bab i pengantar a. latar...

58
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Karya tulis ini merupakan hasil kajian tentang interaksi antara manusia dan lingkungannya melalui mata pencahariannya. Aktivitas penangkapan ikan (mangael) merupakan salah satu mata pencaharian penting bagi komunitas nelayan di Tomalou, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Dipilihnya aspek mata pencaharian sebagai ‘pintu masuk’ kajian ini didasarkan pada pemahaman bahwa melalui aktivitas tersebut, mereka melakukan interaksi dengan lingkungannya: sosial dan fisik. Lingkungan fisik, mencakup laut dan kandungan sumber daya alam di dalamnya, senantiasa dipersepsikan, ditanggapi, dan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga keberlanjutan atau eksistensi mata pencahariannya tetap dapat dipertahankan. Penggambaran interaksi antara nelayan di Tomalou dengan lingkungan di mana mereka melangsungkan kehidupannya dilakukan dengan mengoperasionalisasikan pendekatan etnoekologi. Pendekatan ini merupakan pendekatan spesifik dari perspektif etnosains (lihat Ahimsa-Putra, 1985, 1994: 4-7, 1997: 54-55; Bellon, 1991: 391; Conklin, 1954, 1957, 1963; Ellen, 1991, 1997; Moran, 2006: 33; Sutton & Anderson, 2004). Sebagai gambaran, perlu dikemukakan bahwa Provinsi Maluku Utara, di mana Kota Tidore Kepulauan berada di dalamnya, merupakan sebuah provinsi yang memiliki karakteristik kepulauan. Sebanyak 805 pulau di daerah ini tersebar di wilayah seluas ± 140.366,32 km 2 . Dari keseluruhan luas wilayahnya, Provinsi

Upload: vantuyen

Post on 22-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Karya tulis ini merupakan hasil kajian tentang interaksi antara manusia dan

lingkungannya melalui mata pencahariannya. Aktivitas penangkapan ikan

(mangael) merupakan salah satu mata pencaharian penting bagi komunitas

nelayan di Tomalou, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Dipilihnya

aspek mata pencaharian sebagai ‘pintu masuk’ kajian ini didasarkan pada

pemahaman bahwa melalui aktivitas tersebut, mereka melakukan interaksi dengan

lingkungannya: sosial dan fisik. Lingkungan fisik, mencakup laut dan kandungan

sumber daya alam di dalamnya, senantiasa dipersepsikan, ditanggapi, dan

dimanipulasi sedemikian rupa sehingga keberlanjutan atau eksistensi mata

pencahariannya tetap dapat dipertahankan. Penggambaran interaksi antara nelayan

di Tomalou dengan lingkungan di mana mereka melangsungkan kehidupannya

dilakukan dengan mengoperasionalisasikan pendekatan etnoekologi. Pendekatan

ini merupakan pendekatan spesifik dari perspektif etnosains (lihat Ahimsa-Putra,

1985, 1994: 4-7, 1997: 54-55; Bellon, 1991: 391; Conklin, 1954, 1957, 1963;

Ellen, 1991, 1997; Moran, 2006: 33; Sutton & Anderson, 2004).

Sebagai gambaran, perlu dikemukakan bahwa Provinsi Maluku Utara, di

mana Kota Tidore Kepulauan berada di dalamnya, merupakan sebuah provinsi

yang memiliki karakteristik kepulauan. Sebanyak 805 pulau di daerah ini tersebar

di wilayah seluas ± 140.366,32 km2. Dari keseluruhan luas wilayahnya, Provinsi

2

Maluku Utara mencakup ± 106.952,79 km2 wilayah lautan, atau sekitar 76,20%.

Selebihnya, seluas ± 33.415,53 km2 dari wilayah provinsi ini adalah daratan

(DKP Maluku Utara, 2009). Karena lebih luasnya wilayah lautan dari pada

daratannya, maka pemerintah daerah ini menjadikan sektor kelautan dan

perikanan sebagai “leading sector” dalam upaya pembangunannya. Selain karena

luas wilayahnya, diandalkannya sektor ini terutama didorong pula oleh adanya

optimisme yang tinggi terhadap besarnya kandungan potensi wilayah tersebut.

Potensi tersebut diyakini terhampar dari kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,

dan menukik dari permukaan hingga ke dasar lautannya. Salah satu potensi

sumber daya laut penting dan bernilai ekonomis tinggi daerah ini adalah sumber

daya perikanannya1.

Salah satu daerah penghasil ikan dengan mata pencaharian utama

penduduknya sebagai nelayan adalah Kelurahan Tomalou, Kota Tidore

Kepulauan. Sesuai dengan kondisi geografis wilayahnya, sebagian besar

penduduk di Kota Tidore Kepulauan bermukim di daerah pesisir. Laporan DKP

Kota Tidore Kepulauan (2007) menunjukkan bahwa dari keseluruhan jumlah

penduduk sebesar 89.616 jiwa, sejumlah 82.447 jiwa (80 persen) di antaranya

menempati wilayah pesisir.

1 Selain sumber daya perikanannya, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara juga

mengindentifikasi tingginya potensi sumber daya mineral dan benda-benda berharga muatan kapal tenggelam di wilayah daerahnya, yang hingga saat ini keduanya belum dieksploitasi. Sementara di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk memiliki potensi sumber daya ekonomis yang juga belum dikelola secara optimal, seperti pemanfaatan jasa-jasa lingkungan dan pariwisata bahari (lihat DKP Maluku Utara, 2009: 1-4)

3

Meskipun penduduk Kota Tidore Kepulauan lebih banyak bermukim di

wilayah pesisir, namun sebagian besarnya bekerja sebagai petani dari pada

nelayan. Aktivitas bertani merupakan mata pencaharian penting bagi sebagian

besar penduduk di Kota Tidore Kepulauan, di samping beberapa jenis mata

pencaharian lainnya. Dari keseluruhan jumlah penduduknya (89.616 jiwa),

aktivitas bertani digeluti oleh 15.235 jiwa, sedangkan nelayan hanya berjumlah

2.219 jiwa saja. Setidaknya terdapat 5 wilayah kecamatan di Tidore Kepulauan

yang memiliki persentase jumlah penduduk bermatapencaharian nelayan yang

relatif besar antara lain: Oba Utara, Tidore Utara, Tidore Selatan, Tidore, dan Oba

(DKP Kota Tidore Kepulauan, 2007).

Orang Tomalou merupakan nelayan yang sejak dulu dikenal sebagai

nelayan tulen dan andal di antara masyarakat Tidore lainnya, bahkan jika

dibandingkan dengan masyarakat Maluku Utara pada umumnya. Dari sumber

tertulis tertua (Kuneman, 1882) yang ditemukan mengenai aktivitas penangkapan

ikan (mangael) pada orang Tomalou diketahui bahwa pekerjaan tersebut telah

dilakukan sejak sebelum tahun 1900-an. Tiga kelompok masyarakat di Tidore

yang dikenal sebagai pemburu sumber daya ikan hingga ke lokasi-lokasi yang

terletak jauh dari kampungnya (mangael sampe jaoh) adalah orang-orang

Tomalou (Tomelo), Mareku (Mareekoe) dan Toloa (Teloa). Kajian sejarah tentang

aktivitas perikanan pantai di Karesidenan Ternate (Rajab, 2011) menunjukkan

bahwa aktivitas penangkapan ikan oleh ketiga kampung nelayan tersebut bahkan

telah berlangsung sejak sebelum abad ke-18. Hingga saat ini, ketiganya masih

4

tetap mempertahankan mata pencaharian tersebut, meski terdapat beberapa pilihan

mata pencaharian lainnya seiring dengan kompleksitas kehidupan yang dibawa

oleh perkembangan zaman.

Seperti akan ditunjukkan lebih jauh dalam kajian ini, bertahannya aktivitas

penangkapan ikan (mangael) bagi orang Tomalou dilandasi oleh beberapa alasan.

Salah satu alasan penting bagi mayoritas di antara mereka adalah adanya

pandangan (dari kalangan mereka sendiri) bahwa menjadi nelayan bagi orang

Tomalou adalah warisan leluhur yang harus tetap dipertahankan. Beberapa

nelayan, khususnya para pemilik (Majikan) sarana produksi seperti kapal dan

jaring (soma), yang sempat beralih mata pencaharian, seperti menjadi kontraktor

atau usaha angkutan umum (mobil angkutan atau ojek), ditanggapi negatif oleh

warga lainnya, secara diam-diam. Setelah terbukti mereka tidak bisa

mempertahankan keberlanjutan pekerjaan barunya tersebut, tanggapan dari warga

Tomalou lainnya pun semakin menyeruak. Dari tanggapan mereka, seolah

membenarkan pandangan sebelumnya bahwa mengingkari atau meninggalkan

tradisi penangkapan ikan (mangael) sebagai warisan nenek moyang akan

menyebabkan datangnya semacam kutukan (faso). Kegagalan mempertahankan

dan melanjutkan usaha barunya—yang digeluti dengan meninggalkan usaha di

bidang perikanan tangkap—bagi sebagian kalangan, dipandang sebagai dampak

dari kutukan (foso) tersebut. Menggeluti bidang pekerjaan baru di luar bidang

perikanan sama sekali tidak dilarang dalam kehidupan orang Tomalou. Hanya

saja, seperti dikemukakan beberapa warga Tomalou, sebaiknya tidak

5

meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan. Bagaimanapun juga penghasilan

sebagai nelayanlah yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraannya sehingga

mampu menyekolahkan anak-anak dan memiliki rumah atau aset rumah tangga

lainnya secara berkecukupan. Demikianlah pandangan sebagian kalangan nelayan

di Tomalou.

Sistem mata pencaharian suatu masyarakat pada dasarnya merupakan suatu

proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya (Semedi, 1998; Romens, 2003).

Oleh karena itu, dengan memahami bahwa menangkap ikan (mangael) sebagai

mata pencaharian utama pada orang Tomalou dan telah berlangsung lama, maka

selain dapat dipandang sebagai aktivitas ekonomi belaka, sistem mata pencaharian

mereka juga pada dasarnya mencakup serangkaian adaptasi terhadap

lingkungannya. Pola-pola adaptasi yang dianggap tepat (adaptif) oleh mereka

diperoleh dari proses belajar baik melalui lingkungan sosialnya maupun dari

lingkungan alamnya. Pengalaman berinteraksi dengan lingkungan alamnya dari

waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, akan memantapkan pengetahuannya

sekaligus memungkinkan muncul atau terbentuknya pengetahuan baru

berdasarkan fenomena yang dihadapinya.

Sebagai nelayan penangkap ikan (mangael) laut, sudah tentu mereka

menjalankan aktivitasnya terutama di lingkungan laut. Karena mangael

merupakan mata pencaharian yang secara langsung memanfaatkan sumber daya

laut, yakni biota ikan, maka hal fundamental yang harus dimiliki adalah

pengetahuan tentang laut, sumber daya laut, dan teknologi penangkapan ikannya.

6

Pengetahuan orang Tomalou tentang berbagai hal tersebut, selanjutnya akan

menjadi pola (pattern for) bagi perilakunya. Selain itu, bentuk-bentuk respons

terhadap hal-hal yang dianggap baru berkaitan dengan mata pencahariannya dapat

membentuk suatu ‘pengetahuan baru’ (pattern of) dalam kerangka interaksi

mereka dengan lingkungannya. Bertahannya mata pencaharian orang Tomalou

sebagai nelayan penangkap ikan (mangael) tersebut menunjukkan bahwa mereka

berhasil beradaptasi dengan lingkungannya.

Akan tetapi, pandangan tentang orang Tomalou dan lingkungannya seperti

dikemukakan di atas, oleh beberapa pihak justru melihat sebaliknya. Dinas

Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Tidore Kepulauan (2011), misalnya dalam

Laporan Tahunannya menyatakan secara tegas bahwa salah satu permasalahan

yang dihadapi oleh pemerintah dalam membangun sektor kelautan dan perikanan

di daerah itu adalah masih rendahnya kesadaran2 masyarakat terhadap kelestarian

wilayah laut dan pesisir. Penyamarataan (generalisasi) pandangan pemerintah

tersebut terhadap seluruh masyarakat pesisir di Kota Tidore Kepulauan dengan

jelas dapat diduga akan menghasilkan suatu kebijakan pemerintah yang abai

terhadap kebudayaan masyarakat tempatan, seperti halnya kebudayaan komunitas

nelayan di Tomalou. Demikian pula pandangan Salnuddin dkk (2009) yang

menunjukkan bahwa sebanyak 79 persen nelayan di Tidore Kepulauan tidak

2 Secara fenomenologis, kesadaran masyarakat (nelayan) Tomalou tentang lingkungannya

adalah juga pengetahuan tentang lingkungan tersebut. Dengan demikian, kesadaran dalam hal ini merupakan perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh mereka (lihat H.S Ahimsa-Putra, Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama, Jurnal Penelitian Walisongo, 2009, hlm. 1-33).

7

mengetahui fungsi ekosistem pesisir3. Seturut dengan pandangan tersebut,

perilaku nelayan di pesisir Halmahera Selatan, Maluku Utara, juga dianggap

sebagai perusak lingkungan laut di sana (Tim Peneliti PSL, 2004).

