bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id 1.pdfpembukaan uud ri tahun 1945 yaitu : “melindungi segenap...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan awal dari kebangkitan masyarakat atau bangsa Indonesia yang bercita-cita untuk mewujudkan kehidupan aman, damai, sejahtera, adil dan makmur serta dengan melakukan pembenahan dan melakukan pembaharuan secara merata berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDN RI Tahun 1945). Adapun tujuan dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945, menegaskan bahwa : “Negara Indonesia ialah Negara hukum”, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Untuk memajukan kesejahteraan umum, Ikut melaksanakan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila”. Menurut Barda Nawawi Arief, usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti yang telah dirumuskan juga dalam Pembukaan UUD 1945 itu secara singkat ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila”. Inilah garis kebijakan hukum yang menjadi landasan dan sekaligus tujuan politik hukum Indonesia. ini pulalah yang menjadi landasan dan tujuan dari

Upload: duongmien

Post on 05-Aug-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan republik indonesia memproklamasikan kemerdekaannya

pada tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan awal dari kebangkitan masyarakat

atau bangsa Indonesia yang bercita-cita untuk mewujudkan kehidupan aman,

damai, sejahtera, adil dan makmur serta dengan melakukan pembenahan dan

melakukan pembaharuan secara merata berlandaskan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDN RI Tahun 1945). Adapun

tujuan dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh bangsa Indonesia ini dapat dilihat

pada Pasal 1 ayat (3) UUDN RI Tahun 1945, menegaskan bahwa : “Negara

Indonesia ialah Negara hukum”, sebagaimana tercantum dalam alinea keempat

Pembukaan UUD RI Tahun 1945 yaitu : “Melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, Untuk memajukan kesejahteraan umum, Ikut

melaksanakan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan

Pancasila”.

Menurut Barda Nawawi Arief, usaha pembaharuan hukum di Indonesiayang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945 tidak dapat dilepaskan darilandasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai seperti yang telah dirumuskanjuga dalam Pembukaan UUD 1945 itu secara singkat ialah “melindungi segenapbangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkanPancasila”. Inilah garis kebijakan hukum yang menjadi landasan dan sekaligustujuan politik hukum Indonesia. ini pulalah yang menjadi landasan dan tujuan dari

2

setiap usaha pembaharuan hukum termasuk pembaharuan di bidang hukum pidanadan kebijakan penanggulangan kejahatan di Indonesia.1

Seiring perkembangan zaman dalam kehidupan bangsa dan negara, telah

menimbulkan berbagai masalah-masalah dalam masyarakat sehingga berdampak

pada hukum di Indonesia yang sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, bahwa

hendak melindungi, mengatur dan memberikan keseimbangan dalam menjaga

kepentingan umum atau masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran hukum yang

dalam arti melalaikan, merugikan atau mengganggu keseimbangan kepentingan

umum yang seperti dikehendaki oleh ketentuan hukum tersebut, maka

pelanggarnya mendapat reaksi dari masyarakat.

Hukum pidana berbeda dengan hukum yang lainnya, yaitu bahwa didalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatuakibat hukum berupa suatu bijzondere leed atau penderitaan yang bersifat khususdalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatupelanggaran terhadap keharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telahditentukan didalamnya.2

Sejalan dengan hal tersebut, materi hukum dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yang masih tetap berlaku ini sudah tidak mencukupi dan

tidak sesuai lagi sebagai kodifikasi hukum pidana bangsa Indonesia yang

mempunyai sejarah dan falsafah berbeda dengan negara-negara asing. Keadaan

kodifikasi hukum pidana bangsa Indonesia sekarang ini sudah banyak

mengandung kekosongan hukum, dimana ada hal-hal yang menurut ukuran

1 Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangankejahatan, PT.Citra adtya Bhakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h.73

