bab i pendahuluan - repository.ipb.ac.id · sesungguhnya, meskipun negara masih mempunyai cadangan...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2001 Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan
Program Peningkatan Ketahanan Pangan sebagai salah satu program prioritas
utama Sektor Pertanian, kemudian pada tahun 2005 Kabinet Indonesia Bersatu
mencanangkan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RPPK). Tujuan RPPK antara lain meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan
dan petani hutan, mengurangi pengangguran, membangun ketahanan pangan,
membangun pedesaan, dan melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Kuantifikasi
tujuan RPPK antara lain menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi
8,2% (2009), menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1%
(2009), dan swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah
dicanangkan juga untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian
seperti jagung (2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010).
Mengingat hal itu upaya-upaya untuk meningkatkan produksi beras,
jagung, kedelai, dan tebu menjadi sangat penting agar ketahanan pangan
tersebut betul-betul ditunjang oleh produksi pangan dalam negeri yang kuat.
Kenyataan menunjukkan bahwa impor komoditas tersebut, termasuk beras
masih belum dapat dihindari karena hasil produksi beras dalam negeri belum
sepenuhnya dapat memasok kebutuhan konsumsi nasional. Bahkan,
dikhawatirkan volume beras impor di masa mendatang akan meningkat kembali,
baik karena peningkatan laju kebutuhan pangan yang lebih tinggi daripada
peningkatan produksinya, maupun karena kebijakan perdagangan yang
memandang impor pangan, khususnya beras lebih efisien karena harganya lebih
murah. Sesungguhnya, meskipun negara masih mempunyai cadangan devisa
2
yang cukup untuk mengimpor beras dan kondisi pasar beras internasional relatif
stabil, tetapi tidak ada yang dapat menjamin bahwa kedua faktor tersebut akan
tetap berjalan dengan baik di masa mendatang.
Krisis ekonomi yang masih menyisakan dampaknya yang kuat terhadap
perekonomian nasional perlu diwaspadai akan dapat mengurangi cadangan
devisa negara sehingga suatu saat nanti akan kesulitan mengimpor beras. Selain
itu, pasar beras internasional mempunyai risiko terganggu stabilitasnya, misalnya
karena musim kering berkepanjangan, kebanjiran, hama penyakit atau gangguan
keamanan regional akibat perang. Oleh karena itu sepatutnya pemerintah
mengamankan program ketahanan pangan dengan bertumpu pada produksi
pertanian dalam negeri.
Salah satu permasalahan pokok dalam pembangunan pertanian di
Indonesia adalah semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif, baik
lahan sawah maupun lahan kering, karena beralih fungsi menjadi lahan non
pertanian. Berdasarkan data statistik pada periode tahun 1981-1999 telah terjadi
konversi lahan sawah sebesar 90.417 ha/tahun. Pada periode yang sama terjadi
pencetakan sawah baru seluas 178.954 ha/tahun sehingga terjadi penambahan
luas sawah 88.536 ha/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi
lahan sawah tidak terkendali sehingga pada periode tahun 1999-2002 lahan
sawah berkurang atau menyusut sebanyak 141.286 ha/tahun. Konversi lahan
sawah pada periode tersebut mencapai 187.720 ha/tahun, sedangkan
pencetakan sawah baru hanya 46.434 ha/tahun. Konversi lahan sawah pada
periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa
dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Fenomena tersebut menunjukkan adanya
percepatan laju konversi lahan sawah dan hilangnya berbagai manfaat atau
fungsi lahan sawah yang sudah dikembangkan. Secara keseluruhan pada
3
periode 1981-2002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta ha, tetapi
kemudian dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta ha atau 65%.
Perubahan alih fungsi lahan pertanian tersebut lebih banyak didorong oleh
orientasi ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek dalam
pengelolaan sumberdaya alam (SDA), tanpa memperhitungkan manfaat yang
hilang atau kerugian yang mungkin terjadi akibat berkurang atau hilangnya fungsi
lingkungan lahan pertanian. Hasil penelitian di Jepang (Yoshida 2001)
menunjukkan bahwa nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dapat
dijadikan instrumen kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian. Oleh
karena itu diperlukan penelitian mengenai valuasi ekonomi lahan pertanian untuk
mendukung kebijakan pengelolaan SDA, khususnya lahan pertanian ke arah
yang lebih bersifat ekosentrisme daripada antroposentrisme.