Klaim tentang nelayan Tomalou sebagai (1) memiliki kesadaran dan

pengetahuan yang rendah tentang fungsi ekosistem pesisir, dan (2) perilaku

perusakan lingkungan pesisir dan laut, seperti dikemukakan beberapa pihak di

atas, menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi ke dalam jagad kehidupan mereka.

Ketertarikan ini tidak hanya didorong oleh ambisi untuk memperoleh gambaran

memadai tentang kebudayaan orang Tomalou dalam kerangka interaksi dengan

lingkungannya. Lebih dari pada itu, suatu penelitian4 (tentang nelayan Tomalou)

yang sungguh-sungguh dari perspektif yang berbeda dari penelitian terdahulu

diperlukan untuk menjadi masukan kepada berbagai pihak, khususnya pemerintah.

3Dalam laporan tersebut, mereka tidak menunjuk nelayan Tomalou secara khusus,

melainkan secara umum ditujukan kepada masyarakat pesisir di Kota Tidore Kepulauan. Akan tetapi, hampir di sepanjang laporan tersebut, mereka selalu menyebut orang-orang Tomalou dalam kaitannya sebagai masyarakat yang menempati wilayah pesisir laut dan sebagai nelayan yang memiliki kontribusi penting bagi produksi ikan di Kota Tidore Kepulauan.

4 Menurut Penulis, ada kesan bahwa penelitian yang dilakukan oleh institusi perguruan tinggi maupun lembaga lainnya terkait kebudayaan nelayan Tidore sekadar memenuhi hasrat pemerintah, project oriented. Sementara pendataan yang dilakukan secara intern oleh pemerintah, dalam hal ini DKP Kota Tidore Kepulauan, melalui suatu perbincangan tidak formal dengan staf mereka, diketahui bahwa statistik perikanan harus ditunjukkan mengalami tren meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dilakukan karena terkait dengan alokasi anggaran (dari pemerintah pusat) yang akan dikucurkan kepada instansi ini pada tahun berikutnya. Jika terjadi penurunan pemanfaatan hasil-hasil perikanan, dan secara gamblang ditunjukkan dalam laporan (statistik perikanan) tersebut, maka pada tahun berikutnya anggaran dari pemerintah pusat untuk instansi ini akan diturunkan jumlahnya karena mereka (DKP Tidore Kepulauan) dianggap gagal, demikian pula sebaliknya.

8

B. Rumusan masalah

Kondisi ekologis kepulauan Maluku Utara—sebagian terbesar wilayahnya

kepulauan ini merupakan lautan—dan kaitannya dengan sistem mata pencaharian

komunitas nelayan di Tomalou yang telah dipraktikkan sejak ratusan tahun silam

(Kuneman, 1882) menunjukkan adanya pemahaman yang memadai tentang

lingkungannya. Ditunjang oleh pemahamannya tersebut, aktivitas mangael

mereka dapat bertahan sedemikian rupa dalam kebudayaannya hingga sekarang

ini.

Interaksi nelayan Tomalou dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini

lingkungan laut, berlangsung secara dinamis. Pemanfaatan sumber daya laut,

khususnya biota ikan sebagai buruan utamanya, mempertemukan mereka dengan

berbagai aktor yang pada gilirannya mempengaruhi pandangan mereka terhadap

laut dan sumber dayanya. Kehadiran nelayan asing dari Filipina dalam lokasi

tangkap mereka, misalnya dipandang sebagai salah satu kendala bagi kesuksesan

mata pencahariannya. Teknologi mutakhir penangkapan ikan yang dioperasikan

oleh nelayan asing tersebut, bagi nelayan Tomalou berdampak pada menurunnya

kesempatan untuk dapat memperoleh hasil tangkapan secara maksimal, melimpah.

Sementara itu, pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi perilaku illegal

fishing oleh nelayan asing tersebut. Kendala lingkungan yang bersifat

antropogenik; kehadiran nelayan asing Filipina, dan ketidakberdayaan pemerintah

dalam mengatasinya secara dinamis mempengaruhi pengetahuan mereka tentang

lingkungannya. Realitas baru atas lingkungan mereka melahirkan pandangan-

9

pandangan baru tentang lingkungannya hingga terbentuknya perilaku yang

berpola dalam menghadapinya. Lingkungan fisik dalam hal ini telah dipahami,

diinterpretasikan, dan ditanggapi, sedemikian rupa sehingga menjadi lingkungan

budaya (cultural environment). Kebudayaan suatu masyarakat (nelayan) di sini

menjadi penting sebagai model-model bagi interpretasi, tindakan, perilaku, dan

berinteraksi baik terhadap lingkungan alam maupun sosialnya.

Terkait dengan hal tersebut, maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai

berikut, antara lain:

1) Bagaimanakah pengetahuan komunitas nelayan Tomalou mengenai

lingkungan laut dan sumber dayanya?

2) Apa saja perilaku adaptasi ekologis yang dimiliki dan dikembangkan

dalam kerangka hubungan mereka dengan lingkungannya? Bagaimana

bentuk-bentuk strategi tersebut? Bagaimana pula proses-proses strategi

tersebut berlangsung?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mencapai dua tujuan. Pertama, penelitian ini

ditujukan untuk mendeskripsikan pengetahuan komunitas nelayan di Tomalou

terkait dengan kondisi lingkungan dan sumber daya lautnya. Kedua, penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku adaptasi dan strategi adaptasi yang

dimiliki dan dikembangkan oleh nelayan Tomalou dalam menghadapi lingkungan

laut dan sumber daya di dalamnya.

10

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dua hal, yakni: manfaat

teoritis-akademis dan manfaat praktis. Secara teoritis-akademis, penelitian ini

diharapkan dapat menyumbangkan manfaatnya dalam memperkaya khazanah

kajian mengenai etnografi komunitas nelayan dengan perspektif antropologi

ekologi. Hasil studi ini, dapat menjadi bahan perbandingan bagi komunitas-

komunitas nelayan yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia umumnya, dan

di Maluku Utara khususnya.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi

bermakna tentang jagad budaya nelayan penangkap ikan (mangael) di Tomalou

sebagai pihak yang paling memahami kondisi lingkungan dan sumber daya

lautnya berdasarkan interaksi mereka yang telah berlangsung secara turun-

temurun. Informasi tentang hal ini dianggap penting karena mereka seringkali

dipandang atau dikonsepsikan oleh ‘pihak luar’ (kalangan peneliti ‘sains’ dan

penentu kebijakan, pemerintah) bahwa komunitas nelayan ini kurang memahami

atau tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang lingkungan dan sumber

daya lautnya. Karena itu, hasil penelitian ini direncanakan akan dipublikasikan,

baik sebagian ataupun keseluruhannya, melalui jurnal ilmiah ataupun dalam

bentuk buku. Tentu saja setelah mendapatkan kritik dan saran, pertama-tama dari

pembimbing dan penguji tesis ini, dan pihak-pihak lainnya.

11

D. Tinjauan Pustaka

Karena penelitian ini pada dasarnya melihat interaksi antara manusia dan

lingkungannya, maka bagian Tinjauan Pustaka ini difokuskan pada isu-isu yang

berkaitan dengan kedua elemen tersebut. Lingkungan fisik laut dan sumberdaya di

dalamnya dipandang banyak pihak mendapat pengaruh langsung atau tidak

langsung dari aktivitas manusia: masyarakat pesisir pada umumnya dan nelayan

pada khususnya. Karena itu, bagian pertama Tinjauan Pustaka ini membicarakan

kondisi fisik laut dan pesisir serta kondisi sumber dayanya. Selanjutnya, nelayan

sebagai pelaku utama aktivitas pemanfaatan hasil-hasil laut dibicarakan pada

bagian kedua berikutnya.

Literatur yang mengulas tentang kehidupan sosial budaya nelayan di

Maluku Utara masih sangat terbatas, baik dari segi kedalaman kajian maupun dari

segi jumlahnya. Menghadapi kenyataan ini, tinjauan terhadap beberapa publikasi

yang membahas isu serupa, tetapi terhadap berbagai komunitas nelayan di

berbagai tempat di Indonesia, dilakukan. Kondisi ini sekaligus menunjukkan

bahwa kajian mengenai kehidupan komunitas nelayan di Maluku Utara relatif

belum dilakukan secara intensif.

1. Lingkungan Laut dan Sumber Dayanya

Studi ini berangkat dari isu-isu tentang fenomena lingkungan dan sumber

daya lautnya yang dikonsepsikan oleh banyak pihak telah berubah, bahkan telah

mengalami kemerosotan daya dukungnya. Sumber daya laut dikategorikan

menjadi dua, yaitu: sumber daya yang bisa diperbaharui (renewable resource) dan

12

sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resource). Berbagai

jenis ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-kerangan, termasuk ke dalam

kategori yang dapat diperbaharui, meski dengan kemampuan yang bersifat

terbatas. Eksploitasi berlebihan (over-exploitation), yaitu sumber daya digunakan

melebihi kapasitas pemulihan bagi dirinya, lambat laun akan menyebabkan

kemerosotan bagi sumber daya tersebut. Jika aktivitas pengurasannya terus

berlangsung dalam jangka panjang, maka sumber daya tersebut akan mengalami

kepunahan.

Pandangan terhadap sumber daya yang dapat diperbaharui dan

ketersediannya membagi para ahli dan kalangan praktisi ke dalam dua kelompok.

Salah satu pihak menyatakan bahwa sumber daya (terbaharui) tersebut masih

cukup melimpah. Berdasarkan asumsi kelimpahan dan kemampuan

memperbaharui diri dari sumber daya ini, mendorong terus dilakukannya

pemanfaatan terhadap sumber daya tertentu demi mencapai kepentingan

(pembangunan) ekonomi. Sebaliknya, di pihak lain, keyakinan terhadap sumber

daya yang masih melimpah ini dipandangnya sebagai hal yang berlebihan, jika

bukan keliru. Bagi mereka, fenomena lingkungan laut dan sumber daya di

dalamnya justru telah mengalami perubahan ke arah yang kian merosot

(degradasi) dari waktu ke waktu.

Menurut Witoelar (2008), beberapa isu global yang berpengaruh terhadap

pembangunan kawasan pesisir dan laut serta terkait satu sama lain adalah (1)

keanekaragaman hayati; (2) perubahan iklim; (3) pencemaran dari aktivitas darat

13

maupun laut. Diangkatnya isu pembangunan dan lingkungan hidup ke tingkat

dunia menunjukkan bahwa masyarakat dunia telah menyadari telah terjadinya

ancaman-ancaman terhadap keberlangsungan pembangunan di seluruh dunia5.

Fenomena semakin terancamnya kapasitas keberlanjutan (sustainable

capacity) ekosistem pesisir dan kelautan telah banyak dibicarakan oleh para ahli.

Kerusakan wilayah pesisir dan ekosistemnya semakin meluas seiring dengan

berjalannya waktu. Proses alam dan aktivitas manusia, termasuk dampak

kebijakan pembangunan di masa lalu, ditunjuk sebagai penyebabnya

(Kusumaatmadja, 2001). Reklamasi pantai, penggunaan alat tangkap ikan yang

tidak ramah lingkungan, dan lain-lain semakin mendegradasikan kualitas

lingkungan pesisir dan laut serta sumber dayanya. Hal ini berimplikasi pada

hilangnya berbagai biota endemik dan hewan langka lainnya (Kasim, 2008).

Terumbu karang, misalnya, sebagaimana dilaporkan data LIPI (Maarif, 2009;

Satria, 2009b) bahwa terumbu karang Indonesia hanya tersisa 7 persen yang

kualitasnya sangat baik, sementara 30 persen lainnya dikatakan dalam kondisi

rusak berat. Terumbu karang dengan tingkat kerusakan serius akibat praktik-

praktik penangkapan ikan karang oleh nelayan di Kepulauan Padaido, Biak,

ditunjukkan oleh Laksono (2007: 16). Demikian pula halnya dengan luas hutan

5 Hal ini disampaikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam sambutannya

berjudul:”Kebijakanan Nasional Tentang Lingkungan Dalam Menuju Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir dan Laut Demi Ketahanan dan Kesejahteraan Bangsa” saat membuka Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Manado, 26-29 Agustus 2008.

14

bakau juga berkurang dari 4 juta hektar menjadi 2,5 juta hektar selama periode

1982-1993 (Dahuri et al., 2008; Satria, 2009b).

Salnuddin dkk (2009: V-19) melaporkan kondisi sumber daya terumbu

karang di Pulau Maitara, Kota Tidore Kepulauan, dalam kategori rusak dan cukup

dengan persentase antara 21,40 - 41,80 %. Kondisi terumbu karang yang sebagian

besarnya ditemukan rusak di Tidore, seperti dikemukakan oleh Salnuddin dkk

(2009: V-24) mengakibatkan berkurangnya jumlah spesies ikan karang. Bahkan,

potensi perikanan terumbu karang di wilayah Kota Tidore Kepulauan dinyatakan

semakin terancam kelestariannya. Serupa dengan kondisi terumbu karang, padang

lamun6 di Kota Tidore Kepulauan kini sudah memerlukan usaha perlindungan dan

rehabilitasi.

