bab i pendahuluan - tesis dan...

28
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta merupakan kampus yang memiliki jumlah fakultas terbanyak di Indonesia. UGM mempunyai mahasiswa mencapai 49.000 orang dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu bertandanya adalah berkembangnya jumlah program studi. Perkembangan yang terjadi diikuti dengan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana dalam rangka menunjang kegiatan akademik yang berlangsung. Untuk dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur untuk menunjang kegiatan yang ada di UGM. Diperlukan penataan ruang yang meliputi penataan lahan, bangunan dan lansekap yang terencana dengan baik (UGM, 2011). Untuk dapat membantu perencanaan sarana dan prasarana dalam menunjang kegiatan di UGM kebutuhan Informasi spasial dalam mendukung pengendalian dan perencanaan berperan penting. Pemodelan kota 3 dimensi (3D) dapat digunakan dalam bidang perencanaan, pengendalian, evaluasi dan simulasi kawasan perkotaan (Sun dan Salvaggio, 2013), sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Model kota 3D dalam perspektif perencanaan perkotaan dapat menjadi aset penting dalam melakukan analisa dan pengambilan keputusan (Stileman dkk., 2012). Seiring dengan bertambahnya jumlah mahasiswa dan perkembangan unit kerja yang ada di UGM, maka kebutuhan terhadap ruang sarana prasarana meningkat (UGM, 2011). Oleh karenanya ketersediaan data spasial yang baik dan yang mampu menggambarkan kondisi sebenarnya untuk dapat digunakan dalam mendukung evaluasi dan perencanaan ruang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam perencanaan Klaster yang ada di UGM (misalnya Klaster Agro, Kesehatan, Vokasi). Untuk dapat melakukan evaluasi RTBL Klaster Agro dilakukan dengan menggunakan Foto Udara dan data Lidar berupa point cloud.

Upload: hoangdieu

Post on 03-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta merupakan kampus yang

memiliki jumlah fakultas terbanyak di Indonesia. UGM mempunyai mahasiswa

mencapai 49.000 orang dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah

satu bertandanya adalah berkembangnya jumlah program studi. Perkembangan yang

terjadi diikuti dengan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana dalam rangka

menunjang kegiatan akademik yang berlangsung. Untuk dapat memenuhi kebutuhan

infrastruktur untuk menunjang kegiatan yang ada di UGM. Diperlukan penataan

ruang yang meliputi penataan lahan, bangunan dan lansekap yang terencana dengan

baik (UGM, 2011).

Untuk dapat membantu perencanaan sarana dan prasarana dalam menunjang

kegiatan di UGM kebutuhan Informasi spasial dalam mendukung pengendalian dan

perencanaan berperan penting. Pemodelan kota 3 dimensi (3D) dapat digunakan

dalam bidang perencanaan, pengendalian, evaluasi dan simulasi kawasan perkotaan

(Sun dan Salvaggio, 2013), sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan

yang lebih baik. Model kota 3D dalam perspektif perencanaan perkotaan dapat

menjadi aset penting dalam melakukan analisa dan pengambilan keputusan

(Stileman dkk., 2012).

Seiring dengan bertambahnya jumlah mahasiswa dan perkembangan unit kerja

yang ada di UGM, maka kebutuhan terhadap ruang sarana prasarana meningkat

(UGM, 2011). Oleh karenanya ketersediaan data spasial yang baik dan yang mampu

menggambarkan kondisi sebenarnya untuk dapat digunakan dalam mendukung

evaluasi dan perencanaan ruang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam

perencanaan Klaster yang ada di UGM (misalnya Klaster Agro, Kesehatan, Vokasi).

Untuk dapat melakukan evaluasi RTBL Klaster Agro dilakukan dengan

menggunakan Foto Udara dan data Lidar berupa point cloud.

2

Foto Udara merupakan data hasil pemotretan menggunakan wahana pesawat

dengan menggunakan metode fotogrametri. Fotogrametri merupakan ilmu

pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pengukuran spasial dan produk

geometris dari Foto Udara (Thomas, 2013). Foto Udara dapat digunakan untuk

pembuatan peta tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi visual dilakukan

dengan menggunakan teknik on screen digitasi (Cifor, 2006). Peta tutupan lahan

merupakan salah satu data spasial yang penting dalam berbagai aplikasi sistem

informasi geografi, dimana peta tutupan lahan dapat dijadikan masukan dalam

melakukan analisis berkaitan dengan lingkungan (Bacchi dkk., 2000). Kebutuhan

data spasial berupa peta tutupan lahan digunakan untuk evaluasi intensitas

penggunaan lahan terkait koefisien daerah hijau (KDH) dan koefisien dasar

bangunan (KDB) dari suatu wilayah yang dapat mendukung dalam melakukan

perencanaan RTBL.

Light Detection and Ranging (Lidar) merupakan teknologi penginderaan jauh

aktif yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan informasi spasial objek

dalam bentuk data point cloud 3D (Alsubaie dkk., 2012). Klasifikasi data Lidar

merupakan langkah penting untuk pengolahan fitur berupa ground dan non ground

point. Klasifikansi point cloud kedalam layer gound dan non ground point penting

dilakukan untuk memperoleh informasi spasial yang berguna untuk pemodelan kota

3D (Changa dkk., 2008).

Model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan (terrain) dan

objek yang terdapat di wilayah kota (Sai, 2011). Model 3D memiliki tingkat detail

informasi yang beragam bergantung pada jenis informasi dan detail objek yang akan

direpresentasikan (OGC, 2012). Dalam melakukan representasi model 3D terdapat

tingkatan kedetailan atau dikenal sebagai levels of detail (LOD) (Gröger dkk., 2008).

Terdapat lima tingkatan LOD, di mana setiap tingkatan LOD akan memberikan

informasi lebih detail (OGC, 2012). LOD0 merupakan representasi dua setengah

dimensi dari digital terrain model (DTM), LOD1 adalah model blok tanpa struktur

atap, LOD2 bangunan 3D memiliki struktur atap, LOD3 menunjukkan model

arsitektur dengan lebih rinci seperti struktur atap, pintu, jendela dan LOD4

3

melengkapi dari model LOD3 dengan menambahkan struktur interior seperti kamar,

tangga dan furniture (Kolbe, 2009).

