bab ii 3198066 -...

37
10 BAB II LANDASAN TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Sikap Demokratis 1. Pengertian Sikap Demokratis Sikap dapat didefinisikan sebagai “kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu”. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sikap” diartikan sebagai: “…. perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian (pendapat atau keyakinan)…”. 2 Sikap pada dasarnya ada yang bersifat positif dan ada pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu. 3 Sikap ada yang dianut oleh banyak orang, dan ini biasa disebut dengan “sikap sosial”, sedangkan yang dianut hanya oleh satu orang tertentu disebut dengan sikap individual. Sikap sosial adalah sikap yang ada pada sekelompok orang yang ditunjukkan kepada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh orang tersebut. Sedangkan sikap individual adalah sikap yang khusus terdapat pada satu-satu orang terhadap objek-objek yang menjadi perhatian orang- orang yang bersangkutan saja. 4 Pengertian demokratis, tidak dapat dilepaskan dari asal katanya, yaitu demokrasi. Pengertian demokrasi sampai pada bentuknya yang sekarang dikenal adalah setelah melalui proses yang 1 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 94. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 938. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, loc. cit. 4 Ibid., hlm. 94-95.

Upload: leque

Post on 01-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

LANDASAN TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Sikap Demokratis

1. Pengertian Sikap Demokratis

Sikap dapat didefinisikan sebagai “kesiapan pada seseorang

untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu”.1 Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sikap” diartikan sebagai:

“…. perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian

(pendapat atau keyakinan)…”. 2

Sikap pada dasarnya ada yang bersifat positif dan ada pula

bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah

mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan

dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,

menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu.3

Sikap ada yang dianut oleh banyak orang, dan ini biasa

disebut dengan “sikap sosial”, sedangkan yang dianut hanya oleh

satu orang tertentu disebut dengan sikap individual. Sikap sosial

adalah sikap yang ada pada sekelompok orang yang ditunjukkan

kepada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh orang tersebut.

Sedangkan sikap individual adalah sikap yang khusus terdapat pada

satu-satu orang terhadap objek-objek yang menjadi perhatian orang-

orang yang bersangkutan saja.4

Pengertian demokratis, tidak dapat dilepaskan dari asal

katanya, yaitu demokrasi. Pengertian demokrasi sampai pada

bentuknya yang sekarang dikenal adalah setelah melalui proses yang

1 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),

94. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 938. 3 Sarlito Wirawan Sarwono, loc. cit. 4 Ibid., hlm. 94-95.

11

gradual dan evolutif, karena demokrasi sendiri merupakan konsep

yang dinamis, multi-interpretatif dan dapat berkembang sesuai

dengan konteks dan kondisi sosio-historis di mana konsep

demokrasi lahir dan berkembang. Di bawah ini akan kami jelaskan

sedikit tentang berbagai pengertian demokrasi.

Sutari Imam Barnadib dalam bukunya yang berjudul

“Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis” mendefinsikan demokrasi

sebagai berikut:

Sifat kepemimpinan orang tua dalam mendidik yang mengandung unsur kewibawaan, tetapi bukan otoriter, kepemimpinan ini disesuaikan dengan taraf perkembangan anak dengan cita-cita, minat kecakapan dan pengalamannya. Anak ditempatkan pada tempat yang semestinya, yang mempunyai kebebasan untuk berinisiatif dan aktif. Di samping itu, orang tua memberikan pertimbangan dan pendapat kepada anak, sehingga anak mempunyai sikap terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain karena anak sudah terbiasa menghargai hak dari anggota keluarga di rumah.5

Pengertian demokrasi menurut Jhon. S. Brubacher dalam

bukunya yang berjudul “Modern Philosophies of Education”

mengatakan bahwa: “Democracy make of educational importance

because it believes in the essential dignity of all person”.6

Demokrasi merupakan hal yang penting dalam pendidikan, karena

demokrasi mengakui akan hakekat kemuliaan kepada semua orang.

John Dewey mendefiniskan demokrasi adalah: “Democracy

is extension in space of the number of individualis who participate

in a interest”.7 Demokrasi adalah memberikan kekuasaan, tempat

kepada individu untuk berperan dalam sebuah minat atau keinginan.

5 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis., (Yogyakarta: FIP IKIP

1986), hlm. 124-125. 6 John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education, Ed. 4. (Dew Delhi, Tata Mc

Graw-Hill Publising Ltd, 1981), hlm. 57. 7 John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Macmillan Company, 1964),

hlm. 87.

12

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap

demokratis adalah perbuatan memberikan hak dan kewajiban

kepada seseorang untuk memenuhi minat dan keinginannya.

a. Urgensi Sikap Demokratis Orang Tua dalam Mendidik

Sikap demokrasi orang tua dalam mendidik anak sangat penting

keberadaannya dalam usaha mendidik anak. Karena dengan

pendidikan yang demokratis, kepribadian anak akan berkembang

dengan baik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak itu

sendiri. Sebab secara mental anak telah memperoleh keharmonisan

fungsi jiwa atau mental yang sehat.

Dalam terminologi al-Qur’an, pentingnya sikap demokratis

juga mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini tercermin dalam

Firman Allah surat asy�Syura ayat 38 sebagai berikut:

������������������������������ ���������������������������������� ������������ ������������������ � �������!"���#�$��%��&�$�������'�()�*!�����!+�,��-���#$�.���/���-�0�

“Dan orang-orang yang menerima seruan Tuhannya, dengan mendirikan shalat, sedang urusan mereka putuskan dengan musyawarah antara anak dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka”. (QS. Asy Syuura: 38).8

Dari ayat di atas jelas, baha orang tua mempunyai peranan

mendasar dalam mendidik anak hingga pada persoalan yang

sekecil-kecilnya. Orang tua memiliki pengaruh langsung dalam

menggariskan masa depan anak yang dinanti-nanti oleh anak,

pengaruh tersebut menuju kepada kebahagiaan atau arah

kesengsaraan.9 Jika orang tua termasuk dalam golongan orang yang

memiliki sikap demokrasi dalam mendidik anak-anaknya, maka ia

akan memberikan kepada masyarakat seorang anak santun terhadap

8 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha, Putra), hlm. 789. 9 Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, terj. Segaf Abdillah dan Miqdad Turkan,

(Jakarta: Lentera Basritama, 2000), hlm. 1.

13

sesama, terdidik pola pikirnya, serta cerdas secara emosi yang

mengikuti garis orang tuanya.

Sikap demokratis orang tua dalam mendidik anak

dibutuhkan untuk menghasilkan anak yang memiliki sifat

demokratis. Keterlibatan anak untuk mengambil keputusan

diperlukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Model transaksi

sosial yang “horisontal” merupakan salah satu bentuk pendidikan

yang menghasilkan keterbukaan, transparasi, dan pengambilan

keputusan bersama. 10

Sikap serta nilai yang telah diuraikan di atas merupakan ciri

khas dari keluarga demokratis yang tidak akan datang dengan

sendirinya, tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut adalah

proses pendidikan atau dapat juga disebut sebagai proses

pemanusiaan. Keluarga demokratis tidak lahir dengan sendirinya

karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda. Keluarga

demokratis mengakui akan hak-hak anggotanya dan menghargai

adanya perbedaan antar anggota keluarganya.

Di dalam keluarga demokratis dihormati adanya perbedaan

pendapat dan kepatuhan terhadap keputusan bersama yang diambil

oleh semua anggota, dituntut adanya tanggung jawab individu dan

tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya dalam

melaksanakan keputusannya itu. Oleh karena itu, pendidikan

keluarga dikatakan berhasil manakala terjalin hubungan yang

harmonis antara orang tua dengan anak. Baik atau buruk sikap anak

dipengaruhi oleh bagaimana orang tua menanamkan sikap. Antara

orang tua dan anak mempunyai dasar hubungan yang sangat kuat,

yaitu:

10 Djohar MS., Pendidikan Startegik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,

(Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 11.

14

1) Hubungan Religius

Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaaan fitrah, suci

yang mengarahkan kecenderungan hati kepada kebenaran mutlak

sesuai dengan ajaran wahyu yang dibawakan oleh Rasullulah.

