak ipar Anta mulai menunjukkan sikap antipatinya. Anta tersinggung dan
memutuskan untuk kembali ke Bekasi. Dari Bekasi Anta memutuskan untuk pulang
ke rumahnya di Sumedang. Anta mulai tersisih dari pergaulan sosial. Tetangganya
mulai mencemooh dirinya, bahkan memukul-mukul tembok untuk melampiaskan
perasaan tidak sukanya pada Anta.
Hari demi hari orang yang mendahak, meludah, dan memukul temboksemakin banyak saja. Bahkan sembarang orang yang lewat pun mulaimelakukannya. Mereka semua benci padaku. Dan aku benar-benar tidakterima, aku mulai meneriaki mereka, namun bukannya mereda, merekamalah semakin meningkatkan intensitas perbuatan mereka. Aku tidak tahuharus berbuat apa. Pada suatu siang, aku mendengar tetanggaku yangsedang berkerumun mengataiku.
Aku terkejut, betapa kasar kata-katanya.
“Gila kamu!”
“Sinting!”
“Manusia tolol! (Samsara 2012:30—31).
Sebagai masyarakat tidak seharusnya bersikap kasar terhadap seseorang yang
mengalami gangguan kejiwaan. Ia juga butuh motivasi untuk bisa sembuh, diterima
dalam pergaulan sosial. Walaupun ia memiliki perbedaan dengan manusia normal
lainnya, tetapi ia juga layak berada dalam pergaulan sosial.
2.1.2 Tahap Tengah
Tahap tengah alur disebut pertikaian, menampilkan konflik demi konflik yang
semakin tajam dan menegangkan. Oleh karena itu, wajar apa yang dikemukakan oleh
Nurgiyantoro (2010:145) bahwa bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang
17
dari karya fiksi yang bersangkutan. Pada tahapan ini Anta mulai dirawat di Poli
Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangoenkusumo. Ia merasa bahwa semua yang
dialaminya bukanlah halusinasi, karena begitu nyata baginya. Trauma yang dialami
oleh Anta kemudian berubah menjadi ketakutan terhadap manusia lain. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Sementara itu traumaku lama-kelamaan menjelma menjadi ketakutanterhadap manusia. Aku jarang keluar rumah bukan lagi karena inginberkurung diri tapi karena aku takut bertemu dengan orang lain. Bahkanjika aku naik bus, aku harus duduk di pinggir jendela hanya untukmenghindari tatapan mata orang yang duduk di sebelahku (Samsara,2012:35).
Konflik selanjutnya terjadi pada saat Anta dan keluarganya memutuskan untuk
pindah ke Sumedang. Antapun menolak karena dia malu dengan teman-teman SMU-
nya. Anta tidak mau sampai mereka tahu bahwa Anta memiliki gangguan jiwa.
Ibunya dan Yayan mulai mempertimbangkan daerah Sumedang, karena keluarganya
banyak yang tinggal di sana. Semula Anta menolak, namun karena dibujuk terus-
menerus, akhirnya Antapun setuju. Tetangga dekat rumah Anta yang baru adalah
seorang pelukis.
Suatu hari anak kedua tetangga Anta, yang bernama Ajat datang dari Jakarta.
Dari Jakarta ia ke Bandung dan di sana ia tertangkap basah sedang mabuk-mabukan.
Namun, Anta tetap ingin berkenalan dengannya. Ajat memperlihatkan sikap tidak
sukanya kepada Anta.
18
Melihat keadaan ini, Ibu Anta menjadi khawatir tentang perkembangan
kejiwaan Anta. Kekhawatiran ibu semakin besar menyebabkan matanya mulai rabun
karena rasa cemas yang berlebihan. Badannya semakin lemah, hingga pada suatu hari
kondisi ibunya begitu lemah dan parah. Kondisi Anta yang pada saat itu juga sedang
parah-parahnya, hanya bisa miris melihat kondisi Ibunya. Ibunya diajak
memeriksakan diri ke RSCM, Hasil CT scan menunjukkan ibu menderita tumor otak,
yang diderita sejak masih remaja. Ibu Anta terus-menerus koma dan keadaannya
yang semakin memburuk, hingga suatu hari Ibu Anta meninggal dunia. Anta benar-
benar dalam kondisi sedih karena kehilangan ibunya yang begitu melindungi
menyayanginya, sebagaimana tertera dalam kutipan berikut.
Aku dapat merasakan kehilangan yang medalam dalam diriku. Akuberusaha untuk tidak menangis, akan tetapi aku tak dapat membohongiperasaanku bahwa aku amat berduka. Air mataku memang tidak mengalir,namun hatiku remuk-redam. Aku telah kehilangan seseorang yang selamaini melindungi dan menyayangi diriku, dan aku yakin ia tak tergantikanoleh orang lain. Malam itu adalah malam yang paling kelabu dalamhidupku walaupun tak diiringi oleh air mata yang mengalir. Malam itudiriku dipenuhi dengan tangisan tanpa air mata (Samsara, 2012: 47).
Setelah Ibu Anta meninggal, kakak Anta yang di Tanggerang bersedia
menggantikan posisi Ibu. Ia mengantar Anta berobat ke rumah sakit Sanatorium
Darmawangsa. Anta menolak masuk ke Sanatorium Darmawangsa, namun kakak
Anta terus membujuknya. Penyakit Anta semakin parah sehingga kakak Anta
19
menginginkan psikiater terbaik. Anta terus menolak hingga akhirnya Anta
menyetujui saran kakaknya.