Beberapa hal yang ditunjuk oleh Salnudddin dkk (2009) sebagai penyebab

berkurangnya jumlah populasi maupun spesies ikan karang yang berukuran besar

di kedalaman 0-20 meter lebih adalah antara lain: (1) rusaknya terumbu karang;

(2) penangkapan ikan yang berlebihan (over-fishing) yang tidak memperhitungkan

laju pertumbuhan dan reproduksi alamiah ikan; (3) praktik penangkapan ikan

dengan bom. Beberapa hal ini dipandang dapat menyebabkan punahnya potensi

perikanan karang di Kota Tidore Kepulauan.

6 Padang lamun secara multifungsi menunjang ekosistem pesisir dan pesisir beserta

dinamikanya. Ekosistem lamun sangat terkait dengan ekosistem di wilayah pesisir seperti mangrove (bakau), terumbu karang, estauria, dan berbagai biota pesisir lainnya. Padang lamun juga berfungsi sebagai sumber produktivitas primer di perairan dangkal; sumber makanan, pembesaran dan perlindungan bagi berbagai jenis ikan, crtustacea dan moluska. Selain itu, hamparan lamun juga membantu mengurangi energi gelombang dan arus, membantu menyaring sedimen yang tersuspensi daei air dan menstabilkan sedimen dasar (lihat Salnuddin, 2009: V-35).

15

Rumengan (2008: 42) menunjuk pertumbuhan ekonomi seiring dengan

peningkatan kepadatan penduduk dan laju pembangunan sebagai memiliki

konsekuensi (negatif) terhadap struktur fisik lingkungan pesisir dan ekosistemnya.

Menurutnya, degradasi ekosistem wilayah pesisir seperti kerusakan habitat bakau,

padang lamun, terumbu karang, terutama disebabkan oleh eksploitasi berlebihan

oleh masyarakat pesisir dan pemangku kepentingan lainnya. Beberapa di antara

hal-hal yang dianggap bertalian dengan permasalahan ini adalah rendahnya

pendapatan dan permodalan, ketidakstabilan pekerjaan, kurangnya pendidikan dan

kesadaran akan konservasi sumberdaya pesisir, serta terbatasnya kapasitas

mengelola pesisir dan peluang usaha untuk perbaikan taraf hidup. Dengan

menunjuk kasus penatakelolaan ekosistem pesisir dan laut di Sulawesi Utara

melalui pemantauannya terhadap proyek-proyek yang telah dilakukan oleh

pemerintah, Rumengan (2008: 43) juga menemukan kondisi belum

termanfaatkannya sumber daya pesisir secara optimal. Selain itu, ia juga

menyatakan semakin sempitnya wilayah potensial di wilayah pesisir akibat

eksploitasi berlebihan.

Terkait dengan aktivitas dan permasalahan di wilayah pantai, Pattinaja

(2008) menunjuk beberapa aktivitas yang berimplikasi pada kondisi lingkungan

pesisir. Beberapa di antara aktivitas dimaksud adalah yakni: pemukiman pesisir,

perikanan, transportasi dan pelabuhan, pariwisata, pertambangan, dan industri.

Berbagai aktivitas tersebut memicu terjadinya degradasi lingkungan seperti erosi

atau abrasi pantai, reklamasi, terkurasnya sumberdaya ikan, punahnya biota di

16

sekitar pantai akibat aktivitas transportasi. Terganggunya stabilitas dan dinamika

pantai hingga tenggelamnya suatu pulau, perubahan batimetri, pola arus, pola dan

energi gelombang adalah ativitas pertambangan yang ditengarai mendegradasikan

lingkungan fisik. Aktivitas di bidang industri yang membuang limbahnya ke

pantai atau laut berdampak pada terganggunya keseimbangan ekosistem pesisir

(Pattinaja, 2008: 61-62).

Selain beberapa isu berkaitan dengan fenomena lingkungan yang telah

dikemukakan di atas, isu perubahan iklim dan (yang didalamnya tercakup)

pemanasan global termasuk yang paling terbaru. F. Numberi (2009) menunjukkan

dampak fenomena ini terhadap kehidupan di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

Menurutnya, perubahan iklim global dapat berdampak secara serius pada

terganggunya pola rantai makanan (biota laut). Peningkatan suhu air laut yang

mengakibatkan menghangatnya suhu permukaan laut, menyebabkan terjadinya

pemutihan (bleaching) pada terumbu karang. Seperti diketahui, terumbu karang

memilik banyak fungsi terhadap keberlangsungan berbagai biota laut yang

berasosiasi dengannya, khususnya ikan. Kepunahan karang berarti musnahnya

sumber daya perikanan. Sementara itu, manusia terus membutuhkan protein

hewani, salah satunya diperoleh dari ikan.

Perubahan iklim juga mengancam keberlangsungan wilayah pesisir, tempat

di mana sebagian besar aktivitas perekonomian berlangsung oleh masyarakat

pesisir (Numberi, 2009; Witoelar, 2008). Masih berkaitan dengan dampak

perubahan iklim, Susandi (2008) menunjuk anomali cuaca di suatu wilayah dan

17

pengaruhnya bagi keberlangsungan aktivitas ekonomi petani dan nelayan.

Sulitnya menduga musim; musim tanam (pada petani) dan musim melaut (pada

nelayan), dan peluang terjadinya bencana pada musim kemarau dan musim hujan

adalah fenomena yang dihadirkan oleh perubahan iklim global ini.

Mengantisipasi dampak perubahan iklim di masa depan, pemerintah di

tingkat nasional maupun internasional mengupayakan agenda mitigasi dan

adaptasi7. Dalam pelaksanaannya, agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

dalam pembangunan nasional Indonesia harus memperhatikan 3 hal, yakni: (1)

harus berjalan bersamaan dengan upaya pengentasan kemiskinan, karena

masyarakat miskin merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan

iklim; (2) didasarkan pada penataan peraturan yang telah ada seperti penataan

ruang, zonasi, kawasan lindung; (3) mengacu pada keberhasilan pengalaman-

pengalaman masyarakat setempat (Witoelar, 2008). Meskipun demikian, terkait

dengan poin (3) ini, penelitian atau inventarisasi dan pendokumentasian

pengalaman masyarakat setempat (masyarakat tempatan, tineliti) mengenai

pandangan dan responsnya terhadap perubahan iklim masih jarang dijumpai.

Pengetahuan masyarakat tempatan (local knowledge) dalam hal ini masih belum

mendapat posisi sepenting pengetahuan para “ahli’ (sciencist), masih dipandang

sebelah mata.

7 Kedua agenda penanggulangan dampak perubahan iklim ini merupakan hasil keputusan

penting dari Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada akhir tahun 2007, atau dikenal dengan Bali Action Plan. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim melalui UU RI No. 6 Tahun 1994 (Witoelar, 2008).

18

Pada aspek perikanan tangkap, fenomena kemerosotan sumber daya laut

ditunjukkan dengan semakin menurunnya kondisi jumlah hasil tangkapan para

nelayan. Perikanan laut dunia diperkirakan telah dieksploitasi secara berlebih

sebesar 75% dari total stok yang ada. Sisanya sebesar 25% dikategorikan masih

berada dalam kondisi tangkap kurang. Dari data yang ditunjukkan oleh FAO

(2001: 41) dapat diperoleh informasi bahwa total produksi perikanan tangkap

dunia menunjukkan tren menurun sebesar 5% dalam kurun waktu tahun 1995-

2000. Dikatakan pula oleh Mirovitskaya et. al. (Dalam Satria, 2009a: 29) bahwa

60% stok ikan di dunia ditangkap pada kondisi unsustainable. Menurut mereka,

populasi ikan-ikan besar yang berada di lautan dunia menurun hingga 90% dalam

kurun waktu 50 tahun terakhir. Agar dapat pulih kembali, sumber daya tersebut

membutuhkan waktu yang cukup panjang. Meskipun kegiatan penangkapan

dihentikan, tetap saja diperlukan waktu yang cukup lama agar sumber daya

perikanan tersebut dapat pulih kembali (Wiadnya dkk, 2003).

Secara umum, kondisi perikanan tangkap di Indonesia juga serupa dengan

apa yang dialami oleh perikanan tangkap dunia. Seperti ditunjukkan oleh Widodo

dkk (2003) bahwa sektor perikanan tangkap Indonesia telah mengalami penurunan

akibat aktivitas tangkap-lebih (Dahuri dkk, 2008; Kusumaatmadja, 2001;

Wiadnya dkk, 2003) yang terjadi sebelumnya. Menurutnya, hampir semua analisis

mengenai perikanan tangkap Indonesia menunjukkan telah terlampauinya kondisi

Maximum Sustainable Effort (MSE), atau Usaha Maximum Lestari. Pengelolaan

perikanan di Indonesia didasarkan pada metode pendugaan Maximum Sustainable

19

Yield, atau MSY8, atau lebih dikenal potensi perikanan tangkap. Dalam studi

Wiadnya dkk (2003) dikatakan bahwa dari beberapa studi yang dilakukan secara

berbeda, ditemukan nilai penduga MSY dengan nilai yang bervariasi. Pemerintah

memutuskan untuk menggunakan nilai tengah di antara nilai tinggi dan terendah

dari variasi nilai penduga tersebut, yaitu 5,0 ton per tahun.

Di samping metode penentuan nilai penduga MSY yang cenderung

spekulatif oleh pemerintah tersebut, Wiadnya dkk (2003) juga mengemukakan

tiga hal penting yang harus diperhatikan agar diperoleh nilai MSY secara akurat.

Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan

yang digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas

sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi. Dua asumsi yang paling

penting di antaranya adalah stok ikan selalu berada dalam kondisi keseimbangan

serta hasil tangkap-per-unit-usaha (hasil tangkap per armada per hari) merupakan

petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Ketiga, dalam kasus perikanan

8 Metode pendugaan potensi perikanan tangkap Indonesia mengikuti metode perhitungan

yang dikembangkan sejak tahun 1930. Teori Hjort—diambil dari nama penemunya, Hjort, seorang ahli biologi perikanan Norwegia—ini dikenal dengan teori penangkapan dalam keseimbangan atau disebut equilibrium fishing—menangkap sejumlah ikan yang setara dengan jumlah populasi yang meningkat melalui proses pertumbuhan dan reproduksi. Pada tahun 1950-an, seorang peneliti lain, Schaefer, menyempurnakan Teori Hjort dan memperkenalkan metode baru yang didasarkan atas analisis data effort atau upaya hasil tangkap. Seperti halnya institusi perikanan lainnya di dunia, DKP menggunakan metode ini untuk menduga potensi hasil tangkapan. Secara esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut untuk menghasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan ukuran atau jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan inilah yang disebut sebagai hasil tangkapan maksimum berimbang lestari (Maximum Sustinable Yield, atau MSY). Lihat Wiadnya dkk, “Kajian Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia: Menuju Pembentukan Kawasan Perlindungan laut” dalam Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003, J. Wiadnya dkk (Eds.), Jakarta: PURSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, Hlm. 67-90)

20

tangkap Indonesia, hasil perhitungan MSY diterjemahkan berbeda dari kondisi

seharusnya. Sayangnya, di tengah berbagai kekurangan dalam metode pendugaan

nilai potensi tangkap lestari (Wiadnya dkk, 2003), pemerintah Indonesia masih

berpedoman pada nilai MSY tersebut dalam menentukan kebijakan pengelolaan

perikanan di Indonesia.

Dengan melihat realitas empirik pada beberapa komunitas nelayan di

berbagai tempat di Indonesia, tampaknya kritik Wiadnya dkk (2003) di atas bisa

jadi benar. Hal ini dikuatkan lagi dengan analisis yang ditunjukkan oleh Widodo

dkk (2003) pada beberapa hasil penelitian sebelumnya. Disimpulkan bahwa stok

perikanan tuna di Samudera Hindia, perikanan kakap merah (Lates calcarifer) di

perairan Arafura dan Timor, stok ikan demersal di perairan bagian luar

Kalimantan (Laut Cina Selatan), dan stok ikan demersal dan ikan pelagis di Laut

Jawa, dalam kondisi eksploitasi penuh hingga tangkap lebih. Dengan kata lain,

pada keempat wilayah pengelolaan perikanan yang telah disebutkan, jelas telah

mengalami penangkapan berlebih (overfishing).

2. Nelayan dan Kompleksitas Permasalahannya

Berbagai permasalahan wilayah pesisir dan lautan di atas masih terus

berlangsung hingga saat ini. Salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan

terkena dampaknya adalah komunitas nelayan. Mereka ini, khususnya nelayan

tradisional, bermukim di sepanjang garis pantai dan sekaligus menggantungkan

mata pencaharian hidupnya dengan harapan besar kepada sumberdaya pesisir dan

lautnya. Dari beberapa hasil penelitian diperoleh informasi bahwa berbagai

21

permasalahan yang melingkupi kehidupan komunitas nelayan antara lain:

masalah degradasi lingkungan; keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar;

rendahnya kualitas SDM; kemiskinan dan; kebijakan pemerintah yang belum

memihak secara optimal kepada komunitas nelayan (Saad, 2000; Satria, 2009a,

2009b; Semedi, 1998; Kusnadi, 2003, 2007, 2009; Laksono, 2007).

Bagian berikut ini akan ditunjukkan beberapa hasil penelitian menyangkut

kehidupan komunitas nelayan di Maluku Utara (Amin dkk, 2009; Balitbangda,

2007; Mohamad, 2009; Muksin, 2006; Tim Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas

Khairun Ternate, 2008; Tim Peneliti PSL, 2004; Salnuddin dkk, 2009).

