bab i pendahuluan repaired (1)

26
i MAKALAH TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL TEORI INJEKSI DAN JURNAL INTERNASIONAL : INJEKSI NATRIUM DIKLOFENAK” Disusun oleh : Tanti Tri Utami (A1131011) Unggyan Ningsih (A1131015) Setiawan Kurniawati (A1131018) AKADEMI FARMASI NUSAPUTERA SEMARANG DIPLOMA III 2014/2015

Upload: shrie-nurlyana-basry

Post on 09-Nov-2015

25 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

vb

TRANSCRIPT

  • i

    MAKALAH TEKNOLOGI SEDIAAN

    STERIL

    TEORI INJEKSI DAN JURNAL INTERNASIONAL : INJEKSI NATRIUM

    DIKLOFENAK

    Disusun oleh :

    Tanti Tri Utami (A1131011)

    Unggyan Ningsih (A1131015)

    Setiawan Kurniawati (A1131018)

    AKADEMI FARMASI NUSAPUTERA SEMARANG

    DIPLOMA III

    2014/2015

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat

    dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Teknologi Sediaan Steril

    dengan judul makalah Teori Injeksi dan Jurnal Internasional : Natrium

    Diklofenak dengan tepat waktu serta tanpa halangan apapun.

    Makalah Teknologi Sediaan Steril ini kami susun untuk memenuhi salah

    satu tugas wajib Teknologi Sediaan Steril.

    Kami menyadari bahwa dalam pelaksanaan penyusunan makalah ini tidak

    lepas dari bimbingan dan bantuan baik material maupun spiritual dari berbagai

    pihak. Oleh karena itu perkenankanlah kami menghaturkan terima kasih kepada:

    1. Nurista Dida A S.Farm.,Apt selaku dosen pengampu yang telah

    memberikan arahan dalam penyusunan makalah

    2. Segenap Keluarga

    3. Teman-teman Akfar Nusaputera Semarang

    4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu

    Tentunya makalah yang kami susun ini jauh dari sempurna. Semoga

    makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Seperti pribahasa Tak Ada Gading Yang

    Tak Retak oleh karena itu kami harap kritik dan saran yang membangun.

  • iii

    DAFTAR ISI

    MAKALAH TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL .............................................................................. i

    KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii

    DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii

    BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

    A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

    B. Tujuan ..................................................................................................................... 1

    BAB II STERILISASI ............................................................................................................... 2

    A. Pengertian ............................................................................................................... 2

    B. Tujuan Suatu Obat Dibuat Steril ............................................................................. 2

    C. Cara-Cara Sterilisasi Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV ................................. 2

    BAB III INJEKSI ..................................................................................................................... 4

    A. Pengertian ............................................................................................................... 4

    B. Macam-Macam Cara Penyuntikan .......................................................................... 5

    C. Susunan Isi ( Komponen ) Obat Suntik .................................................................... 6

    D. Cara Pembuatan Obat Suntik. ............................................................................... 12

    E. Pemeriksaan .......................................................................................................... 15

    F. Syarat - Syarat Obat Suntik ................................................................................... 18

    G. Penandaan menurut FI.ed.IV ................................................................................ 19

    H. Keuntungan dan Kerugian Bentuk Sediaan Injeksi.............................................. 19

    BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................................ 20

    A. Formulasi ............................................................................................................... 20

    B. Evaluasi Terhadap Produk Jadi .............................................................................. 20

    C. Komponen Terbaik ................................................................................................ 21

    BAB 1V PENUTUP .............................................................................................................. 22

    A. Kesimpulan ............................................................................................................ 22

    B. Saran ..................................................................................................................... 22

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Salah satu bentuk sediaan steril adalah injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa

    larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih

    dahulu sebelum digunakan yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau

    melalui kulit atau selaput lendir. Dimasukkan ke dalam tubuh dengan menggunakan alat suntik.

    Suatu sediaan parenteral harus steril karena sediaan ini unik yang diinjeksikan atau

    disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam kompartemen tubuh yang paling

    dalam. Sediaan parenteral memasuki pertahanan tubuh yang memiliki efesiensi tinggi yaitu kulit

    dan membran mukosa sehingga sediaan parenteral harus bebas dari kontaminasi mikroba dan

    bahan-bahan beracun dan juga harus memiliki kemurnian yang dapat diterima.

    B. Tujuan

    1. Memenuhi tugas wajib mata kuliah Teknologi Sediaan Steril

    2. Mengetahui pengertian sterilitas serta cara penyeterilan

    3. Mengetahui bentuk injeksi serta cara pembuatanya

    4. Membandingkan jurnal internasional injeksi dengan teori yang ada

  • 2

    BAB II STERILISASI

    A. Pengertian

    Steril adalah suatu keadaan dimana suatu zat bebas dari mikroba hidup, baik yang

    patogen (menimbulkan penyakit) maupun apatogen/non patogen (tidak menimbulkan penyakit),

    baik dalam bentuk vegetatif (siap untuk berkembang biak) maupun dalam bentuk spora (dalam

    keadaan statis,tidak dapat berkembangbiak, tetapi melindungi diri dengan lapisan pelindung yang

    kuat).

    Tidak semua mikroba dapat merugikan, misalnya mikroba yang terdapat dalam usus yang

    dapat membusukkan sisa makanan yang tidak diserap oleh tubuh. Mikroba yang patogen

    misalnya Salmonella typhosa yang menyebabkan penyakit typus.

    Sterilisasi adalah suatu proses untuk membuat ruangan/benda menjadi steril. Sedangkan

    sanitasi adalah suatu prosesuntuk membuat lingkungan menjadi sehat.

    B. Tujuan Suatu Obat Dibuat Steril

    Tujuan obat dibuat steril (seperti injeksi) karena berhubungan langsung dengan darah

    atau cairan tubuh dan jaringan tubuh lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap

    yang berada di saluran cerna/gastrointestinal, misalnya hati yang dapat berfungsi untuk

    menetralisir/menawarkan racun (detoksikasi=detoksifikasi).

    Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini tidak

    berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan steril atau tidak steril.

    Sediaan farmasi yang perlu disterilkan adalah obat suntik/injeksi, tablet implant, tablet

    hipodermik dan sediaan untuk mata seperti tetes mata/ guttae ophth, cuci mata/collyrium dan

    salep mata/oculenta.

    C. Cara-Cara Sterilisasi Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV

    1. Sterilisasi uap

    Adalah proses sterilisasi termal yang menggunakan uap jenuh dibawah tekanan selama 15

    menit pada suhu 121. Kecuali dinyatakan lain, berlangsung di suatu bejana yang disebut

    autoklaf, dan mungkin merupakan proses sterilisasi paling banyak dilakukan.

  • 3

    2. Sterilisasi panas kering

    Sterilisasi cara ini menggunakan suatu siklus Oven modern yang dilengkapi udara yang

    dipanaskan dan disaring. Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi

    kosong adalah lebih kurang 15, jika alat sterilisasi beroperasi pada suhu tidak kurang dari

    250.

    3. Sterilisasi gas

    Bahan aktif yang digunakan adalah gas etilen oksida yang dinetralkan dengan gas inert, tetapi

    keburukan gas etilen oksida ini adalah sangat mudah terbakar, bersifat mutagenik,

    kemungkinan meninggalkan residu toksik di dalam bahan yang disterilkan, terutama

    mengandung ion klorida. Pemilihan untuk menggunakan sterilisasi gas ini sebagai alternative

    dari sterilisasi termal.

    4. Sterilisasi dengan radiasi ion

    Ada 2 jenis radiasi ion yang digunakan yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop (radiasi

    gamma) dan radiasi berkas electron. Pada kedua jenis ini, dosis yang menghasilkan derajat

    jaminan sterilisasi yang diperlukan harus ditetapkan sedemikian rupa hingga dalam rentang

    satuan dosis minimum dan maksimum, sifat bahan disterilkan dapat diterima. Walaupun

    berdasarkan pengalaman dipilih dosis 2,5 megarad radiasi yang diserap, tetapi dalam

    beberapa hal, diinginkan dapat diterima penggunaaan dosis yang lebih rendah untuk

    peralatan, bahan obat dan bentuk sediaan akhir.

    5. Sterilisasi dengan penyaringan

    Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan dengan penyaringan

    menggunakan bahan yang dapat menahan mikroba, hingga mikroba yang dikandungnya dapat

    dipisahkan secara fisik. Perangkat penyaringan umumnya terdiri dari suatu matriks berpori

    bertutup kedap atau dikaitkan dengan wadah yang tidak permeable. Efektivitas penyaringan

    media atau penyaringan substrat tergantung pada ukuran pori matriks, daya adsorpsi bakteri

    dari matriks dan mekanisme pengayakannya.

    6. Sterilisasi dengan aseptic

    Proses ini mencegah masuknya mikroba hidup kedalam komponen steril atau komponen yang

    melewati proses antara yang mengakibatkan produk setengah jadi atau produk ruahan atau

    komponennya bebas mikroba hidup.

  • 4

    BAB III INJEKSI

    A. Pengertian

    Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus di

    larutkan atau di suspensikan lebih dahulu sebelum di gunakan secara parenteral, suntikan dengan

    cara menembus, atau merobek ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir.

    Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis

    yang berbeda :

    1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk

    injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi................

    Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Misalnya :

    Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection

    Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection

    Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air

    2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar,

    pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut

    yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi, ditandai dengan nama , ...................Steril.

    Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa

    yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi.

    Misalnya: Inj. Dihydrostreptomycin Sulfat steril

    3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan yang

    memenuhi persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang

    sesuai, ditandai dengan nama , ............ Steril untuk Suspensi.

    Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa

    yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi yang memenuhi syarat suspensi steril.

    Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril untuk suspensi.

    4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara

    intravena atau ke dalam saluran spinal, ditandai dengan nama , Suspensi.......... Steril.

  • 5

    Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa

    yang cocok dan steril) .

    Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril

    5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan

    tambahan lain, ditandai dengan nama, ............. Untuk Injeksi.

    Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan

    emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk

    injeksi

    B. Macam-Macam Cara Penyuntikan

    1. Injeksi intrakutan ( i.k / i.c ) atau intradermal

    Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya, digunakan untuk diagnosa. Volume yang

    disuntikkan antara 0,1 - 0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air.

    2. Injeksi subkutan ( s.k / s.c ) atau hipodermik

    Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolar, volume yang disuntikkan

    tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonik, pH netral, bersifat depo

    (absorpsinya lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar (volume 3 - 4 liter/hari dengan

    penambahan enzym hialuronidase), bila pasien tersebut tidak dapat diberikan infus intravena.

    Cara ini disebut" Hipodermoklisa ".

    3. Injeksi intramuskuler ( i.m )

    Disuntikkan ke dalam atau diantara lapisan jaringan / otot. Injeksi dalam bentuk larutan,

    suspensi atau emulsi dapat diberikan secara ini. Yang berupa larutan dapat diserap dengan

    cepat, yang berupa emulsi atau suspensi diserap lambat dengan maksud untuk mendapatkan

    efek yang lama. Volume penyuntikan antra 4 - 20 ml, disuntikkan perlahan-lahan untuk

    mencegah rasa sakit.

    4. Injeksi intravenus ( i.v )

    Disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah vena. Bentuknya berupa larutan, sedangkan

    bentuk suspensi atau emulsi tidak boleh, sebab akan menyumbat pembuluh darah vena

    tersebut. Dibuat isitonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis (disuntikkannya lambat /

    perlahan-lahan dan tidak mempengaruhi sel darah); volume antara 1 - 10 ml. Injeksi

    intravenus yang diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml, disebut

    "infus intravena/ Infusi/Infundabilia". Infusi harus bebas pirogen dan tidak boleh

    mengandung bakterisida, jernih, isotonis.