Selanjutnya, Anta hanya 10 hari dirawat di Sanatorium Darmawangsa. Setelah
itu Anta masuk pengajian dan dirawat di sana. Ia merasa tidak tenang berada di
tempat pengajian tersebut. Ia memutuskan untuk dirawat di RS Marzoeki Mahdi,
Bogor. Pada saat Anta dirawat di RS Marzoeki Mahdi dan Yayan pada waktu itu
berada di rumah kakak ketiganya. Terjadilah pertengkaran antara Yayan dengan
kakak ketiganya.
Pada bulan puasa, Yayan mengeluh dadanya sesak. Ia sudah minum obat
sesuai resep dokter, namun keadaan Yayan semakin parah. Beberapa hari setelah
lebaran Yayan meninggal. Kepergian Yayan membuat Anta merasa terpukul dan
tidak percaya Yayan meninggal. Yayan yang begitu keras, kasar, telah meninggal
dengan tenang. Anta sendiri lagi, karena ibu dan kakak lelaki yang paling dekat
dengannya sudah lebih dahulu meninggal.
Setelah Yayan meninggal, Anta mencoba mencari pekerjaan. Ketika ada
tetangga menawarkan Anta untuk bekerja sebagai office boy di sebuah kantor, Anta
setuju, melamar dan langsung diterima. Anta mulai mengenal banyak orang dan
rajin bekerja. Suatu hari Anta tidak bisa lagi melawan penyakit jiwanya, Anta
menghindari kerumunan orang dan ingin menyendiri. Akhirnya, Anta memutuskan
berhenti bekerja. Ke luar dari pekerjaannya Anta semakin merasa tersiksa, karena
20
halusinasinya semakin parah. Ia juga merasa tetangganya mulai sering
membicarakannya. Suara tetangganya semakin keras meledeknya jika Anta
melakukan aktivitas yang mengeluarkan suara, sebagaimana tertera dalam kutipan
berikut.
Setelah keluar dari pekerjaan, aku habiskan sisa tahun 2005 denganketersiksaan. Karena aku menyendiri lagi, halusinasiku parah lagi. Akusering mendengar para tetangga membicarakan keburukanku di jalanan dimuka rumah tempat kami tinggal. Aku sering mendengarnya saat dikamarku, di lantai atas. Ketika aku melakukan aktivitas yangmengeluarkan bunyi, suara-suara tetanggaku itu semakin kerasmeledekku:
“Dasar gila!”
“Sakit!”
“Sinting, luh! (Samsara, 2012: 95)
Keputusan Anta untuk keluar dari pekerjaannya, karena ia merasakan
penyakitnya kambuh lagi. Anta berusaha memperbaiki kehidupannya dengan mulai
bekerja, memberanikan diri untuk bertemu orang banyak. Awalnya Anta sudah mulai
terbiasa dengan kehidupan sosialnya yang baru, tetapi penyakit gangguan jiwanya
kambuh lagi, ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Setidaknya Anta sudah mencoba
untuk memperbaiki kehidupannya, walaupun penyakit gangguan jiwa terus kambuh.
Karena penyakit Anta semakin menjadi-jadi, kakak Anta menegurnya, saat
mengetahui ia keluar dari pekerjaan, karena penyakit gangguan jiwanya kambuh.
Kakaknya tak tahu harus melakukan apa untuk menyembuhkan Anta. Suatu ketika
bibi Anta yang tinggal di Ciamis menghubungi kakak pertama Anta dan
21
memberitahu bahwa ia mengenal seorang ulama yang mampu membantu Anta. Anta
tidak bisa menolak keputusan kakaknya untuk berangkat ke pesantren yang
dimaksud oleh bibinya, walaupun bertentangan dengan hatinya, sebagaimana tertera
dalam kutipan di bawah ini.
“Aku tiba dengan rasa ngeri. Aku melihat bagaimana pasien-pasienbergeletakan begitu saja di lantai masjid. Kulihat atap masjid itu:Pesantren R. kami diterima oleh asisten Pak Kyai, karena Pak Kyai sedangke Semarang, maka kami dipersilahkan untuk menginap di ruang sampingrumahnya hingga ada keputusan dari Pak Kyai. Pak Kyai pulang tengahmalam. Ia tak langsung berbicara dengan kami. Aku tak tahu mengapa.Padahal kami telah jauh-jauh untuk datang ke sini. Kami baru diajakbicara keesokan harinya. Nama ulama itu Kyai H. Ia menjelaskan bahwaaku harus menginap di dalam masjid karena ia telah menempatkan ribuanjin di sana untuk mengusir jin yang ada dalam tubuh orang yang menderitagangguan jiwa yang dirawat di sana” (Samsara 2012: 98).
Anta menjalani hari-harinya di pesantren dengan jenuh, karena pasien di sana
tidak diberikan kegiatan apapun. Pada malam hari halusiansi Anta memuncak
sehinga ia merasa gelisah dan tidak bisa tertidur lagi. Keesokan harinya Anta
mencoba untuk berdoa dan menenangkan pikirannya, hal ini tampak pada kutipan di
bawah ini.
Aku diserang rasa cemas, jangan-jangan halusinasiku kumat lagi. Akugelisah lagi, hingga pagi, siang, sore, dan malam kembali pikiranku takdapat tenang juga. Aku mulai salat tasbih pada malam hari. Keesokanharinya aku memohon kapada Allah agar jika aku berdosa, dosakudiampuni. Aku berdoa dalam khalwatku agar Ia jangan mengembalikkanpenyakitku seperti semula. Aku ingin bebas selama-lamanya daripenyakitku dan janganlah membuatku dikuasai oleh halisinasiku lagi(Samsara, 2012:108—109).
