bab i pendahuluan - · pdf filesalah satu faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator sukses...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu
untuk memajukan bangsa Indonesia dalam meningkatkan produktivitas
dan daya saing bangsa Indonesia di dunia global. Agar tercapai tujuan
tersebut penduduk Indonesia harus memiliki taraf kesehatan dan status
gizi yang lebih baik agar dapat bertahan hidup lebih lama, lebih aktif, lebih
produktif serta lebih menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Dengan kata lain penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan, jumlah,
kemanan, dan mutu gizi yang memadai harus benar – benar terjamin
sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi seluruh penduduk
Indonesia (Tsauri, 1998).
Pembinaan penduduk Indonesia perlu dilakukan sejak dini terutama
pembinaan di sekolah. Pendidikan formal yang diberikan di sekolah akan
sangat bermanfaat untuk menciptakan generasi penerus yang lebih baik.
Hal tersebut akan berjalan lancar jika ditunjang oleh status kesehatan dan
status gizi. Salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi yang lebih
baik dalam institusi sekolah adalah dengan diselenggarakannya
pelayanan gizi institusi di sekolah yang dimaksudkan untuk membantu
meningkatkan status gizi siswa di sekolah, yang lambat laun menjadi
kebutuhan, sebagai akibat waktu sekolah yang panjang ataupun tidak
sempat sarapan di rumah sebelum berangkat ke sekolah (Mukrie, 1990).
1
2
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak berkembang sekolah
yang di dalamnya terdapat penyelenggaraan makanan. Namun dalam
perjalanannya, kegiatan penyelenggaraan makannya pun ada yang baik
dan ada yang kurang baik karena banyak faktor yang mempengaruhi
sukses atau tidaknya suatu penyelenggaaan makan di suatu sekolah.
Salah satu faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator sukses tidaknya
pelayanan gizi di sekolah adalah dengan melihat asupan energi dan
protein yang dikonsumsi (Depkes, 1991).
Kualitas pelayanan di suatu institusi pelayanan kesehatan di bidang
gizi dapat dilihat dari perubahan status gizi dan asupan energi dan protein
konsumennya. Asupan energi dan protein yang sesuai dengan kebutuhan
gizi sangat diperlukan oleh tubuh, terutama dalam masa tumbuh kembang
(Mukrie, 1990).
Jika asupan energi baik maka diharapkan seseorang akan
mempunyai status gizi yang baik. Energi dapat dikatakan baik jika energi
tersebut seimbang, antara energi yang masuk ke tubuh melalui makanan
dengan energi yang dikeluarkan (Almatsier, 2004).
Begitu pula dengan asupan proteinnya, jika asupan proteinnya
baik, maka diharapkan status gizinya pun baik. Protein amat penting untuk
pertumbuhan dan rehabilitasi, terutama di usia anak-anak yang masih
dalam usia tumbuh kembang. Kecukupan protein hanya dapat dipakai
dengan syarat kebutuhan energinya lebih dulu terpenuhi. Karena jika
kebutuhan energi tidak terpenuhi maka sebagian protein yang masuk ke
dalam tubuh akan dipakai untuk pemenuhan kebutuhan energi (Muhilal,
1996).
Asupan zat gizi yang bisa memenuhi kebutuhan tubuh sangat
tergantung dari jenis makanan yang dikonsumsi. Jenis makanan yang baik
terdapat pada menu yang baik.
3
Menu yang disajikan dengan baik dapat menjadi suatu alat
penyuluhan gizi yang baik sehingga terbentuk pola makan yang baik.
Menu yang baik dan bergizi tidak harus terdiri dari bahan makanan yang
mahal, tetapi harus disusun dengan bahan yang beraneka ragam dengan
biaya yang terjangkau dan bernilai gizi baik agar konsumen merasa puas
dengan biaya serta kualitas makanan yang dihidangkan.
Biaya mempunyai hubungan secara langsung terhadap pelayanan
makanan yang akan diselenggarakan, oleh karena itu biaya makanan
dapat dikendalikan dengan berbagai cara seperti menukar, merubah atau
mengganti bahan makanan dengan bahan makanan lain yang sesuai nilai
gizinya. Tujuan dari pengendalian biaya adalah menghindari atau
mengurangi pengeluaran yang berlebihan untuk menjamin supaya tujuan
dari perencanaan dapat dicapai (Mukrie, 1990).
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Devi,
menyatakan dari 57 sampel yang diteliti, jika dilihat dari makan siang yang
dikonsumsi terhadap energi sebanyak 22 sampel (38,6%) tergolong dalam
kategori kurang dan terhadap protein sebanyak 25 sampel (43,9%)
tergolong dalam kategori kurang (Devi, 2010).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari makanan yang
dikonsumsi dapat dikaji seberapa besar kandungan energi dan protein
yang dikonsumsi, apalagi jika hal ini terjadi di usia tumbuh kembang pada
seorang anak. Usia tumbuh kembang anak yang baik ada di usia sekolah
dasar. Sedangkan penelitian mengenai biaya bahan makanan yang
dikonsumsi belum pernah ada sampai saat ini.
Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia adalah salah satu contoh sekolah
dasar swasta yang melakukan kegiatan penyelenggaraan makanan siang.
Pada periode tahun 2010-2011 terdapat 351 siswa yang bersekolah di SD
Plus Nurul Aulia yang beralamat di jalan Sukarasa No. 8 Citeureup Cimahi
Utara. Penyelenggaraan makan siang di SD Plus Nurul Aulia dilaksanakan
4
oleh pihak kedua (outsourcing). Pihak sekolah hanya memfasilitasi tempat
yaitu terdapat 2 kantin, kantin “Annisa” dan kantin “Outbond” dengan biaya
makan siang Rp 6500 per porsi. Kantin “Outbond” menjadi tempat
dilaksanakannya penelitian karena digunakan untuk siswa kelas 4 dan 5
yang sudah bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Penelitian mengenai
hubungan biaya terhadap asupan energi dan protein belum pernah diteliti
di sekolah yang pernah juara 1 “Kantin Sehat” tingkat nasional pada tahun
2008.
Dalam rangka pengembangan penyelenggaraan makan siang yang
sedang dilakukan oleh pihak sekolah, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai hubungan antara biaya bahan makanan yang
dikonsumsi dengan asupan energi dan protein pada makan siang di SD
Plus Nurul Aulia.
1.2 Perumusan Masalah
1.2.1 Apakah ada hubungan antara biaya bahan makanan yang
dikonsumsi dengan asupan energi pada makan siang siswa – siswi
di SD Plus Nurul Aulia?
1.2.2 Apakah ada hubungan antara biaya bahan makanan yang
dikonsumsi dengan asupan protein pada makan siang siswa – siswi
di SD Plus Nurul Aulia?
5
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan biaya bahan makanan yang
dikonsumsi dengan asupan energi dan protein pada makan siang
siswa – siswi di SD Plus Nurul Aulia.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui data karakteristik sampel (nama, umur, jenis
kelamin, dan kelas).
b. Mengetahui gambaran umum SD Plus Nurul Aulia (latar
belakang, struktur organisasi, dan jumlah siswa).
c. Memperoleh gambaran mengenai sistem
penyelenggaraan makanan di SD Plus Nurul Aulia,
meliputi siklus menu, pola menu, cara pemberian makan
siang, jam distribusi makanan, standar porsi, dan harga
hidangan.
d. Mengetahui faktor yang mempengaruhi asupan makan
siang yang dikonsumsi.
e. Mengetahui asupan energi makan siang yang
dikonsumsi.
f. Mengetahui asupan protein makan siang yang
dikonsumsi.
g. Mengetahui biaya bahan makanan yang dikonsumsi
h. Menganalisis hubungan antara biaya bahan makanan
yang dikonsumsi dengan asupan energi pada makan
siang.
6
i. Menganalisis hubungan antara biaya bahan makanan
yang dikonsumsi dengan asupan protein pada makan
siang.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian di bidang
gizi institusi yang hanya dibatasi makan siang pada siswa – siswi yang
dijadikan sampel dan hal yang diteliti adalah biaya bahan makanan
(makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, dan bumbu) yang
dikonsumsi yang berhubungan terhadap asupan energi dan protein pada
makan siang.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti bisa mendapatkan
wawasan yang baru, yang bisa bermanfaat dalam
pengembangan diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Bagi Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi
Penelitian ini bisa menjadi sumber informasi dalam ilmu
pelayanan gizi di bidang institusi, sekaligus menambah literatur
di perpustakaan Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi yang
nantinya bisa digunakan oleh mahasiswa. Penelitian ini pun bisa
memberikan gambaran umum tentang penyelenggaraan makan
di institusi SD Plus Nurul Aulia.
c. Bagi Institusi Sekolah Dasar
7
Penelitian ini bisa dijadikan sebagai masukan dalam
penyelenggaraan makanan di SD Plus Nurul Aulia dan bisa
menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan makanan berikutnya.
1.6 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti masih memiliki keterbatasan yaitu
adanya variabel yang mempengaruhi makan siang yang
dikonsumsi siswa seperti kondisi kesehatan siswa tersebut.
Keterangan tentang biaya bahan makanan tidak selengkap yang
diharapkan karena kurangnya keterbukaan mengenai rincian biaya
dalam penyelenggaraan makan siang.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyelenggaraan Makanan Institusi
2.1.1 Pengertian Penyelenggaraan Makanan Institusi
Penyelenggaraan makanan institusi adalah
penyelenggaraan dan pelaksanaan makanan dalam jumlah yang
besar. Dari data yang ada, dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan makanan di atas 50 porsi dapat dinyatakan
sebagai penyelenggaraan makanan institusi (Mukrie, 1990).
Penyelenggaraan makanan institusi adalah berbagai jenis
usaha yang melaksanakan suatu kegiatan berupa penyediaan
makanan. Di sisi lain juga disebutkan bahwa penyelenggaraan
makanan institusi merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi
penyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu,
pembuatan taksiran bahan makanan, penyediaan / pembelian
bahan makanan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran bahan
makanan, persiapan, dan pemasakan makanan, penilaian dan
distribusi makanan, pencatatan pelaporan dan evaluasi yang
dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok
masyarakat di institusi (Depkes, 1991).
