bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang penelitian merupakan dasar untuk menentukan
layaknya penelitian tersebut dilakukan. Oleh karenanya, dalam Bab 1 ini,
peneliti akan menyajikan fenomena apa sajakah yang melatarbelakangi
peneliti untuk meneliti pengambilan keputusan berpisah dari perempuan
korban kekerasan dalam berpacaran menggunakan kajian-kajian yang
terdapat dalam sudut pandang Psikologi Transpersonal. Melalui latar
belakang tersebut, peneliti kemudian dapat merumuskan masalah, tujuan,
dan manfaat dari penelitian ini.
A. LATAR BELAKANG
Dalam fase perkembangan tertentu dalam kehidupan manusia,
ketertarikan terhadap lawan jenis yang berujung pada hubungan
dengan lawan jenis merupakan hal yang umum terjadi. Ketertarikan
terhadap lawan jenis umumnya muncul pada saat individu memasuki
fase perkembangan remaja. Soetjiningsih (2004), merangkum sebuah
kesimpulan umum berdasarkan beberapa teori perkembangan, yaitu
bahwa pada fase usia remaja akhir perilaku seksual yang dimiliki oleh
individu secara umum sudah berkembang dalam bentuk hubungan
personal yang dinamakan pacaran. Pacaran sendiri didefinisikan oleh
Sternberg (1996) sebagai hubungan dekat seseorang dengan yang lain,
yang didalamnya terdapat cinta yang bermuatan keintiman, nafsu
seksual, dan komitmen.
Menurut Lips (1988, dalam Samsi 2012), hubungan pacaran yang
dijalani oleh remaja cenderung dimotivasi oleh kesenangan
pemenuhan kebutuhan akan kebersamaan, keinginan mengenal lebih
jauh pasangannya, keinginan menguji cinta, dan seks. Pernyataan
2
senada mengenai motivasi berpacaran juga dikemukakan oleh Nisa
(2008), yaitu bahwa secara umum, alasan utama bagi seseorang untuk
berpacaran antara lain adalah untuk menikmati kebersamaan dengan
orang lain, kebutuhan penerimaan terhadap lawan jenis, kebutuhan
akan adanya rasa aman, serta kebutuhan untuk merasakan cinta dan
kasih sayang. Dalam penelitiannya, Nisa juga menemukan bahwa
hubungan pacaran dapat memiliki arti penting dan memberikan
kontribusi positif bagi individu. Menurut ulasan Nisa, umumnya
individu pada fase tertentu cenderung untuk mencoba menemukan
seseorang (pasangan) yang dapat mencintai dan dicintai.
Jika menilik ulasan Fromm (2015) cinta membantu individu untuk
memaknai hidup. Menurut Fromm, hidup dapat berlannjut dengan
penuh makna hanya bila manusia hidup dalam cinta, dan bahwa tanpa
cinta seorang individu akan merasa kesepian, terpisah dari masyarakat,
juga alam sekitar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
hubunganpacaran yang ideal seharusnya dapat membawa dampak
positif bagi individu. Namun halnya demikan, tidak jarang ditemui
hubungan-hubungan yang justru memberikan kerugian bagi individu
yang terlibat di dalamnya, salah satunya adalah hubungan pacaran
yang di dalamnya melibatkan tindak kekerasan.
Kekerasan dalam pacaran merupakan fenomena sosial yang dapat
menimpa siapa saja. Kekerasan dalam berpacaran (khususnya pada
remaja) dapat dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Namun
halnya demikian, banyak anggapan bahwa perempuanlah yang lebih
rentan untuk menerima tindak kekerasan dalam berpacaran. Anggapan
tersebut muncul dikarenakan stigma ketimpangan kekuasaan laki-laki
3
dan perempuan. Perempuan dianggap mahkuk yang lebih lemah,
sehingga lebih mudah untuk terluka maupun dilukai.
