bab i pendahuluan i.1. latar belakang permasalahan

35
vi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Membicarakan tentang Negara Hukum Indonesia, tak lepas dari memperbincangkan manusia, masyarakat atau bangsa. Negara bangsa dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang sepakat menyatukan visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah sistem bersama secara politik. Sedangkan di sisi lain, mereka pun bersepakat untuk mengikis hak-hak individual mereka agar tidak berbenturan dengan hak-hak individu lainnya. Oleh sebab itulah manusia sebagai individu selalu dapat secara luwes menempatkan dirinya dalam kelompok. Manusia sendiri disebut sebagai makhluk social (homo homini lupus) atau bahkan sebagai insan politik (zoon politicon). Akan tetapi, problematika kemudian muncul manakala kelompok masyarakat tersebut berjalan mewujudkan visi dan tujuannya. Dalam proses perjalanannya secara organisasional maupun politik, seringkali terjadi perbedaan, baik itu dikarenakan perbedaan pandangan maupun ketidaksetujuan dikarenakan adanya pengikisan hak- hak individual yang terjadi secara tidak adil. Hal yang wajar memang, karena bukankah komunitas masyarakat berisi banyak individu? Bukan satu atau dua orang saja. Komunitas bangsa juga demikian, terdiri dari beberapa kelompok dan elemen yang saling menunjang dan melebur ke dalam satu panutan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

vi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Permasalahan

Membicarakan tentang Negara Hukum Indonesia, tak lepas dari

memperbincangkan manusia, masyarakat atau bangsa. Negara bangsa

dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang sepakat menyatukan

visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah sistem bersama secara politik.

Sedangkan di sisi lain, mereka pun bersepakat untuk mengikis hak-hak

individual mereka agar tidak berbenturan dengan hak-hak individu

lainnya. Oleh sebab itulah manusia sebagai individu selalu dapat secara

luwes menempatkan dirinya dalam kelompok. Manusia sendiri disebut

sebagai makhluk social (homo homini lupus) atau bahkan sebagai insan

politik (zoon politicon). Akan tetapi, problematika kemudian muncul

manakala kelompok masyarakat tersebut berjalan mewujudkan visi dan

tujuannya.

Dalam proses perjalanannya secara organisasional maupun

politik, seringkali terjadi perbedaan, baik itu dikarenakan perbedaan

pandangan maupun ketidaksetujuan dikarenakan adanya pengikisan hak-

hak individual yang terjadi secara tidak adil. Hal yang wajar memang, karena

bukankah komunitas masyarakat berisi banyak individu? Bukan satu atau dua

orang saja. Komunitas bangsa juga demikian, terdiri dari beberapa kelompok

dan elemen yang saling menunjang dan melebur ke dalam satu panutan

vii

system yang secara politik akan dijalankan bersama-sama, disepakati

bersama dalam rangka mencapai tujuan baik itu kesejahteraan, ekonomi

maupun budaya. Oleh sebab itu, menuangkan satu kesepakatan bersama

ke dalam suatu ikatan perjanjian__baik itu tertulis maupun tidak tertulis

(yang diakui telah menjadi satu kebiasaan atau konvensi)__merupakan

hal yang niscaya untuk dilakukan. Kesepakatan inilah yang kemudian

dinamakan “Konstitusi”. Konstitusi dan Negara memiliki hubungan yang

sangat erat, Konstitusi adalah penunjang berdirinya sebuah Negara,

bahkan identitas sebuah Negara. Dengan demikian, pastilah Konstitusi

akan memiliki corak warna yang khas sesuai dengan nilai luhur bangsa yang

dianut.

Konstitusi Negara telah berkembang demikian pesat seiring dengan

dinamisasi kebutuhan manusia. Negara yang pada awal kemunculannya

hanya berupa Negara kota (polis) telah berkembang dari masa-ke masa

hingga sampai pada konsep Negara kesejahteraan (welfare state) saat

ini. Pengembanan konsep Negara telah dimulai bahkan sejak masa

kerajaan kuno babylonia, sampai pada masa Yunani, Romawi yang

kemudian meluas ke daratan eropa hingga saat ini. Hanya saja, konsep

Negara pada masa lampau, yang lebih dikenal dalam konsep kerajaan,

kekaisaran (dinasti) meletakkan garis kekuasaan pada absolutisme raja.

Hal ini pernah juga berlaku di beberapa wilayah eropa. 1

1 Disarikan dari pemikiran I gede Panca astawa, Suprin na’a, dalam “memahami ilmu negara dan

teori negara, Jakarta: refika aditama, halaman 60

viii

Meskipun pada perjalanan kenegaraan selanjutnya, absolutisme

raja secara perlahan-lahan mulai terkikis melalui pembatasan-pembatasan

kekuasaan dalam Negara, hal ini tidak secara langsung menghilangkan

figur seorang “raja” (personifikasi individu absolut) dalam sebuah Negara.

Pada kenyataannya, masih ada Negara di dunia yang menggunakan figur

seorang pemimpin selayaknya “raja” dalam negaranya, meskipun konsep

maupun penamaannya telah dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai

dengan perkembangan kebutuhan Negara modern dewasa ini.