22
Kecemasan yang dirasakan Anta, karena ketakutannya terhadap halusinasinya
sendiri. Sehingga menyebabkan ketenangannya terganggu. Setelah melakukan sholat
tasbih, Anta baru merasa tenang. Dalam keadaan apapun yag membuat seseorang
tidak tenang, mintalah ketenangan kepada Tuhan, karena dengan kembali pada-Nya
adalah jalan terbaik.
Semakin hari, para santri semakin sering bersikap tidak bersahabat dengan
Anta. Mereka sering mengeluarkan kata-kata kasar kepada Anta, dan hal itu
menyakitkan hatinya. Untuk mengatasi hal tersebut Anta biasanya menggunakan
walkman dan menyetelnya keras-keras. Pasien-pasien di sana ingin memiliki
walkman milik Anta dan Anta pun terpaksa memberinya.
Anta tersiksa menjalani malam tanpa walkmannya itu. Penyakit gangguan
jiwanya mulai menyerang semakin kuat. Dia memutuskan untuk kabur dari pesantren,
dengan sisa uangnya dia naik bus menuju Ciamis rumah bibinya.
Aku tak tahan lagi. Aku akhirnya memutuskan untuk kabur. Aku pergipada dini hari yang sepi. Uang ada ditanganku, ongkos bukanlahmasalah. Pada pagi hari aku naik bus dan turun di sebuah persimpanganjalan di kota Cilacap yang ditunjukkan oleh kondektur sebagai perhentianbus menuju Ciamis. Aku memanga akan ke sana, menuju rumah bibiku.Karena bila aku ke rumah kakakku di Tangerang atau Bekasi ongkosnyatidak mencukupi. Dari Ciamis aku akan mencoba menghubungi kakakkuagar dijemput pulang (Samsara, 2012:112).
Setelah sholat jumat Anta langsung berangkat ke rumah bibinya dengan
berjalan kaki, karena jarak antara masjid dan rumah bibinya tidak jauh. Tiba di sana
23
bibinya tidak ada. Di sana hanya ada sepupu Anta yaitu Mimi dan suaminya, Bagas.
Keesokan harinya Anta menelpon kakak ketiganya. Ternyata kakak ketiga langsung
menelpon kakak pertamanya. Sehari kemudian, kakak pertama Anta datang dengan
bus malam dan marah kepada Anta, karena ia kabur dari pesantren.
Suatu pagi neneknya Andi (teman satu pesantren) memberi tahu kakak Anta
bahwa ia baru saja menemukan petirahan (tempat beristirahat untuk berobat atau
memulihkan kesehatan dalam islami). Andi yang merupakan salah satu pasien dari
pesantren itu juga merasa tidak nyaman dengan pengobatan di pesantren Pak Kyai
H. Pengakuan Pak Kyai H bahwa ia adalah satu-satunya orang yang mengobati
gangguan jiwa dengan cara Islami. Nenek Andi ingin sekali memindahkan Andi ke
petirahan yang lain tetapi Pak Kyai H tidak mengizinkannya, kebetulan juga di
pesantren Pak Kyai H, Andi punya banyak kawan. Hal itu yang membuat nenek
Andi semakin bingung. Kemudian neneknya Andi memberikan petunjuk di mana
kakak Anta bisa menemukan tempat itu. Kemudian Anta kabur dari pesantren. Anta
bertemu dengan Pak J yang menyambutnya dengan ramah.
Aku bertemu dengan tangan kanan Pak J namanya Achmad. Olehnya akudisuruh menunggu di ruang tamu. Tak berapa lama kemudian Pak J datangdan kami pun berbincang-bincang sejenak. Ia cukup ramah dan akumenyambutnya dengan suka cita. Perlakuan di pesantren R takkan terulangdi sini. Aku diantar ke dipan yang akan menjadi tempat tidurku. Iamenunjukkan di mana aku bisa mengambil air wudu dan mandi (Samsara,2012 :121).
24
Anta sudah merasa nyaman tinggal di rumah Pak J. Anta membantu
membersihkan halaman rumah di kediaman Pak J. Beberapa hari kemudian Anta
mulai tidak menyukai sikap Pak J yang semakin hari tidak baik terhadap pasien-
pasiennya. Anta dilarang untuk berbicara dengan pasien yang sakitnya lebih parah
dari Anta. Pasien-pasien tidak dapat sembuh dengan baik.
Anta memutuskan untuk kabur dari Petirahan Pak J dan pergi ke Maos,
selanjutnya menaiki bus menuju ke Bekasi. Dalam perjalanan Anta menahan rasa
dahaga dan lapar karena uangnya sudah habis. Antapun terpaksa menukar jam
tangannya dengan karcis kereta. Tiba di Bekasi ayah Anta menyambut
kedatangannya. Kakak ketiga dan kakak ipar Anta terlihat tidak menyukai
kedatangannya.
2.1.3 Tahap Akhir
Pada umumnya, tahap akhir merupakan tahap peleraian dalam sebuah cerita.
Tahap akhir menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini
berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir
sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005:144). Tahap akhir dalam novel GLJ, ketika Anta
akhirnya bisa pulang ke Tangerang dan kembali masuk ke Psikiatri RSCM. Di
Psikiatri RSCM, Anta banyak mengobrol dengan dokter dan pasien-pasien di sana.
Setelah beberapa hari di sana, Anta sudah diperbolehkan pulang karena sudah mulai
memperlihatkan perubahan yang cukup baik.
