bab i pendahuluan - tesis dan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta merupakan kampus yang
memiliki jumlah fakultas terbanyak di Indonesia. UGM mempunyai mahasiswa
mencapai 49.000 orang dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah
satu bertandanya adalah berkembangnya jumlah program studi. Perkembangan yang
terjadi diikuti dengan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana dalam rangka
menunjang kegiatan akademik yang berlangsung. Untuk dapat memenuhi kebutuhan
infrastruktur untuk menunjang kegiatan yang ada di UGM. Diperlukan penataan
ruang yang meliputi penataan lahan, bangunan dan lansekap yang terencana dengan
baik (UGM, 2011).
Untuk dapat membantu perencanaan sarana dan prasarana dalam menunjang
kegiatan di UGM kebutuhan Informasi spasial dalam mendukung pengendalian dan
perencanaan berperan penting. Pemodelan kota 3 dimensi (3D) dapat digunakan
dalam bidang perencanaan, pengendalian, evaluasi dan simulasi kawasan perkotaan
(Sun dan Salvaggio, 2013), sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan
yang lebih baik. Model kota 3D dalam perspektif perencanaan perkotaan dapat
menjadi aset penting dalam melakukan analisa dan pengambilan keputusan
(Stileman dkk., 2012).
Seiring dengan bertambahnya jumlah mahasiswa dan perkembangan unit kerja
yang ada di UGM, maka kebutuhan terhadap ruang sarana prasarana meningkat
(UGM, 2011). Oleh karenanya ketersediaan data spasial yang baik dan yang mampu
menggambarkan kondisi sebenarnya untuk dapat digunakan dalam mendukung
evaluasi dan perencanaan ruang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam
perencanaan Klaster yang ada di UGM (misalnya Klaster Agro, Kesehatan, Vokasi).
Untuk dapat melakukan evaluasi RTBL Klaster Agro dilakukan dengan
menggunakan Foto Udara dan data Lidar berupa point cloud.
2
Foto Udara merupakan data hasil pemotretan menggunakan wahana pesawat
dengan menggunakan metode fotogrametri. Fotogrametri merupakan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pengukuran spasial dan produk
geometris dari Foto Udara (Thomas, 2013). Foto Udara dapat digunakan untuk
pembuatan peta tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi visual dilakukan
dengan menggunakan teknik on screen digitasi (Cifor, 2006). Peta tutupan lahan
merupakan salah satu data spasial yang penting dalam berbagai aplikasi sistem
informasi geografi, dimana peta tutupan lahan dapat dijadikan masukan dalam
melakukan analisis berkaitan dengan lingkungan (Bacchi dkk., 2000). Kebutuhan
data spasial berupa peta tutupan lahan digunakan untuk evaluasi intensitas
penggunaan lahan terkait koefisien daerah hijau (KDH) dan koefisien dasar
bangunan (KDB) dari suatu wilayah yang dapat mendukung dalam melakukan
perencanaan RTBL.
Light Detection and Ranging (Lidar) merupakan teknologi penginderaan jauh
aktif yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan informasi spasial objek
dalam bentuk data point cloud 3D (Alsubaie dkk., 2012). Klasifikasi data Lidar
merupakan langkah penting untuk pengolahan fitur berupa ground dan non ground
point. Klasifikansi point cloud kedalam layer gound dan non ground point penting
dilakukan untuk memperoleh informasi spasial yang berguna untuk pemodelan kota
3D (Changa dkk., 2008).
Model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan (terrain) dan
objek yang terdapat di wilayah kota (Sai, 2011). Model 3D memiliki tingkat detail
informasi yang beragam bergantung pada jenis informasi dan detail objek yang akan
direpresentasikan (OGC, 2012). Dalam melakukan representasi model 3D terdapat
tingkatan kedetailan atau dikenal sebagai levels of detail (LOD) (Gröger dkk., 2008).
Terdapat lima tingkatan LOD, di mana setiap tingkatan LOD akan memberikan
informasi lebih detail (OGC, 2012). LOD0 merupakan representasi dua setengah
dimensi dari digital terrain model (DTM), LOD1 adalah model blok tanpa struktur
atap, LOD2 bangunan 3D memiliki struktur atap, LOD3 menunjukkan model
arsitektur dengan lebih rinci seperti struktur atap, pintu, jendela dan LOD4
3
melengkapi dari model LOD3 dengan menambahkan struktur interior seperti kamar,
tangga dan furniture (Kolbe, 2009).
Data Lidar dapat digunakan untuk membuat model kota 3D dalam LOD2,
dimana informasi 3D yang berkaitan dengan digital terain model (DTM) dan model
bangunan. Model kota 3D hasil pengolahan data Lidar dapat digunakan dalam
pembuatan model kota 3D dalam format CityGML (Malambo dan Hahn, 2010).
CityGML merupakan model data open dan berbasis format XML untuk
penyimpanan dan pertukaran virtual model kota 3D (Stadler dan Kolbe, 2012).
Dengan terbangunnya model CityGML dalam LOD2 dapat membantu dalam evalusi
dan simulasi dari perencanaan (Arefi dkk., 2008).
Model CityGML hasil dari pengolahan data Lidar dapat digunakan dalam
mendukung pengambil keputusan untuk melakukan perencanaan berbasis keruangan,
termasuk berpotensi untuk mendukung evaluasi Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL) terkait dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Koefisien
Lantai Bangunan merupakan koefisien perbandingan antara luas seluruhan lantai
bangunan gedung dan luas persil/kaveling/blok peruntukan (Peraturan Menteri,
2007). KLB dapat diperoleh dengan menghitung tinggi bangunan, dimana bangunan
dengan ketinggian dari lantai penuh lebih dari 5m maka ketinggian bangunan
lersebut dianggap dua lantai (Peraturan Menteri, 2006). Tinggi bangunan dapat
diperoleh dengan menggunakan data Lidar dengan melakukan pemodelan bangunan
3D (Yua dkk., 2010).
KLB merupakan jumlah lantai bangunan yang diatur pada rencana RTBL
terkait dengan tinggi bangunan yang diijinkan untuk bangunan dalam satu kawasan
(UGM, 2011). RTBL merupakan panduan rancang bangunan suatu
lingkungan/kawasan yang dimaksutkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang,
penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,
ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan
pengembangan lingkungan/kawasan (Peraturan Menteri, 2007).