Tim Peneliti PSL (2004) melakukan studi pada masyarakat pesisir di

Kabupaten Halmahera Selatan dan hasilnya dimuat dalam “Laporan Akhir

Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Pulau-Pulau Guraici”. Data

dan penjelasan yang disajikan dalam laporan mereka lebih banyak menyangkut

kondisi lingkungan fisik saja, sementara aspek sosial budaya masyarakat di situ

kurang diperhatikan. Beberapa perilaku masyarakat yang diungkapkan hanya yang

dianggap merusak lingkungan (pandangan etic), tanpa menelusuri alasan-alasan

budaya di baliknya. Sistem pengetahuan, atau aspek kognitif secara umum, dari

masyarakat yang dikaji sebagai pemanfaat sumberdaya tidak diungkapkan sama

sekali.

Hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas

Ekonomi Universitas Khairun Ternate (2008) disajikan dalam laporan hasil

“Penyusunan Database Sosial Ekonomi Perikanan Kabupaten Halmahera

22

Barat”. Melalui pendekatan positivistik, hasil penelitian mereka

menginformasikan kondisi fisik dan jenis sumberdaya perikanan dan kelautan di

Kabupaten Halmahera Barat. Secara optimis, mereka mengajukan prediksi

keberadaan sumberdaya yang masih cukup besar. Hal ini tentu saja berbeda

dengan kondisi empiris yang sedang berlangsung pada beberapa komunitas

nelayan di Maluku Utara saat ini. Dua hasil penelitian lainnya, Balitbangda (2007)

dan Salnuddin dkk (2009) menunjukkan hasil serupa.

Balitbangda (2007: 2) Provinsi Maluku Utara dalam laporan hasil penelitian

“Survei Sosial Ekonomi Perikanan Laut di Kabupaten Halmahera Selatan”

menyajikan data dan informasi mencakup beberapa aspek antara lain: struktur

sosial ekonomi Rumah Tangga Perikanan (RTP), tingkat pengusahaan/teknologi

yang digunakan, tingkat pendapatan RTP, distribusi pendapatan RTP, biaya dan

pendapatan usaha perikanan, tingkat hidup RTP, dan efisiensi ekonomis suatu

usaha perikanan. Pendekatan ekonomi yang digunakan dalam penelitian mereka,

berimplikasi pada kurangnya penjelasan bermakna yang dapat diperoleh atas

realitas kehidupan RTP. Pandangan peneliti (etic) tampak lebih menonjol dalam

laporan hasil penelitian mereka.

Melalui “Laporan Akhir Penyusunan Database Perikanan Kota Tidore

Kepulauan” oleh Salnuddin dkk (2009) diperoleh informasi bahwa sebagian besar

nelayan (79%) tidak mengetahui fungsi ekosistem pesisir. Berdasarkan data ini,

komunitas nelayan di sana lalu dianggap memiliki pengetahuan yang rendah

mengenai lingkungan mereka. Anggapan ini tentu saja benar karena pengetahuan

23

yang dimaksudkan adalah pengetahuan sains, suatu bentuk pengetahuan menurut

konsep para peneliti. Pandangan emic dan pengetahuan lokal tineliti sangat jelas

diabaikan di sini.

Muksin (2006) dalam tesisnya “Optimalisasi Usaha Perikanan Cakalang

(Katsuwonus pelamis) Di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara” salah

satunya menyimpulkan bahwa usaha perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di

Kota Tidore Kepulauan masih layak untuk dikembangkan. Dua faktor yang

berpengaruh di dalam model yang diajukan Muksin tersebut, yakni: nilai

Tangkapan Maksimum Berimbang Lestari9 (MSY: Maximum Sustainable Yield)

dan kontrol terhadap kekuatan pasar merupakan faktor yang menentukan

efektivitas model tersebut. Nilai penduga MSY mengandung banyak kelemahan

sehingga sangat besar kemungkinan meleset atas hasil dugaan tersebut (lihat

Wiadnya dkk, 2001). Sementara itu, nelayan seringkali tidak mampu untuk

melakukan negosiasi terhadap kekuatan pasar (McCay, 1978: 406). Keresahan

dan keluhan yang seringkali dilontarkan oleh para nelayan akibat kondisi

sumberdaya, termasuk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), yang semakin

merosot dari waktu ke waktu merupakan fakta empirik komunitas nelayan di

beberapa tempat. Singkatnya, seperti beberapa penelitian yang telah disebutkan

9 Perkiraan perhitungan stok sumberdaya lestari (MSY) sebenarnya mengikuti Teori

Schaeffer (Wiadnya, 2001). Kurva Schaeffer sendiri pada dasarnya mengasumsikan bahwa para nelayan bekerja di bawah mekanisme keseimbangan sumberdaya milik bersama dan bahwa tingkat pendapatan itu lestari. Pandangan ini menuai banyak kritik. Uraian dan penjelasan menarik mengenai Kurva Schaeffer, lihat Semedi,”Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung. Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono” (Semedi, 1998), hlm. 14-21.

24

sebelumnya, penelitian Muksin (2006) terjebak dalam perhitungan dan prediksi-

prediksi yang dibangun penelitinya sendiri.

Kelima penelitian yang disebutkan di atas pada dasarnya bertitik tolak dari

kerangka teori positivistik. Baik disebutkan secara implisit maupun eksplisit,

penelitian mereka tampaknya didasarkan pada asumsi bahwa kondisi sumberdaya

perikanan dan kelautan, cara-cara pemanfataan dan kelestariannya, sangat

berkorelasi dengan tingkat pendidikan (formal), status sosial-ekonomi,

pengetahuan, dan sebagainya pada masyarakat di sana. Kelemahan penelitian

seperti yang disebutkan di atas, seperti diacu dalam Ahimsa-Putra (1997: 53),

adalah sebagai berikut.

Pertama, mereka tidak dapat menunjukkan perilaku masyarakat dalam

kaitannya dengan interaksi mereka dengan lingkungannya. Hal ini disebabkan

tidak adanya informasi mengenai variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan

perilaku. Penjelasan mengenai perilaku tidak cukup dengan hanya menyajikan

data-data statistik dan korelasinya dengan faktor-faktor tertentu saja.

Bagaimanapun, perilaku manusia dipengaruhi oleh kompleksitas berbagai faktor

di dalam lingkungannya.

Kedua, para peneliti di atas lebih banyak menggunakan persepsinya sendiri

(pandangan etik) dalam memandang permasalahan yang sedang dikaji. Sudut

pandangan tineliti sebagai subyek yang aktif dalam berinteraksi dan menanggapi

lingkungannya tidak mendapatkan ruang dalam penelitian mereka. Dengan kata

lain, berbagai kategori, konsep, definisi, yang dimiliki oleh peneliti sebelum ke

25

lapangan digunakan untuk melihat realitas di lapangan. Sebagai implikasinya,

dapat diduga bahwa hasil penelitian dan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh

kurang informatif dan kemungkinan akan meleset. Informasi seperti pengetahuan

dan perilaku pemanfaatan dari sudut pandangan masyarakat di situ tidak

diungkapkan dan dipahami. Informasi tentang hal ini mempengaruhi keabsahan

hasil penafsiran tentang perilaku masyarakat tentu saja.

Ketiga, di balik asumsi positivistik dalam penelitian mereka pada dasarnya

secara implisit manusia dianalogikan sama dengan hewan. Hal ini juga berarti

bahwa kemampuan simbolisasi yang dimiliki dan dikembangkan manusia dalam

memaknai lingkungannya, tidak diperhatikan. Sebagai akibat diabaikannya aspek

simbolis ini oleh para peneliti di atas, maka hasil penelitian mereka tidak

menjangkau dan menyajikan dimensi makna, hal mana memegang peranan

penting dalam kehidupan manusia.

Laporan hasil penelitian oleh Amin dkk (2009), “Identifikasi Kearifan

Lokal dan Strategi Implementasinya Dalam Pembangunan di Maluku Utara”,

menunjukkan beberapa bentuk kearifan lokal yang masih tersisa dan potensial

untuk dikembangkan di Maluku Utara. Meski tidak disebutkan secara eksplisit,

penelitian mereka dipengaruhi oleh pendekatan etnosains. Sayangnya, beberapa

potensi dari pendekatan etnosains belum diterapkan secara optimal, sehingga

relasi antara pengetahuan dan perilaku anggota komunitas nelayan, misalnya,

tidak dijelaskan dengan baik. Demikian pula halnya dengan strategi adaptasi,

26

tidak diungkapkan dan digambarkan, padahal fakta-fakta perubahan lingkungan

beberapa di antaranya sempat disinggung.

Lampe (1989) dalam tesisnya, “Strategi-strategi Adaptif yang Digunakan

Nelayan Madura Dalam Kehidupan Ekonomi Perikanan Lautnya”, meninjau

kehidupan ekonomi nelayan di Madura pada masa kolonial. Karena hanya melihat

praktik-praktik nelayan di masa lalu (masa kolonial) menurut sumber

kepustakaan, dan tanpa pengamatan langsung di lapangan, maka hasil analisis

yang muncul kemudian adalah sifatnya statis, bukan bersifat dinamis yang

bersumber dari pengamatan langsung (Lampe, 1989: 7). Pendekatan studi adaptasi

yang dilakukan oleh Lampe merupakan adaptasi fungsional, di mana lingkungan

selalu dilihat dalam keadaan stabil. Kenyataannya, kondisi lingkungan di berbagai

tempat saat ini telah mengalami kemerosotan.

Etnografi kehidupan nelayan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa

digambarkan oleh Semedi (1998) dalam bukunya “Ketika Nelayan Harus Sandar

Dayung. Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono”. Kehidupan nelayan yang

digambarkan beberapa ahli sebagai dinamika seimbang dan ekuilibrium, dikritik

Semedi (1998: x) melalui fakta-fakta kemiskinan komunitas nelayan yang

ditunjukkannya. Sebagai strategi mempertahankan hidup, dalam kondisi demikian

nelayan harus tetap melaut. Seperti diakuinya sendiri (Semedi, 1998: 22),

keterbatasan studi tersebut karena hanya difokuskan pada aktivitas penangkapan

ikan saja. Hal inilah yang dianggap Semedi sebagai inti aktivitas ekonomi

komunitas nelayan. Akan tetapi, cara dia memfokuskan perhatian terhadap satu

27

aspek tertentu, membuat ulasan yang dihadirkannya menjadi mendalam dengan

pengungkapan fakta-fakta bermakna.

Permasalahan sosial ekonomi masyarakat nelayan, banyak disoroti Kusnadi

(2002; 2003; 2009) sebagai permasalahan penting dalam berbagai kesempatan.

Bagi Kusnadi, semua nelayan tradisional dililit oleh kemiskinan. Oleh karena itu,

semua bentuk aktivitas nelayan semata diarahkan pada pencarian solusi dari

permasalahan tersebut. Ketika berbicara tentang berbagai bentuk strategi adaptasi

pada masyarakat nelayan, Kusnadi lebih cenderung melihat pada aspek ekonomi

kehidupan nelayan.

Nelayan miskin dapat diamati dari kondisi rumah hunian mereka: berlantai

pasir, berdinding anyaman bambu, beratap daun rumbia, dan keterbatasan perabot

rumah tangga (Kusnadi, 2002: 40). Indikator yang digunakan Kusnadi untuk

menentukan nelayan miskin ini tidak bisa diterapkan di Tomalou10. Di sana,

pemukiman nelayan tertata rapi dan bersih. Sebagian besar rumah warga di

Tomalou dibuat mulai dari semi-permanen hingga permanen. Oleh karena itu,

konsep ‘nelayan miskin’ perlu didefinisikan menurut pandangan nelayan (emik) di

masing-masing tempat, bukannya menurut konsep dan definisi peneliti (etik).

Ditinjau dari pendekatannya, tampaknya Kusnadi menggunakan pendekatan

fungsionalisme-struktural untuk melihat realitas masyarakat nelayan. Kusnadi

memposisikan nelayan ke dalam struktur-struktur hirarkis; nelayan kaya dan

10 Banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar Kota Tidore, memandang bahwa

Kelurahan Tomalou termasuk daerah yang paling maju di Kota Tidore Kepulauan. Hal ini dilihat dari kemajuan infrastruktur umum dan kondisi perumahan warganya.

28

nelayan miskin, yang dianggapnya telah berlangsung selama berabad-abad. Cara

pandang semacam ini, sebagai implikasi dari pendekatannya, mengabaikan sisi

pelaku (nelayan) sebagai individu-individu yang aktif dalam merespon

lingkungannya. Peneliti di sini lebih terfokus pada sistem yang sifatnya luas.

Kehidupan keseharian pada tiga kelompok nelayan di Pulau Kemujan

digambarkan oleh Mudjijono (2010) dalam artikelnya “Tiga Kelompok Kerja

Nelayan di Pulau Kemujan. Suatu Studi Kasus Adaptasi”. Mudjijono sangat

sedikit sekali mengungkapkan aspek lingkungan laut. Gambaran tentang berbagai

kendala yang dihadapi oleh nelayan di laut lebih banyak berupa kendala sosial

sifatnya, seperti ancaman perompak dan kerusakan mesin kapal, sedangkan

kendala-kendala yang bersumber dari lingkungan fisik laut tidak dijelaskan.