2 P.A.F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h.15

3

norma-norma ataupun nilai-nilai yang berlaku di Indonesia seharusnya diancam

dengan pidana, ternyata di dalam KUHP tidak diatur.3

Selanjutnya Sudarto mengemukakan adanya beberapa alasan mengenaisampai dimana urgensi bagi kita untuk mempunyai Kitab Undang-UndangHukum Pidana yang baru. Ada tiga alasan yang dikemukakan beliau, yaitu alasanpolitik yang dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu saat negara merdeka adalahwajar mempunyai hukum yang dihasilkan sendiri, ini merupakan kebanggaannasional sebagai negara yang telah melepaskan diri dari pada penjajahan. Alasansosiologis, pada dasarnya KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaansuatu bangsa. Namun ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itutentunya tergantung dari pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakattentang apa yang baik, benar dan sebaliknya. Sedangkan alasan praktis adalahkenyataan bahwa teks resmi dari Wetboek van Strafrecht (KUHP) adalah bahasaBelanda sehingga terjemahan dari Wetboek van Strafrecht yang beraneka ragamtentunya tidak akan membantu penyelenggaraan hukum pidana yang pasti danseragam.4

Terlihat dari hal tersebut, terkandung suatu keinginan bangsa Indonesiauntuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikansebagai suatu upaya untuk melakukan (“reorientasi dan re-evaluasi”) hukumpidana sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatannormatif dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan.5

Sehubungan dengan pemikiran di atas memang sudah seharusnya bangsa

Indonesia membuat pembaharuan dalam hukum pidana dalam hal ini KUHP,

dikarenakan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Maka

pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

3 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana (Dasar aturan umum HukumPidana Kodifikasi), Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 20

4 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkatSudarto I), h.70-71

5 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra adtya bakti,Bandung, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II) h. 29

4

Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum

pidana dapat dilihat dari :

1. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangkamencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dansebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana padahakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukumpidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaruisubstansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkanpenegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan

peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan evaluasi”) nilai-nilaisosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isiterhadap muatan normatif dan substansif hukum pidana yang dicitakan-citakan.Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai darihukum pidana yang dicita-citakan (misalnya, KUHP Baru) sama saja denganorientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).6

Pembaharuan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui

permasalahan pokok dalam hukum pidana merupakan cermin suatu masyarakat

yang merefleksi nilai dasar masyarakat itu. Apabila nilai-nilai itu berubah, maka

hukum pidana juga berubah.7

Berpijak pada nilai-nilai kepribadian bangsa terjadinya transformasi

konseptual dalam sistem hukum pidana dan pemidanaan yang merupakan bagian

dari peradaban masyarakat dunia, dengan memperhatikan dinamika yang terjadi,

6 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep Kuhp Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi AriefIII), h.29-30

7 AZ. Abidin, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h.iii

5

dapat senantiasa mengikuti dan mengadopsi hal-hal positif yang bermanfaat bagi

kepentingan untuk semakin meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan seluruh

masyarakat, serta ikut mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif

pidana yang lebih manusiawi dalam memperlakukan para pelaku tindak kriminal

yang dilakukan dengan upaya menyediakan pengganti pidana perampasan

kemerdekaan atau pidana penjara.

Banyaknya kritik yang diajukan terhadap jenis pidana perampasan

kemerdekaan ini sebagai jenis pidana yang kurang disukai. Alasan yang menjadi

dasar ditetapkannya pidana penjara selama ini sebagai salah satu sarana

penanggulangan kejahatan, merupakan suatu masalah yang patut dipersoalkan

dilihat dari sudut politik kriminal.8

Muladi mengemukakan “Masalah pidana, terdapat suatu masalah yangdewasa ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebutadalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasankemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik tiapindividu yang dikenal pidana, maupun terhadap masyarakat. Pelbagai negara,termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk mencapai alternatif-alternatif daripidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan perdamaianyang bersifat non institusional”.9

Banyaknya sorotan terhadap pidana perampasan kemerdekaan, akan tetapihal ini masih dipertahankan beberapa negara di dunia dalam KUHP-nya sebagaibagian dari politik kriminal dalam menanggulangi kejahatan. Perkembanganmutakhir dalam hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan persoalanpidana yang menjadi trend atau kecenderungan internasional adalahberkembangnya konsep untuk mencari alternatif dari pidana perampasan