Kebijakan pengelolaan SDA secara ekosentrisme dan antroposentrisme,
sebagaimana pembangunan ekonomi dan penanganan masalah lingkungan
hidup bukan sesuatu hal yang harus dipertentangkan, tetapi ekonomi dan
lingkungan hidup perlu dipadukan dalam arus tengah pembangunan atau
pembangunan berkelanjutan (Salim 2007). Apabila keterkaitan antara bidang
ekonomi dan lingkungan (ekologi) diamati dan dicermati secara seksama, maka
akan tampak bahwa keberlanjutan di kedua bidang tersebut akan saling
mendukung dan saling menguntungkan (Notohadiprawiro 2006, Suparmoko dan
Suparmoko 2000). Pendekatan multifungsi pertanian bukan hanya menilai
manfaat hasil-hasil pertanian secara finansial dan berjangka pendek, tetapi juga
menilai jasa lingkungan pertanian secara sosial (ekonomi lingkungan) dan
manfaat jangka panjang.
4
1.2. Kerangka Pemikiran
Teori ekonomi dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian
menjadi non-pertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent
ratio). Berdasarkan hasil suatu studi terdapat perbedaan yang sangat nyata
antara rasio persewaan lahan untuk sektor pertanian dengan sektor non-
pertanian. Perbandingan nilai sewa lahan sawah untuk usahatani (padi atau
palawija) dengan perumahan, industri dan kawasan wisata secara berturut-turut
mencapai 1: 622, 1:500, dan 1:14 (Nasution dan Winoto 1996). Namun demikian
kelemahan analisis ekonomi mengenai persewaan lahan tersebut hanya menilai
manfaat penggunaan langsung yang bernilai pasar (marketable goods). Padahal
suatu hamparan lahan pertanian selain mempunyai manfaat penggunaan
langsung yang menghasilkan produk yang mempunyai harga pasar juga
menghasilkan produk yang belum mempunyai harga pasar (non-marketable
goods). Salain itu dalam analisis land rent tersebut belum diperhitungkan nilai kini
(present value) dari hasil pertanian yang semestinya akan selalu diperoleh
sepanjang masa (indefinite period of time) jika lahan tersebut tidak dikonversi
serta adanya harapan peningkatan produktivitas dan harga lahan di masa
mendatang. Demikian juga risiko ketidakpastian penghidupan para petani yang
lahannya dikonversi akibat adanya perubahan sumber mata pencaharian belum
diperhitungkan.
Lahan pertanian juga mempunyai manfaat penggunaan dan manfaat bukan
penggunaan (Munasinghe 1993, Yoshida 2001). Dengan demikian lahan
pertanian, baik sawah maupun lahan kering selain berfungsi sebagai media
budidaya atau sumber produksi hasil-hasil pertanian yang menjadi sumber
pendapatan petani juga mempunyai fungsi lain yang menghasilkan jasa
lingkungan atau mempunyai multifungsi yang manfaatnya dapat dinikmati oleh
masyarakat luas. Hasil jajak pendapat nasional (public opinion) di Amerika
5
Serikat tahun 1987 sudah menunjukkan 40% masyarakat Amerika Serikat
meyakini bahwa usaha perlindungan terhadap pertanian sejalan dengan upaya
perlindungan terhadap lingkungan (Reichelderfer 1990).
Multifungsi lahan pertanian adalah berbagai fungsi lahan pertanian bagi
lingkungan, baik yang dapat dinilai secara langsung melalui mekanisme pasar
dari produksi atau jasa yang dihasilkannya maupun yang tidak secara langsung
dapat dinilai berupa kegunaan yang bersifat fungsional bagi lingkungan, baik
aspek biofisik, sosial-ekonomi, maupun budaya. Multifungsi pertanian terhadap
lingkungan aspek biofisik, antara lain sebagai pengendali atau pencegah banjir,
erosi, dan sedimentasi, pemasok sumber air tanah, pengurang tumpukan dan
penyerap sampah organik, pelestari keanekaragaman hayati, dan penyejuk
udara. Multifungsi pertanian terhadap lingkungan aspek sosial-ekonomi antara
lain sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan, tempat rekreasi,
dan penyangga atau stabilitas ketahanan pangan. Multifungsi pertanian terhadap
lingkungan aspek budaya antara lain sebagai pelestari budaya pedesaan
(Yoshida 2001). Manfaat fungsi lingkungan lahan pertanian tersebut mempunyai
ciri sebagai public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus
membayar, sehingga pengambil manfaat dari hasil multifungsi tersebut kurang
atau tidak menyadari telah memperoleh manfaat lain dari keberadaan lahan
pertanian.