Dengan terbangunnya model kota 3D dan peta tutupan lahan dapat digunakan
untuk melakukan evaluasi RTBL Klaster Agro. Model kota 3D dapat digunakan
4
untuk melakukan evaluasi ketinggian bangunan terkait dengan KLB. Berdasarkan
peraturan berkaitan dengan tinggi bangunan untuk wilayah dengan radius 4km dari
bandara Adisucipto harus memiliki tinggi bangunan di bawah 40m (UGM, 2011).
Peta tutupan lahan hasil pengolahan Foto Udara dengan menggunakan metode on
screen digitasi dapat digunakan untuk menghitung intensitas penggunaan lahan
terkait dengan KDB dan KDH. KDB merupakan angka presentasi perbandingan
antara luas seluruh lantai dasar bangunan yang dapat dibangun dan luas persil/lahan
yang dikuasai. KDH merupakan angka presentase perbandingan luas antara seluruh
ruang terbuka diluar bangunan gedung yang diperuntukan bagi pertamanan atau
penghijauan dari luas tanah yang dikuasai (Peraturan Menteri, 2007).
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dipecahkan
pada tesis ini adalah pembuatan model 3D Format CityGML hasil pemetaan Lidar
untuk evaluasi RTBL Klaster Agro yang ada di UGM Yogyakarta dalam tingkatan
LOD2 dan analisa intensitas penggunaan lahan dengan menggunakan Foto Udara.
Evaluasi RTBL meliputi Koefisien Daerah Hijau (KDH), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah membangun model kota 3D dalam Format
CityGML pada representasi LOD2 dan peta tutupan lahan dengan menggunakan
Foto Udara untuk mendukung proses evaluasi RTBL Klaster Agro UGM
Yogyakarta.
I.4 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini melipunti:
1. Bagaima proses pembuatan model kota 3D yang dapat digunakan untuk evaluasi
RTBL Klaster Agro ?
2. Adakah kondisi eksisting tinggi bangunan terkait dengan KLB terbangun
melanggar dari RTBL yang ditetapkan?
5
3. Adakah kondisi eksisting KDB dan KDH setiap Fakulatas yang ada pada Klaster
Agro tidak sesuai dengan RTBL?
I.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dengan dilakukannya penelitian ini adalah
diketahuinya pemanfaatan data Lidar untuk pemodelan kota 3D yang dapat
digunakan untuk melakukan evaluasi Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) Klaster Agro UGM Yogyakarta terkait dengan KLB dan pemanfaatan Foto
Udara untuk menghitung intensitas pemanfaatan lahan berkaitan dengan KDB dan
KDH. Dengan demikian dapat dijadikan bahan evaluasi dan masukan dalam
pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai
peruntukannya.
I.6 Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian dalam tesis ini mencakup beberapa hal diantaranya.
1. Penelitian ini berfokus pada pembuatan model kota 3D dengan memanfaatkan
data Lidar dalam representasi LOD2.
2. Melakukan konversi hasil pembuatan model kota 3D ke dalam format CityGML.
3. Evaluasi RTBL Klaster Agro terkait dengan KLB, KDB dan KDH dengan
memanfaatkan hasil pembuatan model kota 3D dari data Lidar dan Foto Udara.
I.7 Tinjauan Pustaka
Pemodelan kota 3D telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik untuk
keperluan perencanaan kota dan pariwisata (Herman dkk., 2005). Pemodelan kota
3D telah berkembang dengan sangat cepat. Hal tersebut terbukti dengan
berkembangnya berbagai software applikasi dekstop sampai dengan menggunakan
website dengan berbagai standar yang berbeda. Untuk keperluan promosi pariwisata
pemodelan kota 3D dibanguan berbasis website, sehingga dengan adanya visualisasi
kota 3D dengan tujuan memberi informasi mengenai kota dan dapat menarik
wisatawan untuk datang ke Hamburg, Germany (Steidler dan Zurich, 2007). Hal
serupa juga dilakukan oleh (Stileman dkk., 2012) dengan cakupan studi daerah
6
bersejarah di kota Konya dengan mengintegrasiakan model 3D dengan
memperhatikan teksture dari bangunan sehingga model data 3D yang dibangun dapat
merepresentasikan bangunan yang sebenarnya. Proses dalam membangun model
kota 3D dapat menggunakan Foto Udara, Lidar atau data laserscanner (Malambo
dan Hahn, 2010).
Lidar merupakan salah satu teknik penginderaan jauh yang dapat diterapkan
untuk pemodelan bangunan 3D dan pemodelan banjir, untuk dapat melakukan
pemodelan tersebut maka diperlukan klasifikasi point cloud ke dalam ground point
dan non ground point dengan menggunakan prosedur klasifikasi. Klasifikasi
merupakan langkah penting untuk membangun DTM yang memungkinkan untuk
memperkirakan ketinggian kanopi (Yunfei dkk., 2008). Pada tingkat dasar model
kota 3D terdiri dari DTM dan model bangunan 3D, data Lidar telah terbukti menjadi
sumber yang baik untuk mengumpulkan informasi tersebut yang dapat dijadikan data
untuk membuat model 3D kota dalam format CityGML (Malambo dan Hahn, 2010).
Model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan (terrain) dan objek
yang terdapat di wilayah kota (Sai, 2011).
Beberapa metode dapat digunakan dalam membuat model kota 3D mulai dari
manual sampai dengan otomatis. Metode manual dengan melakukan ekstrusi
bangunan dua dimensi (2D) dari file vektor yang dapat dilakukan dengan
menggunakan software seperti ArcGIS dan AutoCAD. Metode semi otomatis dan
otomatis dapat dilakukan dengan menggunakan metode fotogrametri seperti
membangun ekstrasi dari Foto Udara atau citra satelit (Malambo dan Hahn, 2010).
Model kota 3D LOD2 dari data Lidar dapat digunakan untuk membuat model kota
dalam format CityGML. Model kota 3D dalam format CityGML LOD2 dapat
digunakan dalam melakukan evalusi dan simulasi dari perencanaan (Arefi dkk.,
2008).