2.1.2 Karakteristik Penyelenggaraan Makanan Institusi
8
9
Setiap masyarakat terdiri dari berbagai golongan sehingga
timbulah kebutuhan yang berbeda-beda pula. Kebutuhan yang
berbeda ini menjadi awal mula munculnya berbagai macam
pengelolaan makanan banyak menurut kebutuhan konsumen yang
dilayani. Perkembangan dari waktu ke waktu membuat
penyelenggaraan makanan institusi yang kita jumpai menjadi
bermacam-macam jenisnya, tetapi sebenarnya cara
pengelolaannya dikerjakan dengan prinsip yang tidak jauh berbeda.
Perbedaan ini dapat dilihat dari tujuan penyediaan makanan serta
cara pengelolaan yang telah diatur sedemikian rupa oleh pemilik
institusi. Macam dan jumlah zat gizinya pun disesuaikan dengan
standar yang ada dan diperhitungkan sesuai kebutuhan konsumen
dan syarat gizi yang berlaku (Mukrie, 1990).
Penyediaan makanan institusi adalah penyediaan makanan
bagi konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam kelompok
masyarakat yang terorganisir di institusi seperti sekolah,
perkantoran, perusahaan, pabrik, industri, asrama, rumah sakit,
panti sosial, lembaga pemasyarakatan, pusat transito dan pesantren
(Soegeng, 2004).
Institusi militer, rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan,
sekolah, universitas, dan institusi lain yang tidak mengutamakan
keuntungan merupakan jenis penyelenggaraan makanan institusi.
Semua institusi memiliki beberapa hal kesamaan, seperti pelangan
tetap, harga murah satu kali makan, beberapa aturan standar, dan
peraturan pemerintah yang harus dipatuhi (Puckett,2004).
2.1.3 Tujuan Penyelenggaraan Makanan Institusi
10
Semakin berkembangnya waktu dan ilmu pengetahuan,
penyelenggaraan makanan institusi dikelola oleh berbagai pihak
yang sifatnya pun berbeda, bisa komersial, semi komersial, atau
pun sosial. Namun dalam pelaksanaanya mempunyai beberapa
kesamaan tujuan yang diinginkan. Tujuan umumnya adalah
tersedianya makanan yang bisa memuaskan konsumen, dengan
manfaat yang setinggi-tingginya bagi institusi tersebut (Mukrie,
1990).
Namun secara khusus setiap institusi harus menyediakan
makanan yang berkualitas, yang meliputi:
a. Makanan yang baik
Makanan yang baik meliputi tepat nilai gizi, tepat cita rasa, tepat
sanitasi, tepat jumlah, tepat harga dan tepat waktu, serta
kepuasan konsumen (DEPKES RI, 2006).
Makanan bisa dinilai baik jika dari proses pembelian bahan
makanan baik, penyimpanan yang tepat, persiapan, pemasakan
dan penyajian yang benar (Mukrie, 1990).
Makanan yang memiliki mutu dan kualitas yang baik akan
memberikan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
menjalankan fungsi tubuh, sedangkan apabila makanan yang
dikonsumsi tidak memiliki mutu dan kualitas yang baik untuk
tubuh maka tubuh akan mengalami defisiensi zat gizi.
Zat gizi terbagi dalam beberapa jenis diantaranya :
1. Karbohidrat sebagai sumber energi
2. Protein sebagai zat pembangun
3. Lemak sebagai memberikan rasa gurih pada makanan dan
sebagain sumber energi terbesar
11
4. Vitamin dan mineral sebagai zat pengatur
(Almatsier, 2001).
b. Pelayanan cepat dan menyenangkan
Makanan bisa menjadi alat komunikasi dalam hubungan antar
manusia. Untuk itulah diperlukan sikap yang baik dalam rangka
memberikan servis yang baik pula. Servis yang ramah tamah
dan menyenangkan akan membuat nyaman konsumen
sehingga institusi bisa mendapatkan predikat yang baik.
Pelayanan bisa berjalan dengan cepat jika disesuaikan dengan
jumlah konsumennya. Jka jumlah konsumen tidak terlalu banyak
bisa dilakukan dengan pelayanan langsung, tetapi jika
konsumen banyak maka perlu dilaksanakan cafetaria atau
pelayanan sendiri yang lebih tepat, bisa dengan mesin atau pun
manusia (Mukrie, 1990).
c. Menu seimbang dan bervariasi
Menu yang seimbang diperlukan untuk kesehatan. Namun
diperlukan juga variasi menu yang baik agar meningkatkan daya
terima konsumen. Variasi menu yang baik meliputi aspek
komposisi, warna, rasa, rupa dan kombinasi masakan yang
serasi (Mukrie, 1990).
Variasi dan keseimbangan jumlah merupakan kunci utama,
karena bila kekurangan satu saja zat gizi yang dipentingkan
oleh tubuh dapat menyebabkan ketidakseimbangan kecerdasan
(Graimes, 2005).
d. Harga layak
12
Harga makan per orang per hari yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan makanan. Harga dapat mempengaruhi
kualitas, kuantitas hidangan, besar porsi, atau jumlah konsumen
yang dilayani dalam suatu penyelenggaraan makanan
(DEPKES RI, 2006)
Cara pengelolaan yang berbeda bisa menimbulkan harga yang
berbeda pula. Namun sebenarnya konsumen bisa menerima
suatu harga jika apa yang dia dapatkan sesuai dengan nilai
harga tersebut. Standar makanan yang disajikan harus
sebanding dengan penampilan makanan, pelayanan dan
fasilitas yang disediakan, dan yang paling utama sesuai dengan
kebutuhan nilai gizi konsumen. Harga layak pun berguna untuk
pengendalian biaya untuk mencegah pemborosan dari biaya
yang dikeluarkan. Proses ini merupakan proses yang
berkelanjutan dan melibatkan beberapa aktivitas dimulai dari
perencanaan menu, penjualan dan penjadwalan dari personnnel
(Mukrie, 1990).
e. Fasilitas yang cukup
Ruangan dan peralatan yang disediakan harus memadai,
sehingga pelayanan dapat berjalan lancar (Mukrie, 1990).
f. Standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi
Makanan yang baik sudah pasti harus memiliki nilai gizi yang
baik pula. Namun bukan hanya itu, keutuhan dan keamanan
makanan sangat penting juga bagi kesehatan yang
mengonsumsinya. Prosedur pemasakan yang benar dan
sanitasi yang layak amat diperlukan (Mukrie, 1990).
13
Makanan yang sehat, bersih, dan dapat dimakan memiliki
syarat-syarat, yaitu :
1. Sesuai dengan susunan makanan yang diinginkan, benar
pada tahap-tahap pembuatannya dan layak untuk dimakan.
2. Bebas dari pencemaran benda-benda hidup yang sangat
kecil yang bisa menimbulkan penyakit.
3. Bebas dari unsur kimia yang merusak.
4. Bebas dari jasad renik dan parasit yang bisa menimbulkan
penyakit bagi orang yang memakannya.
(Laksono, 1986)
2.1.4 Klasifikasi Penyelenggaraan Makanan Institusi
a. Pelayanan gizi institusi industri
Biasa disebut dengan pelayanan gizi pekerja. Yang
termasuk ke dalam golongan ini adlah pabrik, perusahaan,
perkebunan, industri kecil di atas 100 karyawan, industri
tekstil, perkantoran, bank, dsb. Di banyak negara maju telah
ditetapkan peraturan dan perundangan menyangkut
penyediaan makanan atau pembentukan kantin karyawan
serta persyaratannya. Gagasan dan upaya pembentukan
kantin pada pabrik, perusahaan atau kantor-kantor telah
banyak dirintis dan dikelola oleh berbagai sektor terkait,
walaupun dalam jumlah dan ketetapan yang ada masih
terbatas (Depkes, 1991).
14
b. Pelayanan gizi institusi sosial
Pelayanan gizi ini dilakukan oleh pemerintah atau swasta
yang berdasarkan azas sosial dan bantuan. Contoh dari
pelayanan gizi ini adalah panti asuhan, panti jompo, panti
tunanetra, tuna rungu, dsb (Mukrie, 1990).
c. Pelayanan gizi institusi asrama
Pelayanan gizi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
gizi golongan masyarakat tertentu yang tinggal di asrama.
Contohnya adalah asrama pelajar, militer, mahasiswa, dsb
(Mukrie, 1990).
d. Pelayanan gizi institusi sekolah
Pelayanan gizi yang diselenggarakan di sekolah yang
bertujuan untuk memberikan makanan bagi anak sekolah,
baik swasta atau pun negri (Mukrie, 1990).
Penyelenggaraan makan untuk anak di sekolah termasuk
dalam penyelenggaraan makan institusi. Ada yang bersifat
nonkomersil (orang tua membiayai atau subsidi dan sekolah
sedikit pun tidak mencari keuntungan), semi komersil
(keuntungan hanya sedikit untuk menutupi kebutuhan
tertentu) dan dapat juga bersifat sosial, yaitu tanpa pungutan
biaya kepada orang tua anak (Mukrie, 1990).
Fungsi penyelenggaraan makan di sekolah, diantaranya:
a. Menambah konsumsi zat gizi anak dalam menu
makan sehari- hari
b. Mendidik sopan santun dalam acara makan
bersama, memupuk hidup kebersamaan
15
c. Melatih anak makan berbagai jenis bahan makanan
serta hidangan yang bergizi, dll (Muhilal, 2006).