Penelitian tesis Dora (2008), “Ketika Perempuan Melaut (Strategi

Perempuan Dalam Mendukung Ekonomi Rumah Tangga)”, membicarakan pola

relasi suami-istri dalam kehidupan masyarakat nelayan. Menurut Dora, persoalan

ekonomi; rendahnya kesejahteraan kehidupan rumah tangga, menjadi motivasi

utama keterlibatan perempuan di sektor publik. Dengan kata lain, pandangan Dora

ini menyiratkan suatu gagasan bahwa interaksi antara manusia (perempuan)

dengan lingkungan hanya karena alasan ekonomi belaka. Pandangan ini

mereduksi kompleksitas interaksi manusia dan lingkungannya tentu saja. Di

dalam berbagai studi telah ditunjukkan bahwa ternyata interaksi antara manusia

dan lingkungannya, melibatkan berbagai faktor di luar aspek ekonomi.

29

Dalam pengkajian kehidupan komunitas nelayan, beberapa peneliti juga

menggunakan perspektif ekonomi politik. Menurut perspektif ini, kemiskinan

nelayan adalah akibat overfishing pada beberapa tempat sebagai key fishing

grounds di Indonesia (Bailey, 1988: 25-38). Marginalisasi, resistensi, dan

kemiskinan merupakan isu yang banyak dibicarakan dalam perspektif ini. Proses

marginalisasi ini seringkali dianggap bermula dari kebijakan pemerintah yang

tidak memihak kepada kepentingan nelayan dan kelompok masyarakat pesisir

lainnya (Hanif, 2008; Junaidi, 2007; Kusnadi, 2002, 2003, 2009; Laksono dkk,

2001; Semedi, 2003).

Dari perspektif ekologi, pandangan mereka dapat saja dikategorikan ke

dalam pendekatan ekologi politik. Pendekatan yang berkembang sejak 1980-an

ini, menggabungkan antara pendekatan ekonomi politik dan beberapa pendekatan

dalam ekologi prosesual (actor-based models, decision making models, dan lain-

lain) di dalam analisisnya (Little, 1999: 255). Di antara beberapa penelitian

dengan pendekatan ini ditunjukkan seperti berikut ini.

Junaidi (2007) dalam penelitian tesisnya, “Kalah di Kampung Sendighi.

Nelayan Melayu di Indonesia Pasca Kolonial”, menuliskan bahwa marginalisasi

di kalangan nelayan Melayu/pribumi di Concong Luar tampak pada tiga aspek:

politik, ekonomi, dan jaringan. Pada aspek politik, marginalisasi terlihat pada

orientasi kebijakan penguasa dan pengusaha. Aspek ekonomi ditunjukkan dengan

penguasaan sumberdaya alam lebih berorientasi pada nelayan pendatang karena

rendahnya keterampilan nelayan pribumi. Dari aspek jaringan ditunjukkan

30

dengan ketidakmampuan nelayan setempat untuk mengembangkan pekerjaan

karena masih tergantung pada tauke Cina. Sejauh mana variabel-variabel politik

dan lingkungan saling berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari komunitas

nelayan, tidak banyak digambarkan oleh Juniadi.

Hanif (2008) dalam bukunya: “Mengembalikan Daulat Warga Pesisir:

Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Lokal”, menunjukkan

bagaimana respon nelayan terhadap kebijakan pemerintah ditunjukkan melalui

bentuk-bentuk resistensi. Dengan menggunakan gagasan James Scott tentang

perlawanan dan resistensi yang terjadi pada masyarakat agraris, Hanif

menemukan tiga pola dan bentuk resistensi, yaitu: (1) resistensi simbolis; (2)

resistensi kompromis; dan (3) resistensi frontal. Lagi-lagi, Hanif (2008) tidak

menjelaskan secara gamblang bagaimana kondisi lingkungan (fisik) pesisir dalam

berinterakasi dengan lingkungan sosial, di mana resistensi tersebut hadir.

Di Kepulauan Padaido, keterpinggiran yang terutama terasa dalam bidang

ekonomi pada komunitas nelayan diungkapkan oleh Laksono dkk (2001) dalam

bukunya “Kepulauan Padaido. Haruskah Habis Terkuras”. Dari hasil studi atas

kawasan itu, ditemukan bahwa Kepulauan Padaido memiliki kekayaan potensi

sosial, ekonomi, dan sumberdaya alam hayati. Namun, ketika berbagai aktor

berkepentingan (pemerintah dan swasta) melihat potensi tersebut, maka

pengembangannya semata diarahkan pada upaya memperoleh keuntungan semata.

Dalam prosesnya, masyarakat lokal malah diabaikan, sehingga yang terjadi

31

selanjutnya adalah mereka merasa diabaikan dan tidak mendapat keuntungan

dalam bentuk apapun (Laksono dkk, 2001: v).

Penelitian terhadap komunitas nelayan dengan pendekatan ekologi-politik—

dengan fokus perhatian pada masalah kemiskinan dan marginalisasi—seperti telah

ditunjukkan di atas juga mengandung beberapa kelemahan. Kajian mereka lebih

banyak menyoroti fenomena lingkungan sosial, dengan mengabaikan sebagian

besar fenomena lingkungan fisik yang mempengaruhinya. Aspek ekologi

seringkali ditinggalkan, atau kurang diungkapkan, dalam pembahasan mereka

selanjutnya. Para peneliti di sini lebih banyak mencurahkan perhatian pada

dampak lanjutan yang ditimbulkan oleh degradasi lingkungan. Akibat

diabaikannya hal ini, maka informasi yang disajikan lebih banyak menegaskan

pandangan etik (pandangan peneliti) daripada pandangan emik (pandangan

tineliti) yang hidup, berkembang, dan diyakini oleh masyarakat setempat.

Lampe (2006) dalam disertasinya, “Pemanfaatan Sumberdaya Taka Oleh

Nelayan Pulau Sembilan: Studi Tentang Variasi Pelaku Nelayan dan

Konsekwensi Lingkungan Dalam Konteks Internal dan Eksternal”, mengulas

kehidupan nelayan dengan sangat bagus. Pendekatan aksi dan konsekuensi dengan

mode penjelasan kontekstual progresif, sebagai salah satu pendekatan dalam

ekologi manusia, digunakan dalam penelitian tersebut. Dikatakan oleh Lampe

(2006) bahwa adopsi inovasi teknologi atau modernisasi perikanan, penetrasi

pasar, dan kebijakan pemerintah merupakan beberapa faktor yang menyumbang

terjadinya persaingan dan konflik antarindividu atau antarkelompok nelayan,

32

pengurasan cadangan sumberdaya dan kerusakan ekosistem lingkungan laut.

Selanjutnya, dalam hal degradasi sumberdaya perikanan, menurut Lampe (2006:

7), dihadapi oleh nelayan melalui serangkaian strategi adaptasi, yaitu: kekuatan

mesin semakin ditingkatkan, memperbesar skala perahu dan alat tangkap, dan

memperkecil ukuran mata jaring. Dikatakan pula bahwa bentuk-bentuk strategi

adaptif ini sebenarnya menyumbang bagi kerusakan lingkungan, dan dapat

memicu persaingan ketat, konflik antarnelayan, dan dapat juga menyebabkan

kerusakan ekosistem laut.

Melalui beberapa hasil penelitian yang telah ditunjukkan di atas, tampak

bahwa beberapa kajian tentang kehidupan komunitas nelayan tidak ada yang

menggunakan pendekatan etnoekologi. Di antara pendekatan yang mereka

gunakan adalah pendekatan fungsional-struktural (Kusnadi, 2002), pendekatan

ekonomi-ekologi-politik (Dora, 2008; Hanif, 2008; Junaidi, 2007; Kusnadi, 2002,

2003, 2009; Laksono, 2001, 2007; Mudjijono, 2010; Satria, 2009a, 2009b;

Semedi, 1998, 2003), pendekatan aksi dan konsekuensi (Lampe, 2006), adaptasi

fungsional (Lampe, 1989). Sementara beberapa hasil penelitian yang pernah

dilakukan pada komunitas nelayan di Maluku Utara tampaknya sarat dengan

asumsi-asumsi positivistik, apriori dan generalisasi.

Berbeda dengan penelitian yang ini, interaksi antara manusia dan

lingkungan alamnya akan diungkapkan (digambarkan) melalui sistem

pengetahuan komunitas nelayan dan perilakunya. Berangkat dari pemahaman

bahwa manusia beradaptasi atau menanggapi lingkungannya melalui mekanisme

33

kebudayaan mereka, maka setiap bentuk adaptasi pada masyarakat atau komunitas

tertentu adalah unik. Oleh karena itu, penelitian pada masing-masing komunitas

nelayan dalam memahami lingkungannya penting dilakukan. Upaya ini

memungkinkan diungkapkannya permasalahan dari sudut pandang masyarakat

setempat (tineliti) sebagai pelaku budaya.

E. Landasan Teori

Berdasarkan kajian pustaka yang telah ditunjukkan sebelumnya, umumnya

hasil penelitian tersebut kurang mengungkapkan sistem pengetahuan komunitas

nelayan yang diteliti, termasuk bagaimana mengoperasionalisasikan sistem

pengetahuan tersebut. Padahal, melalui sistem pengetahuannya, nelayan dapat

memilih dan memutuskan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi kendala-

kendala dalam lingkungannya. Selanjutnya, jika berhasil mengatasi kendala-

kendala di lingkungannya, termasuk masalah degradasi sumberdaya perikanan,

maka pengetahuan tersebut akan terpola ke dalam serangkaian strategi dan

perilaku adaptasi mereka.

Penelitian ini menekankan perhatian pada dua hal, yakni: pengetahuan dan

perilaku komunitas nelayan. Menurut R. Ellen (1982; dalam Bellon, 1991), peran

pengetahuan dalam interaksi antara manusia dan lingkungannya merupakan pusat

perhatian ekologi manusia. Organisasi sosial dan budaya manusia tidak merespon

terhadap rangsangan lingkungan secara mekanis. Pengetahuan manusia dan

struktur kognitif sangat penting untuk menganalisis hubungan-hubungan ekologis

karena kita melihat dan menanggapi alam dalam citra-citra budaya kita.

34

Pentingnya bingkai pengetahuan ke dalam pandangan dunia pada kelompok

budaya tertentu, membantu untuk membentuk interaksi suatu kelompok budaya

dengan lingkungannya, sambil membentuk kerangka kerja untuk menafsirkan

pengalaman dan berkomunikasi dengan orang lain.

Rencana penelitian ini pada dasarnya mengikuti tradisi antropologi

kognitif11. Dalam praktiknya, the new ethnography sebagian besar perhatiannya

tertuju pada upaya mengeksplorasi sistem-sistem klasifikasi rakyat (folk

classification, ethnoscience, ethnographic semantic). Oleh karena itu, sebagai

semacam kerangka besar dari penelitian ini, maka kebudayaan dipandang sebagai

sistem-sistem pengetahuan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ward Goodenough

(Keesing, 1974) bahwa:

“A society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members. Culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the form of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them.”

(Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas).

11 Sebagai sistem ideasional, kebudayaan dapat dibedakan atas tiga cara, yaitu: (1)

kebudayaan sebagai sistem-sistem kognitif; (2) kebudayaan sistem-sistem struktural; (3) kebudayaan sebagai sistem-sistem simbolik. Lihat, Roger M. Keesing,”Theories of Culture”, dalam Annual Review of Anthropology, 1974, (3), hal. 73-97.

35

“Culture...consists of standards deciding what is, ... for deciding what can be, ... for deciding what one feels about it, ... for deciding what to do about it, and ... for deciding how to go about doing it.”

(Kebudayaan…terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa, …untuk menentukan apa yang dapat menjadi, …untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang tentang hal itu, …untuk menentukan bagaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk menentukan bagaimana caranya menghadapi hal itu).

Dengan kata lain, kebudayaan menurut Ward Goodenough di atas

merupakan model-model yang terdapat di dalam pikiran (mind) manusia yang

berfungsi untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan menginterpretasikan

lingkungannya (Ahimsa-Putra, 1985: 105; Marzali, 2007; Sutton & Anderson,

2004: 96). Hasil interpretasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku

manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk dapat mengungkapkan

model-model pengetahuan setempat, maka pendekatan yang akan digunakan

adalah pendekatan etnoekologi.

1. Etnoekologi

Pendekatan etnoekologi merupakan suatu komponen pendekatan baru dari

ekologi kultural yang menemukan dan mengembangkan suatu studi mengenai apa

yang diketahui masyarakat setempat (local people) tentang lingkungannya,

bagaimana mengklasifikasikan informasi-informasi terkait dengan lingkungannya

tersebut dan bagaimana menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk

pertama kalinya, studi dengan pendekatan etnosains atau etnoekologi, dilakukan

oleh Goodenough. Memang ungkapan ‘etnosains’ pada saat itu belum

36

dipergunakan, melainkan ‘native’. Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan

ini digunakan oleh Harold C. Conklin dan Charles O. Frake untuk mengkaji

pengetahuan setempat pada dua kelompok masyarakat di Filipina. Harold C.