8 Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan denganPidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disingkat BardaNawawi Arief IV), h.2-3

9 Muladi, 2008, Lembaga Pidana Bersyarat, Cet. V, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkatMuladi I), h.5

6

kemerdekaan (alternative of imprisonment) dalam bentuknya sebagai bagiansanksi alternatif (alternative sanction).10

Alternatif pidana perampasan kemerdekaan ini merupakan masalah

universal dan menjadi perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni, sesuai

dengan kongres PBB ketiga di Stockholm pada tahun 1965 tentang kejahatan dan

pembinaan narapidana, yang memfokuskan pada diskusi-diskusi tentang pidana

pengawasan (probation) untuk orang dewasa dan tindakan-tindakan lain yang

bersifat non-institusional.11

Adapun perbedaan mengenai pidana pokok pada KUHP dengan

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)

Tahun 2013 terlihat perubahan dalam hal pidana mati yang merupakan pidana

pokok bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif, dan penambahan

pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara serta pidana pokok dalam

RUU KUHP Tahun 2013. Namun disisi lain dalam KUHP Indonesia yang berlaku

saat ini, sebetulnya sudah ada alternatif pidana penjara yang bersifat non-custodial

atau pidana bersyarat.

Pidana pengawasan ini merupakan pidana pokok baru yang bersifat non-

custodial yang diharapkan dapat menggantikan pidana bersyarat (Pasal 14 a s/d

Pasal 14 f KUHP). Perbedaan keudanya terletak dalam pelaksanaannya serta

10 Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Tongat I), h. 1

11 Muladi I, op.cit., h.150-151

7

pidana pengawasan ini dikatakan sebagai alternatif dari pidana perampasan

kemerdekaan.12

Terkait pentingnya pidana bersyarat sebagai salah satu mata rantai sistempenyelenggaraan hukum pidana maka yang harus dihapuskan dalam hal ini adalahadanya kesan, bahwa pidana bersyarat merupakan sikap kemurahan hati,pemberian ampun, atau pembebasan, sebab dalam krangka sebab musababkejahatan dari pelaku tindak pidana serta usaha-usaha untuk menetralisasikansebab musabab tersebut, maka peranan pengawasan di dalam pembinaan di luarlembaga ini menjadi suatu keadaan dinamis untuk memecahkan masalah.13

Adanya pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14a sampai dengan Pasal

14f KUHP. Pada ketentuan Pasal 14a KUHP secara garis besar disebutkan

mengenai, terhadap terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1

(satu) tahun kurungan bukan berupa pengganti denda, dan denda yang dibayarkan

oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat yang secara pasti pelaku

tindak pidana sudah dijatuhkan serta dalam pelaksananya ditunda dengan

bersyarat.

Jadi, pidana bersyarat dalam hal ini sebagai alternatif pidana perampasan

kemerdekaan yang ada di dalam KUHP yang berlaku saat ini dirasa masih kurang

relevan untuk memberikan perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak

pidana. Pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP yang berlaku sekarang ini

dirasa belum efektif sebagai alternatif penerapan pidana penjara, khususnya

pidana penjara jangka waktu pendek.

Mengingat, pengaturan pidana pengawasan dalam penjelasan Pasal 77

Rancangan KUHP Tahun 2013 disebutkan mengenai, “Pelaksanaan pidana

12 Muladi I, op.cit, h.154

13 Muladi I, op.cit, h.155

8

pengawasan ini dikaitkan dengan ancaman pidana penjara. yang bersifat non-

custodial, probation atau pidana penjara bersyarat yang terdapat dalam KUHP.

Pidana pengawasan ini merupakan alternatif pidana penjara dan tidak ditujukan

unntuk tindak pidana yang berat sifatnya”. Ini menjadi lebih menarik dibahas

bahwa ketika dalam perkembangannya Indonesia mencantumkan pidana

pengawasan sebagai pidana pokok, yakni pidana pengawasan sebagai alternatif

pidana perampasan kemerdekaan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013.