Syarat makanan anak meliputi:
a. Mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan anak.
b. Higienis dan tidak membahayakan anak.
c. Mudah dan praktis.
d. Dibuat sama jenis hidangan dan porsi yang standar
sehingga cukup mengenyangkan anak.
e. Efisiensi dan mudah dalam pengelolaan program
makan, persiapan, pengolahan, dan penyajian.
f. Memenuhi syarat-syarat makan anak usia tertentu
(Muhilal, 2006).
e. Pelayanan gizi institusi kesehatan
Pelayanan gizi untuk memenuhi kebutuhan gizi orang
sakit atau sehat selama mendapat perawatan. Contohnya
adalah rumah sakit tipe A, B, C, D, E, khusus, rumah sakit
bersalin, rumah bersalin, balai pengobatan atau pun
puskesmas perawatan (Mukrie, 1990).
f. Pelayanan gizi institusi komersial
Penyelenggaraan pelayanan gizi bagi masyarakat yang
makan di luar rumah dengan mempertimbangkan pelyanan
dan kebutuhan konsumen. Salah satu contohnya adalah
hotel, yang mengutamakan kepuasan walau dengan harga
yang mahal. Konsumen tetap puas karena pelayanan yang
diberikan melampaui harapan tamu, yang berarti tamu
memperoleh sesuatu yang melebihi nilai yang diharapkannya
melebihi dari harga yang mereka bayar (Sulastiyono, 1999).
16
g. Penyelenggaraan makanan nonkomersial
Pada penyelenggaraan makanan nonkomersial, persiapan
dan pelayanan makanan masih diutamakan tetapi bukan
prioritas utama. Restoran hotel dan motel serta restoran club
country termasuk penyelenggaraan makanan jenis ini.
Beberapa dari penyelenggaraan makanan nonkomersial
seringkali tergantung dengan ekonomi. Ketika keadaan
ekonomi bagus maka akan banyak pelanggan yang
menggunakan uangnya untuk makan di restoran
(Sulastiyono, 1999).
h. Pelayanan gizi institusi khusus
Bentuk pelayanan ini tertuju untuk kelompok khusus.
Contohnya adalah pelayanan gizi di pusat latihan olahraga,
asrama haji, penampungan transmigrasi, kursus-kursus dan
nara pidana (Mukrie, 1990).
i. Pelayanan gizi untuk keadaan darurat
Dilakukan di saat keadaan darurat, seperti bencana alam.
Makanan matang dipersiapkan untuk jangka waktu yang
singkat dengan bahan makanan seadanya (Mukrie, 1990).
2.2 Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Usia anak-anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan
yang baik secara fsik atau pun mental. Masukan makanan yang baik akan
sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan yang baik pula.
Usia anak-anak yang khususnya pada usia sekolah dasar sangat rawan
terhadap kekurangan zat-zat gizi terutama dari konsumsi makan yang
17
kurang baik. Makanan yang mereka konsumsi harus mengandung cukup
gizi dan zat-zat yang penting lainnya (Pergizi Pangan Indonesia, 1996).
Hampir semua anak usia sekolah dasar suka jajan, sebanyak
91,1% menurut hasil penelitian Susanto di Jogjakarta. Sebagai salah satu
alternatif makanan bagi anak sekolah, nilai gizi dan keamanan makanan
jajanan masih perlu mendapat perhatian. Hasil penelitian YLKI (Warta
Konsumen 2000) menyimpulkan bahwa persentase makanan jajanan
anak SD yang dicampur dengan berbagai zat yang berbahaya masih
sangat tinggi seperti es sirop warna warni, kue pukis, siomay, gorengan,
odading, usus tusuk goreng, chiki, wafer, mi remes, dan permen (Muhilal,
2006).
Pada usia anak sekolah dasar sangat membutuhkan terpenuhinya
zat-zat gizi untuk membantu mereka dalam berkonsentrasi dan menyerap
serta memahami pelajaran yang diberikan. Status gizi yang baik akan
mempengaruhi prestasi belajar mereka juga.
(Pergizi Pangan Indonesia, 1996)
Makanan dengan kandungan gizi seimbang akan membentuk
kebiasaan makan yang baik dan berpartisipasi dalam aktivitas olahraga
secara teratur guna mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang
optimal, berat badan normal, menikmati makanan, dan menurunkan risiko
menderita penyakit kronis (Muhilal, 2006).
Melihat kebutuhan tubuh yang cukup besar pada masa ini maka
kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsi anak akan sangat
penting. Namun anak-anak sangat mudah sekali terpengaruh oleh iklan
produk makanan. Oleh karena itu sudah seharusnya bimbingan diberikan
kepada mereka tentang makanan yang berkualitas.
(Pergizi Pangan Indonesia, 1996)
18
2.3 Biaya dalam Penyelenggaraan Makan
Biaya merupakan pengorbanan yang diukur dalam satuan uang
untuk mencapai tujuan tertentu untuk memperoleh / memproduksi barang
/ jasa tertentu. Biaya yang dikeluarkan oleh konsumen harus sesuai
dengan kualitas makanannya, baik gizinya atau pun penampilan dan
sanitasinya. Untuk itulah diperlukan rancangan anggaran yang tepat
sesuai dengan kecukupan gizi konsumen. Jika harga yang ditawarkan
sesuai, maka konsumen pun akan mendapatkan kepuasan dari peyanan
yang diberikan (Depkes, 1991).
Biaya penyelenggaraan makan terdiri dari berbagai biaya belanja.
Biaya belanja dalam penyelenggaraan makanan yang diperhitungkan
adalah untuk bahan makanan, peralatan, tenaga, dan pengeluaran lain
yang disebut biaya overhead seperti bahan bakar, air, listrik, kerusakan,
sabun, pembersih, dsb (Mukrie, 1990).
2.3.1 Biaya untuk bahan makanan
Harga bahan makanan selalu tidak tetap dari waktu ke
waktu, sehingga perlu penyusunan harga yang baru pula untuk
penyelenggaraan di waktu berikutnya. Untuk memperhitungkan
biaya pembelian bahan makanan, diperlukan standar bahan
makanan perkapita, pengelompokkan bahan makanan (daging,
ikan, telur, sayur-sayuran, buah – buahan, beras dan bahan
makanan kering lain) serta penetapan kenaikan index harga bahan
makanan (Depkes, 1991).
Berikut Tahap penyusunan biaya makan :
a. Penyusunan menu menurut siklus menu
19
b. Penyusunan pedoman menu ( Rincian Pemakaian
Bahan makanan segar, kering dan bumbu)
c. Penyusunan standar menu
d. Mengalikan standar makanan dengan harga satuan
bahan makanan
e. Rekapitulasi harga (perporsi, perwaktu makanan,
perhari) dalam satuan siklus menu
Hasil dari rekapitulasi merupakan biaya bahan makanan
rata-rata perhari menurut macam dan kelas perawatan
(Munawar, 2007)
2.3.2 Biaya untuk peralatan
Perhitungan biaya untuk peralatan meliputi biaya untuk
peralatan besar dan kecil, biaya pemeliharaan dan penggantian
alat, serta biaya untuk bahan pembersih alat. Penggantian alat bisa
dilakukan jika alat tersebut sudah tua atau kurang efektif dipakai
yang bisa mengganggu proses produksi. Bisa juga direncanakan
alat baru yang dianggap sangat dibutuhkan karena terjadi
perubahan cara kerja (Depkes, 1991).
2.3.3 Biaya untuk tenaga
Biaya untuk pekerja yang diperhitungkan adalah jumlah
tenaga, kenaikan gaji, hari libur, cuti sakit dan lembur, serta
kemungkinan penambahan pegawai baru (Depkes, 1991).
20
2.3.4 Biaya lain-lain
Biaya lain-lain disebut juga biaya overhead. Biaya overhead
meliputi biaya untuk bahan bakar, air, listrik, alat tulis kantor, dsb.
Biasanya biaya ini sudah termasuk dalam biaya institusi pemilik
penyelenggaraan makanan (Depkes, 1991).
2.4 Evaluasi Biaya
Evaluasi merupakan salah satu implementasi fungsi manajemen,
bertujuan untuk menilai pelaksanaan kegiatan apakah sudah sesuai
dengan perencanaan. Pada kegiatan evaluasi, tekanan penilaian
dilakukan terhadap resources, proses, luaran, dampak untuk menilai
relevansi, kecukupan, kesesuaian dan kegunaan. Jadi dalam hal ini
diutamakan luaran atau hasil yang dicapai. Untuk melancarkan penilaian
ini maka sebagai alat ukur adalah membandingkan kenyataan yang terjadi
dengan rencana (Mukrie, 1990).
Pada dasarnya evaluasi biaya makan dilakukan pada setiap unit
kegiatan pengelolaan makanan banyak yang dimulai pada saat
perencanaan menu, perencanaan taksiran kebutuhan bahan makanan,
pembelian bahan makanan, penerimaan, penyimpanan, pemasakan,
pendistribusian, kemudian diperhitungkan pula biaya tenaga dan biaya
lain-lain (overhead). Data untuk evaluasi harga makanan didasarkan atas
pencatatan yang periodik dan teratur terhadap pemakaian, pemasukan
dan harga bahan makanan. Dengan perhitungan yang cermat dapat
diperbandingkan biaya yang dipakai dan biaya yang direncanakan
(Mukrie, 1990).
Persentasi dari harga penjualan ditetapkan atas dasar perhitungan
pengeluaran untuk bahan mentah, tenaga dan pengeluaran lain. Di
21
samping itu diperhitungkan pula sisa makanan yang tidak/belum terjual
yang dapat dinyatakan sebagai keuntungan kasar dalam bentuk bahan
makanan (Mukrie, 1990).
Bagi institusi komersial biaya bahan makanan dapat merupakan
40-60 % dari harga jual. Tetapi bagi institusi sosial/semi sosial, persentasi
biaya bahan makanan 100% artinya tidak diperhitungkan keuntungan dari
penyediaan makanan. Pada institusi bersubsidi, persentasi biaya bahan
makanan sekitar 45% dari harga jual (Mukrie, 1990).
Salah satu restoran di USA menyatakan perbandingan antara
unsur biaya adalah:
- harga bahan makanan 45%
- biaya tenaga 40%
- biaya lain-lain 15%
Hal-hal yang harus dikumpulkan yang dapat mempengaruhi harga,
antara lain, kesalahan pemesanan, kerusakan bahan makanan,
kehilangan selama persiapan dan pemasakan, standar porsi yang salah,
kelebihan jumlah makanan, sisa makanan yang berlebih, dan makanan
untuk pegawai (Mukrie, 1990).
2.5 Kecukupan Zat Gizi
2.5.1 Energi
Manusia membutuhkan energi untuk melakukan aktivitas
sehari-harinya. Selain itu energi pun dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup dan menunjang pertumbuhannya. Energi
22
diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam
makanan (Almatsier, 2004).
