bab ii 3198066 -...
TRANSCRIPT
10
BAB II
LANDASAN TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Sikap Demokratis
1. Pengertian Sikap Demokratis
Sikap dapat didefinisikan sebagai “kesiapan pada seseorang
untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu”.1 Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sikap” diartikan sebagai:
“…. perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian
(pendapat atau keyakinan)…”. 2
Sikap pada dasarnya ada yang bersifat positif dan ada pula
bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan
dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu.3
Sikap ada yang dianut oleh banyak orang, dan ini biasa
disebut dengan “sikap sosial”, sedangkan yang dianut hanya oleh
satu orang tertentu disebut dengan sikap individual. Sikap sosial
adalah sikap yang ada pada sekelompok orang yang ditunjukkan
kepada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh orang tersebut.
Sedangkan sikap individual adalah sikap yang khusus terdapat pada
satu-satu orang terhadap objek-objek yang menjadi perhatian orang-
orang yang bersangkutan saja.4
Pengertian demokratis, tidak dapat dilepaskan dari asal
katanya, yaitu demokrasi. Pengertian demokrasi sampai pada
bentuknya yang sekarang dikenal adalah setelah melalui proses yang
1 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
94. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 938. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, loc. cit. 4 Ibid., hlm. 94-95.
11
gradual dan evolutif, karena demokrasi sendiri merupakan konsep
yang dinamis, multi-interpretatif dan dapat berkembang sesuai
dengan konteks dan kondisi sosio-historis di mana konsep
demokrasi lahir dan berkembang. Di bawah ini akan kami jelaskan
sedikit tentang berbagai pengertian demokrasi.
Sutari Imam Barnadib dalam bukunya yang berjudul
“Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis” mendefinsikan demokrasi
sebagai berikut:
Sifat kepemimpinan orang tua dalam mendidik yang mengandung unsur kewibawaan, tetapi bukan otoriter, kepemimpinan ini disesuaikan dengan taraf perkembangan anak dengan cita-cita, minat kecakapan dan pengalamannya. Anak ditempatkan pada tempat yang semestinya, yang mempunyai kebebasan untuk berinisiatif dan aktif. Di samping itu, orang tua memberikan pertimbangan dan pendapat kepada anak, sehingga anak mempunyai sikap terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain karena anak sudah terbiasa menghargai hak dari anggota keluarga di rumah.5
Pengertian demokrasi menurut Jhon. S. Brubacher dalam
bukunya yang berjudul “Modern Philosophies of Education”
mengatakan bahwa: “Democracy make of educational importance
because it believes in the essential dignity of all person”.6
Demokrasi merupakan hal yang penting dalam pendidikan, karena
demokrasi mengakui akan hakekat kemuliaan kepada semua orang.
John Dewey mendefiniskan demokrasi adalah: “Democracy
is extension in space of the number of individualis who participate
in a interest”.7 Demokrasi adalah memberikan kekuasaan, tempat
kepada individu untuk berperan dalam sebuah minat atau keinginan.
5 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis., (Yogyakarta: FIP IKIP
1986), hlm. 124-125. 6 John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education, Ed. 4. (Dew Delhi, Tata Mc
Graw-Hill Publising Ltd, 1981), hlm. 57. 7 John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Macmillan Company, 1964),
hlm. 87.
12
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap
demokratis adalah perbuatan memberikan hak dan kewajiban
kepada seseorang untuk memenuhi minat dan keinginannya.
a. Urgensi Sikap Demokratis Orang Tua dalam Mendidik
Sikap demokrasi orang tua dalam mendidik anak sangat penting
keberadaannya dalam usaha mendidik anak. Karena dengan
pendidikan yang demokratis, kepribadian anak akan berkembang
dengan baik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak itu
sendiri. Sebab secara mental anak telah memperoleh keharmonisan
fungsi jiwa atau mental yang sehat.
Dalam terminologi al-Qur’an, pentingnya sikap demokratis
juga mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini tercermin dalam
Firman Allah surat asy�Syura ayat 38 sebagai berikut:
������������������������������ ���������������������������������� ������������ ������������������ � �������!"���#�$��%��&�$�������'�()�*!�����!+�,��-���#$�.���/���-�0�
“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya, dengan mendirikan shalat, sedang urusan mereka putuskan dengan musyawarah antara anak dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka”. (QS. Asy Syuura: 38).8
Dari ayat di atas jelas, baha orang tua mempunyai peranan
mendasar dalam mendidik anak hingga pada persoalan yang
sekecil-kecilnya. Orang tua memiliki pengaruh langsung dalam
menggariskan masa depan anak yang dinanti-nanti oleh anak,
pengaruh tersebut menuju kepada kebahagiaan atau arah
kesengsaraan.9 Jika orang tua termasuk dalam golongan orang yang
memiliki sikap demokrasi dalam mendidik anak-anaknya, maka ia
akan memberikan kepada masyarakat seorang anak santun terhadap
8 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha, Putra), hlm. 789. 9 Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, terj. Segaf Abdillah dan Miqdad Turkan,
(Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hlm. 1.
13
sesama, terdidik pola pikirnya, serta cerdas secara emosi yang
mengikuti garis orang tuanya.
Sikap demokratis orang tua dalam mendidik anak
dibutuhkan untuk menghasilkan anak yang memiliki sifat
demokratis. Keterlibatan anak untuk mengambil keputusan
diperlukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Model transaksi
sosial yang “horisontal” merupakan salah satu bentuk pendidikan
yang menghasilkan keterbukaan, transparasi, dan pengambilan
keputusan bersama. 10
Sikap serta nilai yang telah diuraikan di atas merupakan ciri
khas dari keluarga demokratis yang tidak akan datang dengan
sendirinya, tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut adalah
proses pendidikan atau dapat juga disebut sebagai proses
pemanusiaan. Keluarga demokratis tidak lahir dengan sendirinya
karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda. Keluarga
demokratis mengakui akan hak-hak anggotanya dan menghargai
adanya perbedaan antar anggota keluarganya.
Di dalam keluarga demokratis dihormati adanya perbedaan
pendapat dan kepatuhan terhadap keputusan bersama yang diambil
oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan
tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya dalam
melaksanakan keputusannya itu. Oleh karena itu, pendidikan
keluarga dikatakan berhasil manakala terjalin hubungan yang
harmonis antara orang tua dengan anak. Baik atau buruk sikap anak
dipengaruhi oleh bagaimana orang tua menanamkan sikap. Antara
orang tua dan anak mempunyai dasar hubungan yang sangat kuat,
yaitu:
10 Djohar MS., Pendidikan Startegik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,
(Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 11.
14
1) Hubungan Religius
Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaaan fitrah, suci
yang mengarahkan kecenderungan hati kepada kebenaran mutlak
sesuai dengan ajaran wahyu yang dibawakan oleh Rasullulah.
Kemudian pengaruh lingkungan, terutama orang tua lebih
dominan mewarnai dalam pertumbuhan dan pembentukan
kepribadian anak.
Untuk mempertahankan fitrah kesucian yang telah
dibawa oleh setiap anak yang lahir tersebut, maka orang tua
dituntut untuk memberikan pendidikan yang optimal pada anak.
Pendidikan adalah kebutuhan anak. Pendidikan yang diberikan
kepada anak harus dapat memenuhi semua aspek pendidikan
anak. Baik tuntunan agama, psikologis, jasmani maupun
rohani. Dan orang tualah yang lebih besar pengaruhnya bagi
perkembangan anak. Sehingga segala gerak-gerik dan ucapan
orang tua bernilai pendidikan bagi anak yang akan dijadikan
sebagai contoh dalam kehidupannya.