Ferlita (2008) mengulas bahwa ketidakadilan dalam hal gender
(tuntutan peran yang melekat pada individu berdasarkan seks yang
dimiliki) selama ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang perempuan biasa dianggap sebagai makhluk yang lemah,
penurut, pasif, mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain
sebagainya, sehingga dirasa pantas menerima perlakuan yang tidak
wajar atau semena-mena. Menurut Ferlita konstruksi sosial dalam
masyarakatlah (dalam hal ini masyarakat Indonesia) yang kemudian
menjadikan figur laki-laki terlihat mendominasi dalam suatu hubungan
romansa. Jika menilik hal tersebut, tidaklah heran jika ditemukan
angka kekerasan dalam berpacaran (KDP) pada perempuan yang
cukup tinggi.
Data yang dikemukakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan adanya
peningkatan angka Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) di
Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam bagan, jumlah
kasus KTP dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1.1
*Sumber: Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan Tahun 2015
4
Dalam laporan tersebut, ditemukan bahwa dari seluruh kasus
kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam berpacaran
menduduki peringkat ke dua yaitu sebanyak 21%. Peringkat pertama
pada kasus KTP diduduki oleh kasus kekerasan terhadap istri (KTI),
yaitu sebanyak 59%. KTI telah diketahui sangat erat kaitannya dengan
KDP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 75% kasus kekerasan pada
perempuan yang terjadi setelah menikah berawal juga dari kekerasan
yang diterima pada masa pacaran (Komnas Perempuan, 2013).
Selain sangat erat kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan dalam
rumah tangga, kekerasan dalam berpacaran sering kali juga berkaitan
erat dengan kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang
tidak diinginkan (KTD) yang terjadi pada remaja yang berpacaran
sering kali berakhir dengan kelahiran anak dengan orang tua tunggal,
pernikahan dini, ataupun aborsi. Data dari World Health Organization
(WHO) menunjukan bahwa 38% dari kehamilan di seluruh dunia
merupakan kehamilan tidak diinginkan. Disamping itu, dari sekitar 80
juta kehamilan tidak diinginkan yang terjadi per tahun, sekitar 4 juta
jiwa diantaranya berakhir dengan keguguran, 42 juta diantaranya
berakhir dengan aborsi, dan 34 juta jiwa kelahiran yang tidak
diharapkan (WHO, 2013).
Sementara itu di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil riset yang
dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(2013) setiap tahunnya ditemukan sekitar 20,9% remaja yang
mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Pada tahun
2013 ditemukan bahwa 41,9% dari total jumlah pernikahan pada
rentan usia 15-19 tahun disebabkan karena hamil di luar pernikahan.
Sedangkan angka aborsi diperkirakan mencapai 2,5 juta jiwa
5
pertahunnya, yang sekitar 800 ribu kasus diantaranya dilakukan oleh
remaja.Angka tersebut akan lebih mencengangkan jika ditambah
dengan jumlah orang tua tunggal yang terjadi akibat kehamilan yang
tidak diinginkan.
Jika menilik angka-angka yang memprihatinkan tersebut, kasus-
kasus KDP sudah selayaknya untuk mendapat perhatian khusus.
Namun halnya demikian berbeda dengan kasus KTI, tidak ada payung
hukum yang secara khusus menaungi korban dengan status pacar.
Undang-undang PKDRT nomor 23 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan
dalam kasus-kasus KDP. Payung hukum yang lain kurang memadai,
dan terbatas pada pelaku kekerasan secara umum, tidak spesifik.
Berbagai model penanganan kasus kekerasan yang diupayakan
pemerintah yang digunakan untuk menangani kasus KDP sebagian
besar hanya berupaya untuk memberikan sanksi hukum terhadap
pelaku kekerasan dan penanganan fisik bagi korbannya. Mengingat hal
tersebut, penting untuk terus dilakukan penyusunan model
penanggulangan KDP yang holistik. terutama yang berbasis
psikologis. Hal ini dikarenakan selain berdampak secara fisik, kasus
KDP juga dapat berdampak bagi psikologis dan kehidupan sosial
korban. Dan seperti yang kita ketahui, dampak pada psikis korban
sering kali berlangsung lebih lama dibandingkan dengan dampak yang
terjadi pada fisik.