25
Pada Saat Anta ke luar dari bangsal psikiatri dan kembali dalam kehidupan
keluarganya, ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan, tidak berdaya lagi membantu
membiayai pengobatan Anta. Ayahnya didiagnosis menderita diare, pleura-
pneumonia, gagal ginjal, dan harus dirawat di rumah sakit. Selama di rumah sakit
Ayah disuntik Intrix (Ceftrix-axone) dan diberi Ketosteril. Dalam waktu delapan hari
diperbolehkan pulang. Kebetulan ada saudara tetangga Anta yang menjadi tabib dan
mampu mengobati dengan obat-obatan China. Setelah beberapa minggu diobati,
keadaan ayah Anta mulai membaik tetapi tidak bertahan lama. Sampai akhirnya
kondisi Ayah Anta semakin memburuk dan meninggal.
Kepergian ayahnya menambah kepedihan mendalam bagi Anta, setelah Ibu
dan Yayan yang telah lebih dahulu meninggal. Anta tidak mampu lagi menghadapi
penyakitnya. Ia dirawat kembali di RSCM. Kakak Anta setuju, namun Anta tidak
bisa masuk ke RSCM, karena kamar perawatan penuh dan Anta disarankan untuk ke
RS Duren Sawit.
Anta hanya dirawat selama 19 hari di RS Duren Sawit. Dokter Lina yang
menangani meminta Anta lebih memperluas pergaulan sosialnya saat berada di
rumah. Anta memiliki sebuah buku memoar Sidney Sheldon kemudian membaca
buku itu. Kisah Sidney yang hampir mirip dengan kisah kehidupan Anta membuatnya
terpukau. Hal ini membantu Anta bangkit dari masa kelamnya, seperti terlihat dalam
kutipan di bawah ini.
26
Aku layak berterima kasih kepada Sidney, karena memoarnyalah yangtelah membuatku bangkit kembali. Sidney punya kesamaan denganku,sama-sama miskin dan menderita gangguan jiwa. Sidney menderitagangguan bipolar walaupun pada mulanya ia tak tahu dan mencobabunuh diri dengan obat. Namun ia berhasil bangkit dan menjadi orangyang sangat kreatif dan dihargai dunia. Beberapa dari karya-karyanyamenginspirasi banyak orang, termasuk aku (Samsara 2012:196).
Pengalaman hidup dari Sidney, mampu menginspirasi Anta selama menderita
penyakit gangguan jiwa. Seseorang yang menderita penyakit gangguan jiwa juga
mampu untuk sembuh dan memiliki masa depan yang baik. Selalu ada pelajaran
berharga yang bisa dipetik dari kehidupan.
Kehidupan Anta mulai membaik, begitu juga hubungan dengan keluarganya.
Walaupun Anta belum bisa berlama-lama di rumah kakaknya yang membuat dirinya
merasa tidak nyaman, tetapi Anta bersyukur karena hidupnya mulai memancarkan
kebahagiaan bersama dengan keluarganya dan para aktivis Perhimpunan Jiwa Sehat
(PJS) yang membantu Anta ke luar dari penyakit gangguan jiwanya. Kini Anta
membuka lembaran kehidupan yang baru dengan teman-temannya dan mendirikan
Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS). Anta mulai banyak mengenal ragam penderita
skizofrenia. Banyak yang perjuangannya lebih sulit daripada dirinya. Ia
menginginkan agar Perhimpunan Jiwa Sehat tidak mudah menyerah dalam
memberikan semangat. Cita-cita Anta dan teman-temannya yang lain adalah untuk
memberikan kesempatan kerja bagi Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Bersama
Perhimpunan Jiwa Sehat, Anta berusaha menyebarluaskan kepeduliannya terhadap
orang dengan masalah kesehatan jiwa.
27
2.2 Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya sastra
(Nurgiyantoro, 2005:164). Penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam
sebuah fiksi mengingat tidak mungkin lahir sebuah fiksi tanpa tokoh, yang pada
akhirnya membentuk alur cerita. Dengan demikian, pengarang akan selalu
menghadirkan tokoh dengan karakteristik masing-masing. Seorang tokoh secara
wajar dapat diterima apabila dapat dipertanggungjawabkan dari segi fisiologis,
sosiologis, dan psikologis. Tokoh yang hidup sempurna dalam cerita ialah tokoh
yang mempunyai tiga dimensi yakni fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Dimensi fisiologis yaitu ciri-ciri fisik tokoh: Jenis kelamin, umur, keadaan
tubuh, atau tampang, ciri-ciri tubuh, raut muka, dan sebagainya. Dimensi sosiologis
yakni unsur-unsur: status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat,
pendidikan, kehidupan pribadi dan keluarga, pandangan hidup, agama dan
kepercayaan, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, kegemaran, keturunan, bangsa, dan
lain-lain. Dimensi psikologis, yaitu mentalitas, norma-norma moral yang dipakai,
tempramen, perasaan-perasaan dan keinginan pribadi, sikap dan watak, kecerdasan,
keahlian, kecakapan khusus, dan lain-lain (Mido, 1994: 21—22). Sukada membagi
tokoh menjadi tiga jenis, yaitu tokoh primer, tokoh sekunder, dan tokoh
komplementer atau pelengkap (Sukada, 1987: 62).