Kemudian pengaruh lingkungan, terutama orang tua lebih

dominan mewarnai dalam pertumbuhan dan pembentukan

kepribadian anak.

Untuk mempertahankan fitrah kesucian yang telah

dibawa oleh setiap anak yang lahir tersebut, maka orang tua

dituntut untuk memberikan pendidikan yang optimal pada anak.

Pendidikan adalah kebutuhan anak. Pendidikan yang diberikan

kepada anak harus dapat memenuhi semua aspek pendidikan

anak. Baik tuntunan agama, psikologis, jasmani maupun

rohani. Dan orang tualah yang lebih besar pengaruhnya bagi

perkembangan anak. Sehingga segala gerak-gerik dan ucapan

orang tua bernilai pendidikan bagi anak yang akan dijadikan

sebagai contoh dalam kehidupannya.

Senada dengan ungkapan di atas, pendapat Thomas

Armstrong dalam “Teori Kecerdasan Majemuknya” yang

menempatkan pengasuh (nurture) setara dengan, dan mungkin

lebih tinggi dibandingkan dengan, alam/bakat (nature) sebagai

faktor penting bagi perkembangan kecerdasan.11

2) Hubungan Biologis

Secara biologis, perkembangan awal biologis manusia

dimulai saat konsepsi atau pembuahan telur (spermatozoa),12

dimana proses pembuahan itulah individu terbentuk. Dan aspek

genetika diperoleh seseorang dari orang tua.13

11 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia

Pendidikan, terj. Yudhi Murtanto, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hlm. 35. 12 F.J. Monks, dkk., Psikologi Perkembangan, (Jakarta: UGM, 1984), hlm. 42. 13 Monty P. Satiadarma, Persepsi Orang Tua Membentuk Perilaku Anak, (Jakarta:

Pustaka Populer Obor, 2001), hlm. 121.

15

3) Hubungan Psikologis

Pencapaian perkembangan anak lebih ditentukan peranan

orang tua dibandingkan faktor bawaan maupun faktor lingkungan

lainnya, meski pada kenyataannya kedekatan orang tua dengan

anak hanya berlangsung dalam waktu yang pendek. Kondisi ibu

pada saat mengandung akan mempengaruhi janin dan selanjutnya

akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadaian anak.

Begitu juga dengan sistem pembagian peran dan tugas dalam

keluarga akan memberi dampak besar pada proses perkembangan

kepribadian seorang anak.14

4) Hubungan Sosiologis

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim

sosio-psikologis keluarga. Apabila dilingkungan keluarga tercipta

suasana yang harmonis, saling memperhatikan, bekerja sama

dalam menyelesaikan tugas-tugas keluarga, dan konsisten dalam

melaksanakan aturan, maka anak akan memiliki kemampuan, atau

penyesuaian sosial dalam hubungan dengan orang lain.15

Demikianlah, keluarga pernah dan masih tetap

merupakan pusat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi

dan memperoleh kehidupan emosional. Keutamaan itu

membuat keluarga memiliki pengaruh yang dalam terhadap

anak. Keluarga merupakan lingkungan alami yang memberikan

perlindungan dan keamanan serta memenuhi kebutuhan-

kebutuhan pokok anak. Keluarga juga merupakan lingkungan

pendidikan yang urgen, tempat anak memulai hubungannya

dengan dunia sekitarnya serta membentuk pengalaman-

pengalaman yang membantunya untuk berinteraksi dengan

lingkungan fisik dan sosial.

14 Ibid. 15 Syamsu Yusuf L.N., Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2000), hlm. 171.

16

Dari uraian di atas jelas, bahwa orang tua merupakan

pendidik kodrati bagi anak-anaknya,16 sebab secara kodrat ibu dan

bapak dianugrahi oleh Allah SWT berupa naluri orang tua kepada

anak-anak mereka. Orang tua akan merasa terbentuk untuk

bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya.

Anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang

demokratis akan merasa lebih tentram jika dibandingkan dengan

anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang keras maupun

liberal. Orang tua yang demokratis akan mampu mengetahui

suasana emosional anak. Karena interaksi antara orang tua dan anak

akan terjalin dengan baik dan harmonis, sehingga emosi dan

kepribadian anak menjadi stabil dan wajar tanpa adanya tekanan.

Hal ini sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan emosi

anak.

Senada dengan hal di atas Samuel Smith mengatakan:

“Dengan keadaan psikologi yang stabil anak diharapkan dapat

mengembangkan kesehatan, kekuasaan rohani, pengetahuan dan

sikap moral yang baik demi terciptanya suatu masyarakat yang baik

pula”.17

Sikap demokratis, juga dapat berkembang dari kebiasaan

berkomunikasi dalam keluarga. Melalui komunikasi, seorang anak

belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat

mempercepat pertumbuhan kreativitas anak dan kecerdasannya.

Komunikasi juga berperan sebagai sarana pembentukan emosi dan

kepribadian anak dan mampu mengerti kebutuhan anaknya secara

lengkap baik lahir maupun batin. Komunikasi juga berperan sebagai

sarana pembentukan moral anak. Melalui interaksi dengan orang

tuanya, anak mengetahui tentang apa yang baik dan apa yang

buruk, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh

16 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 218. 17 Samuel Smith, Gagasan-Gagasan Tokoh-Tokoh dalam Pendidikan, (Jakarta: Bumi

Akasara, 1986), hlm. 216.

17

dilakukan.18 Jadi, sikap demokratis orang tua dalam mendidik

anaknya sangat penting. Sebab hal itu akan sangat membantu dalam

pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak, sehingga anak akan merasa

aman karena diliputi oleh rasa cinta kasih, merasa diterima oleh

orang tuanya.

Menanggapi persoalan yang demikian, Kartini Kartono

mengatakan bahwa, “apabila orang tua bersikap otoriter dan liberal.

Artinya, orang tua mendidik anak dengan paksaan, tekanan dan

kekerasan, akibatnya akan timbul protes, aliansi (rasa keterasingan),

serta pemberontakan dari anak”.19

Di samping itu, Zahara Idris dan Lisma Jamal

mengungkapkan bahwa “orang tua yang cenderung menentukan

segala sesuatu untuk anak, maka anak akan merasa tertekan, kurang

pendirian serta merasa ketakutan”.20

Sebaliknya orang tua yang bersikap acuh tak acuh atau

membebaskan anak tanpa ada aturan yang membatasi sedikitpun

tidak mempunyai ikatan emosional dengan anak, akan

mengakibatkan anak menjadi menentang, memberontak, keras

kepala, tidak disiplin, dan kurang bertanggung jawab. Dalam

pergaulannya, anak kurang disenangi oleh teman-temannya, sebab

anak memiliki sifat masa bodoh dalam bergaul dan bersikap.21 Di

samping itu, anak juga akan dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungan sekitarnya disebabkan pribadinya sudah matang. Sikap

matang ini ditunjukkan oleh kesadaran anak tentang dirinya sebagai

makhluk individu, susila, sosial, maupun sebagai mahluk agamis.

18 Mansyur Amin dan Muhammad Najib, Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial,

(Yogyakarta: LPKSM NU DIY bekerja sama dengan The Asia Foundation Jakarta, 1993), hlm. 104.

19 Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung: Mandar Maju, 1992) hlm. 145.

20 Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan I, (Jakarta: Bumi Aksara), hlm. 89.

21 Ibid., hlm. 90.

18

Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua

yang terlalu keras maupun terlalu membebaskan tidaklah efektif

dalam pendidikan anak. Karena anak sangat membutuhkan kasih

sayang, perhatian, bimbingan serta arahan dalam perkembangannya.

Selain hal tersebut anak adalah individu yang mempunyai jiwa,

pikiran, perasaan sikap, pandangan serta keyakinan hidup yang

harus diakui dan dihormati keberadaannya.

b. Ciri-Ciri Sikap Demokratis Orang Tua dalam Mendidik

Orang tua adalah penanggung jawab pertama terhadap

pendidikan anak-anaknya, sehingga pemberian bekal pengetahuan

teoritis maupun praktis mengenai pendidikan anak mutlak harus

dimiliki. Apalagi dimasa sekarang yang memasuki era globalisasi

dengan adanya penyempitan ruang dan waktu menjadi informasi

dengan cepat dapat diterima dengan cepat akan mudah

mempengaruhi anak, baik sikap anak-anak kita, pola pikir maupun

tingkah laku kesehariannya.