Pidana Pengawasan merupakan salah satu upaya alternatif pidana

perampasan kemerdekaan yang dilakukan oleh negara Indonesia, yang diharapkan

dapat mengurangi biaya ekonomi dalam pelaksanaan pidana serta menghindarkan

terpidana dari dampak negatif seperti, adanya stigmatisasi dari masyarakat yang

merupakan hasil dari peradilan penghukuman dan penjara dari kejahatan sendiri,

sehingga terpidana sulit untuk bersosialisasi kembali dengan masyarakat dan tidak

menutup kemungkinan akan melakukan kejahatan kembali.

Adanya pidana pengawasan sebagai alternatif pidana perampasan

kemerdekaan dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan masyarakat, serta

mengurangi banyaknya kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan

kemerdekaan, terutama dalam hal gangguan terhadap kehidupan sosial

dilingkungan masyarakat normal yang akan menjadi kesulitan narapidana atau

seseorang yang berlabel penjahat sekalipun dalam penyesuaian diri kepada

masyarakat beserta keluarganya yang seakan menimbulkan efek psikologis dan

lebih frustasi serta tidak menutup kemungkinan timbulnya residivis.

9

Dibeberapa negara salah satunya di Portugal, telah menerapkan pidana

pengawasan didalam sistem hukum yang dianutnya.14 Pidana pengawasan

(probation) yang diadopsi oleh negara-negara di dunia seperti Inggris-Amerika,

Perancis-Belgia dan Portugal dalam penerapan sanksi pidana pengawasan sebagai

alternatif pidana penjara jangka pendek tidak untuk tindak pidana yang berat

sifatnya dan pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar melainkan

berdasarkan persyaratan tertentu.

Adanya kecenderungan untuk mencari alternatif jenis pidana perampasan

kemerdekaan yang dilakukan oleh banyak negara sekarang ini dan untuk masa

yang akan datang, menjadikan salah satu sumbangan pemikiran yang berharga,

bahkan sudah ditransformasikan kedalam konsep pembaharuan hukum pidana

Indonesia.

Terkait dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pidana pengawasan

dalam sistem pemidanaan di RUU KUHP Tahun 2013 merupakan suatu hal yang

baru sebagai pidana pokok di Indonesia, yang pada prakteknya sudah

diberlakukan beberapa negara di dunia yang dapat digunakan sebagai tolok ukur

pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimasa mendatang. Maka konsep pidana

pengawasan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013 ini perlu dikaji kembali

mengingat aturan tersebut masih belum berlaku dan bersifat umum, serta masih

perlu adanya penambahan teknis pelaksanaan maupun syarat-syarat dalam

penjatuhan pidana. Hal inilah yang melatarbelakangi untuk mengangkat dalam

14 Barda Nawawi Arief, 2003, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, h. 72-73

10

bentuk karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul : “PIDANA

PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM

PIDANA DI INDONESIA”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka diperoleh

suatu rumusan permasalahan, yaitu:

1. Apakah pidana pengawasan relevan dengan tujuan pemidanaan dalam

pembaharuan hukum pidana?

2. Bagaimana sebaiknya pidana pengawasan di formulasikan sebagai salah satu

jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa mendatang?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari agar pembahasan tidak keluar dan atau menyimpang

didalam penguraiannya, maka ruang lingkup permasalahan penelitian ini dibatasi

yaitu:

1. Pada pembahasan yang pertama terbatas pada relevannya pidana pengawasan

dengan tujuan pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana.

2. Pada pembahasan kedua akan terbatas pada formulasi pidana pengawasan

sebagai salah satu jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa mendatang.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini disusun dengan tujuan yang dapat diklasifikasikan atas

tujuan bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, sebagai berikut:

11

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu,

mengembangkan wawasan studi hukum pidana mengenai pidana

pengawasan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk dapat mengetahui pidana pengawasan relevansinya dengan

tujuan pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana.

2. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan formulasi pidana

pengawasan dalam KUHP dimasa mendatang.