Foto Udara merupakan data hasil pemotreatan menggunakan wahana pesawat
dengan menggunakan metode fotogrametri. Fotogrametri merupakan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh pengukuran spasial dan produk
geometris dari Foto Udara (Thomas, 2013). Foto Udara dapat digunakan untuk
7
pembuatan peta tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi visual. Klasifikasi
visual dengan teknik on screen digitasi (Cifor, 2006). Peta tutupan lahan merupakan
salah satu data spasial yang penting dalam berbagai aplikasi sistem informasi
geografi, dimana sebagian besar analisis lingkungan dapat menggunakan peta
tutupan lahan (Bacchi dkk., 2000).
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas di atas penelitian yang akan
dilakukan mengenai pembuatan model kota 3D representasi LOD2 dalam format
CityGML Klaster Agro UGM Yogyakarta dengan menggunakan data Lidar, Foto
Udara dan survey lapangan untuk identifikasi nama bangunan. Dengan terbangunnya
Model Kota 3D dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap RTBL klaster
di UGM Yogyakarta.
I.8. Landasan Teori
I.8.1 Lidar
Lidar merupakan teknologi yang dapat digunakan untuk menghasilkan digital
terrain model (DTM) dan digital surface model (DSM) (Rebecca dkk., 2008). Tiga
komponen utama sistem Lidar ditunjuakn pada Gambar I. 1 terdiri dari komponen
Global Positioning System (GPS), Inertial Navigation System (INS) dan sensor laser
yang saling berhungan untuk menghasilkan koordinat-koordinat 3D dipermukaan
bumi (Nayegandhi, 2007). GPS digunakan untuk menentukan koordinat (X, Y, Z)
wahana terbang terhadap referensi tertentu (Nayegandhi, 2007). INS merupakan
suatu sistem navigasi yang mempunyai kemampuan untuk mendeteksi perubahan
geografis, perubahan kecepatan serta perubahan orientasi dari suatu wahana
(Woodman, 2007) dan sensor laser berfungsi untuk mengukur jarak antara sensor
pada wahana terbang dengan titik objek dipermukaan bumi yang akan menghasilkan
koordianat 3D (Vannessyardi, 2011 ). Dalam beberapa sistem Lidar, kamera digital
digunakan untuk menghasilkan citra dari area pengukuran (Vallet, 2007).
8
Gambar I. 1 Konsep pemetaan Lidar (Schreppel dan Cimitile, 2011)
I.8.1.1 GPS. Komponen GPS pada Lidar digunakan untuk menentukan
koordinat (X, Y, Z) wahana terbang terhadap referensi tertentu. GPS merupakan
sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit dan sistem ini di
desain untuk dapat digunakan oleh banyak user dalam segala cuaca untuk
memberikan posisi dan tinggi (Abidin, 2007). GPS terdiri dari tiga segmen utama
ditunjukan pada Gambar I.2 terdiri dari sekmen angkasa yang terdiri dari satelit-
satelit GPS, segmen sistem kontrol yang terdiri dari stasiun monitor dan segmen
pemakai.
Gambar I. 2. Segmen GPS (Abidin, 2007)
9
I.8.1.2 Inertial navigation system (INS). INS merupakan suatu sistem
navigasi yang mempunyai kemampuan untuk mendeteksi perubahan geografis,
perubahan kecepatan serta perubahan orientasi dari suatau wahana (Woodman,
2007). Pada sistem Lidar INS ditunjukan pada Gambar I. 3. berfungsi untuk
mengukur pergerakan rotasi wahana terbang terhadap sumbu-sumbu terbang.
Pergerakan rotasi tersebut berupa pitch, roll dan heading (Nawangsidi, 2009).
Gambar I. 3. Heading, pitch dan roll (Nawangsidi, 2009)
Pitch merupakan pergerakan rotasi sumbu y wahana terhadap sumbu y sistem
referensi terbang. Roll adalah pergerakan rotasi sumbu x wahana terbang terhadap
sumbu x pada sistem terefensi terbang. Heading merupakan sudut antara sumbu
wahana terbang terhadap arah utara. Dengan demikian sumbu z wahana terbang
dapat didefinisikan sebagai garis yang tegak lurus terhadap sumbu x dan sumbu y
wahana terbang.
I.8.1.3 Sensor laser. Sensor laser merupakan komponen yang mempunyai
fungsi untuk mengukur jarak antara sensor pada wahana terbang dengan titik objek
dipermukaan bumi yang akan menghasilkan koordianat (Vannessyardi, 2011 ).
Sensor Lidar berfungsi untuk memancarkan sinar laser ke objek dan kemudian
merekam gelombang pantulan yang mengenai objek. Gelombang yang dipancarkan
oleh sensor terdiri dari gelombang hijau yang berfungsi sebagai gelombang penetrasi
jika suatu sinar mengenai daerah perairan dan gelombang infra merah yang
berfungsi untuk mengukur data topogtafi daratan (Nawangsidi, 2009).
10
I.8.1.4 Kamera digital. Dalam beberapa sistem Lidar, kamera digital
digunakan untuk menghasilkan citra dari area pengukuran. Citra tersebut dapat
dioverlay dengan data X,Y,Z hasil pengukuran Lidar. Citra tersebut akan digunakan
ketika proses pengklasifikasian titik data Lidar (Vallet, 2007). Foto digital pada
Lidar juga berguna sebagai kontrol kualitas data Lidar dan sebagai media untuk
penggambaran unsur-unsur permukaan bumi seperti jalan, tutupan, lahan, bangunan
dan sungai.