Energi yang diperlukan oleh tubuh dinyatakan dalam
kilokalori yang sering ditulis dengan bentuk K kapital yaitu Kalori.
Satu kalori setara dengan panas yang dibutuhkan untuk menaikkan
panas 1 gram air dari 14,5o C menjadi 15,5o C. Cara untuk
mendapatkan angka kebutuhan energi untuk masing-masing
kegiatan fisik ialah dengan mengukur pemakaian oksigen selama
melakukan kegiatan. Satu liter oksigen setara dengan 4,95 Kalori.
Ada pun cara lain untuk mengukur kebutuhan energi adalah
dengan mengukur denyut jantung saat melakukan aktivitas
(Muhilal, 1996).
Kebutuhan energi seseorang dalam sehari bisa dihitung dari
kebutuhan energi yang terdiri dari komponen-komponen berikut:
1. Angka Metabolisme Basal/AMB (kebutuhan sedang istirahat)
2. Aktivitas fisik
3. Pengaruh Dinamik Khusus Makanan/SDA (dapat diabaikan)
Untuk menghitung kebutuhan energi suatu penduduk,
aktivitas fisik dikelompokkan menurut berat ringannya aktivitas,
yaitu ringan, sedang dan berat. Untuk setiap kelompok aktivitas fisik
kemudian ditetapkan suatu faktor aktivitas (Almatsier, 2004).
23
TABEL 2.1
ANGKA KECUKUPAN ENERGI UNTUK TIGA TINGKAT AKTIVITAS
FISIK UNTUK LAKI – LAKI DAN PEREMPUAN
Kelompok Aktivitas
Jenis Kegiatan
Faktor aktivitas
Ringan
Laki – laki
Perempuan
75% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri. 25% waktu untuk berdiri atau bergerak.
1,56 1,55
Sedang
Laki – laki
Perempuan
25% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri. 75% waktu untuk aktivitas pekerjaan tetentu.
1,76 1,70
Berat
Laki – laki
Perempuan
40% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri. 60% waktu untuk aktivitas pekerjaan tetentu.
2,10 2,00
(Almatsier, 2004)
Untuk perhitungan yang ditujukan secara luas ada yang
disebut Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (KGA) atau yang kini
disebut Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kecukupan gizi yang
dianjurkan agak berbeda dengan kebutuhan gizi per individu yang
biasanya. Angka kecukupan gizi lebih menggambarkan banyaknya
zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu
secara keseluruhan. Kecukupan yang dianjurkan selalu dianjurkan
pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur
dan jenis kelamin. Patokan berat badan ini didasarkan pada berat
badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang digolongkan
sehat (Muhilal, 1996).
Untuk memenuhi kebutuhan energi pada orang sehat dalam
jumlah yang banyak, maka jumlah energi yang masuk ke dalam
tubuh haruslah mengacu pada tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang telah ditetapkan (Almatsier, 2005).
24
Kurangnya asupan energi dan zat gizi pada anak usia
sekolah dapat menyebabkan anak mudah lelah, tidak tahan
melakukan aktivitas fisik yang lama, tidak mampu berfikir dan
berpartisipasi penuh dalam proses belajar. Selain itu anak yang
asupan energi dan zat gizinya kurang mempunyai resiko lebih
besar menderita berbagai penyakit dan sering absen dari sekolah
(Muhilal,1996).
Berikut ini adalah daftar angka kecukupan energi pada usia
sekolah dasar :
TABEL 2.2
ANGKA KECUKUPAN ENERGI
BERDASARKAN GOLONGAN UMUR
Golongan umur
Berat badan (Kg)
Tinggi badan (cm)
Energi (kkal)
7-9 thn 25 120 1800
Pria 10-12 thn
35 138 2050
Wanita 10-12
37 145 2050
(AKG, 2005)
2.5.2 Protein
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan
bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah
protein, setengah ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan
tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit dan selebihnya di dalam
jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon,
pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan
sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang
25
membentuk protein bertindak sebagai prekursor sebagian besar
koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang
esensial untuk kehidupan. Protein mempunyai fungsi khas yang tak
dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta
memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. (Almatsier, 2004)
Keseimbangan nitrogen adalah salah satu dasar dalam
penentuan kecukupan protein, yang mana dapat dilihat dari
perbandingan antara nitrogen yang dikonsumsi dengan nitrogen
yang dikeluarkan melalui feces, urin, keringat, dan metabolisme
lain. Keseimbangan nitrogen seimbang jika asupan nitrogen sama
dengan pengeluaran, keseimbangan nitrogen negatif jika asupan
nitrogen lebih sedikit daripada pengeluaran (Muhilal, 1996).
Protein terdiri dari 20 asam amino, 8 di antaranya adalah
asam amino essensial. Komposisi asam amino protein hidangan
mempunyai skor asam amino yang dapat dihitung dengan cara
membandingkan komposisi asam amino hidangan dengan
komposisi asam amino protein standar yang dianggap memiliki
mutu paling tinggi (Muhilal, 1996).
Skor asam amino protein hewani umumnya sangat tinggi,
sehingga lebih baik dibanding protein nabati, dan umumnya
bermanfaat untuk:
o Memudahkan penyusunan komposisi hidangan dengan mutu
protein yang tinggi, terutama pada balita dan anak sekolah
yang dalam usia tumbuh kembang
o Menolong absorpsi zat gizi lain misalnya zat besi, sehingga
bisa mengurangi kejadian anemia
o Mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral karena protein
hewani merupakan sumber vitamin dan mineral yang mudah
diserap tubuh (Muhilal, 1996).
26
Untuk memenuhi kebutuhan protein pada orang sehat dalam
jumlah yang banyak, maka jumlah protein yang masuk ke dalam
tubuh haruslah mengacu pada tabel Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang telah ditetapkan (Almatsier, 2005).
Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan
dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang
dinamakan marasmus. Kekurangan protein murni pada stadium
berat disebut kwasiorkor pada anak. Gabungan antara dua jenis
kekurangan ini dinamakan Energy-Protein Malnutrition atau
Kurang Energi Protein/KEP. Sedangkan kelebihan protein juga
tidak akan menguntungkan bagi tubuh. Makanan yang tinggi
protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan
obesitas. Kelebihan protein akan menimbulkan asidosis,
dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum
darah, dan demam. Batas yang dianjurkan untuk konsumsi
protein adalah dua kali Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk
protein (Almatsier,2004).
Berikut ini adalah daftar angka kecukupan protein pada usia
sekolah dasar :
TABEL 2.3
ANGKA KECUKUPAN PROTEIN
BERDASARKAN GOLONGAN UMUR
Golongan umur
Berat badan (Kg)
Tinggi badan (cm)
Protein (gram)
7-9 thn 25 120 45
Pria 10-12 thn
35 138 50
Wanita 10-12
37 145 50
(AKG, 2005)
27
2.6 Survei Konsumsi
Salah satu pengukuran status gizi secara tidak langsung
adalah dengan melakukan survei konsumsi baik pada perorangan
maupun pada kelompok. Tujuan dari survei konsumsi adalah untuk
mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan
bahan makanan dan zat gizi pada tingkat individu, rumah tangga
maupun kelompok serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2002).
Beberapa metode survei konsumsi berdasarkan sasaran
pengamatan atau pengguna :
1. Tingkat Nasional
-Food Balance Sheet
2. Tingkat Rumah Tangga
a.Metode pencatatan (food account)
b.Metode pendaftaran makanan (food list)
c.Metode inventaris (inventory method)
d.Pencatatan makanan rumah tangga (household food
record)
3. Tingkat Individu
a.Metode recall 24 jam
b.Metode estimated food record
c.Metode frekuensi makanan (food frequency)
d.Metode dietary history
e.Metode penimbangan (food weighing)
Untuk melihat berat makanan yang dikonsumsi dapat
digunakan metode penimbangan. Pada penelitian ini akan
digunakan metode food weighing/penimbangan. Prinsipnya adalah
28
mengukur secara langsung berat setiap jenis makanan yang
dikonsumsi yaitu berat makanan sebelum dimakan dan berat
makanan sisa setelah makan (Supariasa, 2002).
Langkah-langkah :
a. Petugas menimbang dan mencatat berat makanan awal
yang disajikan dan berat makanan sisa.
b. Berat makanan yang dikonsumsi didapat dari
pengurangan berat awal dengan berat sisa, lalu dianalisis
dengan program Nutrisurvey.
c. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan AKG.
Kelebihan : Data yang diperoleh lebih akurat dan teliti.
Kekurangan :
a. Memerlukan waktu lebih lama dan cukup mahal karena
perlu peralatan.
b. Bila dilakukan dalam kurun waktu yang lama, responden
dapat merubah kebiasaan.
c. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil.
d. Memerlukan kerja sama yang baik dengan responden.
(Supariasa, 2002).
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN
HIPOTESIS
29
3.1 Kerangka Konsep
Biaya bahan makanan yang dikonsumsi berhubungan dengan
asupan energi dan protein. Biaya makanan meliputi biaya bahan makanan
pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur, buah, dan bumbu. Kandungan
energi dan protein dari makan siang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan asupan energi dan protein.
GAMBAR 3.1 KERANGKA KONSEP
HUBUNGAN ANTARA BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI
DENGAN ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA MAKAN SIANG
SISWA SEKOLAH SD PLUS NURUL AULIA
Keterangan:
Variabel dependen: - Asupan Energi
-Asupan Protein
Variabel independen: Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
Biaya Bahan
Makanan yang
Dikonsumsi
Asupan Energi
Asupan Protein
29
30
3.2 Definisi Operasional
1. Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
Rata-rata besar rupiah yang dikeluarkan untuk bahan
makanan dari makan siang yang dikonsumsi selama 2 hari tidak
berturut – turut meliputi hidangan (makanan pokok, lauk hewani,
lauk nabati, sayur, buah, dan bumbu) dan dibandingkan dengan
biaya standar bahan makanan.
Cara Pengukuran : Perhitungan Biaya Bahan Makanan
Satuan : Rupiah
Hasil Ukur : - Baik : jika biaya bahan
makanan yang dikonsumsi ≥ mean.