Data Lidar dapat digunakan untuk membuat model kota 3D dalam LOD2,

dimana informasi 3D yang berkaitan dengan digital terain model (DTM) dan model

bangunan. Model kota 3D hasil pengolahan data Lidar dapat digunakan dalam

pembuatan model kota 3D dalam format CityGML (Malambo dan Hahn, 2010).

CityGML merupakan model data open dan berbasis format XML untuk

penyimpanan dan pertukaran virtual model kota 3D (Stadler dan Kolbe, 2012).

Dengan terbangunnya model CityGML dalam LOD2 dapat membantu dalam evalusi

dan simulasi dari perencanaan (Arefi dkk., 2008).

Model CityGML hasil dari pengolahan data Lidar dapat digunakan dalam

mendukung pengambil keputusan untuk melakukan perencanaan berbasis keruangan,

termasuk berpotensi untuk mendukung evaluasi Rencana Tata Bangunan dan

Lingkungan (RTBL) terkait dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Koefisien

Lantai Bangunan merupakan koefisien perbandingan antara luas seluruhan lantai

bangunan gedung dan luas persil/kaveling/blok peruntukan (Peraturan Menteri,

2007). KLB dapat diperoleh dengan menghitung tinggi bangunan, dimana bangunan

dengan ketinggian dari lantai penuh lebih dari 5m maka ketinggian bangunan

lersebut dianggap dua lantai (Peraturan Menteri, 2006). Tinggi bangunan dapat

diperoleh dengan menggunakan data Lidar dengan melakukan pemodelan bangunan

3D (Yua dkk., 2010).

KLB merupakan jumlah lantai bangunan yang diatur pada rencana RTBL

terkait dengan tinggi bangunan yang diijinkan untuk bangunan dalam satu kawasan

(UGM, 2011). RTBL merupakan panduan rancang bangunan suatu

lingkungan/kawasan yang dimaksutkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang,

penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program

bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,

ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan

pengembangan lingkungan/kawasan (Peraturan Menteri, 2007).

Dengan terbangunnya model kota 3D dan peta tutupan lahan dapat digunakan

untuk melakukan evaluasi RTBL Klaster Agro. Model kota 3D dapat digunakan

4

untuk melakukan evaluasi ketinggian bangunan terkait dengan KLB. Berdasarkan

peraturan berkaitan dengan tinggi bangunan untuk wilayah dengan radius 4km dari

bandara Adisucipto harus memiliki tinggi bangunan di bawah 40m (UGM, 2011).

Peta tutupan lahan hasil pengolahan Foto Udara dengan menggunakan metode on

screen digitasi dapat digunakan untuk menghitung intensitas penggunaan lahan

terkait dengan KDB dan KDH. KDB merupakan angka presentasi perbandingan

antara luas seluruh lantai dasar bangunan yang dapat dibangun dan luas persil/lahan

yang dikuasai. KDH merupakan angka presentase perbandingan luas antara seluruh

ruang terbuka diluar bangunan gedung yang diperuntukan bagi pertamanan atau

penghijauan dari luas tanah yang dikuasai (Peraturan Menteri, 2007).

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dipecahkan

pada tesis ini adalah pembuatan model 3D Format CityGML hasil pemetaan Lidar

untuk evaluasi RTBL Klaster Agro yang ada di UGM Yogyakarta dalam tingkatan

LOD2 dan analisa intensitas penggunaan lahan dengan menggunakan Foto Udara.

Evaluasi RTBL meliputi Koefisien Daerah Hijau (KDH), Koefisien Lantai

Bangunan (KLB) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah membangun model kota 3D dalam Format

CityGML pada representasi LOD2 dan peta tutupan lahan dengan menggunakan

Foto Udara untuk mendukung proses evaluasi RTBL Klaster Agro UGM

Yogyakarta.

I.4 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini melipunti:

1. Bagaima proses pembuatan model kota 3D yang dapat digunakan untuk evaluasi

RTBL Klaster Agro ?

2. Adakah kondisi eksisting tinggi bangunan terkait dengan KLB terbangun

melanggar dari RTBL yang ditetapkan?

5

3. Adakah kondisi eksisting KDB dan KDH setiap Fakulatas yang ada pada Klaster

Agro tidak sesuai dengan RTBL?

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini adalah

diketahuinya pemanfaatan data Lidar untuk pemodelan kota 3D yang dapat

digunakan untuk melakukan evaluasi Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

(RTBL) Klaster Agro UGM Yogyakarta terkait dengan KLB dan pemanfaatan Foto

Udara untuk menghitung intensitas pemanfaatan lahan berkaitan dengan KDB dan

KDH. Dengan demikian dapat dijadikan bahan evaluasi dan masukan dalam

pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai

peruntukannya.

I.6 Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian dalam tesis ini mencakup beberapa hal diantaranya.

1. Penelitian ini berfokus pada pembuatan model kota 3D dengan memanfaatkan

data Lidar dalam representasi LOD2.

2. Melakukan konversi hasil pembuatan model kota 3D ke dalam format CityGML.

3. Evaluasi RTBL Klaster Agro terkait dengan KLB, KDB dan KDH dengan

memanfaatkan hasil pembuatan model kota 3D dari data Lidar dan Foto Udara.

I.7 Tinjauan Pustaka

Pemodelan kota 3D telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik untuk

keperluan perencanaan kota dan pariwisata (Herman dkk., 2005). Pemodelan kota

3D telah berkembang dengan sangat cepat. Hal tersebut terbukti dengan

berkembangnya berbagai software applikasi dekstop sampai dengan menggunakan

website dengan berbagai standar yang berbeda. Untuk keperluan promosi pariwisata

pemodelan kota 3D dibanguan berbasis website, sehingga dengan adanya visualisasi

kota 3D dengan tujuan memberi informasi mengenai kota dan dapat menarik

wisatawan untuk datang ke Hamburg, Germany (Steidler dan Zurich, 2007). Hal

serupa juga dilakukan oleh (Stileman dkk., 2012) dengan cakupan studi daerah

6

bersejarah di kota Konya dengan mengintegrasiakan model 3D dengan

memperhatikan teksture dari bangunan sehingga model data 3D yang dibangun dapat

merepresentasikan bangunan yang sebenarnya. Proses dalam membangun model

kota 3D dapat menggunakan Foto Udara, Lidar atau data laserscanner (Malambo

dan Hahn, 2010).