I.8.2 Pemodelan Bangunan 3D
Pemodelan bangunan 3D telah menjadi topik penelitian yang sangat aktif
selama bertahun-tahun. Permintaan pemodelan bangunan 3D semakin meningkat
untuk berbagai aplikasi seperti perencanaan kota, pariwisata. Dalam bidanga
komersial aplikasi seperti Google Earth dan Apple Maps telah menggunakan teknik
pemodelan bangunan 3D sebagai komponen penting dalam visualisasi yang telah
memperoleh respon publik yang besar. Model bangunan 3D untuk aplikasi seperti
Google Earth dan Apple Maps biasanya dibuat dengan melakukan pemetaan tekstur
dari Foto Udara dan terrain. Pemodelan geometris bangnunan 3D dilakukan dengan
menggunakan metode manual untuk membangun model geometris bangunan seperti
menggunakan software Google Sketch-Up yang memerlukan waktu cukup lama
untuk membuat sebuah gedung. Hal tersebut sangat sulit dan membutuhkan waktu
lama, terutama untuk membangun wilayah perkotaan yang luas (Sun dan Salvaggio,
2013).
Dalam bidang penginderaan jauh ada beberapa sumber data yang sesuai
sebagai masukan untuk proses pemodelan bangunan 3D. Membuat model bangun
3D dari citra satelit dengan metode manual yang memungkinkan hal tersebut
berkaitan dengan ketersedian sumber data yang ada. Penelitian tentang cara
mengekstrak informasi 3D dari ground atau Foto Udara telah dilakukan selama
beberapa dekade. Kemajuan teknologi telah memungkinkan teknik untuk
memperoleh informasi 3D di daerah perkotaan dengan skala besar (Rebecca dkk.,
2008).
11
Menggunakan teknologi Lidar representasi 3D dalam bentuk point cloud
dapat digunakan untuk membantu generasi bangunan 3D secara lebih efektif dan
efisien. Banyak teknik yang dikembangkan dengan menggunakan masukan data
Lidar untuk membuat alur kerja otomatis dalam melakukan pemodelan perkotaan
ditunjukan pada Gambar I.4. Untuk melakukan pemodelan bangunan 3D klasifikasi
point cloud mempunyai peranan penting. Dalam proses klasifikasi pembagian point
cloud ke dalam layer vegetasi, ground dan building akan mempermudah dalam
melakukan pemodelan bangunan 3D (Zhou dan Neumann, 2008).
Gambar I. 4. Alur pemodelan 3D bangunan (Zhou dan Neumann, 2008)
Klasifikasi merupakan tahapan untuk memisahkan poin cloud ke dalam
layer vegetasi, building dan ground. Planes diambil dari patch bangunan dan batas-
batas setiap plane yang terdeteksi. Pemodelan bangunan dari point cloud hasil
klasifikasi (Sun dan Salvaggio, 2013; Zhou dan Neumann, 2008)
I.8.2.1 Klasifikasi ground. Tujuan utama dari klasifikasi adalah untuk
membagi layer ke dalam tiga kategori: vegetasi, building dan ground. Klasifikasi ini
dilakukan dalam dua langkah terpisah. Langkah pertama adalah menyaring daerah
vegetasi berdasarkan properti dari permukaan point cloud. Langkah kedua
melakukan ekstrak footprints atap bangunan dari kelas building dan terrain yang
diperoleh dari langkah pertama. Kedua langkah tersebut saling berhubungan erat
namun memiliki pendekatan yang independen untuk melakukan klasifikasi vegetasi,
terrain dan building. Hasil dari ekstraksi terrain dan footprints atap bangunan
tergantung pada deteksi dan penghapusan vegetasi pada langkah pertama (Sun dan
Salvaggio, 2013).
12
Pemisahan point ground dan non ground dapat juga dilakukan dengan
metode klasifikasi digital berdasarkan elevasi. Klasifikasi digital berdasarkan elevasi
merupakan proses pencarian titik-titik berdasarkan perbandingan elevasi dari tiap-
tiap titik dengan jarak yang sudah ditentukan. Proses dasar point cloud Lidar adalah
klasifikasi sebagai permukaan ground atau non ground. Untuk keperluan ketelitian
geometri dari point cloud data Lidar. Algoritma dikembangkan secara otomatis
untuk memisahkan point ground dan non ground (Soininen, 2008)
Data koordinat 3D diperoleh dari point cloud data Lidar. Proses klasifikasi
dilakukan untuk mengelompokan point cloud yang mempunyai elevasi sesuai
dengan kelompoknya. Kelompok low point adalah point cloud yang posisi point
tersebut berada di bawah elevasi rata-rata seluruh point. Keberadaan low point sering
berada pada wilayah perairan dikarenakan sinar inframerah terserap air (Istarno,
2011).
Parameter klasifikasi low point ditentukan dengan memberikan jarak
tertentu antara low point dengan point lainnya dan membentuk sudut tertentu
ditunjukan pada Gambar I.5 yang didefinisikan oleh pengguna (Soininen, 2008).
Proses klasifikasi low point yang terdiri dari beberapa kelompok point yang terdekat
di bawah point permukaan bumi dilakukan dengan membandingkan kelompok point
tersebut dengan point yang lain. Apabila kelompok point tersebut keseluruhan
berada di bawah point yang berdekatan maka proses pencarian dilakukan secara
interatif.
Gambar I. 5 Titik rendah-titik tunggal (Istarno, 2011; Soininen, 2008).
13
I.8.2.2 Deteksi bangunan dan vegetasi. Deteksi bangunan dan vegetasi dari
data Lidar merupakan salah satu bagian dari proses klasifikasi data Lidar untuk
memperoleh point cloud bangunan dan vegetasi. Untuk dapat melakukan proses
pemodelan bangunan 3D terlebih dahulu seluruh objek dapat dideteksi dan di
ekstraksi dari data Lidar. Hasil dari ekstraksi data Lidar tergantung dari algoritma
yang digunakan dalam melakukan ekstraksi. Algoritma yang digunakan dalam
melakukan klasifikasi berpengaruh pada hasil dan sering kali hasil klasifikasi
mengakibatkan kehilangan detail dari objek (Istarno, 2011).
a. Deteksi bidang atap:
Deteksi bidang atap bangunan diperoleh berdasarkan segmentasi dari model
permukaan digital untuk menemukan bidang-bidang yang berada pada daerah
kajian. Setelah memperoleh semua patch atap dari bangunan setiap tapak
bangunan dapat diproses untuk melakukan pemodelan bangunan 3D. Proses
pemodelan bangunan 3D dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya
komputasi. Pada tahap ini dapat dimungkinkan untuk membangun sebuah model
bangunan 3D dari masing-masing set point. Namun untuk mencapai model yang
mengandung banyak detail perlu untuk mengidentifikasi fitur signifikan yang
berada di atas atap bangunan dan dapat mewakili bentuk atap dengan sedetail
mungkin. Proses penyempurnaan detail bangunan masih menjadi permasalahan
dari proses segmentasi sehingga perlu melakukan proses editing secara manual.
