bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id i.pdf · memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan...

51
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan Pemerintah dalam Negara hukum modern atau Negara Hukum kesejahteraan yang begitu luas membawa akibat perlu adanya Hukum Administrasi Negara (HAN) yang bertujuan untuk memungkinkan Administrasi Negara menjalankan fungsinya sebagai administrator disatu pihak dan pada pihak lain melindungi warga negara terhadap sikap tindak Administrasi Negara, yaitu berupa pembatasan kekuasaan dalam Negara terhadap sikap tindak Administrasi Negara, akan sangat menentukan bagi pelaksanaan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari perlindungan serta kepastian hukum, yang tidak hanya untuk rakyat malainkan untuk dan bagi Administrasi Negara dalam melaksanakan tugasnya. Pejabat Tata Usaha Negara dalam Hukum Tata Pemerintahan merupakan pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas.Dalam banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan mandat.Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu dipahami ialah mengenai dan wewenang.Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa).Wewenang merupakan

Upload: trinhque

Post on 22-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peranan Pemerintah dalam Negara hukum modern atau Negara Hukum

kesejahteraan yang begitu luas membawa akibat perlu adanya Hukum

Administrasi Negara (HAN) yang bertujuan untuk memungkinkan Administrasi

Negara menjalankan fungsinya sebagai administrator disatu pihak dan pada pihak

lain melindungi warga negara terhadap sikap tindak Administrasi Negara, yaitu

berupa pembatasan kekuasaan dalam Negara terhadap sikap tindak Administrasi

Negara, akan sangat menentukan bagi pelaksanaan kesejahteraan masyarakat

sebagai bagian dari perlindungan serta kepastian hukum, yang tidak hanya untuk

rakyat malainkan untuk dan bagi Administrasi Negara dalam melaksanakan

tugasnya.

Pejabat Tata Usaha Negara dalam Hukum Tata Pemerintahan merupakan

pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok

pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan

tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas.Dalam

banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan

mandat.Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang

perlu dipahami ialah mengenai dan wewenang.Secara konseptual, istilah

wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda

“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa).Wewenang merupakan

2

bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum

Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar

wewenang yang diperolehnya.

Wewenang dan jabatan tidak dapat dipisahkan dalam bidang hukum

administrasi negara, karena dengan jabatan atau kedudukan selalu dilekati dengan

suatu wewenang. Pemerintah dalam kedudukannya selaku penguasa melakukan

perbuatan nyata yaitu, mengadakan pengaturan, maupun mengeluarkan keputusan,

termasuk di dalamnya untuk membuat suatu peraturan kebijakan. Yang dimaksud

wewenang di sini adalah wewenang yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun

oleh pemerintah daerah, dalam kedudukannya sebagai badan eksekutif. Dalam

penelitian thesis ini penulis hanya menyoroti secara khusus wewenang yang

dimiliki oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam hal membuat suatu keputusan yang

diposisikan sebagai peraturan kebijakan.

Kepala Kantor Pertanahan sebagai badan atau pejabat tata usaha negara

dalam menggunakan wewenangnya, seperti mengeluarkan keputusan, dalam

pelaksanaannya sangat potensial digunakan bertentangan dengan hukum. Untuk

itu, salah satu sarana efektif mengontrol penggunaan wewenang tersebut adalah

mendayagunakan hukum administrasi, terutama Asas-Asas Umum Pemerintahan

Yang Baik (AAUPB) sebagai hukum tidak tertulis. Dengan demikian, kehadiran

dan peranan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik menjadi sangat penting

baik untuk pertumbuhan dan perkembangan negara hukum Indonesia, maupun

untuk pengendalian dan pemberian patokan bagi pelaksanaan wewenang

3

administrasi negara, sehingga penggunaannya tetap dalam koridor hukum

administrasi.

Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan.Kedudukan

tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi

berbagai permasalahan yang timbul dalam bidang pertanahan.Fakta

memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak

negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.Untuk itu berdasarkan Tap MPR

No.IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan

untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah.Atas dasar

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IV/MPR/1978, Presiden

mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib

Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979.1Catur

Tertib Pertanahan yang meliputi tertib hukum pertanahan, tertib administrasi

pertanahan, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan

hidup adalah merupakan landasan untuk mengadakan penataan kembali mengenai

penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia disamping landasan

politik kebijakan pertanahan sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang mengamanatkan bahwa Negara

sebagai organisasi kekuasaan rakyat pada tingkatan tertinggi diberi wewenang

untuk mengelola pertanahan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Untuk

mewujudkan amanat UUD 1945 dan UUPA, wewenang yang diberikan kepada

Negara, meliputi a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

1 Anonim, http://ajielaw.blogspot.com/2011/09/catur-tertib-pertanahan.html(diakses pada

tanggal 30 Oktober 2014)

4

persediaaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa ; b) menentukan dan

mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,air, dan

ruang angkasa; c). menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang

angkasa.

Masyarakat negara Agraris seperti Indonesia wajib memiliki tanah, dan

penguasaan atas tanah biasanya menjadi masalah yang mendasar yang dihadapi

masyarakat di negara agraris.Dalam menghadapi masalah ini, salah satu cara

pemecahannya adalah Landreform.

Agustus 1945 saat pecahnya revolusi di Indonesia, timbullah keinginan

untuk mengubah sistem agraria kolonial oleh pemimpin politik di Indonesia

karena sistem agraria disaat itu masih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

perusahaan pertanian Belanda.Tetapi dengan adanya perbedaan pendapat dari

berbagai partai politik menghalangi DPR untuk membuat keputusan mengenai

berbagai rencana undang-undang yang dilakukan oleh beberapa kabinet secara

berturut-turut.2Barulah dengan permulaan sistem demokrasi terpimpin, dimana

presiden menarik kekuasaan untuk memutuskan soal-soal yang diserahkan

kepadanya oleh DPR karena DPR pada saat itu tidak mencapai keputusan yang

bulat, maka golongan fungsional dan politik dalam badan legislatif mencapai

kompromi untuk menerima Undang-Undang Pokok Agraria Indonesia Nomor 5

2 Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, 1983, Dua Abad Penguasaan

Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, PT. Gramedia, Jakarta, hal 103

5

Tahun 1960. 3 Presiden menandatangani Undang-undang ini pada tanggal 24

September 1960, dan barulah setahun kemudian pelaksanaannya

dilakukan.Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau undang-undang yang ada

kaitannya dengan penggunaan tanah yang berencana dan pembagian bagi hasil

yang terdaftar, merupakan dasar dari landreform Indonesia saat ini.4

Reforma agraria adalah jawaban yang muncul diakibatkan masalah

ketimpangan struktur agria, kemiskinan, ketahanan pangan dan pembangunan

pedesaan. Hal ini dilaksanan di Indonesia pada tahun 1946 dengan dikeluarkannya

kebijakan penghapusan desa-desa yang mempunyai hak istimewa, seperti tidak

membayar pajak. Kemudian, diterbitkan kebijakan penghapusan tanah partikelir,

yaitu tanah-tanah yang mempunyai hak pertuanan dan tanah eigendom yang

luasnya 7 (tujuh) hektar secara hukum menjadi tanah yang dikuasai langsung dari

negara.

Reforma agraria dalam arti luas meliputi pelaksanaan:5

a. Pembaharuan hukum agraria.

b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.

c. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.

d. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah; hubungan

hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah, yang lebih

dikenal sebagai kebijakan Landreform.