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam
fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari
28
orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, tokoh hendaknya dihadirkan
secara alamiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki derajat lifelikeness
(kesepertihidupan) (Wiyatmi, 2009:30—31). Tokoh-tokoh yang dianalisis
berdasarkan psikologis sastra adalah Anta dan Yayan, tanpa mengesampingkan
tokoh-tokoh lain yang ada di sekitarnya, karena kedua tokoh tersebut saling
berhubungan dalam keseluruhan cerita.
2.2.1 Tokoh Primer
Tokoh primer atau tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan,
baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan, pada nove-
novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui
dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005: 176—177).
Tokoh utama dalam novel GLJ karya Anta Samsara adalah Anta. Tokoh Anta
mendominasi keseluruhan cerita, karena novel GLJ menceritakan tentang kehidupan
Anta yang harus merasakan penyakit gangguan jiwa dan ia memiliki peranan
penting dalam membangun insiden. Dilihat dari dimensi fisiologis maupun
sosiologis, Anta adalah laki-laki, secara dimensi fisiologis sosok Anta tidak
digambarkan dengan mendetail. Anta hanya menempuh pendidikan sampai tingkat
SMA, karena pada saat itu ia mulai merasakan gangguan pada jiwanya. Ia sulit
29
bergabung dengan masyarakat dan lebih memilih untuk mengurung diri di rumah,
sebagaimana tertera dalam kutipan berikut.
Anak-anak tetangga di sekitar rumahku semakin menganggap diriku anehkarena tidak mau bergaul seperti halnya anak-anak sebaya di lingkunganitu. Bagi mereka, walau begitu buruknya lingkungan bukan menjadialasan bagi seorang anak untuk tidak menghadapi dunia sosial yang luasdan tanpa batas. Namun aku tak mau orangtuaku menjadi semakin susah.Aku tetap berkurung diri dalam rumah (Samsara 2012:16).
Penarikan diri dari kehidupan sosial yang dilakukan Anta, karena ia tidak ingin
membuat orang tuanya susah. Dengan menuruti perintah kedua orang tuanya yang
melarang Anta untuk bermain bersama anak-anak tetangga, membuat dirinya menjadi
aneh karena tidak mau bergaul bersama anak-anak di lingkungan rumahnya.
Melakukan penarikan diri dari kehidupan sosial, bukanlah solusi tepat.
Bagaimanapun keadaan di lingkungan sosial. Tidak ada alasan apapun yang membuat
anak tidak menghadapi dunia sosial yang tanpa batas. Namun, yang dialami oleh
Anta semata-mata karena ia mematuhi orang tuanya. Hal ini menyebabkan,
lingkungan sosialnya menganggap dirinya aneh.
Selanjutnya dimensi psikologis Anta memiliki sifat yang kuat dan tegar dalam
menghadapi cobaan dalam hidupnya. Walaupun seringkali diliputi rasa kecewa dan
putus asa, tetapi Anta termasuk anak yang baik dan sayang kepada orangtua dan
kakak-kakaknya. Ia selalu berusaha untuk tidak menyusahkan keluarga dalam
keadaan apapun. Dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
30
Keadaan semakin membaik, dan aku senang karena ada kemajuan. Hal iniberlangsung hingga aku lulus SMU, hingga aku ke jabotabek lagi, untukmencari pekerjaan. Karena aku telah lulus ujian di STT-Telkom, namunorang tuaku tak mampu untuk membiayaiku. Bagaimanapun akumeninggalkan Sumedang dengan satu keyakinan: bahwa aku mampumengubah kepribadianku sepenuhnya. Aku adalah manusia yang ramahsecara sosial (Samsara, 2012:25).
Dimensi psikologis lain muncul pada tokoh Anta yang sebelumnya memiliki
sifat kuat dan tegar, kini berubah menjadi penakut. Ini disebabkan oleh penyakit
gangguan jiwanya semakin parah. Rasa takut terhadap tetangga di lingkungan sekitar
rumahnya semakin bertambah. Ia seringkali mendengar suara-suara tetangga yang
mengejeknya ‘orang gila’. Seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini.
Karena aku dikecewakan sekali lagi, perasaan tertekan di dalam dirikukembali bangkit bagaikan makhluk mengerikan yang bangun daritidurnya dan menguasai aku. Aku kembali berkurung diri di rumah. Akujadi merasa di terror terus-menerus. Aku takut sekaligus gelisah.Ketakutanku terhadap orang kumat lagi, dan kali ini lebih parah. aku takkuat tinggal di rumah (Samsara, 2012: 40—41).
Keadaan lingkungan sosial di sekitar tempat tinggal Anta kini semakin parah,
sehingga membuat Anta merasa takut terhadap tetangganya. Karena ia sering
mendengar suara ejekan tetangganya, ia kecewa dan timbul rasa tertekan pada
dirinya. Di dalam kehidupan sosial, sebagai masyarakat sebaiknya tidak
membedakan. Setiap orang juga berhak untuk dihargai dan diterima dalam kehidupan
bermasyarakat, bagaimanapun keadaannya karena kehidupan sosial memiliki peranan
penting dalam membentuk kepribadian seseorang.
31
Selanjutnya, Anta menolak untuk diobati oleh paranormal, karena
pengalamannya tentang paranormal yang hanya bisa menyembuhkan sementara saja.
Anta tidak mengerti jalan pikiran keluarganya yang menginginkan agar ia dibawa
berobat kepada paranormal saja. Sesungguhnya, Anta merasa kesal, tetapi ia
terpaksa menuruti keinginan keluarganya, karena kakak-kakaknya sudah membantu
pengobatannya selama ini, seperti tertera dalam kutipan di bawah ini.