b. Pengelompokan bidang atap dan delineasi garis bidang atap
Pengelompokan bidang atap dan deliniasi garis bidang atap merupakan proses
Segmentasi bidang atap yang sama (co-planar) digabungkan dan diperkirakan
garis-garis yang saling berpotongan dan atau pangkal tepi bidang (step-edge)
dibuat berdasarkan analisis yang dilakukan pada bentuk-bentuk bangun
sederhana seperti pada Gambar I.6.
c. Kosistensi pada estimasi parameter objek: untuk memperbaiki parameter-
perameter digunakan.
d. Keteraturan model: dengan pengenalan bentuk pada Gambar I.6 untuk
pemodelan bangunan 3D. Bangunan sederhana digunakan untuk pemodelan
14
bangunan 3D dengan memasukkan batasan-batasan geometri ke dalam proses
deteksi bangunan .
Gambar I. 6. Bentuk sederhana atap bangunan (Zhang dkk., 2014)
I.8.2.3 Pemodelan bangunan. Setelah mendapatkan semua patch atap
bangunan setiap tapak bangunan dapat dilakukan pemodelan bangunan 3D
menggunakan beberapa sumber daya komputasi. Pada tahap ini dimungkinkan untuk
membangun sebuah model dari masing-masing set point, untuk dapat melakukan
pemodelan bangunan tunggal dapat dilakukan berdasarkan masing-masing set point.
Namun, untuk mencapai model yang mengandung banyak detail perlu untuk
mengidentifikasi banyak fitur yang berada di atas atap dan dapat mewakili bentuk
atap dengan sedetail mungkin. Alur kerja pemodelan bangunan 3D yang digunakan
telah diuji pada beberapa data Lidar Gambar. I.7 menunjukkan hasil dari pemodelan
bangunan 3D data (Sun dan Salvaggio, 2013).
Gambar I.7. Hasil pemodelan bangunan 3D (Sun dan Salvaggio, 2013).
1.8.2.4 Model geometri. Model geometri menurut dimensinya dibedakan
menjadi 1D, 2D dan 3D. 1D berdasarkan terminologinya berupa point-nodes,
vertices dan lines-arcs-edge-segmnets, 2D berupa surfaces-faces-polygons dan 3D
15
berupa bodies-arcs-solid-volumes. Objek spasial yang digambarkan dalam ruang 2D
memiliki koordinat X,Y yang didefinisikan oleh sumbu X,Y sedangkan objek spasial
yang digambarkan dalam ruang 3D memiliki koordinat X,Y,Z yang didefinisikan
oleh sumbu X,Y,Z. Ketika nilai Z disimpan sebagai atribut suatu titik, garis atau
polygon 2D disebut 2.5D atau 2D+1. Model 3D merupakan kumpulan geometri yang
terdiri dari titik-titik X,Y,Z pada ruang 3D. Ada beberapa cara untuk mendapatkan
model 3D yaitu dengan cara otomatis, manual dan procedural (Mutiarasari, 2013).
Pemodelan geometri merupakan pemodelan yang terkait dengan penggunaan
dan pemanfaatan tools untuk membuat, merepresentasikan dan memanipulasi bentuk
geomerti. Setiap sistem CAD mendukung pemodelan geometri, yaitu dengan
mengimplementasikan tools untuk mendefinisikan curves, surface dan solid.
Terdapat beberapa skema pemodelan geometri diantaranya model wireframe,
surface, Constructive Solid Geometri (CSG), Boundary Representation (BREP) dan
Multipatch (Marsh, 2005).
1. Model wireframe: pemodelan dengan menggunakan garis atau curves untuk
mempresentasikan baik surfaces ataupun solid ditunjukan pada Gambar I. 8.
Model wireframe bentuk objek didefinisikan sebagai kumpulan dari point
(vertices) dan beberapa edges. Edges merupakan garis atau curves yang
dihubungkan oleh sepasang titik atau point (Dokken dan Skytt, 2009).
Gambar I. 8. Model 3D model wireframe (Shene, 2002)
16
Pemodelan ini mudah di implementasikan dan dapat digunakan untuk melakukan
rendering surfaces. Sebuah model wireframe merupakan representasi visual dari
objek tiga dimensi yang digunakan dalam komputer grafis 3D. Hal ini dibuat
dengan menetapkan setiap tepi objek di mana dua permukaan smooth terus
menerus bertemu atau dengan menghubungkan simpul objek menggunakan garis
lurus atau kurva (Shene, 2002).
2. Model surfaces. Sebuah model surface diwakili oleh tabel tepi dan titik seperti
pada model wireframe ditunjukan pada Gambar I. 9. Tabel face menyimpan
informasi yang ujung-ujungnya melekat pada setiap face pada kebanyakan
sistem CAD konvensional untuk free-form surfaces. Model surface pada CAD
konvensional telah digunakan sebagai representasi internal. Model surface
memiliki peran penting dalam industri karena pada model surface memberikan
gambaran yang akurat dari permukaan suatu benda. Model surface
merepresentasikan setiap surface secara matematik tetapi tidak menyimpan
topologi dari geometri (Shene, 2002).
Gambar I. 9. Model surfaces (Shene, 2002)
3. Constructive Solid Geometri (CSG). Merupakan teknik pemodelan yang
menerapkan prisip pemodelan solid atau volume base model. Model solid
merupakan model 3D yang mendefinisikan batas dan isi model 3D secara utuh
dengan koordinat 3D, dengan demikian model solid merupakan model yang
17
tidak terdapat ruang hampa di dalamya. CSG merupakan teknik pemodelan 3D
yang memiliki 3 prinsip utama ditunjukan pada Gambar I. 10. yaitu disusun dari
kumpulan bentuk primitive 3D, pada model CGS dimungkinkan untuk
melakukan transformasi (perbesaran, perkecilan, rotasi dan translasi) dan dapat
diterapkan 3 operasi himpunan (union, intersection, dan subtract/deference
(Lohmüller, 2012).