Lidar merupakan salah satu teknik penginderaan jauh yang dapat diterapkan

untuk pemodelan bangunan 3D dan pemodelan banjir, untuk dapat melakukan

pemodelan tersebut maka diperlukan klasifikasi point cloud ke dalam ground point

dan non ground point dengan menggunakan prosedur klasifikasi. Klasifikasi

merupakan langkah penting untuk membangun DTM yang memungkinkan untuk

memperkirakan ketinggian kanopi (Yunfei dkk., 2008). Pada tingkat dasar model

kota 3D terdiri dari DTM dan model bangunan 3D, data Lidar telah terbukti menjadi

sumber yang baik untuk mengumpulkan informasi tersebut yang dapat dijadikan data

untuk membuat model 3D kota dalam format CityGML (Malambo dan Hahn, 2010).

Model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan (terrain) dan objek

yang terdapat di wilayah kota (Sai, 2011).

Beberapa metode dapat digunakan dalam membuat model kota 3D mulai dari

manual sampai dengan otomatis. Metode manual dengan melakukan ekstrusi

bangunan dua dimensi (2D) dari file vektor yang dapat dilakukan dengan

menggunakan software seperti ArcGIS dan AutoCAD. Metode semi otomatis dan

otomatis dapat dilakukan dengan menggunakan metode fotogrametri seperti

membangun ekstrasi dari Foto Udara atau citra satelit (Malambo dan Hahn, 2010).

Model kota 3D LOD2 dari data Lidar dapat digunakan untuk membuat model kota

dalam format CityGML. Model kota 3D dalam format CityGML LOD2 dapat

digunakan dalam melakukan evalusi dan simulasi dari perencanaan (Arefi dkk.,

2008).

Foto Udara merupakan data hasil pemotreatan menggunakan wahana pesawat

dengan menggunakan metode fotogrametri. Fotogrametri merupakan ilmu

pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pengukuran spasial dan produk

geometris dari Foto Udara (Thomas, 2013). Foto Udara dapat digunakan untuk

7

pembuatan peta tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi visual. Klasifikasi

visual dengan teknik on screen digitasi (Cifor, 2006). Peta tutupan lahan merupakan

salah satu data spasial yang penting dalam berbagai aplikasi sistem informasi

geografi, dimana sebagian besar analisis lingkungan dapat menggunakan peta

tutupan lahan (Bacchi dkk., 2000).

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas di atas penelitian yang akan

dilakukan mengenai pembuatan model kota 3D representasi LOD2 dalam format

CityGML Klaster Agro UGM Yogyakarta dengan menggunakan data Lidar, Foto

Udara dan survey lapangan untuk identifikasi nama bangunan. Dengan terbangunnya

Model Kota 3D dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap RTBL klaster

di UGM Yogyakarta.

I.8. Landasan Teori

I.8.1 Lidar

Lidar merupakan teknologi yang dapat digunakan untuk menghasilkan digital

terrain model (DTM) dan digital surface model (DSM) (Rebecca dkk., 2008). Tiga

komponen utama sistem Lidar ditunjuakn pada Gambar I. 1 terdiri dari komponen

Global Positioning System (GPS), Inertial Navigation System (INS) dan sensor laser

yang saling berhungan untuk menghasilkan koordinat-koordinat 3D dipermukaan

bumi (Nayegandhi, 2007). GPS digunakan untuk menentukan koordinat (X, Y, Z)

wahana terbang terhadap referensi tertentu (Nayegandhi, 2007). INS merupakan

suatu sistem navigasi yang mempunyai kemampuan untuk mendeteksi perubahan

geografis, perubahan kecepatan serta perubahan orientasi dari suatu wahana

(Woodman, 2007) dan sensor laser berfungsi untuk mengukur jarak antara sensor

pada wahana terbang dengan titik objek dipermukaan bumi yang akan menghasilkan

koordianat 3D (Vannessyardi, 2011 ). Dalam beberapa sistem Lidar, kamera digital

digunakan untuk menghasilkan citra dari area pengukuran (Vallet, 2007).

8

Gambar I. 1 Konsep pemetaan Lidar (Schreppel dan Cimitile, 2011)

I.8.1.1 GPS. Komponen GPS pada Lidar digunakan untuk menentukan

koordinat (X, Y, Z) wahana terbang terhadap referensi tertentu. GPS merupakan

sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit dan sistem ini di

desain untuk dapat digunakan oleh banyak user dalam segala cuaca untuk

memberikan posisi dan tinggi (Abidin, 2007). GPS terdiri dari tiga segmen utama

ditunjukan pada Gambar I.2 terdiri dari sekmen angkasa yang terdiri dari satelit-

satelit GPS, segmen sistem kontrol yang terdiri dari stasiun monitor dan segmen

pemakai.

Gambar I. 2. Segmen GPS (Abidin, 2007)

9

I.8.1.2 Inertial navigation system (INS). INS merupakan suatu sistem

navigasi yang mempunyai kemampuan untuk mendeteksi perubahan geografis,

perubahan kecepatan serta perubahan orientasi dari suatau wahana (Woodman,

2007). Pada sistem Lidar INS ditunjukan pada Gambar I. 3. berfungsi untuk

mengukur pergerakan rotasi wahana terbang terhadap sumbu-sumbu terbang.

Pergerakan rotasi tersebut berupa pitch, roll dan heading (Nawangsidi, 2009).

Gambar I. 3. Heading, pitch dan roll (Nawangsidi, 2009)

Pitch merupakan pergerakan rotasi sumbu y wahana terhadap sumbu y sistem

referensi terbang. Roll adalah pergerakan rotasi sumbu x wahana terbang terhadap

sumbu x pada sistem terefensi terbang. Heading merupakan sudut antara sumbu

wahana terbang terhadap arah utara. Dengan demikian sumbu z wahana terbang

dapat didefinisikan sebagai garis yang tegak lurus terhadap sumbu x dan sumbu y

wahana terbang.

I.8.1.3 Sensor laser. Sensor laser merupakan komponen yang mempunyai

fungsi untuk mengukur jarak antara sensor pada wahana terbang dengan titik objek

dipermukaan bumi yang akan menghasilkan koordianat (Vannessyardi, 2011 ).

Sensor Lidar berfungsi untuk memancarkan sinar laser ke objek dan kemudian

merekam gelombang pantulan yang mengenai objek. Gelombang yang dipancarkan

oleh sensor terdiri dari gelombang hijau yang berfungsi sebagai gelombang penetrasi

jika suatu sinar mengenai daerah perairan dan gelombang infra merah yang

berfungsi untuk mengukur data topogtafi daratan (Nawangsidi, 2009).