Aku sudah muak dengan paranormal. Aku tak mau lagi berobat ke orangsemacam itu. Pengalamanku mengajarkan bahwa paranormal hanya akanmenyembuhkan sementara saja. Kemudian gejala akan kembali danbahkan semakin parah. bukannya aku menyepelekan agama. Tapimenurutku gangguanku ini tak ada hubungan dengan roh, jin, atausemacamnya. Posisiku jadi terjepit. Aku tak berani melawan kehendakkakak pertamaku itu, karena selama ini aku telah banyakmenyusahkannya. Walaupun rencana kali ini bertentangan dengan hatiku,akhirnya dengan berat hati aku ikut juga ke Cilacap untuk diobati(Samsara, 2012: 97—98).
Dalam hal ini tidak sepenuhnya menyalahkan paranormal, karena
sesungguhnya gangguan kejiwaan tidak berhubungan dengan dunia paranormal.
Masalah ini terletak pada psikis seseorang. Pengalaman yang dirasakan Anta cukup
mengajarkannya dan membuat ia tidak bisa percaya sepenuhnya terhadap paranormal.
Walaupun begitu, ia tidak mampu menolak kehendak kakak pertamanya, karena Anta
sudah banyak menyusahkan kakak pertamanya.
32
2.2.2 Tokoh Sekunder
Tokoh sekunder adalah tokoh pendamping yang menemani tokoh utama dalam
menjalani sebuah cerita. Dalam novel GLJ, yang menjadi tokoh sekunder yaitu
Yayan, memiliki fisik yang tidak kuat. Dimensi psikologis Yayan memiliki sifat
gelisah, suka menentang aturan. Yayan adalah kakak keempat Anta. Di antara kakak-
kakaknya yang lain, Yayan memang anak yang susah diatur. Dilihat dari segi
sosiologis Yayan termasuk seseorang yang pandai bergaul, ia banyak memiliki teman
dimanapun ia berada, sehingga ia pernah terjerat dalam alkohol dan obat-obat
terlarang bersama teman-temannya.
Yayan pernah putus sekolah, karena konflik yang terjadi antara ia dan
Ayahnya. Sehingga ia merasa terpojokkan, akhirnya Yayan tidak pernah lulus SLTA.
Ia sering menjadi bahan perbincangan di antara keluarga. Hal ini terlihat dalam
kutipan di bawah ini.
Yayan melanjutkan sekolahnya di sebuah SMA di Ciamis. Namun Yayankemudian kembali ke Bekasi, ke lingkungan yang membuatnya mabuk,hanya dalam jangka waktu beberapa bulan setelah ia mulai bersekolahlagi. Yayan akhirnya tidak pernah lulus SMA. Ketidaklulusan dankebengalannya itu sering kali menjadi perbincangan di antara keluargadan saudara-saudara kami. Yayan merasa semakin dipojokkan karena halitu (Samsara, 2012: 82).
Sikap Yayan tidak patut dicontoh, beberapa faktor yang menyebabkan Yayan
menjadi Bengal, yaitu sikap Ayahnya yang memaksa agar Yayan masuk STM.
33
Dalam lingkungan keluarga, tidak baik jika salah satu anggota keluarga
merasa tersisihkan, karena di lingkungan keluarga juga kita akan tumbuh dan
berkembang. Keluarga juga berperan penting dalam perkembangan kepribadian
seseorang.
2.2.3 Tokoh Komplementer
Tokoh komplementer atau tokoh pelengkap disebut juga sebagai tokoh
tambahan atau hiasan yang jarang sekali muncul dalam cerita biasanya
keberadaannya tidak terlalu berpengaruh dalam cerita (Aminudin, 1984:85—87).
Tokoh komplementer dalam novel GLJ adalah Wahyudin (sahabat Anta sewaktu
SMU), Dodi (sahabat Anta sewaktu di RS Duren Sawit), Suster Diah (suster di
RSCM), Muji (teman Anta sewaktu ia bekerja), Pak Kyai (pemilik Pesantren R), dr.
Ferdi (dokter di RSCM), Suster Ainun (suster di RS Marzoeki Mahdi), Pak Wayan
(Kepala Ruangan Psikiatri), Pak Samuel (asisten Pak Wayan), Pak Didin (asisten
Pak Wayan), Fuad (sahabat Anta di Pesantren R), Andi (sahabat Anta di Pesantren
R), Bu Ade (Psikolog di RS Duen Sawit), Ariandy (teman Anta di PJS) dan Yeni
(teman Anta di PJS).
2.3 Latar
Mengarahkan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra.
(Abrams via Nurgiyantoro, 2005: 216). Latar fiksi dibedakan menjadi tiga macam,
34
yaitu latar tempat, waktu dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis
atau lokasi tempat peristiwa terjadi. Latar waktu berkaitan dengan masalah waktu,
hari, jam, maupun historis. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Latar memiliki fungsi memberi konteks pada cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu tempat tertentu, pada
suatu masa, dan lingkungan masyarakat tertentu (Wiyatmi, 2009: 40).
2.3.1 Latar Tempat
Latar tempat menunjukkan lokasi, tempat, wilayah, atau daerah terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu bisa dengan nama tertentu,
inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama yang jelas (Nurgiyantoro, 2005: 227).
Beberapa latar tempat yang muncul dalam novel GLJ, seperti rumah Anta. Rumah
ini baru ditempati pada saat Anta berumur 5 tahun, tinggal di Srengseng Sawah,
Jakarta Selatan. Kemudian pindah ke daerah Sunter, di Jakarta Utara, dan
mengontrak di Perumahan Sekretariat Negara. Sebagaimana tertera dalam kutipan
berikut.