Gambar I. 10. Constructive solid geometri (Lohmüller, 2012)
4. Boundary Representation (B-Rep). Merupakan teknik pemodelan yang
menggunakan prinsip pemodelan poligon atau surface-based model. Model
poligon atau cangkang merupakan model 3D yang disusun dari permukaan
(polygonal surface) untuk membentuk kesan 3D ditunjukan pada Gambar I. 11.
B-Rep merupakan model yang di bawah permukaan model 3D merupakan ruang
hampa tanpa koordinat (Congli, 2005; Hsu, 2010; Mutiarasari, 2013).
Gambar I. 11. Boundary representation (Anonim, 2014)
18
B-Rep merupakan teknik pemodelan 3D dengan prinsip pemanfaatan topologi
dan geometri, yang dimaksut topologi adalah elemen muka (faces), tepi (edges)
dan titik (vertices). Sedangkan geometri yang digunakan adalah surface (2D),
garis (1D) dan titik (0D). Elemen lain dari B-Rep berupa shell (kumpulan dari
permukaan yang menyambung), loop (arah putaran), winged-edge links (garis
sayap yang penghubung antara permukaan dan titik (Hsu, 2010).
5. Multipatch. Multipatch merupakan geometri 3D yang digunakan untuk mewakili
surface luar atau shell dari sebuah fitur dalam ruang tiga dimensi. Multipatch
dapat digunakan untuk mewakili objek sederhana seperti bola, kubus atau benda
kompleks seperti bangunan dan pohon. Sebuah multipatch dapat dilihat sebagai
wadah untuk koleksi geometri yang mewakili permukaan 3D ditunjukan pada
Gambar I.12. Geometri multipatch terdiri dari TriangleStrip, TriangleFan,
Triangles, atau Ring. Multipatch tunggal dapat terdiri dari kombinasi satu atau
lebih dari geometri tersebut (Esri, 2008).
Gambar I. 12. Geometri multipatch (Esri, 2008)
I.8.3 Pemodelan Kota 3D
Data Lidar berupa point cloud yang memiliki koordinat 3D dan dapat
digunakan untuk memperoleh ketinggian bangunan ditunjukan pada Gambar I. 13.
DEM yang dihasilkan dari data Lidar merupakan hasil turunan dari point cloud.
Digital elevasi model (DEM) dapat dibedakan menjadi dua yaitu digital surface
model (DSM) dan digital terrain model (DTM). DSM merupakan bentuk digital
yang menggambarkan geometri dari permukaan bumi beserta objek-objek yang ada
19
di atasnya. DTM merupakan data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk
permukaan bumi (NERITARANI, 2013).
Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam membuat model
bangunan 3D yang kemudian dikonversi ke dalam format CityGML dapat dilakukan
dengan menggunakan metode manual sampai dengan otomatis. Metode manual
menggunakan ekstrusi bangunan 2D dari file vektor yang dapat dilakukan misalnya
dengan menggunkan ArcGIS dan AutoCAD. Metode semi otomatis dan otomatis
dapat dilakukan dengan menggunakan metode fotogrametri seperti membangun
ekstrasi dari Foto Udara atau citra satelit (Malambo dan Hahn, 2010).
Gambar I. 13. Pendekatan DTM dan DSM untuk menentukan ketinggian bangunan
(Neritarani dan Suharyadi, 2013)
Data Lidar dapat digunakan sebagai sumber utama dalam melakukan
pemodelan bangunan 3D secara semi otomatis untuk memenuhi berbagai keperluan
applikasi dibidang goeinformasi. Dengan kerapatan point cloud yang diperoleh dan
semakin meningkatnya akurasi memberikan potensi yang besar dalam melakukan
ekstraksi objek topografi. Namun terdapat kendala utama untuk melakukan
pemodelan dinding bangunan. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya distribusi
dari titik Lidar pada fasad (tampak depan) dan vertikal dari bangunan (He dkk.,
2012).
20
Data Lidar digunakan untuk memperkirakan dalam menentukan orientasi dan
tinggi bangunan dengan akurat dan untuk pemodelan atap bangunan dalam model
3D dapat menggunakan metode semi otomastis menggunakan citra resolusi tinggi
atau Foto Udara dalam mementukan footprint atap bangunan (Syed dkk., 2005).
Dengan menggunakan dua jenis dataset Lidar dan citra satelit atau Foto Udara
memberi solusi dalam melakukan ekstraksi bangunan untuk pemodelan kota 3D
(Tao dan Yasuoka, 2002).
Sebuah model kota 3D merupakan representasi digital dari permukaan bumi
dan objek yang ada di daerah perkotaan ditunjukan pada Gambar I. 14. Model kota
3D dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pemahaman mengenai
keadaan yang sebenarnya dari kota. Dengan demikian model kota 3D dapat
digunakan untuk beberapa keperluan diantara yang berkaitan dengan manajemen dan
perencanaan perkotaan, studi lingkungan dan manajemen bencana (Rodrígueza dkk.,
2011).
Gambar I. 14. Model kota 3D dengan struktur atap standar (kiri) dan texture (kanan)
(Aringer dan Roschlaub, 2013)
I.8.4 CityGML
CityGML merupakan model data yang bersifat terbuka dan berbasis format
XML untuk penyimpanan dan pertukaran virtual model kota 3D (OGC, 2012).
CityGML mendefinisikan kelas dan hubungan dari objek topografi yang relevan
21
sehubungan dengan geometris, topologi dan semantik. Tujuan dari pengembangan
CityGML adalah untuk mencapai definisi umum dari entitas dasar, atribut dan
hubungan dari model kota 3D (Moreira, 2013). Hal ini menjadi penting terutama
yang berhubungan dengan biaya perawatan berkelanjutan yang efektif dari model
kota 3D. Dengan demikian memungkinkan untuk penggunaan kembali data yang
sama dalam bidang aplikasi yang berbeda (OGC, 2012).