Mengingat sifat public goods tersebut maka diperlukan valuasi ekonomi
yang dapat menilai dan kebijakan untuk menginternalisasikan manfaat jasa
lingkungan pertanian tersebut sehingga petani pun dapat menikmati jasa
lingkungan pertanian yang dihasilkannya. Kebijakan pertanian tersebut
diperlukan karena mekanisme pasar hasil-hasil pertanian, seperti harga gabah
tidak atau belum memperhitungkan nilai manfaat barang atau jasa lingkungan
pertanian yang bersifat public goods tersebut. Valuasi ekonomi dan kebijakan
6
pertanian yang dimaksud perlu didukung oleh pengetahuan dan pemahaman
masyarakat mengenai multifungsi pertanian. Pengetahuan dan pemahaman yang
baik terhadap multifungsi pertanian akan melahirkan apresiasi yang baik juga
terhadap jasa lingkungan pertanian. Selama ini karena pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap multifungsi pertanian masih kurang maka
penilaian terhadap manfaat pertanian pun relatif rendah dari yang semestinya.
Akibatnya petani hanya dihargai atas dasar nilai pasar dari komoditas pertanian
yang dihasilkannya saja, sedangkan nilai manfaat jasa lingkungan yang
dihasilkannya tidak atau belum diperhitungkan sehingga penghidupan petani
tetap dalam keadaan termarjinalkan.
Sebaliknya, pengelolaan pertanian yang didukung oleh pengetahuan,
pemahaman dan apresiasi yang baik terhadap multifungsi pertanian akan
meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat luas sekaligus memelihara
kualitas lingkungan hidup. Pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang
multifungsi perftanian oleh petani akan menimbulkan rasa bangga (pride) karena
bertani menjadi sumber amal-baik atau kebajikan mereka terhadap masyarakat
luas. Demikian pula masyarakat luas yang mengetahui dan memahami
multifungsi pertanian dengan baik akan mendukung usaha-usaha
pengembangan pertanian yang selaras dengan pelestarian lingkungan, misalnya
pengembang perumahan atau investor sektor industri akan melestarikan fungsi
resapan air dan fungsi lingkungan lainnya manakala harus melakukan konversi
lahan pertanian untuk kawasan perumahan atau industri. Pejabat pemerintah
akan konsisten mempertahankan rencana tataruang wilayah dan masyarakat hilir
akan berpartisipasi dalam menjaga kualitas lingkungan di daerah hulunya.
Secara diagram kerangka pendekatan pemikiran penelitian disajikan pada
Gambar 1.
7
Pengetahuan &
Multifungsi
Pertanian (MFP)
Aspek Aspek Biofisik
Sosial-Ekonomi /Lingkungan
Valuasi ekonomi
Apresiasi MFP
Barang Privat Jasa Lingkungan
Mekanisme Pasar Kebijakan Pertanian
Kesejahteraan Petani Kualitas
dan Masyarakat Lingkungan
Gambar 1. Kerangka pemikiran pendekatan penelitian
Di sisi lain perlu disadari bahwa usaha pertanian juga memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan, antara lain sebagai sumber gas methana (CH4) dan
sumber pencemar perairan. Oleh karena itu perhatian terhadap multifungsi lahan
pertanian yang bersifat positif perlu diimbangi dengan perhatian terhadap
dampak atau ekternalitas negatifnya. Namun demikian, negara-negara yang
memandang pentingnya sektor pertanian, terutama untuk ketahanan pangan dan
pelestarian lingkungan seperti Jepang lebih memprioritaskan untuk meneliti dan
menilai multifungsi pertanian (eksternalitas positif) daripada dampak atau
8
eksternalitas negatifnya (Yoshida 2001, Yabe 2005). Salah satu alasannya
adalah masih banyak aspek multifungsi pertanian yang sudah diketahui
manfaatnya tetapi belum dapat dikuantifikasi nilainya, sementara di pihak lain
terutama negara-negara maju (OECD) lebih banyak menyoroti dampak negatif
pertanian (khususnya sawah sebagai sumber gas methana dan pencemaran air)
tanpa memperhitungkan manfaat positifnya.