  • 6

    Injeksi i.v dengan volume 15 ml atau lebih tidak boleh mengandung bakterisida

    Injeksi i.v dengan volume 10 ml atau lebih harus bebas pirogen.

    5. Injeksi intraarterium ( i.a )

    Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri / perifer / tepi, volume antara 1 - 10 ml, tidak

    boleh mengandung bakterisida.

    6. Injeksi intrakor / intrakardial ( i.kd )

    Disuntikkan langsung ke dalam otot jantung atau ventriculus, tidak boleh mengandung

    bakterisida, disuntikkan hanya dalam keadaan gawat.

    7. Injeksi intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural ( i.d ), subaraknoid.

    Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada dasar otak ( antara 3 -4

    atau 5 - 6 lumbra vertebrata ) yang ada cairan cerebrospinalnya. Larutan harus isotonis karena

    sirkulasi cairan cerebrospinal adalah lambat, meskipun larutan anestetika sumsum tulang

    belakang sering hipertonis. Jaringan syaraf di daerah anatomi disini sangat peka.

    8. Intraartikulus

    Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi / larutan dalam

    air.

    9. Injeksi subkonjuntiva

    Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi / larutan, tidak lebih

    dari 1 ml.

    10. Injeksi intrabursa

    Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi

    dalam air.

    11. Injeksi intraperitoneal ( i.p )

    Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat ; bahaya infeksi besar

    12. Injeksi peridural ( p.d ), extradural, epidural

    Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak diatas durameter, lapisan penutup terluar dari

    otak dan sumsum tulang belakang.

    C. Susunan Isi ( Komponen ) Obat Suntik

    1. Bahan obat / zat berkhasiat

    a) Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam

    Farmakope.

    b) Pada etiketnya tercantum : p.i ( pro injection )

  • 7

    c) Obat yang beretiket p.a ( pro analisa ) walaupun secara kimiawi terjamin kualitasnya,

    tetapi belum tentu memenuhi syarat untuk injeksi.

    2. Zat pembawa / zat pelarut

    Dibedakan menjadi 2 bagian :

    a) Zat pembawa berair

    Umumnya digunakan air untuk injeksi. Disamping itu dapat pula digunakan injeksi

    NaCl, injeksi glukosa, injeksi NaCl compositus, Sol.Petit. Menurut FI.ed.IV, zat

    pembawa mengandung air, menggunakan air untuk injeksi, sebagai zat pembawa injeksi

    harus memenuhi syarat Uji pirogen dan uji Endotoksin Bakteri. NaCl dapat ditambahkan

    untuk memperoleh isotonik. Kecuali dinyatakan lain, Injeksi NaCl atau injeksi Ringer

    dapat digunakan untuk pengganti air untuk injeksi.

    Air untuk injeksi ( aqua pro injection ) dibuat dengan cara menyuling kembali air

    suling segar dengan alat kaca netral atau wadah logam yang dilengkapi dengan labu

    percik. Hasil sulingan pertama dibuang, sulingan selanjutnya ditampung dalam wadah

    yang cocok dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai pelarut serbuk untuk

    injeksi, harus disterilkan dengan cara Sterilisasi A atau C segera setelah diwadahkan.

    Air untuk injeksi bebas udara dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar

    selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara

    sesempurna mungkin, didinginkan dan segera digunakan. Jika dimaksudkan sebagai

    pelarut serbuk untuk injeksi , harus disterilkan dengan cara sterilisasi A, segera setelah

    diwadahkan.

    b) Zat pembawa tidak berair

    Umumnya digunakan minyak untuk injeksi (olea pro injection) misalnya Ol. Sesami, Ol.

    Olivarum, Ol. Arachidis.

    Pembawa tidak berair diperlukan apabila :

    a) Bahan obatnya sukar larut dalam air

    b) Bahan obatnya tidak stabil / terurai dalam air.

    c) Dikehendaki efek depo terapi.

    Syarat-syarat minyak untuk injeksi adalah :

    a) Harus jernih pada suhu 100

    b) Tidak berbau asing / tengik

    c) Bilangan asam 0,2 - 0,9

    d) Bilangan iodium 79 - 128

  • 8

    e) Bilangan penyabunan 185 200

    f) Harus bebas minyak mineral

    g) Memenuhi syarat sebagai Olea Pinguia yaitu cairan jernih atau massa padat yang

    menjadi jernih diatas suhu leburnya dan tidak berbau asing atau tengik

    Obat suntik dengan pembawa minyak, tidak boleh disuntikkan secara i.v , hanya boleh

    secara i.m.

    3. Bahan pembantu / zat tambahan

    Ditambahkan pada pembuatan injeksi dengan maksud :

    a) Untuk mendapatkan pH yang optimal

    b) Untuk mendapatkan larutan yang isotonis

    c) Untuk mendapatkan larutan isoioni

    d) Sebagai zat bakterisida

    e) Sebagai pemati rasa setempat ( anestetika lokal )

    f) Sebagai stabilisator.

    Menurut FI.ed.IV, bahan tambahan untuk mempertinggi stabilitas dan efektivitas

    harus memenuhi syarat antara lain tidak berbahaya dalam jumlah yang digunakan, tidak

    mempengaruhi efek terapetik atau respon pada uji penetapan kadar.

    Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, jika hanya mewarnai sediaan akhir.

    Pemilihan dan penggunaan bahan tambahan harus hati-hati untuk injeksi yang diberikan lebih

    dari 5 ml. Kecuali dinyatakan lain berlaku sebagai berikut :

    Zat yang mengandung raksa dan surfaktan kationik, tidak lebih dari 0,01

    Golongan Klorbutanol, kreosol dan fenol tidak lebih dari 0,5 %

    Belerang dioksida atau sejumlah setara dengan Kalium atau Natrium Sulfit, bisulfit atau

    metabisulfit , tidak lebih dari 0,2 %

    a) Untuk mendapatkan pH yang optimal

    pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebut Isohidri.

    Karena tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, sering injeksi dibuat di luar pH

    cairan tubuh dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.

    Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :

    1) Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat,

    menghindari kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.

    2) Mencegah terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan.

  • 9

    Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan

    menjadi mati), sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit

    jika disuntikkan. misalnya beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin

    HCl, Vit.C, Vit.B1 .

    pH dapat diatur dengan cara :

    1) Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.

    2) Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat

    tetes mata.

    Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah :

    1) Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.

    2) Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.

    3) Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat

    didapar pada pH yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh

    dari pH isohidri, sebaiknya obat tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk

    meniadakan kapasitas dapar.

    b) Untuk mendapatkan larutan yang isotonis

    Larutan obat suntik dikatakan isotonis jika :

    1) Mempunyai tekanan osmotis sama dengan tekanan osmotis cairan tubuh ( darah, cairan

    lumbal, air mata ) yang nilainya sama dengan tekanan osmotis larutan NaCl 0,9 % b/v.

    2) Mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.

    Jika larutan injeksi mempunyai tekanan osmotis lebih besar dari larutan NaCl 0,9 % b/v,

    disebut " hipertonis ", jika lebih kecil dari larutan NaCl 0,9 % b/v disebut " hipotonis " .

    Jika larutan injeksi yang hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari sel ,

    sehingga sel akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak akan

    menyebabkan rusaknya sel tersebut.

    Jika larutan injeksi yang hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan

    masuk ke dalam sel, akibatnya dia akan mengembang dan menyebabkan pecahnya sel itu dan

    keadaan ini bersifat tetap. Jika yang pecah itu sel darah merah, disebut " Haemolisa ".

    Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.

    Jadi sebaiknya larutan injeksi harus isotonis, kalau terpaksa dapat sedikit hipertonis,

    tetapi jangan sampai hipotonis.

    Cairan tubuh kita masih dapat menahan tekanan osmotis larutan injeksi yang sama nilainya

    dengan larutan NaCl 0,6 - 2,0 % b/v.

    Larutan injeksi dibuat isotonis terutama pada penyuntikan :

  • 10

    1) Subkutan : jika tidak isotonis dapat menimbulkan rasa sakit, sel-sel sekitar penyuntikan

    dapat rusak, penyerapan bahan obat tidak dapat lancar.

    2) Intralumbal , jika terjadi perubahan tekanan osmotis pada cairan lumbal, dapat

    menimbulkan perangsangan pada selaput otak.

    3) Intravenus, terutama pada Infus intravena, dapat menimbulkan haemolisa.

    c) Untuk mendapatkan isoioni

    Yang dimaksud isoioni adalah larutan injeksi tersebut mengandung ion-ion yang sama

    dengan ion-ion yang terdapat dalam darah, yaitu : K+ , Na

    + , Mg

    ++ , Ca

    ++ , Cl

    -. Isoioni

    diperlukan pada penyuntikan dalam jumlah besar, misalnya pada infus intravena.

    d) Sebagai zat bakterisida / bakteriostatik

    Zat bakterisida perlu ditambahkan jika :

    1) Bahan obat tidak disterilkan, larutan injeksi dibuat secara aseptik.

    2) Bila larutan injeksi disterilkan dengan cara penyaringan melalui penyaring bakteri steril.

    3) Bila larutan injeksi disterilkan dengan cara pemanasan pada suhu 980 1000 selama 30

    menit.

    4) Bila larutan injeksi diberikan dalam wadah takaran berganda.

    Zat bakterisida tidak perlu ditambahkan jika :

    1) Sekali penyuntikan melebihi 15 ml.

    2) Bila larutan injeksi tersebut sudah cukup daya bakteriostatikanya ( tetes mata Atropin

    Sulfat dalam pembawa asam borat, tak perlu ditambah bakterisida, karena asam borat

    dapat berfungsi pula sebagai antiseptik ).

    3) Pada penyuntikan : intralumbal, intratekal, peridural, intrasisternal, intraarterium dan

    intrakor.

    e) Sebagai zat pemati rasa setempat / anestetika lokal

    Digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tempat dilakukan penyuntikan , yang

    disebabkan larutan injeksi tersebut terlalu asam. Misalnya Procain dalam injeksi Penicillin

    dalam minyak, Novocain dalam injeksi Vit. B-compleks, Benzilalkohol dalam injeksi

    Luminal-Na.

    f) Sebagai Stabilisator

    Digunakan untuk menjaga stabilitas larutan injeksi dalam penyimpanan. Stabilisator

    digunakan untuk:

    1) Mencegah terjadinya oksidasi oleh udara, dengan cara :

    i. Mengganti udara di atas larutan injeksi dengan gas inert, misalnya gas N2 atau gas

    CO2.

  • 11

    ii. Menambah antioksidant untuk larutan injeksi yang tidak tahan terhadap O2 dari

    udara. Contohnya : penambahan Na-metabisulfit/Na-pirosulfit 0,1 % b/v pada

    larutan injeksi Vit.C, Adrenalin dan Apomorfin.

    2) Mencegah terjadinya endapan alkaloid oleh sifat alkalis dari gelas. Untuk ini dapat

    dengan menambah chelating agent EDTA ( Etilen Diamin Tetra Asetat ) untuk mengikat

    ion logam yang lepas dari gelas/wadah kaca atau menambah HCl sehingga bersuasana

    asam.

    3) Mencegah terjadinya perubahan pH dengan menambah larutan dapar.

    4) Menambah/menaikkan kelarutan bahan obat, misalnya injeksi Luminal dalam Sol.Petit,

    penambahan Etilendiamin pada injeksi Thiophyllin.

    4. Wadah dan tutup

    Dibedakan : wadah untuk injeksi dari kaca atau plastik.

    Dapat juga dibedakan lagi menjadi :

    Wadah dosis tunggal ( single dose ), wadah untuk sekali pakai misalnya ampul.

    Ditutup dengan cara melebur ujungnya dengan api sehingga tertutup kedap tanpa penutup

    karet.