CityGML adalah skema aplikasi berdasarkan Open Geospatial Consortium
Geografi Markup Language 3 (GML 3.1). GML adalah bahasa standar untuk
pemodelan, penyimpanan dan transportasi data informasi geografis yang merupakan
spesifikasi pelaksanaan dari OGC dan juga standard international ISO (Stadler dan
Kolbe, 2012). Standar penulisan GML berdasarkan pada eXtensible Markup
Language (XML). CityGML pada awalnya dikembangkan oleh Special Interest
Group SIG3D dari Initiative Geodata Infrastruktur North-Rhine Westphalia, Jerman
(GDI NRW) (Şengül, 2010).
CityGML tidak hanya merupakan tampilan grafis dari model kota namun
secara khusus membahas keterwakilan sifat semantik, tematik, model dan geometri
(Kolbe, 2009). Model geometri memungkinkan untuk mendefinisi secara konsisten
dari sifat geometri dan topologi objek spasial dalam model kota 3D. Kelas dasar dari
semua objek adalah CityObject yang merupakan subclass dari kelas fitur GML
(OGC, 2012).
I.8.4.1 Semantik model kota 3D. Semantik merupakan nilai atribut dari objek
yang berkaitan dengan kelas, atribut dan kualitas dari model data (Aditya dan
Lemmens, 2003). Pada CityGML model bangunan 3D, semantik merupakan atribut
bangunan ditunjukan pada Gambar I. 15. berupa roof, wall, ground, door dan
windosw (Nagel dkk., 2009), semantik bangunan 3D tergantung dari tingkat LOD
(Marc dkk., 2013). Model semantik pada CityGML terdiri dari definisi kelas untuk
fitur dalam model kota 3D, termasuk bangunan, DTM, transportasi, vegetasi, dan
furniture kota (Stadler dan Kolbe, 2012).
Meningkatnya jumlah aplikasi terkait dengan visualisasi virtual model kota
3D seperti perencanaan kota, sistem navigasi, manajemen fasilitas, manajemen
22
bencana, simulasi lingkungan dengan tujuan memberikan infomasi dari kondisi kota
(Sun dan Salvaggio, 2013). Aplikasi tersebut diperlukan informasi tambahan yang
diberikan dalam representasi standar tentang kota oleh pengguna dan pemangku
kepentingan. Dalam membangun model kota 3D harus terstruktur dan didefinisikan
dengan baik. Oleh karena itu, pengembangan model kota 3D diperlukan untuk
mengeksploitasi informasi semantik dari struktur city object. Untuk membuat model
kota 3D beberapa penelitian difokuskan pada proses otomatis. Selain proses otomatis
dalam membangun model kota 3D proses manual dibutuhkan untuk membentuk
detail yang kompleks dari model kota (Şengül, 2010).
Pemodelan semantik kota 3D dapat digunakan secara ekonomis oleh
pengguna dalam domain aplikasi yang berbeda (Stadler dan Kolbe, 2012). Dengan
alasan tersebut model informasi umum diperlukan oleh pengguna dan aplikasi yang
berbeda, CityGML dapat diberikan sebagai model data dan informasi semantik.
CityGML menggunakan standar ISO 19100 untuk pemodelan fitur geografis (Brink
dkk., 2014). Menurut ISO 19109 fitur geografis adalah abstraksi dari objek dunia
nyata. Fitur geografis mungkin memiliki atribut spasial dan non-spasial. Prinsip
pemodelan berorientasi objek dapat diterapkan dalam rangka menciptakan model
kota 3D (Stadler dan Kolbe, 2012).
Gambar I. 15. Model semantik bangunan (Nagel dkk., 2009)
23
I.8.4.2 Multi skala modelling. CityGML mendukung tingkatan yang berbeda
dari kedetailan objek yang ditampilkan dinyatakan dalam LOD. LOD diperlukan
untuk mencerminkan proses pengumpulan data dengan persyaratan aplikasi yang
berbeda. LOD mampu memfasilitasi visualisasi dan analisis yang efisien (OGC,
2012). Dalam dataset CityGML objek yang sama dapat diwakili dalam berbagai
LOD yang berbeda sehingga dapat memungkinkan analisis dan visualisasi dari objek
yang sama berkaitan dengan level dan resolusi yang berbeda (Moreira, 2013). LOD
saat ini mendukung lima tingkatan dari LOD0 sampai LOD4 ditunjukan pada
Gambar I.16. dengan tingkat kedetailan objek semakin lebih rinci dengan
meningkatnya LOD (Malambo dan Hahn, 2010).
LOD0 pada dasarnya adalah dua setengah dimensi dari DTM. LOD1 adalah
model blok, tanpa struktur atap. Sebuah bangunan LOD2 memiliki struktur atap.
LOD3 menunjukkan model arsitektur dengan dinding rinci dan struktur atap, pintu
dan jendela. LOD4 merupakan model yang melengkapi dari model LOD3 dengan
menambahkan struktur interior (Kolbe, 2009). LOD juga ditandai dengan akurasi
yang berbeda dan dimensi minimal objek yang akan didefinisikan dalam LOD.
Gambar I. 16. Lima LOD didefinisikan oleh CityGML (OGC, 2012)
Pada LOD1 akurasi posisi dan ketinggian point kurang dari 5m sehingga
semua objek dengan tapak minimal 6m harus dipertimbangkan untuk didefinisikan.
Akurasi posisi dan tinggi LOD2 minimal 2m sehingga dalam LOD2 semua objek
dengan tapak minimal 4m × 4m harus diperhatikan untuk divisualisasikan. Kedua
24
jenis akurasi horisontal dan vertikal pada LOD3 harus 0.5m dan tapak minimal 2m ×
2m. Akurasi posisi dan ketinggian pada LOD4 harus 0.2m atau lebih kecil, sehingga
dengan menggunakan nilai-nilai akurasi data tersebut klasifikasi dalam lima LOD
dapat digunakan untuk menilai kualitas dataset model kota 3D (OGC, 2012).