Demikian halnya dengan Konstitusi yang juga mengalami

perkembangan pesat dari masa ke masa. Konsep hukum pada masa lampau

yang diawali dari kebiasaan masyarakat, pada tahap selanjutnya menuntut

adanya kewajiban_(kepastian atas penegakan)_ menciptakan ketaatan atas

kebiasaan-kebiasaan tersebut. Untuk itu diperlukan figur pemimpin yang

memiliki kekuasaan (kewenangan) menjalankan hukum. Konstitusi

menjadi suatu dokumen yang amat penting dalam rangka memenuhi

kebutuhan tersebut, karena disamping mengatur aturan dasar, di dalamnya

juga diatur bagaimana cara menjalankannya. Pada dasarnya, menurut

pemikiran penulis, cikal bakal sebuah konstitusi telah ada sejak

masyarakat memiliki keinginan untuk membentuk satu komunitas dalam

lingkup satu wilayah politis yang memiliki aturan hukum mengikat

(dalam bentuk negara, kerajaan, atau komunitas bangsa lainnya yang belum

menamakan dirinya negara, tetapi memiliki seorang pemimpin atau figur

yang dianggap sebagai penguasa). Hanya saja, kondisi pada masa itu

ix

masih menggunakan konsep konstitusi secara sederhana dan yang

terpenting mengatur bagaimana kekuasaan akan dijalankan.2

Indonesia sendiri, melalui ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang -

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi

Indonesia) dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, yang

kemudian dipertegas pada Pasal 28 I ayat (5) Undang - Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (menjelaskan tentang perwujudan

Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia) adalah Untuk menegakkan

dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan dengan prinsip negara

hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,

diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan”.3

Konsep Negara Hukum Indonesia merupakan perpaduan kedua

konsep rechtstaat dan the rule of law. Sebelumnya, konsep negara Hukum

di Indonesia lebih mengarah kepada Rechtstaat yang bercirikan Civil Law,

selanjutnya dengan pemberian nama Negara Hukum Pancasila, yaitu

tepatnya pada masa orde baru dan sebelum amandemen UUD NRI Tahun

1945, dan menjadi Negara hukum demokratis pada masa reformasi hingga

saat ini. Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa Konstitusi memiliki

kedudukan yang amat penting bagi sebuah negara. Konstitusi pula yang

akan menjadi dasar aturan bagaimana negara akan dijalankan. Melalui

Konstitusi, dapat dilihat gambaran mengenai sistem hukum apa yang

2 . dirangkum melalui pandangan I gede Panca Astawa, memahami ilmu negara dan teori Negara, Bandung;

refika aditama, halaman 2, dan Jimliy Asshiddiqie, pengantar ilmu hukum Tata Negara jilid 1 jakarta; Konstitusi Press, 2006 halaman 11 3. Disadur Penjelasan modul teori perundang-undangan, sudardi, UNDIP, 2012, disampaikan pada

perkuliahan umum universitas pekalongan.

x

dianut, perkembangan demokrasi, sampai kpada konsep penyelenggaraan

pemerintahan, pemenuhan aspek keadilan maupun pembagian kekuasaan

dalam negara.

Konstitusi Indonesia sendiri dilihat dari sejarah awal mula

perumusannya, nampak terjadi perdebatan pada saat rapat BPUPK yang amat

kental antara kaum agamis yang dipelopori oleh Yamin, dan kaum nasionalis

yang dimotori oleh Soekarno. Perdebatan antara keduanya meskipun telah

terselesaikan pada saat rapat perumusan, nyatanya terus berlanjut hingga saat

ini.4 Ada beberapa pihak yang kemudian ingin mengangkat kembali isu

agama tunggal untuk masuk secara formal dalam pegembanan negara. Tentu

upaya tersebut dapat memunculkan sentimen terhadap suatu konsep agama

tertentu yang pada akhirnya dapat mengancam prinsip kebhinnekaan dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Disertasi ini disusun untuk melihat kembali masa pada saat

perumusan Konstitusi sejak awal kemerdekaan (orde lama),

konstitusionalisme pada masa orde baru, sampai amandemen yang terjadi

dimasa reformasi. Tentu saja yang akan dilihat mengenai seberapa besar

terjadi perdebatan hingga memunculkan mufakat untuk kemudian melahirkan

konsep negara hukum Indonesia dewasa ini. Sehubungan hal tersebut, penulis

menjadikan gagasan konsep negara hukum berdasarkan nilai ketuhanan-

religius (religious welfarestate) dalam penyusunan undang-undang yang akan

dibuktikan keabsahannya melalui penelitian disertasi ini. Pemilihan judul

4 Risalah sidang BPUPKI sidang pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI), 1998, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indinesia, hal. 36-37

xi

tersebut bukanlah tanpa alasan, mengingat bangunan arsitektur yuridis

kenegaraan bangsa yang dibangun dengan tetap mempertahankan (atau

memilih) Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama sekaligus sebagai

puncak hierarki bagi keempat sila lainnya dalam Pancasila. Dan dari sinilah

desain konsep negara hukum dan pembentukan Undang-Undang secara

teoretik akan dibangun .

I.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dalam

penelitian diajukan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertentangan ideologis dan gagasan ketuhanan dalam

penyusunan Konstitusi negara hukum Indonesia?

2. Bagaimanakah perwujudan konsep Negara hukum sekaligus dalam

konstitusionalisme Indonesia terutama berkaitan dengan Hak Asasi

Manusia?

3. Bagaimanakah re-desain Undang-Undang yang berdasarkan nilai

Ketuhanan?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini berdasarkan dari rumusan

permasalahan tersebut di atas :

xii

1. Untuk mengungkapkan dan menganalisis pertentangan ideologis dan

gagasan ketuhanan berkaitan dengan agama dan Hak asasi Manusia dalam

penyusunan Konstitusi negara hukum Indonesia.

2. Untuk mengungkapkan dan menganalisis serta memperkuat perwujudan

konsep Ketuhanan, Nilai HAM serta konsep Negara hukum dalam

konstitusionalisme Indonesia.