Masih tertanam jelas dalam ingatanku, bagaimana perikehidupan kamidi sana. Rumah kami terletak di tengah deretan rumah lainnya dengan catberwarna kuning gading. Tidak seperti kebanyakan rumah sekarang,rumah kami memiliki bak penampungan air di depan rumah (bagianbelakang rumah kami hanya dipakai untuk menjemur pakaian). Adabanyak kursi di muka rumah, sebab anggota keluarga kami bertambah(Samsara, 2012: 8).
35
Rumah ini adalah tempat tinggal keluarga Anta, waktu anta berumur 5 tahun.
Semenjak gaji ayahnya mulai membaik, keluarga Anta mulai memiliki tempat tinggal
yang baik. Di rumah ini juga keluarga kami berkumpul.
Latar tempat selanjutnya berada di Taman Nyiur adalah sebuah taman kanak-
kanak, tempat Anta bersekolah. Taman Nyiur ini berada di dekat kompleks
perumahan tempat tinggal Anta. Poli Psikiatri RSCM adalah poliklinik tempat Anta
berobat, gangguan. Di sini Anta diwawancarai oleh Dokter Haznim. Dalam
wawancara ini Anta mengungkapkan seluruh riwayat hidupnya termasuk usaha
bunuh diri ketika masih di SMU. Sebagaimana tertera dalam kutipan di bawah ini.
Aku mengungkapkan seluruh termasuk usaha bunuh diri ketika masih diSMU. Ia datang ke rumahku dan mewawancaraiku serta keluargaku.Beberapa hari kemudian aku disuruh datang lagi. Aku berceritasemuanya namun hanya mengenai kepribadianku (Samsara, 2012:33).
Poli Psikiatri RSCM ini merupakan tempat Anta dirawat selama mengalami
gangguan kejiwaan. Di sini juga ia mengenal pasien-pasien yang memiliki penyakit
sama dengan dirinya. Banyak hal yang dapat dipelajari Anta selama dirawat di sana.
Selain Poli Psikiatri RSCM, Anta juga pernah berobat di Rumah Sakit lain
yaitu Rumah Sakit Grogol atau Rumah Sakit Soeharto Heerdjan. Ibu Anta juga
pernah dirawat inap. Keluarga Anta sepakat untuk membawa Ibu mereka ke RSUD
Tangerang, karena kondisi Ibu semakin hari semakin parah. Sanatorium
Darmawangsa adalah tempat Anta melakukan konsultasi dengan psikiater, karena
36
kakaknya menginginkan Anta melakukan konsultasi mengenai kejiwaannya dengan
psikiater yang terbaik.
Selama berminggu-minggu Ibu dirawat di rumah. Hingga pada suatuwaktu Ibu tak kuat lagi untuk duduk. Esok harinya Ibu koma. Makakeluarga kami pun sepakat untuk merawat inap Ibu di RSUD Tangerang(Samsara, 2012:46).
Rumah sakit ini tempat Ibu dirawat, karena penyakit Ibu semakin hari semakin
parah. Ibu juga mengalami koma, karena penyakit tumor otak yang sudah lama ia
derita. Anta sekeluarga terus menjaga Ibu di rumah sakit. Dokter juga menyarankan
agar Ibu dioperasi untuk memindahkan cairan dari otak ke paru-paru. Tetapi Anta
sekeluarga menolaknya dan memilih membawa Ibu pulang.
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi adalah rumah sakit yang terletak di Bogor. Anta
teringat tentang keberadaan dengan baik rumah sakit ini. Monas (Monumen
Nasional) tempat ini merupakan tempat waktu Anta melarikan diri dari kantornya
sewaktu halusinasinya kumat lagi dan ingin menyendiri, karena menghindar dari
kerumunan orang banyak. latar tempat selanjutnya Pesantren R, pesantren ini adalah
tempat pengobatan islami. Walaupun Anta merasa ngeri saat pertama kali sampai di
pesantren ini, tetapi Anta merasa betah beberapa lama di Pesantren R. hal ini
terdapat pada kutipan di bawah ini.
Aku tiba dengan rasa ngeri. Aku melihat bagaimana pasien-pasienbergeletakan begitu saja di lantai masjid. Kulihat atap masjid itu:Pesantren R. kami diterima oleh asisten Pak Kyai, dan karena Pak Kyaisedang ke Semarang, maka kami dipersilahkan utuk menginap di ruangsamping rumahnya hingga ada keputusan dari Pak Kyai (Samsara,2012:98).
37
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi merupakan tempat Anta dirawat setelah dari
Poli Psikiatri RSCM. Kemudian Anta pergi ke Pesantren R bersama kakak
pertamanya. Beberapa hari di sana Anta mulai betah, tetapi karena Pak Kyai tidak
mengambil tindakan untuk mengobati Anta. Sehingga Anta tak tahan lagi dan
memilih kabur dari Pesantren R.
Rumah Sakit Duren Sawit tempat ini merupakan tempat Anta pindah dari
RSCM, karena ruangan di RSCM penuh. Anta disarankan untuk ke RS Duren
Sawit. Latar tempat terakhir yaitu Panti Laras, tempat ini adalah bangsal psikiatri
dari RS Duren Sawit. Tempat ini merupakan tempat menginap yang paling murah.
Sebagaimana tertera dalam kutipan di bawah ini.