1.5 Manfaat Penelitian

Setelah mengetahui tujuan penelitian, maka manfaat yang diperoleh dari

penelitian ini adalah :

a. Manfaat Teoritis

Agar dapat lebih memahami substansi pidana pengawasan dalam

pembaharuan hukum pidana serta pengembangan hukum pidana pada

umumnya.

b. Manfaat Praktis

Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan

serta pemahaman tentang pidana pengawasan diantaranya :

1. Bagi penegak hukum, khususnya Hakim dalam menjatuhkan

pidana.

2. Bagi pembentukan undang-undang baru dimasa mendatang.

12

1.6 Landasan Teoritis

Pada setiap negara memiliki tekad dalam penggunaan hukumnya,

termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial

termasuk dalam kebijakan penegakkan hukum. Sebagian besar negara maju dan

negara yang sedang berkembang bertujuan mensejahterakan masyarakatnya, maka

kebijakan hukum ini termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Sehubungan dengan usaha tersebut, pada negara-negara yang baru

merdeka melakukan berbagai usaha pembaharuan di bidang hukum. Masalah

pembaharuan hukum (Law Reform) ini merupakan salah satu diantara banyak

permasalahan hukum, yang terutama dihadapi oleh negara-negara berkembang.15

Secara dogmatis dapat disebutkan, bahwa dalam hukum pidana terdapat

tiga pokok permasalahan, yaitu :

a) Perbuatan yang dilarang;

b) Orang yang melakukan perbuatan itu;

c) Pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu.16

Terkait dengan hal tersebut, menurut Sauer dalam bukunya Sudarto yang

berjudul “Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana”, ada Trias (tiga) dalam pengertian dasar hukum

pidana, yaitu :

15 Abdurrahman, 1976, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni,Bandung, h.36

16 Sudarto,1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat : Kajian TerhadapPembaharuan Hukum Pidana. Sinar baru, Semarang, (selanjutnya disingkat Sudarto II), h.62

13

a) Sifat melawan hukum (unrecht);

b) Kesalahan (should)

c) Pidana (straf).17

Marc Ancel menyatakan, bahwa “Modern criminal science terdiri dari tiga

komponen criminology, criminal law dan penal policy. Menurutnya, penal policy

adalah : “Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, tetapi juga kepada

pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau

putusan pengadilan”.18

Oleh sebab itu, upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan

penanggulangan dalam hal kejahatan termasuk dibidang kebijakan (criminal

policy). Kebijakan ini pun tidak terlepas dari kebijakan kriminal yang lebih luas

yaitu, kebijakan sosial (sosial policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya

untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya

untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).19

17 Ibid.

18 Barda Nawawi Arief III, op.cit, h.19

19 Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum PidanaDalam Penanggulangnan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnyadisingkat Barda Nawawi Arief V), h.77

14

Mengenai pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat

dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto dalam bukunya

Barda Nawawi Arief yang berjudul “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

(Perkembangan Penyusunan Konsep Konsep KUHP Baru)”, politik hukum

merupakan :

1) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengankeadaan dan situasi suatu saat.

2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisadigunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakatdan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.20

Melihat berbagai keterbatasan dan kelemahan hukum pidana, bila dilihat

dari sudut pandang kebijakan, penggunaan atau intervensi penal (sanksi atau

hukum pidana) sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, hemat, selektif cermat dan

limitatif. Nigel Walker dalam bukunya Barda Nawawi Arief yang berjudul “

Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana”

mengingatkan adanya prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) didalam

penggunaan sarana penal yang sepatutnya mendapat perhatian antara lain :

a. Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;b. Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang

tidak merugikan/membahayakan;c. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang

dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebihringan;

d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya dariperbuatan/tindak pidana itu sendiri;

e. Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebihberbahaya dari pada perbuatan yang akan dicegah;

20 Barda Nawawi Arief III, op.cit, h. 22

15

f. Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapatdukungan kuat dari publik.21

Tujuan akhir dari kebijakan kriminil adalah perlindungan masyarakatuntuk mencapai tujuan utama tersebut sering dikenal dengan berbagai istilah,misalnya kebahagiaan warga masyarakat (happiness of the citizens), kehidupankultural yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living),kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk mencapai keseimbangan(equality).22

Bilamana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan, makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana sebagai berikut :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, merupakan bagian dari upaya untuk

mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, merupakan bagian dari upaya-upaya

perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegak hukum, merupakan bagian dari upaya

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih

mengefektifkan penegakan hukum.23

Terkait masalah penentuan dalam kebijakan kriminal dengan

menggunakan sarana penal, yaitu : perbuatan apa yang seharusnya dijadikan

tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada si pelanggar.