Mengingat manfaat multifungsi lahan pertanian belum diinternalisasikan
dalam perhitungan usahatani, maka diperlukan pendekatan valuasi ekonomi
manfaat lingkungan lahan pertanian, sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dinyatakan bahwa selama ini harga
hasil pertanian, seperti gabah hanya didasarkan pada besaran biaya produksi
usahatani dan produktivitas saja, sedangkan manfaat lingkungannya, baik
terhadap aspek biofisik maupun sosial-ekonomi dan budaya belum
diperhitungkan. Hasil manfaat multifungsi pertanian mempunyai ciri sebagai
barang umum (public goods) karena pihak pengambil manfaatnya sulit dibatasi,
artinya selain petani juga masyarakat luas. Barang umum adalah barang atau
jasa yang jika diproduksi produsennya tidak mampu mengendalikan siapa yang
berhak memanfaatkannya. Permasalahan timbul karena produsen tidak dapat
meminta konsumen untuk membayar atas konsumsi barang tersebut. Di pihak
lain, konsumen mengetahui betul barang tersebut diproduksi dan produsennya
tidak mempunyai kendali atas siapa-siapa yang mengkonsumsinya. Ciri-ciri
utama barang umum adalah: non-rivalry (tidak ada ketersaingan) atau non-
divisible yang berarti konsumsi seseorang terhadap barang tersebut tidak
mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama, dan non-
excludable (tidak ada larangan) yang berati pada saat seseorang mengkonsumsi
barang tersebut ia tidak bisa melarang orang lain untuk mengkonsumsi barang
9
yang sama (Matsumoto 2002, Suparmoko dan Suparmoko 2000). Derajat
rivalitas dan eksklusivitas suatu barang atau jasa pada akhirnya menentukan
apakah barang/jasa tersebut tergolong barang privat atau barang umum. Sifat
barang umum juga ada yang benar-benar murni barang umum (dicirikan oleh
sifat rivalitas dan eksklusivitas yang rendah) seperti biodiversitas, kemampuan
lahan pertanian menyerap karbon dan menghasilkan oksigen, tetapi juga ada
barang umum yang mempunyai sifat eksklusivitas, seperti lansekap dan cagar
budaya setempat atau mempunyai sifat rivalitas dalam penggunaannya, seperti
kemampuan lahan pertanian dalam memasok sumber air tanah.
Mengingat lahan pertanian menghasilkan barang umum yang bersifat
positif atau manfaat eksternal maka diperlukan analisis ekonomi lingkungan
untuk merumuskan kebijakan pengelolaannya karena dalam kondisi adanya
manfaat eksternal tersebut mekanisme pasar saja akan gagal dalam
mengalokasikan sumberdaya alam secara efisien. Ekonomi lingkungan adalah
ilmu yang mempelajari kegiatan manusia dalam memanfaatkan SDA dan
lingkungan sedemikian rupa sehingga fungsi SDA dan lingkungan dapat
dipertahankan, bahkan ditingkatkan untuk penggunaan jangka panjang
(Suparmoko dan Suparmoko 2000).
Apabila manfaat fungsi lingkungan tersebut diperhitungkan maka harga
komoditas pertanian seharusnya lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku
saat ini. Hal tersebut karena masyarakat juga seharusnya membayar manfaat
fungsi lingkungan yang dihasilkan oleh pertanian. Langkah ke arah tersebut
dapat melalui sistem pembayaran jasa lingkungan pertanian dari masyarakat
melalui kebijakan pemerintah.