Senada dengan ungkapan di atas, pendapat Thomas
Armstrong dalam “Teori Kecerdasan Majemuknya” yang
menempatkan pengasuh (nurture) setara dengan, dan mungkin
lebih tinggi dibandingkan dengan, alam/bakat (nature) sebagai
faktor penting bagi perkembangan kecerdasan.11
2) Hubungan Biologis
Secara biologis, perkembangan awal biologis manusia
dimulai saat konsepsi atau pembuahan telur (spermatozoa),12
dimana proses pembuahan itulah individu terbentuk. Dan aspek
genetika diperoleh seseorang dari orang tua.13
11 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia
Pendidikan, terj. Yudhi Murtanto, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hlm. 35. 12 F.J. Monks, dkk., Psikologi Perkembangan, (Jakarta: UGM, 1984), hlm. 42. 13 Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak, (Jakarta:
Pustaka Populer Obor, 2001), hlm. 121.
15
3) Hubungan Psikologis
Pencapaian perkembangan anak lebih ditentukan peranan
orang tua dibandingkan faktor bawaan maupun faktor lingkungan
lainnya, meski pada kenyataannya kedekatan orang tua dengan
anak hanya berlangsung dalam waktu yang pendek. Kondisi ibu
pada saat mengandung akan mempengaruhi janin dan selanjutnya
akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadaian anak.
Begitu juga dengan sistem pembagian peran dan tugas dalam
keluarga akan memberi dampak besar pada proses perkembangan
kepribadian seorang anak.14
4) Hubungan Sosiologis
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim
sosio-psikologis keluarga. Apabila dilingkungan keluarga tercipta
suasana yang harmonis, saling memperhatikan, bekerja sama
dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, dan konsisten dalam
melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan, atau
penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain.15
Demikianlah, keluarga pernah dan masih tetap
merupakan pusat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi
dan memperoleh kehidupan emosional. Keutamaan itu
membuat keluarga memiliki pengaruh yang dalam terhadap
anak. Keluarga merupakan lingkungan alami yang memberikan
perlindungan dan keamanan serta memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pokok anak. Keluarga juga merupakan lingkungan
pendidikan yang urgen, tempat anak memulai hubungannya
dengan dunia sekitarnya serta membentuk pengalaman-
pengalaman yang membantunya untuk berinteraksi dengan
lingkungan fisik dan sosial.
14 Ibid. 15 Syamsu Yusuf L.N., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 171.
16
Dari uraian di atas jelas, bahwa orang tua merupakan
pendidik kodrati bagi anak-anaknya,16 sebab secara kodrat ibu dan
bapak dianugrahi oleh Allah SWT berupa naluri orang tua kepada
anak-anak mereka. Orang tua akan merasa terbentuk untuk
bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya.
Anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang
demokratis akan merasa lebih tentram jika dibandingkan dengan
anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang keras maupun
liberal. Orang tua yang demokratis akan mampu mengetahui
suasana emosional anak. Karena interaksi antara orang tua dan anak
akan terjalin dengan baik dan harmonis, sehingga emosi dan
kepribadian anak menjadi stabil dan wajar tanpa adanya tekanan.
Hal ini sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan emosi
anak.
Senada dengan hal di atas Samuel Smith mengatakan:
“Dengan keadaan psikologi yang stabil anak diharapkan dapat
mengembangkan kesehatan, kekuasaan rohani, pengetahuan dan
sikap moral yang baik demi terciptanya suatu masyarakat yang baik
pula”.17
Sikap demokratis, juga dapat berkembang dari kebiasaan
berkomunikasi dalam keluarga. Melalui komunikasi, seorang anak
belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat
mempercepat pertumbuhan kreativitas anak dan kecerdasannya.
Komunikasi juga berperan sebagai sarana pembentukan emosi dan
kepribadian anak dan mampu mengerti kebutuhan anaknya secara
lengkap baik lahir maupun batin. Komunikasi juga berperan sebagai
sarana pembentukan moral anak. Melalui interaksi dengan orang
tuanya, anak mengetahui tentang apa yang baik dan apa yang
buruk, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
16 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 218. 17 Samuel Smith, Gagasan-Gagasan Tokoh-Tokoh dalam Pendidikan, (Jakarta: Bumi
Akasara, 1986), hlm. 216.
17
dilakukan.18 Jadi, sikap demokratis orang tua dalam mendidik
anaknya sangat penting. Sebab hal itu akan sangat membantu dalam
pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak, sehingga anak akan merasa
aman karena diliputi oleh rasa cinta kasih, merasa diterima oleh
orang tuanya.
Menanggapi persoalan yang demikian, Kartini Kartono
mengatakan bahwa, “apabila orang tua bersikap otoriter dan liberal.
Artinya, orang tua mendidik anak dengan paksaan, tekanan dan
kekerasan, akibatnya akan timbul protes, aliansi (rasa keterasingan),
serta pemberontakan dari anak”.19
Di samping itu, Zahara Idris dan Lisma Jamal
mengungkapkan bahwa “orang tua yang cenderung menentukan
segala sesuatu untuk anak, maka anak akan merasa tertekan, kurang
pendirian serta merasa ketakutan”.20
Sebaliknya orang tua yang bersikap acuh tak acuh atau
membebaskan anak tanpa ada aturan yang membatasi sedikitpun
tidak mempunyai ikatan emosional dengan anak, akan
mengakibatkan anak menjadi menentang, memberontak, keras
kepala, tidak disiplin, dan kurang bertanggung jawab. Dalam
pergaulannya, anak kurang disenangi oleh teman-temannya, sebab
anak memiliki sifat masa bodoh dalam bergaul dan bersikap.21 Di
samping itu, anak juga akan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya disebabkan pribadinya sudah matang. Sikap
matang ini ditunjukkan oleh kesadaran anak tentang dirinya sebagai
makhluk individu, susila, sosial, maupun sebagai mahluk agamis.
18 Mansyur Amin dan Muhammad Najib, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: LPKSM NU DIY bekerja sama dengan The Asia Foundation Jakarta, 1993), hlm. 104.
19 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung: Mandar Maju, 1992) hlm. 145.
20 Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan I, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 89.
21 Ibid., hlm. 90.
18
Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua
yang terlalu keras maupun terlalu membebaskan tidaklah efektif
dalam pendidikan anak. Karena anak sangat membutuhkan kasih
sayang, perhatian, bimbingan serta arahan dalam perkembangannya.
Selain hal tersebut anak adalah individu yang mempunyai jiwa,
pikiran, perasaan sikap, pandangan serta keyakinan hidup yang
harus diakui dan dihormati keberadaannya.
b. Ciri-Ciri Sikap Demokratis Orang Tua dalam Mendidik
Orang tua adalah penanggung jawab pertama terhadap
pendidikan anak-anaknya, sehingga pemberian bekal pengetahuan
teoritis maupun praktis mengenai pendidikan anak mutlak harus
dimiliki. Apalagi dimasa sekarang yang memasuki era globalisasi
dengan adanya penyempitan ruang dan waktu menjadi informasi
dengan cepat dapat diterima dengan cepat akan mudah
mempengaruhi anak, baik sikap anak-anak kita, pola pikir maupun
tingkah laku kesehariannya.
Orang tua dewasa ini telah dihadapkan pada tantangan
lingkungan yang sering mengarah pada hal-hal yang negatif. Oleh
karena itu, pendidikan anak juga sangat tergantung pada sikap orang
tua terhadap anak itu sendiri. Dengan kata lain, sikap orang tua akan
sangat mempengaruhi bagaimana orang tua memperlakukan anak,
mendidik dan mengasuh anak, menghadapi perilaku-perilaku anak
maupun kenakalan anak.22
Adapun ciri-ciri sikap demokratis orang tua dalam mendidik
adalah sebagai berikut:
1. Komunikasi orang tua dan anak
Mansyur Amin dan Muhammad Najib menerangkan
bahwa “Sikap demokratis itu berkembang dari kebiasaan
22 Moh. Faudzil Adzim, Salahnya Kodok, (Jogjakarta : Mitra Pustaka, 1996), hlm. 12.
19
komunikasi di dalam rumah tangga. Melalui komunikasi seorang
anak belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal ini
dapat mempercepat pertumbuhan kreativitas anak dan
kecerdasannya. Komunikasi juga berperan sebagai sarana
pembentukan emosi dan kepribadian anak dan mampu mengerti
kebutuhan anaknya secara lengkap baik lahir maupun batin.