Safitri dan Sama’I (2013) mengulas bahwa secara fisik, dampak
yang biasa terjadi pada korban KDP dibagi menjadi kategori luka
ringan dan luka berat. Luka ringan yang sering terjadi antara lain
adalah lebam, memar, luka, lecet, patah tulang. Sedangkan luka berat
yang terjadi sering kali mengakibatkan cacat permanen sampai
6
kematian. Secara seksual, KDP sering kali mengakibatkan trauma,
perasaan terkejut, mati rasa, disorganisasi, depresi, takut dan cemas
terkait dengan hubungan seksual. Sedangkan dampak psikologis yang
sering terjadi akibat KDP antara lain adalah depresi, stres, kecemasan,
sulit berkonsentrasi, kecenderungan bunuh diri, memiliki masalah
tidur, dan merasa harga dirinya rendah. Disamping berdampak dari sisi
fisik, seksual, dan psikologis, KDP juga berdampak secara sosial.
Dampak sosial yang sering dialami oleh korban antara lain adalah
korban mulai menutup diri dari pergaulan yang akhirnya membuat
korban enggan pergi dari pasangan yang merupakan pelaku kekerasan
dalam berpacaran.
Meskipun banyak dampak negatif yang terjadi pada diri korban,
berbagai penelitian menemukan bahwa perempuan korban KDP
cenderung enggan meninggalkan pasangan padahal sudah
mendapatkan tindak kekerasan (Bell dkk., 2007, dalam Collins 2011;
Jessica, 2007; Safitri & Sama’I, 2013; Nataza, 2014; Azizah &
Syaiful, 2014). Bahkan banyak perempuan korban kekerasan yang
memilih untuk meninggalkan pasangan kemudian kembali ke
pasangan tersebut berkali-kali terlebih dahulu sebelum akhirnya benar-
benar meninggalkannya secara permanen (Bell dkk., 2007, dalam
Collins 2011).
Banyaknya korban yang cenderung bertahan dalam hubungan yang
di dalamnya terdapat KDP sungguhlah sebuah paradoks. Bagaimana
individu justru bertahan dalam sebuah keadaan dimana dia disakiti,
dimana dia menerima perlakuan tidak baik, dimana dia dilecehkan.
Selain itu, keadaan tersebut menjadi dilematika tersendiri bagi
penanganan korban KDP. Akan sulit melakukan penanganan terhadap
7
korban, jika korban sendiri enggan lepas dari hubungan dimana dia
memperoleh kekerasan. Ketika korban pulih dia akan sangat mudah
untuk kembali terluka, atau yang lebih parah lagi adalah korban tidak
akan pernah pulih karena dia terus bertahan dalam hubungan yang
membuatnya terluka.
Alasan perempuan korban kekerasan bertahan dalam hubungan
yang di dalamnya terdapat KDP cukup bervariasi. Azizah dan Syaiful
(2014) menemukan bahwa korban yang tetap bertahan dengan
pasangannya meskipun mengalami KDP beralasan bahwa mereka
takut kehilangan pasangannya, yakin bahwa suatu saat perilaku
pasangannya akan berubah, dan percaya diri bahwa mereka
dibutuhkan oleh pasangannya. Sedangkan penelitian lainnya
menemukan bahwa korban KDP sering kali beralasan bahwa mereka
menganggap tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku merupakan
sikap protektif dan rasa sayang, dan/atau beralasan bahwa mereka
memiliki harapan dan kepercayaan bahwa pelaku kekerasan akan
berubah menjadi tidak melakukan kekerasan lagi nantinya (Chung,
2007; Sambhara dan Cahyanti, 2013).