10
Lahan Pertanian Media Budidaya Fungsi Lingkungan Fungsi Lingkungan Biologi-Fisika-Kimia Sosek-budaya
Pemasok S. Daya Air
Pangan Pengendali erosi Ketahanan Serat Pengendali banjir pangan (Sandang) Pengendali longsor Penyedia lapangan Penyejuk udara kerja Penyerap sampah organik Tempat rekreasi Penyerap karbon (CO2) Pelestari budaya Penghasil oksigen (O2) pedesaan/lokal Keragaman hayati Barang privat
Barang Umum (public goods)
Petani Masyarakat luas termasuk petani
Valuasi ekonomi : Valuasi ekonomi : Menggunakan harga Menggunakan harga pasar non pasar
Nilai Ekonomi Total Lahan Pertanian
Gambar 2. Pendekatan valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian
Berdasarkan alasan itu maka sebenarnya petani layak mendapat bantuan
khusus dalam mengelola usahataninya. Bantuan khusus tersebut dapat berupa
11
insentif ekonomi melalui mekanisme pasar atau kebijakan pemerintah yang dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan keluarganya.
Peningkatan kesejahteraan petani yang layak akan menjadi faktor penting dalam
mengendalikan konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Berdasarkan
keterkaitan ekonomi dan ekologi bantuan khusus untuk pertanian pada dasarnya
bukan hanya untuk petani tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas, baik
masyarakat di sekitar lahan pertanian, maupun masyarakat perkotaan, termasuk
pelestarian kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan uraian di atas maka keterkaitan hulu-hilir dari Gambar 1 dan
Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut. Petani, sebagai masyarakat hulu
menghasilkan jasa lingkungan melalui kegiatan usahataninya. Manfaat jasa
lingkungan tersebut selama ini belum secara eksplisit dinilai dan dibayar oleh
masyarakat yang menikmatinya. Manfaat jasa lingkungan pertanian akan
berkurang atau hilang apabila petani tidak melakukan kegiatan usahatani. Oleh
karena itu petani berhak atas pembayaran jasa lingkungan pertanian karena
melakukan kegiatan usahatani tersebut. Di sisi lain masyarakat hilir menikmati
manfaat jasa lingkungan pertanian. Perbaikan usahatani di wilayah hulu akan
berdampak positif terhadap kualitas lingkungan di wilayah hilirnya. Oleh karena
itu masyarakat hilir selayaknya bersedia untuk berpartisipasi dalam
pembangunan pertanian di wilayah hulu. Selain itu pembayaran jasa lingkungan
oleh masyarakat hilir dapat mencegah eksploitasi yang berlebihan atas
sumberdaya pertanian di wilayah hulu.
Mekanisme pembayaran jasa lingkungan pertanian antara hilir-hulu
tersebut memerlukan adanya kebijakan pemerintah mengingat pihak swasta atau
individu (mekanisme pasar) tidak mungkin akan melakukannya secara sukarela
karena tidak memberikan keuntungan secara privat.
12
1.3. Perumusan Masalah
Minat masyarakat pedesaan untuk menjadi petani semakin berkurang. Hal
itu karena keuntungan dari usahatani kurang menarik yang dicirikan oleh rasio
harga hasil-hasil pertanian dan inputnya semakin rendah. Sebagai contoh rasio
harga gabah terhadap harga pupuk sekitar 105%, sementara rasio yang sama di
Jepang mencapai 595%. Selain itu luas lahan pertanian yang dikuasai petani
semakin sempit. Hasil Sensus Pertanian 2003 (ST2003) menunjukkan petani
gurem dengan luas lahan garapan <0,3 ha mencapai 13,7 juta rumah tangga
(RT) atau 56,5% dari seluruh RT pertanian. Sebagai perbandingan rata-rata luas
lahan sawah garapan petani di Jepang 1,5 ha/KK.
Berbagai kebutuhan uang tunai yang dihadapi para petani seringkali hanya
dapat dipenuhi dengan cara menjual lahan pertanian yang dikuasainya sehingga
lahan garapan petani semakin sempit atau mereka menjadi buruh tani. Tahap
selanjutnya adalah konversi lahan pertanian yang semakin dipercepat karena
ada "lampu hijau" dari kebijakan tata ruang yang mengalokasikan lahan
pertanian subur termasuk sawah irigasi untuk keperluan non-pertanian.