Bangsal psikiatri rumah sakit ini kaya dengan gelandangan psikotik.Kebanyakan dari mereka jejaring oleh operasi Kamtib dan dijebloskan kePanti Laras. Walaupun ada juga yang dititipkan oleh keluarganya di sanadengan pertimbangan Panti Laras adalah tempat menginap yang palingmurah (Samsara, 2012:176).
Rumah Sakit Duren Sawit adalah rumah sakit yang disarankan oleh RSCM.
Karena Anta tidak berhasil masuk ke RSCM. Namun dengan alasan yang sama
Rumah Sakit Duren Sawit menolak Anta. Kemudian Anta dirujuk ke Panti Laras
oleh pihak Rumah Sakit Duren Sawit.
38
2.3.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam fiksi. Latar waktu dapat memberikan penjelasan mengenai masa
atau zaman terjadinya cerita. Perihal waktu tersebut biasanya dihubungkan dengan
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat diartikan dengan peristiwa sejarah
(Nurgiyantoro, 2010: 230).
Di dalam novel GLJ, hanya ada beberapa wacana yang ditulis berdasarkan
waktu terjadinya. Secara tersirat dapat diperkirakan peristiwa berlangsung pada
Abad XX. Hal ini dibuktikan dengan adanya kendaraan taksi, sebagaimana tertera
dalam kutipan berikut.
Yayan yang masih berusia delapan tahun bertanya kepada Ayah: “Ayahuntuk apa Ayah memanggil taksi? Ayah mau pergi ke mana? “namunAyah tak mempedulikan dan melewatinya. Ia pergi ke kamar depan danmemapah Ibu yang sedang kesakitan (Samsara, 2012: 5).
Di usia Yayan yang pada saat itu masih kecil, ia belum mengerti dengan apa
yanag terjadi pada Ibu. Yayan hanya melihat Ayahnya memapah Ibu ke dalam taksi.
Yayan hanya mengikuti perintah Ayah yang menyuruh masuk ke dalam taksi.
Beberapa latar waktu yang muncul dalam novel GLJ seperti saat subuh (hlm.
44), pagi hari (hlm. 112), sore hari (hlm. 91, malam hari (hlm. 42). Secara eksplisit
disebutkan bahwa hari menjelang subuh dijelaskan pada kutipan berikut. “Pada suatu
subuh, Ibu membukakan pintu, ia menyambutku dengan berlinang air mata.” (hlm.
39
44). Penggambaran waktu pagi hari dijelaskan pada kutipan berikut. “Aku tiba di
terminal Ciamis pada pukul 09.30. aku sarapan lalu berdiam di masjid dan
beristirahat.” (hlm. 112). Penggambaran waktu sore hari dijelaskan pada kutipan
berikut. “Sore hari aku menyapu semua ruangan dan mengepel lantainya, juga tidak
lupa mengelap meja.” (hlm. 91). Kemudian penggambaran waktu malam hari
dijelaskan pada kutipan berikut. “Aku tak dapat jatuh tertidur pada malam itu. apa
yang terjadi dalam diriku sungguh membuatku kepayahan.” (Samsara, 2012.:42).
2.3.3 Latar Sosial
Latar sosial berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup
berbagai masalah ruang lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup,
adat tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain. Di
samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, dan atas (Nurgiyantoro, 2005: 233—244).
Latar sosial yang digambarkan dalam novel GLJ, yaitu keluarga Anta
yang perekonomiannya termasuk golongan kelas menengah. Keluarga Anta
merupakan keluarga besar dan sederhana. Ibu Anta menolak untuk hamil dan
berusaha keras untuk menggugurkan Anta sewaktu dalam kandungan, karena Ibu
Anta tidak ingin menambah beban keluarganya. Seperti tertera pada kutipan di bawah
ini.
40
Ayahku hanyalah seorang guru, dan di tahun 1970-an gajinya takseberapa. Ibuku tidak menginginkan kelahiran anaknya yang ke-5,karena hal itu akan semakin memperberat beban keluarga. Oleh karenaitu, ketika ia tahu bahwa ia hamil, segera ia melakukan berbagai carauntuk menggugurkan kandungannya (Samsara, 2012: 4).
Setiap masalah memiliki jalan keluarnya masing-masing. Begitu juga dengan
masalah yang dihadapi oleh keluarga Anta. Tindakan yang dilakukan Ibu Anta adalah
salah, karena sudah mencoba menggugurkan kandungannya. Walaupun Ibunya tidak
menginginkan kelahiran, tetapi Anta menjadi anak yang penurut.
Terjadi perubahan ekonomi dalam keluarga Anta. Perekonomian keluarga Anta
membaik ketika Ayahnya mulai mendapat pekerjaan yang baik dan ia memutuskan
untuk membantu keluarganya yang kurang mampu. Seperti terlihat pada kutipan
berikut.
Ayah kami gajinya membaik karena kini ia juga menjadi kepala sekolahsebuah SMP swasta selain mengajar di sebuah SMP negeri pada sianghingga sore harinya. Orang tua kami memutuskan untuk menyekolahkananak-anak paman kami yang lebih tidak mampu dan seorang anakangkat yang konon mengalami penyiksaan oleh adik orangtuanya,setelah orangtuanya meninggal dunia (Samsara, 2012: 8—9).
Keluarga Anta mulai mengalami perubahan ekonomi. Semenjak Ayahnya
menjadi kepala sekolah di SMP swasta mengajar di SMP negeri, kini perekonomian
keluarga Anta mulai membaik. Dapat dilihat bahwa tidak selamanya seseorang akan
mengalami kesulitan. Selama mau berusaha dengan baik.