Faktor-faktor yang membuat perempuan korban KDP sukar lepas
dari pasangannya juga bermacam-macam, diantaranya adalah (Arriaga,
2004; Bell dkk. 2007, dalam Collins 2011; Edwards, 2011, dalam
Sambhara dan Cahyanti, 2014; Nataza, 2014; Sambhara dan Cahyanti,
2014); (1) pengaruh masa lalu, (2) komitmen dan kelekatan emosional,
(3) ketergantungan secara ekonomi, (4) durasi berpacaran, (5) power
dominasi pelaku kekerasan, (6) ketakutan memperoleh kekerasan yang
lebih dari sekarang, (7) kurangnya dukungan dari keluarga ataupun
komunitas.
8
Pengaruh masa lalu yang dimaksud disini adalah bahwasanya
korban yang bertahan dalam KDP mungkin pernah atau sudah biasa
mengalami kekerasan saat anak-anak (Edwards, 2011, dalam
Sambhara dan Cahyanti, 2014). Kekerasan yang sudah biasa
diterimanya sedari masa kanak-kanak membuat korban mampu
menoleransi perlakuan kasar. Selain itu, faktor komitmen dan
kelekatan emosional juga ternyata memegang peran yang sangat kuat
dalam penerimaan korban terhadap kekerasan yang dialaminya
(Arriaga, 2004). Rusbult dan Martz (1995, dalam Collins, 2011)
menemukan bahwa komitmen dapat mewakili bagaimana individu
puas atau tidak dalam hubungan. Hal tersebut dapat dilihat dari
perempuan yang mengalami tindak kekerasan yang lebih ringan lebih
memiliki perasaan positif terhadap pasangan dan menjadi lebih
berkomitmen dalam hubungan. Rusbult dan Martz juga mengulas
bahwa komitmen perempuan korban KDP pada hubungan akan
semakin tinggi jika korban memiliki kualitas pilihan alternatif yang
rendah, situasi keuangan yang tidak baik, dan kurang memiliki fasilitas
penunjang pribadi. Hal tersebut juga sekaligus menjawab bagaimana
faktor ekonomi berperan dalam bagaimana korban akhirnya bertahan
dalam KDP. Faktor ketergantungan ekonomi biasanya terjadi pada
korban yang secara ekonomi ditunjang oleh pasangan (Bell dkk. 2007,
dalam Collins 2011). Komitmen dan keterikatan emosional terbentuk
dari bagaimana korban telah mengalokasikan waktu, tenaga, emosi,
persahabatan dengan teman, dan bagaimana subjek telah membuka diri
demi hubungan yang telah dijalaninya (Collins, 2011). Oleh karena itu,
fakor durasi dalam berpacaran juga cukup berpengaruh dalam
bagaimana korban bertahan dalam KDP. Menurut penemuan terkait
9
KDP, makin lama hubungan dijalin, makin susah korban lepas dari
hubungan tersebut (Sambhara dan Cahyanti, 2014)
Faktor lain seperti power dominasi pelaku terhadap korban juga
menjadi hal yang membuat korban sukar lepas dari pasangan. Menurut
Henton (dalam Sambhara dan Cahyanti, 2014) penemuan-penemuan
sebelumnya menemukan indikasi bahwa kekerasan yang dilakukan
oleh pelaku digunakan untuk menunjukkan bahwa posisi pelaku lebih
dominan dalam hubungan, juga untuk membuktikan bahwa pelaku
mampu mengontrol perilaku korban. Dengan adanya dominasi
tersebut, korban cenderung merasa sulit untuk bersikap asertif dalam
hubungannya dan menimbulkan perasaan tak berdaya untuk
meninggalkan hubungan. Perasaan tidak berdaya tersebut juga yang
sering kali memunculkan faktor lain yang menghalangi perempuan
korban KDP untuk berani meninggalkan hubungan, yaitu ketakutan
memperoleh kekerasan yang lebih dari sekarang. Bell dkk. (2007,
dalam Collins 2011) mengulas bahwa rasa takut akan memperoleh
pasangan yang lebih buruk, dan ketakutan ketika memutuskan
berpisah pelaku KDP akan bersikap lebih buruk kepada korban
mendorong perempuan korban KDP untuk tetap bertahan. Ketakutan
dan perasaan tidak berdaya pada diri korban terus akan semakin besar
jika korban kurang mendapat dukungan dari keluarga ataupun
komunitas. Menurut Bell, perempuan korban KDP yang kurang
mendapat dukungan dari keluarga dan komunitas lebih sukar
meninggalkan pelaku.