Konversi lahan pertanian subur, terutama lahan sawah beririgasi yang
sudah berlangsung dalam dua dasa warsa (1981-2002) seluas 2,2 juta ha
mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya jumlah kemiskinan,
pengangguran, dan urbanisasi, menurunkan kualitas lingkungan hidup dan
stabilitas ketahanan pangan, khususnya beras. Selain kapasitas produksi
komoditas pertanian yang hilang, konversi lahan pertanian tersebut sekaligus
menghilangkan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan dan berbagai
prasarana (investasi) pertanian. Penyederhanaan pendekatan masalah penelitian
sebagaimana uraian di atas disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang ingin ditelaah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
13
1. Berapakah nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian?
2. Apakah masyarakat mengetahui multifungsi lahan pertanian?
3. Bagaimana apresiasi masyarakat terhadap multifungsi lahan pertanian
tersebut?
4. Bagaimana kebijakan mempertahankan lahan pertanian melalui instrumen
nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian?
Menjadi petani tidak menarik
Kebijakan Akselerasi
Konversi Lahan PertKegagalan
pasar
Kemiskinan (+), Pengangguran (+),
Urbanisasi (+), Ketahanan pangan (-),
Kualitas lingkungan (-)
Rasio harga
output/input rendah
Penguasaan lahan
sempit
Akibat manfaat Jasa Lingkungan Pertanian tidak diperhitungkan
Perlu adanya pemahaman mengenai jasa lingkungan pertanian
Gambar 3. Diagram pendekatan masalah penelitian
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah melakukan penilaian ekonomi (economic
valuation) terhadap beberapa bentuk multifungsi lahan pertanian dan
merumuskan kebijakan alternatif untuk mempertahankan (preservasi) kawasan
pertanian. Guna mencapai tujuan umum tersebut, secara spesifik tujuan
penelitian adalah :
1. Melakukan valuasi ekonomi lahan pertanian sebagai fungsi media budidaya
pertanian atau penghasil barang yang dapat dipasarkan (marketable goods)
14
sebagai sumber pendapatan petani dan sebagai penghasil jasa lingkungan
yang pada umumnya tidak mempunyai harga pasar (non-marketable goods).
2. Mengkaji pengetahuan dan apresiasi masyarakat mengenai multifungsi
lahan pertanian.
3. Melakukan sintesa kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian
1.5. Manfaat Penelitian
1. Informasi besaran nilai ekonomi manfaat multifungsi lahan pertanian dapat
dijadikan bahan koreksi terhadap harga hasil pertanian, khususnya dalam
penentuan harga dasar gabah yang saat ini kurang menarik bagi petani
sebagai produsen.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan
dan pengambilan keputusan pembangunan pertanian secara khusus dan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara umum.
3. Bagi masyarakat umum, hasil penelitian dapat dijadikan bahan pembelajaran
mengenai fungsi lingkungan lahan pertanian yang selama ini lahan pertanian
hanya dipandang sebagai media budidaya pertanian.
4. Bagi IPTEK, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai patok duga (benchmark
data) bagi penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.6. Hipotesis
Terkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai hipotesis penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
1. Nilai manfaat penggunaan langsung lahan pertanian selain berupa
komoditas yang dapat dipasarkan, juga berbagai manfaat jasa lingkungan
yang belum dapat dinilai berdasarkan mekanisme pasar. Besaran nilai
manfaat jasa lingkungan tersebut dalam satuan moneter akan sangat berarti
bagi petani jika dipertimbangkan sebagai salah satu penentu harga dasar
hasil pertanian, khususnya gabah (padi).
2. Konsep multifungsi pertanian relatif masih baru. Pengetahuan masyarakat
mengenai multifungsi lahan pertanian relatif masih rendah yang dapat
15
dicirikan oleh terbatasnya aspek multifungsi pertanian yang diketahui oleh
masyarakat.
3. Kemauan masyarakat untuk membayar atau willingness to pay (WTP) jasa
lingkungan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian, karakteristik individu
(pendidikan, umur, jenis kelamin), faktor sosial-ekonomi (status pekerjaan,
tingkat pendapatan, nilai kerugian akibat banjir, dan kondisi lingkungan
tempat tinggal).