Orang tua dewasa ini telah dihadapkan pada tantangan

lingkungan yang sering mengarah pada hal-hal yang negatif. Oleh

karena itu, pendidikan anak juga sangat tergantung pada sikap orang

tua terhadap anak itu sendiri. Dengan kata lain, sikap orang tua akan

sangat mempengaruhi bagaimana orang tua memperlakukan anak,

mendidik dan mengasuh anak, menghadapi perilaku-perilaku anak

maupun kenakalan anak.22

Adapun ciri-ciri sikap demokratis orang tua dalam mendidik

adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi orang tua dan anak

Mansyur Amin dan Muhammad Najib menerangkan

bahwa “Sikap demokratis itu berkembang dari kebiasaan

22 Moh. Faudzil Adzim, Salahnya Kodok, (Jogjakarta : Mitra Pustaka, 1996), hlm. 12.

19

komunikasi di dalam rumah tangga. Melalui komunikasi seorang

anak belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya. Hal ini

dapat mempercepat pertumbuhan kreativitas anak dan

kecerdasannya. Komunikasi juga berperan sebagai sarana

pembentukan emosi dan kepribadian anak dan mampu mengerti

kebutuhan anaknya secara lengkap baik lahir maupun batin.

Komunikasi juga berperan sebagai sarana pembentukan moral

anak. Melalui interaksi dengan orang tuanya, anak mengetahui

tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang boleh

dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.23

Sikap demokratis orang tua dalam mendidik anaknya

sangat penting. Sebab hal itu akan sangat membantu dalam

pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak, sehingga anak akan

merasa aman karena diliputi oleh rasa cinta kasih, merasa

diterima oleh orang tuanya.

Sebaliknya, orang tua yang bersikap acuh tak acuh atau

membebaskan anak tanpa ada aturan yang membatasi sedikitpun

tidak mempunyai ikatan emosional dengan anak, akan

mengakibatkan anak menjadi menentang, memberontak, keras

kepala, tidak disiplin, dan kurang bertanggung jawab. Dalam

pergaulannya, anak kurang disenangi oleh teman-temannya,

sebab anak memiliki sifat masa bodoh dalam bergaul dan

bersikap.24 Di samping itu, anak juga akan dapat menyesuaikan

diri dengan lingkungan sekitarnya, sebab pribadinya sudah

matang. Sikap matang ini ditunjukkan oleh kesadaran anak

tentang dirinya sebagai makhluk individu, susila, sosial, maupun

sebagai makhluk agamis.

23 Mansyur Amin dan Muhammad Najib, Agama Demokrasi dan Transformasi Sosial,

(Yogyakarta: LPKSM NU DIY bekerja sama dengan The Asia Foundation Jakarta, 1993), hlm. 104.

24 Ibid., hlm. 90.

20

Ada beberapa strategi komunikasi yang dapat diterapkan

dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam

keluarga, yaitu sebagai berikut:

a. Baseline communication strategy

Dalam hal ini, keluarga mempunyai saat-saat tertentu

untuk berbincang, memonitor perubahan-perubahan yang

terjadi dalam keluarga dan membicarakannya secara terbuka.

Termasuk strategi ini adalah bagaimana memelihara

komunikasi di antara anggota keluarga serta menciptakan

iklim yang komunikasi yang baik di antara anggota keluarga.

b. Intimate communication strategy

Dewasa ini, banyak keluarga yang kehilangan unsur

emosi. Oleh karena itu, kita harus berlatih mengekspresikan

emosi kita. Di sini, orang tua harus dapat memanfaatkan

situasi dan kondisi bagaimana merangsang emosi anak dan

melibatkannya dalam masalah-masalah yang dihadapi

keluarga, sehingga ada jalinan yang kuat antara emosi orang

tua dan anak.

c. Revitalizing communication strategy

Strategi ini lebih mengarah pada revitalisasi dalam

keluarga, misalnya melakukan ibadah haji. Di sini orang

yang melakukan ibadah haji melakukan revitalisasi terhadap

perasaan beragamanya dengan melakukan haji.

Revitalisasi dalam keluarga akan nampak sekali

apabila seorang ayah memberikan hadiah kepada anaknya

yang berprestasi, sebagai motivasi agar anaknya tetap

mempertahankan prestasi yang diperolehnya.25

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi

dalam keluarga tidak hanya sekedar hal yang nyata yang berupa

25 A. Subino Hadisubroto dkk., Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 113-114.

21

ucapan, namun juga berupa simbol-simbol yang mengarah pada

maksud dan tujuan penyampaian informasi atau pesan.

Peranan komunikasi dalam keluarga sangat penting dan

perlu dibina dan dilestarikan kelancaran dan efektivitasnya

dalam kehidupan sehari-hari. Sebab komunikasi antara orang tua

dengan anak dapat berfungsi sebagai sarana untuk

mengungkapkan perasaan kasih sayang, media menyatakan

penerimaan atau penolakan atas pendapat yang disampaikan,

sarana untuk menambah keakraban hubungan sesama warga

dalam keluarga, dan komunikasi menjadi barometer bagi baik

buruknya kegiatan komunikasi dalam sebuah keluarga.26

2. Menerima kritik

Sikap demokratis juga ditandai dengan adanya sikap

terbuka antara orang tua dan anaknya. Teknik disiplin

demokratis menggunakan penjelasan, penalaran dan diskusi

untuk membantu anak mengapa perilaku tertentu itu

diharapkan.27

Cara mendidik secara demokratis adalah dengan

menentukan peraturan, akan tetapi dengan memperhatikan

keadaan dan kebutuhan anak. Bentuk pendidikan seperti ini

dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah.

Dengan demikian dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak

dirasakan sebagai kegiatan yang dipaksakan, tidak ada perasaan

tertekan dan takut, namun pemimpin selalu dihormati dan di

segani secara wajar.

Menanggapi permasalahan ini, Singgih D. Gunarsa,

menyatakan bahwa: “Cara pendidikan demokratis, anak boleh

mengemukakan pendapat sendiri, mendiskusikan pandangan-

26 Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1997), hlm. 80. 27Elizabeth B. Hurlock, Child Development, terj. oleh Meitasari Tjandrasa,

Perkembangan Anak, Jilid II, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 93.

22

pandangan mereka dengan orang tua, menentukan dan

mengambil keputusan, akan tetapi orang tua masih melakukan

pengawasan dan mengambil keputusan”.28

Jadi, di sini sikap demokratis menekankan aspek kepada

anak di mana orang tua menggunakan diskusi atau musyawarah

dan penalaran untuk membantu anak mengerti terhadap suatu

sikap dan perilaku orang tua memberikan kesempatan kepada

anak untuk mengambil keputusan atas ide anak, sehingga anak

terlatih untuk berfikir dan bertindak mandiri. Dalam hal ini

sangat membantu dalam perkembangan anak selanjutnya.

Zaharini menegaskan bahwa: “orang tua hendaknya

memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pendapat,

memberi pengarahan tentang perbuatan yang baik dan perlu

dipertahankan, yang tidak baik supaya ditinggalkan.29

Sehubungan dengan hal tersebut, Abdullah Nasih Ulwan

berpendapat: “diantara tanggung jawab besar dan berat yang

diamanatkan Islam kepada orang tua dan semua pendidik adalah

meningkatkan kesadaran berpikir anak sejak dini, sehingga ia

mencapai usia cerdik dan matang”.30

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap

demokratis orang tua ditandai dengan adanya pengakuan

terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak

selalu tergantung kepada orang tua, memberi kebebasan kepada

anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Anak

didengarkan pendapatnya dilibatkan dalam pembicaraan

terutama yang menyangkut kehidupan anak itu sendiri. Anak

diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya

28 Singgih D. Gunarsa, dan Singgih P. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1989), hlm. 116. 29 Zuhairini dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 88. 30 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Amani,

1999), hlm. 95.