3Ibid 4Ibid 5BPN-RI Reforma agraria Mandat politik, 2007, konstitusi dan hukum dalam rangka

mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, hal.17.

6

e. Perencanaan kesediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya secara berencana, sesuai dengan daya

kesanggupan dan kemampuannya.

Landreform ialah perubahan secara mendasar mengenai penguasaan dan

pemilikan tanah dari sistem yang lama sebelum berlakunya UUPA ke sistem yang

baru menurut UUPA. 6 Landreform merupakan perubahan secara mendasar

mengenai kepemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum

yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Adapun program-program

landreform:7

1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas.

2. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.

3. Redistribusi tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta tanah-tanah

yang terkena larangan absentee, tanah bekas swapraja, dan tanah negara

lainnya.

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang

digadaikan.

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan

pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau

kecil.

6Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Surabaya, Hal 207 7Ibid, hal 213

7

Ketentuan tentang redistribusi tanah pertanian diatur dalam Pasal 17 ayat

(3) UUPA, yaitu: “Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum

termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian

untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut

ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.” Peraturan Pemerintah yang

dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah ini

diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan

Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Thun 1961 tentang Pembagian

Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.8 Kedua PP (Peraturan Pemerintah) ini

berisikan ketentuan mengenai tanah yang akan dibagikan atau diredistribusikan,

ganti rugi kepada bekas pemilik, pembagian tanah serta syaratnya.

Syarat –syarat yang harus dipenuhi oleh petani yang menerima redistribusi

tanah pertanian diantaranya petani tersebut harus berwargakenegaraan Indonesia,

bertempat tinggal di kecamatan atau di kecamatan perbatasan tempat letak tanah

pertanian yang bersangkutan dan harus kuat dalam bekerja bidang pertanian.

Di dalam pelaksanaan kegiatan redistribusi, tanah yang terkena aturan

redistribusi adalah tanah pertanian. Menurut pasal 2 Undang-undang Nomor 56

Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Republik Indonesia

menyebutkan jika luas maksimum kepemilikan tanah pertanian adalah 20 (dua

puluh) hektar (termasuk lahan basah dan lahan kering). Dan bisa ditambah

8Ibid, hal 221

8

maksimal 5 (lima) hektar lagi dengan syarat telah mengajukan permohonan

kepada BPN.

Wewenang Negara dalam penerbitan Surat Keputusan Redistribusi atas

tanah kepada petani penggarap yang ditetapkan atas dasar ketentuan pada Pasal 7,

10 dan 17 UUPA adalah merupakan suatu wujud dari wewenang di bidang

pertanahan yang dimiliki oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Selanjutnya didalam pelaksanaannya ada beberapa peraturan, antara lain yaitu :

1. Keputusan Presiden RI No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di

Bidang Pertanahan.

2. Keputusan Presiden RI No.2 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah di

Bidang Pertanahan.

3. Keputusan Presiden RI No. 62 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 Tentang Kedudukan , Tugas ,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintahan Non Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah

Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001.

4. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 2003 tentang

Norma Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di

bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

5. Peraturan Perundang-undangan Nomor 56 tahun 1960 tentang penetapan

luas tanah pertanian (LN Tahun 1960 No. 174 tambahan LN No. 2117)

6. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan

pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian.

9

7. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1961 tentang perubahan dan

tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 beserta

penjelasannya.

Mengenai peraturan tersebut tampak bahwa Pemerintah yang merupakan

perwujudan dari Negara menggunakan wewenangnya untuk mengatur dalam

rangka pemerataan penguasaan pemilikan atas tanah sesuai dengan batas-batas

luas tertentu agar ada suatu optimalisasi dalam pemanfaatan atas

tanah.Sehubungan dengan hal tersebut ditemukan instrumen pemerintahan yang

dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai badan atau

pejabat tata usaha negara berkenaan dengan berbagai urusan pemerintahan atau

kegiatan yang bersifat eksekutif, antara lain berupa keputusan Kepala Kantor

Pertanahan mengenai penerbitan Surat Keputusan Redistribusi atas tanah

kelebihan maksimum yang bersifat konkrit-individual.

Surat Keputusan Redistribusi atas tanah merupakan salah satu instrument

penting dalam penyelenggarakan politik pertanahan sebagaimana yang

diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)dan memiliki tujuan

untuk melalui hak kepemilikan tanah terhadap tanah yang telah lama di garap oleh

petani. Namun dalam perkembangan selanjutnya keluarlah Tap MPR Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam, yang pada tahapan selanjutnya sebagai respon dari ketetapan tersebut oleh

Pemerintah dikeluarkanlah KEPPRES No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan khususnya seperti yang disebutkan dalam Pasal 2

yaitu mengenai sembilan kewenangan di Bidang Pertanahan yang diserahkan

10

untuk dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota, yang salah satunya dalam

Pasal 2 ayat 2(e) menyebutkan berupa penetapan subyek dan obyek redistribusi

tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

Sebagai catatan, tanah absentee atau tanah guntai merupakan tanah pertanian yang

terletak di luar wilayah kedudukan/domisili si pemilik tanah, alias tanah yang

letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Namun selanjutnya atas dasar Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, dimana pada Pasal 11 mengenai

Redistribusi Tanah Landreform disebutkan bahwa, Kepala Kanwil BPN memberi

keputusan mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah obyek

landreform.

Surat Keputusan Redistribusi atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat dikategorikan bersifat konkrit-

individual, karena keputusannya memuat norma-norma yang bersifat konkrit-

individual yang mengikat subyek tertentu sebagai penerima tanah kelebihan

maksimum. Peraturan Kepala Kantor Pertanahan yang bersifat konkrit individual

ini lazim disebut Penetapan Tertulis (beschikking). Peraturan Kepala Kantor

Pertanahan bersifat konkret-individual di mana objek yang akan dituju oleh

keputusan tersebut telah diketahui lebih dahulu, sedangkan bersifat individual

artinya subjeknya sudah tertentu dan namanya secara tegas tercantum di dalam

keputusan Kepala Kantor Pertanahan itu.

11

Peraturan Kepala Kantor Pertanahan yang bersifat konkrit-individual

tersebut harus pula berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

dalam peraturan tersebut harus dicantumkan dengan jelas dan tegas adanya

wewenang bagi Kepala Kantor Pertanahan, baik bersifat atribusi maupun delegasi

untuk mengeluarkan keputusan yang bersifat konkrit-individual. Hal ini sangat

penting karena berkaitan dengan salah satu prinsip negara hukum Indonesia yang

disebut dengan asas legalitas. Kadang-kadang juga dalam praktek, terjadi

pelimpahan wewenang kepada bawahan (mandat). Pelimpahan ini bermaksud

memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama badan

atau pejabat tata usaha negara yang memberi mandat.

Seperti diketahui, bahwa sebagai negara hukum, maka tindakan apapun

dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh badan atau pejabat tata usaha

negara harus dilandasi oleh hukum dan harus dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum. Di samping menjunjung tinggi asas legalitas, maka badan atau

pejabat tata usaha negara dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan juga

harus menjunjung tinggi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB),

menjaga bahwa segala perbuatan-perbuatan hukumnya itu benar-benar menurut

hukum, sehingga mencerminkan kepastian hukum. Kepastian hukum

(rechtszekerheid, legal certainty) merupakan asas penting dalam tindakan hukum

(rechtshandeling) dan penegakan hukum (handhaving, uitvoering).9

Mengacu pada uraian-uraian tersebut di atas, jelas terlihat adanya konflik

norma antara Pasal 2 ayat (2) huruf e Keputusan Presiden Republik Indonesia

9 Bagir Manan, 1993, Politik Perundang-Undangan, Kumpulan Tulisan, Jakarta,

November, hal. 19.