    Wadah dosis ganda ( multiple dose ), wadah untuk beberapa kali penyuntikan, umumnya

    ditutup dengan karet dan alumunium, misalnya vial ( flakon ) , botol.

    Wadah kaca

    Syarat wadah kaca :

    a) Tidak boleh bereaksi dengan bahan obat

    b) Tidak boleh mempengaruhi khasiat obat.

    c) Tidak boleh memberikan zarah / partikel kecil ke dalam larutan injeksi.

    d) Harus dapat memungkinkan pemeriksaan isinya dengan mudah.

    e) Dapat ditutup kedap dengan cara yang cocok.

    f) Harus memenuhi syarat " Uji Wadah kaca untuk injeksi "

    Wadah plastik

    Wadah dari plastik ( polietilen, polipropilen ) .

    Keuntungan :

    netral secara kimiawi, tidak mudah pecah dan tidak terlalu berat hingga mudah diangkut,

    tidak diperlukan penutup karet.

    Kerugian :

  • 12

    dapat ditembus uap air hingga kalau disimpan akan kehilangan air, juga dapat ditembus gas

    CO2.

    Wadah plastik disterilkan dengan cara sterilisasi gas dengan gas etilen oksida.

    Tutup karet

    Digunakan pada wadah dosis ganda yang terbuat dari gelas/kaca. Tutup karet dibuat

    dari karet sintetis atau bahan lain yang cocok. Untuk injeksi minyak , tutup harus dibuat dari

    bahan yang tahan minyak atau dilapisi bahan pelindung yang cocok.

    Syarat tutup karet yang baik adalah bila direbus dalam otoklaf, maka :

    a) Karet tidak lengket / lekat, dan jika ditusuk dengan jarum suntik, tidak melepaskan

    pecahannya serta segera tertutup kembali setelah jarum suntik dicabut.

    b) Setelah dingin tidak boleh keruh.

    c) Uapnya tidak menghitamkan kertas timbal asetat ( Pb-asetat ).

    Cara mencuci :

    Mula-mula dicuci dengan detergen yang cocok, jangan memakai sabun

    Calsium/Magnesium karena ion-ion itu akan mengendap pada dinding kaca. Bilas dengan air

    dan rebus beberapa kali pendidihan, tiap kali pendidihan, air diganti.

    Cara sterilisasi :

    Masukkan tutup karet ke dalam labu berisi larutan bakterisida, tutup, sterilkan dengan

    cara sterilisasi A, biarkan selama tidak kurang dari 7 hari. Bakterisida yang digunakan harus

    sama dengan bakterisida yang digunakan dalam obat suntiknya dengan kadar 2 kalinya

    dengan volume untuk tiap 1 gram karet dibutuhkan 2 ml.

    Tutup karet yang mengandung Na-pirosulfit, sebelum dipakai harus direndam dalam larutan

    bakterisida yang mengandung Na-pirosulfit 0,1 % selama tidak kurang dari 48 jam.

    D. Cara Pembuatan Obat Suntik. Persiapan pembuatan obat suntik :

    1. Perencanaan

    Direncanakan dulu, apakah obat suntik itu akan dibuat secara aseptik atau dilakukan

    sterilisasi akhir ( nasteril ).

    Pada pembuatan kecil-kecilan alat yang digunakan antara lain pinset, spatel, pengaduk kaca,

    kaca arloji yang disterilkan dengan cara dibakar pada api spiritus.

  • 13

    Ampul, Vial atau flakon beserta tutup karet, gelas piala, erlemeyer, corong yang dapat

    disterilkan dalam oven 1500 selama 30 menit ( kecuali tutup karet, didihkan selama 30

    menit dalam air suling atau menurut FI.ed.III ).

    Kertas saring, kertas G3, gelas ukur disterilkan dalam otoklaf. Untuk pembuatan besar-

    besaran di pabrik, faktor tenaga manusia juga harus direncanakan.

    2. Perhitungan dan penimbangan

    Perhitungan dibuat berlebih dari jumlah yang harus didapat, karena dilakukan penyaringan,

    kemudian ditimbang. Larutkan masing-masing dalam Aqua p.i yang sudah dijelaskan cara

    pembuatannya, kemudian dicampurkan.

    3. Penyaringan

    Lakukan penyaringan hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam filtrat.

    Pada pembuatan kecil-kecilan dapat disaring dengan kertas saring biasa sebanyak 2 kali ,

    lalu disaring lagi dengan kertas saring G3.

    4. Pengisian ke dalam wadah

    Cairan :

    Farmakope telah mengatur volume tambahan yang dianjurkan.

    Bubuk kering :

    Jumlah bubuk diukur dengan jalan penimbangan atau berdasarkan volume, diisi melalui

    corong.

    Pengisian dengan wadah takaran tunggal dijaga supaya bagian yang akan ditutup dengan

    pemijaran, harus bersih, terutama dari zat organik, karena pada penutupan zat organik

    tersebut akan menjadi arang dan menghitamkan wadah sekitar ujungnya .

    Membersihkan bagian leher wadah dapat dilakukan dengan :

    a) memberi pelindung pada jarum yang dipakai untuk mengisi wadah.

    b) menyemprot dengan uap air pada mulut wadah obat suntik yang dibuat dengan

    pembawa berair.

    Pembuatan larutan injeksi :

    Dalam garis besar cara pembuatan larutan injeksi dibedakan :

    1. Cara aseptic

    Digunakan kalau bahan obatnya tidak dapat disterilkan, karena akan rusak atau mengurai.

    Caranya :

    Zat pembawa, zat pembantu, wadah, alat-alat dari gelas untuk pembuatan, dan yang

    lainnya yang diperlukan disterilkan sendiri-sendiri. Kemudian bahan obat, zat

  • 14

    pembawa, zat pembantu dicampur secara aseptik dalam ruang aseptik hingga

    terbentuk larutan injeksi dan dikemas secara aseptik.