Mayoritas korban yang bertahan dalam KDP bukanlah individu
yang memang senang diberi kekerasan dan bertahan karena ingin
untuk diberi kekerasan, namun ia membuat pilihan sendiri untuk
10
bertahan walaupun ia disakiti (Lewis & Fremouw, 2001). Menurut
berbagai perempuan korban KDP, pilihan paling aman baginya adalah
untuk tetap bersama dengan pasangannya. Bell dkk. (2007, dalam
Collins 2011) secara unik menemukan bahwa ternyata resiko psikis
dan fisik tidak hanya mengincar perempuan korban KDP yang
bertahan dalam hubungan, namun juga yang memutuskan untuk
berpisah. Perempuan korban KDP banyak memperoleh dampak negatif
dalam jangka pendek karena meninggalkan hubungan. Dampak negatif
yang terjadi antara lain adalah posttraumatic stress disorder¸ masalah
terhadap disosiasi, ganguan tidur, dan self-efficacy yang rendah.
Berdasarkan wawancara awal peneliti pada 6 perempuan korban
KDP yang terus menerus kembali kepada pelaku, selain resiko psikis
ditemukan bahwa juga terdapat resiko fisik yang juga mengintai
korban. Ancaman-ancaman dari pelaku KDP yang telah dialami
korban sejak masa berpacaran sering kali juga terjadi pada waktu
proses korban mengambil keputusan untuk berpisah, bahkan terkadang
lebih parah. Disamping itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya,
dampak sosial yang dialami korban KDP seperti ketakutan tidak bisa
mendapat pasangan yang mau menerimanya, ataupun ketergantungan
dengan pelaku akibat pergaulan yang terlanjur tertutup akan menjadi
pertimbangan yang berat untuk mengambil keputusan berpisah.
Keputusan perempuan korban KDP untuk berpisah merupakan hal
yang berat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika lebih jarang
ditemui perempuan korban KDP yang berhasil lepas dari hubungan
dibandingkan dengan yang memilih untuk bertahan. Padahal fase
perpisahan korban dari KDP bisa dikatakan sebagai fase penting bagi
diri korban untuk kemudian dapat memulai kehidupannya yang baru.
11
Bell dkk. (2007, dalam Collins 2011) mengategorikan perempuan
korban KDP ke dalam tiga jenis keputusan yang diambil; mereka yang
memilih untuk benar-benar lepas dari pelaku KDP, mereka yang
berusaha lepas namun berkali-kali kembali kepada pelaku KDP, dan
mereka yang memutuskan bertahan dalam hubungan bersama pelaku
KDP. Dalam penelitiannya Bell dkk. menemukan bahwa perempuan
korban KDP yang berhasil mengambil keputusan untuk meninggalkan
pasangannya selama setidaknya 3 bulan dan kemudian selama setahun
berikutnya tidak melakukan kontak dengan mantan pasangannya,
memiliki tingkat kesejahteraan fisik dan psikis yang jauh lebih baik.
Hal yang menarik dari penelitian Bell tersebut adalah ternyata
perempuan korban KDP yang mencoba meninggalkan pasangan
namun kemudian berkali-kali kembali ke pasangannya terkena dampak
psikis dan fisik yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang
konsisten bertahan. Terkait dengan penanganan korban KDP,
ditemukan berbagai kesulitan dikarenakan korban memilih bertahan,
atau terus kembali lagi ke pelaku setelah mencoba berpisah.