10

I.8.1.4 Kamera digital. Dalam beberapa sistem Lidar, kamera digital

digunakan untuk menghasilkan citra dari area pengukuran. Citra tersebut dapat

dioverlay dengan data X,Y,Z hasil pengukuran Lidar. Citra tersebut akan digunakan

ketika proses pengklasifikasian titik data Lidar (Vallet, 2007). Foto digital pada

Lidar juga berguna sebagai kontrol kualitas data Lidar dan sebagai media untuk

penggambaran unsur-unsur permukaan bumi seperti jalan, tutupan, lahan, bangunan

dan sungai.

I.8.2 Pemodelan Bangunan 3D

Pemodelan bangunan 3D telah menjadi topik penelitian yang sangat aktif

selama bertahun-tahun. Permintaan pemodelan bangunan 3D semakin meningkat

untuk berbagai aplikasi seperti perencanaan kota, pariwisata. Dalam bidanga

komersial aplikasi seperti Google Earth dan Apple Maps telah menggunakan teknik

pemodelan bangunan 3D sebagai komponen penting dalam visualisasi yang telah

memperoleh respon publik yang besar. Model bangunan 3D untuk aplikasi seperti

Google Earth dan Apple Maps biasanya dibuat dengan melakukan pemetaan tekstur

dari Foto Udara dan terrain. Pemodelan geometris bangnunan 3D dilakukan dengan

menggunakan metode manual untuk membangun model geometris bangunan seperti

menggunakan software Google Sketch-Up yang memerlukan waktu cukup lama

untuk membuat sebuah gedung. Hal tersebut sangat sulit dan membutuhkan waktu

lama, terutama untuk membangun wilayah perkotaan yang luas (Sun dan Salvaggio,

2013).

Dalam bidang penginderaan jauh ada beberapa sumber data yang sesuai

sebagai masukan untuk proses pemodelan bangunan 3D. Membuat model bangun

3D dari citra satelit dengan metode manual yang memungkinkan hal tersebut

berkaitan dengan ketersedian sumber data yang ada. Penelitian tentang cara

mengekstrak informasi 3D dari ground atau Foto Udara telah dilakukan selama

beberapa dekade. Kemajuan teknologi telah memungkinkan teknik untuk

memperoleh informasi 3D di daerah perkotaan dengan skala besar (Rebecca dkk.,

2008).

11

Menggunakan teknologi Lidar representasi 3D dalam bentuk point cloud

dapat digunakan untuk membantu generasi bangunan 3D secara lebih efektif dan

efisien. Banyak teknik yang dikembangkan dengan menggunakan masukan data

Lidar untuk membuat alur kerja otomatis dalam melakukan pemodelan perkotaan

ditunjukan pada Gambar I.4. Untuk melakukan pemodelan bangunan 3D klasifikasi

point cloud mempunyai peranan penting. Dalam proses klasifikasi pembagian point

cloud ke dalam layer vegetasi, ground dan building akan mempermudah dalam

melakukan pemodelan bangunan 3D (Zhou dan Neumann, 2008).

Gambar I. 4. Alur pemodelan 3D bangunan (Zhou dan Neumann, 2008)

Klasifikasi merupakan tahapan untuk memisahkan poin cloud ke dalam

layer vegetasi, building dan ground. Planes diambil dari patch bangunan dan batas-

batas setiap plane yang terdeteksi. Pemodelan bangunan dari point cloud hasil

klasifikasi (Sun dan Salvaggio, 2013; Zhou dan Neumann, 2008)

I.8.2.1 Klasifikasi ground. Tujuan utama dari klasifikasi adalah untuk

membagi layer ke dalam tiga kategori: vegetasi, building dan ground. Klasifikasi ini

dilakukan dalam dua langkah terpisah. Langkah pertama adalah menyaring daerah

vegetasi berdasarkan properti dari permukaan point cloud. Langkah kedua

melakukan ekstrak footprints atap bangunan dari kelas building dan terrain yang

diperoleh dari langkah pertama. Kedua langkah tersebut saling berhubungan erat

namun memiliki pendekatan yang independen untuk melakukan klasifikasi vegetasi,

terrain dan building. Hasil dari ekstraksi terrain dan footprints atap bangunan

tergantung pada deteksi dan penghapusan vegetasi pada langkah pertama (Sun dan

Salvaggio, 2013).

12

Pemisahan point ground dan non ground dapat juga dilakukan dengan

metode klasifikasi digital berdasarkan elevasi. Klasifikasi digital berdasarkan elevasi

merupakan proses pencarian titik-titik berdasarkan perbandingan elevasi dari tiap-

tiap titik dengan jarak yang sudah ditentukan. Proses dasar point cloud Lidar adalah

klasifikasi sebagai permukaan ground atau non ground. Untuk keperluan ketelitian

geometri dari point cloud data Lidar. Algoritma dikembangkan secara otomatis

untuk memisahkan point ground dan non ground (Soininen, 2008)

Data koordinat 3D diperoleh dari point cloud data Lidar. Proses klasifikasi

dilakukan untuk mengelompokan point cloud yang mempunyai elevasi sesuai

dengan kelompoknya. Kelompok low point adalah point cloud yang posisi point

tersebut berada di bawah elevasi rata-rata seluruh point. Keberadaan low point sering

berada pada wilayah perairan dikarenakan sinar inframerah terserap air (Istarno,

2011).

Parameter klasifikasi low point ditentukan dengan memberikan jarak

tertentu antara low point dengan point lainnya dan membentuk sudut tertentu

ditunjukan pada Gambar I.5 yang didefinisikan oleh pengguna (Soininen, 2008).

Proses klasifikasi low point yang terdiri dari beberapa kelompok point yang terdekat

di bawah point permukaan bumi dilakukan dengan membandingkan kelompok point

tersebut dengan point yang lain. Apabila kelompok point tersebut keseluruhan

berada di bawah point yang berdekatan maka proses pencarian dilakukan secara

interatif.

Gambar I. 5 Titik rendah-titik tunggal (Istarno, 2011; Soininen, 2008).