3. Untuk mengungkapkan dan menganalisis serta memperkuat perwujudan

konsep Ketuhanan di Indonesia melalui prosedur pembentukan Undang-

Undang

I.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan baik secara teoritis

maupun praktis diantaranya sebagai berikut :

1. Manfaat secara Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat memberikan

gambaran mengenai ideologi yang bermunculan dan menjadi

perdebatan dalam proses penyusunan Konstitusi Negara

Hukum Indonesia;

b. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat mendukung teori

baru negara hukum ketuhanan yang ideal dalam pengembanan

kenegaraan, terutama berkaitan dengan HAM;

c. Diharapkan hasil penelitian dapat berguna sebagai salah satu

bahan acuan dan pertimbangan untuk menjadi pisau analisa

xiii

dalam menguji konsep welfarestate, untuk kemudian mereduksi

dan merancang ulang agar berkesesuaian dengan cita negara

hukum, terutama yang berkaitan dengan demokrasi, ketuhanan

dalam bingkai konstitusionalisme (religius welfarestate).

d. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat dijadikan bahan

rujukan dalam rangka pengkajian ilmiah yang berkaitan dengan

desain teori negara Hukum Indonesia, serta dapat menjadi

bahan rujukan dalam proses sinkronisasi yuridis dalam bingkai

konstitusionalisme.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat memberikan

masukan bagi masyarakat, maupun pemerintah untuk upaya

pencegahan masuknya ideologi diluar pancasila melalui kajian

sejarah yang telah dideskripsikan;

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan-

masukan pemikiran bagi masyarakat luas serta penentu

kebijakan dalam mewujudkan negara hukum religius;

c. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat dijadikan sumber

rujukan bagi evaluasi ulang konsep negara hukum welfarestate

yang telah diterapkan di indonesia dewasa ini, untuk menuju

pada konsep negara hukum religius dimasa yang akan datang;

xiv

d. Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat dijadikan pedoman

dalam proses elaborasi peraturan perundang-undangan

sehingga mencerminkan perpaduan antara sistem demokrasi,

nilai Ketuhanan dan Keadilan.

I.5. Kerangka Teoretik

Istilah mengenai Re Desain pada awalnya mengacu kepada kata

desain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya kerangka

bentuk: rancangan, motif; pola; corak. Sedangkan penambahan kata re di

depan kata desain berarti menyusun kembal, malkukan penyusunan ulang

pada kerangka maupun bentuk. Adapun istilah re desain dapat juga

ditemukan dalam American Heritage Dictionary; redesign means to make

a revisions in the appearance or function of, yang dapat dimaknai berupa

membuat perubahan baik pada sisi penampilan maupun pada fungsinya.

Apabila kata “Re Desain” digunakan dalam penambahan kata “Negara

Hukum”, maka dapat bermakna merancang ulang, mendesain ulang

konsep maupun fungsi negara hukum. Dalam pada itu, Konsep Negara

Hukum yang akan dirancang ulang baik bentuk maupun fungsi, tentu

sangat erat hubungannya dengan konstitusi sebagai hukum dasar sebuah

negara bangsa. Dengan demikian, maka suatu keniscayaan untuk

mengikutsertakan kajian mengenai Konstitusi ketika membahas Negara

Hukum.

xv

Pemikiran dan ide awal tentang Gagasan negara hukum dalam

Konstitusi pada dasarnya telah muncul sejak masa lampau, yaitu masa

dimana mulai berkembangnya proses unifikasi masyarakat menjadi

sebuah komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di

bawah satu system pemerintahan. Pada masa ini, secara sederhana

konsitusi melalui pengertian maknanya muncul dalam satu lingkup sistem

pemerintahan yang sangat sederhana pula. Adalah Yunani kuno, sebuah

wilayah yang melahirkan ide gagasan tentang konstitusi yang didahului

dengan munculnya bentuk Negara kota (polis) yang kemudian

memunculkan pula ide-ide tentang konsep dan sistematika pemerintahan

kala itu. Ide-ide yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, negara dan

sosial.

Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi diperkenalkan oleh

Plato melalui tulisan-tulisan dalam “Nomoi”, demikian halnya dengan

Socrates yang menelurkan konsep kekuasaan (power), rakyat dan

pemerintahan melalui karyanya “Panatheenaicus” maupun

“aeropagiticus”. Pada masa klasik ini, perkembangan konstitusionalisme

masih pada taraf yang amat primitif dan diberlakukan pada negara kota

(polis) yunani kuno. Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi

pemikiran Plato dan hidup dalam rentang waktu selanjutnya, melalui

“Politics” membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi termasuk di

dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara (power),

dan pemerintahan. Meskipun kondisi Negara pada waktu itu masih

xvi

berbentuk polis (Negara kota) kecil, akan tetapi pemikiran filsuf yunani

saat itu telah sampai pada cita Negara dan pemerintahan yang diidealkan.

Secara tidak langsung, makna tentang Konstitusi secara sedikit demi

sedikit telah muncul dan berkembang dalam rangkaian pemikiran yunani

kuno.

Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang pesat

pada masa Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai pada tahap

pengertiannya sebagai “superiority law” atau hukum tertinggi. Pada

tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai sebagai suatu aturan hukum yang

terpisah dari Negara dan kedudukannya pun jauh lebih tinggi. Senada

dengan itu, Cicero mengartikan suatu Negara sebagai a bond of law

(vinculum yuris)5. Dengan demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami

sebagai aturan tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan

kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law6.

Hal ini lantas berimplikasi pada diperkenalkannya hierarki peraturan

(hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan dengan

berpegang pada konstitusionalisme.