    Skema pembuatan secara aseptik :

    Bahan obat Zat pembawa (

    steril )

    Zat pembantu (

    steril )

    Alat untuk pembuatan

    ( gelas )

    Dicuci

    disterilkan Dilarutkan ( ruang steril )

    wadah ( ampul, vial )

    Dicuci

    disterilkan Diisi

    Ditutup kedap

    Dikarantina

    Diberi etiket dan dikemas Diperiksa

    2. Cara non-aseptik ( Nasteril )

    Dilakukan sterilisasi akhir

    Caranya :

    bahan obat dan zat pembantu dilarutkan ke dalam zat pembawa dan dibuat larutan injeksi.

    Saring hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa ke dalam filtrat larutan.

    Masukkan ke dalam wadah dalam keadaan bersih dan sedapat mungkin aseptik, setelah

    dikemas, hasilnya disterilkan dengan cara yang cocok.

    Skema pembuatan secara non-aseptik :

    Bahan obat Zat pembawa Zat pembantu

    Alat untuk pembuatan

    ( gelas )

    Dicuci

    Dilarutkan

    ( ruang steril )

    wadah ( ampul, vial )

    Disaring

    Dicuci Diisi

  • 15

    Ditutup kedap

    Disterilkan

    Dikarantina

    Diberi etiket dan dikemas Diperiksa

    E. Pemeriksaan

    Setelah larutan injeksi ditutup kedap dan disterilkan, perlu dilakukan pemeriksaan

    kemudian yang terakhir diberi etiket dan dikemas. Pemeriksaan meliputi :

    1. Pemeriksaan kebocoran.

    2. Pemeriksaan sterilitas.

    3. Pemeriksaan pirogenitas

    4. Pemeriksaan kejernihan dan warna..

    5. Pemeriksaan keseragaman bobot.

    6. Pemeriksaan keseragaman volume.

    Pemeriksaan 1 - 4 tersebut di atas disebut Pemeriksaan hasil akhir produksi.

    a) Pemeriksaan kebocoran

    Untuk mengetahui kebocoran wadah, dilakukan sebagai berikut :

    1) Untuk injeksi yang disterilkan dengan pemanasan.

    i. Ampul :

    disterilkannya dalam posisi terbalik dengan ujung yang dilebur disebelah

    bawah. Wadah yang bocor, isinya akan kosong / habis atau berkurang setelah

    selesai sterilisasi .

    ii. Vial :

    setelah disterilkan , masih dalam keadaan panas, masukkan ke dalam larutan

    metilen biru 0,1 % yang dingin. Wadah yang bocor akan berwarna biru, karena

    larutan metilen biru akan masuk ke dalam larutan injeksi tersebut.

    2) Untuk injeksi yang disterilkan tanpa pemanasan atau secara aseptik / injeksi

    berwarna

    Diperiksa dengan memasukkan ke dalam eksikator dan divakumkan. Wadah yang

    bocor, isinya akan terisap keluar.

  • 16

    b) Pemeriksaan sterilitas

    Digunakan untuk menetapkan ada tidaknya bakteri, jamur dan ragi yang hidup

    dalam sediaan yang diperiksa. Dilakukan dengan teknik aseptik yang cocok. Sebelum

    dilakukan uji sterilitas, untuk zat-zat :

    1) Pengawet : larutan diencerkan dahulu, sehingga daya pengawetnya sudah tidak

    bekerja lagi.

    2) Antibiotik : daya bakterisidanya diinaktifkan dulu, misalnya pada Penicillin

    ditambah enzym Penicillinase.

    Menurut FI. ed.III, pemeriksaan ini dilakukan sebagai berikut :

    1) Dibuat perbenihan A untuk memeriksa adanya bakteri yang terdiri dari:

    i. Perbenihan thioglikolat untuk bakteri aerob , sebagai pembanding digunakan

    Bacillus subtilise atau Sarcina lutea.

    ii. Perbenihan thioglikolat yang dibebaskan dari oksigen terlarut dengan

    memanaskan pada suhu 1000 selama waktu yang diperlukan, untuk bakteri

    anaerob, sebagai pembanding digunakan Bacteriodes vulgatus atau Clostridium

    sporogenus.

    2) Dibuat perbenihan B untuk memeriksa adanya jamur dan ragi, untuk itu dipakai

    perbenihan asam amino, sebagai pembanding digunakan Candida albicans

    Penafsiran hasil : zat uji dinyatakan pada suhu 300 320 selama tidak kurang dari 7

    hari, tidak terdapat pertumbuhan jasad renik.

    c) Pemeriksaan Pirogen

    Pirogen : Berasal dari kata Pyro dan Gen artinya pembentuk demam/panas.

    Pirogen adalah Zat yang terbentuk dari hasil metabolisme mikroorganisme (bangkai

    mikroorganisme) berupa zat eksotoksin dari kompleks Polisacharida yang terikat pada

    suatu radikal yang mengandung unsur Nitrogen dan Posfor, yang dalam kadar 0,001

    0,01 gram per kg berat badan, dapat larut dalam air, tahan pemanasan, dapat

    menimbulkan demam jika disuntikkan. (reaksi demam setelah 15 menit sampai 8 jam).

    Pirogen bersifat termolabil. Larutan injeksi yang pemakaiannya lebih dari 10 ml satu

    kali pakai, harus bebas pirogen.

    Cara menghilangkan pirogen

    1) Untuk alat/zat yang tahan terhadap pemanasan (jarum suntik, alat suntik dll.)

    dipanaskan pada suhu 2500 selama 30 menit

    2) Untuk aqua p.i (air untuk injeksi) bebas pirogen:

    i. Dilakukan oksidasi :

  • 17

    Didihkan dengan larutan H2O2 1 % selama 1 jam

    1liter air yang dapat diminum, ditambah 10 ml larutan KMnO4 0,1 N dan

    5 ml larutan 1 N, disuling dengan wadah gelas, selanjutnya kerjakan

    seperti pembuatan Air untuk injeksi.

    ii. Dilakukan dengan cara absorpsi :

    Saring dengan penyaring bakteri dari asbes. Lewatkan dalam kolom Al2O3

    Panaskan dalam Arang Pengabsorpsi 0,1 % ( Carbo adsorbens 0,1% pada

    suhu 600 selama 5 10 menit ( literatur lain 15 menit ) sambil sekali-sekali

    diaduk, kemudian disaring dengan kertas saring rangkap 2 atau dengan filter

    asbes.