Komunikasi juga berperan sebagai sarana pembentukan moral
anak. Melalui interaksi dengan orang tuanya, anak mengetahui
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang boleh
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.23
Sikap demokratis orang tua dalam mendidik anaknya
sangat penting. Sebab hal itu akan sangat membantu dalam
pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak, sehingga anak akan
merasa aman karena diliputi oleh rasa cinta kasih, merasa
diterima oleh orang tuanya.
Sebaliknya, orang tua yang bersikap acuh tak acuh atau
membebaskan anak tanpa ada aturan yang membatasi sedikitpun
tidak mempunyai ikatan emosional dengan anak, akan
mengakibatkan anak menjadi menentang, memberontak, keras
kepala, tidak disiplin, dan kurang bertanggung jawab. Dalam
pergaulannya, anak kurang disenangi oleh teman-temannya,
sebab anak memiliki sifat masa bodoh dalam bergaul dan
bersikap.24 Di samping itu, anak juga akan dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sekitarnya, sebab pribadinya sudah
matang. Sikap matang ini ditunjukkan oleh kesadaran anak
tentang dirinya sebagai makhluk individu, susila, sosial, maupun
sebagai makhluk agamis.
23 Mansyur Amin dan Muhammad Najib, Agama Demokrasi dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: LPKSM NU DIY bekerja sama dengan The Asia Foundation Jakarta, 1993), hlm. 104.
24 Ibid., hlm. 90.
20
Ada beberapa strategi komunikasi yang dapat diterapkan
dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam
keluarga, yaitu sebagai berikut:
a. Baseline communication strategy
Dalam hal ini, keluarga mempunyai saat-saat tertentu
untuk berbincang, memonitor perubahan-perubahan yang
terjadi dalam keluarga dan membicarakannya secara terbuka.
Termasuk strategi ini adalah bagaimana memelihara
komunikasi di antara anggota keluarga serta menciptakan
iklim yang komunikasi yang baik di antara anggota keluarga.
b. Intimate communication strategy
Dewasa ini, banyak keluarga yang kehilangan unsur
emosi. Oleh karena itu, kita harus berlatih mengekspresikan
emosi kita. Di sini, orang tua harus dapat memanfaatkan
situasi dan kondisi bagaimana merangsang emosi anak dan
melibatkannya dalam masalah-masalah yang dihadapi
keluarga, sehingga ada jalinan yang kuat antara emosi orang
tua dan anak.
c. Revitalizing communication strategy
Strategi ini lebih mengarah pada revitalisasi dalam
keluarga, misalnya melakukan ibadah haji. Di sini orang
yang melakukan ibadah haji melakukan revitalisasi terhadap
perasaan beragamanya dengan melakukan haji.
Revitalisasi dalam keluarga akan nampak sekali
apabila seorang ayah memberikan hadiah kepada anaknya
yang berprestasi, sebagai motivasi agar anaknya tetap
mempertahankan prestasi yang diperolehnya.25
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
dalam keluarga tidak hanya sekedar hal yang nyata yang berupa
25 A. Subino Hadisubroto dkk., Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 113-114.
21
ucapan, namun juga berupa simbol-simbol yang mengarah pada
maksud dan tujuan penyampaian informasi atau pesan.
Peranan komunikasi dalam keluarga sangat penting dan
perlu dibina dan dilestarikan kelancaran dan efektivitasnya
dalam kehidupan sehari-hari. Sebab komunikasi antara orang tua
dengan anak dapat berfungsi sebagai sarana untuk
mengungkapkan perasaan kasih sayang, media menyatakan
penerimaan atau penolakan atas pendapat yang disampaikan,
sarana untuk menambah keakraban hubungan sesama warga
dalam keluarga, dan komunikasi menjadi barometer bagi baik
buruknya kegiatan komunikasi dalam sebuah keluarga.26
2. Menerima kritik
Sikap demokratis juga ditandai dengan adanya sikap
terbuka antara orang tua dan anaknya. Teknik disiplin
demokratis menggunakan penjelasan, penalaran dan diskusi
untuk membantu anak mengapa perilaku tertentu itu
diharapkan.27
Cara mendidik secara demokratis adalah dengan
menentukan peraturan, akan tetapi dengan memperhatikan
keadaan dan kebutuhan anak. Bentuk pendidikan seperti ini
dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah.
Dengan demikian dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak
dirasakan sebagai kegiatan yang dipaksakan, tidak ada perasaan
tertekan dan takut, namun pemimpin selalu dihormati dan di
segani secara wajar.
Menanggapi permasalahan ini, Singgih D. Gunarsa,
menyatakan bahwa: “Cara pendidikan demokratis, anak boleh
mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandangan-
26 Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hlm. 80. 27Elizabeth B. Hurlock, Child Development, terj. oleh Meitasari Tjandrasa,
Perkembangan Anak, Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 93.
22
pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan
mengambil keputusan, akan tetapi orang tua masih melakukan
pengawasan dan mengambil keputusan”.28
Jadi, di sini sikap demokratis menekankan aspek kepada
anak di mana orang tua menggunakan diskusi atau musyawarah
dan penalaran untuk membantu anak mengerti terhadap suatu
sikap dan perilaku orang tua memberikan kesempatan kepada
anak untuk mengambil keputusan atas ide anak, sehingga anak
terlatih untuk berfikir dan bertindak mandiri. Dalam hal ini
sangat membantu dalam perkembangan anak selanjutnya.
Zaharini menegaskan bahwa: “orang tua hendaknya
memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pendapat,
memberi pengarahan tentang perbuatan yang baik dan perlu
dipertahankan, yang tidak baik supaya ditinggalkan.29
Sehubungan dengan hal tersebut, Abdullah Nasih Ulwan
berpendapat: “diantara tanggung jawab besar dan berat yang
diamanatkan Islam kepada orang tua dan semua pendidik adalah
meningkatkan kesadaran berpikir anak sejak dini, sehingga ia
mencapai usia cerdik dan matang”.30
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap
demokratis orang tua ditandai dengan adanya pengakuan
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak
selalu tergantung kepada orang tua, memberi kebebasan kepada
anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Anak
didengarkan pendapatnya dilibatkan dalam pembicaraan
terutama yang menyangkut kehidupan anak itu sendiri. Anak
diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya
28 Singgih D. Gunarsa, dan Singgih P. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1989), hlm. 116. 29 Zuhairini dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 88. 30 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Amani,
1999), hlm. 95.
23
sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab
kepada dirinya sendiri.31
3. Memberikan pertimbangan
Dalam pandangan Islam, anak adalah perhiasan Allah
yang diberikan kepada manusia. Hadirnya anak akan membuat
bahagia ketika memandangnya, hati akan terasa tentram dan
suka cita setiap bercanda dengan mereka, dialah bunga
kehidupan di dunia sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat al-
Qur'an.
�&�1��!2��� �������34 �5�.������6+������7��8�!��� ��� ��9 ��:�!��������;!�)� +����<�=��!�)+����� ����������>�*+������4�?�@+�����"��A+��� � ���8�B���� ��C ���D��E ��F+���������GH�I+������?���+��F��"�������"H3J������2���K L� +�����8�5��M�J!�N��O ,��0�
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran 14)32
Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa kedudukan
anak bagi orang tua merupakan amanah Allah dan sekaligus
menjadi tanggung jawabnya kepada Allah untuk mendidiknya.