1) Gagasan Konstitusi Negara Hukum dalam Islam

Al Quran tidak pernah menyebutkan secara eksplisit baik itu

definisi mengenai Konstitusi maupun Negara Hukum. Tidak adanya

definisi khusus mengenai hal tersebut menyebabkan polarisasi dan

5 . Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal.13

6 . Ibid, hal. 14

xvii

fleksibilitas dalam penafsiran melalui Al-Quran. Akan tetapi

disebutkannya perintah untuk berlaku adil bagi pemimipin serta

dianjurkannya penghormatan terhadap Hak-Hak kemanusiaan dalam

sebuah kepemimpinan justru memberikan nilai lebih dan batasan positif

dalam penafsirannya. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran

pembentukan berbagai bentuk negara hukum dan pemerintahan oleh

masyarakat Islam. Lebih lanjut disebutkan:

“Bahwasanya Allah menyuruh bersifat adil dan berbuat baik” (Q.S, 16:

90)..7

“Apabila kamu ingin hendak memberi hukum diantara manusia maka

haruslah kamu memberi hukum dengan adil” (Q.S, 4: 5).8

“Dan ajaklah mereka itu bermusyawarah tentang perkara mereka” (Q.S,

3: 159).9

“dan adapun urusan mereka rakyat hendaklah dimusyawaratkan antara

mereka sendiri” (Q.S, 26: 38).10

Adapun Sejarah Konstitusionalisme pada era Muhammad

mengalami masa keemasan pada saat dilakukannya hijrah dari Makkah

menuju Madinah. Pada saat itulah dimulai penggabungan masyarakat dan

kemajuan heterogenitas masyarakat. Islam terwujud sebagai agama yang

mampu mempersatukan perbedaan kepentingan dan kesukuan masyarakat

madinah.

7 . Al-Quran, surat An-Nahl, ayat 90.

8 . ibid, An-Nisaa, ayat 5.

9 . ibid, Ali Imron, ayat 159.

10 . ibid, As Syura, ayat 38.

xviii

Piagam konstitusi pada masa ini, yang disebut juga dengan

istilah kesepakatan dan dikenal dengan sebutan shahifah11

tersebut

menjadi dasar kehidupan politis dan sosial kemasyarakatan dalam sebuah

Negara Madinah yang Majemuk. Hal ini menjadi demikian fenomenal

dalam catatan sejarah mengingat kota Madinah adalah satu wilayah yang

menjadi tempat hijrah Rasul yang bersamaan dengan itu pula menerima

kehadirannya sebagai pemimpin umat sekaligus pembawa agama baru

(islam).

Secara tekstual, Piagam Madinah ini secara lengkap

diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H),12

Meskipun kharakteristik yang terkandung didalamnya masih kuno, tetapi

kebenaran dan keotentikan piagam tersebut dapat dipertanggungjawabkan

mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam

Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang

dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat

piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu13

.

Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery

Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara

umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada

11

. Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah asli Piagam Madinah. Menurut

Ahmad Sukardja, kata shahifat lebih tepat dikarenakan menunjuk pada makna piagam atau

charter, karena lebih menunjuk kepada surat resmi yang bersifat pernyataan tentang suatu hal,

dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, hal.2. 12

. Disadur dari artikel dalam sejarah Hak Asasi Manusia/Piagam Madinah, diunduh pada

24 September 2010, hal.2-3 13

. ibid,.

xix

masa Umayyah dan Abbassiyah yang dalam kandungannya memasukkan

orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.14

Sebagai sebuah Konstitusi Negara Hukum, Piagam Madinah

memuat secara explisit mengenai persatuan ummat dan dasar penerapan

pembentukan kenegaraan. Kharakteristik tersebut diantaranya;15

1. Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan masyarakat yang

majemuk terdiri dari beberapa ikatan kesukuan dan agama. Unsur

kesukuan memegang peranan penting bagi pembentukan awal sebuah

kelompok dalam komunitas, dengan demikian maka menjadi awal

cikal bakal pembentukan negara. Pada saat itu, Muhammad

menghilangkan primordialisme kesukuan dan menggantinya dengan

nasionalisme (dilihat dari unsur kegotongroyongan serta musyawarah

dalam kabilah yang dimaksudkan untuk membangun satu persatuan

Negara Madinah dengan tanpa menghilangkan ciri-khas masing-

masing kabilah, tetapi menggabungkannya dalam sebuah aturan

Piagam yang kemudian disepakati bersama menjadi sebuah dokumen

pengikat kehidupan majemuk secara politik).

2. Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai dengan

kewajiban untuk saling menghormati, bekerjasama serta memberikan

perlakuan yang adil dan wajar sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk

14

. ibid,. 15

. Sebagaimana diantaranya dirangkum dan disadur dari Irfan Idris, Islam dan

Konstitusionalisme, kontribusi Islam dalam penyusunan Undang-undang Dasar indonesia

modern, Yogyakarta, anthonylib, cetakan pertama tahun 2009 hal 33-35.

xx

pula di dalamnya perlindungan politik dan hukum terhadap kaum

minoritas.

3. Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan ibadah bagi

Muslim dan Yahudi serta bagi umat lainnya, persamaan kedudukan

di hadapan hukum bagi seluruh warga negara, pengakuan atas

perjanjian perdata warga negara, Hak dan kewajiban pembelaan

negara terkait penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan atas

perdamaian.

4. Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan yang ditandai

dengan Yatsrib sebagai pusat pemerintahan serta pembagian

wewenang terhadap penyelesaian permasalahan dalam suku/kabilah

yang diserahkan urusannya kepada masing-masing suku tersebut, dan

menyerahkan urusan kepada Muhammad (pemimpin pusat) apabila

menyangkut permasalahan antar suku di Madinah. Pada masa ini

telah diperkenalkan asas pembagian kekuasaan (distribution of

power) secara dini dan jauh lebih awal sebelum para pemikir dan

negarawan barat mengkonsepsikannya ke dalam negara modern.

Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara Madinah, telah

merangkum semua sifat yang dibutuhkan oleh organisasi kenegaraan, baik

sifat proklamasi (proclamation of independence), deklarasi (declaration of

of birth of state), perjanjian atau pernyataan-pernyataan yang lain (seperti

halnya konsep declaration of Human Rights maupun le droit de l'home et

du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam ini. Oleh karena

xxi

kualitasnya yang serba mencakup ini, maka Piagam Madinah diakui

sebagai “Konstitusi tertulis yang pertama di dunia”.16 Bahkan, Konstitusi

Madinah diakui pula sebagai Konstitusi termodern pada zamannya.17

Modernitas ini dapat dilihat melalui adanya komitmen yang tinggi,

partisipasi masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam pemerintahan,

serta keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan tingkat kecakapan.18

2) Gagasan Ketuhanan dalam perkembangan kebangsaan Indonesia

Masuknya Islam di bumi Nusantara telah mempengaruhi kondisi

sosio kultural masyarakat. Pada saat itu, konstelasi masyarakat yang

masih memegang teguh kebudayaan dan agama Hindu-Budha dan

bahkan sebagian masih animisme dan dinamisme, secara sedikit demi

sedikit berbaur dan berubah dengan masuknya ajaran Islam. Perubahan

ini dapat dilihat melalui adanya asimilasi kultural antara kebudayaan

Islam dan budaya masyarakat Nusantara, termasuk di dalamnya

peninggalan Hindu-Budha yang masih lestari. Munculnya kerajaan-

kerajaan Islam menandai awal mula kemajuan peradaban dan

pemerintahan Islam di wilayah Nusantara.

Islam masuk secara damai salah satunya melalui jalur

perdagangan dan berkembang pengajarannya melalui jalan dakwah.

Islam saat itu datang sebagai agama Tauhid yang kemudian melakukan

16 . Djazim Hamidi, Malik, 2009, “Hukum Perbandingan Konstitusi”, Prestasi Pustaka Publisher,

Jakarta, hal.45. 17 . Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief, Harper & Row, New York, hal. 150-151. 18 . ibid,.

xxii

pembaharuan di bidang keyakinan masyarakat terkait persamaan

kedudukan manusia serta dihapusnya pola feodalisme yang memisahkan

derajat antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Islam

bahkan menghapuskan kasta yang pada saat itu masih menjadi rujukan

dalam konteks pergaulan sosial masyarakat. Melalui kekuatan sosiologis

dan budaya yang telah menyatu, Islam kemudian tampil sebagai salah

satu agama yang cukup dominan di wilayah Nusantara terutama dalam

konsep Kemanusiaan (HAM), pendidikan, pemerintahan, keagamaan

serta konsep perekonomiam perdagangan.

Sebagai agama yang hidup berdampingan dengan heterogenitas

keyakinan masyarakat, Islam tampil dengan sangat toleran. Budaya

sebagai hasil pemikiran manusia tidak serta merta dihapuskan, tetapi

secara perlahan dimasukkan nilai tauhid ke dalamnya sehingga sesuai

dengan nilai dasar Islam. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa Islam

pada saat itu melakukan kompromi budaya dalam hal pemasukan dan

penerapan ajaran-ajarannya.

Konteks persatuan masyarakat yang terwujud melalui konsep

Jama'ah menjadi dasar dalam kekuatan perjuangan Islam baik itu dalam

rangka penegakan syari'ah maupun dalam pergerakan dan perlawanan

terhadap penjajahan. Agama ini memberikan andil besar dalam

memberikan kekuatan dan semangat tersendiri dalam upaya perjuangan

kemerdekaan Indonesia.

xxiii

Islam hadir sebagai sebuah agama yang menjadi pelengkap

(komplementer) dalam kehidupan sosio kultural dan politik di Indonesia.

Meskipun demikian, dalam rangkaian sejarah perumusan hukum pasca

diperolehnya kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah serta merta

menjadikan Islam sebagai acuan dan dasar dalam pembentukan negara

indonesia saat itu. Sebagai salah satu komponen penting dalam struktur

sosial Indonesia, ide pemikiran Islam ternyata tidak mendominasi

pembentukan kenegaraan Indonesia sebagaimana terjadi dalam

perdebatan penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar yang

diselenggarakan BPUPKI pada awal masa kemerdekaan Indonesia. Tidak

berhasilnya ide akan negara Islam pada saat itu telah memberikan

pelajaran besar bagi masyarakat Islam akan pentingnya pengakuan atas

persamaan heterogenitas sosial, masyarakat dan agama dalam sebuah

negara. Tidak masuknya ide Islam ini bukan pula merupakan sebuah

pengingkaran atau penafian terhadap peran Islam itu sendiri.

3) Pembahasan Ketuhanan menurut Islam dalam UUD 1945

UUD 1945 disahkan dan mulai berlaku sebagai konstitusi

Indonesia melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelumnya, naskah UUD 1945

ini telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh “Dokuritzu Zyunbi

Tyoosakai” atau “Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

xxiv

Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI).19

Badan ini dibentuk dan dilantik

oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam

rangka memenuhi janji pemerintah Jepang untuk memberi

kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.20

Pada awal pembahasan Undang-Undang Dasar dalam rapat

BPUPKI, para penyusun telah memperdebatkan bentuk negara

termasuk di dalamnya perdebatan atas pemasukan unsur Islam. Dalam

kesempatan itu, isu tentang Pembentukan Negara Islam menncuat

melalui pandangan yang dilontarkan oleh KI Bagoes Hadikoesoemo.