21 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan pengembanganHukum Pidana, PT. Citra Adtya Bhakti, Bandung, (selanjutnya disingkat barda VI), h. 47-48

22 Barda Nawawi Arief IV, op.cit, h. 31

23 Barda Nawawi Arief III, op.cit, h. 26

16

Melihat dari sudut pendekatan nilai, maka pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (reorientasi

dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum

pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana,

apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan

oritientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau

WvS).24

Selanjutnya dalam hukum pidana, dalam pencegahan dan penanggulangan

kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law

enforcement policy bilamana pada sudut pandang fungsionalisasi/operasionalisasi

dapat melalui beberapa fase atau tahap, yaitu :

1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif).

2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial).

3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). 25

Tahap kebijakan legislatif merupakan tahapan yang paling strategis dari

Penal policy. Karena dalam tahap ini dirumuskannya garis-garis kebijakan bagi

tahap berikutnya, sehingga dalam upaya pencegahan dan penangulangan

kejahatan tidak hanya menjadi tugas aparatur penegak atau penerap hukum. Oleh

karena itu, kesalahan atau kelemahan kebijakan legislatif yang dapat menjadi

penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi

24 Barda Nawawi Arief III, Loc.cit.

25 Barda Nawawi Arief V, op.cit, h. 78-79

17

dan eksekusi. Jadi, kebijakan formulasi yang paling memiliki posisi stragtegis

dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia.

Teori pemidanaan yang pada awalnya mempunyai paradigma

pembalasan ke arah paradigma membina. Penjatuhan jenis pidana (strafsoort)

yang dikehendaki, penentuan tentang berat ringannya pidana yang dijatuhkan dan

bagaimana pidana itu dilaksanakan merupakan bagian dari dari suatu sistem

pemidanaan. Terdapat 3 teori pemidanaan yang digunakan dalam mengkaji

tentang tujuan pemidanaan yaitu :

1. Teori Pembalasan (absolute/vergeldingstheorie)Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendirikarena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagaiimbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.

2. Teori maksud dan tujuan (relatieve doeltheorie)Menurut Teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atautujuan dari hukuman itu yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakatsebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secaraideal. Selain itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)kejahatan.

3. Teori gabungan (verenigingstheorie)Pada dasarnya teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori antarateori pembalasan dan teori maksud dan tujuan. Gabungan kedua teori itumengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankantata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.26

Tujuan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 ayat (1)

Rancangan KUHP Tahun 2013, yaitu :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukumdemi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehinggamenjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkankeseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

26 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Gravika, Jakarta, h.105.

18

Penentuan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP Tahun

2013 tersebut adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan

resosialisasi, pemenuhan dalam pandangan hukum adat serta aspek psikologis

untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.

Berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP

Tahun 2013 tersebut di atas, Sudarto mengemukakan :

Tujuan pertama tersimpul mengenai pandangan perlindungan masyarakat(sosial defence), sedang dalam tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi danresosialisasi terpidana. Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat “adatreactie”, sedangkan yang keempat bersifat spiritual yang sesuai dengan silapertama Pancasila.27

Selanjutnya, Barda Nawawi Arief juga mengemukakan :

Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya merupakan alatuntuk mencapai tujuan, maka konsep merumuskan pertama-tama mengenai tujuanpemidanaan, dalam mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertitik tolakdari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok yaitu, kepentingan masyarakat dankepentingan individu pelaku tindak pidana serta antara kepastian hukum dengankeadilan.28

Aspek pokok dalam tujuan pemidanaan sebagai kepentingan yang hendak

dilindungi secara sama atau berimbang yaitu kepentingan masyarakat dan

kepentingan individu. Hal tersebut mencerminkan perwujudan dari asas

monodualistis sekaligus individualisasi pidana guna mengakomodasi tuntutan

tujuan pemidanaan yang sedang berkembang sekarang ini.