I.8.4.3 Unified modeling language (UML). UML merupakan alat bantu
bahasa pemodelan yang dapat digunakan untuk rancang bangunan berorientasi
objek. UML digunakan untuk spesifikasi, visualisasi dan dokumentasi sistem pada
fase pengembangan. UML merupakan bahasa pemodelan visual yang digunakan
untuk menentukan, memvisualisasikan, membangun dan mendokumentasikan dari
sistem perangkat lunak (Rumbaugh dkk., 1999). Diagram kelas UML menunjukkan
kelas sistem yang mempunyai hubungan inheritan, agregasi, asosiasi, operasi dan
juga atribut dari kelas. Sebuah kelas merupakan deskripsi dari satu set objek berupa
attribute, operations dan relationships (Booch dkk., 1998).
I.8.4.4 Model geometri CityGML. Pemodelan geometris 3D dan deskripsi
dari objek dunia nyata di diperoleh melalui sistem pencitraan telah menjadi topik
penting. Dengan terbangunnya model kota 3D sangat penting untuk berbagai
aplikasi seperti telekomunikasi, model kota 3D, virtual sistem informasi pariwisata.
CityGML merupakan format model data XML berbasis terbuka untuk menyimpan
dan pertukaran virtual model kota 3D. CityGML menggunakan subset dari model
geometri GML3 yang merupakan implementasi dari standar ISO 19107 (OGC,
2012).
CityGML menyediakan kerangka kerja untuk pertukaran model 3D
sederhana dan kompleks. Hal ini diimplementasikan sebagai skema aplikasi GML3.
Standar internasional extensible untuk pertukaran data spasial dikembangkan oleh
OGC dan ISO TC 211. Model geometri GML3 terdiri dari geometri primitif yang
dapat dikombinasikan untuk membentuk geometri yang kompleks, geometri
komposit atau agregat. Terdapat geometris primitif untuk setiap dimensi: objek nol-
dimensi adalah point, satu dimensi adalah Curve, dua dimensi adalah Surface dan
tiga-dimensi solid (Buyuksaliha dkk., 2013)
25
Sebuah solid dibatasi oleh surface dan surface dibatasi oleh curve. Pada
CityGML curve dibatasi menjadi garis lurus, sehingga kelas LineString digunakan
pada GML3. Surface pada CityGML diwakili oleh poligon yang menentukan planar
geometry yaitu batas semua titik interior harus berada dalam satu permukaan
tunggal. Combined geometries dapat berupa agregat, complexes atau composite dari
geometri primitif. Dalam Aggregate hubungan spasial antara komponen tidak
dibatasi. Pada Combined geometries memungkinkan terjadi disjoint, overlapping,
touching, atau disconnected. GML3 menyediakan agregat khusus untuk masing-
masing dimensi berupa MultiPoint, MultiCurve, MultiSurface atau MultiSolid
(Buyuksaliha dkk., 2013; Zhao dkk., 2014)
Gambar I. 17. Diagram UML model geometri CityGML (OGC, 2012)
CityGML menggunakan subset dari model geometri GML3 yang merupakan
implementasi dari ISO 19107 (Kolbe, 2009). Geometri merupakan fitur geografis
yang direpresentasikan sebagai objek memiliki identitas dan substruktur geometris
ditunjukan pada Gambar I. 17. GML3 menyediakan kelas untuk geometris 0D
sampai 3D primitif. Di mana geometri 1D-3D merupakan geometri komposit dan
0D-3D merupakan geometri agregat. Geometry Composite seperti Composite
26
Surface harus memiliki topologi yang terhubung pada geometri primitif dari dimensi
yang sama, misalkan surface. Pada CityGML surface diwakili oleh poligon (Şengül,
2010).
I.8.5. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
Berdasarkan peraturan menteri pekerjaan umum nomer 06/PRT/M/2007
tentang pedoman umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkuan (RTBL). Tata
Bangunan dan Lingkuan merupakan panduan rancang bangun suatu
lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang,
penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,
ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan
pengembangan lingkungan/kawasan (Peraturan Menteri, 2011).
Gambar I. 18. Contoh simulasi rancangan 3D RTBL (Ampelio, 2007)
Simulasi rancangan 3D merupakan gambaran mengenai simulasi
penerapan seluruh konsep RTBL ditunjukan pada Gambar I. 18. Perancangan
bangunan dan lingkungan pada tiap kavling/blok pengembangan dan gambaran
keseluruhan simulasi 3D rencana pada kawasan perencanaan (Peraturan Menteri,
2001).
27
I.8.5.1 Kedudukan dokumen RTBL. Seluruh rencana, rancangan, aturan
dan mekanisme dalam penyusunan dokumen RTBL harus merujuk pada pranata
pembangunan yang lebih tinggi, baik pada lingkup kawasan, kota, maupun wilayah.
Kedudukan RTBL dalam pengendalian bangunan gedung dan lingkungan
sebagaimana ditunjukan pada Gambar I. 19. Dalam pelaksanaan RTBL sesuai
dengan kompleksitas permasalahan kawasan yang dihadapi (Peraturan Menteri ,
2007).
Gambar I. 19. Kedudukan RTBL dalam rencana tata ruang (Peraturan Menteri,
2011).
I.8.5.2 Kawasan perencanaan. Kawasan perencanaan mencakup suatu
lingkungan/kawasan dengan luas 5-60 ha dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kota metropolitan dengan luasan minimal 5 ha.
b. Kota besar/sedang dengan luasan 15-60 ha.
c. Kota kecil/desa dengan luasan 30-60 ha.
28
Penentuan batas dan luasan kawasan perencanaan (diliniasi) berdasarkan satu
atau kombinasi butir-butir di bawah ini:
a. Administratif, seperti wilayah RT, RW, kelurahan, kecamatan, dan bagian
wilayah kota/desa.
b. Non administratif, yang ditentukan secara kultural tradisional seperti desa adat,
gampong, dan nagari.
c. Kawasan yang memiliki kesatuan karakter tematis, seperti kawasan kota lama,
lingkungan sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra pendidikan, dan kawasan
permukiman tradisional.
d. Kawasan yang memiliki sifat campuran, seperti kawasan campuran antara
fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial-budaya dan/atau keagamaan serta
fungsi khusus, kawasan sentra, industri, dan kawasan bersejarah.
e. Jenis kawasan, seperti kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan
terbangun yang memerlukan penataan, kawasan dilestarikan, kawasan rawan
bencana, dan kawasan gabungan atau campuran.