Conklin mengkaji pengetahuan mengenai tanah, hutan, tanaman, dan pertanian

pada orang Hanunóo, sedangkan Charles O. Frake mengkaji sistem religi,

pengetahuan medis dan nutrisi pada orang Subanun (Sutton dan Anderson, 2004:

98; Lihat juga Ahimsa-Putra, 1985).

Pendekatan etnoekologi mengarahkan perhatian pada eksplorasi untuk

menemukan sifat-hakikat “model konseptual pribumi”. Seperti dikemukakan oleh

R. Ellen (Bellon, 1991), etnoekologi adalah studi tentang pengetahuan yang

dianggap penting untuk interaksi antara masyarakat dan lingkungannya.

Etnoekologi bertujuan untuk memahami hubungan antara pengetahuan dan

perilaku manusia dengan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh

masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah bahwa lingkungan efektif

bersifat kultural sebab lingkungan obyektif yang sama dapat dilihat dan dipahami

secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayannya

(Ahimsa-Putra, 1985, 1994: 7; Bellon, 1991). Dengan kata lain, lingkungan

tersebut merupakan lingkungan fisik yang telah diinterpretasi, ditafsirkan, melalui

perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Lingkungan yang telah

ditafsirkan (ethnoenvironment) merupakan bagian dari sistem budaya suatu

masyarakat. Sistem pengetahuan suatu masyarakat mengenai lingkungan tersebut

terwujud dalam bentuk klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi unsur-unsur

37

lingkungan (Ahimsa-Putra, 1985, 1997: 54-55; Bellon, 1991: 391; Moran, 2006:

33). Selanjutnya, pengetahuan tersebut bersifat konstruktif bagi kehidupan sosial

(Geertz, 2003: 342). Selain mendeskripsikan isi dan sistem pengetahuan,

pendekatan etnoekologi juga mampu mendeskripsikan proses pengambilan

keputusan untuk menghadapi suatu lingkungan atau keadaan tertentu.

Sebagai bentuk pendekatan yang lebih spesifik dari perspektif

fenomenologi, pendekatan etnoekologi dengan demikian dapat dipandang

memiliki landasan epistemologis dari pendekatan fenomenologi yang dibangun

dalam ilmu sosial-budaya. Menurut H.S. Ahimsa-Putra (2009: 11-13), beberapa

asumsi dasar fenemoelogis adalah sebagai berikut.

Pertama, fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang

memiliki kesadaran. Kesadaran manusia ini selalu tentang sesuatu, termasuk

mengenai ‘kesadaran’ itu sendiri. Singkatnya, kesadaran mengenai sesuatu ini

juga adalah pengetahuan, sehingga kesadaran adalah perangkat pengetahuan yang

kita miliki. Kedua, pengetahuan pada manusia berawal dari interkasi atau

komunikasi di antara mereka, antara individu satu dengan individu yang lain,

dengan menggunakan bahasa lisan sebagai sarana komunikasi yang fundamental.

Melalui bahasa lisan inilah manusia mewujudkan kesadarannya tentang sesuatu

sehingga kesadaran pada manusia tersebut dapat dimengerti, dipahami, dan

diketahui adanya. Ketiga, kesadaran tersebut bersifat intersubyektif (antarsubyek)

karena dibangun melalui proses komunikasi, lewat interaksi sosial. Karena itu, isi

pengetahuan anggota suatu kelompok masyarakat tersebut bersifat sosial, yang

38

dimiliki juga oleh individu-individu lainnya. Keempat, perangkat pengetahuan

atau kerangka kesadaran ini menjadi pembimbing individu dalam mewujudkan

perilaku-perilaku dan tindakan-tindakannya.

Kelima, typification atau klasifikasi (classification), yang berupa kategori-

kategori atau tipe-tipe dari unsur-unsur yang ada dalam kehidupan manusia

merupakan salah satu perangkat kesadaran pada manusia tersebut. Kategori-

kategori ini digunakan manusia untuk memandang, memahami lingkungan dan

kehidupannya. Keteraturan (order) dalam kehidupan sehari-hari dan tanggapan

(response) terhadap dunia, kehidupannya, diciptakan manusia dari sistem

klasifikasi tersebut.

Keenam, kehidupan manusia adalah kehidupan yang bermakna, kehidupan

yang diberi makna oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Asumsi ini muncul dari

adanya tujuan, kesadaran, obyek kesadaran dan kesadaran mengenai tujuan yang

ada di dalam diri manusia membentuk perangkat pemaknaan. Manusia

memberikan makna pada kehidupannya, kehidupan sosialnya, melalui perangkat

pemaknaan ini. Melalui perangkat pemaknaan ini pula manusia menetapkan

relasi-relasi tertentu antara dirinya dengan dunianya, kehidupannya, dengan

individu-individu yang lain.

Ketujuh, gejala sosial-budaya merupakan gejala yang berbeda dengan gejala

alam. Dalam gejala sosial-budaya, yang terlibat adalah manusia. Manusia yang

terlibat di situ memiliki kesadaran tentang apa yang dilakukannya dan tentang

gejala di mana mereka terlibat; mampu memberikan makna terhadap dunianya.

39

Karena itu, gejala sosial-budaya tidak dapat dipelajari sebagaimana halnya

mempelajari gejala alam. Metode yang digunakannya pun harus sesuai dengan

“hakekat” dari gejala yang dipelajari tersebut. Inilah yang merupakan asumsi

dasar fenomenologi yang ke delapan.

2. Pengetahuan

Seperti dikemukakan oleh H.S. Ahimsa-Putra (2009: 15-16), salah satu

konsep penting dalam perspektif fenomenologis adalah “memahami”, yaitu

mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma, aturan yang

ada dalam suatu masyarakat yang dianut oleh individu, dan dapat menetapkan

relasinya dengan perilaku warga masyarakat, perilaku sebuah kolektivitas, atau

perilaku individu tertentu. Upaya “memahami” di sini berawal dari asumsi bahwa

perilaku manusia atau sebuah kolektivitas merupakan perilaku yang berpola,

berulang kembali.

Selanjutnya, menurut H.S. Ahimsa-Putra (2009: 16), gejala sosial-budaya

berbeda dengan gejala alam. Gejala sosial-budaya diwujudkan oleh manusia, dan

manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Perbedaan utamanya terletak pada

adanya “kesadaran” yang dimiliki oleh manusia, memiliki pengetahuan mengenai

apa yang dilakukannya. Kesadaran atau pengetahuan inilah yang digunakan untuk

menghadapi situasi yang dihadapinya. Untuk dapat “mengerti”, “memahami”,

gejala sosial-budaya berupa berbagai pola perilaku dan tindakan manusia, kajian

sosial-budaya harus memperhatikan aspek pengetahuan mengenai pandangan,

40

pendapat, makna, nilai, pengetahuan yang dimiliki oleh individu atau warga suatu

masyarakat.

Dalam kaitannya dengan isu-isu pembangunan (lingkungan) dan

pengelolaan sumberdaya alam, pengetahuan dikategorikan dengan berbagai

bentuk oleh para ahli12. Dua bentuk yang lazim dipertentangkan adalah

pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah (sains). Dikotomi atas kedua bentuk

pengetahuan ini ditanggapi para ahli dengan sikap yang berbeda-beda (Agrawal,

1998; Brookfield, 1998).

Vayda dan Setyawati (1998) mengemukakan perlunya fokus kajian

antropologi yang mengacu pada tingkah laku penduduk setempat dan pengetahuan

yang melandasinya, jika menginginkan kajian yang bermanfaat bagi

pembangunan. Dari pengalaman berbagai permasalahan yang timbul dalam

pengelolaan sumber daya alam, menurut Winarto dan Choesin (2001: 91-92), jelas

menunjukkan pentingnya pengetahuan penduduk setempat atau pengetahuan lokal

(indigenous knowledge). Karena itu, pengetahuan lokal (indigenous knowledge)

penting dijadikan fokus permasalahan dan penjelasan. Akan tetapi, dalam proyek-

12 Selain pengetahuan lokal (pengetahun masyarakat setempat, indigenous knowledge),

dikenal pula pengetahuan ilmiah (pengetahuan para ahli, sains), dan pengetahuan Barat. Beberapa ahli mendang pengetahuan Barat dan pengetahuan sains sebagai dua hal yang identik. Keduanya menghegemoni pengetahuan lokal, bahkan hingga sampai menghilangkannya. Implikasi lebih jauh dari hal ini menyebabkan semakin terjadinya degradasi lingkungan dan sumberdaya alam. Uraian mengenai hal ini, lihat, Ezra M. Choesin, “Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi” dalam Antropologi Indonesia Th. XXVI (69), hal. 1-9. Lihat juga, Y.T. Winarto dan E.M. Choesin,”Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan” dalam Antropologi Indonesia Th.XXV(64), hal. 91-106.

41

proyek pembangunan, pengetahuan ilmiah dianggap lebih superior, atau lebih

‘benar’, daripada pengetahuan lokal. Implikasi lebih lanjut dari hegemoni

pengetahuan ilmiah dalam proyek-proyek pembangunan, mengakibatkan

bermunculannya berbagai konsekwensi tak terduga dan kemerosotan kondisi

lingkungan hidup serta kesejahteraan penduduk (Penyunting, 1998).

Pengetahuan lokal, biasa juga disebut dengan indigenous knowledge,

‘pengetahuan penduduk setempat’. Pengetahuan penduduk setempat, atau

pengetahuan lokal, mengacu pada domain pengetahuan yang dikembangkan oleh

penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu dan diwarnai secara kuat oleh

interpretasi dan skema-skema pemahaman tentang kondisi lingkungan alam

tempat penduduk yang bersangkutan melangsungkan kehidupannya (Penyunting,

1998).

Pengetahuan tradisional sifatnya tak tertulis, dan diwariskan secara verbal

(lisan) dari generasi ke generasi. Hal yang mengesankan dari pengetahuan ini

adalah bahwa sejumlah individu-individu dalam kebudayaan-kebudayaan

tradisionalnya mengetahui sebagian besar tentang lingkungannya sebab mereka

bekerja di dalamnya setiap hari. Penerapan pengetahuan tersebut ke dalam

praktik-praktik kehidupan merupakan salah satu fokus perhatian ahli antropologi,

khususnya antropologi ekologi. Bagi kalangan ekologi budaya, perhatian mereka

khususnya adalah ingin mengetahui bagaimana interaksi antara manusia dan

lingkungannya, dan bagaimana mereka mengetahui atau memahami

lingkungannya menurut kebudayaan setempat (Sutton & Anderson, 2004: 96-97).

42

Seturut dengan pandangan tersebut, pengetahuan-ekologi tradisional

menurut Berkes (Olsson dan Folke, 2001: 87) merupakan sekumpulan

pengetahuan, praktik, dan keyakinan yang berkembang melalui proses-proses

adaptif dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui transmisi kultural

mengenai hubungan satu sama lain antara makhuk hidup, termasuk manusia,

dengan lingkungan sekitar mereka.

Menurut Turner dkk (2000: 1275-1276), pengetahuan tersebut memiliki

peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya lokal, mempertahankan

keanekaragaman hayati dunia, dan dalam memberikan model yang berlaku secara

lokal bagi keberlanjutan kehidupan. Kerangka kerja pengetahuan (tradisional)

meliputi: (1) praktik-praktik dan strategi-strategi pemanfaatan dan keberlanjutan

sumberdaya; (2) filosofi atau pandangan dunia; (3) komunikasi dan pertukaran

pengetahuan dan informasi; (4) sikap anggota komunitas tentang sumberdaya; (5)

teknik dan strategi yang diterapkan dalam menggunakan sumberdaya dan alasan-

alasan yang mendasarinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengetahuan lokal (indigenous knowledge)

merupakan (1) sekumpulan pengetahuan, praktik, dan keyakinan sebagai (2)

model yang berlaku secara lokal bagi keberlanjutan kehidupan, (3) bersifat

operasional dalam praktik keseharian, (4) berkembang melalui proses-proses

adaptif13, dan (5) diwariskan secara verbal dari generasi ke generasi melalui

13 Konsep ‘adaptif’ selanjutnya akan disebut ‘adaptasi’ dengan perubahan makna yang

menyertainya, seperti akan dijelaskan pada bagian berikut dalam kerangka teori ini.

43

transmisi kultural mengenai hubungan satu sama lain antara makhuk hidup,

termasuk manusia, dengan lingkungan sekitar mereka.

Beberapa teori tentang pengetahuan yang telah dikemukakan di atas, akan

digunakan untuk mengungkapkan dan menggambarkan model-model untuk

mengklasifikasikan lingkungan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di

Tomalou. Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Ahimsa-Putra (2003: 18),

pengetahuan mengenai pengkategorisasian atas berbagai macam gejala ini

memungkinkan kita mengetahui ‘peta kognitif’ mereka. Model-model itu

digunakan masyarakat setempat untuk perceiving dan dealing with circumtances,

yang berarti juga sebagai model-model untuk memahami dan menafsirkan

berbagai macam gejala dan peristiwa yang dihadapi. Makna-makna atas perilaku

manusia di sini diungkapkan dan dijelaskan sehingga dapat dipahami. Menurut

Ahimsa-Putra (2009: 16), makna tersebut lahir dari adanya tujuan dan

pengetahuan di balik perilaku dan tindakan manusia, serta terhadap “obyek”nya.