Allah memberikan dua potensi bagi anak untuk dikembangkan,
yaitu bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk atau dikenal
dengan fitrah adalah suci dan baik. Oleh karena itu, jika
dikemudian hari anak berperilaku buruk, maka bukan pengaruh
potensi fitrahnya, tetapi karena pengaruh lingkungan yang
buruk. Dengan kata lain, baik dan buruknya anak sangat erat
31 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 111. 32 Soenarjo, op. cit., hlm. 77.
24
kaitannya dengan pendidikan yang diberikan oleh kedua orang
tuanya.
Di bawah asuhan orang tua, dengan pengawasan dan
pengarahan serta disesuaikan dengan tingkat perkembangan
anak, maka akan terbentuk kepribadian anak yang berkembang
secara wajar menuju kedewasaannya. Orang tua memberikan
lingkungan yang aman dan memberi semangat hingga anak-anak
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensinya.33
Jamaluddin Ancok mengatakan: “Sikap demokrasi orang
tua adalah di mana anak diberikan kesempatan untuk
berpendapat, dan boleh membuat keputusan yang diinginkan di
dalam melaksanakan sesuatu, namun keputusan yang diambil si
anak harus mendapat persetujuan dari orang tua.34
Bila orang tua ingin serba mengatur anak, bersifat
memerintah tanpa menampung kehendak anak, terlalu
melindungi, suka menimbulkan perasaan bersalah pada anak,
maka peluang anak untuk berkembang menjadi anak yang tidak
kreatif semakin besar. Sebaliknya orang tua yang penuh kasih
sayang kehangatan dan pengertian terhadap anak, maka peluang
anak untuk menumbuhkan kreativitasnya menjadi lebih besar.
Pola asuh demokratis bersifat aktif, dinamis dan terarah. Aktif
dalam menggerakkan dan memotivasi. Dinamis dalam
mengembangkan dan memajukan anak, terarah pada tujuan yang
jelas melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang relevan secara
selektif dan efisien.
Menurut Ahmadi: “bahwa orang tua sebagai pendidik
yang demokratis berusaha menciptakan suasana kekeluargaan,
menghormati, mempercayai dan memperhatikan satu dengan
33 John Gray, Children Are from Heaven, terj. B. Dicky Soetadi, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000), hlm. 25. 34 M. Mansur Amin dan Muh. Najib, op. cit., hlm., 105.
25
yang lainnya. Anak diberi kesempatan untuk melahirkan pikiran
dan perasaannya, diajak mengamil keputusan dan mufakat.35
Sutari Imam Barnadib mengatakan bahwa: “orang tua
hendaknya terbiasa mengikutsertakan anak dengan apa yang
dipikirkan, baik yang mengembirakan maupun yang sedang
dipertimbangkan. Orang tua memberi penjelasan tentang
berbagai hal kepada anak mengenai apa yang sedang
dibicarakan, kadang-kadang anak diajak berdiskusi untuk
mengemukakan maksud dan pendiriannya.36
Pemberian pertimbangan diberikan kepada anak oleh
orang tua anak juga harus memperhatikan waktu yang tepat
dalam membimbing dan mengarahkan anak sesuai dengan apa
yang ia inginkan. Sehingga dalam memberikan pengarahan dan
bimbingan ini, maka faktor yang paling penting adalah dalam
rangka membimbing anak agar dapat menjadi kebanggaan orang
tuanya. Sebab apabila pemberian pertimbangan dilakukan pada
waktu yang tepat, maka anak akan menerimanya dengan senang
hati.37
Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa orang tua
sebagai pendidik utama lebih memiliki tanggung jawab terhadap
pendidikan anaknya. Pendidikan orang tua yang demokratis
lebih menekankan sistem masyarakat dalam memecahkan suatu
masalah. Di sinilah, peran orang tua sebagai pusat penerima
kritik dengan keterbukaan ternyata begitu penting artinya bagi
anak, karena disamping anak dibiasakan untuk bertanggung
jawab juga dibiasakan untuk bersifat berkerjasama dengan orang
tua sehingga diharapkan anak mempunyai daya kreativitas yang
35 Achmadi, Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Salatiga, Saudara, 1992), hlm. 70 36 Sutari Imam Barnadib, op. cit., hlm. 93. 37 Nur ‘Abdul Hafidz Suwaid, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Kuswandani
dkk., (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 292.
26
besar, percaya pada diri sendiri, mampu menyelesaikan
permasalahan dirinya baik di rumah maupun di luar rumah.
4. Memberikan penghargaan
Penghargaan dalam dunia pendidikan memiliki peran yang
positif dalam membangun emosional anak. W.H. Thomas melalui
teori The Four Wishes sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
mengemukakan empat macam keinginan dasar yang menjadi
sumber kejiwaan seseorang, yaitu sebagai berikut:
a. Keinginan untuk selamat (security) Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk meperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis ataupun non biologis.
b. Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognition) Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. seseorang mendambakan dirinya untuk selalu menjadi orang yang terhormat dan dihormati.
c. Keinginan untuk ditanggapi (response) Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencintai dan dicintai dalam pergaulan.
d. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).38 Dari pendapat di atas jelas bahwa penghargaan merupakan
kebutuhan bagi seseorang. Sehingga pemberian penghargaan
kepada anak akan berpengaruh yang cukup besar terhadap jiwa
anak untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersifat
progresif. Di samping itu, penghargaan juga memiliki kekuatan
yang apat mendorong anak untuk melakukan kebaikan. Karena
dengan penghargaan ini, anak merasa bahwa perbuatan baik yang
telah dilakukannya telah membuatnya semakin dihormati dan
disayangi orang lain, terutama oleh orang tuanya.39
Berbeda dengan penghargaan, pemberian hukuman atau
sangsi haruslah ditempuh sebagai jalan terakhir dalam proses
38 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 62. 39 Nur ‘Abdul Hafidz Suwaid, op. cit., hlm. 312-313.
27
pendidikan. Orang tua yang bijaksana tidak seenaknya memberikan
hukuman fisik kepada anaknya, kecuali hanya sekedarnya saja dan
sesuai dengan kebutuhan.40
Dengan demikian, penghargaan dapat memotivasi anak
didik untuk belajar, sebaliknya hukuman justru akan meninggalkan
pengaruh buruk pada jiwa anak, sehingga menghalanginya untuk
faham, mengerti, bahkan dapat mematikan semangatnya untuk
berlaku disiplin dan progresif.41 Jadi, penerapan sangsi dan
hukuman sebagai alat untuk menumbuhkan disiplin dan tanggung
jawab, hanya dipergunakan apabila sudah tidak ada lagi cara lain
yang dipergunakan. Pemimpin (orang tua) selalu berpihak pada
kebenaran dan keadilan yang bukan hanya untuk dirinya sendiri,
tapi justru untuk semua anggota kelompok atau organisasi yang
dipimpinnya.42
B. Kecerdasan Emosional Anak
1. Pengertian Kecerdasan Emosinal
Kecerdasan emosi semula diperkenalkan oleh Peter Salovy dari
Universitas Harvad dan John Mayer dari Universitas Hampshire.
Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya
monumentalnya Emotional Intelligence.43
Secara etimologi kecerdasan berasal dari bahasa Inggris
intelligensi yaitu kemampuan untuk memahami keterkaitan antara
berbagai hal, kemampuan untuk mencipta, memperbaharui, mengajar,
berfikir, memahami, mengingat, merasakan dan berimajinasi,
40 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Perss, 2002), hal. 134. 41 Ibid., hal. 135. 42 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang Efektif, (t.pt.: Gajah Mada
University Press, 1993), hlm. 14. 43�Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islami, (Jakarta: Grafindo
Persada 2001), hlm. 320.