4. Kemauan petani untuk menerima pembayaran atau willingness to accept
(WTA) jasa lingkungan lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti persepsi mengenai multifungsi lahan pertanian, karakteristik individu
(pendidikan, umur, jenis kelamin), faktor sosial-ekonomi (luas lahan garapan,
pendapatan, penerapan teknik KTA).
1.7. Kebaruan Penelitian
Aspek kebaruan penelitian ini terletak pada topik atau objek kajian yakni
multifungsi pertanian. Mengkaji pertanian dari aspek multifungsinya
sesungguhnya memandang keberadaan dan memahami fungsi pertanian secara
holistik. Lahan pertanian bukan hanya berfungsi sebagai media budidaya atau
usahatani tetapi lebih luas daripada itu. Lahan pertanian mempunyai fungsi yang
dapat menghasilkan jasa lingkungan yang bermanfaat bukan hanya bagi petani
tetapi juga bagi masyarakat secara umum.
Kemudian penggunaan pendekatan WTP dan WTA sebagai bentuk
simulasi pasar dalam menilai manfaat jasa lingkungan pertanian, dari sisi
masyarakat perkotaan (hilir) dan petani (hulu) merupakan hal yang baru dalam
penelitian ini.
1.8. Ruang Lingkup Penelitian
Tinjauan berbagai penelitian mengenai multifungsi pertanian di Jepang,
Taiwan dan Korea Selatan (Yoshida 2001, Chen 2001, Eom dan Kang 2001 dan
16
Suh 2001) menunjukkan bahwa masyarakat setempat di negara-negara tersebut
sudah cukup banyak mengetahui dan memberikan apresiasi terhadap multifungsi
lahan pertanian. Berbagai multifungsi pertanian yang sudah dikenal oleh
masyarakat di ketiga negara tersebut mencakup : (1) Penyedia atau penghasil
bahan pangan, (2) stabilitas atau penyangga ketahanan pangan, (3) penyedia
lapangan pekerjaan, (4) sumber pendapatan, (5) penyedia atau pemasok
cadangan air tanah, (6) pengendali banjir, (7) pengendali erosi dan sedimentasi,
(8) penyejuk udara, (9) penyerap sampah organik, (10) pelestari
keanekaragaman hayati, (11) sebagai tempat rekreasi, (12) pelestari budaya
masyarakat pedesaan, dan (13) penghasil atau emisi gas oksigen (O2) dan
penyerap gas karbondioksida (CO2).
Mengingat keterbatasan sumberdaya penelitian dan multifungsi pertanian
merupakan sesuatu hal yang baru, penelitian ini tidak menilai seluruh multifungsi
lahan pertanian tersebut, melainkan hanya menitikberatkan pada fungsinya
sebagai penghasil komoditas pertanian yang merupakan sumber pendapatan
petani (ekonomi), penyedia lapangan kerja (sosial), penyangga atau stabilitas
ketahanan pangan (sosial-ekonomi), pengendali banjir, erosi dan sedimentasi
(biofisik). Penggunaan lahan yang dikaji adalah lahan sawah dan lahan kering
atau tegalan.
Eksternalitas negatif lahan pertanian, khususnya sawah dan lahan kering
belum diperhitungkan dalam penelitian ini. Selain mengacu pada alasan Yoshida
(2001) dan Yabe (2005) bahwa bagi negara-negara agraris di wilayah pengaruh
iklim munson lebih prioritas untuk mengetahui, menilai dan memberikan apresiasi
terhadap multifungsi pertanian (ekternalitas positif) daripada menilai dampak
negatifnya, juga saat ini sudah tersedia teknologi untuk mengurangi dampak
negatif pengelolaan lahan pertanian terhadap lingkungan, seperti pertanian
organik dan/atau LEISA (law external input sustainable agriculture), penggunaan
17
varietas padi tertentu dan penggenangan air sawah minimal dalam pengelolaan
tanah dan air pada lahan sawah yang dapat mengurangi emisi gas methana.
Selain itu, masih banyak multifungsi pertanian yang nyata bermanfaat bagi
manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi metode valuasinya masih belum
berkembang, seperti manfaat lahan pertanian dalam menghasilkan oksigen (O2)
dan menyerap karbon dioksida (CO2), serta menjaga kelestarian budaya lokal.