13

I.8.2.2 Deteksi bangunan dan vegetasi. Deteksi bangunan dan vegetasi dari

data Lidar merupakan salah satu bagian dari proses klasifikasi data Lidar untuk

memperoleh point cloud bangunan dan vegetasi. Untuk dapat melakukan proses

pemodelan bangunan 3D terlebih dahulu seluruh objek dapat dideteksi dan di

ekstraksi dari data Lidar. Hasil dari ekstraksi data Lidar tergantung dari algoritma

yang digunakan dalam melakukan ekstraksi. Algoritma yang digunakan dalam

melakukan klasifikasi berpengaruh pada hasil dan sering kali hasil klasifikasi

mengakibatkan kehilangan detail dari objek (Istarno, 2011).

a. Deteksi bidang atap:

Deteksi bidang atap bangunan diperoleh berdasarkan segmentasi dari model

permukaan digital untuk menemukan bidang-bidang yang berada pada daerah

kajian. Setelah memperoleh semua patch atap dari bangunan setiap tapak

bangunan dapat diproses untuk melakukan pemodelan bangunan 3D. Proses

pemodelan bangunan 3D dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya

komputasi. Pada tahap ini dapat dimungkinkan untuk membangun sebuah model

bangunan 3D dari masing-masing set point. Namun untuk mencapai model yang

mengandung banyak detail perlu untuk mengidentifikasi fitur signifikan yang

berada di atas atap bangunan dan dapat mewakili bentuk atap dengan sedetail

mungkin. Proses penyempurnaan detail bangunan masih menjadi permasalahan

dari proses segmentasi sehingga perlu melakukan proses editing secara manual.

b. Pengelompokan bidang atap dan delineasi garis bidang atap

Pengelompokan bidang atap dan deliniasi garis bidang atap merupakan proses

Segmentasi bidang atap yang sama (co-planar) digabungkan dan diperkirakan

garis-garis yang saling berpotongan dan atau pangkal tepi bidang (step-edge)

dibuat berdasarkan analisis yang dilakukan pada bentuk-bentuk bangun

sederhana seperti pada Gambar I.6.

c. Kosistensi pada estimasi parameter objek: untuk memperbaiki parameter-

perameter digunakan.

d. Keteraturan model: dengan pengenalan bentuk pada Gambar I.6 untuk

pemodelan bangunan 3D. Bangunan sederhana digunakan untuk pemodelan

14

bangunan 3D dengan memasukkan batasan-batasan geometri ke dalam proses

deteksi bangunan .

Gambar I. 6. Bentuk sederhana atap bangunan (Zhang dkk., 2014)

I.8.2.3 Pemodelan bangunan. Setelah mendapatkan semua patch atap

bangunan setiap tapak bangunan dapat dilakukan pemodelan bangunan 3D

menggunakan beberapa sumber daya komputasi. Pada tahap ini dimungkinkan untuk

membangun sebuah model dari masing-masing set point, untuk dapat melakukan

pemodelan bangunan tunggal dapat dilakukan berdasarkan masing-masing set point.

Namun, untuk mencapai model yang mengandung banyak detail perlu untuk

mengidentifikasi banyak fitur yang berada di atas atap dan dapat mewakili bentuk

atap dengan sedetail mungkin. Alur kerja pemodelan bangunan 3D yang digunakan

telah diuji pada beberapa data Lidar Gambar. I.7 menunjukkan hasil dari pemodelan

bangunan 3D data (Sun dan Salvaggio, 2013).

Gambar I.7. Hasil pemodelan bangunan 3D (Sun dan Salvaggio, 2013).

1.8.2.4 Model geometri. Model geometri menurut dimensinya dibedakan

menjadi 1D, 2D dan 3D. 1D berdasarkan terminologinya berupa point-nodes,

vertices dan lines-arcs-edge-segmnets, 2D berupa surfaces-faces-polygons dan 3D

15

berupa bodies-arcs-solid-volumes. Objek spasial yang digambarkan dalam ruang 2D

memiliki koordinat X,Y yang didefinisikan oleh sumbu X,Y sedangkan objek spasial

yang digambarkan dalam ruang 3D memiliki koordinat X,Y,Z yang didefinisikan

oleh sumbu X,Y,Z. Ketika nilai Z disimpan sebagai atribut suatu titik, garis atau

polygon 2D disebut 2.5D atau 2D+1. Model 3D merupakan kumpulan geometri yang

terdiri dari titik-titik X,Y,Z pada ruang 3D. Ada beberapa cara untuk mendapatkan

model 3D yaitu dengan cara otomatis, manual dan procedural (Mutiarasari, 2013).

Pemodelan geometri merupakan pemodelan yang terkait dengan penggunaan

dan pemanfaatan tools untuk membuat, merepresentasikan dan memanipulasi bentuk

geomerti. Setiap sistem CAD mendukung pemodelan geometri, yaitu dengan

mengimplementasikan tools untuk mendefinisikan curves, surface dan solid.

Terdapat beberapa skema pemodelan geometri diantaranya model wireframe,

surface, Constructive Solid Geometri (CSG), Boundary Representation (BREP) dan

Multipatch (Marsh, 2005).

1. Model wireframe: pemodelan dengan menggunakan garis atau curves untuk

mempresentasikan baik surfaces ataupun solid ditunjukan pada Gambar I. 8.

Model wireframe bentuk objek didefinisikan sebagai kumpulan dari point

(vertices) dan beberapa edges. Edges merupakan garis atau curves yang

dihubungkan oleh sepasang titik atau point (Dokken dan Skytt, 2009).

Gambar I. 8. Model 3D model wireframe (Shene, 2002)

16

Pemodelan ini mudah di implementasikan dan dapat digunakan untuk melakukan

rendering surfaces. Sebuah model wireframe merupakan representasi visual dari

objek tiga dimensi yang digunakan dalam komputer grafis 3D. Hal ini dibuat

dengan menetapkan setiap tepi objek di mana dua permukaan smooth terus

menerus bertemu atau dengan menghubungkan simpul objek menggunakan garis

lurus atau kurva (Shene, 2002).

2. Model surfaces. Sebuah model surface diwakili oleh tabel tepi dan titik seperti

pada model wireframe ditunjukan pada Gambar I. 9. Tabel face menyimpan

informasi yang ujung-ujungnya melekat pada setiap face pada kebanyakan

sistem CAD konvensional untuk free-form surfaces. Model surface pada CAD

konvensional telah digunakan sebagai representasi internal. Model surface

memiliki peran penting dalam industri karena pada model surface memberikan

gambaran yang akurat dari permukaan suatu benda. Model surface

merepresentasikan setiap surface secara matematik tetapi tidak menyimpan

topologi dari geometri (Shene, 2002).