12

Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Terhadap Tanah Redistribusi denganPasal 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.

Adapun yang bertentangan disini ialah, menurut KEPPRES Nomor 34

Tahun 2003, dimana penetapan subyek dan obyek redistribusi atas tanah, serta

ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absenteedilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten/kota (Pasal 2 ayat (2) huruf e.) sedangkan di dalam pasal

11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 dijelaskan,

bahwa kepala kanwil Badan Pertanahan Nasional lah memberi keputusan

mengenai penetapan tanah negara untuk menjadi tanah obyek landreform. Sebagai

catatan kecil, bahwa redistribusi tanah merupakan salah satu program landreform.

Selain hal diatas kewenangan BPN menurut Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 20013, meliputi (1) pemberian hak milik,

termasuk hak milik tanah program redistribusi, (2) memberikan keputusan

mengenai pemberian hak guna bangunan, hak pakai, serta pemberian izin

kerjasama dan izin perolehan tanah, (3) keputusan mengenai pemberian hak milik

tanah, yaitu luas tanah pertanian dan nonpertanian, luas hak guna usaha, hak pakai

dan hak guna bangunan, serta (4) kewenangan didalam kegiatan pendaftaran

tanah, serta hak lainnya.

Kedepannya, setelah pelaksanaan redistribusi terjadi maka pendaftaran

tanah merupakan proses selanjutnya guna memberikan jaminan kepastian hukum

yang dikenal dengan sebutan recht cadaster/legal cadaster. Jamina kepastian

13

hukum yang hendak dijuwudkan dalam pendaftaran tanah meliputi kepastian

status hak yang didaftar, kepastian subyek hak dan kepastian obyek hak.

Menurut Pasal 1 angka 1 PP Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa

pendaftaran tanah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara

terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputu pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-

satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-

bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta

hak-hak tertentu yang membebaninya.10

Kegiatan Pendaftaran Tanah, pendaftaran atas tanahredistribusi dalam

kebijakan nasional di bidang pertanahan menjadi menjadi suatu hal yang penting

untuk diketahui, apakah tetap menjadi wewenang dari Badan Pertanahan Nasional

seperti pendaftaran tanah pada umunya atau menjadi wewenang dari pemerintah

kabupaten/kota sama seperti pelaksanaan redistribusi yang termuat di dalam

Keputusan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 dan Keputusan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003. Dimana hal ini memiliki tujuan

untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemilik tanah / pemegang hak atas tanah tersebut berupa buku tanah dan sertifikat

tanah yang terdiri dari salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.

Berdasarkan uraian diatas maka menarik untuk penulis mengangkat

penelitian tentang, ”PENGATURAN KEBIJAKAN PENDAFTARAN

10http://www.jurnalhukum.com/pendaftaran-tanah/ (diakses pada tanggal 7 Desember

2015)

14

TANAH REDISTRIBUSI DALAM KEBIJAKAN NASIONAL DIBIDANG

PERTANAHAN” Permasalahan mengenai tanah redistribusi telah dibahas dalam

beberapa penelitian, namun penelitian yang berjudul sebagaimana yang disebut

diatas, belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, sebagaimana dapat disimak

dari hasil penelusuran yang terkait sebagai berikut:

1.Tesis ini ditulis oleh NURHAYATI, SH, mahasiswa Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro dengan judul PELAKSANAAN REDISTRIBUSI

TANAH OBYEK LANDREFORM DI KECAMATAN SEMARANG

BARAT KOTA SEMARANG, adapun masalah yang diangkat:

a. Bagaimanakah pelaksanaan redistribusi tanah di kecmatan semarang

barat dan kondisinya dewasa ini?

b. Adakah hamabatan-hambatan yang terjadi dan bagaimanakah

penyelesainnya?

2. Tesis ini ditulis oleh NI NYOMAN MARIADI, mahasiswa Program

Magister Kenotariatan Universitas Udayana dengan judul

KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN,

adapun masalah yang diangkat:

a. Apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapakan batas

maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah

pertanian?

b. Apa konsekuensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan pertanian

yang melampui batas maksimum dan/atau di bawah batas minimum?

15

3. Tesis ini ditulis oleh IRA SUMAYA, mahasiswa Program Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan dengan judul ANALISIS HUKUM

LANDREFORM SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN

PENDAPATAN EKONOMI MASYARAKAT (STUDI PADA

KEGIATAN REDISTRIBUSI TANAH KOTA MEDAN PERIODE

2007-2008), adapun masalah yang diangkat:

a. Bagaimanakah kebijakan hukum landreform dalam upaya

meningkatkan ekonomi masyarakat?

b. Bagaimana pelaksanaan kegiatan redistribusi tanah objek landreform di

Kota Medan dalam meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat?

c. Faktor-faktor apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan

landreform dan redistribusi tanah di Kota Medan?

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan, dapat dirumuskan

permasalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturankewenangan sistem Redistribusi atas tanah

setelah diberlakukannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2003 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 2 Tahun 2013?

2. Bagaimana sebaiknya kewenangan pengaturan pendaftaran tanah

redistribusi dalam kebijakan nasional dibidang pertanahan?

16

1.3 Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan uraian tersebut diatas maka tujuan penelitian dalam

penulisan ini adalah :

a. Tujuan Umum

Secara umum penelitian atas kedua permasalahan yang telah

dikemukakan bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau untuk

menambah khasanah pengetahuan di bidang ilmu Hukum Administrasi,

khususnya hukum Pertanahan/ Hukum Agraria berkaitan dengan

kewenangan pendaftaran tanah redistrusi dalam kebijakan nasional di

bidang pertanahan.

b. Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus didalam penulisan penelitian

ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas, diantaranya:

1. Ingin mengkaji bagaimana pengaturan kewenangan sistem

redistribusi atas tanah setelah diberlakukannya Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003.

2. Ingin mengkaji bagaimana sebaiknya kewenangan pengaturan

pendaftaran tanah redistribusi dalam kebijakan nasional di bidang

pertanahan.

1.4 Manfaat Penelitian

17

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan maupun kepentingan praktis, sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Untuk menambah dan mengembangkan khasanah Hukum

Administrasi Negara khususnya Hukum Pertanahan/HukumAgraria dalam

menjamin keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada aparat pertanahan

dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara tentang Surat Keputusan

Redistribusi atas tanah sehingga dalam penerbitannya dapat dijadikan kajian

yuridis sebagai pegangan bagi Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat

pertanahan yang pada akhirnya dapat terciptanya Catur Tertib dibidang

Pertanahan.

1.5 Landasan Teoritis

Dalam kerangka teori ini diketengahkan teori, konsep-konsep, asas-asas

maupun pandangan-pandangan sarjana yang berpengaruh sebagai acuan.

Penggunaan teori, konsep-konsep, asas maupun pandangan sarjana tersebut

dimaksudkan sebagai landasan pemikiran konsepsional dalam meneliti

kewenangan terhadap Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota sehingga pada akhirnya asas Legalitas sebagai

konsep dasar untuk terciptanya jaminan kepastian hukum dapat terwujud.