28
memecahkan permasalahan dan kemampuan untuk mengerjakan
berbagai tingkat kesulitan.44 Intelligence atau kecerdasan mengandung
tiga komponen penting yang dianggap sebagai esensi intelligence,
yakni penilaian (judgment), pengertian (Comprehension), dan
penalaran (reasoning).45
Kata emosi berasal dari bahasa latin motere, yang berarti
bergerak.46 Emosi kitalah yang membebaskan kita dari
ketidakberdayaan dan memotivasi kita untuk bertindak. Kenyataannya
semakin kita bergerak terhadap sesuatu semakin cenderung kita
bereaksi terhadap sesuatu itu.
Daniel Goleman sendiri mendefinisikan emosi dengan perasaan
dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis
dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.47
Para pakar psikologi telah mendefinisikan kecerdasan
emosional dalam bermacam-macam, di antaranya yaitu menurut:
a. Reuven Bar-On yang dikutip Steven J. Stein dan Howard E. Book
Kecerdasan emosional adalah “serangkaian kemampuan,
kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan
tekanan lingkungan.48
b. Basic Education Project (BEP) ADB Loan 1442-INO
Kecerdasan Emosional adalah “suatu kemampuan untuk
memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain,
kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata dengan
44�Muhammad Said Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, Sebuah Terobosan Dunia
Pendidikan Modern, (Jakarta: Cendekia, 1998), hlm. 207. 45�Suharsono, Mencerdaskan Anak, Mensintesakan Kembali IQ, IE dengan IS, (Jakarta:
Inisiasi Press, 2000), hlm. 34. 46� Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional Cara baru untuk Mendayagunakan
Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda, (Bandung: Kaifa, 2001), hlm. 32. 47 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Mengapa EI. Lebih
Penting Daripada IQ, Alih bahasa : T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 411.
48 Steven J. Stein, & Howard E. Book, Ledakan EQ, terj. Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto (Bandung : Kaifa, 2002), hlm. 30.
29
baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam
berhubungan dengan orang lain.”49
c. Steven J. Stein, Ph. D.
Kecerdasan emosional adalah “serangkaian kecakapan yang
memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek
pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat
yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi
secara efektif setiap hari.”50
d. Daniel Goleman
“Emotional Intelligence: abilities such as being able to motivate
oneself and persists in the face of frustation: to control impulse
and delay gratification; to regulate one’s mood and keep distrees
from swaming the ability to think; to empathize and to hope”.51
Artinya: “Kecerdasan emosional adalah kemampuan-kemampuan
seperti kemampuan memotivasi diri dan bertahan dalam
menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
berlebih-lebihan; mengatur suasana hati dan menjaga agar tetap
berfikir jernih; berempati dan optimis”.
Berdasarkan beberapa pengertian kecerdasan emosional di atas,
terdapat beberapa kesamaan. Sehingga kecerdasan emosional dapat
disebut sebagai kemampuan seseorang mengelola perasaan dirinya
supaya lebih baik serta kemampuan membina hubungan dengan
sosialnya.
2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan untuk memahami
perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk
49 Basic Education Project, Inservice Training, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya Dan
Agama, 2000), hlm. 4. 50 Steven J. Stein, op. cit., hlm. 30-31. 51 Daniel Goleman, Emotional Intelligence (New York: Bantam Books, 1996), hlm. 36.
30
memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang
muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.52
Kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan pada dirinya sendiri dan orang lain dan untuk
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan
energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.53
Ciri-ciri kecerdasan emosional terdiri dari lima unsur, yaitu
sebagai berikut:
a. Kemampuan mengenali emosi yang muncul dalam diri sebagai reaksi
terhadap suatu fenomena.
Ketika seseorang dihadapkan dengan suatu kejadian yang
menyenangkan atau menyedihkan bisa saja ia sama sekali tidak
menyadari apa yang sesungguhnya ia rasakan atau dapat disebut
sebagai tidak adanya rasa mengenali emosi diri.
Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu
merupakan hal penting bagi pemahaman diri seseorang. Mengenali
diri merupakan inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran akan
perasaan diri sendiri sewaktu perasaan timbul.
Orang yang mengenal emosi diri akan peka terhadap suasana
hati. Ia akan memiliki kejernihan pikiran sehingga seseorang itu akan
mandiri dan yakin atas batas-batas yang mereka bangun, kesehatan
jiwanya bagus, dan cenderung berpikir positif tentang kehidupan.
Kemudian apabila suasana hati sedang buruk, mereka tidak mau dan
tidak larut ke dalam perasaan dan mampu melepaskan dari suasana
tidak nyaman dalam waktu relatif cepat.54 Pendek kata, ketajaman
pola pikir seseorang menjadi penolong untuk mengatur emosi.
52 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak
Prestasi, Alih bahasa: Alex Tri Kuntjoro Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 512.
53 Basic Education Projec ( BEP ), op. cit., hlm. 6. 54 Goleman, op. cit., hlm. 65.
31
b. Kemampuan mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri.
Menjaga agar emosi yang muncul dapat terkendali merupakan kunci
menuju kesejahteraan emosi. Emosi yang berlebihan yang meningkat
dengan intensitas terlampau tinggi atau untuk waktu yang lama akan
berakibat negatif terhadap kestabilan emosional seseorang.
Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional tidak akan
larut dalam perasaan. Ketika kebahagiaan datang tidak diungkapkan
dengan berlebihan, dan ketika merasa menderita tidak membiarkan
perasaan negatif berlangsung tidak terkendali.
Kemampuan mengelola emosi akan berdampak positif
terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta
mampu memulihkan kembali dari tekanan emosi.55
Dan apabila emosi terlampau ditekan akan menciptakan
kebosanan dan jarak, apabila emosi tidak dikendalikan terlampau
ekstrim dan terus menerus, emosi akan menjadi sumber penyakit,
seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap,
gangguan emosional yang berlebihan.56
c. Kemampuan memotivasi diri ketika menghadapi hambatan atau
kegagalan dalam meraih sesuatu.
Motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam setiap aspek kehidupan manusia, demikian juga para siswa
mau melakukan sesuatu bilamana berguna bagi mereka untuk
melakukan tugas – tugas pekerjaan sekolah.57 Anak yang mempunyai
intelegensi tinggi mungkin gagal dalam pelajaran karena kekurangan
motivasi. Hasil yang baik tercapai dengan motivasi yang kuat. 58
55 M. Utsman Najati, Belajar EQ Dan SQ Dari Sunah Nabi, Terj. Irfan Sahir Lc. (Jakarta:
Hikmah, 2002), hlm. 166. 56 Ibid, hlm. 77. 57 Marasuddin Siregar, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo, 1998), hlm. 17. 58 S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm 73.
32
Motivasi yang merupakan bagian dari emosi berhubungan
dengan keberhasilan, bisa membuat kita merasakan kepuasan sejati
yang bahkan lebih besar dari pada keberhasilan itu sendiri. Dan
seperti kebanyakan ketrampilan-ketrampilan kecerdasan emosi lain,
unsur-unsur dasar motivasi untuk belajar dan menguasai lingkungan
kita sebagian berasal dari warisan genetik. Motivasi memiliki
kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan seseorang. Motivasi
melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan
dalam diri manusia yang menyebabkan individu berbuat sesuatu.
Orang yang termotivasi mempunyai keinginan dan
kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi rintangan-rintangan.
Sejarah telah membuktikan bahwa orang yang memiliki motivasi diri
dan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan luar biasa dalam meraih
tingkat keberhasilan yang istimewa.
Karakter orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi
akan bercirikan: bersuka-cita tinggi dan ingin maju, bekerja keras,
bersaing, tekun dalam meningkatkan kedudukan sosialnya, serta
sangat menghargai produktifitas dan kreativitas.59 Oleh karena itu,
kuat lemahnya motivasi berprestasi yang dimiliki seseorang sangat
menentukan besar kecilnya prestasi yang dapat diraihnya dalam
kehidupan.