23

sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab

kepada dirinya sendiri.31

3. Memberikan pertimbangan

Dalam pandangan Islam, anak adalah perhiasan Allah

yang diberikan kepada manusia. Hadirnya anak akan membuat

bahagia ketika memandangnya, hati akan terasa tentram dan

suka cita setiap bercanda dengan mereka, dialah bunga

kehidupan di dunia sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat al-

Qur'an.

�&�1��!2��� �������34 �5�.������6+������7��8�!��� ��� ��9 ��:�!��������;!�)� +����<�=��!�)+����� ����������>�*+������4�?�@+�����"��A+��� � ���8�B���� ��C ���D��E ��F+���������GH�I+������?���+��F��"�������"H3J������2���K L� +�����8�5��M�J!�N��O ,��0�

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran 14)32

Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa kedudukan

anak bagi orang tua merupakan amanah Allah dan sekaligus

menjadi tanggung jawabnya kepada Allah untuk mendidiknya.

Allah memberikan dua potensi bagi anak untuk dikembangkan,

yaitu bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk atau dikenal

dengan fitrah adalah suci dan baik. Oleh karena itu, jika

dikemudian hari anak berperilaku buruk, maka bukan pengaruh

potensi fitrahnya, tetapi karena pengaruh lingkungan yang

buruk. Dengan kata lain, baik dan buruknya anak sangat erat

31 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), hlm. 111. 32 Soenarjo, op. cit., hlm. 77.

24

kaitannya dengan pendidikan yang diberikan oleh kedua orang

tuanya.

Di bawah asuhan orang tua, dengan pengawasan dan

pengarahan serta disesuaikan dengan tingkat perkembangan

anak, maka akan terbentuk kepribadian anak yang berkembang

secara wajar menuju kedewasaannya. Orang tua memberikan

lingkungan yang aman dan memberi semangat hingga anak-anak

mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensinya.33

Jamaluddin Ancok mengatakan: “Sikap demokrasi orang

tua adalah di mana anak diberikan kesempatan untuk

berpendapat, dan boleh membuat keputusan yang diinginkan di

dalam melaksanakan sesuatu, namun keputusan yang diambil si

anak harus mendapat persetujuan dari orang tua.34

Bila orang tua ingin serba mengatur anak, bersifat

memerintah tanpa menampung kehendak anak, terlalu

melindungi, suka menimbulkan perasaan bersalah pada anak,

maka peluang anak untuk berkembang menjadi anak yang tidak

kreatif semakin besar. Sebaliknya orang tua yang penuh kasih

sayang kehangatan dan pengertian terhadap anak, maka peluang

anak untuk menumbuhkan kreativitasnya menjadi lebih besar.

Pola asuh demokratis bersifat aktif, dinamis dan terarah. Aktif

dalam menggerakkan dan memotivasi. Dinamis dalam

mengembangkan dan memajukan anak, terarah pada tujuan yang

jelas melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang relevan secara

selektif dan efisien.

Menurut Ahmadi: “bahwa orang tua sebagai pendidik

yang demokratis berusaha menciptakan suasana kekeluargaan,

menghormati, mempercayai dan memperhatikan satu dengan

33 John Gray, Children Are from Heaven, terj. B. Dicky Soetadi, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2000), hlm. 25. 34 M. Mansur Amin dan Muh. Najib, op. cit., hlm., 105.

25

yang lainnya. Anak diberi kesempatan untuk melahirkan pikiran

dan perasaannya, diajak mengamil keputusan dan mufakat.35

Sutari Imam Barnadib mengatakan bahwa: “orang tua

hendaknya terbiasa mengikutsertakan anak dengan apa yang

dipikirkan, baik yang mengembirakan maupun yang sedang

dipertimbangkan. Orang tua memberi penjelasan tentang

berbagai hal kepada anak mengenai apa yang sedang

dibicarakan, kadang-kadang anak diajak berdiskusi untuk

mengemukakan maksud dan pendiriannya.36

Pemberian pertimbangan diberikan kepada anak oleh

orang tua anak juga harus memperhatikan waktu yang tepat

dalam membimbing dan mengarahkan anak sesuai dengan apa

yang ia inginkan. Sehingga dalam memberikan pengarahan dan

bimbingan ini, maka faktor yang paling penting adalah dalam

rangka membimbing anak agar dapat menjadi kebanggaan orang

tuanya. Sebab apabila pemberian pertimbangan dilakukan pada

waktu yang tepat, maka anak akan menerimanya dengan senang

hati.37

Dari penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa orang tua

sebagai pendidik utama lebih memiliki tanggung jawab terhadap

pendidikan anaknya. Pendidikan orang tua yang demokratis

lebih menekankan sistem masyarakat dalam memecahkan suatu

masalah. Di sinilah, peran orang tua sebagai pusat penerima

kritik dengan keterbukaan ternyata begitu penting artinya bagi

anak, karena disamping anak dibiasakan untuk bertanggung

jawab juga dibiasakan untuk bersifat berkerjasama dengan orang

tua sehingga diharapkan anak mempunyai daya kreativitas yang

35 Achmadi, Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Salatiga, Saudara, 1992), hlm. 70 36 Sutari Imam Barnadib, op. cit., hlm. 93. 37 Nur ‘Abdul Hafidz Suwaid, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Kuswandani

dkk., (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 292.

26

besar, percaya pada diri sendiri, mampu menyelesaikan

permasalahan dirinya baik di rumah maupun di luar rumah.

4. Memberikan penghargaan

Penghargaan dalam dunia pendidikan memiliki peran yang

positif dalam membangun emosional anak. W.H. Thomas melalui

teori The Four Wishes sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin

mengemukakan empat macam keinginan dasar yang menjadi

sumber kejiwaan seseorang, yaitu sebagai berikut:

a. Keinginan untuk selamat (security) Keinginan ini tampak jelas dalam kenyataan manusia untuk meperoleh perlindungan atau penyelamatan dirinya baik berbentuk biologis ataupun non biologis.

b. Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognition) Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia mendambakan adanya rasa ingin dihargai dan dikenal orang lain. seseorang mendambakan dirinya untuk selalu menjadi orang yang terhormat dan dihormati.

c. Keinginan untuk ditanggapi (response) Keinginan ini menimbulkan rasa ingin mencintai dan dicintai dalam pergaulan.

d. Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience).38 Dari pendapat di atas jelas bahwa penghargaan merupakan

kebutuhan bagi seseorang. Sehingga pemberian penghargaan

kepada anak akan berpengaruh yang cukup besar terhadap jiwa

anak untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersifat

progresif. Di samping itu, penghargaan juga memiliki kekuatan

yang apat mendorong anak untuk melakukan kebaikan. Karena

dengan penghargaan ini, anak merasa bahwa perbuatan baik yang

telah dilakukannya telah membuatnya semakin dihormati dan

disayangi orang lain, terutama oleh orang tuanya.39

Berbeda dengan penghargaan, pemberian hukuman atau

sangsi haruslah ditempuh sebagai jalan terakhir dalam proses

38 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 62. 39 Nur ‘Abdul Hafidz Suwaid, op. cit., hlm. 312-313.

27

pendidikan. Orang tua yang bijaksana tidak seenaknya memberikan

hukuman fisik kepada anaknya, kecuali hanya sekedarnya saja dan

sesuai dengan kebutuhan.40

Dengan demikian, penghargaan dapat memotivasi anak

didik untuk belajar, sebaliknya hukuman justru akan meninggalkan

pengaruh buruk pada jiwa anak, sehingga menghalanginya untuk

faham, mengerti, bahkan dapat mematikan semangatnya untuk

berlaku disiplin dan progresif.41 Jadi, penerapan sangsi dan

hukuman sebagai alat untuk menumbuhkan disiplin dan tanggung

jawab, hanya dipergunakan apabila sudah tidak ada lagi cara lain

yang dipergunakan. Pemimpin (orang tua) selalu berpihak pada

kebenaran dan keadilan yang bukan hanya untuk dirinya sendiri,

tapi justru untuk semua anggota kelompok atau organisasi yang

dipimpinnya.42

B. Kecerdasan Emosional Anak

1. Pengertian Kecerdasan Emosinal

Kecerdasan emosi semula diperkenalkan oleh Peter Salovy dari

Universitas Harvad dan John Mayer dari Universitas Hampshire.

Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya

monumentalnya Emotional Intelligence.43

Secara etimologi kecerdasan berasal dari bahasa Inggris

intelligensi yaitu kemampuan untuk memahami keterkaitan antara

berbagai hal, kemampuan untuk mencipta, memperbaharui, mengajar,

berfikir, memahami, mengingat, merasakan dan berimajinasi,

40 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat

Perss, 2002), hal. 134. 41 Ibid., hal. 135. 42 Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang Efektif, (t.pt.: Gajah Mada

University Press, 1993), hlm. 14. 43�Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islami, (Jakarta: Grafindo

Persada 2001), hlm. 320.

28

memecahkan permasalahan dan kemampuan untuk mengerjakan

berbagai tingkat kesulitan.44 Intelligence atau kecerdasan mengandung

tiga komponen penting yang dianggap sebagai esensi intelligence,

yakni penilaian (judgment), pengertian (Comprehension), dan

penalaran (reasoning).45

Kata emosi berasal dari bahasa latin motere, yang berarti

bergerak.46 Emosi kitalah yang membebaskan kita dari

ketidakberdayaan dan memotivasi kita untuk bertindak. Kenyataannya

semakin kita bergerak terhadap sesuatu semakin cenderung kita

bereaksi terhadap sesuatu itu.

Daniel Goleman sendiri mendefinisikan emosi dengan perasaan

dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis

dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.47

Para pakar psikologi telah mendefinisikan kecerdasan

emosional dalam bermacam-macam, di antaranya yaitu menurut:

a. Reuven Bar-On yang dikutip Steven J. Stein dan Howard E. Book

Kecerdasan emosional adalah “serangkaian kemampuan,

kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi

kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan

tekanan lingkungan.48

b. Basic Education Project (BEP) ADB Loan 1442-INO

Kecerdasan Emosional adalah “suatu kemampuan untuk

memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain,

kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata dengan

44�Muhammad Said Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, Sebuah Terobosan Dunia

Pendidikan Modern, (Jakarta: Cendekia, 1998), hlm. 207. 45�Suharsono, Mencerdaskan Anak, Mensintesakan Kembali IQ, IE dengan IS, (Jakarta:

Inisiasi Press, 2000), hlm. 34. 46� Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional Cara baru untuk Mendayagunakan

Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda, (Bandung: Kaifa, 2001), hlm. 32. 47 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Mengapa EI. Lebih

Penting Daripada IQ, Alih bahasa : T. Hermaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 411.

48 Steven J. Stein, & Howard E. Book, Ledakan EQ, terj. Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto (Bandung : Kaifa, 2002), hlm. 30.

29

baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam

berhubungan dengan orang lain.”49

c. Steven J. Stein, Ph. D.

Kecerdasan emosional adalah “serangkaian kecakapan yang

memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek

pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat

yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi

secara efektif setiap hari.”50

d. Daniel Goleman

“Emotional Intelligence: abilities such as being able to motivate

oneself and persists in the face of frustation: to control impulse

and delay gratification; to regulate one’s mood and keep distrees

from swaming the ability to think; to empathize and to hope”.51

Artinya: “Kecerdasan emosional adalah kemampuan-kemampuan

seperti kemampuan memotivasi diri dan bertahan dalam

menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak

berlebih-lebihan; mengatur suasana hati dan menjaga agar tetap

berfikir jernih; berempati dan optimis”.

Berdasarkan beberapa pengertian kecerdasan emosional di atas,

terdapat beberapa kesamaan. Sehingga kecerdasan emosional dapat

disebut sebagai kemampuan seseorang mengelola perasaan dirinya

supaya lebih baik serta kemampuan membina hubungan dengan

sosialnya.

2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan untuk memahami

perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk

49 Basic Education Project, Inservice Training, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya Dan

Agama, 2000), hlm. 4. 50 Steven J. Stein, op. cit., hlm. 30-31. 51 Daniel Goleman, Emotional Intelligence (New York: Bantam Books, 1996), hlm. 36.

30

memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang

muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.52

Kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk belajar mengakui dan

menghargai perasaan pada dirinya sendiri dan orang lain dan untuk

menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif informasi dan

energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.53

Ciri-ciri kecerdasan emosional terdiri dari lima unsur, yaitu

sebagai berikut:

a. Kemampuan mengenali emosi yang muncul dalam diri sebagai reaksi

terhadap suatu fenomena.

Ketika seseorang dihadapkan dengan suatu kejadian yang

menyenangkan atau menyedihkan bisa saja ia sama sekali tidak

menyadari apa yang sesungguhnya ia rasakan atau dapat disebut

sebagai tidak adanya rasa mengenali emosi diri.

Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu

merupakan hal penting bagi pemahaman diri seseorang. Mengenali

diri merupakan inti dari kecerdasan emosional, yaitu kesadaran akan

perasaan diri sendiri sewaktu perasaan timbul.

Orang yang mengenal emosi diri akan peka terhadap suasana

hati. Ia akan memiliki kejernihan pikiran sehingga seseorang itu akan

mandiri dan yakin atas batas-batas yang mereka bangun, kesehatan

jiwanya bagus, dan cenderung berpikir positif tentang kehidupan.

Kemudian apabila suasana hati sedang buruk, mereka tidak mau dan

tidak larut ke dalam perasaan dan mampu melepaskan dari suasana

tidak nyaman dalam waktu relatif cepat.54 Pendek kata, ketajaman

pola pikir seseorang menjadi penolong untuk mengatur emosi.

52 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak

Prestasi, Alih bahasa: Alex Tri Kuntjoro Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 512.

53 Basic Education Projec ( BEP ), op. cit., hlm. 6. 54 Goleman, op. cit., hlm. 65.

31

b. Kemampuan mengelola emosi-emosi yang muncul dalam diri.

Menjaga agar emosi yang muncul dapat terkendali merupakan kunci

menuju kesejahteraan emosi. Emosi yang berlebihan yang meningkat

dengan intensitas terlampau tinggi atau untuk waktu yang lama akan

berakibat negatif terhadap kestabilan emosional seseorang.

Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional tidak akan

larut dalam perasaan. Ketika kebahagiaan datang tidak diungkapkan

dengan berlebihan, dan ketika merasa menderita tidak membiarkan

perasaan negatif berlangsung tidak terkendali.

Kemampuan mengelola emosi akan berdampak positif

terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup

menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta

mampu memulihkan kembali dari tekanan emosi.55

Dan apabila emosi terlampau ditekan akan menciptakan

kebosanan dan jarak, apabila emosi tidak dikendalikan terlampau

ekstrim dan terus menerus, emosi akan menjadi sumber penyakit,

seperti depresi berat, cemas berlebihan, amarah yang meluap-luap,

gangguan emosional yang berlebihan.56

c. Kemampuan memotivasi diri ketika menghadapi hambatan atau

kegagalan dalam meraih sesuatu.

Motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting

dalam setiap aspek kehidupan manusia, demikian juga para siswa

mau melakukan sesuatu bilamana berguna bagi mereka untuk

melakukan tugas – tugas pekerjaan sekolah.57 Anak yang mempunyai

intelegensi tinggi mungkin gagal dalam pelajaran karena kekurangan

motivasi. Hasil yang baik tercapai dengan motivasi yang kuat. 58

55 M. Utsman Najati, Belajar EQ Dan SQ Dari Sunah Nabi, Terj. Irfan Sahir Lc. (Jakarta:

Hikmah, 2002), hlm. 166. 56 Ibid, hlm. 77. 57 Marasuddin Siregar, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Semarang: Fakultas

Tarbiyah IAIN Walisongo, 1998), hlm. 17. 58 S. Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm 73.

32

Motivasi yang merupakan bagian dari emosi berhubungan

dengan keberhasilan, bisa membuat kita merasakan kepuasan sejati

yang bahkan lebih besar dari pada keberhasilan itu sendiri. Dan

seperti kebanyakan ketrampilan-ketrampilan kecerdasan emosi lain,

unsur-unsur dasar motivasi untuk belajar dan menguasai lingkungan

kita sebagian berasal dari warisan genetik. Motivasi memiliki

kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan seseorang. Motivasi

melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan

dalam diri manusia yang menyebabkan individu berbuat sesuatu.