18

Dalam rangka penulisan tesis ini adapun teori, konsep-konsep, asas

maupun pandangan sarjana yang digunakan diantaranya:

1. Teori Negara Hukum

2. Teori Kewenangan

3. Konsep Peraturan Perundang-Undangan

4. Konsep Sistem Pendaftaran Atas Tanah

5. Konsep Otonomi

Secara sistematis teori, konsep-konsep, asas maupun pandangan sarjana

dijabarkan dalam penguraian berikut :

1. Teori Negara Hukum

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki

kekuasaan tertingggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.Negara

merupakanintegrasi dari kekuatan politik. Negara adalah alat (agency) dari

masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan

manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam

masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana

antagonis dan penuh pertentangan.Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu

wilayah dapat memaksakan kekuasaan secara sah terhadap semua golongan

19

kekuasaan lainnya dan yang dapat menerapkan tujuan-tujuan dari kehidupan

bersama itu.11

Menurut O. Notohamidjojo, negara hukum diartikan dengan “negara

dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari presiden,

hakin, jaksa, dan anggota-anggota legislatif, semua dalam menjalankan tugasnya

di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum.”12 Taat akan hukum

artinya menjunjung tinggi hukum didalam mengambil keputusan-keputusan

jabatan. Sejalan dengan pandangan dari O. Notohamidjojo, Sudargo Gautama

mengemukakan bahwa negara hukum ialah “negara yang seluruh aksinya

didasarkan dan diatur oleh undang-undang yang telah ditetapkan semula dengan

bantuan dari badan pemberi suara rakyat.13

Adapun yang menjadi sifat khusus suatu negara yang menjadi

manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya, diantaranya:

a. Sifat memaksa

Agar peraturan perundang-undangan disuatu negara ditaati untuk

tujuan mencapai sebuah ketertiban.

b. Sifat monopoli

Negara mempunyai tujuan dalam menerapkan tujuan bersama dari

masyarakat.

Lima fungsi negara menurut Charles E. Merriam, diantaranya:14

11Anonim, http://politik.kompasiana.com/2011/04/17/konsep-negara356405.html(diakses

pada tanggal 19 September 2014) 12 O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, hal

36 13 Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal 13 14Charles E. Merriam. 1947, Systematic Poliitics, University of Chicago Press

20

a. keamanan ekstern

b. ketertiban intern

c. keadilan

d. kesejahteraan umum kebebasan

Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui

penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan

oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri

dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut: 15

a. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia

b. Pemerintahan berdasarkan peraturan

c. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara

Dalam perumusan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Pasal 1 ayat (3)

menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.Negara Kesatuan

Indonesia adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan

adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan

pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum

(rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan

dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:16

15Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI,

Jakarta, hal 24 16 Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi di Indonesia

Setelah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal 157

21

a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum

yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa

Kontinental atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo

Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.

Unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila

menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:17

a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan

warga negara;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara;

c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah

harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis

maupun yang tidak tertulis;

d. Adanya kekuasaan kehakiman yang didalam menjalankan

kekuasaannya merdeka

Konsep negara kesejahteraan menurut Bagir Manan adalah negara atau

pemerintah yang tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban

masyarakat tetapi juga sebagai pemikul utama tanggung jawab dalam

mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat. 18 Sejalan dengan pendapat tersebut, maka unsur-unsur

17 Sri Sumantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,

Alumni, Bandung, hal 11 18 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui

Pemilu, Gaya media Pratama, Jakarta, hal 11

22

minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir

Manan, adalah sebagai berikut:19

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;

c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa

terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);

d. Adanya pembagian kekuasaan.

Jadi pembagian kekuasaan antara Badan Pertanahan Nasional dengan

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota harus direalisasikan. Hal ini bertujuan agar

memberikan keadilan serta menghindari kerancuan dan dualisme kewenangan

antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Kantor Pertanahan Nasional di dalam

KEPPRES Nomor 34 Tahun 2003 mengenai Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun

2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan

Kegiatan Pendaftaran Tanah.Pemerintah kabupaten/kota lah yang lebih mengerti

mengenai tentang rencana tata ruang kota di dalam melaksanakan program

redistribusi tanah sedangakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) berwenang

menerima laporanpelaksanaan kegiatan Penetapan Redistribusi Tanah Kelebihan

maksimum dan Absentee serta Ganti Ruginya kepada Pemerintah.

2. Teori Kewenangan

19 Bagir Manan, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal 15

23

Teori atau konsep kewenangan selalu digunakan dalam konsep hukum

publik. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-

kurangnya tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum dan konformitas

hukum.20

Komponen pengaruh, ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan

untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen dasar hukum, bahwa

wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas

hukum mengandung adanya standar wewenang, yaitu standar hukum (semua

jenis wewenang), dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Dalam

kaitan dengan wewenang sesuai konteks penelitian ini, standar wewenang yang

dimaksud adalah wewenang pembuatan Surat Keputusan Redistribusi atas tanah

oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setelah adanya pelimpahan

kewenangan ke pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Apabila dilihat, ketiga

komponen konsep hukum publik ini berarti kewenangan pembuatan Surat

Keputusan Redistribusi atas tanah kelebihan maksimum adalah dalam kerangka

konteks negara hukum.

Terdapat 2 istilah asing jika disepadankan dengan konseptual istilah

negara asing, yaitu rechsstaat ( dipergunakan di negara-negara civil law system)

dan rule of law ( yang dipergunakan di negara-negara common law system).

Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan

rechsstaatdanrule of law, hal ini terjadi karena masa pemerintahan Belanda yang

20 Philipus M. Hadjon, 1998, (I) Penataran Hukum Administrasi, tentang Wewenang,

Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal.2.

24

cukup lama di Indonesia serta tumbangnya masa pemerintahan orde lama

walaupun saat ini Indonesia telah memiliki konsep Negara hukumnya sendiri

yaitu, konsep Negara Hukum Pancasila.

Konsepsi negara hukum tidak lagi saling bertentangan antara

rechstsstaaat maupun rule of law. Philipus M. Hadjon dalam disertasinya

berjudul ”Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di indonesia”, mengetengahkan

perbedaan landasan filosofis, perkembangan dan instrumen dari kedua konsep

negara hukum tersebut.Tulisan ini menyandingkan pemikiran antara Rechsstaat

dan rule of law yaitu:

Reechstaat is generally taken to mean that government is subject to the law and may exercise its power only in accordance with general laws, and that the interference with liberty and property must be predictable and calculable. The parrallel is to be found in the twin British concept of the supremacy parliament and the rule of law.

Artinya, Rechsstaat secara umum bermakna bahwa pemerintahan patuh

pada hukum dan mempraktekkan kekuasaannya hanya berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku umum dan campurtangan terhadap kebebasan

dan kepemilikan harus dapat diramalkan dan diperitungkan. Hal ini secara

paralel dapat ditemukan dalam konsep Inggris yang kembar tentang supremasi

parlemen danrule of law. 21

21Himawan Estu Bagijo, 2013, Negara Hukum dan Mahkamah Konstitusi, Perwujudan

Negara Hukum yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang, Laksbang Grafika, Surabaya, hal 58

25

Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum (rechtsstaat),

menurut M.C. Burkens, ide dasar rechtsstaat didasarkan pada syarat-

syaratrechtsstaat, yang terdiri dari :22

1. Asas legalitas. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas

peraturan perundang-undangan (Wettelijke gronslag). Dengan

landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan undang-undang

sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam

hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian penting

negara hukum.

2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa

kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari

pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan

pembentuk undang-undang.

4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui

pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan

pemerintahan ( rechtmatigheids toeising ).