Pemberian makna oleh manusia kepada segala sesuatu dalam kehidupannya tidak

selalu disadari adanya. Berbeda dengan dunia binatang, dunia manusia adalah

dunia yang penuh dengan makna (meaningful world).

Berdasarkan model-model pengetahuan atas lingkungannya tersebut,

manusia berperilaku sebagai bentuk respon atas lingkungan yang dihadapinya.

Terkait dengan hal ini, pendekatan etnoekologi, menurut Ahimsa-Putra (1997:

55), juga berusaha membangun sebuah model mengenai proses pengambilan

keputusan untuk menghadapi suatu lingkungan atau keadaan tertentu. Kondisi

44

lingkungan laut dengan sumber daya yang semakin merosot, dalam hal ini

dipandang sebagai suatu lingkungan atau keadaan tertentu. Untuk mengungkap,

menggambarkan, dan menjelaskan perilaku dan proses-prosesnya dalam keadaan

tertentu tersebut, teori adaptasi digunakan di sini.

3. Adaptasi

Salah satu perhatian dari kajian-kajian antropologi ekologi adalah masalah

adaptasi kelompok dan adaptasi budaya (Kaplan dan Manners, 2002: 47).

Perspektif antropologi ekologi mendefinisikan adaptasi sebagai suatu strategi

yang digunakan oleh manusia di dalam sepanjang masa hidupnya untuk

mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun sosial (Alland Jr., 1975).

Agar kelangsungan hidup manusia tetap terjaga, maka ia mengembangkan

kapasitas dirinya untuk menghadapi kendala-kendala yang bersumber dari

lingkungan mereka. Semakin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk

(manusia), maka makin besar pula kemungkinan untuk mempertahankan

kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, adaptasi pada dasarnya merupakan

serangkaian proses di mana individu-individu di situ berusaha memaksimalkan

kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968).

Dilihat dari sudut pandang ekologi, interaksi antara kebudayaan dan

lingkungan dapat berlangsung secara fungsional dan prosesual, di mana keduanya

dapat pula mempengaruhi pola-pola adaptasi dan jalannya proses kebudayaan.

Perspektif fungsional memandang bahwa eksosistem selalu berada dalam kondisi

yang stabil. Fokus perhatian dan penjelasannya diarahkan pada usaha-usaha yang

45

dilakukan oleh setiap ekosistem untuk selalu menjaga kestabilan kondisi

lingkungan tersebut. Dengan kata lain, adaptasi fungsional menunjuk pada

respons suatu organisme atau sistem yang ditujukan untuk mempertahankan

keadaan homeostatis sehingga adaptasi yang terjadi pada dasarnya hanya mengacu

pada suatu dimensi waktu tertentu saja.

Berbeda dengan pandangan di atas, perspektif prosesual (Little, 1999)

memandang bahwa ekosistem pada dasarnya tidak stabil, melainkan selalu berada

dalam kondisi yang dinamis. Oleh karena itu, proses-proses yang berkaitan

dengan interaksi lingkungan dan manusia hingga memunculkan suatu pola

adaptasi tertentu menjadi perhatian perspektif ini. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa adaptasi prosesual merupakan sistem tingkah laku manusia yang

dihasilkan sebagai akibat dari proses-proses penyesuaian dirinya terhadap

perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya (Alland Jr., 1975: 60). Adaptasi

yang dimaksudkan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori adaptasi

prosesual.

Kebudayaan secara fleksibel merupakan mekanisme adaptif (Keesing, 1974:

75) karena respon menyangkut perilaku diperlukan, ditransmisikan, dan

dimodifikasi kepada kekuatan lingkungan eksternal sepanjang hidup individu

manusia. Setiap kebudayaan memiliki beberapa cara bagaimana menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi dengan kebudayaan dan individu-individu di

dalamnya. Untuk menghadapi hal ini, setiap kebudayaan memiliki institusi,

peraturan-peraturan, prinsip, hukum-hukum, kontrak sosial, dan organisasi, yang

46

memastikan bahwa semua unsur-unsur tersebut bekerja dan sebagai perangkat

yang menyeimbangkan di antara berbagai kebutuhan (Haviland, 1985; Sutton dan

Anderson, 2004: 91).

Teori adaptasi Bennett (Ahimsa-Putra, 2003: 10) mengemukakan bahwa

adaptasi bukan hanya sekedar persoalan bagaimana manusia mendapatkan

makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan

transformasi sumberdaya-sumberdaya lokal dengan mengikuti model dan

patokan-patokan, standard-standard konsumsi manusia yang umum, serta biaya

dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional. Selanjutnya Bennett

membedakan antara adaptive behavior (perilaku adaptif) dengan adaptive

strategies14 (strategi-strategi adaptif) dan adaptive processes (proses-proses

adaptif). Pembedaan semacam ini memudahkan kita dalam mempelajari masalah

adaptasi karena perilaku-perilaku manusia, sebagai hal yang mula-mula terlihat

dan mudah diamati, berbeda secara konseptual dengan strategi dan proses. Jika

strategi-strategi adaptif berada pada tingkat kesadaran individu yang

menjalankannya (tineliti) sehingga mampu merumuskan dan menyatakannya,

maka proses-proses adaptif merupakan pernyataan atau formulasi dari pengamat

atau peneliti.

14 Dalam uraiannya tentang Teori Adaptasi yang dikemukakan oleh Bennett ini, Ahimsa-

Putra menerjemahkan konsep adaptive strategies sebagai “siasat-siasat adaptasi”. Dalam penjelasannya, istilah strategies (Bahasa Inggris) diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ahimsa-Putra sebagai “siasat” dan “strategi” dan digunakan secara bergantian dalam uraiannya, dengan merujuk makna yang serupa. Dalam tulisan ini, istilah strategies diterjemahkan menjadi “strategi”dan digunakan secara konsisten sepanjang tulisan.

47

Teori Bennett mengenai perilaku adaptif (adaptive behavior) menyulitkan

kita (peneliti) karena di dalamnya mencakup perilaku-perilaku yang ditujukan

untuk mengatasi kendala-kendala yang sulit, seperti kelangkaan dan keterbatasan

sumber daya, guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau mewujudkan harapan-

harapan yang diinginkan (Ahimsa-Putra, 2003: 10-11). Artinya, suatu coping

mechanisms dinyatakan berhasil jika: (1) tujuan-tujuan yang dimaksudkan telah

tercapai, dan (2) harapan-harapan yang diinginkan tineliti juga terwujudkan.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka penelitian ini menggunakan teori

adaptasi yang telah disempurnakan oleh Ahimsa-Putra (2003: 12-13). Dengan

mengganti ‘adaptif’ menjadi ‘adaptasi’, menurut Ahimsa-Putra, setiap perilaku

dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan suatu

lingkungan agar tercapai tujuan yang diinginkan dan masalah yang dihadapi dapat

diatasi. Oleh karena itu, perilaku adaptasi adalah perilaku yang ditujukan untuk

mengatasi masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang

diinginkan.

Selanjutnya, diteorikan oleh Ahimsa-Putra (2003: 13) bahwa strategi

adaptasi mencakup pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia

untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk

memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi di situ. Strategi adaptasi

mengacu juga pada aturan-aturan, pedoman, petunjuk, norma-norma untuk

berperilaku, yang semuanya berada pada tataran ide, pengetahuan. Oleh karena

itu, teori adaptasi Bennett selanjutnya, oleh Ahimsa-Putra (2003: 12) dicakupkan

48

ke dalam tiga hal, yaitu: (1) strategi adaptasi; (2) perilaku adaptasi, dan; (3) proses

adaptasi. Istilah strategi di sini dapat menunjuk pada dua hal, yaitu: (1) rencana,

pedoman, petunjuk mengenai apa yang akan dilakukan, atau dapat pula berupa (2)

perilaku atau tindakan-tindakan yang telah diwujudkan.

Bentuk strategi yang pertama di atas merupakan pola ideal (model

for/pattern for) yang membimbing perilaku individu-individu. Bimbingan atau

petunjuk dari pandangan hidup, nilai-nilai, norma-norma, serta berbagai aturan ini

menuntun perilaku individu ke dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek

kehidupan ini dapat berupa kegiatan keagamaan, kegiatan ekonomi, kegiatan

kekeluargaan atau berbagai kegiatan lainnya. Sistem petunjuk, sistem

pembimbing inilah yang merupakan ‘pola bagi’ (model for/pattern for) yang

seringkali disebut sebagai kebudayaan atau sistem budaya (Goodenough, 1964;

via Ahimsa-Putra, 2003: 13). Berdasarkan penjelasan tersebut, strategi adaptasi—

sebagai pola ideal, ‘pola bagi’, atau model-model kognitif—merupakan sistem

budaya terdapat dalam tataran ide (pengetahuan) individu, maka dalam penelitian

tentang adaptasi dapat pula digunakan pendekatan etnosains atau etnoekologi.

Bentuk strategi yang kedua menunjuk kepada perilaku atau tindakan-

tindakan yang telah diwujudkan oleh individu-individu. Strategi adaptasi di sini

merupakan ‘pola dari’ (model of/pattern of) sebagai uraian atau gambaran yang

dibuat oleh peneliti menurut pengamatannya terhadap satu atau berbagai kegiatan

seseorang atau lebih individu, yang selalu berulang kembali dalam bentuk yang

49

kurang lebih sama. Dalam hal ini, bentuk strategi yang kedua ini dapat juga

disebut sebagai pola aktual.

Berbagai penjelasan mengenai teori adaptasi di atas, khususnya yang

dikemukakan oleh Bennett dan disempurnakan oleh Ahimsa-Putra, akan

digunakan dalam melihat bagaimana perilaku adaptasi dan strategi serta proses-

proses adaptasi berlangsung pada komunitas nelayan di Tomalou.

F. Metode Penelitian

Ditempatkan dalam peta paradigma penelitian sosial budaya, penelitian ini

tergolong jenis penelitian etnosains. Secara epistemologis, penelitian ini dapat

dikelompokkan ke dalam penelitian feomenologis. Dalam penelitian

fenomenologis, fokus kajian atau unit analisisnya mencakup dua hal, yakni:

penelitian tentang perilaku dan kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2007: 43-44).

Mengacu pada hal tersebut, unit analisis penelitian ini adalah sistem pengetahuan,

perilaku pemanfaatan sumberdaya pesisir (laut), dan strategi-strategi yang

dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menghadapi perubahan kondisi

lingkungan dan sumberdayanya.

Data lapangan secara intensif dikumpulkan sejak awal bulan April hingga

bulan Juli 2011. Selama masa-masa itu, Penulis tinggal bersama di rumah-rumah

warga nelayan di Tomalou. Dalam dua kali kesempatan, Penulis turut melaut

bersama mereka hingga ke lokasi tangkap di sekitar Pulau Bacan, Halmahera

Selatan. Karena Penulis beraktivitas di Kota Ternate, yang cukup terjangkau dari

50

lokasi penelitian, maka kunjungan berikutnya sesekali dilakukan untuk

melengkapi data yang sebelumnya telah dikumpulkan.

1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Tomalou, Kota Tidore

Kepulauan, Maluku Utara. Beberapa alasan yang melandasi pemilihan Kelurahan

Tomalou sebagai lokasi penelitian, yaitu: pertama, Penulis pernah menjadi salah

anggota tim peneliti yang menunjuk Tomalou sebagai salah satu lokasi

penelitiannya. Dalam kesempatan tersebut, Penulis mulai mengenal dan

mempelajari kebudayaan masyarakat Tomalou, khususnya dalam aktivitas

penangkapan ikannya (mangael). Karena fokus penelitian yang diikuti Penulis

pada waktu itu tidak hanya tentang aktivitas mangael pada orang Tomalou,

sehingga kehidupan nelayan Tomalou dalam penelitian tersebut tidak

diungkapkan secara lebih dalam. Untuk memenuhi “ketidapuasan” dan

keingintahuan Penulis dari penelitian yang diikuti sebelumnya itu, maka Penulis

menunjuk Tomalou ini sebagai lokasi dalam studi ini.

Kedua, Kelurahan Tomalou merupakan salah satu kawasan pesisir, di mana

penduduknya lebih banyak bekerja sebagai nelayan dibandingkan daerah pesisir

lainnya di Kota Tidore Kepulauan (Amin dkk, 2009; Salnuddin dkk, 2009).

Karena studi ini merupakan kajian tentang relasi antara manusia dan lingkungan

alamnya secara luas, dan interaksi nelayan atau masyarakat pesisir dengan

lingkungan lautnya secara khusus, maka kelurahan Tomalou dipandang sebagai

lokasi yang tepat.

51

Ketiga, dalam sejarah ekonomi Kesultanan Tidore, dikisahkan mengenai

pembagian peranan empat wilayah di kesultanan ini berdasarkan sumberdaya

alamnya (Amin dkk, 2009; Rajab, 2011). Tiga daerah lainnya di Kota Tidore

Kepulauan berperanan dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat meliputi:

sagu, singkong dan tanaman pertanian lainnya, dan keramik (gerabah). Tomalou

secara khusus dipercaya sebagai penyedia kebutuhan hasil-hasil perikanan pada

masa itu. Di masa lalu, pada musim-musim ketika ikan di lautan Halmahera

sedang melimpah, mereka tidak jarang meninggalkan kampungnya selama

berbulan-bulan hingga puncak musim ikan berakhir. Mereka membangun rumah

sementara yang disebut sabua di tepi pantai di mana mereka menangkap ikan dan

mengawetkannya untuk dibawa pulang ke kampung mereka (Kuneman, 1889).