Orang yang termotivasi mempunyai keinginan dan

kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi rintangan-rintangan.

Sejarah telah membuktikan bahwa orang yang memiliki motivasi diri

dan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan luar biasa dalam meraih

tingkat keberhasilan yang istimewa.

Karakter orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi

akan bercirikan: bersuka-cita tinggi dan ingin maju, bekerja keras,

bersaing, tekun dalam meningkatkan kedudukan sosialnya, serta

sangat menghargai produktifitas dan kreativitas.59 Oleh karena itu,

kuat lemahnya motivasi berprestasi yang dimiliki seseorang sangat

menentukan besar kecilnya prestasi yang dapat diraihnya dalam

kehidupan.

d. Kemampuan mengenali emosi orang lain.

Kemampuan mengenal emosi orang lain (empati) ialah

bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang

sama dengan orang tersebut.60 Empati menekankan pentingnya

mengindra perasaan dan prespektif orang lain sebagai dasar untuk

membangun hubungan interpersonal yang sehat.

Sedangkan ciri-ciri empati adalah sebagai berikut:

59 BEP, op. cit., hlm. 33. 60 Departemen Agama, Inservice Training Mts/MI, (Jakarta: PPIM, 2000), hlm. 230.

33

1) Ikut merasakan, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana

perasaan orang lain.

2) Dibangun berdasarkan kesadaran sendiri. Semakin kita

mengetahui emosi diri sendiri maka semakin trampil kita

membaca emosi orang lain.

3) Peka terhadap bahasa isyarat, karena emosi lebih sering

diungkapkan melalui bahasa isarat.

4) Mengambil peran yaitu adanya perilaku konkrit.

5) Kontrol emosi yaitu menyadari dirinya sedang berempati

sehingga tidak larut.

e. Kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

Ketrampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani

emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan

dengan cermat membaca situasi dalam jaringan sosial, berinteraksi

dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi

serta memimpin, bermusyawarah dan menjelaskan perselisihan serta

untuk bekerja sama dalam tim.61

Dalam rangka membangun hubungan sosial yang harmonis

terdapat dua hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu yaitu citra

diri dan kemampuan berkomunikasi.62 Citra diri sebagai kapasitas

diri yang benar-benar sikap untuk membangun hubungan sosial.

Citra diri dimulai dari dalam diri masing-masing kemudian

melangkah keluar sebagaimana ia mempersepsikan kepada orang

lain. Sedangkan faktor kemampuan komunikasi merupakan

kemampuan dalam mengungkapkan kalimat-kalimat yang tepat.

Dengan demikian, kita dapat melihat tinggi rendahnya

kecerdasan seorang anak dari ciri-ciri tersebut di atas. Namun, karena

kecerdasan emosional pada hakikatnya dapat ditingkatkan; sehingga

61 Ibid, hlm. 50. 62 Ibid, hlm. 51.

34

bisa diusahakan peningkatannya. Dan untuk meningkatkan kecerdasan

emosioanal anak, peran orang tua sangat berperan.

Menurut Claude Stainer, terdapat tiga langkah utama untuk

mengembangkan kecerdasan emosi yaitu sebagai berikut:

a. Membuka hati

Hati merupakan simbol pusat emosi yang dapat merasakan

nyaman atau tidak nyaman. Dengan demikian, kita mulai dengan

membebaskan pusat perasaan kita dari impuls dan pengaruh yang

membatasi kita untuk menunjukkan cinta satu sama lain.

b. Menjelajahi dataran emosi

Setelah kita membuka hati, kita dapat melihat kenyataan dan

menemukan peran emosi dalam kehidupan. Sehingga kita menjadi

lebih bijak menanggapi perasaan kita dan perasaan orang-orang di

sekitar kita, mampu menyelesaikan konflik dengan damai “win-win

solution”.

c. Mengambil tanggung jawab

Kita harus mengerti permasalahan, mengakui kesalahan, dan

keteledoran yang terjadi, membuat perbaikan, dan memutuskan

bagaimana mengubah segala sesuatunya. Dan perubahan memang

harus dilakukan.63

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosional atau EQ, bukan didasarkan pada

kepintaran seorang anak, melainkan pada karakteristik pribadi atau

“karakter”. Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa

ketrampilan sosial dan emosional ini lebih penting bagi keberhasilan

hidup ketimbang kemampuan intelektual.64

63 Agus Nggermanto, Quantum Quotiont, Kecerdasan Quantum; Cara Cepat Melejitkan

IQ, EQ Dan SQ Secara Harmonis (Bandung: Nuansa, 2001), hlm. 100-102. 64 Lawrence E. Shapiro, How To Raise A Child With High EQ, A Parents Guide to

Emotional Intelligence, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 4.

35

Berbagai kenakalan, emosi yang tak terkendali dan kriminalitas

diri yang terjadi pada usia anak-anak mungkin memiliki latar belakang

dari setting keluarga yang tidak harmonis atau memang terpicu oleh

kekerasan sosial itu sendiri.65

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

diantaranya adalah:

a. Faktor Keluarga

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih

sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama

maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang

kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota

masyarakat yang sehat.66

Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat

penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak),

kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan

fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa

memiliki, rasa aman kasih sayang dan mengembangkan hubungan

yang baik diantara anggota keluarga.67

Dalam rumah tangga keluarga merupakan lingkungan

pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak sehingga anak

akan mampu mencapai tingkat kematangan. Kematangan disini adalah

bisa dikatakan sebagai seorang individu di mana ia dapat menguasai

lingkungannya secara aktif.

Kehadiran keluarga (terutama ibu) dalam perkembangan emosi

anak sangat penting. Sebab, apabila anak kehilangan peran dan fungsi

ibunya, maka seorang anak dalam proses perkembangannya akan

kehilangan haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang,

65 Suharsono, Melejitkan IQ, IE, IS, (t.kpt.: Inisiasi Press, 2002), hlm. 106. 66 Syamsu Yusuf LN, op. cit., hlm. 37. 67 Ibid, hlm. 38.

36

perhatian dan sebagainya, sehingga anak mengalami dengan apa yang

disebut deprivasi maternal, sedangkan apabila peran kedua orang tua

tidak berfungsi, maka disebut deprivasi parental, dan apabila seorang

ayah tidak menjalankan fungsinya, maka disebut deprivasi paternal.68

Berbeda dengan hal di atas, anak yang dibesarkan dalam

keluarga yang mengalami disfungsi keluarga, maka anak akan

beresiko untuk menderita gangguang perkembangan mental-

intelektual, perkembangan mental-emosional dan bahkan

perkembangan psiko-sosial serta spiritualnya. Sehingga tidak jarang

dari mereka bila kelak menjadi dewasa akan memperlihatkan berbagai

perilaku yang menyimpang, anti-sosial dan sampai kepada tindak

kriminal.69

b. Faktor lingkungan sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara

sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan

latihan dalam rangka membantu siswa agar mampu

mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral

spiritual, intelektual, emosional, maupun sosial.70

Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan

kepribadian anak, Hurlock, mengemukakan bahwa sekolah

merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak

(siswa), baik dalam cara berfikir, bersikap maupun cara

berperilaku. Sekolah berperan sebagai subtitusi keluarga, dan guru

subtitusi orang tua.

Sebagaimana pendapat Goleman yang dikutip oleh Zamroni

mengatakan bahwa emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang

sejalan dengan perkembangan usia seseorang. Semakin dewasa

perkembangan usia seseorang semakin dewasa emosi yang dimiliki

68 Dadang Hawari, Al-Qur’an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:

Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hlm. 212. 69 Ibid., hlm. 213. 70 Syamsu Yusuf LN, op. cit., hlm. 54.

37

akan semakin matang. Namun kedewasaan emosi juga bisa

berkembang sebagi hasil interaksi dengan lingkungan baik interaksi

tersebut disengaja oleh pihak lain atau tidak. Dengan demikian,

guru bisa berperan sebagai faktor lingkungan.71

Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan siswa

mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang baik,

terdapat dua keuntungan kalau sekolah berhasil mengembangkan

kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi

yang terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat

berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan

menghasilkan perilaku yang baik.72

Ketrampilan emosional menyiratkan lebih diperluasnya lagi

tugas sekolah, dengan memikul tanggung jawab atas kegagalan

keluarga dalam mensosialisasikan anak. Oleh karena itu orang tua

dan guru sebagai pendidik di sekolah haruslah menjadi pelatih yang

efisien, mereka harus mempunyai pemahaman yang cukup baik

tentang dasar-dasar kecerdasan emosional.