- Kurang : jika biaya bahan
makanan yang dikonsumsi < mean.
Skala Ukur : Ordinal
2. Asupan Energi
Rata-rata konsumsi energi pada makan siang siswa-siswi
SD Plus Nurul Aulia selama 2 hari tidak berturut-turut dan
hasilnya dikonversikan dengan menggunakan nutrisurvey
dengan satuan energi (kkal).
Cara Pengukuran : Metode Penimbangan
Alat Ukur : Timbangan Digital
Hasil Pengukuran : - Baik : Jika energi dari
makanan yang dikonsumsi ≥ mean.
- Kurang : Jika energi dari makanan
yang dikonsumsi < mean.
31
Satuan : Persen (%)
Skala Ukur : Ordinal
3. Asupan Protein
Rata-rata konsumsi protein pada makan siang siswa-siswi
SD Plus Nurul Aulia selama 2 hari tidak berturut-turut dan
hasilnya dikonversikan dengan menggunakan nutrisurvey
dengan satuan protein (gram).
Cara Pengukuran : Metode Penimbangan
Alat Ukur : Timbangan Digital
Hasil Pengukuran : - Baik : Jika protein dari
makanan yang dikonsumsi ≥ mean.
- Kurang : Jika protein dari makanan
yang dikonsumsi < mean.
Satuan : Persen (%)
Skala Ukur : Ordinal
3.3 Hipotesis
a. Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi
dengan asupan energi pada makan siang siswa - siswi SD Plus
Nurul Aulia
32
b Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi
dengan asupan protein pada makan siang siswa - siswi SD Plus
Nurul Aulia.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Disain Penelitian
Desain yang akan digunakan adalah Cross-sectional karena
variabel independen dan dependen diteliti dalam satu periode waktu yang
bersamaan.
4.2 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan bulan
April 2011. Penelitian bertempat di SD Plus Nurul Aulia yang beralamat di
jalan Sukarasa No. 8 Citeureup Cimahi Utara.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SD Plus Nurul
Aulia. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Purposive Sampling
yang terdiri dari siswa kelas 4 dan kelas 5 yang mendapatkan makan
siang dan bersedia menjadi sampel. Jumlah siswa kelas 4 dan 5 yang
mendapatkan makan siang adalah 62 orang, terdiri dari :
33
33
kelas 4 = 31 orang siswa
kelas 5 = 31 orang siswa
Besar sampel yang diambil menggunakan rumus besar sampel yaitu:
21 dN
Nn
Keterangan:
N = 62 besar populasi
n = 39 besar sampel
d = tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan 90% (α =
0,1)
(Notoatmojo, 2002).
Dari seluruh siswa kelas 4 dan 5 yang berjumlah 62 orang, dengan
menggunakan rumus diatas maka diperoleh sampel sebanyak 39 orang,
yang terdiri dari :
Kelas 4 = 20 orang siswa
Kelas 5 = 19 orang siswa
Penetapan sampel dilakukan dengan cara Systematic Random
Sampling.
4.4 Jenis dan Cara pengumpulan Data
4.4.1 Jenis Data
34
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi
data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data karakteristik sampel yang meliputi nama, umur, jenis
kelamin dan kelas.
Gambaran mengenai sistem penyelenggaraan makanan di
SD Plus Nurul Aulia, meliputi siklus menu, pola menu, cara
pemberian makan siang, jam distribusi makanan, standar
porsi, dan harga hidangan.
Daftar harga bahan makanan yang digunakan untuk menu
makan siang.
Jumlah makanan yang disajikan kepada sampel dan
jumlah makanan yang dikonsumsi oleh sampel.
Asupan energi dari makan siang yang dikonsumsi oleh
sampel.
Asupan protein dari makan siang yang dikonsumsi oleh
sampel.
Biaya bahan makanan yang dikonsumsi.
b. Data Sekunder
Data mengenai gambaran umum SD Plus Nurul Aulia yang
meliputi latar belakang, struktur organisasi, dan jumlah siswa.
4.4.2 Cara Pengumpulan Data
a. Data Primer
35
Data karakteristik sampel yang meliputi nama, umur, jenis
kelamin dan kelas diperoleh melalui metode wawancara dengan
menggunakan kuesioner.
Gambaran mengenai sistem penyelenggaraan makanan di SD
Plus Nurul Aulia, meliputi siklus menu, pola menu, cara
pemberian makan siang, jam distribusi makanan, standar porsi,
dan harga hidangan diperoleh melalui metode wawancara
dengan menggunakan kuesioner.
Data makan siang diperoleh dari rata-rata makan siang selama 2
hari tidak berturut-turut karena dapat menggambarkan secara
keseluruhan, bukan menu pilihan saja. Data makan siang yang
dikonsumsi diperoleh dari hasil penimbangan berat awal
dikurangi berat sisa hidangan dengan menggunakan timbangan
digital elektrik dengan ketelitian 0.1 gram dan kapasitas 5000
gram, maka diperoleh makanan yang dikonsumsi. Persentase
Makanan Yang Dikonsumsi Diperoleh dari hasil perhitungan
sebagai berikut ;
Asupan energi dari hasil penimbangan makan siang yang
dikonsumsi diperoleh dari hasil perhitungan dengan
mengkonversikan makanan yang dikonsumsi dengan
menggunakan nutrisurvey dengan satuan Energi (kkal).
Asupan protein dari hasil penimbangan makan siang yang
dikonsumsi diperoleh dari hasil perhitungan dengan
mengkonversikan makanan yang dikonsumsi dengan
menggunakan nutrisurvey dengan satuan Protein (gram).
36
Biaya bahan makanan yang dikonsumsi diperoleh dari
penimbangan berat awal dikurangi berat sisa hidangan.
Penimbangan dikelompokkan menurut tiap jenis bahan makanan
dan dikonversikan ke dalam biaya makanan. Biaya tiap jenis
bahan makanan yang dikonsumsi dijumlahkan dan dibandingkan
dengan biaya standar bahan makanan.
b. Data Sekunder
Data mengenai gambaran umum SD Plus Nurul Aulia yang
meliputi latar belakang, struktur organisasi, dan jumlah siswa
didapat dari profil sekolah ke bagian tata usaha sekolah.
4.5 Pengolahan dan Analisa Data
4.5.1 Pengolahan data
Pengolahan data ini menggunakan program SPSS versi 13.0
for Windows.
a. Data umum sampel :
Jenis kelamin dikelompokkan menjadi laki - laki dan
perempuan.
Kelas dikelompokkan menjadi kelas 4 dan kelas 5.
b. Data biaya bahan makanan yang dikonsumsi,
dikelompokkan menjadi :
Baik :Jika biaya bahan makanan yang dikonsumsi ≥
mean.
Kurang :Jika biaya bahan makanan yang dikonsumsi <
mean.
c. Data asupan energi dikelompokkan menjadi :
37
Baik : Jika energi dari makanan yang dikonsumsi ≥
mean.
Kurang: jika energi dari makanan yang dikonsumsi <
mean.
d. Data asupan protein dikelompokkan menjadi :
Baik : Jika protein dari makanan yang dikonsumsi ≥
mean.
Kurang: jika protein dari makanan yang dikonsumsi <
mean.
4.5.2 Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan
komputer dengan program SPSS 13.0 For Windows dan
sebelum dianalisis dilakukan tabulasi lalu dianalisis secara
deskriptif. Analisis meliputi :
a. Analisa Univariat
1. Gambaran karakteristik sampel yang meliputi umur
dan jenis kelamin
2. Biaya bahan makanan yang dikonsumsi
3. Asupan energi dan protein
b. Analisa Bivariat
Untuk menguji hubungan antara biaya makanan yang
dikonsumsi dengan asupan energi dan protein pada
makan siang siswa, digunakan analisa bivariat dengan uji
statistik chi-square (X2) dengan tingkat kepercayaan 95%
(α = 0,05)
38
B
ji
K
j Eij
EijOijX
1
2
2
Rumus Chi-square
Keterangan:
X2 = Nilai Chi-square
B = Baris
K = Kolom
Oij = frekuensi teramati pada sel baris ke-I dan kolom ke-j
Eij = frekuensi harapan pada sel baris ke-I dan kolom ke-j
Dengan kriteria uji
Db = (B-1) (K-1) α = 0,05
Jika p value ≤ α maka Ho ditolak = bermakna
Jika p value > α maka Ho diterima = tidak bermakna
(Notoatmojo, 2002).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia (SDPNA)
Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia yang beralamat di jalan
Sukarasa No. 8 Citeureup Cimahi Utara ini, berdiri pada tahun 2003
di bawah naungan Yayasan Nurul Aulia. SD Plus Nurul Aulia didirikan
atas dasar keinginan untuk membuat sebuah sekolah Islami yang
39
berkualitas tinggi. Pendiri yayasan adalah Bapak H. Aga Sumarga,
sedangkan ketua yayasan dipimpin oleh Ibu Hj. Noermaliah A.
Sumarga. Generasi yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia serta
menjunjung tinggi nama baik Islam merupakan cita-cita pendiri dan
ketua yayasan ini.
SD Plus Nurul Aulia berupaya mengutamakan Program Peduli
Lingkungan pada semua siswa-siswi serta semua civitas sekolah.
Program kebersihan dimulai dari membuang sampah pada tempat
sampah yang unik agar siswa-siswi nya lebih termotivasi dalam
menjaga kebersihan, hingga ruangan kelas yang selalu dibersihkan
oleh siswa yang bertugas piket.
Kegiatan belajar dimulai setiap pukul 07.00 selama 5 hari dari
Senin hingga Jumat. Untuk kelas 1 dan 2 pulang pukul 14.00 WIB
dengan istirahat 1 x mulai pukul 10.25 selama 30 menit sedangkan
kelas 3 sampai dengan kelas 6 pulang pukul 14.30 WIB dengan 2 x
istirahat, yaitu istirahat pagi pukul 09.45 dan istirahat makan siang
pukul 11.30 WIB – 12.30 WIB.