Dalam uraiannya, beliau menawarkan ide akan keistimewaan dan

relevansi asas Islam dalam pembentukan Negara Indonesia. Ki Bagoes

mengatakan relevansi empat ajaran pokok dalam Islam berupa; Ajaran

iman atau kepercayaan kepada Allah SWT; Ajaran beribadah,

berhikmat dan berbakti kepada Allah; Ajaran beramal salih; Ajaran

berjihad di jalan Allah.21 Ia kemudian mengaitkan empat ajaran

filosofis Islam tersebut ke dalam ide dasar pembentukan negara

Indonesia. Selanjutnya ia mengatakan:

“ Tuan -tuan dalam sidang yang terhormat! Dalam Negara kita,

niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya suatu pemerintahan

yang adil dan bijaksana, berdasasrkan budipekerti yang luhur

19

. Jimliy Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”.Jakarta; Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm 38 20

. Ibid, hlm 39 21

. Pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945,

dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 1998, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indinesia,

hal. 36-37.

xxv

bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas

berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar

demikian, maka dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam

karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat

itu.”22

Berseberangan dengan itu, Soepomo dan Hatta menolak ide

pembentukan Negara berdasarkan asas Islam. Keduanya

menghawatirkan adanya isu kecemburuan minoritas serta dalam

kemajemukan budaya. Selain itu, adanya Fakta bahwa negara-negara

penganut Islam mengalami kesulitan dalam perkembangan dan

pencarian jati diri hukum serta ambiguitas pemisahan negara dan

agama membuat kedua tokoh ini sepakat untuk menolak ide tersebut.

Mengenai hal ini Soepomo mengatakan:

“Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada

pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk

hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern,

yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut

berhubungan dengan dunia internasional itu. Jadi, seandainya

kita disini mendirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu

akan akan timbul juga di masyarakat kita dan barangkali Badan

Penyelidik ini pun akan susah memperbincangkan soal itu.

Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara

22 . Ibid, hal. 41.

xxvi

Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara negara

persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti

mendirikan negara yang yang akan mempersatukan diri dengan

gologan yang terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di

Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-

soal “minderheden”, soal agama yang kecil-kecil, golongan

agama kristen dan lain-lain. Meskipun negara Islam akan

menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-

golongan lain itu, akan tetapi golongan agama kecil itu tidak

bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu,

cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara

persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan

juga yang telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.

Oleh karena itu, saya menganjurkan dan saya mufakat

dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional

yang bersatu dalam arti totaliter seperti yang saya uraikan

tadi...”23

Penolakan terhadap isu negara Islam juga turut dikemukakan

oleh Soekarno pada rapat lanjutan 1 Juni 1945. dalam kesempatan itu

ia mengatakan:

“...Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita

hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang,

23

. Soepomo, dalam Risalah Sidang BPUPKI, ibid, hal. 59-60.

xxvii

untuk sesuatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia

Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi

sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk

memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-

saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun

saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah

mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya

tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat

semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya

kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya

punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang

Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918,

25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar

buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”

Lebih dari itu, Soekarno melalui pidatonya memberikan ide

kebebasan terhadap penerapan pola agama tetapi di bawah satu

kesatuan kebangsaan. Soekarno tidak sekalipun menolak Islam sebagai

agama dalam sebuah negara, melainkan menolak ide pemasukan

tunggal agama ke dalam sebuah bentuk formal negara. Meskipun

demikian bukan berarti Soekarno menafikan peran Islam dalam sejarah

perjuangan bangsa Indonesia. Melalui pemikirannya, ia menganjurkan

untuk memperhatikan kesetaraan dalam kemajemukan dan diakuinya

xxviii

hak-hak agama bagi masing-masing pemeluk agama di bawah satu ide

negara kebangsaan.

Penolakan terhadap dimasukkannya ide-ide negara Islam ke

dalam sebuah Konstitusi pada dasarnya membuktikan bahwa Islam

tidak selayaknya menempatkan diri dalam posisi yang bersaing vis-a-

vis dengan komponen lainnya dalam hal penerapan konsep Negara

berdasarkan ideologi Islam dalam Konstitusi negara-bangsa Indonesia.

Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer

dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya

menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif atau pemberi warna

tunggal hanya akan membawa perpecahan dalam masyarakat secara

secara keseluruhan mengingat corak sosial masyarakat Indonesia yang

beragam.24

24

. Disarikan dari pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam Zubaidi, 2007, Islam dan Benturan

Peradaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban,dan Dialog Agama), Ar-Ruz Media,

Yogyakarta, hal.181.

xxix

I.6. Kerangka pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN DISERTASI

Tabel

Kerangka Pemikiran Disertasi

Teori utama: Teori Negara Hukum, Teori konstitusi ( bab III dan IV)

Teori pendukung: Teori hukum Profetik, Teori hukum Progressif,

Hukum Prismatik ( bab V)

Wisdom Local : Nilai Ketuhanan dalam konsep negara hukum

Wisdom Internasional : Studi Perbandingan demokrasi, HAM, konsep negara hukum

Redesain Konsep negara Hukum dan Hak asasi Manusia dalam penyusunan

Undang-Undang berdasarkan nilai nilai ketuhanan dalam Konstitusi

Indonesia

Permasalahan yang muncul dalam kerangka konsep negara hukum

Memperbandingkan kajian konsep ketuhanan di negara ASEAN

keadilan

Pertentangan ideologi dalam penyusunan konstitusi indonesia

dalam mewujudkan cita negara hukum

ketuhanan Konstitusi Demokrasi

xxx

I.7 Metode Penelitian

1). Paradigma Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan

dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara methodologis,

sistimatis dan konsisten. Methodologis berarti sesuai dengan methode atau

cara tertentu, sistimatis adalah berdasarkan suau sistim, sedangkan

konsisten adalah tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu

kerangka tertentu.25

1. Paradigma Penelitian menurut Harmon, paradigma adalah cara

mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang

berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas.