Gambar I. 9. Model surfaces (Shene, 2002)

3. Constructive Solid Geometri (CSG). Merupakan teknik pemodelan yang

menerapkan prisip pemodelan solid atau volume base model. Model solid

merupakan model 3D yang mendefinisikan batas dan isi model 3D secara utuh

dengan koordinat 3D, dengan demikian model solid merupakan model yang

17

tidak terdapat ruang hampa di dalamya. CSG merupakan teknik pemodelan 3D

yang memiliki 3 prinsip utama ditunjukan pada Gambar I. 10. yaitu disusun dari

kumpulan bentuk primitive 3D, pada model CGS dimungkinkan untuk

melakukan transformasi (perbesaran, perkecilan, rotasi dan translasi) dan dapat

diterapkan 3 operasi himpunan (union, intersection, dan subtract/deference

(Lohmüller, 2012).

Gambar I. 10. Constructive solid geometri (Lohmüller, 2012)

4. Boundary Representation (B-Rep). Merupakan teknik pemodelan yang

menggunakan prinsip pemodelan poligon atau surface-based model. Model

poligon atau cangkang merupakan model 3D yang disusun dari permukaan

(polygonal surface) untuk membentuk kesan 3D ditunjukan pada Gambar I. 11.

B-Rep merupakan model yang di bawah permukaan model 3D merupakan ruang

hampa tanpa koordinat (Congli, 2005; Hsu, 2010; Mutiarasari, 2013).

Gambar I. 11. Boundary representation (Anonim, 2014)

18

B-Rep merupakan teknik pemodelan 3D dengan prinsip pemanfaatan topologi

dan geometri, yang dimaksut topologi adalah elemen muka (faces), tepi (edges)

dan titik (vertices). Sedangkan geometri yang digunakan adalah surface (2D),

garis (1D) dan titik (0D). Elemen lain dari B-Rep berupa shell (kumpulan dari

permukaan yang menyambung), loop (arah putaran), winged-edge links (garis

sayap yang penghubung antara permukaan dan titik (Hsu, 2010).

5. Multipatch. Multipatch merupakan geometri 3D yang digunakan untuk mewakili

surface luar atau shell dari sebuah fitur dalam ruang tiga dimensi. Multipatch

dapat digunakan untuk mewakili objek sederhana seperti bola, kubus atau benda

kompleks seperti bangunan dan pohon. Sebuah multipatch dapat dilihat sebagai

wadah untuk koleksi geometri yang mewakili permukaan 3D ditunjukan pada

Gambar I.12. Geometri multipatch terdiri dari TriangleStrip, TriangleFan,

Triangles, atau Ring. Multipatch tunggal dapat terdiri dari kombinasi satu atau

lebih dari geometri tersebut (Esri, 2008).

Gambar I. 12. Geometri multipatch (Esri, 2008)

I.8.3 Pemodelan Kota 3D

Data Lidar berupa point cloud yang memiliki koordinat 3D dan dapat

digunakan untuk memperoleh ketinggian bangunan ditunjukan pada Gambar I. 13.

DEM yang dihasilkan dari data Lidar merupakan hasil turunan dari point cloud.

Digital elevasi model (DEM) dapat dibedakan menjadi dua yaitu digital surface

model (DSM) dan digital terrain model (DTM). DSM merupakan bentuk digital

yang menggambarkan geometri dari permukaan bumi beserta objek-objek yang ada

19

di atasnya. DTM merupakan data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk

permukaan bumi (NERITARANI, 2013).

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam membuat model

bangunan 3D yang kemudian dikonversi ke dalam format CityGML dapat dilakukan

dengan menggunakan metode manual sampai dengan otomatis. Metode manual

menggunakan ekstrusi bangunan 2D dari file vektor yang dapat dilakukan misalnya

dengan menggunkan ArcGIS dan AutoCAD. Metode semi otomatis dan otomatis

dapat dilakukan dengan menggunakan metode fotogrametri seperti membangun

ekstrasi dari Foto Udara atau citra satelit (Malambo dan Hahn, 2010).

Gambar I. 13. Pendekatan DTM dan DSM untuk menentukan ketinggian bangunan

(Neritarani dan Suharyadi, 2013)

Data Lidar dapat digunakan sebagai sumber utama dalam melakukan

pemodelan bangunan 3D secara semi otomatis untuk memenuhi berbagai keperluan

applikasi dibidang goeinformasi. Dengan kerapatan point cloud yang diperoleh dan

semakin meningkatnya akurasi memberikan potensi yang besar dalam melakukan

ekstraksi objek topografi. Namun terdapat kendala utama untuk melakukan

pemodelan dinding bangunan. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya distribusi

dari titik Lidar pada fasad (tampak depan) dan vertikal dari bangunan (He dkk.,

2012).

20

Data Lidar digunakan untuk memperkirakan dalam menentukan orientasi dan

tinggi bangunan dengan akurat dan untuk pemodelan atap bangunan dalam model

3D dapat menggunakan metode semi otomastis menggunakan citra resolusi tinggi

atau Foto Udara dalam mementukan footprint atap bangunan (Syed dkk., 2005).

Dengan menggunakan dua jenis dataset Lidar dan citra satelit atau Foto Udara

memberi solusi dalam melakukan ekstraksi bangunan untuk pemodelan kota 3D

(Tao dan Yasuoka, 2002).

Sebuah model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan bumi

dan objek yang ada di daerah perkotaan ditunjukan pada Gambar I. 14. Model kota

3D dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pemahaman mengenai

keadaan yang sebenarnya dari kota. Dengan demikian model kota 3D dapat

digunakan untuk beberapa keperluan diantara yang berkaitan dengan manajemen dan

perencanaan perkotaan, studi lingkungan dan manajemen bencana (Rodrígueza dkk.,

2011).

Gambar I. 14. Model kota 3D dengan struktur atap standar (kiri) dan texture (kanan)

(Aringer dan Roschlaub, 2013)

I.8.4 CityGML

CityGML merupakan model data yang bersifat terbuka dan berbasis format

XML untuk penyimpanan dan pertukaran virtual model kota 3D (OGC, 2012).