Sesuai dengan persyaratan-persyaratan tersebut, kiranya jelas bahwa

syarat pertama dan ketiga adalah yang relevan dengan obyek penelitian ini.

Syarat pertama menunjukkan bahwa dasar kewenangan dari pemerintah untuk

menerbitkan Surat Keputusan Redistribusi atas tanah kelebihan maksimum

22 Burkens, M.C., et.al, 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtasstaat Tjeenk

Willink, Zwole, hal.29.

26

harus ada dasar hukumnya, yang merupakan tumpuan dasar tindak

pemerintahan. Asas legalitas ini diwujudkan dalam bentuk undang-undang dan

peraturan perundang-undangan lainnya untuk memberikan perlindungan dan

kepastian hukum bagi penerima tanah bekas kelebihan maksimum. Sedangkan

syarat ketiga menunjukkan bahwa, kewenangan penetapan subyek dan obyek

terhadap tanah redistribusi dapat memberi perlindungan dan kepastian hukum

bagi penerima tanah. Jadi syarat ketiga ini, dalam rangka mengimplementasi-kan

tipe negara kesejahteraan (welfare state).

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 2 Tahun 2003

Tentang Norma dan Standar mekanisme ketatalaksanaan kewenangan

pemerintah dibidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah

Kabupaten/Kota adalah menjadi dasar kewenangan dari Kantor Pertanahan

Kabupaten/ Kota dalam menerbitkan Surat Keputusan Redistribusi yang

berdasarkan KEPPRES No. 34 Tahun 2003 seharusnya menjadi kewenangan

dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Frederich Julius Stahl mengemukakan 4 unsur negara hukum sebagai

berikut:23

a. Adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia ( HAM )

b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam pemerintah.

c. Penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan hukum

d. Adanya peradilan administrasi yang ti.dak terpengaruh oleh

kekuasaan (berdiri sendiri)

23Sudargo, G., 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal.8

27

Dalam kaitan dengan obyek penelitian maka unsur pertama dari konsep

kedua tersebut diatas, yang relevan, dimana mensyaratkan setiap tindakan

pemerintah harus berdasarkan atas hukum.Negara Indonesia adalah negara

hukum (rechtstaat) berdasarkanPancasila.24 Negara hukum yang dianut negara

Indonesia tidaklah dalam artian formal, namunnegara hukum dalam artian

material, yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state)

atau “negara kesejahteraan”.25

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara tidak hanya bertugas

memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta secara

aktif (proaktif) dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.

Kewajiban ini merupakan amanat para pendiri negara (the founding father)

Indonesia, seperti dikemukakan pada alinea ke- 4 Pembukaan UUD 1945.

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala aktivitas

pemerintahan di dalam turut sertanya pada berbagai kehidupan rakyat dan

aktivitas rakyat dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara haruslah sesuai

atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku

(dasar hukum) inilah yang menentukan cara untuk memperoleh kewenangan

pemerintahan.

Dalam kepustakaan hukum administrasi, terdapat dua cara utama untuk

memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi. Kadang-

kadang juga mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh

24Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan ke-3, Bandung, hal.11. 25E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit FHPM

Unpad, Bandung, hal.21-22.

28

wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan TUN (gugatan ke

Pengadilan Tata Usaha Negara), mandat tidak ditempatkan secara tersendiri

karena penerima mandat tidak bisa menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha

Negara.

Philipus M. Hadjon menyebutkan26, atribusi adalah wewenang yang

melekat pada suatu jabatan (Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,

menyebutkan : “Wewenang yang ada pada badan atau pejabat tata usaha negara

yang dilawankan dengan wewenang yang dilimpahkan). Kita berbicara tentang

delegasi dalam hal ada pemindahan/ pengalihan suatu kewenangan yang ada”.

Lebih lanjut Philipus M. Hadjon menyebutkan, atribusi dikatakan

sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Yang dapat

membentuk wewenang adalah yang berwenang berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Dalam hukum administrasi positif, ditemukan berbagai

ketentuan tentang atribusi. Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan

wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat TUN)

kepada pihak lain danwewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain

tersebut, dengan syarat-syarat”:

a. Harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri

wewenangnya yang telah dilimpahkan itu.

b. Harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya

delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam

peraturan perundang-undangan.

26 Philipus M. Hadjon, 2001, (II) Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction the Indonesian Administratie Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal.130.

29

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang

tersebut.

Jadi, baik atribusi maupun delegasi menurut Philipus M. Hadjon adalah

wewenang yang bersumber atau harus berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi dan mandat,

J.G. Brouwer dan A.E. Schilder berpendapat, sebagai berikut:27

a. With attribution, power is granted to an administrative authority by

an independent legislative body. The power is initial (original), which

is to say that is not derived from a previously existing power. The

legislative body creates independent and previously non existent

powers and assigns them to an authority. (Artinya, Brower

berpendapat pada “atribusi”, kewenangan diberikan kepada suatu

badan administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen.

Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang

ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri

dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikannya

kepada yang berkompeten.)

b. Delegations are the transfer of an acquired attribution of power from

one administrative authority to another, so that the delegate (the body

27 Brouwer J.G, Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Begni

Libri, Nijmegen, hal.16

30

that has acquired the power) can exercise power in its one name. With

mandate, there is no transfer, but the mandate given (Mandat) assigns

power to the other body (mandatory) to make accessions or take

action in its name. (Artinya, “Delegasi” ditransfer dari kewenangan

atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada yang lainnya,

sehingga delegator (badan yang telah memberi kewenangan) dapat

menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada “mandat” tidak

terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandator)

memberi kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk

membuat suatu keputusan atau mengambil satu tindakan atas

namanya.

Stroink Cs berpendapat, bahwa:28Sumber kewenangan dapat diperoleh

bagi pejabat atau badan administrasi dengan cara atribusi, delegasi,

dan mandat. Bahwa kewenangan pemerintah adalah satu kewenangan

yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan

mempertahankannya. Tanpa suatu kewenangan tidak dapat

dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. Pengertian

kewenangan kemudian juga merupakan inti pengertian yang ada

dalam hukum Tata Negara maupun dalam hukum administrasi.)

Di Indonesia, kewenangan badan atau pejabat yang membuat Surat

Keputusan Pemberian Hak Milik atas tanah selaku keputusan tata usaha negara

dalam praktek pemerintahan memang bersumber dari atribusi, delegasi

28Stroink FAM & Steenbeek, J.C., 1983, Inleiding in het Staats en administratief recht,

Samson, Alpen, hal.30.

31

danmandat. Akan tetapi pengaturan tentang tiga sumber kewenangan tersebut

tersebar di beberapa ketentuan hukum.29

Didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, hanya menentukan tentang kewenangan atribusi

dan delegasi. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 yang berbunyi: Tergugat

adalah Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan

kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Ada perbedaan

yang mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada “atribusi”

kewenangan yang ada siap ditransfer, akan tetapi tidak demikian dengan

“delegasi”. Dalam kaitan dengan azas legalitas kewenangan tidak dapat

didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin dibawah kondisi

bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.

Suatu kewenangan harus dilandasi oleh suatu ketentuan hukum yang ada,

sehingga kewenangan merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian bagi

pejabat dalam mengeluarkan suatu keputusan didukung kewenangan, yang

menjadi pendukung dari hukum administrasi.

Sebagai data penunjang dalam tulisan ini, dikemukakan oleh I Putu

Ariyadnya, ST., selaku Kasubid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda

Gianyar pada tanggal 27 Agustus 2015, di kabupaten Gianyar sendiri, penetapan

subyek dan obyek redistribusi dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Hal ini tentu saja sejalan dengan pasal 2 ayat (2) huruf e KEPPRES No. 34

29 Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Desertasi,

Surabaya, hal.65.