    Cara mencegah terjadinya pirogen :

    1) Air suling segar yang akan digunakan untuk pembuatan air untuk injeksi harus

    segera digunakan setelah disuling.

    2) Pada waktu disuling jangan ada air yang memercik

    3) Alat penampung dan cara menampung air suling harus seaseptis mungkin

    Sumber pirogen :

    1) Air suling yang telah dibiarkan lama dan telah tercemar bakteri dari udara.

    2) Wadah larutan injeksi dan bahan-bahan seperti glukosa, NaCl dan Na-sitrat.

    Uji pirogenitas :

    dengan mengukur peningkatan suhu badan kelinci percobaan yang disebabkan

    penyuntikan i.v sediaan uji pirogenitas. Jumlah kelinci percobaan bisa 3, 6, 9, 12 (

    secara detailnya lihat FI.ed.II )

    d) Pemeriksaan kejernihan dan warna

    Diperiksa dengan melihat wadah pada latar belakang hitam-putih, disinari dari

    samping. Kotoran berwarna akan kelihatan pada latar belakang putih, kotoran tidak

    berwarna akan kelihatan pada latar belakang hitam.

    e) Pemeriksaan keseragaman bobot

    Hilangkan etiket 10 wadah; Cuci bagian luar wadah dengan air; Keringkan pada

    suhu 1050; Timbang satu per satu dalam keadaan terbuka ; Keluarkan isi wadah; Cuci

    wadah dengan air, kemudian dengan etanol 95 % ; keringkan lagi pada suhu 1050

    sampai bobot tetap; Dinginkan dan kemudian timbang satu per satu

    Bobot isi wadah tidak boleh menyimpang lebih dari batas yang tertera , kecuali satu

    wadah yang boleh menyimpang tidak lebih dari 2 kali batas yang tertera.

    Syarat keseragam bobot seperti pada tabel berikut ini.

  • 18

    Bobot yang tertera pada etiket

    Batas penyimpangan ( % )

    Tidak lebih dari 120 mg

    Antara 120 mg dan 300 mg

    300 mg atau lebih

    10,0

    7,5

    5,0

    f) Pemeriksaan keseragaman volume

    Untuk injeksi dalam bentuk cairan, volume isi netto tiap wadah harus sedikit berlebih

    dari volume yang ditetapkan. Kelebihan volume yang dianjurkan tertera dalam daftar

    berikut ini.

    Volume pada etiket Volume tambahan yang dianjurkan

    cairan encer cairan kental

    0,5 ml

    1,0 ml

    2,1 ml

    5,0 ml

    10,0 ml

    20,0 ml

    30,0 ml

    50,0 ml atau lebih

    0,10 ml ( 20 % )

    0,10 ml ( 10 % )

    0,15 ml ( 7,5 % )

    0,30 ml ( 6 % )

    0,50 ml ( 5 % )

    0,60 ml ( 3 % )

    0,80 ml ( 2,6 % )

    2,00 ml ( 4 % )

    0,12 ml ( 24 % )

    0,15 ml ( 15 % )

    0,25 ml ( 12,5 % )

    0,50 ml ( 10 % )

    0,70 ml ( 7 % )

    0,90 ml ( 4,5 % )

    1,20 ml ( 4 % )

    3,00 ml ( 6 % )

    F. Syarat - Syarat Obat Suntik

    Syarat berikut hanya berlaku bagi injeksi berair :

    1. Harus aman dipakai, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau efek toksis. Pelarut

    dan bahan penolong harus dicoba pada hewan dulu, untuk meyakinkan keamanan

    pemakaian bagi manusia.

    2. Jika berupa larutan harus jernih, bebas dari partikel-partikel padat, kecuali yang

    berbentuk suspensi.

    3. Sedapat mungkin lsohidris, yaitu mempunyai pH = 7,4, agar tidak terasa sakit dan

    penyerapannya optimal.

    4. Sedapat mungkin Isotonik, yaitu mempunyai tekanan osmose sama dengan tekanan

    osmose darah / cairan tubuh, agar tidak terasa sakit dan tidak menimbulkan haemolisa.

    Jika terpaksa dapat dibuat sedikit hipertonis, tetapi jangan hipotonis.

  • 19

    5. Harus steril, yaitu bebas dari mikroba hidup, baik yang patogen maupun yang

    apatogen, baik dalam bentuk vegetatif maupun spora.

    6. Bebas pirogen, untuk larutan injeksi yang mempunyai volume 10 ml atau lebih sekali

    penyuntikan.

    7. Tidak boleh berwarna kecuali memang zat berkhasiatnya berwarna.

    G. Penandaan menurut FI.ed.IV

    Larutan intravena volume besar adalah injeksi dosis tunggal untuk intravena dan

    dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml.;

    Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100

    ml atau kurang.

    Penandaan : Pada etiket tertera nama sediaan, untuk sediaan cair tertera persentase

    atau jumlah zat aktif dalam volume tertentu, untuk sediaan kering tertera jumlah zat aktif,

    cara pemberian, kondisi penyimpanan dan tanggal kadaluwarsa, nama pabrik pembuat dan

    atau pengimpor serta nomor lot atau nomor bets yang menunjukkan identitasnya. Wadah

    injeksi yang akan digunakan untuk dialisis, hemofiltrasi atau cairan irigasi dan volume lebih

    dari 1 liter, diberi penandaan bahwa sediaan tidak digunakan untuk infus intravena., untuk

    injeksi yang mengandung antibiotik : juga harus tertera kesetaraan bobot terhadap U.I dan

    tanggal kadaluwarsanya. Injeksi untuk hewan ditandai untuk menyatakan khasiatnya.