Jumlah siswa Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia kelas 4 dan 5
berjumlah 117 orang, sedangkan siswa yang mengikuti makan siang
di kantin berjumlah 62 orang. Jumlah tenaga pengajar dan staff tata
usaha berjumlah 33 orang dengan jenjang pendidikan SMA sebanyak
1 orang dan S1 sebanyak 32 orang.
Fasilitas yang ada di Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia terbilang
sangat lengkap, diantaranya kantor, perpustakaan, ruang belajar,
lapangan olahraga, lapangan outbond, kantin, laboratorium, toilet,
mushola, ruang ekstrakurikuler.
40
40
5.2 Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan Di Sekolah Dasar
Plus Nurul Aulia.
Penyelenggaraan makan siang di SD Plus Nurul Aulia
dilaksanakan oleh pihak kedua (outsourcing), pihak sekolah hanya
memfasilitasi tempat yaitu kantin. SD Plus Nurul Aulia memiliki dua
kantin. Kantin pertama biasa disebut Kantin “Annisa” melayani makan
siang untuk kelas 1,2,3,dan 6 yang sifatnya wajib. Kantin kedua
disebut Kantin “Outbond” bersifat tidak wajib dan hanya melayani
makan siang bagi siswa kelas 4 dan 5 yang ikut makan saja. Letak
kantin “Outbond” berdekatan dengan lapangan outbond di belakang
sekolah.
Kantin “Outbond” yang berdiri sejak tahun 2007 memiliki
ketenagaan sebanyak 5 orang terdiri dari 1 orang kepala katering dan
4 orang pegawai yang bertugas belanja bahan makanan, mengolah
makanan, distribusi hidangan hingga sanitasi alat dan ruangan. Dalam
penyelenggaraannya tidak terdapat seorang ahli gizi, begitu juga
dengan kepala katering dan pegawainya tidak mempunyai latar
belakang pendidikan di bidang gizi. Kelengkapan dapur dan alat
hidang sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari alat hidangnya yaitu
berupa plato. Kebersihan dapur pun sangat baik dan sudah tertata
rapih setiap alat yang akan digunakan.
Biaya makan siang yaitu sebesar Rp 6.500,00/hari. Siswa kelas
4 dan 5 yang terdaftar ikut makan sejumlah 62 orang, tetapi pihak
kantin selalu menyediakan 65 porsi/hari karena ada beberapa siswa
yang ikut makan mendadak dan bayarnya pun mendadak di kantin.
Secara formal pembayaran biaya makan siang dilakukan sebulan
sekali. Waktu penyelenggaraan makan siang di Kantin “Outbond”
dimulai pukul 11.30 – 12.30 WIB.
41
Siklus menu yang digunakan adalah siklus menu 10 hari dan
masih mengikuti siklus menu dari Kantin “Annisa” yang pemiliknya
merupakan adik kandung dari pemilik kantin “Outbond”. Pola menu di
kantin “Outbond” sering berubah-ubah, dan tidak pernah terdapat pola
menu yang lengkap karena menu terkadang disesuaikan dengan
permintaan siswa agar tidak bosan. Pola menu yang baik dan lengkap
terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah.
Pada kenyataannya, pola menu di Kantin “Outbond” hanya
terdiri dari makanan pokok, lauk hewani dan sayur, sedangkan lauk
nabati dan buah jarang sekali dihidangkan. Hal ini terlihat dari menu
yang terpilih pada saat penelitian yaitu menu pada tanggal 5 April
2011 (nasi, telur balado, soto Bandung) dan menu 7 April 2011 (nasi,
ayam goreng, tempe goreng, sayur asem). Kantin “Outbond” tidak
memiliki standar makanan dan standar bumbu yang tertulis, hanya
sesuai pengalaman saja dan terkadang porsi tiap hidangan terlampau
jauh berbeda.
Menu pada tanggal 7 April 2011 sudah sesuai dengan menu
yang tertulis. Sedangkan menu pada tanggal 5 April 2011 sedikit
berbeda dengan menu, yaitu pada hidangan lauk hewani, yang tertulis
di menu adalah Telur Balado tetapi yang disajikan adalah Telur
Ceplok Balado. Perbedaan bentuk telur yang disajikan bertujuan agar
menu lebih bervariasi sehingga siswa tidak bosan dan diharapkan
menambah nafsu makan.
Pembelian bahan makanan segar dilakukan setiap hari dengan
cara langsung karena tidak mengalami proses penyimpanan tetapi
langsung dilakukan proses persiapan dan pengolahan. Pembelian
bahan makanan kering dan bumbu biasanya dilakukan di awal bulan
dan terkadang dalam waktu-waktu tertentu.
42
Persiapan dan pengolahan bahan makanan dilakukan oleh
orang yang sama, dimulai dari pukul 04.00 di rumah kepala katering
yang tidak jauh dari sekolah. Proses pengolahan lauk hewani, nabati
dan sayur dilakukan lebih siang sekitar pukul 09.00 dengan tujuan
hidangan masih dalam keadaan hangat saat didistribusikan karena
tidak tersedia alat penghangat hidangan.
Proses pendistribusian dilakukan sekitar pukul 11.00. Sistem
distribusi dilakukan secara desentralisasi, yaitu hidangan
didistribusikan ke kantin di bagian pantry untuk dilakukan pemorsian
hidangan ke dalam plato. Plato yang telah berisi makanan kemudian
dijajarkan dengan rapih di atas meja makan dan ditutupi dengan
palstik bening yang besar agar terhindar dari kontaminasi bakteri dan
debu.
Berdasarkan wawancara, kepala katering sering observasi
langsung saat penyelenggaraan makan dilakukan dengan tujuan
menjalin komunikasi dengan siswa sekaligus melakukan evaluasi
secara lisan terhadap hidangan yang disajikan. Beberapa siswa
terkadang memberikan ide mengenai menu yang akan dihidangkan.
Untuk evaluasi mengenai biaya makan siang, pihak kantin
sering mengadakan pertemuan dengan para orang tua siswa
sekaligus mengevaluasi kualitas hidangan serta pelayanan yang
diberikan.
5.3 Karakteristik Sampel
Pada penelitian ini sampel adalah siswa kelas 4 dan 5 SDPNA
yang mendapat makan siang, sampel yang diambil sebanyak 39
siswa dari keseluruhan sebanyak 62 siswa. Dari hasil penelitian,
diperoleh data karakteristik siswa yang dapat dilihat pada tabel 5.1.
43
TABEL 5.1
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL
BERDASARKAN JENIS KELAMIN SISWA KELAS 4 DAN 5
SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 27 69,2
Perempuan 12 30,8
Total 39 100,0
Berdasarkan tabel diatas dari 39 sampel diperoleh data jumlah
sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 27 orang siswa
(69,2%). Jumlah sampel laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah sampel perempuan dikarenakan siswa di SD Plus Nurul Aulia
didominasi oleh siswa laki-laki yang berjumlah 202 orang, sedangkan
siswa perempuan hanya berjumlah 155 orang.
TABEL 5.2
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL
BERDASARKAN KELOMPOK USIA SISWA KELAS 4 DAN 5
SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Usia n %
< 10 Tahun 9 23,1
≥ 10 Tahun 30 76,9
Total 39 100,0
Berdasarkan tabel diatas dari 39 sampel diperoleh data jumlah
sampel dengan kelompok usia ≥ 10 tahun sebanyak 30 orang
(76,9%). Sedangkan jumlah sampel dengan kelompok usia < 10 tahun
sebanyak 9 orang ( 23,1%). Pengelompokkan usia dilakukan untuk
memudahkan dalam perhitungan kecukupan zat gizi berdasarkan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2005.
44
TABEL 5.3
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL
BERDASARKAN KELAS SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI
TAHUN 2011
Kelas n %
Kelas 4 20 51,3
Kelas 5 19 48,7
Total 39 100,0
Berdasarkan tabel diatas dari 39 sampel diperoleh data jumlah
sampel dari siswa kelas 4 sebanyak 20 orang (51,3%). Sedangkan
jumlah sampel dari kelas 5 sebanyak 19 orang (48,7%). Jumlah
sampel yang hampir sama dari masing-masing kelas disebabkan
karena jumlah siswa dari kelas 4 dan 5 yang mengikuti makan di
kantin sebanyak 62 orang yang terdiri dari kelas 4 sebanyak 31 orang
dan kelas 5 sebanyak 31 orang.
5.4 Asupan Energi dari Makan Siang
Asupan energi yang dikonsumsi dari makan siang yang
diselenggarakan di SDPNA dikumpulkan selama 2 hari tidak berturut-
turut. Distribusi frekuensi asupan energi dapat diihat pada tabel 5.4.
TABEL 5.4
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL
BERDASARKAN ASUPAN ENERGI SISWA KELAS 4 DAN 5
SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Kategori Asupan Energi
45
n % Kurang 18 46,2
Baik 21 53,8
Total 39 100,0
Dari tabel diatas, dari 39 sampel dapat dilihat bahwa asupan
energi baik sebanyak 21 sampel (53,8%) dan dikategorikan kurang
sebanyak 18 sampel (46,2%). Asupan energi terendah yaitu sebesar
153,95 kkal (49,1% dari rata-rata ketersediaan energi 313,25 kkal).
Sedangkan asupan energi tertinggi yaitu sebesar 264,55 kkal (84,5%
dari rata-rata ketersediaan energi 313,25 kkal). Jika dibandingkan
dengan AKG, asupan energi tertinggi hanya 45,8% dari 577,5 kkal.
Hal ini berarti asupan energi pada sampel tidak dapat memenuhi
kecukupan energi pada makan siang.
Masukan makanan yang baik akan sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Usia anak-anak yang
khususnya pada usia sekolah dasar sangat rawan terhadap
kekurangan zat-zat gizi terutama dari konsumsi makan yang kurang
baik. Makanan yang mereka konsumsi harus mengandung cukup gizi
dan zat-zat yang penting lainnya (Pergizi Pangan Indonesia, 1996).
Asupan energi dan zat gizi yang baik akan membentuk anak
memiliki kebiasaan makan yang baik dan berpartisipasi dalam
aktivitas olahraga secara teratur guna mencapai perkembangan fisik
dan kognitif yang optimal, berat badan normal, menikmati makanan,
dan menurunkan risiko menderita penyakit kronis dan mampu berpikir
serta berpastisipasi penuh dalam proses belajar (Muhilal, 2006).