CityGML mendefinisikan kelas dan hubungan dari objek topografi yang relevan

21

sehubungan dengan geometris, topologi dan semantik. Tujuan dari pengembangan

CityGML adalah untuk mencapai definisi umum dari entitas dasar, atribut dan

hubungan dari model kota 3D (Moreira, 2013). Hal ini menjadi penting terutama

yang berhubungan dengan biaya perawatan berkelanjutan yang efektif dari model

kota 3D. Dengan demikian memungkinkan untuk penggunaan kembali data yang

sama dalam bidang aplikasi yang berbeda (OGC, 2012).

CityGML adalah skema aplikasi berdasarkan Open Geospatial Consortium

Geografi Markup Language 3 (GML 3.1). GML adalah bahasa standar untuk

pemodelan, penyimpanan dan transportasi data informasi geografis yang merupakan

spesifikasi pelaksanaan dari OGC dan juga standard international ISO (Stadler dan

Kolbe, 2012). Standar penulisan GML berdasarkan pada eXtensible Markup

Language (XML). CityGML pada awalnya dikembangkan oleh Special Interest

Group SIG3D dari Initiative Geodata Infrastruktur North-Rhine Westphalia, Jerman

(GDI NRW) (Şengül, 2010).

CityGML tidak hanya merupakan tampilan grafis dari model kota namun

secara khusus membahas keterwakilan sifat semantik, tematik, model dan geometri

(Kolbe, 2009). Model geometri memungkinkan untuk mendefinisi secara konsisten

dari sifat geometri dan topologi objek spasial dalam model kota 3D. Kelas dasar dari

semua objek adalah CityObject yang merupakan subclass dari kelas fitur GML

(OGC, 2012).

I.8.4.1 Semantik model kota 3D. Semantik merupakan nilai atribut dari objek

yang berkaitan dengan kelas, atribut dan kualitas dari model data (Aditya dan

Lemmens, 2003). Pada CityGML model bangunan 3D, semantik merupakan atribut

bangunan ditunjukan pada Gambar I. 15. berupa roof, wall, ground, door dan

windosw (Nagel dkk., 2009), semantik bangunan 3D tergantung dari tingkat LOD

(Marc dkk., 2013). Model semantik pada CityGML terdiri dari definisi kelas untuk

fitur dalam model kota 3D, termasuk bangunan, DTM, transportasi, vegetasi, dan

furniture kota (Stadler dan Kolbe, 2012).

Meningkatnya jumlah aplikasi terkait dengan visualisasi virtual model kota

3D seperti perencanaan kota, sistem navigasi, manajemen fasilitas, manajemen

22

bencana, simulasi lingkungan dengan tujuan memberikan infomasi dari kondisi kota

(Sun dan Salvaggio, 2013). Aplikasi tersebut diperlukan informasi tambahan yang

diberikan dalam representasi standar tentang kota oleh pengguna dan pemangku

kepentingan. Dalam membangun model kota 3D harus terstruktur dan didefinisikan

dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan model kota 3D diperlukan untuk

mengeksploitasi informasi semantik dari struktur city object. Untuk membuat model

kota 3D beberapa penelitian difokuskan pada proses otomatis. Selain proses otomatis

dalam membangun model kota 3D proses manual dibutuhkan untuk membentuk

detail yang kompleks dari model kota (Şengül, 2010).

Pemodelan semantik kota 3D dapat digunakan secara ekonomis oleh

pengguna dalam domain aplikasi yang berbeda (Stadler dan Kolbe, 2012). Dengan

alasan tersebut model informasi umum diperlukan oleh pengguna dan aplikasi yang

berbeda, CityGML dapat diberikan sebagai model data dan informasi semantik.

CityGML menggunakan standar ISO 19100 untuk pemodelan fitur geografis (Brink

dkk., 2014). Menurut ISO 19109 fitur geografis adalah abstraksi dari objek dunia

nyata. Fitur geografis mungkin memiliki atribut spasial dan non-spasial. Prinsip

pemodelan berorientasi objek dapat diterapkan dalam rangka menciptakan model

kota 3D (Stadler dan Kolbe, 2012).

Gambar I. 15. Model semantik bangunan (Nagel dkk., 2009)

23

I.8.4.2 Multi skala modelling. CityGML mendukung tingkatan yang berbeda

dari kedetailan objek yang ditampilkan dinyatakan dalam LOD. LOD diperlukan

untuk mencerminkan proses pengumpulan data dengan persyaratan aplikasi yang

berbeda. LOD mampu memfasilitasi visualisasi dan analisis yang efisien (OGC,

2012). Dalam dataset CityGML objek yang sama dapat diwakili dalam berbagai

LOD yang berbeda sehingga dapat memungkinkan analisis dan visualisasi dari objek

yang sama berkaitan dengan level dan resolusi yang berbeda (Moreira, 2013). LOD

saat ini mendukung lima tingkatan dari LOD0 sampai LOD4 ditunjukan pada

Gambar I.16. dengan tingkat kedetailan objek semakin lebih rinci dengan

meningkatnya LOD (Malambo dan Hahn, 2010).

LOD0 pada dasarnya adalah dua setengah dimensi dari DTM. LOD1 adalah

model blok, tanpa struktur atap. Sebuah bangunan LOD2 memiliki struktur atap.

LOD3 menunjukkan model arsitektur dengan dinding rinci dan struktur atap, pintu

dan jendela. LOD4 merupakan model yang melengkapi dari model LOD3 dengan

menambahkan struktur interior (Kolbe, 2009). LOD juga ditandai dengan akurasi

yang berbeda dan dimensi minimal objek yang akan didefinisikan dalam LOD.

Gambar I. 16. Lima LOD didefinisikan oleh CityGML (OGC, 2012)

Pada LOD1 akurasi posisi dan ketinggian point kurang dari 5m sehingga

semua objek dengan tapak minimal 6m harus dipertimbangkan untuk didefinisikan.

Akurasi posisi dan tinggi LOD2 minimal 2m sehingga dalam LOD2 semua objek

dengan tapak minimal 4m × 4m harus diperhatikan untuk divisualisasikan. Kedua

24

jenis akurasi horisontal dan vertikal pada LOD3 harus 0.5m dan tapak minimal 2m ×

2m. Akurasi posisi dan ketinggian pada LOD4 harus 0.2m atau lebih kecil, sehingga

dengan menggunakan nilai-nilai akurasi data tersebut klasifikasi dalam lima LOD

dapat digunakan untuk menilai kualitas dataset model kota 3D (OGC, 2012).