Disamping itu lingkungan sekolah adalah sebuah wadah untuk

belajar bersama, karena belajar merupakan salah satu faktor yang

penting dalam perkembangan emosi. Hal ini dikarenakan belajar

adalah faktor yang dapat dikendalikan, sekaligus sebagai tindakan

preventif.

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor

yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak adalah keluarga / orang

tua, dan sekolah. Keluarga sebagai pendidikan pertama dan utama bagi

anak, sedangkan sekolah merupakan pendidikan lanjutan dari apa yang

telah anak peroleh dari keluarga. Keduanya berpengaruh terhadap emosi

anak, dan keluargalah yang sesungguhnya mempunyai pengaruh yang

71Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Biograf Publishing, (Yogyakarta, t.pt.,

2000), hlm. 138. 72 Ibid.

38

lebih kuat dibandingkan sekolah, karena di dalam keluarga kepribadian

anak dapat dibentuk sesuai dengan didikan orang tua dalam

kehidupannya.

C. Pengaruh Sikap Demokratis Orang Tua dalam Keluarga terhadap

Kecerdasan Emosional Anak

Sikap demokratis orang tua dalam keluarga sangat berpengaruh

terhadap anak, sehingga sikap demokratis yang berbeda akan mempunyai

pengaruh yang berbeda pada perilaku dan kepribadian anak. Di bawah ini

akan kami terangkan berbagai pola asuh orang tua dalam keluarga, di

antaranya adalah:

1. Pola otoriter

Pola otoriter dapat merusak perkembangan anak. Orang tua yang

terlalu keras, kasar dan menghukum dapat menjadikan anak berbuat

seperti kehendak orang tua, namun anak bisa saja menyimpan rasa

permusuhan dan akan berbuat sesuai perasaan tersebut.

Apapun cara menyatakan sikap permusuhan, akan mengarah

kepada perilaku yang tidak sesuai yang mengarah pada kenakalan.

Hukuman dan penolakan menimbulkan ketakutan, ketakutan

menyebabkan reaksi defensif, dan reaksi defensif menimbulkan

hukuman lain.73 Anak hidup dalam dunia interpersonal penuh ancaman

yang mengakibatkan kesengsaraan dan ketakutan.

Anak yang dari luar tampak diam, berperilaku baik dan tidak

melawan sering memendam rasa permusuhan mendalam. Anak tidak

bahagia dan curiga terhadap siapa saja yang berhubungan dengannya,

terutama terhadap orang yang berkuasa. Bisa saja anak belajar menjadi

licik dan tidak jujur apabila menentang kekuasaan untuk menghindari

hukuman.

73 Elizabeth B. Hurlock, op.cit., hlm. 96.

39

Selain orang tua otoriter yang menggunakan hukuman badan,

ada juga orang tua yang menggunakan hukuman psikologis; misalnya

dengan cara mengurangi kasih sayang terhadap anak. Hukuman ini

justru berpengaruh negatif bagi anak, dan apabila sering diulang dapat

menghancurkan kepribadian anak yang dapat mengarah pada gangguan

kejiwaan.

Bentuk-bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikologis dapat

mengakibatkan anak menjadi rendah diri, sulit menjalin relasi dengan

individu lain, hingga timbul rasa benci yang luar biasa terhadap diri

sendiri (self hate) karena merasa dirinyalah yang selalu bersalah.

Jadi, jelaslah bahwa sikap orang tua otoriter yang kasar akan

berpengaruh negatif terhadap kepribadian anak. Namun sikap otoriter

yang ditunjukkan dengan adanya penggarisan norma-norma yang wajib

dipatuhi anak boleh dilakukan. Dengan batasan itu, sikap otoriter lebih

sesuai diterapkan pada anak usia dini.74 Pada usia dini, anak

kemampuan berfikirnya masih terbatas, anak diharapkan tunduk sesuai

dengan perintah orang tua. Ketika usianya bertambah dan pola pikirnya

lebih baik, anak dapat menilai benar-tidaknya norma yang diberikan

orang tua dan secara sadar melakukannya, metode otoriter tidak tepat

lagi.

2. Pola permisif

Anak yang dibiarkan cenderung merasa bingung dan tidak aman.

Pengalaman yang terbatas dan ketidakmatangan mental menghambat

anak mengambil keputusan-keputusan tentang perilaku yang akan

memenuhi harapan sosial. Anak tidak tahu apa saja yang boleh

dilakukan dan apa saja tidak boleh dilakukan. Anak menjadi takut,

cemas dan sangat agresif. Anak dapat bersikap bermusuhan karena

74 Kumpulan Artikel Kompas, Keluarga, Kunci Sukses Anak (Jakarta: Kompas, 2000),

hlm. 50.

40

merasa bahwa orang tua tidak mau memperhatikan ataupun

membimbing untuk menghindari kesalahan.

Sikap permisif bisa juga ditandai dengan memanjakan.

Pemanjaan yang berlebihan akan mempengaruhi perkembangan emosi

anak. Anak akan tetap infantil, tergantung dan selalu menuntut untuk

dipenuhi permintaannya.

Anak yang dimanjakan berlebihan akan manjadi anak yang

kehilangan kemampuan untuk mandiri dan tidak mempunyai disiplin

yang tingkat ketergantungan yang sangat tinggi. Perilaku anak

cenderung sulit untuk dipahami, harapan dan keinginan menjadi mutlak

untuk dipenuhi, dan hubungan sosial di luar rumah selalu bermasalah

karena anak cenderung untuk tidak mengikuti keinginan dan kebutuhan

kelompok.75 Namun, jika sikap permisif ini tidak berlebihan akan

mendorong anak menjadi cerdik, mandiri dan berpenyesuaian sosial

yang baik. Anak mejadi percaya diri, kreatif, dan mempunyai sikap

matang.

3. Pola demokratis

Dengan perkembangan pola demokratis, kekuasaan kaum

dewasa diperlemah dan digantikan dengan kekuasaan kelompok. Orang

tua demokratis melihat bahwa peran mereka hanya sebagai penuntun

daripada sebagai majikan, suatu peran yang meminta orang tua untuk

menekankan dorongan dari dalam daripada tekanan tanpa ada hubungan

dengan anak.76

Pola demokratis ini akan menumbuhkan penyesuaian pribadi

dan sosial yang baik, menghasilkan kemandirian dalam berpikir,

inisiatif dalam tindakan dan konsep diri yang sehat, positif, dan penuh

rasa percaya diri yang direfleksikan dalam perilaku yang aktif, terbuka

dan spontan.77 Dengan kebebasan yang terarah, anak dapat

75 Ibid, hlm. 57. 76 Hurlock, II, op. cit., hlm. 96 77 Maurice Balson, Becoming Better Parents, Menjadi Orang Tua Yang Sukses, terj. Sr.

Alberto, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 128.

41

bekerjasama dengan baik, ketakutan yang lebih besar dalam

menghadapi hambatan, pengendalian yang lebih baik, kreativitas yang

lebih besar, dan sikap yang ramah terhadap orang lain.

Sumbangan terpenting bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak

yang diberikan orang tua demokratis ialah mengembangkan

pengendalian internal. Anak akan merasa puas karena anak

diperbolehkan mengendalikan perilaku mereka sendiri dan dapat

berperilaku dengan cara yang akan mendapatkan persetujuan dari

sosial.

Demikian hubungan pola asuh orang tua dengan emosional anak.

Masing-masing pola akan mempunyai hubungan yang berbeda terhadap

emosi anak. Kemudian akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi

individu dalam mengelola emosi.

Kemampuan bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang

baru lahir. Kemudian dengan bertambahnya usia, perkembangan emosi

anak akan dipengaruhi oleh faktor pematangan dan faktor belajar. Reaksi

emosional yang tidak muncul pada awal masa kehidupan tidak berarti

tidak ada. Reaksi emosional akan muncul dikemudian hari, yaitu dengan

adanya pematangan dan sistem endokrin.