    Pengemasan; Sediaan untuk pemberian intraspinal, intrasisternal atau pemakaian

    peridural dikemas hanya dalam wadah dosis tunggal.

    H. Keuntungan dan Kerugian Bentuk Sediaan Injeksi

    Keuntungan :

    1. Bekerja cepat , misalnya pada injeksi Adrenalin pada schock anfilaksis.

    2. Dapat digunakan jika : obat rusak jika kena cairan lambung, merangsang jika ke cairan

    lambung, tidak diabsorpsi secara baik oleh cairan lambung.

    3. Kemurnian dan takaran zat khasiat lebih terjamin

    4. Dapat digunakan sebagai depo terapi

    Kerugian :

    1. Karena bekerja cepat, jika terjadi kekeliruan sukar dilakukan pencegahan.

    2. Cara pemberian lebih sukar, harus memakai tenaga khusus.

    3. Kemungkinan terjadinya infeksi pada bekas suntikan.

    4. Secara ekonomis lebih mahal dibanding dengan sediaan yang digunakan per oral.

  • 20

    BAB III PEMBAHASAN

    A. Formulasi

    1. Diclofenac Sodium (75mg/2ml) sebagai zat berkhasiat

    2. 2-Hydroxypropyl-Beat-cyclodextrin sebagai pelarut

    3. Disodium EDTA sebagai stabilisator

    4. NaOH untuk menaikan pH

    5. WFI sebagai pelarut

    6. N-acetyl-Lcysteine sebagai antioksidan

    B. Evaluasi Terhadap Produk Jadi

    1. Penampilan fisik

    Untuk skala besar produksi, ukuran batch 10-liter dianggap atas dasar sementara untuk

    studi lebih lanjut. Dibutuhkan hampir 4-5 jam untuk pengolahan batch. Oleh karena itu,

    formulasi disiapkan secara visual diamati untuk penampilan fisik mereka di awalnya dan

    setelah 4 minggu interval waktu.

    2. Pengukuran pH

    PH formulasi siap diukur dengan menggunakan Thermo Ilmiah pH meter pada 25 1C.

    3. Partikulat

    Partikel dapat ditentukan dengan inspeksi visual gsecara kasat mata di bawah sinar

    langsung.

    4. Assay konten untuk Diklofenak natrium

    Dilakukan dengan metode untuk kromatografi cair (HPLC) dengan menggunakan solusi

    berikut. Solusi (1) Ambil injeksi dan membuat dilusi injeksi yang mengandung 0,005% b / v

    dari Diklofenak natrium dalam fase gerak. Solusi (2) mengandung 0,005% b / v Diklofenak

    natrium RS dalam fase gerak. Ponsel fase: Campuran 60 volume metanol dan 40 volume 0,1

  • 21

    M natrium asetat solusi. Kolom: Kolom Stainless steel 12,5 cm X 4,6 cm dikemas dengan

    octylsilica. Laju alir: 1 ml / menit Spectrophotometer ditetapkan pada 254

    nm. Sebuah injektor 10l lingkaran. Inject bergantian larutan uji dan solusi referensi dan

    mencatat kromatogram untuk 2,5 kali waktu retensi puncak utama. Jika perlu menyesuaikan

    konsentrasi metanol dalam fase gerak untuk mendapatkan resolusi puncak karena

    Diklofenak natrium.

    Dari hasil pengujian tersebut dapat dilihat bahwa baik dari pembuatan injeksi dari

    Indonesia yang berpedoman pada farmakope dan pembuatan injeksi berdasarkan jurnal dari

    luar pada pemeriksaan sediaan jadi sama-sama harus dilakukan uji organoleptis yang

    meliputi bentuk bau dan warna. Uji organoleptis sangat berguna karena sediaan injeksi tidak

    boleh berubah warna pada penyimpanan,tidak boleh menimbulkan bau diluar bau dari zat

    aktif dan komponen yang terkandung didalamnya.

    C. Komponen Terbaik

    Dari berbagai antioksidan yang diteliti , ditemukan bahwa N - asetil - Lcysteine ( 0,1 % b / v )

    dan Disodium EDTA ( 0,05 % b / v ) di kombinasi menyediakan antioksidan yang sangat baik

    untuk persiapan bentuk sediaan intravena Diklofenak natrium .

  • 22

    BAB 1V PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Dalam pembuatan injeksi, sediaan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan

    untuk sediaan parenteral, seperti syarat isohidris, steril, bebas pirogen, dan isotonis. Hal ini

    dikarenakan, pemberiaan sediaan ini langsung diinjeksikan melalui pembuluh darah.

    Untuk pembuatan sediaan parenteral harus isotonis, isohidri, steril dan bebas pirogen.

    Sebaiknya dilakukan uji kualitas dari masing-masing persyaratan agar didapatkan sediaan yang

    memenuhi syarat dan juga untuk meningkatkan mutu dari sediaan yang dibuat.

    Selain isotonis, sediaan juga harus bersifat isohidri, yaitu pH sediaan harus sama

    atau paling tidak mendekati pH fisiologis tubuh, yaitu 6,8 7,4. Hal ini dimaksudkan agar

    sediaan tidak menyebabkan phlebesetis (inflamasi pada pembuluh darah) dan throbosis

    (timbulnya gumpalan darah yang dapat menyumbat pembuluh darah). Selain itu, tujuan dari

    pengaturan pH ini adalah agar sediaan yang dibuat tetap stabil pada penyimpanan.

    B. Saran

    Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca memahami bagaimana

    sebenarnya Sterilisasi, Sediaan Injeksi beserta cara pembuatan dan pemeriksaan. Dan

    semoga makalah ini menjadi acuan pula dalam melakukan penelitian pengembangan.

    Akan tetapi makalah kami masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran

    dari pembaca sangat kami butuhkan guna pembuatan makalah kami berikutnya yang

    lebih baik.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim.1975.Farmakope Indonesia Edisi III.DEPKES:RI

    Anonim.1995.Farmakope Indonesia Edisi IV.DEPKES:RI