32

Tahun 2003 dan bertentangan dengan pasal 11 Peraturan Kepala BPN No. 2

Tahun 2013. Jadi pelaksanaan yang terjadi di Kabupaten Gianyar tidak bisa

dibenarkan atau disalahkan sehingga mengakibatkan ketidak jelasan mengenai

hal tersebut.

3. Konsep Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1954) merupakan hukum dasar dari

Peraturan Perundang-undangan. 30 Undang-undang merupakan peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan

persetujuan dari presiden.

Teori Jenjang Hukum (Stufentheorie) yang di perkenalkan oleh Hans

Kelsen dalam terbentuknya pembentukan perundang-undangan. Dalam teori ini

dijelaskan bahwa norma-norma hukum itu dikatakan berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang

lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,

demikian seterusnya sampai suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut

bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm). Norma dasr

merupakan norma yang paling tinggi dalam suatu norma dan tidak dibentuk oleh

suatu norma yang lebih tinggi lagi, namun norma dasar merupakan gantungan

bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar

dikatakan pre-supposed.31

30 http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_perundang-undangan_Indonesia (diakses pada

tanggal 23 September 2014 ) 31Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan

Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal 41.

33

Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan

berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga

menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.

Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma

Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga

apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada

di bawahnya.32

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam

pembentukan peraturan perundangan-undangan harus mem-perhatikan asas-asas

peraturan perundang-undangan antara lain:33

a. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut b. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat; c. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai

kedudukan yang tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori); d. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau

melumpuhkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);

e. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat legi priori);

f. Undang-Undang merupakan sarana maksimal bagi kesejahteraan spirituil masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian

Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki peraturan

perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai

tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah.

Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

32Ibid, hal 42 33Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi,2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,

Yogyakarta, halaman 73-74

34

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai

berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Di samping jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang

disebutkan diatas, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga mengatur jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan yang lain, selengkapnya berbunyi sebagai

berikut: 34

a. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;

b. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam mekanisme pengujian undang-undang dikenal ada 3 (tiga) model

pengujian undang-undang, yaitu executive review, legislatif review, danjudicial

34Ibid

35

review. Dalam model executive review, mekanisme pembatalan ini dapat juga

disebut mekanisme pengujian, tidak dilakukan oleh lembaga kehakiman

(judiciary) ataupun legislator, melainkan oleh lembaga pemerintahan eksekutif

tingkat atas. Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai ketentuan

pembatalan peraturan daerah.35

Dalam model legislative review, pengujian konstitusionalitas

(constitutional review) dilakukan oleh lembaga legislatif atau badan-badan yang

terkait dengan cabang kekuasaan legislatif. Misalnya Ketetapan MPR RI No.

II/MPR/2000 yang menentukan bahwa Majelis inilah yang diberi secara aktif

menilai dan menguji konstititusionalitas undang-undang. Sedangkan dalam

model judicial review tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup

dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung

itulah yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal atau

Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the

Constitution).36

Negara sebagai penjamin hak-hak dasar bilamana dikaitkan dengan

redistribusi maka negara harus menjamin tentang tanah redistribusi agar tidak

terjadi inkonsistensi antara Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2

Tahun 2003 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun

2003.

35Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hal 74.

36Ibid

36

4. Konsep Sistem Pendaftaran Atas Tanah

Pendaftaran tanah dilakukan untuk diketahui mengenai identitas dari

tanah tersebut dan memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak tas tanah

tersebut apabila suatu hari nanti terjadi sesuatu. Dengan didaftarkannya tanah

tersebut kepada kantor Pertanahan maka akan terdapat bukti kepemilikan berupa

sertipikat, maka pemilik hak atas tanah tersebut memiliki hak untuk

memanfaatkan tanah tersebut dan mempergunakannya secara aman. Apabila

dikaitkan dengan teori kepastian hukum maka, dengan adanya pendaftaran tanah

tersebut maka dapat memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas

tanah bahwa tanah tersebut benar miliknya dan ia berhak untuk mengalihkan

atau dibebani hak tanggungan.

Pengertian pendaftaran tanah baru ditemukan dalam ketentuan Pasal 1

angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu:

Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dengan dilaksanakannya pendaftaran tanah adalah untuk menjamin

kepastian hukum dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan

pemerintah.Dalam memenuhi kebutuhan pemerintah dalam melakukan data

pengusaan tanah terutama yang melibatkan para pemilik tanah.Pendaftaran tanah

semula dilaksanakan untuk fiscal dan dalam perkembangannya pelaksanaan

pendaftaran dilakukan untuk memberikan kepatian hukum bagi pemilik tanah.

37

Berdasarkan definisi itu, pendaftaran tanah merupakan salah satu sarana

bagi pemerintah untuk melakukan pendaftaran atas hak suatu tanah.Pendataan

ini mutlak diperlukan agar semua tanah yang berada di wilayah Republik

Indonesia jelas kepemilikannya dan tidak menjadi tanah terlantar juga tidak

terjadi kekacauan dalam hal penguasaan hak atas tanah.37

Dengan terdaftarnya bagian tanah tersebut sebenarnya tidak semata-mata

akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju

kepastian hukum. Bahkan seorang pemilik tanah akan mendapatkan

kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah

b. Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari

pebdaftaran tersebut

c. Adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan

d. Mudah dilaksanakan

e. Dengan biaya yang dapat dijangkau oleh semua orang yang hendak

mendaftarakan tanah, dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan

terutama atas harga tanah itu kelak38

Dalam Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran

tanah dilaksanakan berdasarkan asas:

37Jimmy Joses Sembiring, 2010, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, Jakarta,

Hal. 22. 38Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 205-206

(selanjutnya disebut Adrian Sutedi II)

38

a. Sederhana, artinya agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun

prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang

berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah

b. Aman, artinya untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat

memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran

tanah itu sendiri.

c. Terjangkau, artinya keterjangkauan bagi pihak-pihak yang

memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan

kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan

dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa

terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

d. Mutakhir, artinya kelengkapan yang memadai dalam

pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan

datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang

mutakhir. Untuk itu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan

perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini

menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus

menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di

Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaannya di lapangan.

e. Terbuka, artinya agar masyarakat dapat mengetahui atau

memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis yang

benar setiap saat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

39

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya pendaftaran tanah yang

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 dan 4 PP No. 24 Tahun 1997

menyatakan bahwa:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun

dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan

hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun

yang sudah terdaftar

3. Untuk terselanggaranya tertib administrasi pertanahan

Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang

dilakukan terhadap objek pendaftaran hak atas tanah yang belum terdaftar

berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Pendaftaran hak

atas tanah dapat dilakukan dengan cara pendaftaran tanah secara sistematik dan

sporadik.

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek

pendaftaran tanah yang belum didaftarkan dalam wilayah atau bagian wilayah

suatu desa/kelurahan.Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu

rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.Dalam

40

melaksanakan pendaftaran tanah secara sistematik, Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota dibantu oleh Panitia Adjudikasi yang dibentuk oleh Menteri

Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional.39

Pada pendaftaran sistematik ada beberapa cara yang harus dilalui,

diantaranya:

a. Memastikan bahwa pemilik tanah mempunyai sekurang-kurangnya

salah satu dokumen asli (bukan fotokopian) dan banyak

kemungkinan macam dokumen sebagaiaman yang diatur dalam PP

No. 24 Tahun 1997.

b. Pemilik tanah menghadiri acara penyuluhan dan penjelasan dari

Panitia Adjudikasi di lokasi (Sekretariat Panitia atau di kantor desa).