Pematangan dan belajar berjalin erat satu sama lain dalam

mempengaruhi perkembangan emosi sehingga pada saatnya akan sulit

untuk menentukan dampak relatifnya. Peran yang dimainkan faktor

pematangan dan faktor belajar dalam perkembangan emosi dijelaskan

dibawah ini.

1. Peran Pematangan

Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan

perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi endokrin

yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stres.

Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecil

secara tajam setelah bayi lahir. Kemudian kelenjar itu mulai membesar

dan membesar lebih pesat sampai anak berusia 16 tahun, sampai

42

mencapai ukuran semula seperti pada saat anak lahir. Hanya sedikit

adrenalin yang diproduksi dikeluarkan, sampai saat kelenjar itu

membesar. Pengaruh kelenjar tersebut penting terhadap keadaan

emosional pada masa kanak-kanak.

Kematangan emosional lebih tergantung pada kedewasaan

sosial dan kematangan ketrampilan motorik seseorang yang diperoleh

mereka pada usia dini.78 Perlakuan orang tua yang over-protect dan

stagnan pada perilaku verbal akan mengakibatkan ketrampilan anak

baik motorik maupun sosial, kemampuan kreativitas dan

perkembangan emosional serta ketahanannya menghadapi kesulitan

hidup belum mendapatkan kesempatan berkembang.

Anak dikatakan sudah mencapai kematangan emosi apabila ia

sudah dapat menunggu saat dan tempat yang lebih tempat yang lebih

tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa

diterima oleh individu maupun orang lain. Anak akan menilai situasi

secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, serta

memberikan reaksi emosional yang stabil.

Untuk mencapai kematangan emosi, individu harus belajar

memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan

reaksi emosional. Hal ini bisa dilakukan dengan membicarakan

berbagai masalah pribadi anak dengan orang lain, terutama orang tua.

Anak akan terbuka pada orang tua manakala ia merasa aman dan

merasa orang tua dapat dijadikan sebagai figur.

Anak juga harus belajar menggunakan kataris emosi untuk

menyalurkan emosinya dengan latihan fisik yang erat, bermain atau

bekerja, tertawa atau menangis.

2. Peran Belajar

Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi yang kedua

yaitu faktor belajar. Faktor belajar lebih penting dibandingkan faktor

78 Djohar MS., op. cit., hlm. 59.

43

pematangan, karena dalam perkembangan emosi anak lebih dapat

dikendalikan. Anak akan mengadakan hubungan emosional dengan

orang-orang yang ada di sekitarnya dengan menggunakan berbagai cara.

Cara yang diperoleh dalam belajar mengadakan hubungan emosional

orang tua akan ikut menentukan sikap anak di kemudian hari.

Terdapat lima jenis kegiatan belajar yang turut menunjang pola

perkembangan emosi pada anak, yaitu sebagai berikut :

1. Belajar secara coba dan ralat

Belajar secara coba dan ralat terutama melibatkan aspek

reaksi. Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi

dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar

kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan

sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan. Dalam hal ini

anak akan mengharapkan dukungan dari orang tua atas sikap yang

anak perbuat. Seorang anak akan lebih menyukai diberi nasihat-

nasihat dan pemahaman-pemahaman atas batas-batas yang boleh

dilakukan oleh anak, dibandingkan dengan penolakan sikap yang

anak perbuat.

2. Belajar dengan cara meniru

Belajar dengan cara meniru sekaligus mepengaruhi aspek

rangsangan dan aspek reaksi. Dengan cara mengamati hal-hal yang

membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi

dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang

yang diamati. Dan sikap orang tua merupakan sikap yang paling

mudah untuk dijadikan obyek tiruan bagi anak.

3. Belajar dengan cara mempersamakan diri

Belajar dengan cara mempersamakan diri sama dengan

belajar secara menirukan yaitu anak menirukan reaksi emosional

orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan

rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru.

Anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan

44

emosional yang kuat dengan yang ditiru, sedangkan ikatan

emosional yang paling kuat anak adalah dari orang tua. Sehingga

orang tua yang baik harus dapat dijadikan sosok yang dikagumi bagi

anak. Motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat

dibandingkan dengan motivasi untuk menirukan sembarang orang.

4. Belajar melalui pengkondisian

Pengkondisian berarti belajar dengan cara asosiasi. Metode

ini berhubungan dengan aspek rangsangan, bukan dengan aspek

reaksi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-

tahun awal kehidupan, sehingga pengkondisian anak sangat

dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan orang tua. Karena anak kecil

kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi

secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi

anak setelah lewatnya masa kanak-kanak awal, maka penggunaan

metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa

suka dan tidak suka.

5. Pelatihan

Pelatihan atau belajar dibawah bimbingan dan pengawasan,

terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi

yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan,

anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang

biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah

agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang

membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini bisa

dilakukan orang tua dengan cara mengendalikan lingkungan

keluarga.

Dengan adanya sistem saraf dan otot, anak-anak

mengembangkan potensi untuk berbagai macam reaksi. Pengalaman

belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang akan

individu gunakan untuk menyatakan kemarahan.

45

Pengendalian pola belajar adalah positif dan sekaligus

merupakan tindakan preventif. Hal ini karena apabila reaksi emosional

yang tidak diinginkan dipelajari dengan menghablur ke dalam pola

emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambahnya

usia anak. Bahkan reaksi tersebut akan tertanam kokoh pada usia

dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.

Jadi, untuk membentuk kecerdasan emosional, diperlukan faktor

pematang dan faktor belajar. Kematangan anak akan berkembang

dengan semestinya apabila didukung oleh orang tua. Begitu juga

dengan faktor belajar. Anak akan belajar dari orang tua bagaimana

merasakan dirinya, bagaimana orang lain bereaksi terhadap

perasaannya, bagaimana merasakan perasaan, pilihan apa yang anak

miliki untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan

harapan serta perasaan takut.

Anak akan merekam segala kejadian yang positif maupun

negatif yang terjadi di sekitarnya. Sehingga disadari atau tidak, anak

sudah merekam sifat-sifat buruk dari orang tuanya. Untuk itu, evaluasi

interaksi orang tua dan anak sangat dibutuhkan.

Komunikasi antara orang tua dengan anak harus senantiasa

menjaga harga diri kedua belah pihak. Salah satu tanggungjawab orang

tua adalah mendengarkan kata-kata dan perasaan di balik kata-kata

anak.

Dengan menjadi orang tua yang demokratis, anak akan merasa

nyaman untuk mengungkapkan perasaan bahagia ataupun kesedihan.

Orang tua demokratis akan mendahulukan nasehat-nasehat sebelum

memberikan pernyataan-pernyataan pengertian. Orang tua menentukan

batas-batas terhadap tindakan, bukan terhadap emosi atau perasaan-

perasaan anak. Orang tua mengajarkan bagaimana mengatasi suatu

kesalahan, sehingga anak akan berusaha mengandalikan emosinya.

46

D. Pengajuan Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara yang mungkin benar atau

mungkin salah, yang akan diterima kalau fakta-fakta membenarkannya dan

akan ditolak kalau salah atau palsu.79 Menurut Kartini Kartono, hipotesis

merupakan “jawaban dari suatu penelitian, yang harus diuji kebenarannya

dengan jalan riset”.80

Dalam penelitian, hipotesis yang diajukan adalah “ada pengaruh

yang positif antara sikap demokratis orang tua dalam keluarga dengan

kecerdasan emosional siswa di MA. Uswatun Hasanah Mangkang Wetan

Tugu Semarang”. Sehingga semakin tinggi sikap demokratis orang tua

dalam keluarga, maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional siswa

MA. Uswatun Hasanah Mangkang Wetan Tugu Semarang. Namun

sebaliknya, semakin rendah sikap demokratis orang tua dalam keluarga,

maka semakin rendah pula kecerdasan emosional siswa MA. Uswatun

Hasanah Mangkang Wetan Tugu Semarang.

79 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2001) hlm. 63. 80 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Mandar Maju, 1990)

hlm. 70.