Bagaimana perempuan korban KDP terus bertahan dengan pelaku
ataupun terus kembali lagi ke pelaku setelah mencoba berpisah
sungguh membuat penanganan menjadi tidak efektif, bahkan sering
kali gagal. Hasil wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat
dalam penanganan kasus kekerasan dalam berpacaran, yaitu staff
Badan Pemberdayaan Kota Salatiga, Staff Dinas Sosial Salatiga, juga
berdasarkan pengalaman peneliti dalam penanganan kasus-kasus KDP
di tim pengabdian masyarakat Pusat Penelitian dan Studi Gender
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, menunjukkan bahwa
beberapa perempuan korban KDP jarang ada yang menyadari bahwa
12
perlakuan yang diperolehnya masuk dalam kategori KDP sebelum
mengalami luka yang cukup parah. Berbagai penanganan yang
dilakukan juga terkadang menguras energi, waktu, emosi, dan materi
yang sangat banyak ketika korban kembali lagi kepada pelaku KDP.
Ketika korban memutuskan berpisah banyak konsekuensi yang harus
ditanggung dan dijalankan termasuk guna memulihkan korban. Namun
ketika korban kembali kepada pelaku KDP, maka proses pemulihan
yang semula mulai terjadi pada saat korban berpisah sering kali
menjadi sia-sia.
Dengan sedikitnya perempuan korban KDP yang berhasil untuk
benar-benar berpisah dari pasangan, padahal hal tersebut sangat
penting dilakukan agar korban mencapai kesejahteraan, maka perlu
kajian khusus mengenai hal tersebut untuk dapat digunakan menjadi
prototype dalam menyusun model penanggulangan KDP yang lebih
tepat sasaran. Tinjauan terhadap faktor-faktor apa sajakah yang
mendorong individu sanggup memutuskan benar-benar berpisah dari
pasangan, bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan
individu untuk berpisah, dan hal-hal apa sajakah yang memampukan
individu menjaga komitmen dari keputusannya tersebut untuk tidak
kembali ke pasangan sangat penting untuk dikaji.
Atwater dan Duffy (2004) menjelaskan bahwa ketika individu
diharuskan mengambil keputusan yang penting, maka individu akan
melakukan pertimbangan mental yang lebih berat dibandingkan ketika
harus mengambil keputusan sehari-hari yang ringan. Pilihan yang
berat akan membawa individu ke dalam penderitaan mental yang
memaksa individu untuk mempertimbangkan setiap konsekuensi yang
akan terjadi dari pilihannya, bahkan konsekuensi yang terjadi ketika
13
individu tersebut menunda mengambil keputusan. Ketika dihadapkan
pada pilihan hidup yang penting, individu akan sadar bahwa
pengambilan keputusan perlu dilakukan dan menjadi sebuah
kebutuhan. Pengambilan keputusan yang demikian sering kali diawali
dengan fase krisis, ataupun justru malah menempatkan individu pada
fase krisis dalam hidupnya. Hal yang sama juga cenderung terjadi pada
perempuan korban KDP. Edwards dkk. (2011, dalam Sambhara dan
Cahyanti, 2014) menemukan kasus-kasus khusus dimana perempuan
korban KDP mengalami kesulitan lebih tinggi dalam membuat
keputusan untuk berpisah, yang dikarenakan Self-esteem yang rendah
atau penggunaan coping stress yang tidak tepat.
Meskipun krisis-krisis dalam kehidupan individu sering kali
identik dengan masa-masa keterpurukan, krisis-krisis yang dialami
individu ternyata juga dapat menjadi bagian atau bahkan pemicu
kebangkitan spiritual seseorang (Yulianti, 2015). Menurut Taylor dkk.