Bogdan & Biklen, menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan

longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan

secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.26

Dari dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma

merupakan seperangkat konsep, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau

aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.

Dalam penelitian disertasi ini, digunakan paradigma postpositivisme

untuk menjawab aspek berkaitan dengan ontologi berupa apakah negara

hukum indonesia sebagaimana termaktub dalam konstitusi, adalah

25. Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum,UI Press,Jakarta,2012,halaman,42.

26 . disadur melalui tulisan dalam http://www.parlindunganpardede.wordpres.com/paradigma.diakses

minggu,3 november 15

xxxi

benar-benar berkesesuaian dengan kaidah yang hidup dalam masyarakat

indonesia. Dalam pada itu, Postpotivisme dipilih untuk menjawab

adanya realitas pertentangan ideologi, pemikiran tentang ketuhanan

yang telah mengakar budaya masyarakat indonesia dan sudah barang

tentu memberikan pengaruh terhadap proses penyusunan konstitusi.

Penelitian nantinya melihat secara rinci keterkaitan antara peneliti dan

kedalaman obyek yang diteliti dengan penggunaan bermacam-macam

metode, sumber data, peneliti dan teori.

NO ASUMSI POST-POSITIVISME

1 Ontology Realis kritis, artinya realitas itu memang ada,

tetapi tidak akan pernah dapat dipahami

sepenuhnya.

2 Epistemologi Objektivis modifikasi, artinya objektivitas

tetap merupakan pengaturan (regulator) yang

ideal, namun objektivitas hanya dapat

diperkirakan dengan penekanan khusus pada

penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas

yang kritis.

3 Metodologi Bersifat eksperimental / manipulatif yang

dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat

ganda yang kritis. Memperbaiki

ketidakseimbangan dengan melakukan

xxxii

penelitian dalam latar yang alamiah, yang

lebih banyak menggunakan metode-metode

kualitatif, lebih tergantung pada teori

grounded (grounded theory) dan

memperlihatkan upaya (reintroducing)

penemuan dalam proses penelitian.

2). Jenis Penelitian

Pada penelitian disertasi dipilih jenis penelitian eksplanatoris guna

menerangkan, memperkuat dan kemudian memunculkan teori atau

hipotesa terhadap hasil penelitian yang ada, dalam hal ini memperkuat

gagasan redesai konsep negara hukum dan HAM dalam konstitusi yang

menitikberatkan kepada nilai ketuhanan dan keadilan.

Dari sisi penerapan, penelitian ini masuk ke dalam kategori penelitian

murni (pure research) yang tujuannya berupa pengembangan keilmuan

hukum konstitusisekaligus memunculkan teori dan hipotesa baru dalam

bidang kajian ketatanegaraan.

3). Metode Pendekatan

Pendekatan penelitian yang akan dipakai adalah penelitian hukum

doktrinal. Penulis menggunakan pendekatan berupa pendekatan historis

(historical Approach) ini untuk melihat konsep teori negara hukum

xxxiii

indonesia, apakah telah berkesesuaian dengan konteks Demokrasi,

ketuhanan dan Keadilan ataukah sebaliknya memunculkan gagasan baru

mengenai konsep negara hukum dan HAM berdasarkan ketuhanan dan

bercirikan Pancasila yang mendasari penyusunan Undang-Undang.

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normative (peraturan

perundangan) pada saat penelitian termasuk pula mengkaji sistem norma

yang ada dalam aturan perundang-perundangan. Disamping, dilakukan

pula pendekatan kesejarahan dalam mengungkap sistem hukum maupun

perbandingan sistem hukum serta studi perbandingan di negara ASEAN.

4). Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif dan teknis, sehingga pendalaman teori

sangat diperlukan. Dengan pendalaman ini hasil penelitian bisa

memberikan gambaran yang komprehensip. Penelitian dimulai dari kajian

mengenai teori negara hukum, teori Konstitusi, sejarah konstitusi

indonesia, perdebatan ideologi ketuhanan dan agama, sampai

padapenyusunan produk perundang-undangan yang terkait kemudian

dilanjutkan dengan penelitian untuk mendapatkan fakta-fakta yang

siginifikan. Dalam proses penelitian, juga dipertimbangkan adanya Expert

Judgement yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab permasalahan

yang diteliti.

5). Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian sumber data menggunakan data sekunder yang diperoleh

dari studi pustaka dan studi dokumenter, guna mendapatkan bahan hukum

xxxiv

primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier sesuai kajian.

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan

data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian, terutama

melalui expert judgement.

b. Data sekunder merupakan data yang dapat diperoleh dari bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dalam hal

bahan-bahan peraturan perundang-undangan diantaranya;

1. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hokum

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

Sedangkan Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan suatu

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian dan

karya tulis para ahli hukum dalam bentuk buku, kajian, makalah dan jurnal

ilmiah tentang konstitusi.