Meski sudah tidak menetap sementara selama menangkap ikan, nelayan Tomalou

saat ini masih tetap menangkap ikan (mangael) hingga ke lokasi-lokasi yang

terletak jauh dari kampungnya (mangael sampe jaoh).

Keempat, sungguhpun sebagian besar anggota komunitas nelayan Tomalou

merasakan dan mengeluhkan kondisi berkurangnya hasil tangkapan, namun

mereka masih tetap mempertahankan mata pencahariannya sebagai nelayan

tersebut (Amin dkk, 2009). Dalam hal ini, Penulis tertarik untuk memahami dan

mengungkap alasan-alasan di balik tindakan tersebut dan strategi-strategi yang

ditempuh oleh mereka sehingga tetap bertahan hidup, atau untuk tujuan lainnya.

52

2. Pemilihan Informan

Prinsip penting pemilihan informan adalah bahwa informan yang terpilih

merupakan seseorang yang mengenal dan mengetahui budayanya dengan baik,

serta memiliki waktu dan bersedia untuk dilibatkan (Spradley, 2007). Karena

penelitian ini membicarakan tentang kehidupan nelayan di Tomalou, khususnya

mengenai pengetahuan dan adaptasinya (perilaku berpola) terhadap lingkungan

mereka, maka informan adalah kalangan nelayan yang telah menggeluti aktivitas

penangkapan ikan (mangael) laut sejak lama. Selain itu, penelitian ini juga

memilih informan dari kalangan tokoh masyarakat dan pemerintah setempat

(Kepala Lurah dan perangkatnya) yang memahami secara baik kebudayaan

masyarakat tempatan (tineliti).

Pertama-tama saat kunjungan lapagan untuk penelitian ini, Penulis langsung

mengunjungi beberapa nelayan; majikan, nakhoda (saehu; kep), anak buah kapal,

yang telah dikenal sebelumnya—melalui penelitian yang pernah diikuti Penulis,

seperti disebutkan dalam uraian sebelumnya. Dalam pertemuan tersebut, Penulis

menyampaikan maksud kedatangannya: ingin mempelajari kehidupan nelayan

Tomalou tentang aktivitas mangael. Penulis juga menyampaikan pula bahwa

selama masa-masa belajar tersebut Penulis akan tinggal bersama mereka.

Menyambut maksud tersebut, dari nelayan Tomalou, Penulis mendapatkan tiga

tawaran rumah untuk ditempati. Meski pun pada akhirnya Penulis hanya memilih

salah satunya, tetapi dalam berbagai kesempatan, siang ataupun malam, Penulis

berkunjung (sekaligus mengumpulkan data untuk penelitian ini) ke rumah-rumah

53

nelayan lainnya. Orang-orang Tomalou sangat ramah, hangat, dan terbuka bagi

para pendatang, termasuk para peneliti. Mereka juga menuturkan

pengalamannya—kisah yang selalu diungkapkannya kepada setiap peneliti yang

datang ke kampung tersebut—tentang kedatangan beberapa peneliti sebelumnya

dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), IPB Bogor, UI Jakarta, dll

peneliti dari Jawa. Mereka malah tidak tertarik menyebutkan peneliti lokal yang

pernah melakukan penelitian di kampung tersebut15.

Keesokan harinya, pada hari kedua sejak kedatangan Penulis di Tomalou,

langsung menjumpai pemerintah kelurahan. Selain ‘melaporkan’ keberadaan dan

maksud Penulis di Tomalou, dalam kesempatan itu juga Penulis mengumpulkan

data sekunder sekaligus mewawancarai lurah dan stafnya untuk memperoleh

gambaran umum terkait aktivitas mangael pada orang Tomalou. Seperti halnya

warga masyarakatnya, lurah Tomalou juga menyatakan sudah seringnya kelurahan

mereka dikunjungi oleh para peneliti16.

Hingga selesainya tahapan pengumpulan data lapangan, dalam penelitian ini

berhasil diwawancarai sebanyak 20 orang dari kalangan nelayan yang meliputi:

15 Setahu Penulis, beberapa peneliti (yang merupakan teman-teman dari Penulis) dari

Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Khairun, Ternate, beberapa kali pernah melakukan penelitian di sana.

16 Meski sudah sering dikunjungi oleh para peneliti, pemerintah dan warga masyarakat Tomalou tetap menerima dengan hangat setiap Peneliti yang datang ke kelurahan tersebut. Beberapa tempat yang sudah sering dikunjungi oleh para peneliti, biasanya menunjukkan sikap sebaliknya; dari penerimaan setengah hati hingga penolakan secara langsung. Sikap seperti ini biasanya dilandasi oleh adanya semacam harapan dari pemerintah dan masyarakat di lokasi penelitian untuk dibantu keluar dari permasalahan yang dipandangnya sebagai akibat dari pengabaian oleh pemerintah yang lebih tinggi jenjangnya. Kenyataan seperti ini banyak dituturkan para peneliti di Kelurahan Dufa-dufa, Kota Ternate, Maluku Utara.

54

Nakhoda (Saehu/Kapten/Kep) sebanyak 6 orang; ABK sebanyak 7 orang; Pemilik

alat dan sarana tangkap (Majikan/Bos) sebanyak 3 orang, yang semuanya

memiliki latar belakang sebagai Nakhoda (Saehu) di masa lalu. Sebanyak 2 orang;

seorang di antaranya adalah pemilik (Majikan/Bos) kapal motor pajeko dipilih

sebagai informan karena pengetahuannya tentang kebudayaan dan masyarakat

Tomalou. Tiga orang informan lainnya, yakni Kepala Lurah Tomalou dan seorang

stafnya serta seorang anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan (mantan Ketua KUD

nelayan di Tomalou) ditunjuk pula sebagai informan dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data kualitatif yang dikumpulkan berupa pernyataan-pernyataan mengenai

isi, sifat, ciri, keadaan, dari suatu gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-

hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-

benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasan-gagasan, atau nilai-nilai, bisa pula

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007:

19).

Beberapa hal yang akan disoroti dalam penelitian ini adalah: (1) sistem

pengetahuan masyarakat yang diteliti (tineliti) mengenai lingkungan alamnya; (2)

berbagai bentuk perilaku pemanfaatan sumberdaya alam yang dipraktikkan oleh

masyarakat di lokasi penelitian; (3) sumberdaya apa saja yang ada di sana; (4)

strategi-strategi yang ditempuh oleh masyarakat di lokasi penelitian terkait dengan

fenomena semakin menurunnya sumberdaya alam di dalam lingkungan mereka.

55

Tiga cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, yakni: (1)

observasi; (2) wawancara; (3) dokumentasi. Ketiganya akan dijelaskan seperti

berikut ini.

a) Observasi (Pengamatan)

Data observasi meliputi berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari anggota

komunitas nelayan. Beberapa di antaranya adalah kondisi lingkungan alam

(geografis), pola pemukiman, teknologi penangkapan, organisasi sosial, aktivitas

melaut, hasil tangkapan (sumber daya), interaksi antaranggota komunitas dan lain-

lain. Penulis juga terlibat langsung dalam aktivitas melaut (mangael) para nelayan

di sana. Dengan teknik ini, Penulis dapat mengikuti proses-proses melaut mereka,

sejak mulai dari persiapan hingga nelayan pulang ke rumahnya. Termasuk pula

bagaimana mereka mempersiapkan, siapa yang memiliki peranan terhadap fungsi

tertentu. Ketika mereka sedang di laut, apa saja yang dikerjakan, peranan setiap

orang yang ikut melaut dan lain-lain. Dengan demikian, hal-hal yang telah

didapatkan selama wawancara dapat dilihat dan dialami langsung, sekaligus

diharapkan dapat memperkaya data yang telah ada. Hal bermakna dari teknik ini,

menurut pengalaman Penulis, adalah ditemukannya hal-hal yang sebelumnya

tidak diungkapkan oleh mereka selama proses wawancara. Seringkali mereka

hanya menyebutkan garis besarnya saja, misalnya tahapan menangkap ikan

(mangael) saat hendak menurunkan jaring (soma). Rincian tentang siapa

mengerjakan apa, beberapa di antaranya tak terungkap dalam wawancara.

56

b) Wawancara

Data wawancara menyangkut topik-topik yang berkaitan dengan pandangan,

persepsi, dan tanggapan-tanggapan anggota komunitas tentang lingkungan,

sumberdaya, lokasi penangkapan, jumlah dan mutu hasil tangkapan. Selain itu,

topik wawancara juga meliputi kendala-kendala yang dihadapi, baik kendala

lingkungan maupun teknologi tangkap serta faktor eksternal lain yang

menyumbang kondisi eksistensial lingkungan dan aktivitas melaut (mangael)

mereka. Selanjutnya, bagaimana cara mengatasi kendala-kendala dan apa

pendapat mereka tentang strategi-strategi yang ada tersebut, juga dijadikan topik

wawancara dalam penelitian yang telah dilakukan ini.

c) Dokumentasi

Teknik dokumentasi meliputi kajian terhadap berbagai sumber: jurnal

ilmiah, tesis, disertasi, buku, laporan hasil penelitian, terbitan tidak berkala, dan

sumber lainnya yang relevan dengan topik dan permasalahan yang dikaji. Selain

itu, teknik ini juga mencakup data atau informasi berupa catatan resmi atau

publikasi yang bersumber dari instansi pemerintah; profil desa dan kecamatan,

data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupatane/Kota dan Provinsi, data

produksi nelayan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Dinas Lingkungan Hidup,

Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan lain-lain.

Untuk keperluan dokumentasi data dan analisis hasil penelitian, maka data

wawancara direkam dengan alat perekam (MP-3 recorder). Kamera juga

digunakan untuk mendokumentasikan: perilaku atau praktik-praktik yang

57

berhubungan dengan aktivitas pemanfaatan sumberdaya, teknologi tangkap yang

digunakan, kondisi lingkungan pesisir Tomalou, pemukiman penduduk,

perumahan, sarana sosial, infrastruktur kelurahan, dan lain-lain.

d) Kepustakaan

Pengumpulan data melalui teknik kepustakaan dilakukan pada awal

penelitian hingga penyusunan hasil penelitian lapangan. Pada awal penelitian,

teknik ini membantu peneliti dalam penentuan dan penajaman fokus penelitian.

Berbagai informasi dan data yang diperoleh dari kepustakaan sebelumnya

berperan penting dalam meningkatkan pemahaman peneliti terhadap fokus

penelitian ini.

Pada tahapan penulisan hasil penelitian lapangan, teknik ini masih tetap

digunakan khususnya pada proses analisis data. Beberapa kepustakaan baru—dari

persiapan awal penelitian—diperoleh oleh peneliti seiring dengan bergulirnya

pembahasan dalam topik-topik penelitian ini.

Termasuk ke dalam sumber-sumber kepustakaan dimaksud adalah tesis,

disertasi, buku, buletin, jurnal, laporan-laporan penelitian, dokumen pemerintah,

makalah-makalah seminar, dan berbagai liputan atau pemberitaan dari media

massa, baik media media cetak maupun media elektronik.

4. Teknik Analisis Data

Menurut Huberman dan Miles (Denzin dan Lincoln, 2009), analisis data

terdiri dari tiga proses yang saling terkait: reduksi data, penyajian data, dan

pengambilan kesimpulan/verifikasi. Proses ini berlangsung sejak sebelum tahap

58

pengumpulan data, sewaktu proses pengumpulan data sementara dan analisis

awal, dan setelah tahap pengumpulan data akhir. Metode analisis domain dan

taksonomik diterapkan hingga akhir penelitian dengan mengikuti Spradley (2007:

189-199).

Reduksi data dilakukan ketika peneliti menentukan kerangka kerja

konseptual, pertanyaan penelitian, kasus, dan instrumen penelitian yang

digunakan. Jika hasil catatan lapangan, wawancara, rekaman, dan data lain telah

tersedia, tahap seleksi data berikutnya adalah perangkuman data (data summary),

pengkodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan

penyajian cerita secara tertulis.

Tahap penyajian data (data display) adalah tahap di mana peneliti mengkaji

proses reduksi data sebagai dasar pemaknaan, sebagai konstruk informasi padat

terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan. Tahap pengambilan

kesimpulan dan verifikasi ini melibatkan peneliti dalam proses interpretasi;

penetapan makna dari data yang tersaji. Cara yang digunakan adalah merumuskan

pola dan tema, pengelompokan (clustering) dengan metode triangulasi,

menindaklanjuti temuan-temuan dan cek-silang hasilnya dengan informan.

Spradley (2007: 203-208) menunjukkan empat prinsip pemaknaan dari

simbol-simbol dan relasi maknanya yang telah diperoleh dari hasil taksonomi.

Keempat prinsip tersebut adalah: (1) prinsip relasional; (2) prinsip kegunaan; (3)

prinsip kemiripan; (4) prinsip kontras. Prinsip-prinsip pemaknaan ini diterapkan

dalam tahap analisis data hingga diperoleh kesimpulan akhir.