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain.
Kemampuan mengenal emosi orang lain (empati) ialah
bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang
sama dengan orang tersebut.60 Empati menekankan pentingnya
mengindra perasaan dan prespektif orang lain sebagai dasar untuk
membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Sedangkan ciri-ciri empati adalah sebagai berikut:
59 BEP, op. cit., hlm. 33. 60 Departemen Agama, Inservice Training Mts/MI, (Jakarta: PPIM, 2000), hlm. 230.
33
1) Ikut merasakan, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain.
2) Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri. Semakin kita
mengetahui emosi diri sendiri maka semakin trampil kita
membaca emosi orang lain.
3) Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering
diungkapkan melalui bahasa isarat.
4) Mengambil peran yaitu adanya perilaku konkrit.
5) Kontrol emosi yaitu menyadari dirinya sedang berempati
sehingga tidak larut.
e. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.
Ketrampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani
emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan
dengan cermat membaca situasi dalam jaringan sosial, berinteraksi
dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi
serta memimpin, bermusyawarah dan menjelaskan perselisihan serta
untuk bekerja sama dalam tim.61
Dalam rangka membangun hubungan sosial yang harmonis
terdapat dua hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu yaitu citra
diri dan kemampuan berkomunikasi.62 Citra diri sebagai kapasitas
diri yang benar-benar sikap untuk membangun hubungan sosial.
Citra diri dimulai dari dalam diri masing-masing kemudian
melangkah keluar sebagaimana ia mempersepsikan kepada orang
lain. Sedangkan faktor kemampuan komunikasi merupakan
kemampuan dalam mengungkapkan kalimat-kalimat yang tepat.
Dengan demikian, kita dapat melihat tinggi rendahnya
kecerdasan seorang anak dari ciri-ciri tersebut di atas. Namun, karena
kecerdasan emosional pada hakikatnya dapat ditingkatkan; sehingga
61 Ibid, hlm. 50. 62 Ibid, hlm. 51.
34
bisa diusahakan peningkatannya. Dan untuk meningkatkan kecerdasan
emosioanal anak, peran orang tua sangat berperan.
Menurut Claude Stainer, terdapat tiga langkah utama untuk
mengembangkan kecerdasan emosi yaitu sebagai berikut:
a. Membuka hati
Hati merupakan simbol pusat emosi yang dapat merasakan
nyaman atau tidak nyaman. Dengan demikian, kita mulai dengan
membebaskan pusat perasaan kita dari impuls dan pengaruh yang
membatasi kita untuk menunjukkan cinta satu sama lain.
b. Menjelajahi dataran emosi
Setelah kita membuka hati, kita dapat melihat kenyataan dan
menemukan peran emosi dalam kehidupan. Sehingga kita menjadi
lebih bijak menanggapi perasaan kita dan perasaan orang-orang di
sekitar kita, mampu menyelesaikan konflik dengan damai “win-win
solution”.
c. Mengambil tanggung jawab
Kita harus mengerti permasalahan, mengakui kesalahan, dan
keteledoran yang terjadi, membuat perbaikan, dan memutuskan
bagaimana mengubah segala sesuatunya. Dan perubahan memang
harus dilakukan.63
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional atau EQ, bukan didasarkan pada
kepintaran seorang anak, melainkan pada karakteristik pribadi atau
“karakter”. Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa
ketrampilan sosial dan emosional ini lebih penting bagi keberhasilan
hidup ketimbang kemampuan intelektual.64
63 Agus Nggermanto, Quantum Quotiont, Kecerdasan Quantum; Cara Cepat Melejitkan
IQ, EQ Dan SQ Secara Harmonis (Bandung: Nuansa, 2001), hlm. 100-102. 64 Lawrence E. Shapiro, How To Raise A Child With High EQ, A Parents Guide to
Emotional Intelligence, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 4.
35
Berbagai kenakalan, emosi yang tak terkendali dan kriminalitas
diri yang terjadi pada usia anak-anak mungkin memiliki latar belakang
dari setting keluarga yang tidak harmonis atau memang terpicu oleh
kekerasan sosial itu sendiri.65
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
diantaranya adalah:
a. Faktor Keluarga
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih
sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang
kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota
masyarakat yang sehat.66
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat
penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak),
kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan
fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa
memiliki, rasa aman kasih sayang dan mengembangkan hubungan
yang baik diantara anggota keluarga.67
Dalam rumah tangga keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak sehingga anak
akan mampu mencapai tingkat kematangan. Kematangan disini adalah
bisa dikatakan sebagai seorang individu di mana ia dapat menguasai
lingkungannya secara aktif.
Kehadiran keluarga (terutama ibu) dalam perkembangan emosi
anak sangat penting. Sebab, apabila anak kehilangan peran dan fungsi
ibunya, maka seorang anak dalam proses perkembangannya akan
kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang,
65 Suharsono, Melejitkan IQ, IE, IS, (t.kpt.: Inisiasi Press, 2002), hlm. 106. 66 Syamsu Yusuf LN, op. cit., hlm. 37. 67 Ibid, hlm. 38.
36
perhatian dan sebagainya, sehingga anak mengalami dengan apa yang
disebut deprivasi maternal, sedangkan apabila peran kedua orang tua
tidak berfungsi, maka disebut deprivasi parental, dan apabila seorang
ayah tidak menjalankan fungsinya, maka disebut deprivasi paternal.68
Berbeda dengan hal di atas, anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang mengalami disfungsi keluarga, maka anak akan
beresiko untuk menderita gangguang perkembangan mental-
intelektual, perkembangan mental-emosional dan bahkan
perkembangan psiko-sosial serta spiritualnya. Sehingga tidak jarang
dari mereka bila kelak menjadi dewasa akan memperlihatkan berbagai
perilaku yang menyimpang, anti-sosial dan sampai kepada tindak
kriminal.69
b. Faktor lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara
sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan
latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu
mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral
spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.70
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan
kepribadian anak, Hurlock, mengemukakan bahwa sekolah
merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak
(siswa), baik dalam cara berfikir, bersikap maupun cara
berperilaku. Sekolah berperan sebagai subtitusi keluarga, dan guru
subtitusi orang tua.
Sebagaimana pendapat Goleman yang dikutip oleh Zamroni
mengatakan bahwa emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang
sejalan dengan perkembangan usia seseorang. Semakin dewasa
perkembangan usia seseorang semakin dewasa emosi yang dimiliki
68 Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hlm. 212. 69 Ibid., hlm. 213. 70 Syamsu Yusuf LN, op. cit., hlm. 54.
37
akan semakin matang. Namun kedewasaan emosi juga bisa
berkembang sebagi hasil interaksi dengan lingkungan baik interaksi
tersebut disengaja oleh pihak lain atau tidak. Dengan demikian,
guru bisa berperan sebagai faktor lingkungan.71
Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan siswa
mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang baik,
terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil mengembangkan
kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi
yang terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat
berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan
menghasilkan perilaku yang baik.72
Ketrampilan emosional menyiratkan lebih diperluasnya lagi
tugas sekolah, dengan memikul tanggung jawab atas kegagalan
keluarga dalam mensosialisasikan anak. Oleh karena itu orang tua
dan guru sebagai pendidik di sekolah haruslah menjadi pelatih yang
efisien, mereka harus mempunyai pemahaman yang cukup baik
tentang dasar-dasar kecerdasan emosional.