I.8.4.3 Unified modeling language (UML). UML merupakan alat bantu

bahasa pemodelan yang dapat digunakan untuk rancang bangunan berorientasi

objek. UML digunakan untuk spesifikasi, visualisasi dan dokumentasi sistem pada

fase pengembangan. UML merupakan bahasa pemodelan visual yang digunakan

untuk menentukan, memvisualisasikan, membangun dan mendokumentasikan dari

sistem perangkat lunak (Rumbaugh dkk., 1999). Diagram kelas UML menunjukkan

kelas sistem yang mempunyai hubungan inheritan, agregasi, asosiasi, operasi dan

juga atribut dari kelas. Sebuah kelas merupakan deskripsi dari satu set objek berupa

attribute, operations dan relationships (Booch dkk., 1998).

I.8.4.4 Model geometri CityGML. Pemodelan geometris 3D dan deskripsi

dari objek dunia nyata di diperoleh melalui sistem pencitraan telah menjadi topik

penting. Dengan terbangunnya model kota 3D sangat penting untuk berbagai

aplikasi seperti telekomunikasi, model kota 3D, virtual sistem informasi pariwisata.

CityGML merupakan format model data XML berbasis terbuka untuk menyimpan

dan pertukaran virtual model kota 3D. CityGML menggunakan subset dari model

geometri GML3 yang merupakan implementasi dari standar ISO 19107 (OGC,

2012).

CityGML menyediakan kerangka kerja untuk pertukaran model 3D

sederhana dan kompleks. Hal ini diimplementasikan sebagai skema aplikasi GML3.

Standar internasional extensible untuk pertukaran data spasial dikembangkan oleh

OGC dan ISO TC 211. Model geometri GML3 terdiri dari geometri primitif yang

dapat dikombinasikan untuk membentuk geometri yang kompleks, geometri

komposit atau agregat. Terdapat geometris primitif untuk setiap dimensi: objek nol-

dimensi adalah point, satu dimensi adalah Curve, dua dimensi adalah Surface dan

tiga-dimensi solid (Buyuksaliha dkk., 2013)

25

Sebuah solid dibatasi oleh surface dan surface dibatasi oleh curve. Pada

CityGML curve dibatasi menjadi garis lurus, sehingga kelas LineString digunakan

pada GML3. Surface pada CityGML diwakili oleh poligon yang menentukan planar

geometry yaitu batas semua titik interior harus berada dalam satu permukaan

tunggal. Combined geometries dapat berupa agregat, complexes atau composite dari

geometri primitif. Dalam Aggregate hubungan spasial antara komponen tidak

dibatasi. Pada Combined geometries memungkinkan terjadi disjoint, overlapping,

touching, atau disconnected. GML3 menyediakan agregat khusus untuk masing-

masing dimensi berupa MultiPoint, MultiCurve, MultiSurface atau MultiSolid

(Buyuksaliha dkk., 2013; Zhao dkk., 2014)

Gambar I. 17. Diagram UML model geometri CityGML (OGC, 2012)

CityGML menggunakan subset dari model geometri GML3 yang merupakan

implementasi dari ISO 19107 (Kolbe, 2009). Geometri merupakan fitur geografis

yang direpresentasikan sebagai objek memiliki identitas dan substruktur geometris

ditunjukan pada Gambar I. 17. GML3 menyediakan kelas untuk geometris 0D

sampai 3D primitif. Di mana geometri 1D-3D merupakan geometri komposit dan

0D-3D merupakan geometri agregat. Geometry Composite seperti Composite

26

Surface harus memiliki topologi yang terhubung pada geometri primitif dari dimensi

yang sama, misalkan surface. Pada CityGML surface diwakili oleh poligon (Şengül,

2010).

I.8.5. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

Berdasarkan peraturan menteri pekerjaan umum nomer 06/PRT/M/2007

tentang pedoman umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkuan (RTBL). Tata

Bangunan dan Lingkuan merupakan panduan rancang bangun suatu

lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang,

penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program

bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,

ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan

pengembangan lingkungan/kawasan (Peraturan Menteri, 2011).

Gambar I. 18. Contoh simulasi rancangan 3D RTBL (Ampelio, 2007)

Simulasi rancangan 3D merupakan gambaran mengenai simulasi

penerapan seluruh konsep RTBL ditunjukan pada Gambar I. 18. Perancangan

bangunan dan lingkungan pada tiap kavling/blok pengembangan dan gambaran

keseluruhan simulasi 3D rencana pada kawasan perencanaan (Peraturan Menteri,

2001).

27

I.8.5.1 Kedudukan dokumen RTBL. Seluruh rencana, rancangan, aturan

dan mekanisme dalam penyusunan dokumen RTBL harus merujuk pada pranata

pembangunan yang lebih tinggi, baik pada lingkup kawasan, kota, maupun wilayah.

Kedudukan RTBL dalam pengendalian bangunan gedung dan lingkungan

sebagaimana ditunjukan pada Gambar I. 19. Dalam pelaksanaan RTBL sesuai

dengan kompleksitas permasalahan kawasan yang dihadapi (Peraturan Menteri ,

2007).

Gambar I. 19. Kedudukan RTBL dalam rencana tata ruang (Peraturan Menteri,

2011).

I.8.5.2 Kawasan perencanaan. Kawasan perencanaan mencakup suatu

lingkungan/kawasan dengan luas 5-60 ha dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Kota metropolitan dengan luasan minimal 5 ha.

b. Kota besar/sedang dengan luasan 15-60 ha.

c. Kota kecil/desa dengan luasan 30-60 ha.

28

Penentuan batas dan luasan kawasan perencanaan (diliniasi) berdasarkan satu

atau kombinasi butir-butir di bawah ini:

a. Administratif, seperti wilayah RT, RW, kelurahan, kecamatan, dan bagian

wilayah kota/desa.

b. Non administratif, yang ditentukan secara kultural tradisional seperti desa adat,

gampong, dan nagari.

c. Kawasan yang memiliki kesatuan karakter tematis, seperti kawasan kota lama,

lingkungan sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra pendidikan, dan kawasan

permukiman tradisional.

d. Kawasan yang memiliki sifat campuran, seperti kawasan campuran antara

fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial-budaya dan/atau keagamaan serta

fungsi khusus, kawasan sentra, industri, dan kawasan bersejarah.

e. Jenis kawasan, seperti kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan

terbangun yang memerlukan penataan, kawasan dilestarikan, kawasan rawan

bencana, dan kawasan gabungan atau campuran.