(1997, dalam Sipayung, 2015) krisis dan perubahan dapat
meningkatkan kedalaman spiritual seseorang. Spiritualitas sendiri
lebih lanjut menurut Taylor sangat dipengaruhi oleh latar belakang
keluarga, etnik, dan budaya. Seperti yang terjadi pada masyarakat
Indonesia misalnya, sedari kecil agama –yang merupakan hal yang
sering kali dilekatkan dengan spiritualitas, telah diwariskan sedari kita
lahir beserta nilai-nilainya. Warisan nilai-nilai tersebut yang kemudian
juga memengaruhi perilaku masyarakat (ataupun individu) dalam
kesehariannya, misalnya saja perilaku berdoa. Dalam kehidupan
keagamaan, manusia secara turun temurun berusaha memahami
tentang Tuhan, dan hubungan manusia dengan Tuhan, yang mereka
14
anggap sebagai sosok transenden atau sosok yang melampaui batas
kemampuan manusia.
Dapat dilihat bahwa dalam masa-masa krisis, banyak diantara kita
seringkali melakukan perenungan, refleksi, juga memohon bantuan
kepada Tuhan. Dalam berbagai keputusan yang dianggap cukup
krusial seperti keputusan untuk memilih sekolah, keputusan dalam
memilih pekerjaan, dan keputusan untuk memilih pasangan, banyak
anjuran untuk kita merenung, berefleksi, berdoa, bahkan bermeditasi
atau bersemedi. Dengan melakukan ritual tersebut, diharapkan
individu dapat mengambil keputusan yang lebih baik, ataupun
keputusan yang tepat.
Wibowo (2008) menuturkan bahwa pengalaman spiritual dapat
membuat individu menjadi lebih matang, membimbing individu
menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar, dan fungsi lebih
baik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat orang-
orang yang berusaha mengejar atau mendapatkan pengalaman
spiritual. Setiap tahunnya berbondong-bondong pergi Umrah, Haji,
melakukan meditasi, melakukan refleksi atau pemaknaan diri, bahkan
bersemedi di berbagai tempat yang di anggap sakral. Beribu-ribu orang
datang ke tempat ibadah, ke sosok yang dianggap dapat
membimbingnya secara spiritual, ataupun melakukan pemaknaan
melalui alam oleh dirinya sendiri.
Pengalaman yang disebabkan oleh pengalaman atau kebangkitan
spiritual, sering kali disebut Kedaruratan Spiritual. Kedaruratan
spiritual dalam psikologi merupakan salah satu konsep dalam kajian
Psikologi Transpersonal. Menurut Yulianti (2015) Secara etimologi,
transpersonal sendiri berakar dari kata trans dan personal. Trans
15
artinya di atas (beyond, over) dan personal adalah diri. Sehingga dapat
dikatakan Transpersonal membahas atau mengkaji pengalaman di luar
batas diri, seperti halnya pengalaman-pengalaman spiritual. Sedangkan
menurut John Davis (2003), psikologi transpersonal bisa diartikan
sebagai ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas.
Dengan adanya kematangan dan fungsi yang lebih baik yang
diperoleh dari pengalaman spiritual seperti yang dituturkan tadi oleh
Wibowo, maka dalam proses pengambilan keputusannya individu
dapat melakukan evaluasi terhadap alternatif ataupun pilihan yang dia
miliki dengan lebih baik, serta menjalani keputusan tersebut dengan
lebih baik. Mengingat hal tersebut, menjadi sangat menarik jika
mengkaji keputusan perempuan korban KDP dengan sudut pandang
Psikologi Transpersonal, terutama korban yang akhirnya berhasil
benar-benar lepas dan berpisah dari pelaku. Kajian terhadap keputusan
berpisah dari perempuan korban KDP yang awalnya sempat bertahan
ataupun gagal berpisah dari pasangan (karena terus kembali ke
pasangan) namun kemudian akhirnya berhasil untuk benar-benar
meninggalkan pelaku, akan sangat bermanfaat bagi penyusunan model
penanggulangan KDP.