Disamping itu lingkungan sekolah adalah sebuah wadah untuk
belajar bersama, karena belajar merupakan salah satu faktor yang
penting dalam perkembangan emosi. Hal ini dikarenakan belajar
adalah faktor yang dapat dikendalikan, sekaligus sebagai tindakan
preventif.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor
yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak adalah keluarga / orang
tua, dan sekolah. Keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama bagi
anak, sedangkan sekolah merupakan pendidikan lanjutan dari apa yang
telah anak peroleh dari keluarga. Keduanya berpengaruh terhadap emosi
anak, dan keluargalah yang sesungguhnya mempunyai pengaruh yang
71Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Biograf Publishing, (Yogyakarta, t.pt.,
2000), hlm. 138. 72 Ibid.
38
lebih kuat dibandingkan sekolah, karena di dalam keluarga kepribadian
anak dapat dibentuk sesuai dengan didikan orang tua dalam
kehidupannya.
C. Pengaruh Sikap Demokratis Orang Tua dalam Keluarga terhadap
Kecerdasan Emosional Anak
Sikap demokratis orang tua dalam keluarga sangat berpengaruh
terhadap anak, sehingga sikap demokratis yang berbeda akan mempunyai
pengaruh yang berbeda pada perilaku dan kepribadian anak. Di bawah ini
akan kami terangkan berbagai pola asuh orang tua dalam keluarga, di
antaranya adalah:
1. Pola otoriter
Pola otoriter dapat merusak perkembangan anak. Orang tua yang
terlalu keras, kasar dan menghukum dapat menjadikan anak berbuat
seperti kehendak orang tua, namun anak bisa saja menyimpan rasa
permusuhan dan akan berbuat sesuai perasaan tersebut.
Apapun cara menyatakan sikap permusuhan, akan mengarah
kepada perilaku yang tidak sesuai yang mengarah pada kenakalan.
Hukuman dan penolakan menimbulkan ketakutan, ketakutan
menyebabkan reaksi defensif, dan reaksi defensif menimbulkan
hukuman lain.73 Anak hidup dalam dunia interpersonal penuh ancaman
yang mengakibatkan kesengsaraan dan ketakutan.
Anak yang dari luar tampak diam, berperilaku baik dan tidak
melawan sering memendam rasa permusuhan mendalam. Anak tidak
bahagia dan curiga terhadap siapa saja yang berhubungan dengannya,
terutama terhadap orang yang berkuasa. Bisa saja anak belajar menjadi
licik dan tidak jujur apabila menentang kekuasaan untuk menghindari
hukuman.
73 Elizabeth B. Hurlock, op.cit., hlm. 96.
39
Selain orang tua otoriter yang menggunakan hukuman badan,
ada juga orang tua yang menggunakan hukuman psikologis; misalnya
dengan cara mengurangi kasih sayang terhadap anak. Hukuman ini
justru berpengaruh negatif bagi anak, dan apabila sering diulang dapat
menghancurkan kepribadian anak yang dapat mengarah pada gangguan
kejiwaan.
Bentuk-bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikologis dapat
mengakibatkan anak menjadi rendah diri, sulit menjalin relasi dengan
individu lain, hingga timbul rasa benci yang luar biasa terhadap diri
sendiri (self hate) karena merasa dirinyalah yang selalu bersalah.
Jadi, jelaslah bahwa sikap orang tua otoriter yang kasar akan
berpengaruh negatif terhadap kepribadian anak. Namun sikap otoriter
yang ditunjukkan dengan adanya penggarisan norma-norma yang wajib
dipatuhi anak boleh dilakukan. Dengan batasan itu, sikap otoriter lebih
sesuai diterapkan pada anak usia dini.74 Pada usia dini, anak
kemampuan berfikirnya masih terbatas, anak diharapkan tunduk sesuai
dengan perintah orang tua. Ketika usianya bertambah dan pola pikirnya
lebih baik, anak dapat menilai benar-tidaknya norma yang diberikan
orang tua dan secara sadar melakukannya, metode otoriter tidak tepat
lagi.
2. Pola permisif
Anak yang dibiarkan cenderung merasa bingung dan tidak aman.
Pengalaman yang terbatas dan ketidakmatangan mental menghambat
anak mengambil keputusan-keputusan tentang perilaku yang akan
memenuhi harapan sosial. Anak tidak tahu apa saja yang boleh
dilakukan dan apa saja tidak boleh dilakukan. Anak menjadi takut,
cemas dan sangat agresif. Anak dapat bersikap bermusuhan karena
74 Kumpulan Artikel Kompas, Keluarga, Kunci Sukses Anak (Jakarta: Kompas, 2000),
hlm. 50.
40
merasa bahwa orang tua tidak mau memperhatikan ataupun
membimbing untuk menghindari kesalahan.
Sikap permisif bisa juga ditandai dengan memanjakan.
Pemanjaan yang berlebihan akan mempengaruhi perkembangan emosi
anak. Anak akan tetap infantil, tergantung dan selalu menuntut untuk
dipenuhi permintaannya.
Anak yang dimanjakan berlebihan akan manjadi anak yang
kehilangan kemampuan untuk mandiri dan tidak mempunyai disiplin
yang tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Perilaku anak
cenderung sulit untuk dipahami, harapan dan keinginan menjadi mutlak
untuk dipenuhi, dan hubungan sosial di luar rumah selalu bermasalah
karena anak cenderung untuk tidak mengikuti keinginan dan kebutuhan
kelompok.75 Namun, jika sikap permisif ini tidak berlebihan akan
mendorong anak menjadi cerdik, mandiri dan berpenyesuaian sosial
yang baik. Anak mejadi percaya diri, kreatif, dan mempunyai sikap
matang.
3. Pola demokratis
Dengan perkembangan pola demokratis, kekuasaan kaum
dewasa diperlemah dan digantikan dengan kekuasaan kelompok. Orang
tua demokratis melihat bahwa peran mereka hanya sebagai penuntun
daripada sebagai majikan, suatu peran yang meminta orang tua untuk
menekankan dorongan dari dalam daripada tekanan tanpa ada hubungan
dengan anak.76
Pola demokratis ini akan menumbuhkan penyesuaian pribadi
dan sosial yang baik, menghasilkan kemandirian dalam berpikir,
inisiatif dalam tindakan dan konsep diri yang sehat, positif, dan penuh
rasa percaya diri yang direfleksikan dalam perilaku yang aktif, terbuka
dan spontan.77 Dengan kebebasan yang terarah, anak dapat
75 Ibid, hlm. 57. 76 Hurlock, II, op. cit., hlm. 96 77 Maurice Balson, Becoming Better Parents, Menjadi Orang Tua Yang Sukses, terj. Sr.
Alberto, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 128.
41
bekerjasama dengan baik, ketakutan yang lebih besar dalam
menghadapi hambatan, pengendalian yang lebih baik, kreativitas yang
lebih besar, dan sikap yang ramah terhadap orang lain.
Sumbangan terpenting bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak
yang diberikan orang tua demokratis ialah mengembangkan
pengendalian internal. Anak akan merasa puas karena anak
diperbolehkan mengendalikan perilaku mereka sendiri dan dapat
berperilaku dengan cara yang akan mendapatkan persetujuan dari
sosial.
Demikian hubungan pola asuh orang tua dengan emosional anak.
Masing-masing pola akan mempunyai hubungan yang berbeda terhadap
emosi anak. Kemudian akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi
individu dalam mengelola emosi.
Kemampuan bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang
baru lahir. Kemudian dengan bertambahnya usia, perkembangan emosi
anak akan dipengaruhi oleh faktor pematangan dan faktor belajar. Reaksi
emosional yang tidak muncul pada awal masa kehidupan tidak berarti
tidak ada. Reaksi emosional akan muncul dikemudian hari, yaitu dengan
adanya pematangan dan sistem endokrin.