Dari hasil wawancara, hampir seluruh siswa melakukan
sarapan pagi sebelum berangkat sekolah, seperti nasi lengkap
dengan lauk pauk, nasi goreng, nasi kuning, mi, susu, gorengan, dan
lain-lain. Selain sarapan pagi, siswa pun jajan di kantin pada saat jam
46
istirahat pagi sekitar pukul 10.00, dengan bentuk jajanan seperti
lumpia, gorengan, makanan dan minuman ringan lainnya.
Hal ini mempengaruhi asupan makan siang siswa sehingga
terdapat beberapa siswa yang tidak menghabiskan hidangan yang
disajikan, bahkan ada yang tidak memakan hidangan sama sekali.
Sebanyak 6 sampel (15,3%) tidak mengonsumsi lobak dan tetelan
daging sapi pada soto Bandung, 4 sampel (10,2%) tidak
mengonsumsi telur balado, 1 sampel (2,5%) tidak mengonsumsi ayam
goreng, dan 12 sampel (30,7%) tidak mengonsumsi tempe goreng.
5.5 Asupan Protein dari Makan Siang
Asupan protein yang dikonsumsi dari makan siang yang
diselenggarakan di SDPNA dikumpulkan selama 2 hari tidak berturut-
turut. Distribusi frekuensi asupan energi dapat diihat pada tabel 5.5.
TABEL 5.5
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL
BERDASARKAN ASUPAN PROTEIN SISWA KELAS 4 DAN 5
SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Kategori Asupan Protein
n %
47
Kurang 21 53,8
Baik 18 46,2
Total 39 100,0
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 39 sampel sebanyak
18 sampel (46,2%) asupan proteinnya baik dan 21 sampel (53,8%)
memiliki asupan protein kurang. Asupan protein terendah yaitu
sebesar 6,85 gram (59,6% dari rata-rata ketersediaan protein 11,5
gram). Sedangkan asupan protein tertinggi yaitu sebesar 13,7 gram
(119,1% dari rata-rata ketersediaan protein 11,5 gram). Jika
dibandingkan dengan AKG, asupan protein tertinggi hanya 96,2% dari
14,25 gram. Hal ini berarti asupan protein pada sampel tidak dapat
memenuhi kecukupan protein pada makan siang.
Perlu diperhatikan bahwa selain energi, protein juga penting
untuk pertumbuhan. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan
merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai
fungsi khas yang tak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier,
2004).
Asupan energi makanan yang kurang, belum tentu asupan
proteinnya pun kurang. Namun jika asupan protein yang dikonsumsi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan berarti makanan yang
dikonsumsi tidak cukup memberikan energi (Almatsier, 2005).
Dari hasil wawancara, hampir seluruh siswa melakukan
sarapan pagi sebelum berangkat sekolah, seperti nasi lengkap
dengan lauk pauk, nasi goreng, nasi kuning, mi, susu, gorengan, dan
lain-lain. Selain sarapan pagi, siswa pun jajan di kantin pada saat jam
istirahat pagi sekitar pukul 10.00, dengan bentuk jajanan seperti
lumpia, gorengan, makanan dan minuman ringan lainnya.
48
Hal ini mempengaruhi asupan makan siang siswa sehingga
terdapat beberapa siswa yang tidak menghabiskan hidangan yang
disajikan, bahkan ada yang tidak memakan hidangan sama sekali.
Sebanyak 6 sampel (15,3%) tidak mengonsumsi lobak dan tetelan
daging sapi pada soto Bandung, 4 sampel (10,2%) tidak
mengonsumsi telur balado, 1 sampel (2,5%) tidak mengonsumsi ayam
goreng, dan 12 sampel (30,7%) tidak mengonsumsi tempe goreng.
5.6 Kecukupan Gizi berdasarkan AKG, Ketersediaan Zat Gizi, dan
Rata-rata Asupan dari Makan Siang
Kecukupan gizi makan siang didapat dari 30 % AKG tahun
2005. Rata-rata asupan dan ketersediaan zat gizi dari menu yang
disajikan didapat selama 2 hari tidak berturut-turut, dapat diihat pada
tabel 5.6.
TABEL 5.6
KECUKUPAN GIZI, KETERSEDIAAN ZAT GIZI, DAN RATA-RATA
ASUPAN MAKAN SIANG PADA SISWA KELAS 4 DAN 5
DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Pada tabel diatas dapat dilihat rata-rata asupan energi sebesar
212,17 kkal (67,73%) dibandingkan dengan ketersediaan zat gizi.
Rata-rata asupan protein sebesar 10,17 gr (88,43%) dibandingkan
dengan rata-rata ketersediaan zat gizi protein. Sedangkan jika
dibandingkan dengan AKG, rata-rata ketersediaan energi hanya
54,2% dan rata-rata asupan energi hanya 36,7%. Rata-rata
Asupan Zat Gizi Kecukupan 30 % AKG
Rata-rata ketersediaan
Rata-rata Asupan
Asupan Energi 577,5 kkal 313,25 kkal 212,17 kkal
Asupan Protein 14,25 gr 11,5 gr 10,17 gr
49
ketersediaan protein hanya 80,7% dan rata-rata asupan protein hanya
71,4%.
Rata-rata asupan yang kurang dari AKG dan tidak mencapai
100% dari rata-rata ketersediaan zat gizi bisa disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya karena kondisi siswa masih dalam
keadaan kenyang saat jam makan siang. Hal ini menyebabkan
menurunnya nafsu makan siswa yang berakibat pada asupan energi
dan protein yang kurang saat makan siang.
Tolak ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
mean, tidak menggunakan AKG. Jika menggunakan AKG, maka data
yang dihasilkan homogen karena rata-rata ketersediaan zat gizi
makan siangnya pun tidak mencukupi dari kecukupan zat gizi makan
siang sebesar 30% AKG. Penggunaan mean membuat data menjadi
variatif dan bisa dikategorikan menjadi baik dan kurang saat proses
pengolahan data. Namun tolak ukur yang baik untuk kecukupan gizi
pada realitanya harus berdasarkan AKG.
5.7 Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
Biaya merupakan pengorbanan yang diukur dalam satuan uang
untuk mencapai tujuan tertentu untuk memperoleh / memproduksi
barang / jasa tertentu. Biaya bahan makanan merupakan salah satu
biaya yang dikeluarkan oleh konsumen untuk mendapatkan kualitas
makanan yang baik, baik gizinya atau pun penampilan dan
sanitasinya. Untuk itulah diperlukan rancangan anggaran yang tepat
sesuai dengan kecukupan gizi konsumen. Jika harga yang ditawarkan
sesuai, maka konsumen pun akan mendapatkan kepuasan dari
pelayanan yang diberikan (Depkes, 1991).
50
TABEL 5.7
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN
BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI SISWA KELAS 4 DAN
5 DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Kategori N %
Baik 17 43,6
Kurang 22 56,4
Total 39 100
Berdasarkan tabel diatas, biaya bahan makanan yang
dikonsumsi, dari 39 sampel, 22 sampel (56,4%) termasuk kedalam
kategori kurang. Sedangkan yang termasuk dalam kategori baik
sebanyak 17 sampel (43,6%).
Biaya bahan makanan awal rata-rata per hari adalah Rp
2742,00. Biaya didapat dari hasil perhitungan perkiraan biaya belanja
yang dikeluarkan untuk membeli bahan makanan dan bumbu yang
digunakan dalam 1 porsi, untuk membuat menu pada saat 2 hari
penelitian dan kemudian dirata-ratakan.
Menurut teori, biaya bahan makanan minimal sebesar 40%
(Mukrie, 1990) dari biaya makan siang adalah sebesar Rp 2600,00.
Jika dibandingkan dengan biaya bahan makanan awal rata-rata per
hari Rp 2742,00, maka biaya bahan makanan yang dikeluarkan oleh
pihak katering sudah baik. Namun jika dibandingkan dengan biaya
bahan makanan awal pada hari ke 1, yaitu Rp 2009,00, termasuk
kurang baik karena persentasenya kurang dari 40%. Hal ini
dikarenakan adanya pengurangan besar porsi dari setiap hidangan
dengan alasan agar hidangan tidak mubajir karena sebelumnya terjadi
banyak sisa pada makan siang. Sedangkan biaya bahan makanan
awal pada hari ke 2, yaitu Rp 3474,00, sudah termasuk baik.
51
Rata-rata biaya makanan yang dikonsumsi Rp 1833,62 (66,9%)
dari harga biaya bahan makanan awal rata-rata perhari yaitu Rp
2742,00 (44,2% dari harga makan siang Rp 6500,00). Biaya bahan
makanan minimal yang dikonsumsi yaitu Rp 1174,00 (42,8% dari
biaya bahan makanan awal rata-rata per hari Rp. 2742,00),
sedangkan biaya bahan makanan terbesar yang dikonsumsi sebesar
Rp 2302,00 (84,1% dari biaya bahan makanan awal rata-rata per hari
Rp. 2742,00).
Biaya bahan makanan terbesar yang dikonsumsi tidak
mencapai 100% dari biaya bahan makanan awal rata-rata per hari
menandakan sampel sebagai konsumen, mengalami kerugian dari
uang yang mereka keluarkan untuk membayar 1x makan siang. Hal ini
berdampak pada ketersediaan zat gizi yang tidak dapat mencukupi
kebutuhan konsumen. Menurut perhitungan teori, biaya bahan
makanan sebesar Rp 2600,00 dari biaya makan siang Rp 6500,00
sudah dapat mencukupi kebutuhan zat gizi sesuai AKG, yaitu energi
577,5 kkal dan protein 14,25 g. Namun pada kenyataannya, dari biaya
bahan makanan awal rata-rata per hari sebesar Rp 2742,00 hanya
memiliki rata-rata ketersediaan zat gizi yang kurang dari AKG, yaitu
energi 313,25 kkal dan protein 11,5 g.