27 Sudarto, 1982, Pemidanaan dan Tindakan, BPHN, Jakarta, h. 4

28 Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.98

19

1.7 Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa

dan kontruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten.

“Metodelogi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang

ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang

dihadapinya.29

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitan hukum

normatif adalah suatu cara untuk mendapatkan data-data dari bahan-bahan

kepustakaan terutama yang berhubungan mengenai masalah hukum. Penelitian

hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam Law in Book

(yang dikonsepsikan sebagai apa yang termaktub dalam peraturan perundang-

undangan) dan bahan hukum lain di luar peraturan perundang-undangan seperti

doktrin atau pendapat para sarjana. 30

Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari penambahan

pidana pokok dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana Tahun

2013 mengenai pidana pengawasan yang dalam hal ini belum diberlakukan di

Indonesia akan tetapi pada prakteknya sudah terdapat di negara-negara yang

memiliki sistem hukum yang sama seperti Indonesia yaitu Eropa Kontinental

mengenai pidana pengawasan. Sanksi pidana pengawasan belum pernah diatur

dalam KUHP di Indonesia saat ini maupun perundang-undangan lainnya.

29 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.III, UI Press, Jakarta, h.6

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindoPersada, Jakarta, h. 41.

20

Sifat penelitian ini adalah deskritif analisis yaitu memaparkan dan

menguraikan permasalahan dalam rumusan maslah tersebut di atas yang

berkenaan dengan pidana pengawasan dasar filosofisnya dalam filsafat

pemidanaan yang relevan dalam pembaharuan hukum pidana nasional dan

perbandingan pidana pengawasan yang dianut dalam KUHP negara asing seperti,

Inggris-Amerika, Perancis-Belgia, dan Portugal.

b. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah

pendekatan perundang-undangan (the statue approach) pendekatan yang

dilakukan dengan cara ini yaitu, mempelajari peraturan perundang-undngan yang

berkaitan dengan penelitian, pendekatan analisis konsep hukum (analytical and

conceptual approach) dengan pendekatan ini dapat dicari pembenaran

berdasarkan suatu teori atau konsep-konsep yang dipergunakan di dalam

penelitian dengan memahami konsep-konsep aturan tentang dibuatnya pidana

pengawasan dalam Rancangan KUHP Tahun 2013 di Indonesia. Berdasarkan

pendekatan tersebut diharapkan akan dapat saling melengkapi sehingga akan

dapat memperoleh bahan-bahan hukum yang dapat dijadikan bahan analisis dalam

penelitian ini.

c. Sumber Bahan Hukum

Karena penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif, maka

sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan hukum yang

terdiri atas:

21

a. Bahan hukum primer merupakan sumber bahan hukum mengikat

yaitu berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan.

Sumber hukum primer yang digunakan yakni :

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

- RUU-KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2013)

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat

pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

dalam karya tulis ini terdiri atas literatur-literatur, jurnal-jurnal

hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang

berkaitan dengan rumusan masalah.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yang relevan seperti, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kamus hukum dan Ensiklopedia.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu, cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang

relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan

permasalahan yang dibahas dalam penulisan penelitian ini.

22

e. Teknis Analisis bahan hukum

Setelah diperoleh bahan hukum yang cukup untuk menyusun

penelitian ini, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan sistematika

pembahasan. Bahan-bahan hukum yang telah dikualifikasikan tersebut

diuraikan secara kualitatif sesuai dengan permasalahan-permasalahan dalam

penelitian ini. Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis secara deskriptif,

evaluatif dan argumentatif berdasarkan konsep-konsep hukum sebagaimana

yang telah diuraikan.