Sedangkan bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan sebagai penunjang

yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan

hukum primer dan sekunder antara lain Kamus, Ensiklopedia, Majalah,

Surat Kabar.

xxxv

6). Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data primer digunakan

teknik Studi Kepustakaan (literatur) dan Studi Dokumen, dengan metode

ini dilakukan pengumpulan dan membuat sistematis semua bahan hukum,

catatan dan laporan lainnya. Akan tetapi, sebagai pelengkap,

dimungkinkan untuk dilakukan Wawancara terbatas mengenai doktrin,

dilakukan langsung kepada para ahli hukum. Sebelum wawancara

dilakukan, promovendus terlebih dulu mempersiapkan pokok pertanyaan

yang ada relevansinya dengan penelitian. Wawancana dengan tatap muka

dilakukan terhadap beberapa pakar dalam bidang Konstitusi, diantaranya

Hakim Konstitusi, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

7). Analisa Data

Analisa data ini merupakan penjelasan dari hasil yang diperoleh selama

mengadakan penelitian. Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa

silogisme dan interpretasi. Analisa silogisme yang dimaksud adalah

dengan cara melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif tak

langsung yang ditarik dari hasil yang diteliti yang diteliti secara bersamaan

(dalam hal ini melihat sejarah perumusan konstitusi) . Sedangkan

interpretasi maksudnya adalah dalam menganalisis data menggunakan

hipotesis yang harus dilakukan validasi (keabsahan) dengan menggunakan

acuan teori negara hukum, demokrasi, keadilan dan pancasila. Semua data

tersebut kemudian dikumpulkan dan disusun secara sistematis sehingga

xxxvi

dapat memunculkan kejelasan sekaligus gambaran jawaban terhadap

permasalahan yang akan diteliti.

Disamping itu, menurut Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam bukunya

Basics Of Qualitative Research, Tehniquues and Procedures for

Developing Grounded Theory menyebutkan ada tiga komponen utama

dalam penelitian kualitatif, yaitu : data yang berasal dari berbagai sumber

seperti wawancara, observasi, dokumen, catatan dan film. Kedua, prosedur

yang dapat digunakan untuk penelitian dengan menafsirkan dan mengatur

data. Hal ini tediri dari konseptualisasi, menguraikan kategori yang

berhubungan melalui serangkaian pernyataan preposisi. Konseptualisasi,

menguraikan dan sering disebut sebagai coding. Prosedur lain adalah

bagian dari proses analitik. Ini mencakup pengambilan sampel non

statistik. Penulisan memo dan diagram, laporan tertulis dan lisan

merupakan komponen ketiga. Ini dapat disajikan sebagai artikel dalam

jurnal ilmiah.27

Termasuk pula di dalamnya analisa silogisme dan

interpretasi.

1.8. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan literatur yang ada, di beberapa perpustakaan sampai dengan

proposal disertasi ini ditulis, penulis menemukan beberapa hasil penelitian

27 Anselm Strauss dan Juliet Corbon,1998, Basics of Qualitative Research, Techniques and

Procedurs for Developing Grounded Theory, Sage Publications, London, h.11-12

xxxvii

yang telah dilakukan dan dapat digunakan sebagai pembanding diantaranya

dikelompokkan ke dalam tabel di bawah ini.

Nama

Peneliti

Judul Tahun terbit Pokok Bahasan/Batasan

Penelitian

Soetanto

Soepiadhy

Meredesain

konstitusi

2004,

KEPEL

PRESS

Penelitian yang

dilakukan membahas

mengenai prosedur

perubahan konstitusi,

latar belakang, prosedur

perubahan serta proses

politik dan ideologi yang

mendasari perubahan

konstitusi.

Penelitian ini tidak

membahas gagasan

ketuhanan dalam

Penyusunan Konstitusi,

dan tidak melahirkan

konsep desain konstitusi

negara hukum religius

Jimliy

Asshiddiqie

Gagasan

Kedaulatan rakyat

1991

Universitas

Penelitian membahas

mengenai gagasan

xxxviii

dalam Konstitusi

dan

Pelaksanaannya di

Indonesia:

Pergeseran

keseimbangan

antara

individualisme dan

kolektivisme dalam

kebijakan

Demokrasi Politik

dan Demokrasi

Ekonomi selama

Tiga Masa

demokrasi, 1945-

1980an.

Indonesia kedaultan rakat dalam

konstitusi selama masa

transisi, sekaligus

konstitusionalisme pada

kurun waktu 1945-

1980an.

Konstitusi dilihat tidak

hanya sebagai dasar

negara hukum, tetapi

juga sebagai dasar

konstitusi sosial,

menitikbratkan kepada

peran kedaulatan rakyat,

serta perbandingan

gagasan negara hukum

yang mendasarkan

konsep individualisme

maupun kolektivisme.

Penelitian ini

menitikberatkan pada

konstitusionalisme, dan

belum membahas secara

xxxix

rinci mengenai gagasan

negara hukum

berketuhanan (religius

welfarestate).

Irfan Idris

Islam dan

konstitusionalisme:

Kontribusi islam

dalam penyusunan

Undang-Undang

Dasar indonesia

Modern

2009,

antonylib

jogjakarta

Penelitian membahas

mengenai peran islam

dalam penyuunan

Konstitusi, prosedur dan

perbandingan antar

Undang-undang dasar

dengan piagam Madinah

Penelitian

menitikberatkan pada

argumen penyamaan dan

perbandingan antara

konstitusi indonesia

dengan Konstitusi

Madinah. Termasuk pula

didalamnya melakukan

kajian perbandingan

masyarakat islami

xl

indonesia dengan

masyarakat islami pada

saat berlakunya piagam

madinah.

Penelitian yang ditulis

ini belum memberikan

kesimpulan adanya

gagasan negara hukum

ketuhanan dan keadilan

(religius welfarestate)