5.8 Hubungan antara Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
dengan Asupan Energi
Biaya bahan makanan yang sesuai dengan fasilitas yang
diberikan, salah satunya zat gizi, merupakan tujuan dari suatu
penyelenggaraan makanan institusi yang baik. Semakin besar biaya
bahan makanan dari hidangan yang disajikan, seharusnya semakin
tinggi juga kandungan zat gizi yang bermanfaat bagi konsumen
(Mukrie, 1990).
52
TABEL 5.8
HUBUNGAN ANTARA BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI
DENGAN ASUPAN ENERGI SISWA KELAS 4 DAN 5
DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
Biaya
Asupan Energi Total
Kurang Baik
N % n % n %
Kurang 16 72,7 6 27,3 22 100
Baik 2 11,8 15 88,2 17 100
Total 18 46,2 21 53,8 39 100
Berdasarkan tabel diatas, dari 39 sampel, sebanyak 16 sampel
(72,7%) termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang
dikonsumsi kurang dengan kategori asupan energi kurang, sedangkan
untuk kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi kurang dengan
asupan energi baik sebanyak 6 sampel (27,3%). Sedangkan yang
termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi
baik tetapi asupan energi kurang sebanyak 2 sampel (11,8%),
sedangkan biaya bahan makanan yang dikonsumsi baik dengan
asupan energi baik sebanyak 15 sampel (88,2%).
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Chi Square
didapat bahwa nilai p= 0,001 < α (0,05) dengan tingkat kepercayaan
95%. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara biaya bahan
makanan yang dikonsumsi dengan asupan energi.
Adanya hubungan dari hasil uji yang dilakukan sesuai dengan
tujuan dari diadakannya penyelenggaraan makanan institusi, yaitu
memberikan biaya hidangan yang sesuai dengan fasilitas yang
diberikan. Banyaknya makanan yang dikonsumsi dari hidangan yang
disajikan menimbulkan besarnya pula biaya bahan makanan yang
dikonsumsi dan asupan energi. Kandungan energi dari bahan
makanan yang mencukupi kebutuhan konsumen merupakan hal yang
53
mutlak harus dipenuhi oleh penyelenggara makanan karena
konsumen telah mengeluarkan biaya untuk membeli makanan dengan
harapan mendapatkan kepuasan dan memenuhi kebutuhan
energinya (Mukrie, 1990).
Namun pada kenyataannya jumlah makan siang yang
dikonsumsi sebagian besar tergolong kurang baik sehingga
mengakibatkan biaya yang telah dikeluarkan untuk membeli hidangan
tersebut tidak sesuai dengan apa yang didapatkan, dari segi
kepuasan atau pun kecukupan zat gizi. Hal ini tentu saja tidak sesuai
dengan tujuan dari diadakannya penyelenggaraan makanan institusi
di sekolah.
5.9 Hubungan antara Biaya Bahan Makanan yang Dikonsumsi
dengan Asupan Protein
Salah satu zat gizi penting yang dibutuhkan dalam usia sekolah
dasar adalah protein. Penyelenggaraan makan di institusi sekolah
bertujuan untuk dapat mencukupi kebutuhan zat gizi siswa. Asupan
protein yang mencukupi kebutuhan akan menguntungkan siswa dan
pihak sekolah karena akan menghasilkan siswa yang berprestasi
(Mukrie, 1990).
TABEL 5.9
HUBUNGAN ANTARA BIAYA BAHAN MAKANAN YANG DIKONSUMSI
DENGAN ASUPAN PROTEIN SISWA KELAS 4 DAN 5
DI SD PLUS NURUL AULIA CIMAHI TAHUN 2011
54
Biaya
Asupan Protein Total
Kurang Baik
N % n % n %
Kurang 19 86,4 3 13,6 22 100
Baik 2 11,8 15 88,2 17 100
Total 21 53,8 18 46,2 39 100
Berdasarkan tabel diatas, dari 39 sampel, sebanyak 19 sampel
(86,4%) termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan yang
dikonsumsi kurang dengan kategori asupan protein kurang,
sedangkan untuk kategori biaya bahan makanan yang dikonsumsi
kurang dengan asupan protein baik sebanyak 3 sampel (13,6%).
Sedangkan yang termasuk kedalam kategori biaya bahan makanan
yang dikonsumsi baik tetapi asupan protein kurang sebanyak 2
sampel (11,8%), sedangkan biaya bahan makanan yang dikonsumsi
baik dengan asupan protein baik sebanyak 15 sampel (88,2%).
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan Uji Chi Square
didapat bahwa nilai p= 0,000 < α (0,05) dengan tingkat kepercayaan
95%, hal ini menunjukan adanya hubungan antara biaya bahan
makanan yang dikonsumsi dengan asupan protein.
Protein yang merupakan salah satu zat gizi penting bagi
pertumbuhan usia sekolah dasar diharapkan dapat terpenuhi lewat
hidangan yang disajikan oleh penyelenggara makanan institusi di
sekolah. Biaya bahan makanan dengan jenis protein tinggi terbilang
cukup mahal diantara bahan makanan lainnya, sehingga terkadang
harga hidangan menjadi mahal. Menu yang bervariasi dan bergizi
dalam penyelenggaraan makanan di sekolah diharapkan dapat
meningkatkan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh siswa, sehingga
terjadi keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dengan asupan
protein yang dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Mukrie, 1990).
BAB VI
55
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Penyelenggaraan makan siang di SDPNA dikelola oleh pihak kedua
(outsourcing).
2. Siswa laki laki sebanyak 27 orang (69,2%) dan siswa perempuan
sebanyak 12 orang (30,8%). Sedangkan siswa yang berumur < 10
tahun sebanyak 9 orang (23,1 %) dan sisanya berumur ≥ 10 tahun
sebanyak 30 orang (76,9%).
3. Asupan energi baik sebanyak 21 sampel (53,8%) dan dikategorikan
kurang sebanyak 18 sampel (46,2%). Rata-rata asupan energi dari
makanan yang dikonsumsi 212,17 kkal (67,73%).
4. Asupan protein baik sebanyak 18 sampel (46,2%) dan
dikategorikan kurang sebanyak 21 sampel (53,8%). Rata-rata
asupan protein dari makanan yang dikonsumsi 10,17 gr (88,43%).
5. Biaya bahan makanan yang dikonsumsi termasuk dalam kategori
baik sebanyak 17 sampel (43,6%) dan dikategorikan kurang
sebanyak 22 sampel (56,4%).
6. Rata-rata biaya bahan makanan yang dikonsumsi Rp 1833,62
(66,9%) dari harga biaya bahan makanan awal rata-rata perhari
yaitu Rp 2742,00.
7. Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi
dengan asupan energi pada sampel dimana nilai p<α dengan
p=0,001 dan α=0,05.
8. Ada hubungan antara biaya bahan makanan yang dikonsumsi
dengan asupan protein pada sampel dimana nilai p<α dengan
p=0,000 dan α=0,05.
6.2 Saran
57
56
1. Perlunya peran ahli gizi dalam proses penyelenggaraan makanan
institusi di sekolah.
2. Membuat standar makanan dan standar bumbu secara tertulis
sehingga ada kontrol dan evaluasi dari pihak sekolah kepada pihak
catering, terkait dengan penggunaan dana agar ada kesesuaian
antara dana dengan standar makanan.
3. Mengontrol kebiasaan jenis jajanan siswa pada saat istirahat pagi
sehingga tidak dalam keadaan kenyang saat makan siang.
4. Perlu pengkajian ulang lebih rutin mengenai besar porsi dan variasi
bahan makanan yang digunakan agar pelayanan menjadi lebih baik
lagi.
5. Hasil evaluasi penyelenggaraan makan siang, lebih ditindak lanjut
lagi oleh pihak katering.
DAFTAR PUSTAKA
Tsauri, H.Soefjan, dkk. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Departemen Kesehatan RI. 1991. Pedoman Pengelolaan Makanan bagi
Pekerja. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Karyadi, Darwin dan Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Pergizi Pangan Indonesia. 1996. Peran Pangan dan Gizi dalam
Menyongsong Era Globalisasi. Surabaya: Pergizi Pangan Indonesia.
57
Mukrie, A. Nursiah, dkk. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar.
Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat.
Notoatmodjo, Dr. Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Menteri Kesehatan RI. 2005. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi
Bangsa Indonesia. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.
Santoso, Soegeng dan Anne. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Almatsier, Sunita. 2005. Penuntun Diet edisi baru Instalansi Gizi Perjan
RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia.
Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Mukrie, Nursiah A. 1990. Managemen Pelayanan Gizi Lanjut. Jakarta:
Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat bekerjasama
dengan Akademi Gizi DepKes RI.
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta:
EGC.
Damayanti, Didit dan Muhilal. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam
Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Primedia Pustaka.
Muhilal. 2006. Gizi Seimbang untuk Anak Usia Sekolah Dasar dalam
Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia.
Jakarta: PT Primamedia Pustaka.
58
Graimes, Nicola. 2005. Brain Foods for Kids. Jakarta: Erlangga.
Sulastiyono, Agus. 1999. Manajemen Penyelenggaraan Hotel. Bandung:
CV Alfabeta.
Depkes RI. 2006. Pedoman PGRS Pelayanan Gizi Rumah Sakit.
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Laksono, Lukman. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Bandung: PT
Alumni.
Departemen Kesehatan RI. 1991. Menyusun Menu Makanan Karyawan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Puckett, Ruby P. 2004. Food Service Manual for Health Care
Institutions.third edition. USA : AHA Press.
Munawar, Asep Ahmad. 2007. “ PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN
BIAYA MAKAN PASIEN BERBASIS TARIF PELAYANAN MAKANAN
DI RSUP DR HASAN SADIKIN BANDUNG” dalam Makalah PIN ke-3
“PERAN AHLI GIZI DALAM KELANGSUNGAN HIDUP MANUSIA”
Simposia 6. Halaman 1 – 21 .
Devi. Dalam Karya Tulis Ilmiah “Hubungan Cita Rasa Makanan dengan
Asupan Energi dan Protein Makan Siang Siswa Kelas 4 dan 5
Sekolah Dasar Plus Nurul Aulia Cimahi Tahun 2010”. Politeknik
Kesehatan Bandung Departemen Kesehatan Jurusan Gizi: Bandung:
Tahun 2010.