Pematangan dan belajar berjalin erat satu sama lain dalam
mempengaruhi perkembangan emosi sehingga pada saatnya akan sulit
untuk menentukan dampak relatifnya. Peran yang dimainkan faktor
pematangan dan faktor belajar dalam perkembangan emosi dijelaskan
dibawah ini.
1. Peran Pematangan
Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan
perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi endokrin
yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stres.
Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecil
secara tajam setelah bayi lahir. Kemudian kelenjar itu mulai membesar
dan membesar lebih pesat sampai anak berusia 16 tahun, sampai
42
mencapai ukuran semula seperti pada saat anak lahir. Hanya sedikit
adrenalin yang diproduksi dikeluarkan, sampai saat kelenjar itu
membesar. Pengaruh kelenjar tersebut penting terhadap keadaan
emosional pada masa kanak-kanak.
Kematangan emosional lebih tergantung pada kedewasaan
sosial dan kematangan ketrampilan motorik seseorang yang diperoleh
mereka pada usia dini.78 Perlakuan orang tua yang over-protect dan
stagnan pada perilaku verbal akan mengakibatkan ketrampilan anak
baik motorik maupun sosial, kemampuan kreativitas dan
perkembangan emosional serta ketahanannya menghadapi kesulitan
hidup belum mendapatkan kesempatan berkembang.
Anak dikatakan sudah mencapai kematangan emosi apabila ia
sudah dapat menunggu saat dan tempat yang lebih tempat yang lebih
tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa
diterima oleh individu maupun orang lain. Anak akan menilai situasi
secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, serta
memberikan reaksi emosional yang stabil.
Untuk mencapai kematangan emosi, individu harus belajar
memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan
reaksi emosional. Hal ini bisa dilakukan dengan membicarakan
berbagai masalah pribadi anak dengan orang lain, terutama orang tua.
Anak akan terbuka pada orang tua manakala ia merasa aman dan
merasa orang tua dapat dijadikan sebagai figur.
Anak juga harus belajar menggunakan kataris emosi untuk
menyalurkan emosinya dengan latihan fisik yang erat, bermain atau
bekerja, tertawa atau menangis.
2. Peran Belajar
Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi yang kedua
yaitu faktor belajar. Faktor belajar lebih penting dibandingkan faktor
78 Djohar MS., op. cit., hlm. 59.
43
pematangan, karena dalam perkembangan emosi anak lebih dapat
dikendalikan. Anak akan mengadakan hubungan emosional dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya dengan menggunakan berbagai cara.
Cara yang diperoleh dalam belajar mengadakan hubungan emosional
orang tua akan ikut menentukan sikap anak di kemudian hari.
Terdapat lima jenis kegiatan belajar yang turut menunjang pola
perkembangan emosi pada anak, yaitu sebagai berikut :
1. Belajar secara coba dan ralat
Belajar secara coba dan ralat terutama melibatkan aspek
reaksi. Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi
dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar
kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan
sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan. Dalam hal ini
anak akan mengharapkan dukungan dari orang tua atas sikap yang
anak perbuat. Seorang anak akan lebih menyukai diberi nasihat-
nasihat dan pemahaman-pemahaman atas batas-batas yang boleh
dilakukan oleh anak, dibandingkan dengan penolakan sikap yang
anak perbuat.
2. Belajar dengan cara meniru
Belajar dengan cara meniru sekaligus mepengaruhi aspek
rangsangan dan aspek reaksi. Dengan cara mengamati hal-hal yang
membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi
dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang
yang diamati. Dan sikap orang tua merupakan sikap yang paling
mudah untuk dijadikan obyek tiruan bagi anak.
3. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Belajar dengan cara mempersamakan diri sama dengan
belajar secara menirukan yaitu anak menirukan reaksi emosional
orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan
rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru.
Anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan
44
emosional yang kuat dengan yang ditiru, sedangkan ikatan
emosional yang paling kuat anak adalah dari orang tua. Sehingga
orang tua yang baik harus dapat dijadikan sosok yang dikagumi bagi
anak. Motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat
dibandingkan dengan motivasi untuk menirukan sembarang orang.
4. Belajar melalui pengkondisian
Pengkondisian berarti belajar dengan cara asosiasi. Metode
ini berhubungan dengan aspek rangsangan, bukan dengan aspek
reaksi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-
tahun awal kehidupan, sehingga pengkondisian anak sangat
dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan orang tua. Karena anak kecil
kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi
secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi
anak setelah lewatnya masa kanak-kanak awal, maka penggunaan
metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa
suka dan tidak suka.
5. Pelatihan
Pelatihan atau belajar dibawah bimbingan dan pengawasan,
terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi
yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan,
anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah
agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini bisa
dilakukan orang tua dengan cara mengendalikan lingkungan
keluarga.
Dengan adanya sistem saraf dan otot, anak-anak
mengembangkan potensi untuk berbagai macam reaksi. Pengalaman
belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang akan
individu gunakan untuk menyatakan kemarahan.
45
Pengendalian pola belajar adalah positif dan sekaligus
merupakan tindakan preventif. Hal ini karena apabila reaksi emosional
yang tidak diinginkan dipelajari dengan menghablur ke dalam pola
emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambahnya
usia anak. Bahkan reaksi tersebut akan tertanam kokoh pada usia
dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.
Jadi, untuk membentuk kecerdasan emosional, diperlukan faktor
pematang dan faktor belajar. Kematangan anak akan berkembang
dengan semestinya apabila didukung oleh orang tua. Begitu juga
dengan faktor belajar. Anak akan belajar dari orang tua bagaimana
merasakan dirinya, bagaimana orang lain bereaksi terhadap
perasaannya, bagaimana merasakan perasaan, pilihan apa yang anak
miliki untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan
harapan serta perasaan takut.
Anak akan merekam segala kejadian yang positif maupun
negatif yang terjadi di sekitarnya. Sehingga disadari atau tidak, anak
sudah merekam sifat-sifat buruk dari orang tuanya. Untuk itu, evaluasi
interaksi orang tua dan anak sangat dibutuhkan.
Komunikasi antara orang tua dengan anak harus senantiasa
menjaga harga diri kedua belah pihak. Salah satu tanggungjawab orang
tua adalah mendengarkan kata-kata dan perasaan di balik kata-kata
anak.
Dengan menjadi orang tua yang demokratis, anak akan merasa
nyaman untuk mengungkapkan perasaan bahagia ataupun kesedihan.
Orang tua demokratis akan mendahulukan nasehat-nasehat sebelum
memberikan pernyataan-pernyataan pengertian. Orang tua menentukan
batas-batas terhadap tindakan, bukan terhadap emosi atau perasaan-
perasaan anak. Orang tua mengajarkan bagaimana mengatasi suatu
kesalahan, sehingga anak akan berusaha mengandalikan emosinya.
46
D. Pengajuan Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan sementara yang mungkin benar atau
mungkin salah, yang akan diterima kalau fakta-fakta membenarkannya dan
akan ditolak kalau salah atau palsu.79 Menurut Kartini Kartono, hipotesis
merupakan “jawaban dari suatu penelitian, yang harus diuji kebenarannya
dengan jalan riset”.80
Dalam penelitian, hipotesis yang diajukan adalah “ada pengaruh
yang positif antara sikap demokratis orang tua dalam keluarga dengan
kecerdasan emosional siswa di MA. Uswatun Hasanah Mangkang Wetan
Tugu Semarang”. Sehingga semakin tinggi sikap demokratis orang tua
dalam keluarga, maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional siswa
MA. Uswatun Hasanah Mangkang Wetan Tugu Semarang. Namun
sebaliknya, semakin rendah sikap demokratis orang tua dalam keluarga,
maka semakin rendah pula kecerdasan emosional siswa MA. Uswatun
Hasanah Mangkang Wetan Tugu Semarang.
79 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2001) hlm. 63. 80 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1990)
hlm. 70.