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merasa penting untuk melihat
bagaimana proses pengambilan keputusan berpisah pada perempuan
korban KDP. Kajian Psikologi Transpersonal, akan sangat membantu
melihat keputusan korban secara lebih spesifik, mendalam, dan
kontekstual. Dengan mengetahui hal tersebut, penyusunan model
penanggulangan KDP yang selama ini kurang efektif akibat banyaknya
korban yang cenderung terus bertahan dalam kekerasan ataupun
berkali-kali kembali ke pasangan, akan menjadi lebih tepat sasaran.
16
Lokasi penelitian ini sendiri adalah di area Jawa Tengah
(Karanganyar, Surakarta, Salatiga). Pemilihan lokasi penelitian
tersebut dikarenakan beberapa alasan yang antara lain adalah tinggi
dan terus meningkatnya kasus KTP yang di dalamnya terdapat KDP di
Jawa Tengah. Data Kasus KTP yang terjadi di Jawa Tengah
didominasi oleh kasus KDRT dan KDP (Lestariyanti, Aktivis LRC-
KJHAM, Koran Tempo, 1 Desember 2015), yaitu dengan adanya 201
kasus dengan 201 korban dan 94 kasus kekerasan dalam pacaran
dengan korban yang lebih banyak yaitu 274 korban, selama periode
November 2014-Oktober 2015. Jawa Tengah dinyatakan tengah
berada dalam situasi darurat penyelamatan perempuan dari kasus
kekerasan (Ketua KPK2GBA, Koran Tempo, 1 Desember 2015).
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah gambaran kekerasan dalam berpacaran pada
kasus yang pernah dialami oleh perempuan korban KDP
yang menjadi subjek penelitian?
2. Bagaimanakah gambaran proses pengambilan keputusan
perempuan korban KDP untuk berpisah dari pasangan dalam
kajian Psikologi Transpersonal?
C. TUJUAN PENELITIAN
Terkait dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan
untuk;
1. Memberikan gambaran kekerasan dalam berpacaran pada
kasus yang pernah dialami oleh perempuan korban KDP
yang menjadi subjek penelitian?
17
2. Memberikan gambaran proses pengambilan keputusan
perempuan korban KDP untuk berpisah dari pasangan dalam
kajian Psikologi Transpersonal?
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara teoritis
a. Dalam kajian keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam bidang psikologi dan dapat
menjadi referensi untuk hal-hal yang terkait dengan kekerasan
terhadap perempuan secara umum dan kekerasan dalam
berpacaran (yang diterima perempuan) secara khusus, dan
proses pengambilan keputusan khususnya dalam kajian
Psikologi Transpersonal.
b. Dan data yang nantinya diperoleh dengan sistematika
penelitian ilmiah ini dapat menjadi referensi untuk penelitian
selanjutnya mengenai topik-topik yang terkait dengan
kekerasan terhadap perempuan secara umum dan kekerasan
dalam berpacaran (yang diterima perempuan) secara khusus,
maupun proses pengambilan keputusan khususnya dalam
kajian Psikologi Transpersonal.
2. Secara praktis
a. Perempuan korban kekerasan dalam berpacaran untuk dapat
menjadikan kasus yang disajikan dalam penelitian berikut
sebagai model/prototype langsung guna lepas dari hubungan
berpacaran yang didalamya terdapat kekerasan (lepas dari
pasangan pelaku kekerasan dalam berpacaran)
b. Keluarga maupun orang terdekat korban ataupun pelaku
kekerasan dalam berpacaran untuk dapat menggunakan kasus
18
yang disajikan dalam penelitian berikut sebagai
model/prototype langsung yang dapat digunakan untuk
membantu korban lepas dari hubungan berpacaran yang
didalamya terdapat kekerasan.
c. Pembaca hasil penelitian ini diharapkan untuk tidak menjadi
pelaku maupun korban dari kekerasan dalam berpacaran.
d. Lembaga (Sekolah, Gereja, Biro Konseling, dsb) yang
melakukan penanggulangan korban kekerasan dalam
berpacaran agar dapat menggunakan hasil penelitian ini
sebagai bagian dari pemetaan masalah ataupun referensi dalam
menyusun intervensi ataupun model penanggulangan.