Setelah usai acara, pemilik tanah langsung memberikan dokumen

sebagaimana diatas kepada Panitia Adjudikasi.

c. Pemilik tanah memasangi tanda-tanda batas tanahnya di lapangan

paling tidak dengan patok kayu pada setiap pojokan bidang tanah

d. Pemilik tanah menunjukkan batas-batas bidang tanahnya di lapangan

kepada petugas Panitia Adjudikasi, setelah itu menerima surat atau

pemberitahuan permintaan untuk itu dari panitia Adjudikasi

e. Pemilik tanah mengisi dan menandatangani berita acara mengenai

data fisik dan data yuridis hasil pengukuran dan pemeriksaan

petugas di kantor Pertanahan di secretariat Panitia Adjudikasi di

lokasi

39Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Hal.

33

41

f. Pemilik tanah menunggu terbitnya sertipikat sekurang-kurangnya

selama 30 (tiga puluh) hari sejak berakhirnya langkah kelima diatas,

waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut diperlukan untuk

mempublikasikan/mengumumkan data fisik dan data yuridis bidang

tanah pada papan pengumuman di Sekretaiat Panitia Adjudikasi atau

Kantor Desa/Kelurahan.

g. Pemilik tanah menerima sertipikat di Sekretariat Panitia Adjudikasi

dari Kantor Pertanahan atau Ketua Panitia Adjudikasi, setelah

sebelumnya menerima surat panggilan atau pemberitahuan dari

Kantor Pertanahan.40

Pendaftaran tanah secara sporadik ialah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali mengenai salah satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau

missal.Pendafatran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak

yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang

bersangkutan atau kuasanya.41

Mekanisme pendaftaran tanah secara sporadik, secara garis besar dilalui

dengan beberapa langkah yaitu:

a. Memastikan bahwa pemilik tanah mempunyai sekurang-kurangnya

salah satu dokumen asli dan banyak kemungkinan macam dokumen

sebagaimana yang dimaksud dalam PP No. 24 Tahun 1997

40Herman Hermit, 2009, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah: Tanah Hak Milik, Tanah

Negara, Tanah Pemda dan Balik Nama, Mandar Maju, Hal, Bandung. 12-13. 41Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 472.

42

b. Pemilik tanah menandatangi loket pendaftaran tanah pada Kantor

Pertanahan dan mengisi beberapa fomulir permohonan dan

pernyataan serta melampirkan dokumen asli yang telah disiapkan

berikut dengan fotokopian KTP, tanda lunas Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) tahun terakhir, dan tanda lunas Bea Perolehan Hak

Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta membayar biaya

pelayanan dan biaya pengukuran berikut biaya transportasi petugas

ukur

c. Pemilik tanah menunjukkan batas-batas bidang tanah dilapangan

kepada petugas Kantor Pertanahan, setelah itu menerima surat atau

pemberitahuan permintaan untuk itu dari Kantor Pertanahan

d. Pemilik tanah mengisi dan menadatangani Berita Acara mengenai

data fisik dan data yuridis hasil pengukuran dan pemeriksaan

petugas Kantor Pertanahan di hadapan petugas Kantor Pertanahan

e. Pemilik tanah menunggu terbitnya sertipikat sekurang-kurangnya

selama 60 (enam puluh) hari sejak berakhirnya langkah keempat

diatas. Waktu penantian 60 (enam puluh) hari tersebut diperlukan

oleh Kantor Pertanahan guna mempublikasikan/mengumumkan data

fisik dan data yuridis bidang tanah pada papan pengumuman di

Kantor Pertanahan dan Kantor Desa/Kelurahan atau atas biaya

pemilik tanah diumumkan melalui iklan pada surat kabar daerah

43

f. Pemilik tanah menerima sertipikat di Kantor Pertanahan dari pejabat

yang berwenang dimana setelah sebelumnya menerima surat

panggilan atau pemberitahuan dari Kantor Pertanahan.42

Jadi kaitan konsep pendaftaran tanah dengan tesis ini ialah

kesimpulannya, pendaftaran tanah sangat diperlukan karena jika tanah tersebut

tidak didaftarkan maka pemilik tanah tidak memiliki jaminan kepastian hukum

atas haknya. Pada kenyataannya banyak dijumpai tanah milik petani pembagian

redistribusi tanah yang belum atau tidak didaftarkan, hal ini terjadi karena

tingkat kesadaran yang rendah dari para petani serta menyepelekan akibat

hukum dari pendaftran tanah, padahal hal ini bisa berdampak buruk kedepannya

bagi pemilik hak redistribusi atas tanah tersebut karena kepemilikannya bisa

dikatakan tidak sah.

5. Konsep Otonomi

Istilah otonomi atau ”autonomy” secara etimologis berasal dari kata

yunani ”autos” yang berarti sendiridan ”nomous” yang berarti hukum atau

peraturan. Koesoemahatmadja berpendapat bahwa menurut perkembangan

sejarah di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling)

juga mengandung arti pemerintahan (bestuur).43

Bagir Manan menyatakan, otonomi adalah kebebasan dan kemandirian

satuan pemerintahan lebih rendah dari mengatur dan mengurus sebagian urusan

pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas

42Herman Hermit, Op.Cit, hal. 7-12 43Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah: Pasang Surut Hubungan Kewenangan

Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal 125

44

dan mandiri itu menjadi atau merupakam urusan rumah tangga satuan

pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian

merupakan hakikat isi otonomi.44

Menurut Bhenyamin Hoessein, mengartikan otonomi hampir paralel

dengan pengertian demokrasi, yaitu pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di

bagian wilayah nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan

yang secara formal berada di luar Pemerintahan Pusat. Bahkan, otonomi dapat

diberi arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan, sebab baik otonomi

maupun tugas pembantuan sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian.

Pada otonomi, kebebasan dan kemandirian itu penuh meliputi baik asas maupun

cara menjalankannya, sedangkan pada tugas pembantuan, kebebasan dan

kemandirian hanya terbatas pada cara menjalankan.

Secara teoritik dan praktik terdapat lima jenis sistem otonomi atau sistem

rumah tangga, diantaranya:45

a. Otonomi organik (rumah tangga organik

Otonomi bentuk ini menentukan bahwa urusan-urusan yang menyangkut

kepentingan daerah diibaratkan sebagai organ-organ kehidupan yang

merupakan suatu sistem yang menentukan hidup matinya manusia.

b. Otonomi formal (rumah tangga formal)

Otonomi bentuk ini adalah apa yang menjadi urusan otonomi tidak

dibatasi secara positif. Satu-satunya pembatasan adalah daerah otonom

44Ibid, hal 126-257 45Josef Riwo Kaho, 1991, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI, Rajawali Press,

Jakarta, hal 15

45

yang bersangkutan tidak boleh mengatur apa yang telah diatur oleh

perundangan yang lebih tinggi ikatannya.

c. Otonomi material (rumah tangga materiil / substantif)

Otonomi bentuk ini kewenangan daerah otonom dibatasi secara positif

yaitu dengan menyebutkan secara limitatifdan terinci atau secara tegas

apa saja yang berhak diatur dan diurusnya. Dalam otonomi ini ditegaskan

bahwa untuk mengetahui apakah suatu urusan menjadi rumah tangga

sendiri, harus dilihat secara substansinya.

d. Otonomi riil (rumah tangga riil)

Otonomi bentuk ini adalah gabungan antara otonomi formal dengan

otonomi materiil. Dalam undang-undang pembentukan otonomi, kepada

pemerintah daerah diberikan wewenang sebagai wewenag pangkal dan

kemudian dapat ditambah dengan wewenang lain secara bertahap, dan

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya.

e. Otonomi nyata, bertanggung jawab, dan dinamis

Nyata, artinya pemberian urusan pemerintahan di bidang tertentu kepada

pemerintah daerah memang harus disesuaikan dengan faktor-faktor

tertentu yang hidup dan berkembang secara objektif di daerah.

Bertanggung jawab, artinya pemberian otonomi kepada pemerintah

daerah senantiasa diupayakan supaya selaras atau sejalan dengan

tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh

pelosok negara. Sedangkan dinamis disini diartikan otonomi ini

46

menghendaki agar pelaksanaan otonomi senantiasa menjadi sarana untuk

memberikan dorongan lebih baik maju atas segala kegiatan pemerintahan

dalam rangka memberikan pelayanan yang semakin meningkat mutunya.

Kaitan konsep otonomi dengan penulisan karya tulis ini adalah otonomi

pada intinya memberi kebebasan dan kemandirian suatu pemerintah yang lebih

rendah untuk mengurusi sebagian urusan pemerintah, jadi BPN dalam hal ini

sebagai lembaga yang memiliki kemandirian untuk mengurus segala hal yang

berhubungan dengan tanahtetapi juga harus dilihat dari kewenangannya yang

dibatasi secara positif. Dalam undang-undang pembentukan otonomi, kepada

pemerintah daerah diberikan wewenang sebagai wewenag pangkal dan

kemudian dapat ditambah dengan wewenang lain secara bertahap, dan tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya, jadi KEPPRES Nomor 34 Tahun 2003 lebih tinggi tingkatannya

dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 dimana

Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki wewenang menenai subyek dan obyek

tanah redistribusi.

1.6. METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Tipe penelitian ini dapat dikkualifikasikan sebagai penelitian hukum

normatif yang berkaitan dengan substansi hukum yang bersifat normatif yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Penelitian ilmu hukum normatif sejak lama telah

47

digunakan oleh ilmuan hukum untuk mengkaji masalah-masalah hukum. 46

Penelitian ilmu hukum normatif meliputi pengkajian mengenai:47

1. Asas-asas hukum.

2. Sistematika hukum.

3. Taraf sinkronasi hukum.

4. Perbandingan hukum.

5. Sejarah Hukum.

Sumitro berpendapat, contoh penelitian ini berupa inventarisasi

perundang-undangan yang berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar

falsafah dari perundang-undangan tersebut, atau penelitian yang berupa usaha

penemuan hukum, atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum yang

sesuai dengan suatu kasus tertentu.

Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa penelitian pada

dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah

bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun

ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.

Penelitian dengan judul “PENGATURAN PENDAFTARAN TANAH

REDISTRIBUSI DALAM KEBIJAKAN NASIONAL DI BIDANG

PERTANAHAN”, dititik beratkan pada kajian ilmu hukum, yakni mengenai

kaidah-kaidah atau norma-norma baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

b. Jenis Pendekatan

46 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung, Hal 86 47Ibid

48

Penelitian yang berdasarkan pada pokok permasalahan yang akan dikaji

termasuk dalam penelitian normatif oleh karena pendekatan yang dipakai untuk

membahas permasalahan adalah pendekatan perundang-undangan yang

didalamnya dilekati oleh konsep-konsep yang berkaitan dengan penulisan thesis

ini.

Menurut pandangan Meuwissen, “Jika orang menonjolkan sifat/ karakter

normatif dari obyeknya itu (dalam hal ini yang menjadi obyek adalah norma)

maka orang akan cenderung untuk memandang ilmu hukum dogmatik sebagai

suatu ilmu normatif.”48

Dengan istilah dogmatik hukum atau rechtsdogmatik atau Jurisprudenz

dalam bahasa Jerman ini dicakup semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk

mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif.49 Tatanan hukum positif yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah Surat Keputusan Redistribusi atas tanah

kelebihan maksimun yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.

c. Sumber Bahan Hukum.

Adapun sumber bahan hukum dari penelitian ini berasal dari penelitian

kepustakaan (Library Research).Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap

berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat digolongkan atas bahan hukum

48D. H. M. Meuwissen, 1994, “Ilmu Hukum,” Tulisan Ilmiah Pada Majalah Hukum

Triwulan Fakultas Hukum UNIKA Parahyangan, Pro Justitia, hal. 25-26. 49Ibid, hal. 27-28.

49

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Menurut Ronny Hanitijo

Soemitro:50

1. Bahan-bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan hukum mengikat, meliputi:

a) Norma dasar Pancasila.

b) Peraturan dasar: batang tubuh UUD 1945, Ketetapan-ketetapan MPR.

c) Peraturan Perundang-undangan.

d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat.

e) Yurisprudensi.

f) Traktat, convensi yang telah diratifikasi.

2. Bahan-bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer dan erat hubungannya dengan bahan-bahan hukum

primer, meliputi:

a) Buku-buku ilmu hukum.

b) Jurnal ilmu hukum.

c) Laporan penelitian ilmu hukum.

d) Artikel ilmu hukum.

e) Bahan seminar, lokakarya dan sebagainya.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum premier dan bahan hukum sekunder, misalnya:

a) Bibliografi.

b) Indeks komulatif.

50 Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Hal 16

50

Beberapa sarjana tidak memasukkan bahan hukum tersier sebagai sumber

bahan hukum dalam penelitian hukum normatif.

d. Teknik PengumpulanBahan Hukum.

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengiventarisir,

mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier

yang terkait dengan penelitian ini. Bahan hukum yang diperoleh, dikumpulkan

dengan menggunakan sistem kartu.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, dikenal 2 macam kartu

yang perlu dipersiapkan, yakni :

a. Kartu kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data

berserta sumber dari mana data tersebut diperoleh (nama

pengarang/penulis, judul buku atau artikel, impresum, halaman, dan lain

sebagainya).

b. Kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang

dipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu peneliti

menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan

penelitian yang ditulis atau disusunnya.51

Dari model tersebut, dilakukan pencatatan mengenai hal-hal yang

dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang sedang dilakukan. Hal ini akan

51Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53.

51

memudahkan peneliti guna menelusuri kembali bahan hukum yang diperoleh pada

waktu pengolahan dan penulisan laporan penelitian.

e. TeknikAnalisis Bahan Hukum.

Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah terkumpulkan

berkenaan dengan pembuatan Surat Keputusan Redistribusi atas tanah kelebihan

maksimum oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selanjutnya dianalisis

melalui langkah-langkah deskripsi, sistematisasi dan eksplanasi. Dalam deskripsi

dilakukan kegiatan untuk melakukan isi atau makna dari satu aturan hukum. Pada

tahapan ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan

hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan

Presiden maupun peraturan pelaksanaannya.

Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan

hirarkhis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam

penelitian ini. Pada tahapan ini juga dilakukan koherensi antara aturan hukum

yang berhubungan agar dipahami dengan baik. Selanjutnya pada tahap eksplanasi

dilakukan analisis terhadap makna yang terkandungdalam aturan-aturan hukum

sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan

secara logis.